MODUL PERKULIAHAN
JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
METODE
INTERVENSI
PEKERJAAN
SOSIAL DENGAN
KELOMPOK
FRANCISCUS ADI PRASETYO

MODUL PERKULIAHAN
METODE INTERVENSI PEKERJAAN SOSIAL DENGAN KELOMPOK








Penyusun
Dr. Franciscus Adi Prasetyo, M.Si

















JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER

i

DAFTAR ISI


Daftar Isi.................................................................................................................... i
Modul Satu : Sejarah dan Bentuk Kelompok............................................................. 1
A. Sejarah Pengembangan Metode Intervensi Kelompok......................................... 1
B. Jenis Kelompok...................................................................................................... 2
Modul Dua : Dinamika Kelompok.............................................................................. 5
A. Dinamika Kelompok.............................................................................................. 5
B. Perkembangan Kelompok..................................................................................... 14
Modul Ketiga : Teori Ekologi Dalam Intervensi Kelompok......................................... 17
A. Teori Ekologi.......................................................................................................... 17
B. Teori Sistem........................................................................................................... 21
C. Perspektif 5 C Pada Praktek Kelompok.................................................................. 22
Modul Keempat : Pekerja Sosial Dengan Kelompok.................................................. 24
A. Praktek Pekerjaan Sosial Kelompok...................................................................... 24
B. Konteks Pekerjaan Sosial Kelompok...................................................................... 25
C. Pemberdayaan Dan Metode Social Group Work................................................... 25
D. Intervensi/Kolaboratif Aksi................................................................................... 26
Modul Kelima : Relevansi Dan Tahapan Intervensi.................................................... 30
A. Relevansi Metode Kelompok Dalam Praktek Pekerjaan Sosial.............................. 30
B. Tahapan Intervensi................................................................................................ 33
Modul Keenam : Peran Pekerja Sosial....................................................................... 36
Daftar Pustaka........................................................................................................... 40

1

MODUL SATU
SEJARAH DAN BENTUK KELOMPOK

Metode intervensi pekerjaan sosial telah dikembangkan berdasarkan pada tiga ranah,
yaitu mikro, mezzo, dan makro. Metode intervensi pekerjaan sosial dengan kelompok
termasuk pada ranah mezzo. Kelompok ditetapkan sebagai bagian dari metode intervensi
pekerjaan sosial karena secara historis tidak dapat dilepaskan dengan praktek pekerjaan
sosial yang memang memanfaatkan kelompok sebagai metode terapi, membangun
interaksi dan relasi, dan mengembangkan potensi individu-individu agar mampu
mengatasi permasalahannya melalui dan di dalam kelompok.
A. Sejarah Pengembangan Metode Intervensi Kelompok
Zastrow (2006) menjelaskan bahwa penggunaan kelompok sebagai metode
intervensi pertama kali di The First Settlement House, Toynbee Hall, London pada
tahun 1884. Bentuk-bentuk serupa juga ditemukan di Amerika Serikat. Gerakan
Settlement House ini dipelopori oleh kelas menengah dan kelas atas masyarakat pada
waktu itu yang hidup di tengah-tengah lingkungan masyarakat miskin. Rintisan
gerakan ini menggunan pendekatan misionaris untuk memberikan pendidikan kepada
warga masyarakat tentang moralitas hidup dan metode untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidupnya. Pelayanan yang difokuskan adalah pada bidang perumahan,
kesehatan dan lingkungan, mendapatkan pekerjaan bagi para buruh, memberikan
pelajaran bahasa Inggris, higienitas, keterampilan kerja, meningkatkan kualitas hidup
dengan cara menjalin kerja sama dengan lingkungan tetangga.
Catatan kedua yang diberikan oleh Zastrow (2006) adalah Young Men’s Christian
Association (YMCA). Gerakan ini diusung oleh George William yang memilih untuk
tidak melanjutkan sekolah pada usia 13 tahun, dan memilih untuk membantu ayahnya
bekerja di ladang. Namun, pada usia 14 tahun, George William alih profesi menjadi
pedagang dan pekerja pabrik. George William adalah sosok pemuda religius, dan pada
usia 16 tahun, Ia diterima untuk bergabung di dalam kongregasi gereja. Bersama
dengan teman-teman pendoanya, George William membentuk YMCA di London.
Fokus pelayanan utamanya adalah menjadi pendoa, membaca kitab suci, dan
berdiskusi tentang topik-topik spiritual. Pada tahun 1851, Thomas V. Sullivan, seorang
purnawirawan marinir Amerika Serikat, terinspirasi dengan gerakan YMCA London.

