JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
ISSN: 2355-0139 (p); 2615-7594 (e)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43, doi: https://doi.org/10.21831/jipsindo.v8i1.38954


29
Membangun karakter mahasiswa Indonesia
melalui pendidikan moral
Oleh:
Hany Nurpratiwi
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
[email protected]

received: 23-02-2021 revised: 04-03-2021 accepted: 08-03-2021
Abstrak
Karakter dan moral mahasiswa perlu ditumbuhkan dengan maksimal, sehingga
mahasiswa tidak hanya unggul dibidang akademik, tapi juga unggul dibidang non
akademik untuk menunjang identitas diri ditengah globalisasi. Oleh karenanya
bagaimana menumbuhkan karakter yang mulia bagi mahasiswa Indonesia
merupakan hal terpenting yang harus segera dilakukan. Melalui penelitian ini
diharapkan diperoleh gagasan atau strategi menumbuhkan karakter mulia di
kalangan mahasiswa Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kajian
pustaka yaitu mengumpulkan dan menganalisis sumber dan fakta dari literature
seperti buku, jurnal, makalah dan tesis. Pengumpulan data dilaksanakan dengan
Teknik membaca baik membaca semantik maupun simbolik. Hasil penelitian
menemukan bahwa pendidikan karakter di lingkungan pendidikan tinggi tetap
harus dilaksanakan untuk memperkuat dan menyemaikan karakter mulia di
kalangan mahasiswa. Dosen memiliki peran dalam pengembangan karakter dan
moral mahasiswa. Melalui keteladanan yang diajarkan dosen di lingkungan
akademik, mahasiswa akan melakukan proses imitasi dan cenderung menjadikan
dosen sebagai role model dalam bertindak.
Kata kunci: dosen, mahasiswa, pendidikan karakter.

Abstract

The character and morals of students need to be developed to the maximum, so that
students are not only superior in academics, but also in non-academic fields to
support their identity in the midst of globalization. Therefore, how to cultivate noble
character for Indonesian students is the most important thing that must be done
immediately. Through this research, it is hoped that ideas or strategies will be
obtained to foster noble character among Indonesian students. The research was
conducted using literature review, namely collecting and analyzing sources and
facts from literature such as books, journals, papers and theses. Data collection was
carried out with reading techniques both semantic and symbolic reading. The
results of the study found that character education in the higher education
environment must still be carried out to strengthen and nurture noble character
among students. Lecturers have a role in developing student character and morale.
Through exemplary teachings by lecturers in an academic environment, students
will carry out an imitation process and tend to make lecturers as role models in
acting.
Keyword: lecture, student, character education

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

30



Pendahuluan

Lunturnya kepribadian nasional, degradasi moral, serta hilangnya nilai-nilai
moralitas luhur di kalangan generasi muda, menjadi permasalahan yang urgen.
Derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola pikir, sikap dan perilaku generasi
muda. Di kalangan generasi muda kita persoalan tersebut dapat dilihat pada kurang
berkembangnya sikap kemandirian, kreativitas serta produktivitas, sehingga generasi
kita kurang dapat berpartisipasi secara maksimal dalam proses membangun karakter
bangsa. Dampak negatif yang dapat dirasakan secara langsung adalah
penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya (NAPZA), tawuran pelajar,
mahasiswa, kriminalitas, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS dan
lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut apabila tidak memperoleh perhatian
dan penanganan secara bijaksana dan sistematis, akan memiliki dampak yang lebih
luas dan dapat mengganggu kesinambungan, kestabilan dalam pembangunan
nasional. Muara dari segala kekhawatiran tersebut adalah ancaman terhadap
integrasi bangsa yang semakin terbuka lebar (Fathurrohmah, 2019).
Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi kecenderungan baru di mana
kesadaran akan nilai mulai tumbuh kembali. Kecenderungan tersebut terjadi secara
global dan dapat digambarkan sebagai suatu titik balik dalam perkembangan
peradaban manusia. Orang mulai berbicara tentang nilai, bahkan untuk bidang yang
dianggap bebas nilai sekalipun seperti sains dan teknologi. Titik balik berikutnya yang
menempatkan isu-isu tentang nilai sebagai fokus perhatian adalah semakin
populernya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Di Indonesia mulai
berkembang pendidikan dan pengajaran yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan aspek keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (Sudrajat, 2011: 19). Bersamaan dengan itu sekolah-sekolah berusaha
menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya kesadaran nilai, moral, dan
keagamaan bagi peserta didiknya. Pendidikan karakter menjadi program primadona
yang ditawarkan oleh berbagai lembaga pendidikan baik di tingkat dasar maupun
menengah. Namun, sayangnya penguatan pendidikan karakter sebagaimana
diamanatkan oleh undang-undang belum mampu menjawab persoalan serius yang
dihadapi bangsa Indonesia yaitu tumbuhnya karakter mulia sebagai manusia
Indonesia utama.

