MAYANGKARA
Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya
Edisi 9 / 2019
ISSN 2502-1567

Sampul Depan:
Simbol-Simbol Agama
Yang Ada Di Indonesia
MAYANGKARA
Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya
Edisi 9 / 2019

Alamat Redaksi:
DINAS KEBUDAYAAN DIY
Jl. Cendana Nomor 11
No. Telp (0274) 562628
Email: [email protected]
SUSUNAN REDAKSI
Rubrik
KORI: rubrik pembuka berisi informasi mengenai sejarah dan
penjelasan tema buletin edisi kali ini.
PENDHAPA: tajuk utama dalam buletin.
PLATARAN: rubrik ringan yang berisi perjalanan ataupun
informasi situs warisan budaya di berbagai tempat, khususnya
di DIY.
PRINGGITAN: rubrik berisi kajian maupun penelitian yang
membahas mengenai tema Buletin Mayangkara edisi kali ini.
EMPU: rubrik wawancara interaktif dengan tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam pelestarian warisan budaya dan cagar
budaya.
PAWARTOS: rubrik berisi berita-berita pelestarian warisan
budaya dan cagar budaya.
PAGELARAN: rubrik mengenai kegiatan masyarakat dalam
upaya pelestarian terhadap warisan budaya dan cagar budaya
di Kotabaru.
SRAWUNG: rubrik berisi serba-serbi mengenai warisan budaya
dan cagar budaya.
TEBENG: rubrik berisi pandangan masyarakat terhadap
pelestarian warisan budaya dan cagar budaya di DIY.
KAWRUH: rubrik berisi informasi-informasi warisan dan cagar
budaya yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.
MANCANAGARI: rubrik berisi mengenai potensi warisan
budaya dan cagar budaya di luar DIY.
PENANGGUNG JAWAB:
Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si.
REDAKTUR:
Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A
EDITOR:
Agus Suwarto, S.Sos
Anglir Bawono, S.S.
REPORTER:
Ria Retno Wulansari, S.S.
Muhammad Nasrullah, S.T
Rachmad Tri Wibowo, S.S
Sinta AKhirian, D.S.H, S.S
Indrayanti, S.T
Anggraeni, S.T
JURU GAMBAR:
Pradipta Agung Kumara, S.S
DESIGN & LAYOUT:
Gilang Swara Sukma, S.S.
Ruuddoni Yoga Darma Akbar, S.S
DISTRIBUSI & SIRKULASI:
Haryo Mungkastoro
SEKRETARIAT:
Tim Teknis Seksi Pengembangan Warisan Budaya
Benda Dinas Kebudayaan DIY
KONTRIBUTOR:
Augustinus Madyana Putra, IAI
Samrotul Ilmi Albiladiyah, S.S
Drs. Tugas Tri Wahyono,
Fahmi Prihantoro, M.Hum
Yoses Tanzaq, S.S
Bhaskara Ksatria, S.T.
PENERBIT:
Dinas Kebudayaan DIY
Redaksi menerima tulisan mengenai Warisan Budaya dan Cagar Budaya yang ada di DIY dan sekitarnya (dengan ketentuan maks. 3 halaman A4, font Arial 11, dan disertai foto atau gambar jika ada). Tulisan dilengkapi dengan identitas yang jelas dan nomor yang bisa dihubungi. Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi. Bagi tulisan yang sesuai dengan tema akan dicantumkan dalam edisi berikutnya.
Uneg-uneg RedakturUneg-uneg Redaktur
Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua, Salam budaya.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar, bangsa yang menghargai perbedaan dan menjunjung
tinggi toleransi antar umat beragama. Selain itu Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang plural memiliki
beragam suku, etnik, budaya dan bahasa serta mempunyai enam agama yang resmi diakui oleh negara yaitu
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Melihat Indonesia yang masyarakatnya sangat beragam
tersebut, kerukunan antar masyarakat terutama antar umat beragama menjadi salah satu hal yang sangat penting
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Ketaatan umat dalam beribadah dan upaya mendekatkan diri pada Tuhan akan menjadikan mereka lebih kuat
dalam menghadapi segala gejolak kehidupan yang ada. Dengan demikian iman umat akan lebih tertempa dan
berkualitas dalam menghadapi hidup. Wujud nyata dari adanya Kerukunan umat beragama yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta diantaranya tercermin dari banyaknya peninggalan bangunan cagar budaya yang berwujud
tempat ibadah, baik masjid, gereja, kelenteng maupun candi.
Buletin Mayangkara edisi ke-9 kali ini mengupas tentang warisan budaya cagar budaya yang berkaitan dengan
rumah ibadah dari berbagai agama yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kami berharap sajian bangunan
cagar budaya yang merupakan bangunan ibadah tersebut dapat menumbuhkan toleransi sesama pemeluk atau
antar pemeluk agama untuk dapat hidup saling memahami dan menghargai sehingga tercipta suasana kehidupan
harmonis di masyarakat.
Semoga Buletin Mayangkara edisi 9 ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat akan arti pentingnya
hidup bertoleransi di tengah masyarakat yang plural.
Wassalamualaikum Wr. Wb.,
Yogyakarta, Desember 2019
Redaktur

4
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
5
24B.R. PETRUS SUTIMIN, FIC: MELESTARIKAN
TANPA PAMRIH
Tahun 2019 ini, Gereja Santa Theresia Liseaux Boro
mendapat penghargaan Seniman Budayawan kategori
Cagar Budaya Benda. Gereja yang terletak di Kecamatan
Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo ini sudah berdiri
sejak tahun 1937. Salah satu kesusksesan Gereja
ini memperoleh penghargaan adalah dikarenakan
pelestariannya yang sangat baik. Bagaimana sejarah
pelestarian bangunan ini? Apa kendala pelestariannya?

28KEINDAHAN DALAM KESAKRALAN MASA
KLASIK YANG TERSEMBUNYI
Menilik bangunan bersejarah peninggalan masa Hindu-
Budha atau masa Klasik di Yogyakarta pastilah yang ada
dalam benak anda masyarakat adalah Candi Prambanan,
Candi Ijo, Candi Kalasan dan Candi Sambisari. Peninggalan
itu sekarang menjadi lokasi destinasi wisata baik untuk
wisatawan domestik maupun mancanegara. Melalui
bangunan tersebut, kita dapat mempelajari betapa pentingnya
perkembangan manusia melalui karya monumental
baik dari segi sosial-budaya, arsitektural serta religi.
Oleh: Rachmad Tri Wibowo
32PELESTARIAN BANGUNAN IBADAH OLEH
DINAS KEBUDAYAAN DIY
Oleh: Bhaskara Ksatria, S.T
38JELAJAH MASJID DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Oleh: Muhammad Nasrullah
40MELIHAT DARI DEKAT MASJID PATHOK
NEGARA DONGKELAN
Oleh: Tugas Tri Wahyono
46gereja ganjuran: manisnya inkultur-
asi budaya dalam bingkai religi ting-
galan kompeni
Oleh: F. Rudy Wijayanto
49KLENTENG, BUKAN SEKEDAR TEMPAT
RELIGI
Oleh: Sinta Akhirian D.S.H, S.S.
52 MEMASYARAKATKAN KERIS MELALUI JOGJA
INTERNATIONAL HERITAGE FESTIVAL
54 SYMPHONY TOLERANSI DI PULAU PINANG
6KLENTENG PONCOWINATAN, PENANDA EKSISTENSI MASYARAKAT CINA DI YOGYAKARTA
Hubungan masyarakat Cina dengan pihak Kraton Yogyakarta
berjalan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa
peristiwa antara lain pemberian tanah untuk pembuatan dua
kelenteng yang ada di Yogyakarta yaitu di Gondomanan dan
Poncowinatan.
Oleh: Fahmi Prihantoro, S.S., M.A
10RENUNGAN SINGKAT DARI GEREJA SANTO YUSUP
BINTARAN, YOGYAKARTA
Cerita panjang pembangunan Gereja St Yusup Bintaran
dimulai ketika gudang sebelah timur Gereja Kidul Loji yang
pada mulanya dipakai umat katolik pribumi untuk mengikuti
misa sudah tidak dapat lagi menampung banyaknya umat.
Oleh: Augustinus Madyana Putra, IAI.
16ASAL USUL PATHOK NEGARA
Apa itu Pathok Negara ? Apa peranannya ketika Kraton
Yogyakarta masih menjadi sebuah kerajaan yang absolut?
Bagaimana peranannya di masa modern saat ini? Begitulah
kiranya pertanyaan yang muncul di benak sebagian besar
masyarakat Yogyakarta, khusunya yang tidak asing dengan
istilah “pathok negoro’. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
kita perlu menengok jauh kebelakang mengenai asal usulnya
Oleh: S. Ilmi Albiladiyah
20PENGGAMBARAN DEWI TARA PADA CANDI
KALASAN
Candi Kalasan terletak di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani,
Kecamatan Kalasan, DIY. Candi ini berlatar belakang Agama
Buddha dan tergolong candi yang paling tua di kawasan
Yogyakarta. Pendirian Candi ini erat kaitannya dengan temuan
Prasasti Kalaśa, yang berisi tentang pembangunan candi
untuk Dewi Tara (Āryya Tārā) yang bernama Tārābhavanā,
sebagai penghormatan kepada pendeta Buddha.
Oleh: Yoses Tanzaq, S.S
UBARAMPE

»6
»10
»16
»20
»24
»28
PRINGGITAN

6
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
7
KLENTENG
PONCOWINATAN
PENANDA
EKSISTENSI
MASYARAKAT
CINA
DI YOGYAKARTA
^ Fasad Bangunan Klenteng Kwan Tee Kiong (Atas)
Klenteng Poncowinatan Yogyakarta memiliki nama Klenteng
Kwan Tee Kiong.
^ Ruang Pemujaan (Bawah)
Ruang pemujaan merupakan salah satu komponen utama
yang dimiliki oleh Klenteng.
Oleh: Fahmi Prihantoro
Kori 7PRINGGITAN
dibuktikan dari beberapa peristiwa antara lain pemberian tanah untuk pembuatan dua kelenteng yang ada di Yogyakarta yaitu di Gondomanan dan Poncowinatan. Selain itu salah satu Kapiten Cina mendapatkan gelar kebangsawanaan dari Kraton Yogyakarta yaitu Tan Jing Sing dengan gelar KRT Secodiningrat. Selanjutnya pada masa HB IX terdapat prasasti yang merupakan persembahan masyarakat Cina kepada Kraton Yogyakarta karena telah dilindungi dan diperlakukan dengan baik oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1940.
Sejarah Kelenteng Poncowinatan
Kelenteng Poncowinatan seringkali disebut juga
dengan nama Kwan Tee Kiong. Penyebutan nama
dengan menggunakan Kiong tersebut menunjukkan
bahwa kelenteng ini berlatar belakang Taoisme.
Sementara nama Kelenteng Poncowinatan muncul
karena kelenteng berada di jalan Poncowinatan
Yogyakarta. Lokasi kelenteng ini juga berdekatan
dengan Pasar Kranggan dan pemukiman masyarakat
Cina. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
kelenteng merupakan bagian dari keberadaan
Sejarah masyarakat Cina di Yogyakarta
K
eberadaan masyarakat Cina di Yogyakarta
tidak terlepas dari sejarah keberadaan
masyarakat Cina di Indonesia. Jejak masyarakat
Cina di Indonesia paling tidak sudah muncul pada
masa kerajaan Majapahit pada abad ke 14 hingga
masa penjajahan Belanda pada abad ke 17.
Berawal dari masyarakat Cina di kota-kota pesisir
Jawa akhirnya berkembang ke wilayah pedalaman
di Jawa termasuk di kota Yogyakarta. Seperti yang
dikutip dari buku Kota Yogyakarta Tempo Doeloe,
Sejarah Sosial 1880-1930 tulisan Abdurrachman
Surjomiharjo, pada tahun 1905 jumlah penduduk
Cina di kota Yogyakarta sebesar 4200 oarang
dan bertambah menjadi 7200 pada tahun 1920.
Groneman mencatat bahwa pemukiman Cina pada
tahun 1867 menyebar dari Ketandan, Gandekan,
Ngabean, Adiwinatan, Suranatan. Sedangkan di
wilayah Gondomanan didirikan kelenteng. Selain
itu masyarakat Cina juga dijumpai diwilayah
Pakualaman bahkan sampai keluar kota yaitu di
wilayah Godean.
Hubungan masyarakat Cina dengan pihak Kraton
Yogyakarta berjalan dengan baik. Hal ini dapat
^ Arca Dewa Kwan Tee Koen
Arca Dewa Kwan Tee Koen diletakkan di Altar Utama ruang pemujaan Klenteng Kwan Tee Kiong, Poncowinatan. Dewa Kwan tee Koen
merupakan dewa beraliran Budha yang dikenal sebagai sosok jenderal yang sangat gagah dan setia menjadi pengikut Budha.
Kori