2


Sullivan kemudian membentuk US YMCA sebagai organisasi yang membantu tentara
selama periode perang di medan tempur dan di penjara tawanan perang. US YMCA
menjadi pioner yang membentuk komunitas dukungan bidang olahraga dan atletik,
menemukan olahraga basketball dan bola voli, dan mengajarkan tentang water safety
dan renang. Gerakan ini terus berkembang sampai membantu pelajar-pelajar
berkebangsaan asing di Amerika. Pada tahun 1866 dibentuk Young Women’s Christian
Association di Boston.
B. Jenis Kelompok
Zastrow (2006) mengklasifikasikan kelompok untuk kepentingan terapi
berdasarkan tujuannya sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis Kelompok Terapi
Jenis Kelompok Karakteristik Kelompok
Social Conversation (Percakapan Sosial)  Pekerja sosial dan klien membahas
topik untuk didiskusikan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh kelompok.
 Contoh topik yang dibahas adalah
pemecahan masalah.
Kelompok Rekreasi/Skill Building  Disebut juga sebagai informal
recreational group atau Skill-
building recreational group.
 Menawarkan kegiatan-kegiatan
yang bertujuan untuk mendapatkan
kesenangan dan melatih
keterampilan tertentu.
 Kegiatan dapat bersifat fisik dengan
memanfaatkan perlengkapan yang
telah tersedia.
 Pada kelompok keterampilan agak
berbeda dengan kelompok
rekreasional yang bertujuan untuk
menguasai keterampilan tertentu.
Kelompok Edukasi  Tujuan utamanya adalah untuk
membantu anggota kelompok
mempunyai pengetahuan dan
mempelajari keahlian tertentu.

3


Jenis Kelompok Karakteristik Kelompok
 Aktivitas kelompok ini
membutuhkan pendidik yang ahli
dalam menguasai pengetahuan atau
keahlian yang akan diajarkan.
 Pekerja sosial perlu bekerja sama
dengan profesional untuk
meningkatkan proses transfer
pengetahuan dan keahlian anggota
kelompok

Kelompok Tugas  Tujuannya untuk membangun sifat
bertanggung jawab dari masing-
masing anggota kelompok.
 Melalui tugas yang diberikan,
anggota kelompok dilatih dapat
menyelesaikan tugasnya dengan
baik.
 Tugas yang diberikan pekerja sosial
dapat membantu meningkatkan
kemampuan kognitif anggota
kelompok

Kelompok Pemecahan Masalah dan
Pengambilan Keputusan
 Lebih menekankan kepada proses
pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan.
 Pekerja sosial mendorong setiap
anggota terlibat aktif dan saling
bertukar pikiran untuk memahami
masalah secara mendalam sebagai
langkah untuk memecahkan
masalah dan mengambil keputusan
terbaik.
Kelompok Fokus  Dibentuk dengan berbagai tujuan,
mencakup : (1) mengidentifikasi
kebutuhan atau issu; (2) menguji
reaksi atas pendekatan alternatif
dalam merespon issue.
Self-Help dan Mutual Aid  Ditujukan untuk membantu individu
mengatasi permasalahan hidupnya.

4


Jenis Kelompok Karakteristik Kelompok
 Saling dukung dilakukan dengan
cara memberikan testimoni dan
pengakuan
 Umumnya dalam bentuk “direct
service” dengan memberikan
pertolongan langsung kepada setiap
anggota kelompok yang
menghadapi masalah.
Kelompok Sosialisasi  Tujuannya adalah untuk membantu
anggota kelompok mengembangkan
sikap dan perilaku yang lebih dapat
diterima oleh lingkungan sosial.
 Jenis keterampilan sosial yang
dikembangkan meliputi :
meningkatkan rasa percaya diri,
merencanakan masa depan.
Kelompok Treatmen  Dibentuk dengan tujuan untuk
menolong individu yang mengalami
gangguan emosional, tingkah laku,
masalah personal dengan kategori
berat.
 Menggunakan teknik konseling dan
leadership.
 Membutuhkan peran profesional
selain pekerja sosial seperti psikolog
dan psikiater.
Kelompok Sensitivity and Encounter
Training
 Kelompok yang dibentuk untuk
menolong anggotanya memiliki
kedekatan relasi personal yang lebih
intim.
 Kelompok ini memang untuk
membantu agar terbangun
kesadaran.
 Anggotanya adalah individu yang
mengalami masalah psikososial dan
gangguan mental.