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

Hampir seluruh jenjang pendidikan telah mengimplementasikan pendidikan
karakter, namun belum ada tanda-tanda peningkatan kualitas karakter manusia
Indonesia ke arah yang lebih baik. Korupsi masih terjadi, kejahatan juga tetap
merajalela, kekerasan dan penyalahgunaan narkotika masih tetap selalu terdengar
dalam berita-berita di media massa. Diperlukan solusi yang futuristik dan kreatif
bagaimana karakter positif sebagai manusia yang utama dapat berkembang dengan
baik. Sudrajat dan Wijayanti (2018: 48) menyatakan bahwa the development
community was dynamic, and social problems that today's constantly evolving
needs attention and sensitivity of all elements the nation not only from the experts
and observers, but also the educational community that has a strategic role as a
medium the agent of change.
Pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia terikat oleh dua misi
penting yaitu homonisasi dan humanisasi. Sebagai proses homonisasi, pendidikan
mempunyai kepentingan untuk memposisikan manusia sebagai makhluk yang
memiliki keserasian dengan habitat ekologinya. Manusia diarahkan untuk mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya seperti makan, minum, sandang, dan
perumahan. Dalam proses tersebut pendidikan dituntut untuk mampu mengarahkan
manusia pada cara-cara pemilihan dan pemilahan nilai sesuai dengan kodrat biologis
manusia.
Thomas Lickona (1991) menilai pendidikan nilai merupakan hal yang sangat
esensial dalam kesuksesan masyarakat yang demokratis. Lebih jauh Lickona (1991: 6)
mengemukakan bahwa moral education is not a new idea. It is, in fact, as old as
education itself. Down through history, in countries all over the world, education has
had two great goals: to help young people become smart and to help them become
good. Jadi pendidikan moral sudah ada sejak pendidikan itu sendiri ada. Sepanjang
sejarahnya pendidikan mempunyai dua tujuan yaitu: membantu anak-anak muda
menjadi cerdas dan baik. Berbagai pendekatan untuk mengimplementasikan
pendidikan moral umumnya berangkat dari pemahaman dan kultur masing-masing.
Bagi bangsa Indonesia pendekatan komprehensif merupakan alternatif yang tepat
karena dapat memberikan efek dari berbagai arah.
Metode yang dapat dilakukan dalam kerangka pendekatan komprehensif antara
lain: inkulkasi (inculcation) yaitu penanaman nilai, keteladanan (modeling),
facilitation yaitu memfasilitasi peserta didik peserta didik untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang melingkupinya, dan terakhir skill building yaitu
pengembangan ketrampilan berfikir kritis (Zuchdi, 2013). Dengan metode-metode
31