8
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
9
pendirian no 24 tanggal 19 Juni 1907. Sayangnya
keberadaan bangunan sekolah ini sudah tidak dapat
dilihat lagi karena sudah diganti dengan bangunan
baru.
Arsitektur dan Bagian-bagian Kelenteng
Poncowinatan
Istilah kelenteng hanya dikenal di Indonesia
untuk menyebut tempat ibadah bagi masyarakat
Cina yang mempercayai ajaran San Jiao yaitu ajaran
yang terdiri dari tiga kepercayan yaitu Taoisme,
Budhisme, dan Konfusionisme. Muncul pendapat
yang mengatakan bahwa asal kata kelenteng dari
kata Kwan Im Ting yang berarti tempat pemujaan
Dewi Kwan Im. Pendapat lain mengatakan bahwa
kata kelenteng berasal dari kata klinthing-klinthing
yang merupakan suara yang dihasilkan dari genta
yang dibunyikan di kelenteng. Dalam Kamus KBBI
terdapat penulisan dua istilah yaitu Klenteng dan
Kelenteng. Keduanya memiliki makna yang sama
yaitu tempat pemujaan masyarakat Cina. Sementara
di Cina penyebutan kelenteng dikenal dengan Sie,
An untuk yang berlatar belakang Budha, sementara
nama Kiong/Gong, Guan/Yuan, Bio/Miao untuk
yang berlatar belakang Tao.
Unsur-unsur arsitektur yang terdapat pada
bangunan kelenteng secara umum antara lain
sebagai berikut: (1) Bangunan Kelenteng berdiri
diatas pondasi yang ditinggikan, (2) Memiliki denah
berbentuk empat persegi panjang, (3) Memiliki tata
ruang terdiri dari: pintu masuk, halaman, ruang
pemujaan Thian, ruang pemujaan utama, court yard
(ruang terbuka di dalam bangunan), ruang tempat
tinggal, (4) Dinding bangunan terbuat dari tembok
atau kayu, (5) Menggunakan atap bergaya khas
bangunan Cina ( Ngang Shan) dengan ornamen
pada bubungan, (6) Terdapat ornamen khas Cina
pada sebagian besar bangunan kelenteng.
Kelenteng Poncowinatan juga memiliki unsur
unsur kelengkapan arsitektur berupa pondasi
bangunan yang ditinggikan serta memiliki denah
empat persegi panjang seperti pada kelenteng-
kelenteng pada umumnya. Terdapat beberapa
pembagian ruang seperti pintu masuk, halaman,
ruang pemujaan Thian (Tuhan penguasa semesta)
yang biasanya terdapat di bagian ruang utama setelah
memasuki pintu utama. Terdapat juga court yard
yang merupakan ruang terbuka di dalam bangunan
yang berfungsi untuk sirkulasi udara. Pada ruang
utama terdapat ruang pemujaan untuk berbagai
dewa termasuk dewa utama yaitu Dewa Kwan Tee
Koen merupakan dewa beraliran Budha yang dikenal
sebagai sosok jenderal yang sangat gagah dan setia
menjadi pengikut Budha.Ia digambarkan seperti
masyarakat Cina di wilayah tersebut. Saat ini
Kelenteng Poncowinatan disebut juga dengan nama
Zhen Ling Gong (Mandarin) atau Chen Ling Kiong
(Hokkian).
Kelenteng Kwan Tee Kiong didirikan pada tahun
1883 yang merupakan keinginan dari masyarakat
Cina serta mendapat bantuan pemberian tanah
dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Tuan
rumah kelenteng ini adalah Dewa Kwan Tee Koen
yang beraliran Taoisme. Hal ini menggambarkan
keragaman aliran keagamaan antara kelenteng
Poncowinatan (Tao) dengan Kelenteng lain Hok
Tik Bio (Buddha) yang berada di Gondomanan
Yogyakarta. Setelah pendirian kelenteng ini selesai
dilanjutkan dengan pembangunan sekolah dasar
Tionghoa modern pertama di Yogyakarta dengan
nama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dengan akta
^ Pintu Ruang Utama Klenteng Kwan Tee Kiong, Poncowinatan
Kori
Sumber Bacaan
De Graaf, H.J., dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV
dan XVI antara Historisitas dan Mitos, Yogkarta:
Tiara Wacana, 1998
David G Kohl, Chinese Architecture in Straits
Settlement and Western Malay: Temple and
House, Kuala Lumpur, Heinemann Educational
Book, 1984
Pratiwo, Arsitektur Tradisional Tionghoa dan
perkembangan Kota, Ombak, 2000
Surjomiharjo, Abdurrachman. Kota Yogyakarta
Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930,
Depok, Komunitas Bambu, 2008
Supardi, Nunus , Kelenteg Kuno di DKI dan Jabar,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000
seorang panglima perang lengkap
dengan pakainnya dan membawa
senjata tombak. Terdapat hal yang
menarik dari ruang pemujaan yaitu
adanya lantai 2 sebagai bagian
dari ruang pemujaan. Selain ruang
utama kelenteng ini juga dilengkapi
dengan tempat tinggal untuk
pengelola serta dapur dan kamar
mandi.
Atap bangunan utama Kelenteng
Poncowinatan bergaya khas Cina
dengan ornamen berupa dua
naga berjalan dengan mutiara di
tengahnya yang memiliki makna
lambang kemakmuran. Sementara
atap bangunan yang berada di
samping kanan dan kiri bangunan
utama berupa atap pelana yang
disebut juga Ngang Shan dengan
ujung atap berupa gevel berbentuk
gunungan. Sementara dinding bangunan kelenteng
terbuat dari tembok. Khusus bagian teras depan
dinding bangunan dihias dengan berbagai ornamen
binatang seperti harimau, naga, burung phoenix juga
berbagai ornamen bunga seperti bunga plum, teratai,
krisan, peony serta ornamen berupa pemandangan
sungai, gunung dan matahari. Sementara pintu
ruang utama berjumlah tiga buah dengan perincian
pintu tengah dihias dengan ornamen lukisan
naga sebagai penolak bala, sementara pintu sisi
kiri memiliki ornamen lukisan Dewa Shou yang
merupakan lambang panjang umur dan pintu di
sisi kanan terdapat lukisan Dewa Fu sebagai Dewa
kebahagiaan. Ke khasan lain dari kelenteng ini
adalah adanya dua patung singa sebagai penolak
bala yang berada di bagian depan bangunan utama
kelenteng dan memiliki simbol energi, keadilan,
dan kebenaran.
Dewa-dewa yang terdapat di ruang pemujaan
utama Kelenteng Poncowinatan selain dewa utama
antara lain altar Dewa Hok Tik Cing Sien yang
merupakan dewa bumi dan Altar Budha Gautama.
Sementara dewa linnya Altar Dewi Kwan Im yang
merupakan dewi welas asih yang hampir berada di
setiap kelenteng di Indonesia. Selain itu Dewa Tie
Cong Ong Poo dan Dewa Cung Sen Tien juga berada
di area ruang pemujaan utama.
Secara keseluruhan keberadaan Kelenteng
Poncowinatan dapat menjadi salah satu penanda
keberadaan masyarakat Cina di Yogyakarta. Dari
kelenteng inilah terlihat adanya pengakuan identitas
sosial budaya dasn politik bagi masyarakat Cina
dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta secara
keseluruhan pada masa lalu dan masa kini.
Fahmi Prihantoro, S.S.,M.A.
Fahmi Prihantoro, S.S.,M.A.,
lahir di Purworejo, 31 Januari
1969. Ia merupakan dosen
aktif di Departemen Arkeologi
FIB UGM dan Proi Pariwisata
FIB UGM. Sebagai seorang
Arkeolog, Fahmi sangat
meminati bidang pengelolaan
warisan budaya, terutama
budaya Cina (Tionghoa), Islam dan Pariwisata Budaya.
Dosen yang juga aktif sebagai Ketua TACB Kota
Yogyakarta ini menuangkan pengetahuannya mengenai
cagar budaya Cina (Tionghoa) kepada kita semua.
^ Ruang Terbuka (Court Yard) di Klenteng Kwan Tee Kiong,
Poncowinatan
Kori

10
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
1110
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
11
> Tahun 1934
Suasana peresmian Gereja Bintaran pada
tahun 1934.
Sumber: St. Claverbond
PRINGGITAN
C
erita panjang pembangunan Gereja St Yusup Bintaran dimulai ketika gudang sebelah timur Gereja Kidul Loji yang pada mulanya dipakai umat katolik pribumi untuk mengikuti
misa sudah tidak dapat lagi menampung banyaknya umat. Dikutip dari buku Panitia Pesta Emas, 50 Tahun Gereja Bintaran Yogyakarta Pembangunan ‘gereja untuk kaum pribumi’ ini dimulai tahun 1933 dan selesai tahun 1934, dengan dipelopori oleh Rm H. Van Driessche, SJ dan Bapak Dawoed, dan dirancang oleh TH. Van Oijen B.N.A.
Pada masa Clash II, ketika Keuskupan Semarang dipindah ke Bintaran, Gereja Bintaran
menjadi saksi bisu perjuangan Mgr Soegijapranata, SJ. Sejarah menceritakan, Paroki Bintaran pada saat itu sering dijadikan tempat kongres, rapat-rapat, bahkan sebagai markas darurat para gerilyawan katolik, dengan dipayungi oleh Bapa Uskupnya. Kejadian-kejadian dan ingatan perjuangan gigih hidup mati para pendahulu yang terekam dalam sejarah tersebut sebenarnya dapat dijadikan pembangkit semangat menggereja umat Paroki St. Yusup Bintaran. Banyak hal yang dapat diupayakan untuk membangkitkan kebanggaan tersebut, dan salah satunya adalah penataan elemen-elemen fi siknya.
Gereja Paroki Bintaran termasuk dalam salah satu benda cagar budaya, seperti yang
digariskan Pemerintah dalam UURI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Pengertian dalam undang-undang tersebut adalah benda buatan manusia, bergerak atau
tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa- sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau memiliki gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kehadirannya secara nyata merupakan
suatu landmark kawasan Bintaran dan arti pentingnya turut mewarnai kota Yogyakarta. Peran
inilah yang perlu dipertimbangkan untuk lebih menghargai keberadaan bangunan Gereja St. Yusup Bintaran berikut benda-benda yang ada di dalamnya.
Renungan Singkat Dari
gereja santO yusup
bintaran, yogyakarta
Oleh: Augustinus Madyana Putra
PRINGGITAN

12
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
13
disediakan di bagian belakang. Pada masa lalu
tertera sebuah tanda logam yang bertuliskan nama-
nama mereka yang menyewa bangku tersebut.
Walaupun kebijakan ini sudah lama dihapus, namun
sampai saat ini tanda logam tempat nama-nama
tersebut masih ada dan tetap dipertahankan
Panti Imam terletak pada sisi tengah
berdampingan dengan ruang sakristi sisi timur dan
barat. Altar terdapat 3 buah, dua pada bagian kiri
dan kanan, sedangkan altar utama ada di bagian
tengah, dan mempunyai posisi paling tinggi berdiri
di atas traap ketiga dari lantai bersusun. Altar
tersebut terbuat dari beton, menempel pada dinding,
dan disangga oleh delapan buah kolom. Pada ruang
Panti Imam ini terdapat dua buah salib. Sebuah
salib utama dengan ukuran yang sangat besar dan
sebuah salib kecil di atas tabernakel.
Konsep rancangan Gereja Bintaran oleh Arsitek
Th. Van Oijen, BNA secara rinci sampai saat ini
belum dapat diketemukan. Namun demikian ada
suatu hal yang cukup menarik yang didasarkan dari
wawancara dengan G. Sidharta (almarhum) salah
satu Tim Ahli pemugaran Gereja Bintaran.
Pola Keruangan
Pola keruangan yang digunakan perancang pada
gedung gereja Bintaran adalah pola basilica. Basilca
itu sendiri pada mulanya merupakan pola bangunan
pada jaman Romawi. Pada masa lalu basilica dipakai
sebagai ruang pertemuan besar atau pengadilan.
Dalam perkembangannya pola ini sering dipakai
sebagai bentuk dasar sebuah ruang gereja. Secara
garis besar ruangan ibadat dibagi dalam 3 ruang,
yaitu ruang utama (nave) dan dua ruang serambi di
sebelah kiri kanan ruang utama (narthex).
Atap gereja terbuat dari beton bertulang berbentuk
lengkung setengah silinder (barrel vault) adalah
bentuk atap yang sangat khas yang tidak dimiliki
oleh gereja-gereja lainnya di daerah Yogyakarta dan
sekitarnya. Di bagian atas dinding gereja terdapat
lubang ventilasi dengan bentuk dasar rose window
dengan jumlah keseluruhan 72 buah.
Menanggapi perilaku umat yang kebanyakan
adalah kaum pribumi yang suka mengenakan
kain dan merasa lebih nyaman apabila bersimpuh
daripada duduk di bangku, maka di bagian depan
interior gereja dirancang tanpa menggunakan tempat
duduk. Beberapa baris bangku panjang hanya
“saya pernah berdiskusi dengan Romo van Opzeeland, SJ dan dalam diskusi tersebut diketahui
bahwa lukisan jalan salib yang ada di Gereja Bintaran merupakan lukisan yang berfungsi sebagai
mock up untuk membuat Lukisan Jalan Salib yang ada di gereja Katedral Jakarta yang terbuat dari
keramik. Setelah lukisan di Katedral selesai sekitar tahun 1900an, maka gulungan 14 lukisan
salib tersebut disimpan. Pada saat ada rencana pembangunan gereja di intaran, Jogja, lukisan ini
kemudian dihibahkan untuk melengkapi bangunan tersebut..”
2,4 m2. Sedangkan suatu hal yang sangat menarik
adalah modul pendenahan ruang umat yang ada di
Gereja Bintaran menggunakan kelipatan yang sama
Lukisan Jalan salib di Bintaran dan Lukisan Jalan
Salib di Gereja Katedral Jakarta memiliki ukuran
dan detail komposisi yang persis sama, yakni 2,4 x
^ Interior Lama
Foto Interior lama Gereja Bintaran pada tahun 1934.
Sumber: St. Claverbond
^ Interior Saat Ini
Foto Interior Gereja Bintaran saat ini.
Sumber: Penulis
PRINGGITAN PRINGGITAN
Keterangan :
A. Panti Imam
B. Sakristi Timur, sebagai tempat persiapan imam sebelum memimpin Perayaan Ekaristi,
C. Sakristi Barat sebagai penyimpan benda-benda liturgi. Di dalamnya terdapat altar kayu yang dipakai
sebagai tempat pentahtaan Sakramen Maha Kudus pada hari Jumat Agung. Pada tahun 1990 an dinding
sakristi ini dibongkar untuk dijadikan panti koor. Setelah dikaji kembali dengan mempertimbangkan aspek
kesejarahan dan arsitektur gereja, maka pada tahun 2004 dinding penyekat sakristi ini dibangun kembali
D. Gudang penyimpanan roti dan anggur.
E. Altar samping kiri. Pada bagian atas altar ini terdapat patung Santo Yusup
F. Altar samping kanan. Pada bagian atas altar ini terpasang patung Santo Aloysius
G. Ruang Utama (nave). Pada masa lalu bagian yang menggunakan kursi hanya separuh bagian belakang.
Bagian depan menggunakan lampit.
H. Serambi kiri (narthex)
I. Serambi kanan (narthex)
B
A
C
D
E F
G
K
J
J
J
J
I H