5

MODUL DUA
DINAMIKA KELOMPOK


Huda (2009) menjelaskan bahwa kelompok merupakan salah satu metode terapi yang
dipergunakan oleh ilmu pekerjaan sosial untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
individu. Pemilihan metode ini didalam proses terapi secara teknis memberikan manfaat
dari sisi waktu dan biaya yang yang lebih murah, selain itu, kelompok pun dapat
dimanfaatkan untuk memberikan dukungan sosial terhadap sesama anggota kelompok
yang sedang mengikuti terapi. Kelompok dapat dimanfaatkan apabila anggota
kelompoknya memiliki kesamaan permasalahan/kebutuhan, sehingga daripada harus
mempergunakan terapi individu, tentu akan lebih baik mempergunakan terapi kelompok.
Metode intervensi pekerjaan sosial dengan kelompok merupakan mata kuliah wajib
dengan bobot 3 SKS dan telah disepakati bersama di dalam pertemuan Asosiasi
Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia beberapa tahun lalu.
Bagian pertama dari modul perkuliahan intervensi pekerjaan sosial dengan kelompok
ini akan membahas tentang dinamika kelompok sebagai salah satu bagian dari metode
intervensi pekerjaan sosial. Landasan ini adalah bagian pertama yang harus dikuasai oleh
mahasiswa agar mampu memahami hakikat metode intervensi kelompok sehingga pada
saat mengimplementasikannya ke dalam praktek, mahasiswa memiliki landasan teori dan
filsafat yang sangat penting dalam mendukung kegiatannya tersebut.
A. Dinamika Kelompok
Pekerja sosial sangat penting untuk memahami pentingnya dinamika kelompok.
Terdapat beberapa pertimbangan yang melandasinya yaitu (Garvin, 2004); pertama,
kegagalan dalam memberikan perhatian penuh kepada dinamika kelompok dapat
mengarahkan pekerja sosial pada pertemuan yang tidak produktif dan
mengecewakan anggota kelompok; kedua, menguatnya rasa serba salah pada
anggota seperti kasus ekstrim bunuh diri massal di Jonestown; ketiga, Semakin
menguatnya diversifikasi multikultural di dalam masyarakat sehingga harus
memperhitungkan aspek perbedaan budaya, etnik, ras, dan agama. Pekerja sosial
harus memahami kondisi psikologis kelompok yang membutuhkan kohesivitas agar

6


mampu bergerak efektif untuk menemukan solusi-solusi yang tepat agar
permasalahan yang dialami dapat segera mendapatkan penyelesaian.
Pada tahap awal, pada umumnya kelompok mengalami permasalahan klasik
seperti rasa canggung, tidak adanya kejelasan tujuan kelompok, merasa malu,
cenderung mencari anggota kelompok yang memiliki kesamaan identitas seperti jenis
kelamin, agama, ras dan etnis. Masing-masing anggota berusaha menemukan
kenyamanannya sendiri-sendiri di dalam kelompok. Situasi kebekuan inilah yang
harus segera dituntaskan oleh pekerja sosial untuk memfasilitas kelompok untuk
sesegera mungkin mendapatkan keseimbangannya yang dicirikan dengan keeratan
hubungan antar anggota yang saling mendukung satu sama lain.
Pengetahuan tentang dinamika kelompok menjadi sangat penting bagi pekerja
sosial. Secara konseptual, dinamika kelompok terdiri dari lima dimensi (Toseland &
Rivas, 2001) :
1. Proses komunikasi dan interaksi
Komunikasi dan interaksi merupakan komponen vital di dalam dinamika
kelompok. Komunikasi (Toseland & Rivas, 2001) didefinisikan sebagai
penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan yang terdiri dari,
pertama, encoding persepsi, pemikiran, dan perasaan ke dalam bentuk bahasa
dan simbol dari pengirim pesan; kedua, transmisi (penyampaian) dalam bentuk
bahasa, simbol (verbal, non-verbal, virtual). Bentuk komunikasi dapat dibedakan
ke dalam dua bentuk :
a. Komunikasi synchronous yaitu bentuk komunikasi yang terjadi secara timbal
balik pada saat sekarang (real time).
b. Komunikasi asynchronous yaitu bentuk komunikasi dengan menggunakan
media komputer ketika penerima pesan memberikan respon beberapa waktu
kemudian setelah menerima pesan. Bentuk komunikasi seperti ini umumnya
pada saat menerima surat elektronik.
Kapanpun anggota kelompok berkomunikasi, hakikatnya mereka sedang
mengirimkan pesan yang memiliki makna. Fasilitator dan ketua kelompok dapat
bekerja secara efektif dengan menjadi pendengar yang baik agar dapat
menangkap makna dari setiap pesan yang dibagikan oleh anggota melalui proses
komunikasi kelompok. Pada pertemuan tatap muka anggota kelompok, bentuk