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

32

tersebut maka diharapkan peserta didik dapat mengenal, memahani, melaksanakan
nilai-nilai tersebut dan sanggup menghadapi dilemma-dilema nilai. Dengan
pendekatan yang demikian upaya pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter
kuat melalui dunia pendidikan dapat diwujudkan secara nyata.
Dosen memiliki peran penting dalam menumbuhkan karakter mahasiswa.
Proses pengembangan karakter terjadi sepanjang kehidupan manusia. Dosen yang
berkarakter akan menjadi teladan bagi mahasiswa sehingga mereka memiliki moral
yang baik. Hal terpenting yang harus dimiliki dosen sebelum mendidik mahasiswa
adalah personal karakter yang sesuai dengan tugas utamanya sebagai dosen. Belakang
ini banyak kita jumpai sarjana lulusan dari perguruan tinggi belum tentu memiliki
karakter dan moral yang unggul. Fenomena tersebut harus dicermati dan segera
ditangani oleh berbagai pihak (perguruan tinggi, masyarakat dan pemerintah)
sehingga output dari perguruan tinggi tidak hanya unggul dalam bidak akademik tetapi
juga bermoral dan berkarakter yang unggul. Dengan kecerdasan intelektual
diharapkan siswa mampu mengembangkan berpikir logis-matematis, selain itu siswa
diharapkan mempunyai kecakapan emosional yang mencakup pengendalian diri,
semangat dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.
Karakter dan moral yang baik dapat tumbuh dengan baik di dalam lingkungan
yang demokratis. Astuti dan Sudrajat, (2020) menyatakan bahwa social justice
focuses on the human condition, similarities, and differences, avoiding
discrimination and forms of oppression. Social justice in the context of inclusive
education refers to the educational process in which the system, policy, curriculum,
and learning center are centered on children who have different backgrounds to
always understand each other and respect one another. Di samping tetap
menekankan aspek akademik, yang juga sangat esensial adalah penanaman
pendidikan nilai-nilai moral dan keadilan sosial dalam masyarakat menuju kehidupan
masyarakat sipil yang demokratis.
Nilai-nilai perdamaian sebagai alternatif pola pembelajaran yang menyeluruh
dapat membantu menyiapkan para generasi muda agar mempunyai kemandirian,
kecerdasan intelektual, religius, kultural dan sosial yang siap memecahkan segala
permasalahan sosial. Implementasi dari pendidikan nilai-nilai perdamaian sebaiknya
diberikan pada subjek didik lebih dini, hal ini dimaksudkan agar anak mulai dari dasar
sudah mulai tertanam nilai-nilai tingkah laku yang baik sehingga mampu berpikir
kritis, kreatif dalam menghadapi permasalahan dalam masyarakat.
Kecerdasan kultural juga tidak mungkin dipisahkan dengan kecerdasan

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

intelektual, karena kecerdasan cultural terkait dengan gagasan, konsep dan pemikiran
yang meliputi ranah kognisi, perilaku dan produk. Gagasan dan pemikiran dapat di
aktualisasikan dalam bentuk ketrampilan dan kecerdasan sosial yang mencakup
kecakapan berkomunikasi dan berkolaborasi (kerjasama). Maka dari itu dengan
muatan cerdas intelektual, kultural dan sosial, kecerdasan rohani mempunyai
kedudukan sangat penting karena berada pada potensi imajinatif kreatif yang
memberikan arah yang jelas kemana dan bagaimana imajinatif berpikir kreatif harus
diarahkan (Zuchdi, 2013). Pengembangan berbagai kecerdasan secara integrative
dapat di implementasikan melalui pendekatan pendidikan nilai-nilai perdamaian.
Caranya dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang ditargetkan akan dikembangkan
ke dalam proses pembelajaran di setiap mata pelajaran.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode
kepustakaan. Disini penulis menggunakan literature berupa kepustakaan, seperti
buku, catatan, skripsi, jurnal dan beberapa hasil penelitian yang relevan. Selain
menggunakan studi kepustakaan, penulis juga melakukan pengamatan pribadi
terkait iklim dan karakter masyarakat dilingkungan kampus. Proses pengumpulan
data yang dilakukan melalui pengumpulan bahan pustaka atau literature berupa
buku, artikel, hasil penelitian, maupun newsletter. Di samping melalui
perpustakaan, penelitian juga dilaksanakan melalui penelusuran pustaka melalui
internet, khususnya untuk mencari hasil penelitian dari jurnal. Esensi dari kegiatan
penelitian yang dilakukan adalah membaca referensi lain yang mendukung, baik
secara simbolik maupun semantik.
Membaca simbolik merupakan kegiatan membaca yang tidak menyeluruh, yaitu
menangkap sinopsis dari bagian-bagian kecil buku. Tahap membaca simbolik penting
artinya untuk menentukan peta penelitian serta mengembangkannya menjadi lebih
luas. Sedangkan membaca semantik artinya: peneliti mengumpulkan data dengan
membaca teks atau naskah secara lebih terinci, terurai dan berusaha untuk
menangkap esensi dari data tersebut (Kaelan, 2005: 157). Melalui kegiatan membaca
berbagai bahan penelitian, kemudian dirumuskan opsi penyelesaian masalah untuk
memberikan perspektif atas problem statement yang ditentukan yaitu pembangunan
karakter mahasiswa Indonesia.