14
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
15PRINGGITAN
dengan lukisan jalan salib. Lebar dan tinggi dinding
solid sangat seuai dengan dimensi lukisan. Hal lain
yang menguatkan bahwa lukisan jalan salib ini lebih
tua dari gereja adalah proporsi gambar lukisan yang
sangat besar apabila dibandingkan dengan jarak
pandang orang ke arah lukisan tersebut.
Pertanyaan lain yang cukup menggelitik adalah
apakah bentuk dasar interior, ceruk di altar samping
yang menggunakan bentuk serba lengkung diinspirasi
oleh bentuk lukisan jalan salib? Perlu sebuah kajian
yang lebih rinci untuk menjawab hal tersebut.
Namun demikian kehadiran Gereja Bintaran yang
bersejarah ini diharapkan dapat memberikan sebuah
pembelajaran yang berharga bagi siapapun yang
membutuhkan.
Sumber Bacaan :
Fitch Marston James, Historic Preservation,
Curatorial Management of the Built World,
University Press of Virginia, London, 1990
Feiden, Bernard M, Concervation of Historic
Buidings, Butterworth-Heinemann Ltd, 1982
Komisi Liturgi KWI, Tata Ruang Ibadat, PD Penerbit
OBOR, Jakarta, 1990.
Kristiawan, Benny, Laporan Penelitian: Adaptabilitas
dan Fleksibilitas Ruang Bangunan Kolonial
Belanda Di Kawasan Kota Baru, Yogyakarta,
2001
Panitia Pesta Emas Gereja Santo Yusup Bintaran,
50 Tahun Gereja Bintaran Yogyakarta, Andi
Offset, Yogyakarta, 1984. Priatmodjo, Danang,
Arsitektur Gereja Katolik, Fakultas Teknik
Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1989
Winarwan, Abang, Ziarah Arsitektural Katedral St.
Petrus Bandung, Architecture & Communication,
Bandung, 2002.
Augustinus Madyana Putra, IAI.
Augustinus Madyana Putra,IAI dilahirkan di Yogyakarta, Agustus 1973. Sehari
hari bekerja sebagai pengajar di Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. Pada tahun 2002 – 2008 ditugaskan untuk mendampingi
renovasi Gereja St, Yusup Bintaran.
Hobi menggambar merupakan upaya belajar lebih rinci akan objek yang ada di
sekitar manusia. Selain merancang beberapa bangunan, juga secara aktif mengikuti
pameran seni lukis di tingkat Nasional maupun Internasional.
• Pameran Sketsa Internasional “International Semarang Sketchwalk 2016”
• Pameran Nasional Ulang tahun Kolcai ke 4; Cinta Warna Nusantara, Komunitas
Cat Air Indonesia, 13 – 20 Juli 2018, Balai Soedjatmoko, Surakarta
• Pameran Bersama “KOSEN”, Bentara Budaya Yogyakarta, Februari 2019
• Pameran Lukisan Internasional “Th e Spirit of Colour” di Art Muzium and
Galeri Tuanku Fauziah, Universiti Sain Malaysia, Penang, Malaysia, 9 Juli – 31
Agustus 2019
^ Foto Lukisan Jalan Salib di Gereja Bintaran (Atas)
Foto Lukisan Jalan Salib di Gerejan Katedral Jakarta (Bawah).
Sumber: Penulis
PRINGGITAN
> Gereja Santo Yusup Bintaran saat ini
Bentuk bangunan Gereja Santo Yusup saat ini tidak banyak perubahan sejak awal diresmikan pada tahun 1934

16
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
1716
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
17
ASAL-USUL
PATHOK NEGARA
Oleh: S. Ilmi Albiladiyah
A
pa itu Pathok Negara ? Apa peranannya ketika
Kraton Yogyakarta masih menjadi sebuah kerajaan
yang absolut? Bagaimana peranannya di masa modern
saat ini? Begitulah kiranya pertanyaan yang muncul di
benak sebagaian besar masyarakat Yogyakarta, khususnya
yang tidak asing dengan istilah ‘pathok negoro’. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok jauh
kebelakang mengenai asal usulnya.
Keberadaan Abdi Dalem “Pathok Negara” tak
lepas dari peristiwa bersejarah pada tahun 1755 yaitu
terjadinya Perjanjian Giyanti atau dikenal juga dengan
sebutan Palihan Nagari. Disebut demikian karena pada
waktu itu kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi dua
bagian, Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwana
III dan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana
I. Kasultanan Yogyakarta tetap melestarikan kebijakan
kerajaan sebelumnya (Mataram Islam) yang dipandang
masih sesuai dengan model pemerintahannya. Sultan
Hamengku Buwana I atau semula bernama Pangeran
Mangkubumi ahli dalam bidang kenegaraan, memegang
teguh budaya Jawa, sehingga pada masa itu lembaga-
lembaga kerajaan diberi sebutan dengan nama Jawa.
Pada awal pemerintahannya, Kasultanan Yogyakarta
mempunyai lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Pradata
(menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Pengadilan
Bale Mangu (pidana, administratif, agraris), dan
Pengadilan Surambi (yang menangani masalah pidana
dan hukum perkawinan, perceraian dan hukum waris
berdasarkan agama Islam).
PENDHAPA PENDHAPA

18
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
19PENDHAPA
namanya, Pengadilan Surambi, maka aktifi tas
lembaga ini, termasuk Kyai Pengulu dan abdi dalem
pathok nagara, dipusatkan di Serambi Masjid Gedhe
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Berbanding terbalik dengan kenyataannya,
walaupun merupakan jabatan abdi dalem terendah,
pathok nagara yang sehari-hari bertugas di pedesaan,
disegani oleh masyarakat. Selain sebagai pembantu
hakim, pathok nagara harus mempunyai kecakapan
dan kecerdasan di dalam ilmu agama, sehingga
dapat mencerdaskan dan membentengi masyarakat
secara jiwani dalam menghadapi penjajah pada
masa itu.
Dalam melakukan pembentengan jiwani
kepada masyarakat, maka di berbagai wilayah
didirikan masjid-masjid yang dikenal dengan masjid
kagungan dalem (Masjid Sulthoni). Dalam catatan
Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta tercatat
sekitar 78 masjid kagungan dalem yang berada di
Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo dan Kota
Yogyakarta. Di Sleman barat ditempatkan Masjid
Kagungan Dalem Mlangi, Sleman utara ada Masjid
Kagungan Dalem Plosokuning, di Bantul ada Masjid
Kagungan Dalem Dongkelan dan yang sebelah timur
ada Masjid Kagungan Dalem Babadan.
Sebetulnya masjid kagungan dalem jumlahnya
banyak, namun kebiasaan orang Jawa dalam ruang
imajinasinya ada 4 titik mata angin, dan satu di
tengah sebagai pusat atau titik sentral. Hal ini
pula ada kemiripan dengan letak masjid kagungan
dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara .
Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara
Pathok Nagara berkaitan erat dengan Pengadilan
Surambi yang juga disebut Hukum Dalem Ing
Surambi, yang diketuai seorang Penghulu Hakim.
Dalam melaksanakan tugasnya Penghulu Hakim
yang bergelar Kangjeng Kyai Pengulu, dibantu oleh
empat orang anggota yang disebut dengan Pathok
Nagara, dalam bahasa halus disebut Pathok
Nagari. Lembaga peradilan ini dalam sidangnya
menggunakan kitab acuan sebagai dasar hukumnya
yaitu kitab-kitab, Muuharrar, Al-Mahalli, Tuhfah,
Fat-khulmungin dan Fat-khulwahab. Kesemua kitab
tersebut merupakan kitab Fiqh yaitu tentang hukum
Islam.
Pengadilan Surambi Rouffaer dalam buku
Vorstenlanden mengungkapkan bahwa yang menjadi
penghulu pertama di Yogyakarta adalah Seh Abodin.
Baik Penghulu Hakim maupun keempat anggotanya
merupakan Abdi Dalem Reh Pengulon Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat, dan raja dalam hal
ini Sultan merupakan pimpinan tertinggi kerajaan
termasuk lembaga-lembaganya. Sesuai dengan
> Gapura Masjid Pathok Negara Plosokuning
Foto diatas adalah foto Gapura Masjid Pathok Negara Plosokuning. Gapura tersebut memiliki model bentuk Gapura Paduraksa.
> Gapura Masjid Pathok Negara Mlangi
Foto disamping merupakan foto Gapura Masjid Pathok Negara Mlangi. Sama seperti di Pathok Negara Plosokuning, Gapura tersebut memiliki model bentuk Gapura Paduraksa.
S. Ilmi ALbiladiyah Lahir di Boyolali, 17 April 1947. Menempuh Pendidikan S1 Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Aktifi tas yang masih digeluti sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (DP2WB) D.I.Y., Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) D.I.Y., Anggota Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI), Aggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda DIY – Jawa Tengah.
PENDHAPA
bertanggungjawab kepada masjid yang ditanganinya. Hubungan antara masjid pathok nagara ini menjadi
suatu hal yang mengendap dalam diri masyarakat sebagai nama masjid, yaitu masjid pathok nagara .
Hal ini tidaklah salah, karena mengandung maksud sebagai masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab abdi dalem pathok nagara. Mereka
itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi dan berjumlah empat. Dewasa ini tak mengherankan bahwa sekitar masjid ada pesantren untuk menimba ilmu agama. Semenjak kemerdekaan Indonesia dan pengadilan raja dihapuskan pada tahun 1947 maka semenjak itu pula ditiadakan untuk pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun masjid masih dimanfaatkan
dan dijaga kelestariannya.
^ Masjid Pathok Negara Babadan
Foto disamping merupakan foto Gapura Masjid Pathok Negara Mlangi. Sama seperti di Pathok Negara Plosokuning, Gapura tersebut
memiliki model bentuk Gapura Paduraksa.
Sumber Bacaan : Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang
Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV Rajawali
Nitipraja, KRT. 1941. “Pengabdian Ing Praja
Ngayogyakarta”, dalam majalah Hoedyana Wara, TH 1 No 2 bln Agustus, 1941, Jogjakarta : Dwara Warta (Krapid)
Rouffaer, GP. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit
Adatrechbundel XXXV, Serie D.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa.
Groningen-Batavia : JB. Wolters Uitgevers Maatschappij NV.

20
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
21
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
PENGGAMBARAN DEWI TARA
PADA CANDI KALASAN
Oleh: Yoses Tanzaq
PRINGGITAN
Keberadaan stuko pada Candi Kalasan, berfungsi
sebagai pelapis batu komponen candi dan sebagai
penyempurnaan pembuatan relief agar tampak indah.
Besar kemungkinan bahwa stuko ini juga diberi
perwarna, sebagaimana candi-candi di India, akan
tetapi belum ditemukan bukti-bukti kuat mengenai
A. Menengok Sejarah Candi Kalasan
C
andi Kalasan terletak di Dusun Kalibening,
Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini berlatar
belakang Agama Buddha dan tergolong candi
yang paling tua di kawasan Yogyakarta pada masa
Mataram Kuna. Pendirian Candi ini erat kaitannya
dengan temuan Prasasti Kalaśa yang ditemukan
tidak jauh dari lokasi Candi. Prasati Kalaśa berangka
tahun 700 Śaka (778 Masehi) ditulis menggunakan
bahasa sanskerta dan huruf pra-nagari, terdiri dari
12 baris. Menurut Jan Wisseman Christie, Prasasti
Kalaśa berisi tentang pembangunan candi untuk
Dewi Tara (Āryya Tārā) yang bernama Tārābhavanā,
sebagai penghormatan kepada pendeta Buddha di
Desa Kalaśa.
Candi Kalasan memiliki arsitektur yang
cukup unik, salah satu keistimewaannya adalah
penggunaan stuko atau sering disebut dengan
bajralepa. Stuko seringkali ditemui di candi-candi
Buddha, beberapa penelitian, menunjukan stuko di
Candi Kalasan mengandung unsur kapur (CaCO3),
pasir dengan kadar silikat yang tinggi, dan oksida
logam, seperti yang dicatat oleh Jacques Dumaçay.
^ Candi Kalasan
Candi yang berlatar belakang Agama Buddha ini merupakan candi tertua di Yogyakarta.
^ Bajralepa (Atas)
Salah satu keunikan Candi Kalasan adalah penggunaan stuko atau brajalepa sebagai pelapis batu candi. (Sumber: Penulis)
^ Prasati Kalaśa (Bawah)
Prasati tersebut berisi tentang tujuan dibangunnya Candi Kalasan, yaitu untuk pemujaan Dewi Tara. (Sumber: Penulis)
PRINGGITAN

22
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
23
B. Ikonografi dan Konsep Keagamaan Dewi Tara
Pada Candi Kalasan
Relief Dewi Tara pada ambang pintu sisi utara,
digambarkan memakai jatamakuta, sedangkan tidak
tampak adanya perhiasan (abharana ) yang dipakai.
Tangan terdapat dua buah, tangan kanan dan kiri
digambarkan memegang teratai merah (padma ).
Sikap duduk digambarkan duduk bersila sempurna
(padmasana). Relief Dewi Tara pada ambang pintu
sisi selatan, digambarkan memakai jatamakuta,
sedangkan tidak tampak adanya perhiasan
(abharana) yang dipakai. Tangan terdapat dua buah,
tangan kanan dan kiri digambarkan memegang
teratai biru (utpala ). Sikap duduk digambarkan
duduk bersila sempurna (padmasana).
Penggambaran relief Dewi Tara Candi Kalasan,
berdasarkan keletakannya, terdapat dua relief
(kemungkinan empat relief). Kedudukan Dewi Tara
pada Candi Buddha, ialah sebagai dewi utama
yang dipuja bersama dengan tokoh Buddhis lain,
terutama yang menempati posisi pantheon utama
dalam Candi Buddha. Benoytosh Bhattacaryya
mengemukakan, keempat Tara dihubungkan dengan
śakti atau kekuatan dalam bentuk feminim dari
keempat Dhyani Buddha yang menempati empat
penjuru mata angin, ditambah satu di pusat sehingga
disebut Panca Tathagata, pada konsep Vajradhatu
Mandala. Vajradhatu Mandala berdasarkan Kitab
Nispanyayogavali, digambarkan Vairocana di pusat
pewarnaan ini.
Dalam bukunya Candi Sewu dan Arsitektur
Bangunan Agama Buda di Jawa Tengah ,
Jacques Dumaçay menambahkan Candi Kalasan
diperkirakan sudah mengalami perubahan arsitektur
bangunannya, awalnya candi ini memiliki denah
satu bilik dengan satu pintu masuk, kemudian pada
masa selanjutnya, mungkin di pertengahan abad IX
Masehi, Candi Kalasan dibangun ulang dengan denah
palang dengan empat bilik dan empat pintu masuk.
Deskripsi arsitektur Candi Kalasan, dapat dibagi
menjadi tiga, yakni kaki (batur), tubuh candi, dan
atap candi. Namun seperti yg dikutip dari buku The
Hindu Temple berdasarkan kitab-kitab keagamaan
(Vāstuśastra), arsitektur candi baik Hindu maupun
Buddha, dikenal dengan sistem pembagian sebanyak
tujuh lapis yang melambangkan tujuh lapis alam
semesta, yaitu: upapitha (batur), adhistāna (plinth /
alas tiang), pāda (dinding), prastara (entablature/
tutup dinding), hara (parapet/penyangga atap),
grivā (leher), śikhara (menara/meru), dan stūpi
(kemuncak). Penggambaran Dewi Tara pada Candi
Kalasan, digambarkan berupa relief. Relief Dewi Tara
terdapat di atas ambang pintu bagian luar, saat ini
masih dapat di jumpai pada pintu masuk bilik utara
dan bilik selatan, sedangkan bilik timur dan barat
sudah runtuh, namun diperkirakan terdapat relief
yang sama.
Stūpi
Sikhara
Griya
Prastara
Padā
Adhistana
Upapitha
Atap
Tubuh
Kaki
^ Rekonstruksi Candi Kalasan
Gambar diatas adalah gambar hasil Rekonstruksi Candi Kalasan hasil Kajian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta
(Sumber: Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY)
PRINGGITAN
van Kunsten en Wetenschappen hal. 1-64.
Batavia: ALBRECHT & Co.
Christie, Jan Wisseman. 1999. Register Of The
Inscriptions Of Java 732 -1060 A.D. (The
Inscriptions Of Mataram). Naskah Draft Tidak
Diterbitkan.
Dumaçay, Jacques. 1986. Candi Sewu dan Arsitektur
Bangunan Agama Buda di Jawa Tengah (terj).
Jakarta: Kerjasama EFEO dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kramrisch, Stella. 1976. The Hindu Temple.
Calcutta: Motilal Banarsidass.
Liebert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary of
the Indian Religion. Leiden: E.J. Brill.
Perdana, Aditya Bayu. 2019. Kajian Relasi
Arsitektural Candi Hindu Era Mataram Kuno
dengan Vāstuśāstra, Skripsi Sarjana . Bandung:
Fakultas Teknis Program Studi Arsitektur.
dengan sakti-nya Locana atau Tara Putih. Pada sisi
barat terdapat Amitabha dengan sakti-nya Pandara
atau Tara Merah, sisi utara terdapat Amoghasiddhi
dengan sakti-nya Tara Hijau, sisi timur terdapat
Aksobhya dengan sakti-nya Mamaki atau Tara Biru
dan di sisi selatan terdapat Ratnasambava dengan
sakti-nya Vajradhatuisvari atau Tara Kuning.
C. Bukti Eksistensi Dewi Tara di Jawa
Candi Kalasan merupakan bangunan suci (candi)
yang berlatar belakang Agama Buddha. Pemujaan
Dewi tara juga berkembang di Jawa Kuno masa silam,
dengan keberadaan Candi Kalasan dan Prasasti
Kalasan yang secara tegas menyebut pembangunan
kuil untuk Tara (Tarabhavana) pada tahun 778
Masehi. Dalam prasasti itu juga disinggung secara
tidak langsung adanya hubungan antara Dinasti
Sailendra di Jawa dengan Imperium Pala di India
Utara pada abad ke-8 dan 9. Eksistensi Dewi Tara di
Jawa pada waktu itu, merupakan suatu fakta yang
sangat khas, karena dianggap sebagai bukti tertua
mengenai pemujaan Tara yang ada di Jawa, selain di
India Utara pada waktu itu.
Sumber Bacaan
Bhattacharya, Benoytosh. 1949. Nispannayogavali
of Mahapandita Abhayakaragupta. Baroda:
Oriental Institute of Baroda.
---------------. 1958. The Indian Budhist Iconography,
Mainly based on The Sadanamala and Cognate
Tantric Text Ritual. Calcuta.
Bosch, Dr. F. D. K. 1928. “De Inscriptie van
Keloerak” dalam Tijdschrift voor Indesche Taal-
, Land- en Volkenkunde Deel LXVIII Uitgegeven
door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap
^ Relief Dewi Tara Ambang Pintu Bilik Utara Candi Kalasan
(Sumber: Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY)
^ Relief Dewi Tara Ambang Pintu Bilik Selatan Candi Kalasan
(Sumber: Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY)
Yoses Tanzaq, S.S Yoses Tanzaq, S.S., merupakan arkeolog andalan BPCB DIY. Kegemarannya terhadap cagar budaya masa klasik (Hindu- Buddha) sudah muncul sejak masa kuliahnya. Setelah tamat kuliah, pria yang lahir di Tangerang 32 tahun yang lalu ini melanjutkan karir
arkeologinya di BPCB DIY. Melalui tulisan-tulisannya, Yoses berkeinginan menyebarkan informasi mengenai masa klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
PRINGGITAN

24
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
2524
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
25EMPU
MELESTARIKAN
TANPA
PAMRIH
Br. Petrus Sutimin FIC
EMPU

26
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
27 EMPU
bernama Romo J.B. Prennthaler mendirikan misi
terutama kerohanian, pendidikan, kesehatan, sosial
dan ekonomi secara lengkap di perbukitan Manoreh.
Rohani berwujud gereja, kesehatan berwujud rumah
sakit, ekonomi berwujud pertenunan, pendidikan
berwujud sekolah-sekolah Pangudi Luhur, sosial
berwujud panti asuhan dan panti jompo. Untuk
mewujudkannya, misionaris ini meminta bantuan
suster OSF dan Bruder FIC. Bruder FIC diundang
kesini dari Kidul Loji, supaya ikut membantu karya
di Boro. Selanjutnya, dari Yogyakarta mereka
bertemu di pusat Mastrik di Belanda, lalu Romo
J.B. Prennthaler datang ke Belanda minta supaya
ikut ambil bagian dalam karya di Boro. Permintaan
ini disanggupi asal dibantu untuk mencarikan dan
membelikan tanah. Setelah bersepakat dan dengan
kerelaan masyarakat atas tanahnya untuk dibeli,
lalu mulai tahun 1937 mulai dibangun biara, panti
asuhan, pertenunan dan sekolah. Biaya pembiayaan
ini berasal dari solidaritas para bruder di Belanda.
Dari mereka menyisihkan cerutu dan hal-hal lainnya,
dikumpulkan untuk pembangunan Boro pada waktu
itu. Lalu berdirilah biara, panti asuhan, pertenunan
Tahun 2019 ini, Cagar Budaya Gereja Santa
Theresia Liseaux Boro mendapat penghargaan
Seniman Budayawan kategori Benda. Gereja yang
terletak di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten
Kulon Progo ini sudah berdiri sejak tahun 1937.
Salah satu kesusksesan Gereja ini memperoleh
penghargaan Seniman Budayawan kategori Benda
adalah dikarenakan pelestariannya yang sangat baik.
Bagaimana sejarah pelestarian bangunan ini? Apa
kendala pelestariannya? Tim Mayangkara berhasil
menemui salah satu tokoh pelestari bangunan cagar
budaya Gereja Santa Theresia Liseaux Boro.
Menurut Bruder apakah arti penting dari pelestarian
warisan budaya dan cagar budaya ?
Sangat penting, karena termasuk sejarah.
Menjaga sejarah yang penting ini, dengan semaksimal
mungkin dengan cara apapun dilestarikan dan
dirawat, karena sejarah ini untuk generasi berikutnya.
Berkaitan dengan sejarah, bagaimana perjalanan
dari bangunan Boro FIC Kulonprogo ini?
Pada waktu itu ada tokoh misionaris dari Austria
^ Bercerita
Tim Mayangkara berkesempatan mewawancara Br. Petrus Sutimin. Pada kesempatan tersebut beliau menceritakan bagaimana usahanya
dalam melestarikan Kompleks Gereja dan Bruderan Santa Theresia Liseaux.
EMPU
dan sekolah di Boro ini.
Apakah Kendala dalam pelestarian bangunan
biara ini ? dan bagaimana cara mengatasinya?
Kendala utama adalah finansial. Karena
kalau kita merawat sendiri karena sudah sibuk
berkarya, kan harus ada tenaga pegawai, nah
untuk merekrut tenaga pegawai yang ikut merawat
ini kan tentu saja perlu upah untuk mereka
yang bekerja, disamping itu untuk kerusakan-
kerusakan perlu biaya untuk memperbaikinya.
Pada waktu membangun itu ada solidaritas dana
dari Belanda, namun untuk merawat selanjutnya
yang kesulitan. Untuk mengatasi kendala tersebut
kami mengajukan proposal ke pusat Semarang.
Misalnya kita mau melaksanakan pengecatan ulang
di bagian tertentu, kemudian difoto, dilengkapi
administrasinya. Kalau sudah disetujui dan
dananya turun, baru dilaksanakan kegiatannya.
Di sana kalau ada uang, dikasih kalau belum ada
uang ditunda atau mungkin baru diberi sebagian,
kemudian secukupnya uang pemberian dikerjakan,
kemudian tahun depan dilanjutkan lagi sesuai
uang yang diberikan oleh Biara Pusat.
Mengingat pentingnya warisan budaya dan cagar
budaya, apakah menurut Bruder masyarakat yang
tinggal di sini sudah turut serta dalam menjaga
warisan budaya dan cagar budaya ini?
Kalau secara materi tidak, tapi kalau secara
hati nurani ikut memelihara karena dianggap
bangunan sejarah. Masyarakat di sini ikut
melestarikan dalam hal spirit bukan material.
Kalau masalah materi, mereka sudah punya beban
biaya hidup yang harus mereka tanggung. Jadi
mereka turut melestarikan karena ini mempunyai
nilai penting bagi lingkungan karena mereka juga
sudah mendapatkan jasa dari kehadiran ini, anak-
anaknya bisa sekolah, kesehatan terjamin, kalau
tidak mampu bisa dititipkan di panti dsb, maka
dengan ini mereka secara spirit sangat memelihara,
mungkin secara materi punya kepentingan masing-
masing.
Di Yogyakarta sedang berkembang pesat,
termasuk lingkungan di sekitar Boro ini, selama
Bruder berada di sini, perubahan apakah yang
Bruder rasakan?
Perubahan secara bangunan tidak ada, tetapi
kalau perubahan pada awal kemerdekaan ada
pastinya. Ada beberapa dari Kota Yogyakarta
datang ke sini masih heran atau kagum, tahun
segitu (awal kemerdekaan) di daerah sini kok ada
bangunan seperti itu, lihat jenis kayunya, lihat jenis
konstruksinya bangunan yang tinggi. Pada tahun itu
kan merupakan daerah yang terpencil, transportasi
susah, kok ada bangunan seperti ini. Padahal pada
waktu itu bangunan masyarakat masih berdinding
bambu. Pada waktu diguncang gempa tahun 2006,
bangunan ini tidak apa-apa. Bangunan ini masih
asli, dinding, grendel semuanya blm diganti, lantai
tidak ada perubahan. Mereka begitu kagum.
Apa harapan bruder di bangunan warisan budaya
dan cagar budaya ini?
Bangunan ini tetap difungsikan sebagai tepat
untuk menimba kedamaian, memuliakan ALLAH.
Siapapun yang menghuni, nantinya mohon
dilestarikan sebagai tempat kedamaian hati sendiri
maupun orang lain. Mudah-mudahan nanti masih
ada generasi Bruder untuk terus melestarikan dan
berkarya di sini, siapa tahu nanti ada perkembangan
ke arah yang lebih baik kedepannya.
********
Sudah menyusuri pelosok Nusantara
Bruder Petrus Sutimin lahir di Sleman 57 tahun
yang lalu, tepatnya 28 Mei 1962. Pendidikan
terakhirnya adalah D3 Kateketik di Institut Pastoral
Indonesia (IPI) yang berlokasi di Semarang.
Setelah lulus, Bruder Sutimin dikirim ke Irian Jaya
(sekarang Papua) untuk pelayanan agama Katholik
pada masyarakat disana. Setelah 2 tahun di Irian
Jaya, kemudian Ia dikirim ke Ogan Kemering
Hulu, Sumatera Selatan. Selanjutnya dipindah ke
pedalaman Kalimantan Barat dan sejak tahun 2007
melakukan pelayanan di Gereja Santa Theresia
Liseaux Boro, Kulon Progo, DIY ini.
Menurutnya, menjadi pelayan Tuhan (dalam
hal ini menjadi Bruder) harus mengamalkan 3
syarat utama, yaitu taat, miskin, dan wadat. Miskin
artinya tidak punya apa-apa. Jadi yang ada ini milik
bersama. Yang saya punya hanya pakaian saya
pribadi. Kalau saya bekerja dan dapat gaji, uangnya
bukan untuk saya tapi masuk bendahara disini dan
untuk memenuhi kebutuhan disini. Kalau Wadat itu
tidak menikah.
Sejak pelayanan di Boro ini sudah banyak usaha
pelestarian yang Ia lakukan. Selain pelestarian fisik
bangunan, Bruder Petrus Sutimin juga melestarikan
warisan tata nilai yang ada disini, salah satunya
pelestarian kerajinan tenun yang sangat penting
bagi masyarakat sekitar dan keberlangsungan panti
asuhan serta penghidupan biara. Selama masih
diberi tugas pelayanan disini, Ia akan dengan senang
hati menjaga dan melestarikan cagar budaya yang
menjadi salah satu identitas tempat ini. •Retno

28
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
2928
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
29
Keindahan Dalam Kesakralan
Masa KlasikMasa Klasik
Yang Tersembunyi
Oleh: Rachmad Tri Wibowo
M
enilik bangunan bersejarah peninggalan masa
Hindu-Budha atau masa Klasik di Yogyakarta
pastilah yang ada dalam benak anda masyarakat adalah
Candi Prambanan, Candi Ijo, Candi Kalasan dan
Candi Sambisari. Peninggalan itu sekarang menjadi
lokasi destinasi wisata baik untuk wisatawan
domestik maupun mancanegara. Melalui
bangunan tersebut, kita dapat mempelajari
betapa pentingnya perkembangan manusia
melalui karya monumental baik dari segi sosial-
budaya, arsitektural serta religi. Namun, masih
banyak bangunan bersejarah periode Klasik
lainnya yang menawan dan perlu diketahui
serta dikunjungi. Bangunan-bangunan
yang tersembunyi tersebut
mempunyai corak keunikan sendiri
baik dari bentuk maupun
fungsinya. Candi merupakan
karya monumental hasil dari
cipta, rasa, karsa dan karya
manusia pada jamannya, yang
hingga kini dapat dijadikan
sebagai sumber ilmu pengetahuan
baik secara sosial-budaya,
arsitektur maupun religi.
Corak-corak unik, menarik
dan bermakna fi losofi s
pada masing-masing candi
membuatnya memiliki ciri
dan fungsi bahkan kesakralan
yang berbeda pula. Mari kita
mengenal beberapa candi yang
ada di DIY, antara lain :
PLATARAN
> Candi Sari
Candi merupakan salah satu Candi yang menggunakan Brajalepa, sam seperti Candi Kalasan.
PLATARAN