33

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

34

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter seseorang tidak
hanya dilihat dari perilaku yang baik tetapi dilihat dari keseluruhan pola dan tingkah
laku sebagai individu. Karakter menggambarkan kualitas moral seseorang yang
tercermin dari segala tingkah lakunya yang mengandung unsur keberanian,
ketabahan, kejujuran dan kesetiaan. Seseorang yang kompeten dan memiliki karakter
merupakan sumber daya manusia yang handal, berwatak, cerdas dan kompetitif
dalam menghadapi tantangan global. Karakter yang melekat dalam diri mahasiswa
merupakan akumulasi dari kebiasaan, sikap, pola piker, dan kultur mereka yang telah
terbentuk dan tertanam selama puluhan tahun di bawah lingkungan pendidikannya.
Dalam konteks mahasiswa dimana mereka telah menjadi individu yang dewasa, maka
karakter layaknya merupakan identitas diri. Berkowitz (2002: 53) berpendapat bahwa
identity is the individual’s self-constructed sense of self. Recent interest has turned to
the concept of moral identity, the centrality of being good to one’s self-concept,
because of its appearance in studies of living and hypothetical moral exemplars.
Adolescence is a critical time for the formation of a sense of self, an identity.
Therefore, it is likely that the formation of a sense of oneself as a moral agent
develops at the same time.
Sudrajat (2011) menyatakan bahwa pendidikan juga tidak dapat dilepaskan
dengan otonomisasi atau pembebasan serta pembentukan pola berpikir kritis sebagai
penyiapan generasi muda untuk menjadi warga masyarakat. Pemerintah Indonesia
turut memberi dukungan terkait pembentukan dasn penerapan pendidikan karakter,
dalam Peraturan Pemerintah No.17 th 2010, pasal 85 ayat 2 dijelaskan bahwa
Perguruan Tinggi memiliki tujuan untuk membentuk insan yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, bekepribadian luhur, sehat, berilmu
dan cakap, kritis dan kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, berwirausaha,
demokratis dan bertanggung jawab. Koesoema (2007: 118) menggarisbawahi
pentingnya jalinan relasional antar individu di dalam dunia pendidikan itu sendiri
dengan lembaga lain seperti keluarga dan masyarakat. Jalinan ini sangat
mempengaruhi proses pendidikan bagi anak sebab setelah sekolah, keluarga, dan
lingkungan masyarakat merupakan tempat di mana anak tinggal dan melakukan
aktivitas sosial. Oleh karenanya hubungan yang sinergis di antara sekolah, keluarga,
dan masyarakat harus dibangun secara konstruktif. Hal ini sangat urgen mengingat

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

otonomisasi dan pembentukan pola berfikir kritis merupakan salah satu pilar civil
society yang didambakan bersama.
Karakter mahasiswa bisa dikembangkan dan tumbuh secara perlahan melalui
proses pendidikan. Perguruan Tinggi sebagai wadah formal untuk mahasiswa
melaksanakan proses pendidikan dan berperan untuk melanjutkan proses
penanaman karakter. Pendidikan karakter memiliki banyak fungsi, di sini dijabarkan
fungsi pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2011) adalah (1) membangun
kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang
cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan
kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3)membangun sikap
warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidupberdampingan
dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2003, pasal 1, ayat 1 menyatakan
bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian , kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sumber daya manusia sangat diperlukan dalam
proses terjadinya pendidikan guna menstransfer, memfasilitasi dan membimbing
peserta didik. Pendidikan tinggi merupakan tumpuan akhir seluruh jenjang
pendidikan dan sebagai wahana pembentukan sarjana yang memiliki budi pekerti
luhur, melangsungkan nilai-nilai kebudayaan, memajukan kehidupan dan
membentuk satria pinandita (Harsono, 2008).
Peran dosen adalah mendidik, mengajar, melatih, membimbing dan
mengevaluasi kegiatan pendidikan. Peran dosen pembimbing akademik dalam
pembentukan karakter mahasiswa adalah upaya membangun dan mengubah
paradigma berfikir mahasiswa supaya menjadi manusia yang lebih dewasa
(Partawibawa, Fatahudin, & Widodo, 2014). Melihat fenomena amoral yang banyak
terjadi dikalangan remaja juga menimbulkan keprihatinan di dunia pendidikan.
Meskipun bukan satu-satunya faktor pendorong dalam membentuk karakter
mahasiswa, namun dosen memiliki peran yang signifikan dalam membentuk karakter
mahasiswa dan mengawasi pola perilaku mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari
dilingkungan kampus. Peran dosen dalam menumbuhkan karakter mahasiswa perlu
35