30
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
31
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
dengan bentuk atap yang berupa stupa, maka Candi
Sari ini berlatar belakang agama Buddha.
Candi Barong
Candi Barong terletak di Dusun Candisari, Desa
Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman. Penamaan Candi Barong oleh penduduk
setempat berkaitan erat dengan adanya hiasan kala
pada masing-masing sisi tubuh candi. Candi Barong
berlatar belakang agama Hindu pemuja Dewa Wisnu
dengan çaktinya Dewi Sri.
Keistimewaan Candi Barong antara lain tata
letak yang menunjukkan adanya kontinuitas dengan
tradisi masa prasejarah khususnya megalitikum.
Hal ini ditunjukkan oleh pola pembagian halaman
ke belakang dengan ketinggian teras berbeda serta
kedudukan bangunan inti terletak pada batur yang
tertinggi. Candi Barong didirikan di atas sebuah batu
cadas, dibangun beratap dengan titik pusat halaman
menjadi satu dengan titik pusat bangunan candi.
Candi Kedulan
Candi Kedulan terletak di Dusun Kedulan, Desa
Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten
Candi Sari
Candi Sari terletak di Dusun Bendan, Desa
Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten
Sleman. Pemilihan nama tersebut kemungkinan
didasari dari keterkaitan keindahan hiasan serta
corak gaya bangunan. Candi Sari dibangun sekitar
abad ke-8 M sezaman dengan Candi Kalasan. Candi
Sari berdenah empat persegi panjang dengan tiga
bilik serta konstruksi bertingkat dengan arah hadap
Timur, serta pada sisi sebelah timur terdapat tangga
masuk candi. Diperkirakan bahwa pembagian
bilik bawah dan atas dahulu menggunakan kayu,
karena pada bagian dinding tampak lubang yang
diduga untuk meletakkan ujung balok kayu serta
terdapat beberapa batu yang dipahat menyerong
yang diindikasikan sebagai tempat disandarkannya
tangga. Candi Sari juga dikenal menggunakan
lapisan Bajralepa, seperti Candi Kalasan. Bajralepa
sendiri merupakan lapisan semacam lepa yang
dipakai untuk melapisi bagian luar dinding candi
dengan tujuan memperhalus permukaan dinding
serta mengawetkan batu agar tidak aus. Candi Sari
sendiri merupakan sebuah bangunan wihara atau
asrama yang diperuntukan bagi para pendeta. Sesuai
> Candi Barong
Candi yang terletak di Dusun Candisari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan ini memiliki pola pembagian halaman candi yang istimewa.
PLATARAN
Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Kedulan merupakan candi yang berlatar belakang agama Hindu. Hal ini berdasarkan temuan hasil penggalian, antara lain Lingga-Yoni, Arca Nandiswara, Arca Mahakala, Arca Ganesha, Arca Agastya, Prasasti Sumundul dan Prasasti Panangaran. Dari penemuan dua buah prasasti yaitu Sumundul dan Panangaran dapat diketahui sejarah dari Candi Kedulan. Tulisan dalam prasasti menyebutkan adanya sebuah dawuhan (dam) yang dipergunakan oleh masyarakat dari 2 desa (Panangaran dan Parhyangan) yang menimbulkan kewajiban membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal manajemen irigasi dan pemanfaatannya dalam pertanian.
Secara pasti belum ditemukan data tentang kapan
pendirian Candi Kedulan namun disebutkan dalam prasasti pendirian bangunan suci Tiwagaharyyang yang berangka tahun 791 Saka atau 859 M. Apakah bangunan suci Tiwagaharyyang dimaksud adalah Candi Kedulan, hal tersebut masih menjadi sebuah misteri.
Candi Mantup
Candi Mantup secara administratif terletak
di Sampangan, Dusun Mantup, Desa Baturetno,
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Candi ini
terdiri atas tiga buah bangunan berukuran kecil yang
berjajar dari Utara ke Selatan dengan arah hadap Barat.
Candi Pertama terletak disebelah Utara dengan struktur
bangunan yang terbuat dari bata. Candi kedua terletak
ditengah dengan bahan yang terbuat dari batu putih.
Sedangkan candi ketiga terletak disebelah Selatan juga
terbuat dari batu putih.
Pada candi kedua ditemukan arca
Kalyanasundaramurti yang menggambarkan laki-laki
dan perempuan dalam posisi berdampingan yang
merupakan simbolisasi dari perkawinan Siwa dan
Parwati. Dari penemuan arca tersebut makan dapat
dikatakan bahwa latar belakang keagamaan dari
candi mantup adalah Hindu Siwaistis. Fungsi candi ini
adalah sebagai tempat untuk melangsungkan upacara
pernikahan dengan tujuan upacara yang dilakukan
dibangunan suci agar memperoleh berkah dari dewa.
Harapannya dari meng-ekspose bangunan-bangunan
tersebut agar masyarakat semakin mengetahui kekayaan
warisan budaya sendiri, sehingga dapat lebih mudah
untuk mempelajari dan memahami tentang kehidupan
pada masa lalu yang nantinya dapat berimbas sebagai
modal untuk memperkokoh jati diri bangsa. •
Rachmad
Sumber Bacaan
Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. Selayang Pandang
Candi-Candi di Yogyakarta. Cetakan keempat, Maret
2016.
^ Candi Kedulan (atas)
Candi yang merupakan bukti masyarakat pendukungnya telah mengenal sistem manajemen irigasi dan pemanfaatannya dalam pertanian.
^ Candi Mantup (bawah)
Candi berlatarbelakang agama Hindu ini dahulu berfungsi sebagai tempat melangsungkan upacara pernikahan.
PLATARAN

32
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
3332
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
33
v Kegiatan Rehabilitasi Masjid Pathok Negara Dongkelan pada
tahun 2015
> Kegiatan Rehabilitasi Masjid Besar Pura Pakualaman pada
tahun 2017
PAGELARAN
PELESTARIAN BANGUNAN IBADAH OLEH DINAS KEBUDAYAAN DIY
Oleh: Bhaskara Ksatria, S.T
^ Masjid Pathok Negara Plosokuning setelah direhabilitasi pada tahun 2017
< Masjid Girigondo, Kulon Progo Sedang direhabilitasi pada tahun 2016
PAGELARAN

34
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
35
dan pemugaran.
Sebagai instansi yang bertanggung jawab di
bidang pelestarian budaya maka Dinas Kebudayaan
DIY telah melakukan pemeliharaan dan pemugaran
sejumlah tempat ibadah yang ada di DIY. Pemugaran
yang biasanya dilakukan berbentuk rehabilitasi,
karena sifat penanganan yang parsial pada bagian
yang dinilai perlu dilakukan perbaikan. Rehabilitasi
bangunan ibadah yang dilakukan oleh Dinas
Kebudayaan DIY dilakukan terutama untuk bangunan
ibadah yang dimiliki atau berhubungan erat dengan
Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman.
Beberapa rehabilitasi yang dilakukan pada
bangunan masjid yang berhubungan dengan Kraton
Yogyakarta antara lain adalah :
S
esuai dengan Undang-undang Cagar RI No. 11
Th. 2010 tentang Cagar Budaya, maka salah
satu nilai penting dari dasar ditetapkannya suatu
bangunan menjadi bangunan cagar budaya adalah
agama. Nilai penting yang lain adalah sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan dan/atau kebudayaan.
Dengan demikian maka sejumlah bangunan
tempat ibadah ditetapkan sebagai bangunan cagar
budaya karena memiliki nilai penting keagamaan
dan juga memenuhi syarat lainnya, antara lain
berusia lebih dari 50 tahun. Cagar budaya yang
ada perlu dilestarikan dengan cara dilindungi,
dikembangkan dan dimanfaatkan. Untuk mencegah
dan menanggulangi cagar budaya dari kerusakan,
kehancuran atau bahkan musnah maka dilakukan
berbagai tindakan antara lain berupa pemeliharaan
2. Masjid Pathok Negoro Plosokuning
Masjid ini terletak di Jalan Plosokunung Raya,
Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik Kabupaten
Sleman. Masjid ini relatif tidak banyak perubahan
dari bentuk aslinya dibandingkan dengan 3 masjid
pathok negoro lainnya. Meskipun demikian kegiatan
rehabilitasi untuk memperbaiki bagian-bagian yang
rusak tetap dilakukan. Pada tahun 2016 Dinas
Kebudayaan DIY melakukan kegiatan rehabilitasi
pada bangunan induk, bangunan pawestren (tempat
jemaah perempuan) sisi utara, bangunan pawestren
sisi selatan, bangunan serambi dan kanopi,
bangunan KM/WC sisi utara dan bangunan KM/
WC sisi selatan. Pada semua bangunan dialkukan
pekerjaan penggantian genteng bubungan, genteng,
talang, penggantian lantai, pekerjaan instalasi listrik
dan pekerjaan pengecatan.
1. Masjid Pathok Negoro Dongkelan
Masjid ini terletak di Desa Tirtonirmolo,
Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Pada tahun
2015 dilakukan kegiatan rehabiltiasi oleh Dinas
Kebudayaan DIY. Pekerjaan rehabilitasi dilakukan
pada bangunan induk, bangunan serambi, bangunan
sisi selatan, bangunan sisi utara dan bangunan
menara air. Penggantian genteng bubungan, genteng
dan sebagian rangka atap, penggantian talang
air hujan, pekerjaan pengecatan dan perbaikan /
pemasangan instalasi listrik dilakukan pada semua
bangunan. Pada bangunan serambi dilakukan juga
penggantian lantai dari lantai keramik menjadi tegel
warna ukuran 20 x 20 cm.
PAGELARAN
3. Masjid Pathok Negoro Mlangi
Masjid ini terletak di Dusun Mlangi, Desa
Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten
Sleman. Pada tahun 2012 dilakukan kegiatan
rehabiltiasi oleh Dinas Kebudayaan DIY. Pada
tahun tersebut pekerjaan yang dilakukan adalah
mengembalikan ke tampilan dan bentuk semula
dari masjid ini dengan mengambil model dari
masjid pathok negoro yang lain yaitu Masjid
Pathok Negoro Plosokuning. Pada tahun 2012
ini pekerjaan dilakukan di bangunan induk dan
di bangunan pawestren. Jenis pekerjaan yang
dilakukan antara lain pembongkaran bangunan
lama, penggantian struktur bangunan dari
struktur beton bertulang menjadi struktur kayu,
penggantian pintu dan jendela, pemasangan lantai
tegel untuk mengganti lantai keramik, pekerjaan
instalasi listrik dan pekerjaan pengecatan. Pada
tahun 2013 dilakukan rehabilitasi lanjutan masjid
ini yaitu pada bangunan serambi dengan jenis
pekerjaan yang dilakukan sama dengan pada
tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 dilakukan
rehabilitasi pada bangunan Bale Sisi Utara,
bangunan Bale Sisi Selatan, bangunan KM/WC sisi
selatan, bangunan KM/WC sisi utara, pengembalian
jagang dan penataan halaman. Pengembalian
jagang dilakukan dengan mengambil contoh pada
bangunan masjid Pathok Negoro Plosokuning
berdasarkan data tertulis maupun lisan dan juga
analisis setelah melakukan penggalian pada lokasi
yang diduga bekas jagang masjid.
4. Masjid Mataram Kotagede
Masjid ini terletak di Desa Jagalan, Kecamatan
Banguntapan, Kabupaten Bantul. Pada tahun
2015 dilakukan kegiatan rehabiltiasi oleh Dinas
Kebudayaan DIY. Pekerjaan dilakukan pada
bangunan utama, serambi, pawestren, emper kiwo,
pawudhon (tempat wudhu) putra dan pawudhon
putri. Jenis pekerjaan yang dilakukan antara lain :
penggantian rangka atap yang rusak, penggantian
atap dari genteng metal dan genteng kodok menjadi
atap sirap metal, penggantian talang, perbaikan
pintu dan jendela, pekerjaan instalasi listrik dan
pekerjaan sanitasi. Pada tahun 2016 pekerjaan
rehabilitasi dilanjutkan pada beberapa bagian yang
memang tidak bisa dianggarkan maupun dikerjakan
pada tahun 2015.
^ Masjid Pathok Negara Mlangi dengan bentuk hasil rekonstruksi pada tahun 2012
PAGELARAN

36
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
37
Beberapa rehabilitasi yang dilakukan pada
bangunan masjid yang berhubungan dengan Pura
Pakualaman antara lain adalah :
1. Masjid Besar Puro Pakualaman
Masjid ini terletak di Jalan Masjid, Kelurahan
Gunungketur Kecamatan Pakualaman, Kota
Yogyakarta. Pada tahun 2016 dilakukan kegiatan
rehabiltiasi oleh Dinas Kebudayaan DIY dengan
sasaran pada bangunan bangunan induk dan
bangunan serambi tengah. Pada tahun 2017
pekerjaan rehabilitasi dilakukan pada bangunan
utama, bangunan serambi tengah, bangunan serambi
depan, bangunan tempat wudhu, bangunan kamar
mandi, gapura dan penataan halaman. Pada tahun
2016 pekerjaan yang dilakukan antara lain pada
penggantian atap dari genteng menjadi sirap metal,
penggantian sebagian rangka atap dan penggantian
plafon yang rusak. Selain itu di bangunan utama
dilakukan perkuatan pada kolom dengan kain serat
karbon dan perkuatan pada dinding dengan plat
beton dinding dengan tebal 10 cm. Perkuatan dinding
ini dimaksudkan untuk mencegah kerusakan pada
jendela karena menahan berat dinding. Pada tahun
2017 dilakukan pembongkaran pada serambi depan
yang berupa bangunan berstruktur beton bertulang
5. Masjid Giriloyo
Masjid ini terletak di Dusun Cengkehan, Desa
Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.
Pada tahun 2019 dilakukan kegiatan rehabiltiasi oleh
Dinas Kebudayaan DIY. Pekerjaan yang dilakukan
antara lain: perbaikan pada genteng penutup
atap yang rusak diganti dengan yang baru, rangka
atap (usuk, reng dan balok) yang rusak diperbaiki
atau diganti baru sesuai dengan hasil penilaian di
lapangan, dan perbaikan dinding yang rusak.
^ Atap Masjid Gedhe Mataram Kotagede yang telah dibongkar ketika rehabilitasi tahun 2015
< Proses pengecatan pada saat Rehabilitasi Masjid Besar Pakualaman Tahun 2017
PAGELARAN
dengan arah bubungan atap tegak lurus jalan di depannya untuk diganti dengan bangunan berstruktur kayu dengan arah bubungan atap sejajar jalan di depannya. Perubahan ini untuk menyesuaikan dengan tampak depan bangunan masjid bergaya arsitektur jawa.
2. Masjid Trayu
Masjid ini terletak di Desa Trayu,
Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo.
Pada tahun 2015 dilakukan kegiatan
rehabiltiasi oleh Dinas Kebudayaan DIY .
Pekerjaan dilakukan pada bangunan induk,
serambi, tempat wudhu, kamar mandi
/ WC, dan bangunan pendukung. Pada
bangunan induk antara lain dilakukan
penggantian reng kayu, sebagian usuk kayu
yang rusak, pembersihan genteng yang
rusak dan pemasangan talang. Dilakukan
juga penggantian pintu dan jendela serta
perbaikan pada tiang kayu yang rusak. Pada
bangunan serambi yang terbuat dari beton
dibongkar untuk diganti dengan struktur
kayu dan pemasangan plafon.
Penghargaan
Selain kegiatan rehabilitasi, Dinas
Kebudayaan DIY juga melakukan pemberian
penghargaan kepada pengelola sejumlah
bangunan tempat ibadah. Pada tahun
1999 penghargaan diberikan kepada Gereja
Kristen Protestan Indonesia bagian Barat
(GPIB) Marga Mulya di Jl. Margomulyo,
Yogyakarta. Pada tahun 2000 kepada Masjid
Margoyuwono di Jl. Langenastran Lor,
Yogyakarta, dan Gereja Katolik Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran, di Bambanglipuro,
Bantul. Pada tahun 2004 penghargaan
diberikan kepada Gereja Katolik Santa
Maria Lourdes Promasan di Kalibawang,
Kulon Progo dan pada tahun 2005 kepada
Klenteng Poncowinatan di Jl. Poncowinatan,
Yogyakarta. Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan
Yesus Pugeran di Jl. Suryaden, Yogyakarta,
dan Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru
di Jl. Abubakar Ali Yogyakarta menerima
penghargaan pada tahun 2010. Selanjutnya
pada tahun 2011 penghargaan diterima oleh
Gereja Katolik Santo Yusuf Bintaran di Jl.
Bintaran Kidul, Yogyakarta dan pada tahun
2015 diterima oleh Gereja Kristen Jawa
Wates di Jl. Bhayangkara, Wates, Kulon
Progo.
^ Foto Masjid Trayu setelah di rehabilitasi tahun 2015
^ Penganugerahaan Penghargaan bagi Pelestari Cagar Budaya
Bhaskara Ksatria, S.T
Bhaskara Ksatria tercatat
sebagai PNS di Disbud DIY sejak 2009. Latar belakang pendidikan S1 di Arsitektur UGM serta Management Konstruksi menjadi bekalnya dalam menulis beberapa artikel. Ditambah kegemaran akan perkembangan desain dan material bangunan mendorong Dadang, begitu ia akrab dipanggil, untuk menulis mengenai bangunan-bangunan warisan budaya dan cagar budaya.
PAGELARAN