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

36

mendapatkan dukungan dari lingkungan kampus, masyarakat dan pemerintah.
Keberhasilan implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi dipengaruhi
oleh beberapa aspek yaitu:
a. Budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa
mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat,
b. Dosen dan staff yang berada dilingkungan kampus menjadi model karakter yang
baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian
dengan mahasiswa,
c. Memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk memiliki otonomi dan pengaruh
pengelolaan perguruan tinggi, seperti memberikan wadah untuk menampung
aspirasi mahasiswa,
d. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk refleksi, berdebat atau
berkolaborasi mencari pemecahan isu moral,
e. Sharing visi dan sence of collectivity dan responsibility,
f. Social skiil training yang artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi
mahasiswa supaya bisa melakukan penyesuaian jangka panjang dengan
memperkuat keterampilan pemecahan masalah interpersonal (Berkowits, 2002).
Karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan ketrampilan.
Karakter mahasiswa bisa dikembangkan dan tumbuh secara perlahan melalui proses
pendidikan (Berkowitz, 2002). Perguruan tinggi sebagai wadah formal untuk
mahasiswa melaksanakan proses pendidikan dan berperan untuk melanjutkan
proses penanaman karakter. Pada akhirnya karakter akan melekat pada diri
seseorang dan kadang tanpa disadari. Menjadi pribadi yang berkarakter berarti
menjadi pribadi yang handal, berkepribadian baik, bermoral unggul dan menjadi aset
mahal bagi bangsa dan negara.
Dalam pandangan Ibrahim dan Robandi (2020) penguatan agensi moral
sebagai sebuah komponen spiritual dari manusia yang istimewa perlu memperoleh
penekanan. Agensi moral adalah otonomi atau kehendak manusia untuk menjadi
penyebab, pemegang kontrol dan pencipta laku moral yang senantiasa melakukan
kebajikan dan menjauhi keburukan secara sadar, bahkan menjadi agensi moral
adalah tujuan hidup dan pola perilaku yang dilakukannya secara tulus dan penuh
integritas. agensi moral adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasi diri,
dimulai dari pencarian makna dan nilai-nilai yang penting bagi kehidupan manusia,
mengevaluasinya secara kualitatif, mengartikulasikannya dalam bentuk cita-cita
moral yang luhur, serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan secara konsisten

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

dan menyeluruh. Berdasarkan pendapat para ahli dan peneliti mengenai Agensi
Moral dapat diambil sintesis bahwa: dalam berbagai dimensi kehidupan, manusia
dihadapkan pada lingkungan sosial yang berpotensi memberikan pengaruh baik atau
buruk, pengaruh baik akan menguatkan karakter moral dalam diri manusia,
sebaliknya pengaruh buruk berpotensi menimbulkan pelepasan moral dalam diri. Di
sinilah proses regulasi diri yang menguatkan agensi moral dibutuhkan, memang
tidaklah mudah, tapi perlu usaha yang kuat agar setiap manusia mampu
menginterpretasi dirinya sebagai makhluk yang memiliki moralitas untuk
mengarungi kehidupan secara etis dan normatif.
Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga ilmiah yang menyelenggarakan
program pendidikan akademik dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, program
studi yang beragam. Proses pengajaran tidak hanya dilakukan melalui transfer of
knowledge, tetapi juga mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional dibidangnya,
selain itu pengajaran juga dilakukan untuk membentuk manusia yang bermoral dan
berbudi baik. Harapannya sebagai mahasiswa tidak hanya menguasai ilmu
pengetahuan tetapi dengan moral baik, mahasiswa juga akan memiliki karakter yang
baik.
Pendidikan Moral diartikan sebagai proses pendidikan yang ditujukan untuk
mengembangkan nilai, sikap dan perilaku peserta didik yang memancarkan akhlak
atau moral yang baik dan berbudi pekerti luhur. Melalui pendidikan moral peserta
didik akan diberikan penerapan nilai dan perilaku yang positif (Daulay, 2004).
Materi pendidikan moral mencakup ajaran dan pengalaman belajar untuk menjadi
manusia bermoral dalam kaitannya dengan diri sendiri, sesama manusia, alam
semesta dan Tuhan YME (Zuriah, 2010). Fokus utama dalam pendidikan moral
adalah penanaman nilai-nilai positif dalam segala aspek kehidupan manusia.
Pendidikan moral mengandung beberapa komponen tentang moralitas,
penalaran moral, perasaan kasihan dan mementingkan kepentingan orang lain dan
tendensi moral (Zuchdi, 2013). Pendidikan moral dapat mengubah pola perilaku
mahasiswa. Pendidikan moral juga dilatarbelakangi oleh lingkungan dan
kebudayaan, serta iklim yang berkarakter akan menumbuhkan kesadaran moral yang
baik. Kebiasaan saling menghormati, menyapa saat bertemu bahkan berjabat tangan
dengan teman atau dosen perlu dijadikan sebagai kebiasaan. Selain itu fokus berdoa
sebelum dan setelah perkuliahan, terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif juga
menjadi kebiasaan baik yang perlu dikembangkan.
37

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

38

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memulai pelaksanaan suatu
kegiatan penilaian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan moral
dapat disampaikan dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung
dimulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik dengan memusatkan perhatian
secara langsung pada ajaran tersebut melalui proses diskusi, ilustrasi dan
pengucapan. Sedangkan metode tidak langsung dimulai dengan menciptakan situasi
yang menginginkan perilaku baik yang dapat dipraktekan (Zuchdi, 2013). Pemilihan
metode dalam proses pengajaran pendidikan moral dilakukan sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan lingkungan kampus. Terdapat berbagai macam metode,
antara lain: metode demokratis, metode pencarian bersama, metode siswa aktif,
metode keteladanan, metode live-in, metode penjernihan nilai (Paul Suparno, dkk,
2002). Metode demokratis dan pencarian bersama bisa menjadi pengawal dalam
proses penerapan pendidikan moral di kampus. Metode demokratis memberikan
ruang kepada mahasiswa untuk mencari tahu sendiri terkait tentang penerapan
moral. Selain itu bisa juga diajarkan dengan pencarian bersama yang dilakukan
melalui diskusi antara mahasiswa dan dosen. Tidak ada patokan yang kaku terkait
metode yang harus digunakan dalam pelaksanaan pendidikan moral.
Metode komprehensif dilakukan melalui penanaman moral pemberian teladan
dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan
memfasilitasi perbuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan
ketrampilan terhadap hidup yang lain (Fathurrohmah, 2019). Selain itu pendidikan
moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated dengan
melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan dan seluruh stekholder dilingkungan
kampus, masyarakat dan pemerintah. Perkembangan moral dapat dilihat sebagai
hasil suatu interaksi antara pelaksanaan, aturan, pengikut atau pembuatnya secara
individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan dengan menunjukkan
esensi moral.
1. Level I
Kategori ini berisi anak usia 1 sampai 2 tahun. Peraturan yang dibuat masih bersifat
sebagai motor activity. Belum ada kesadaran akan adanya peraturan. Semua
gerakan belum dibimbing oleh pikiran tentang adanya peraturan yang harus
ditaati,
2. Level II
Kategori ini berisi anak usia 2 sampai 6 tahun. Sudah mulai ada kesadaran akan
adanya peraturan, namun masih menganggap peraturan tersebut bersit suci, tidak

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

boleh diganggu gugat oleh siapapun, merubah peraturan berarti membuat
kesalahan besar. Dalam pelaksanaannya peraturan mereka masih bersifat
eqosentrik, berpusat pada dirinya sendiri,
3. Level III
Kategori ini berisi anak usia 7 sampai 10 tahun. Pelaksanaan peraturan sudah
mulai bersifat sebagai aktifitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan.
Dalam tahap ini sudah ada keinginan kuat untuk memahami peraturan dan setia
mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronom mulai bergeser pada sifat otonomi,
4. Level IV
Kategori ini berisi anak berusia 11 sampai 12 tahun. Kemampuan berfikir anak
sudah mulai berkembang. Sudah ada kemampuan untuk berfikit abstrak, sudah
ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama.
Mengacu pada teori perkembangan moral dari Jean Piaget (Muchson dan
Samsuri, 2013) mahasiswa yang sudah dikategorikan sebagai dewasa sudah berada
pada tataran diatas level IV. Mahasiswa sudah memiliki kemampuan kritis dan
memiliki kesadaran akan peraturan yang dibuat lingkungan masyarakat. Mahasiswa
dianggap mampu membedakan perbuatan yang baik dan buruk dan senantiasa
mengembangkan perilaku positif. Mahasiswa yang memiliki karakter dan bermoral
baik mampu menghadapi tantangan global dan memecahkan masalah secara personal.
Keberhasilan pendidikan moral dikampus membantu mengurangi perilaku amoral
yang bersifat negatif dalam pergaulan mahasiswa. Proses pelaksanaan penanaman
pendidikan moral dilingkungan mahasiswa dapat kita lihat dari ciri-ciri berikut:
1. Cukup memperhatikan insting dan dorongan-dorongan spontan serta konstruktif,
2. Cukup membuka kondisi untuk membentuk pendapat yang baik,
3. Cukup memperlihatkan perlunya ada kepekaan untuk menerima dan sikap
responsive,
4. Pendidikan moral memungkinkan memilih secara bijaksana mana yang benar dan
mana yang salah.
Dosen adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya
diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada
perguruan tinggi yang bersangkutan. Perguruan tinggi akan survive dan memiliki
keunggulan kompetitif dalam era globalisasi ini. Karakter dan moral akan memiliki
peran penting didalamnya. Dosen yang berkarakter bisa menjadi modal besar dalam
penanaman karakter dan pendidikan moral sehingga perguruan tinggi bisa survive
menghadapi tangangan zaman.
39