38
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
3938
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
39SRAWUNG
Jelajah Masjid
Di Daerah Istimewa Yogyakarta
dari ornamen batu alam yang ditempel pada
ambang bawah jendela dan penggunaan
material kayu pada jendela dan pintu. Selain itu
sebagai masjid nasional yang di bangun tidak
lama setelah Kemerdekaan Indonesia Masjid
Syuhada’ dalam setiap elemen bangunanya
juga didasarkan oleh tanggal Kemerdekaan
Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus
1950, mulai dari tujuh belas anak tangga pada
pintu utama masjid di bagian timur, delapan segi
tiang gapura, empat kupel dibawah, dan 5 kupel
diatas. Selain itu dari segi makna islam yang
diwujudkan dalam elemen bangunan Masjid
Syuhada’ dilengkapi 20 jendela yang diharapkan
menjadi peringatan 20 sifat Allah SWT dan di
lantai dua untuk ruang sholat terdapat dua tiang
yang seolah-olah menyangga bangunan yang
menggambarkan dua buah iktikad manusia.
Masjid Syuhada’ merupakan bangunan
dengan gaya arsitektur Timur Tengah dan
sentuhan Indis sangat unik dan mencolok di
kawasan Kota Baru. Setelah kawasan Kota Baru
ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya oleh
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masjid
ini mencolok dengan gaya arsitektur bangunan
disekitarnya yang bergaya khas Indis. Mulai dari
gaya arsitektur Indis dengan atap khas limasan/
pelana dengan material penutup genteng tanah
lihat justu Masjid Syuhada tidak memiliki atap,
namun dengan kubah dan atap datar dengan
material alumunium di selasar lantai 2 masjid.
Selain itu gaya arsitektur Indis lainya dengan
jendela dan pintu khas pintu panil dengan
kombinasi krepyak dan kaca, justru Masjid
Syuhada’ menggunakan bentuk profi le pintu
jendela khas arsitektur timur tengah dengan
bentuk lengkungnya. Namun dari segi gaya
arsitektur Indis Bangunan Masjid Syuhada’
dapat diwujudkan dari segi material pintu dan
jendela kayu khas Indis dan ornamen batu alam
dibawah ambang jendela.
Masjid Syuhada’ di Kawasan Indis Kota Baru
Masjid di Jalan I Dewa Nyoman Oka No. 3
Kota Baru Yogyakarta merupakan masjid nasional
sekaligus masjid berstatus Bangunan Cagar Budaya
yang dibangun selain sebagai tempat ibadah umat
Islam di Yogyakarta juga sebagai monumen sejarah
untuk memperingati pahlawan yang gugur syahid
mempertahankan proklamasi Kemerdekaan RI
sekaligus sebagai asal usul nama Masjid Syuhada’
berarti pahlawan. Masjid ini di prakarsai oleh
Mr. Asaat dan peletakan batu pertama serta
penetapan arah kiblat dilakukan oleh Sri Sultan
Hamenkubuwono ke IX yang ketika itu selaku
Mentri Pertahanan Republik Indonesia pada tanggal
23 September 1950 atau 11 Dzulhijah 1369 yang
bertepatan dengan Hari Raya Qurban. Masjid ini di
bangun selama 2 tahun dan selesai pada tanggal
20 September 1952 yang bertepatan pada Tahun
Baru Hijriyah , 1 Muharram 1372.
Masjid yang umumnya khas dengan gaya
arsitektur khas Timur Tengah dengan kubah dan
menaranya, Masjid Syuhada’ juga memiliki kubah
yang mengambil bentuk-bentuk bangunan yang
berkembang di Persia dan India. Namun selain
gaya arsitektur khas Timur Tengah Masjid Syuhada’
juga memperpadukan gaya arsitektur Indis yaitu
perpaduan indonesia dan kolonial, yang diwujudkan
SRAWUNG
Semar tinandhu, dihalaman depan terdapat sepasang bangunan pagong untuk tempat Gamelan Sekaten, Mustakanya dihiasi stilasi bunga, daun kluwih, dan penggada. Di halaman terdapat tanaman pohon sawo Kecik, dan masih mempunyai maksurah meskipun tidak difungsikan lagi. Sebagai bangunan suci komponen Masjid Gedhe Kraton selain sebagai fungsional juga sebagai aspek simbolik. Misalnya atap tumpang tiga yang bermakna Iman-Islam- Ikhsan dan atap tumpang yang menyatu di satu titik melambangkan ke-Esa-an Allah SWT.
Masjid Gedhe Kraton sebagai Masjid Jami
kerajaan mempunyai fungsi sebagai tempat beribadah, tempat upacara keagamaan, pusat syiar agama, dan tempat penegak tata hukum keagamaan. Seluruh komplek Masjid Gedhe Kraton dikeliling oleh pagar tinggi dan disebelah utaranya terdapat Dalem Pengulon yaitu tempat tinggal kantor abdi dalem Penghulu. Masjid ini selain indah dari segi arsitekturalnya karena masih mempertahankan dari khas masjid- masjid kuno jawa sampai saat ini, juga sangat religus karena masih mempertahankan nilai- nilai keagamaan dan mempertahankan acara keagamaan di acara tahunan tertentu.
Masjid Gedhe Kraton
Masjid yang berada di sebelah barat Alun-Alun
Utara dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan arsitek Kanjeng Tumenggung Wiryokusumo. Secara umum Masjid Gedhe Kraton sama dengan masjid-masjid kuno lain di Jawa. Yaitu dengan beratap tumpang tiga dengan mustaka, berdenah bujur sangkar, mempunyai serambi, pawestren, serta mempunyai kolam di tiga sisi masjid.
Masjid Gedhe Kraton ini memiliki ciri unik,
antara lain mempunyai gapura dengan berbentuk
saat Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia, Masjid Margoyuwono sering digunakan sebagai tempat ibadah para mentri dan para pembesar yang ada di Yogyakarta.
Sama seperti masjid-masjid kuno jawa
lainya Masjid Margoyuwono juga menggunakan atap tajuk tumpang tiga pada bangunan utama masjid dan atap pelana pada bangunan serambi. Namun yang unik dari masjid ini walaupun mengadopsi dari gaya arsitektur masjid-masjid jawa kuno juga ada sentuhan dari khas masjid timur-tengah yaitu dengan menggunakan ornamen lengkung antar kolom dan ventilasi yang lingkaran. •
Nasrullah
Sumber Bacaan http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/
masjid/500/
Buku Profl e “Yogyakarta City Of Philosophy”,
2017, Penerbit: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
bpcbyogyakarta/masjid-margoyuwono/
Masjid Margoyuwono
Masjid Margoyuwono terletak di Jalan
Langenastran No. 9, Kraton, Yogyakarta. Masjid ini terletak di dalam njeron beteng kraton yang berada di dalam kawasan cagar budaya juga masjid ini sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Masjid ini didirikan pada tanggal 29 Agustus 1943 yang bertepatan tanggal 28 Maulud 1874. Pada masa kemerdekaan

40
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
4140
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
41
Melihat Dari Dekat
Masjid Pathok Negara
Dongkelan
Oleh: Tugas Tri Wahyono
Kawruh
Y
ogyakarta sebagai Kota Budaya memiliki berbagai tradisi
yang beragam dan peninggalan kuno yang bernilai sejarah
tinggi. Salah satu peninggalan sejarah yang masih terawat dengan
baik dan masih digunakan hingga kini adalah Masjid Pathok
Negara Dongkelan. Keberadaan Masjid Pathok Negara Dongkelan
dapat dikategorikan sebagai salah satu penanda keistimewaan
Yogyakarta yang memberikan identitas kuat terkait sejarah,
budaya-tradisi, kehidupan sosial, dan kehidupan keagamaan
bagi masyarakat Yogyakarta, seperti yang tertulis pada Jurnal
Arsitektur dan Perencanaan. Vol. 2.
Albiladiyah dalam papernya berjudul “Sekilas tentang
Pathok Negara” mengatakan, Masjid di Kesultanan Yogyakarta
berdasarkan statusnya dibedakan atas Masjid Agung atau Masjid
Gedhe, dan Masjid Kagungan Dalem. Masjid Agung hanya satu
buah, sedangkan Masjid Kagungan Dalem merupakan masjid
milik raja atau sultan yang berjumlah lebih dari satu yang terdapat
di berbagai daerah wilayah Kesultanan Yogyakarta. Masjid
Kagungan Dalem atau disebut juga Masjid Sulthoni berdasarkan
catatan di Kawedanan Pengulon Keraton Yogyakarta tahun 1981
berjumlah 78 buah.
Lokasi Masjid Pathok Negara Dongkelan berada di Dusun
Kauman Dongkelan, Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan,
Kabupaten Bantul. Masjid ini sekarang dikenal dengan nama
Masjid Nurul Huda.
Kawruh

42
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
4342
Kyai Komari. Dalam catatan Tim Ahli Cagar Budaya
(TACB) Kabupaten Bantul, masjid dipugar kembali
pada tahun 1948 untuk menambahkan serambi
yang semula hanya berupa selasar. Berdasarkan
SK. Bupati No. 604 Tahun 2018, Masjid Pathok
Negara Dongkelan telah ditetapkan oleh Bupati
Bantul sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat
Kabupaten.
Asal Usul Penyebutan Pathok Negara
Menurut Albiladiyah, sebutan pathok negara
di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton
Ngayogyakarta (semacam Deperteman Agama)
merupakan jabatan abdi dalem yang membantu
penghulu hakim di Pengadilan Surambi. Jabatan
itu diberikan oleh Sultan kepada seseorang yang
dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama
Islam atau syariah. Pathok negara juga bisa berarti
masjid, karena ulama yang menduduki jabatan
Sejarah
Masjid Pathok Negara Dongkelan dibangun pada
tahun 1775 M oleh Kyai Syihabuddin atas perintah
Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Masjid
ini dibangun di atas tanah perdikan yang diberikan
oleh Sultan Hamengku Buwana I. Pada masa Perang
Diponegoro (1825-1830), Masjid Pathok Negara
Dongkelan pernah dijadikan basis pasukan Pangeran
Diponegoro. Oleh karena itu, masjid tersebut
kemudian menjadi sasaran perang dan akhirnya
dibakar oleh Belanda. Masjid dibangun kembali
setelah perang berakhir. Di atas masjid dipasang
kembali mustaka asli dari tanah liat berukuran 70
cm x 45 cm yang dihiasi ornamen sulur dan ornamen
menyerupai wajah manusia.
Masjid Pathok Negara Dongkelan mengalami
pemugaran pada tahun 1901. Pemugaran ini
mengganti mustaka tanah liat asli dengan mustaka
yang terbuat dari seng (kuningan) berbentuk gada
bersulur. Mustaka tanah liat kini disimpan di rumah
^ Masjid Pathok Negara Dongkelan
Masjid yang terletak di Dusun Dongkelan, Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul tersebut dibangun pada tahun 1775 M.
Saat ini Masjid Pathok Negara Dongkelan masih terjaga kelestariaannya, walaupun ada beberapa bagian yang sudah berubah.
Kawruh
memiliki nama lain yang lebih dikenal di masyarakat Dongkelan, yaitu Masjid Nurul Huda, seperti catatan tim TACB Kab. Bantul.
Riwayatmu Kini
Masjid Pathok Negara Dongkelan pernah
mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran
terakhir dilakukan pada tahun 2016 dengan tujuan
mengembalikan bentuk masjid seperti semula.
Menurut keturunan ketujuh dari Kyai Syihabuddin
(pendiri masjid), masjid ini dahulunya memiliki atap
tumpang tiga. Namun saat ini masjid hanya memiliki
atap tumpang satu.
Bangunan utama masjid berbentuk persegi
panjang dengan ukuran 14,40 m x 9,38 m. Masjid
ditopang dengan empat buah saka guru yang didirikan
di atas umpak batu andesit tanpa motif hias. Mihrab
masjid berbentuk melengkung atau semi-circular
dan memiliki satu jendela kayu berdaun dua dengan
teralis kayu di dinding barat.
sebagai pathok negara umumnya juga mengurusi
atau mengelola masjid. Mengutip tulisan R. Aris
Hidayat dalam Jurnal Analisa, Vol. XVII, Pathok
Negara juga bisa berarti status sebuah desa.
Untuk kepentingan syiar agama Islam, maka di
berbagai daerah di wilayah Yogyakarta, didirikanlah
masjid-masjid yang kemudian disebut dengan masjid
kagungan dalem, artinya masjid milik raja atau masjid
sulthoni. Menurut catatan (arsip) yang tersimpan di
Perpustakaan Widyabudaya, menyebutkan bahwa
abdi dalem pathok negara Kawedanan Pangulon itu
oleh Sultan ditempatkan di Mlangi, Sleman (barat),
Plosokuning, Sleman (utara), Dongkelan, Bantul (
selatan), dan Babadan, Bantul (timur).
Di tempat-tempat itulah pathok negara yang
termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon
bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan
dalam masyarakat masjid “milik raja” (masjid
kagungan dalem) yang ditanganinya. Walaupun
masjid kagungan dalem cukup banyak, namun
hanya empat masjid yang ditangani oleh pathok
negara. Begitu eratnya hubungan antara abdi dalem
pathok negara dengan masjid, maka oleh masyarakat
masjid-masjid itu dinamakan masjid pathok negara .
Versi lain mengenai sebutan masjid pathok
negara dikemukakan oleh Indal Abror dalam
artikelnya “Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Masjid
Pathok Negoro”, bahwa Nagari Ngayogyakarta
adalah ibukota kasultanan yang terbentang di antara
dua sungai besar, yaitu Kali Code dan Kali Winongo.
Kedua sungai itu secara efektif menjadi batas timur
(Kali Code) dan batas barat (Kali Winanga) Nagari
Ngayogyakarta. Kesulitannya adalah ketika hendak
membuat batas utara dan selatan karena tidak ada
penanda alam yang bisa secara tegas dijadikan
batas. Jalan keluar dari permasalahan tersebut
adalah dengan membuat tapal batas berupa tonggak
atau pathok. Dalam perwujudannya pathok tersebut
bukan berupa batu, menhir, ataupun tugu, namun
dalam bentuk bangunan fungsional berupa masjid,
sehingga masjid-masjid itu disebut sebagai masjid
pathok negara.
Masjid Pathok Negara Dongkelan, sesuai
namanya, merupakan salah satu dari empat masjid
dengan status pathok negara. Masjid ini juga
> Bedug Masjid Pathok Negara Dongkelan (Atas)
Bedug merupakan salah satu komponen yang selalu ada di Masjid.
> Mihrab Masjid Pathok Negara Dongkelan (Bawah)
Selain Bedug, mimbar juga merupakan komponen utama yang ada di sebuah Masjid.
Kawruh