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

40

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen seharusnya tidak hanya untuk
menyampaikan materi pembelajaran yang tertera dalam RPS. Dosen memiliki tugas
untuk menjiwai seluruh proses proses pembelajaran, nilai moral, etika, karakter
positif, nilai luhur seperti tanggung jawab daj kejujuran. Dengan kemampuan
tersebut dosen dapat dikatakan sebagai dosen yang berkarakter. Dosen yang
berkarakter akan menjadi role model mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari
dilingkungan perguruan tinggi maupun dalam lingkungan masyarakat.
Tri dharma adalah kewajiban pperguruan tinggi untuk menyelenggarakan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (UU No.12 Thn. 2012,
pasal 1 ayat 9). Pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi oleh setiap dosen perlu
dilakukan pantauan dan evaluasi. Impact positifnya akan diterima oleh lingkungan
kampus, karena seperti disebutkan diparagraf sebelumnya kalau dosen yang
memiliki karakter dan bermoral baik akan membawa dampak positif bagi
mahasiswa. Peran mahasiswa dalam aktualisasi tri dharma perguruan tinggi sangat
di perlukan.
Mahasiswa diharapkan untuk menjadi mahasiswa yang lebih termotivasi dan
sadar bahwa betapa pentingnya perananannya sebagai mahasiswa untuk mencapai
tujuan nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa: 1) Dengan pendidikan, mahasiswa hendaknya
punya dasar berpikir yang benar dalam memutuskan berbagai hal di dunia kampus
maupun luar kampus. Dan seharusnya mahasiswa mempunyai hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak dan sesuai yang digelutinya, 2) penelitian dan
pengembangan Merupakan bentuk implementasi dari ilmu pengetahuan yang
diperoleh semasa proses pendidikan di perguruan tinggi. Dengan penelitian, para
mahasiswa akan bertambah cakap dalam disiplin ilmunya, serta akan menjadi
semakin paham, 3) pengabdian masyarakat bertujuan untuk membantu masyarakat
agar mau dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (Daulay, 2016).
Perguruan tinggi sebagai masyarakat ilmiah dituntut untuk berperan secara
aktif positif dalam memecahkan permasalahan (problem solver) yang dihadapi
masyarakat dengan menghasilkan ilmu yang siap pakai, dalam arti penemu masalah
(problem finder). Dengan demikian ilmu yang diperoleh melalui penelitian dapat
digunakan untuk menerangkan (to explain), meramalkan (to predict) atau peristiwa
(event) di dalam kehidupan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri. Oleh karena
itu perguruan tinggi haruslah mampu menghasilkan lulusan (output) yang memiliki