44
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
45
> Makam Kyai Syihabuddin
Pada bagian barat masjid terdapat Makam
pendiri Masjid Pathok Negara Dongkelan,
yaitu Kyai Syihabuddin.
Kawruh
Tugas Tri Wahyono
Lahir 54 tahun yang lalu di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Menyelesaikan pendidikan S-1 selama enam tahun (1985-1991) pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tahun 1993 hingga sekarang tercatat sebagai PNS Kemendikbud (Staf Peneliti) di Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY.
Di sisi kanan dan kiri mihrab terdapat
masing-masing sebuah jendela dengan dua daun jendela berteralis kayu. Atap ruang utama masjid berbentuk tumpang satu yang ditutup dengan mustaka berbentuk gada bersulur. Langit-langit masjid dibagi menjadi empat bidang, masing- masing dihias dengan padma yang dikelilingi empat pasang tombak rangkap. Batas antara tumpang pertama dan kedua dipasangi ventilasi kaca berjumlah dua belas buah.
Di sebelah utara dan selatan ruang utama
terdapat pawestren yang saat ini tidak lagi
digunakan untuk salat, melainkan difungsikan untuk gudang. Lantai pawestren lebih rendah daripada lantai ruang utama masjid.
Pintu menuju pawestren dari ruang utama
masjid berjumlah dua buah. Pintu sisi barat terbuka tanpa daun pintu dan berbentuk melengkung atau semi-circular. Pintu di sisi timur berdaun dua dan berbentuk persegi panjang. Di antara dua pintu pawestren terdapat satu jendela berdaun dua dengan teralis kayu.
Atap serambi Masjid Pathok Negara Dongkelan
berbentuk limasan. Serambi ditopang oleh delapan buah tiang yang didirikan di atas umpak batu andesit berpola hias padma ganda. Di serambi terdapat bedug kayu nangka yang dibuat pada tahun 1900, yang kemudian direhab kembali pada tanggal 1 Januari 2004. Saat ini bedug masih difungsikan.
Di sebelah barat masjid terdapat kompleks
makam. Kompleks makam memiliki pintu gerbang berbentuk lengkung atau semi-circular stilted.
Bagian atas gerbang berbentuk ornamen mahkota, dan sisi kanan kirinya dihias dengan ornamen. Di kompleks makam ini terdapat beberapa makam tokoh penting, antara lain: Kyai Syihabuddin (pendiri Masjid Pathok Negara Dongkelan dan cikal bakal Desa Dongkelan), Kyai Ali Maksum, dan K.H. Ahmad Warson Munawir (pimpinan Pondok Pesanten Krapyak).
Sumber Bacaan
Abror, Indal. 2016. “Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya
Masjid Pathok Negoro”, dalam Jurnal Esensia.
Vol. 17, No. 1, April. Yogyakarta: Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga.
Albiladiyah, Samrotul Ilmi. 2006. “Sekilas tentang
Pathok Negara”, dalam JANTRA: Jurnal Sejarah
dan Budaya. Vol. I, No. 1, Juni. Yogyakarta:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
Hadi N, Ardiyanto dan M. Sani Roychansyah.
2019. “Menggali Identitas Kawasan Masjid Pathok Negoro Plosokuning Berdasarkan Collective Memory”, dalam Jurnal Arsitektur dan Perencanaan. Vol. 2, No. 1, Februari. Yogyakarta: Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM.
Hidayat, R. Aris. 2011. “Masjid sebagai Pelestari
Tradisi (Kajian Fungsi Masjid Wonokromo Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Historis)”. Dalam Jurnal Analisa, Vol. XVII, No. 02, Juli- Desember. Semarang: Balai Penelitian dan Penembangan Agama.
Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Bantul. 2018.
Naskah Rekomendasi Penetapan Masjid Pathok Negara Dongkelan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Kabupaten. Bantul: Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Bantul.
Kawruh

46
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
4746
Gereja
Manisnya Inkulturasi
Budaya Dalam
Bingkai Religi
Tinggalan Kompeni
Oleh: F. Rudy Wijayanto
Ganjuran
P
erkembangan pesat penyebarluasan agama Katolik baru terjadi pada abad ke-19, ketika
agama Protestan tidak lagi dominan pengaruhnya sehingga berbagai gerakan misionaris Katolik mulai bermunculan di Pulau Jawa. Agama ini dengan latar belakang budaya barat melakukan pendekatan melalui kegiatan sosial dan kesehatan dengan mendirikan rumah sakit, kegiatan pendidikan dengan mendirikan sekolah- sekolah gratis. Pendekatan penyebaran agama secara humanis ini merupakan upaya agar Agama Katolik dapat diterima dengan terbuka oleh rakyat pribumi. Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah mendirikan bangunan-bangunan gereja. Di Yogyakarta gereja pertama yang dibangun adalah Gereja Santo Fransiscus Xaverius atau orang lebih mengenal dengan Gereja Kidul Loji Tahun 1871. Dalam perkembanganya banyak orang-orang pribumi yang memeluk agama Katolik, sehingga banyak didirikan gereja katolik di Yogyakarta, yang peruntukannya tidak lagi hanya untuk orang Eropa saja, tapi juga untuk pribumi yg telah memeluk agama
^ Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran saat ini bentuknya sudah berubah. Perubahan bentuk tersebut terjadi setelah gempa melanda
Yogyakarta pada tahun 2006 silam.
TEBENG
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
inkulturasi berupa perubahan pada arsitektur dan interiornya yang disesuaikan dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat, Inkulturasi budaya Jawa pada bangunan gereja ini mempunyai maksud agar dapat mempermudah umat pribumi dalam menghayati Tuhan. Proses Inkulturasi budaya Jawa pada bangunan gereja-gereja Katolik di Yogyakarta dilakukan dalam waktu yang tidak sebentar, proses ini dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan friksi baik dari pandangan agama Katolik maupun umat yang berlatar budaya Jawa. Di Yogyakarta Inkulturasi budaya pada bangunan gereja banyak ditemukan pada bangunan gereja Katolik yang didirikan pada masa awal perkembangan agama Katolik, yaitu masa kolonial periode tahun 1920 sampai 1930an, dimana umat Katoliknya memiliki adat tradisi Jawa yang kuat.
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ini
tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan Pabrik Gula Gondang Lipuro (pegawa pabrik merupakan cikal bakal umat Gereja Ganjuran). Sebagai pengelola pabrik Gondang Lipuro, Schmutzer bersaudara memprakarsai pembanguan Gereja Ganjuran pada tahun 1924 dengan di bantu oleh
Katolik. Persinggungan antara budaya barat yang mendasari ajaran agama katolik dengan budaya lokal mengakibatkan cara penghayatan umat dalam beribadah di setiap daerah mengalami perbedaan sesuai dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. karena itu, baik pelaksanaan ritual liturgi maupun aspek fi sik dan non fi sik bangunan gereja sebagai sarana peribadatan umat juga mengalami perubahan dan disesuaikan kebutuhan umat pribumi yang memiliki latar belakang budayanya sendiri.
Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Fransicus Van
Lith merupakan tokoh sentral penyebaran agama Katolik dengan cara mempribumikan teologi agama Katolik, sehingga sering kita jumpai pemasukan nilai-nilai budaya Jawa dalam menjalankan ibadah dan ajaran agama Katolik, atau dengan kata lain agama Katolik yang berasal dari barat kemudian dapat menjawakan dirinya. Keadaan semacam inilah yang disebut dengan istilah inkulturasi. pengertian inkulturasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Bangunan peribadatan atau gereja-gereja, dalam hal ini gereja di wilayah Yogyakarta, mengalami
> Candi di Ganjuran
Di Gereja Ganjuran terdapat 1 bangunan berbentuk Candi.. Bangunan tersebut merupakan Monumen Hati Kudus Ganhuran
TEBENG

48
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
49
meneguhkan keberadaan gereja ini. Gereja Ganjuran
yang merupakan cagar budaya juga diharapkan
dapat menjadi penanda agar keberadaan bangunan
dan lingkungan sekitar dapat di jaga terus kelestarian
dan keberlanjutanya.
Sumber Bacaan:
Soekiman, Djoko, Prof. Dr. 2000. Kebudayaan Indis
dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX.
Yogyakarta: Bentang Budaya
Hans J Daeng, Gereja Katolik Daerah Istimewa
Yogyakarta 1995. Gereja dan Masyarakat :
Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta,
Yogyakarta.
Susantina, Sukatmi,2012. Unsur-unsur Kesenian
Jawa dalam Inkulturasi Gereja Katolik Kevikepan
Daerah Istimewa Yogyakarta Perspektif Aksiologi.
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Buletin Narasimha No 02/ 2009, Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
JYH Van Oyen seorang arsitek Belanda. Secara
arsitektur Gereja ini bergaya jawa (dengan denah
axial bouw) dibangun satu komplek dengan rumah
sakit, sekolah dan banguna menyerupai candi kecil
dengan lambang-lambang agama katolik (Monumen
Hati Kudus). Tampak depan gereja ganjuran berupa
sebuah pendopo joglo yang berpatron pada keraton
yogyakarta, lengkap dengan hiasan ukiran Jawa,
termasuk ukiran nanas pada tiang-tiang gereja, serta
ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan.
Peralatan peribadatan seperti altar, doopvon (wadah
air untuk membaptis), Cathechumennen (tempat
penginjil) semua berhiaskan ragam jawa, disebelah
kanan kiri altar juga terdapat patung malaikat
berbusana tokoh wayang orang sedang menyembah.
Selain itu empat tiang kayu jati bergaya Jawa yang
menopang atap berbentuk tajug menggambarkan
empat penulis Injil, yakni Matius, Markus, Lukas,
dan Yohanes. Gaya Jawa juga terlihat pada relief
Yesus yang digambarkan sebagai raja Jawa yang
bertahta di singgasana. Pada bagian bawah relief
ini terdapat tulisan Sang Maha Prabu Jesus Kristus
Pangeraning Para Bangsa. Tidak hanya unsur jawa
tetapi unsur Hindu-Budha yang jauh lebih dulu
dikenal dan dekat dengan masyarakat pribumi
sebelum masuknya ajaran katolik juga dapat kita
lihat pada Monumen Hati Kudus (Candi Kecil
dengan lambang dan ornamen katolik) yang berada
satu komplek dengan gereja. Sedangkan Ciri gaya
Eropa pada banguan gereja ini tetap dapat dilihat
melalui atap yang berbentuk tajug (Piramida) dihiasi
salib besar,ini dapat terlihat jika dilihat dari udara.
Selain dalam segi arsitektur tata cara liturgi misa
pada jadwal-jadwal tertentu menggunakan bahasa
jawa dengan diiringi alunan gamelan.
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
yang terletak di jalan Ganjuran, Sumbermulyo,
Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta ini beberapa
kali mengalami pemugaran salah satunya pada
tahun 2006 ketika Yogyakarta dilanda gempa
bumi, bangunan pada komplek gereja ganjuran ini
mengalami kerusakan. Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta memberikan perhatian yang khusus dan
ikut turun langsung dalam pemulihan bangunan-
banguan di komplek gereja ganjuran.
Bangunan Geraja Ganjuran yang jauh dari pola
arsitektur barat pada umumya masa kolonial,
merupakan salah satu bukti terjadinya Inkulturasi
budaya jawa dan agama katolik, Inkulturasi itu
dapat tergambar dengan jelas dari sudut arsitektur
gereja dan pranata cara keagamaan di gereja
ganjuran. Inkulturasi budaya jawa ini diharapkan
dapat melestarikan budaya jawa itu sendiri dan
F. Rudy Wijayanto, S.S
Pria kelahiran Bantul 1988, merupakan alumni
Departemen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, saat ini bekerja sebagai register museum di seksi permuseuman dinas kebudayaan DIY. mempunyai ketertarikan terhadap bangunan2 bersejarah, warisan budaya benda dan tak benda serta museum.
TEBENG 49
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
Bukan Sekedar Tempat Religi
KLENTENG
Oleh: Sinta Akhirian D.S.H
PLATARAN

50
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
51
merupakan istilah yang hanya dikenal di Indonesia.
Istilah ini dikaitkan dengan bunyi ‘klenteng-klenteng’
atau ‘klinting-klinting’ yang berasal dari genta-genta
kecil, sesuai dengan bunyinya maka tempat ini
disebut kelenteng.
Di Yogyakarta, terdapat 2 kelenteng yang sudah
ada sejak dahulu dan keberadaannya penting bagi
keberadaan Etnis Tionghoa di Yogyakarta. Kedua
kelenteng tersebut yakni Kelenteng Poncowinatan
dan Gondomanan.
Kelenteng Poncowinatan
Kelenteng Poncowinatan berada di Jalan
Poncowinatan no.16. Nama lain dari Kelenteng
Gondomanan adalah Kelenteng Tri Dharma Kwan
Tee Kiong. Kelenteng ini didirikan pada tahun 1879
dan merupakan tanah hibah dari Sultan Hamengku
Buwono VIII. Kelenteng Poncowinatan memiliki corak
P
erkembangan masyarakat Tionghoa di
Indonesia sudah ada sejak berabad-abad
yang lalu Mereka datang dengan membawa dan
mengembangkan budayanya. Salah satu budaya
yang mereka bawa adalah sistem kepercayaannya.
Masyarakat Tionghoa dikenal sebagai pemuja alam
dan roh, namun pada perkembangannya, muncul
kepercayaan seperti Konfusianisme, Taoisme, dan
Budhisme. Setiap kepercayaan memerlukan tempat
untuk melakukan upacara peribadahan sesuai
dengan aturan kepercayaannya. Setiap upacara
yang dilakukan mengandung beberapa komponen
yakni tempat praktek, alat, dan umat. Masyarakat
Tionghoa menggunakan Kelenteng sebagai tempat
penghormatan kepada dewa atau tokoh suci Budhis,
Taois, dan Konfusius.
Istilah kelenteng identik dengan tempat ibadah
bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kelenteng
patung Fuk Tek Cen Sen. Di sebelah utara terdapat
ruang pemujaan yang berisi Patung Dewi Kwan
Im dengan posisi di tengah, pada ruang sisi kanan
terdapat patung untuk memuja Sidharta Buddha
Gautama, sedangkan pada sisi kiri terdapat ruang
pemujaan untuk Manjusri Bodhisatwa. Kelenteng
arsitektur bangunan gaya Tionghoa yakni tipe Ngang
San. Bangunannya berbentuk persegi panjang,
sudut-sudut atapnya melengkung ke atas, serta
dihiasi dengan hiasan naga. Pada ruang suci utama
terdapat patung Dewa Keadilan (Kwan Tie Koen).
Di sebelah timur ada ruang pemujaan yang berisi
^ Klenteng Kwan Tee Kiong
Fasad Bangunan Klenteng Kwan Tee Kiong, Poncowinatan, Yogyakarta
Sumber: id.wikipedia.org
PLATARAN
warna merah. Atap kelenteng
memiliki tipe Ngang San
dengan kemuncak atap terdapat
dua figur naga yang saling
berhadapan yang merupakan
simbol akan pelindungan dan
kekuatan. Klenteng ini memiliki
ruang-ruang dengan pembagian
sebagai berikut: bagian depan
untuk umat Kong Hu Cu dan
bagian belakang untuk umat
Buddha. Klenteng Gondomanan
ini berdiri untuk beribadah para
penganut aliran Konfusius,
ajaran Tao, dan agama Budha.
Umat yang beribadah di
kelenteng ini rata-rata 50-an
orang setiap harinya, akan tetapi
jika ada perayaan jumlahnya
bisa lebih besar. Selain upacara-
upacara keagamaan yang
bersifat individual, dilakukan
pula upacara yang berhubungan
dengan sembayangan dengan
melibatkan umat yang banyak seperti sembayangan
penutupan tahun Shio Anjing (WanFuk), Para Dewa
Naik Kesurga, Pemandian Seluruh Rupang Dewa-
Dewi Klenteng Fuk Ling Miau, Pergantian Malam
Tahun Baru Imlek, Pai Thien Kung Dan. Dilakukan
pula berbagai perayaan seperti Perayaan Cap Go
Meh 2019 dan Upacara Ci Suak. Dalam melakukan
ritual keagamaan di kelenteng, umat menggunakan
benda-benda upacara seperti dupa, tiruan uang
kertas, lilin, cawan berisi minyak, dan sesaji berupa
makanan.
Dari kedua kelenteng tersebut, dapat diketahui
bahwa Keberadaan kelenteng-kelentang ini tidak
hanya berfungsi sebagai tempat ibadah melainkan
menjadi identitas budaya khususnya masyarakat
Tionghoa di Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari
segi arsitektur bangunannya, perayaan-perayaannya
atau upacara-upacara, benda-benda upacara yang
sampai sekarang masih dilestarikan. Kedua kelenteng
ini menjadi penanda dari komunitas Tionghoa yang
bermukim di Yogyakarta. •Sinta
Sumber Bacaan
Prihantoro, Fahmi. 2006. “Kelenteng, Agama, dan
Identitas Budaya Masyarakat Cina: Studi Kasus
Pada Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang”. Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Adventa, Francisca. 2016. “Variasi jenis, bentuk, dan
makna ragam hias Pada Kelenteng Poo An Kiong,
Surakarta, Jawa Tengah.” Skripsi. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.
Poncowinatan didirikan untuk sembahyang para
penganut aliran kepercayaan Konfusius, ajaran Tao
dan Budha. Dalam melakukan ritual keagamaan,
umat menggunakan benda-benda upacara seperti
dupa, tiruan uang kertas, lilin, cawan berisi minyak,
dan sesaji berupa makanan. Selain melakukan ritual
keagamaan yang sifatnya praktis sehari-hari dan
secara individual, dilakukan pula upacara besar
tahunan yang melibatkan umat dalam jumlah yang
besar. Beberapa upacara yang masih dilakukan di
kelenteng ini antara lain upacara cap go me, qing
ming, dan phe cun. Ada pula upacara Tiong Chiu /
Zhong Qiu Jie (Perayaan Kue Bulan) yang selalu di
rayakan pada tgl 15 bulan 8 menurut penanggalan
Kalender Imlek. Keberadaan kelenteng erat
kaitannya dengan eksistensi masyarakat tionghoa
yang bermukim disekitarnya.
Kelenteng Gondomanan
Kelenteng Gondomanan terletak di Jalan Brigjen
Katamso No. 30. Klenteng ini dibangun pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII
dan mulai dipergunakan tahun 1900. Hok Tik Bio
adalah nama lain dari Kelenteng Gondomanan.
Tujuan dibangunnya adalah untuk menghormati
Dewa Bumi (Hok Cik Ting). Bangunan ini bergaya
arsitektur khas tionghoa yang tidak melupakan cat
^ Klenteng Fuk Ling Miau
Fasad Bangunan Klenteng Fuk Ling Miau, Gondomanan,Yogyakarta
Sumber: id. wikipedia.org
PLATARAN

52
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
5352
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
PAWA RT OS
D
inas Kebudayaan (Kundha Kabudayan)
DIY menggelar kegiatan JIHF (Jogja
International Heritage Festival), yang dilaksanakan
selama lima hari dimulai tanggal 30 Agustus dan
diakhiri tanggal 3 September 2019. Acara ini
didukung oleh kurator dari Dewan Kurator yaitu
Basuki Teguh Yuwono, S.Sn, M.Sn, DR. Sri Ratna
Sakti Mulia, M.Hum dan DR. Argo Twikromo, M.A.
Oleh ketiga kurator tersebut, acara pameran keris
ini, di tata sedemikian rupa hingga masyarakat
diharapkan dengan mudah dapat mengenal keris
sebagai warisan budayanya yang adiluhung.
Keris telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya
Dunia oleh UNESCO beberapa tahun yang lalu,
tepatnya pada tahun 2008. Kegiatan JIHF
merupakan salah satu komitmen dan usaha dari
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY untuk
menyelamatkan dan melestarikan warisan budaya
Indonesia. Kegiatan ini tidak secara terus menerus
dilakukan dengan tema yang sama, namun
dilaksanakan secara bergantian pada setiap
tahunnya, misalnya batik, keris secara bergantian.
Menurut Ratifi kasi Perpres No 78 Tahun 2007,
kegiatan ini merupakan implemantasi Convention
For The Safeguarding Of The Intangible Cultural
Heritage 2002.
Menengok sejarah pengajuan keris ke UNESCO
tentunya tidak semudah membalikkan telapak
tangan, perlu kerja keras dari seluruh pihak yang
berkompeten dalam hal ini. Di dalam proposal
pengajuannya tercatat lima belas etnis atau daerah
yang menjadi pengusung yaitu Jawa, Madura,
Bali, Sasak-Lombok, Sumbawa, Palembang,
Jambi, Minangkabau, Banjar (Kalimantan Selatan),
Kutai, Bugis dan Toraja. Banyak memang etnis
di Indonesia ini yang mempunyai keris sebagai
warisan budayanya. Hal ini karena keris hingga kini
masih menggunakan keris sebagai sarana upacara-
upacara adat atau ritual-ritual tertentu. Selain itu,
keris juga dianggap sebagai pusaka yang hingga
generasi sekarang masih ada yang memiliki keris
warisan dari pendahulu mereka hingga sekian
generasi di atas mereka.
Nilai penting yang terkandung di dalam
keris tersebut, membuatnya harus dilindungi,
dikembangkan dan dimanfaatkan. Oleh karena itu,
kegiatan JIHF yang dilaksanakan ini dikemas dalam
kegiatan yang lebih komunikatif dan memasyarakat.
Beberapa kegiatan tersebut adalah Lomba Fotografi
Keris, Bursa Keris, Dagelan Mataram Lakon Keris,
Dagelan Guyon Maton dan Lomba Stand Up
Comedy, seminar keris serta konsultasi keris. Pada
saat lomba fotografi yang diikuti oleh pemuda-
pemuda penggemar keris, didapat tiga juara yaitu
Bayu Sarwa Edhi, I Wayan Surya Edy Gautama dan
Eko Susanto. Hasil lomba foto grafi ini kemudian
dipajang selama pameran berlangsung. Stand Up
Comedy diikuti oleh sepuluh pelajar Yogyakarta,
gelak tawa disambut pula dengan riuh tepuk
tangan dari para penonton menambah semaraknya
penyelenggaraan JIHF ini.
•Indrayanti
Memasyarakatkan Keris Melalui Jogja
International Heritage Festival
^ Menikmati Pameran
Pelajar SMA tersebut sedang menikmati Pameran Keris yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY di Jogja Gallery
PAWA RT OS

54
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
5554
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
SYMPHONY
TOLERANSI
DI
PULAU
PINANG
MANCANAGARI
^ St. George Anglican Church, Pulau Pinang, Malaysia (Kiri)
^ Kapitan Keling Mosque, Pulau Pinang, Malysia (Kanan Atas)
^ Arca Dewi Kwan Im, Kek LoK Si Temple, Pulau Pinang, Malaysia
(Kanan Bawah)
55
Peranakan Penang, bangunan bergaya arsitektur percampuran Cina dan Melayu. Saat ini, Rumah Peranakan Penang menjadi museum dengan beberapa komponen bangunannya yang masih asli, di dalam rumah ini juga dapat ditemukan pernak pernik peninggalan kuno yang masih terawat dengan baik.
Puas mengeksplorasi Rumah Peranakan, aku
memutuskan kembali melanjutkan petualanganku di George Town. Tujuanku selanjutnya adalah Masjid Kapitan Keling yang merupakan masjid tertua di Penang. Menurut salah satu jamaah yang sedang beribadah di masjid ini, Masjid Kapitan Keling didirikan sekitar awal abad 19 Masehi.
Tak jauh dari Masjid Kapitan Keling, aku melihat
keramaian orang sedang keluar masuk sebuah bangunan, ternyata bangunan tersebut adalah Klenteng Kuan Yin. Aroma dupa terasa ketika memasuki area klenteng. Banyak wisatawan yang sekedar berfoto maupun beribadah di tempat ini. Sesuai dengan namanya, klenteng ini ditujukan untuk menyembah Dewi Kuan Yin, dewi pengampunan dalam kepercayaan Cina.
Di seberang Klenteng Kuan yin merupakan pusat
dari kota lama George Town. Wisatawan ari berbagai
P
agi itu pesawatku mendarat dengan mulus di sebuah pulau kecil di barat laut Negeri
Jiran Malaysia. Pulau tersebut adalah Pulau Pinang, destinati budaya dan pariwisata di negara tetangga Indonesia ini. Pulau Pinang atau sering disebut dengan Penang merupakan salah satu negara bagian Malaysia. Berbekal kesamaan rumpun bahasa, aku memberanikan diri menjelajah pulau yang dijuluki “Pearl of The Orient” ini.
Tujuan pertamaku setelah sampai disini adalah
kota tua Geoge Town yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan dengan bus dari Penang International Airport. George Town sendiri adalah ibukota negara bagian Penang. Sejak tahun 2008 ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. George Town sendiri merupakan kota pelabuhan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Inggris atau British East India Company pada tahun 1786.
Dibenakku, George Town merupakan kota dengan
gaya arsitektur kebarat-baratan khas kota-kota di Eropa. Namun, setelah sampai disana, aku cukup terkejut, tak hanya bangunan bergaya Eropa, ternyata George Town memiliki keberagaman arsitektur Cina, Arab, India dan nuansa lokal.
Tujuan pertamaku disana adalah Rumah
MANCANAGARI
^ Kantor Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia George Town, Pulau Pinang, Malaysia

56
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
5756
Mayangkara | EDISI 9 | 2019
negara bercampur di area ini. Banyak
pedagang makanan dan pernak pernik khas
Penang maupun Malaysia yang ditawarkan
oleh pedagang. Salah satu spot terkenal
di area ini adalah lukisan di tembok yang
tersebar di lorong-lorong jalanan. Di kanan
kiri jalan terdapat bangunan berarsitektur
Cina, dengan arcade yang dapat dilewati
oleh wisatawan. Keberadaan arcade ini
seakan memanipulasi terik panas Pulau
Pinang yang merupakan daerah pelabuhan.
Sore hari sebelum mengakhiri perjalanan
hari pertama, aku menyempatkan
menikmati suasana St. George Church,
sebuah bangunan Gereja bergaya arsitektur
khas eropa. Gereja ini dibangun semasa
dengan pembangunan George Town itu
sendiri. Sore itu St. George Church cukup
ramai oleh pengunjung dari berbagai kota
dan negara. Bangunannya yang unik dan
masih terlestarikan menjadi alasan tempat
ini menjadi pusat perhatian wisatawan.
Keesokan harinya, aku melanjutkan
perjalanan menuju Wihara Kek Lok Si yang
berada di wilayah Air Itam. Memerlukan
waktu sekitar 30 menit dari George Town,
melewati jalanan menanjak dan berkelok,
akhirnya aku sampai juga di wihara
yang sangat besar ini. Dari sini terlihat
pemandangan George Town dari ketinggian,
sungguh menakjubkan. Setelah menyusuri
Wihara Kek Lok Si, aku kembali lagi ke
daerah perkotaan.
Kali ini tujuanku adalah Fort Cornwallis
atau Beteng Cornwallis yang menjadi saksi
biksu kolonialisasi dan militer Inggris yang
menguasai Penang kala itu. Fort Cornwalis
didominasi dengan bangunan berbahan
bata merah. Pada salah satu suut beteng
terdapat mercusuar yang sejak dulu hingga
sekarang masih aktif digunakan sebagai
penanda kapal-kapal yang melewati Pulau
Pinang. Namun sayang, ketika disana, Fort
Cornwallis sedang direhabilitasi, sehingga
hanya sebagian yang dapat ku eksplor.
Pada akhirnya, waktu lah yang
menghentikanku menyusuri keindahan
Penang beserta peninggalah bersejarahnya.
Sebelum kembali ke bandara, aku
menyempatkan berkeliling George Town,
menikmati indahnya kota ini. Satu yang
mengenang di benakku, Toleransi di Penang
bagaikan Symphony yang menajubkan !!
•Anggraeni
MANCANAGARI
^ Salah Satu Altar pemujaan yang berada di dalam Rumah Peranakan, Pulau Pinang, Malaysia
MANCANAGARI
^ Salah Satu Bunker Di Fort Cornwallis
Di Fort Cornwalis terdapat salah satu Bunker yang dahulu diungsikan sebagai Gudang Senjata.

58
Mayangkara | EDISI 9 | 2019 Mayangkara | EDISI 9 | 2019
59
^ Salah Satu Gerbang Fort Cornwallis,
Pulau Pinang, Malaysia
MANCANAGARI
Edisi Sebelumnya:
RUPA RAGAMRUPA RAGAM
IMOGIRIIMOGIRI

60
Mayangkara | EDISI 9 | 2019