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

kepribadian tangguh, berkemampuan unggul, cerdas, kreatif sehingga mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam menghadapi globalisasi
Peran perguruan tinggi hendaknya mampu menghasilkan lulusan yang memiliki
kepribadian tangguh, berkemampuan unggul, cerdas, kreatif sehingga mampu
bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi arus globalisasi (Yuliawati, 2012).
Selain kepribadian tangguh, mahasiswa juga harus memiliki karakter dan moral yang
baik sangat diperlukan supaya mahasiswa memiliki identitas diri. Kolaborasi antara
ilmu pengetahuan dan karakter mahasiswa yang tangguh akan menciptakan
mahasiswa yang bermoral dan profesional dibidangnya.
Simpulan
Perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki peran yang
sangat penting terkait pembinaan moral dan karakter mahasiswa. Identifikasi moral
dan karakter mahasiswa dapat dilihat dari aspek akademik dan non akademik. Sikap
non akademik dilihat dari bagaimana pola perilaku mahasiswa sehari-hari dan
wawasan kebangsaan. Sedangkan sikap akademik dapat dilihat dari sikap ilmiah dan
kejujuran akademik. Peran dosen dan civitas akademik sangat dibutuhkan dalam
upaya pembentukan karakter bangsa. Pendidikan karakter membentuk lingkungan
yang positif untuk pertumbuhan moral.
Karakter mahasiswa bisa dikembangkan dan tumbuh secara perlahan melalui
proses pendidikan. Perguruan Tinggi sebagai wadah formal untuk mahasiswa
melaksanakan proses pendidikan dan berperan untuk melanjutkan proses
penanaman karakter. Karakter mahasiswa bisa dikembangkan dan tumbuh secara
perlahan melalui proses pendidikan. Perguruan Tinggi sebagai wadah formal untuk
mahasiswa melaksanakan proses pendidikan dan berperan untuk melanjutkan
proses penanaman karakter.
Pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi dilakukan dosen melalui pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui proses tersebut dosen
melakukan proses internalisasi nilai-nilai luhur yang kemudian menjadi budaya
kampus. Keteladanan harus muncul dari personality dosen dan diajarkan kepada
mahasiswa. Dalam konteks ini dosen menjadi aktor penting dalam proses
membangun karakter mahasiswa dan menumbuhkan kesadaran moral.

41

Membangun karakter mahasiswa … (Hany Nurpratiwi)

42


Referensi


Astuti, D., S. & Sudrajat. (2020). Promoting inclusive education for social justice in
Indonesia, Proceedings of the 2nd International Conference on Social Science
and Character Educations (ICoSSCE 2019), doi: 10.2991/assehr.k.200130.037

Bali, M. M, (2013). Peran dosen dalam membangun karakter mahasiswa. Humaniora,
4 (2), 800-810.

Berkowitz, M. W. (2002). The science of character education. Hoover Institution
Press. tersedia pada https://www.hover.org.

Daulay, H. P., (2004). Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Penerbit Kencana.

Devi, S. (2017). Peran dosen dalam mengembangkan karakter mahasiswa. Jurnal
Pelangi. 2(2), 45-59.

Dian, A. M. (2012). Pendidikan karakter prespektif Islam. PT. Remaja Rosdakarya.

Fathurrohmah, (2019). Pendidikan karakter dalam kegiatan ekstrakurikuler, Jurnal
Bidang Pendidikan Karakter, 3(1), 79-93.

Harsono, (2008). Pengelolaan perguruan tinggi. Pustaka Pelajar.

Ibrahim, T. & Robandi, B. (2020). Representasi kesadaran agensi moral sebagai
guru: studi fenomenologi pada mahasiswa pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia, Jurnal Pendidikan Karakter, 10(1). 69 -
88. https://doi.org/10.21831/jpk.v10i1.30313

Kaelan. (2005). Metode penelitian kualitatif bidang filsafat. Pustaka Pelajar.

Koesoema D., A. (2007). Pendidikan karakter: strategi mendidik anak di zaman
global. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lickona, T. (1991). Education for character: How our school can teach respect and
responsibility. Bantam Books.

Partawibawa A., Fathudin S., & Widodo A, (2014). Peran pembimbing akademik
terhadap pembentukan karakter mahasiswa. Jurnal Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan, 22 (1), 2-8. https://doi.org/10.21831/jptk.v22i1.8851

Sudrajat & Wijayanti, A. T. (2018). Temple as learning mediums in social studies: the

JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia)
Vol. 8. No.1 (2021), 29-43

perspective of multicultural education, Saudi Journal of Humanities and Social
Sciences (SJHSS), 3 (8), 1014-1019. doi: 10.21276/sjhss.2018.3.8.17

Sudrajat. (2011). Membentuk pribadi mulia melalui pendidikan nilai: studi di SD
Muhammadiyah Bodon Yogyakarta, Informasi 37(1), 19 -39.
doi: https://doi.org/10.21831/informasi.v1i1.4459

Suparno, P. (2002). Pendidikan budi pekerti di sekolah: Suatu tinjauan umum.
Kanisius.

Zuchdi, D. (2013). Humanisasi pendidikan (kumpulan makalah dan artikel tentang
pendidikan nilai). UNY Press.

Zuriah, S. (2008). Pendidikan moral dan budi pekerti dalam prespektif perubahan.
Bumi Aksara.

Yuliawati, S. (2012), Kajian implementasi tri dharma perguruan tinggi sebagai
fenomena pendidikan tinggi di Indonesia, Widya, 29(318), 28-33.
43