7


komunikasi yang berlangsung tidak selalu dalam bentuk verbal. Namun,
komunikasi non-verbal juga dapat terjadi melalui tingkah laku yang dapat diamati,
seperti bahasa tubuh tertentu yang diperagakan oleh anggota kelompok. Dalam
komunikas melalui telepon atau surat elektronik, komunikasi non-verbal tidak
dapat hadir karena masing-masing pihak tidak dapat melakukan pengamatan
secara langsung. Semakin besar anonimitas akibat keterbatasan pertemuan tatap
muka ketika berkomunikasi melalui telepon atau komputer, berimplikasi kepada
cara anggota berkomunikasi di dalam kelompok. Contohnya adalah ketika
kelompok mengabaikan isu ras dan status sosial ekonomi dan memperkuat privasi
maka akan menghasilkan stigmatisasi pada anggota kelompok (Schopler, Abell, &
Galinsky, 1998; Smokowski, Galinsky, & Harlow, 2001).
Komunikasi memang sangat penting untuk menyampaikan pesan. Namun,
pekerja sosial harus menyadari masalah di dalam komunikasi terkait dengan
mengirim atau menerima pesan dan masalah transmisi yang dapat menyebabkan
terjadinya distorsi terhadap pesan yang disampaikan. Misalnya saja pengirim
pesan tidak mengirimkan pesan yang jelas sehingga pesan yang sampai menjadi
ambigu dan sulit dipahami. Penerima pesan kemudian mengalami kesulitan
dalam mempersepsikan pesan yang diterimanya atau justru malah mengabaikan
pesan tersebut karena merasa kesulitan dan memahami maknanya. Persoalan
transmisi juga merupakan masalah yang dapat mengganggu pengirim dan
penerima pesan, misalnya suara yang terlalu berisik di dalam ruangan atau di luar
ruangan. Situasi ini tentu sangat mengganggu apabila kelompok sedang
mengadakan pertemuan atau ketika sedang terjadi percakapan melalui telepon.
Hambatan dalam bahasa terkadang juga dapat mempengaruhi komunikasi di
dalam kelompok. Bahasa umumnya merefleksikan sikap sosial yang membentuk
pemikiran, sikap, dan menjadi pedoman dalam pola berpikir serta
mengekspresikan gagasan. Bahasa memainkan peran di dalam interaksi manusia
di dalam konteks diversitas manusia yang dapat memperkuat atau melemahkan
upaya individu dan mampu mempengaruhi kelompok/komunitas untuk meraih
kesejahteraan sosial yang optimal (Anderson & Carter, 2003). Penggunaan bahasa
Inggris sebagai standar berkomunikasi adalah bentuk diskriminasi yang tidak adil
terhadap inividu-individu yang menggunakan latar belakang bahasa bilingual.

8


Orang-orang dengan latar belakang Asia-Amerika, Latin, dan penduduk asli
Amerika adalah pengguna bahasa bilingual sebab merasa khawatir akan terjadi
kesalahpahaman atau merasa teralienasi (Sue & Sue, 1999). Penelitian yang
dilakukan oleh Gray-Litlle & Kaplan (2000) menyatakan bahwa orang-orang
Amerika berkulit putih memiliki tingkat rata-rata tinggi melakukan komunikasi
verbal di dalam kelompok dibandingkan dengan orang-orang dengan latar
belakang Asian-Americans, Native Americans, dan Mexican American dengan
latar belakang pendidikan yang sama. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk
mengembangkan komunikasi yang efektif, Toseland & Rivas (2001) menyarankan
untuk menyampaikan umpan balik yang efektif meliputi : (a) mendeskripsikan isi
dari komunikasi yang telah diterimanya dari anggota kelompok; (b) berikan
kesempatan kepada pengirim pesan untuk merespon umpan balik; (c)
ekspresikan dengan sikap sewajarnya saja pada saat meminta klarifikasi dari
pengirim pesan. Bersikap konfrontatif cenderung berpotensi menimbulkan
kesalahpahaman baru.
Pola interaksi juga sangat penting di dalam dinamika kelompok. Beberapa pola
interaksi yang umum terjadi adalah : (a) maypole, ketua yang menjadi figur utama
dan pola komunikasi yang terjadi adalah dari ketua ke anggota atau dari anggota
ke ketua; (b) the round robin, pola komunikasi ini adalah seluruh anggota saling
bergantian dalam berinteraksi; (c) the hot seat, pola komunikasi yang terjadi
antara ketua dengan anggota; (d) the free floating pattern, yaitu sebuah pola
interaksi yang memungkinkan setiap anggotanya berkomunikasi secara bebas.
Memang hampir sebagian besar literatur tentang dinamika kelompok tentang
pola interaksi berfokus pada sentralisasi komunikasi. Namun, di dalam terapi
kelompok, pola komunikasi berpusat pada kelompok lebih baik dibandingkan pola
komunikasi yang berpusat pada ketua (leader), sebab memberikan ruang
partisipasi yang penuh setiap anggota kelompok. Perlu juga ditekankan lebih jauh,
bahwa di dalam kelompok tugas, seperti tim, interdependensi yang bersifat
resiprokal umumnya menggaransikan jaringan komunikasi terdesentralisasi
(Stewart, Manz, & Sims, 1999).
Pekerja sosial perlu memperhatikan pola-pola interaksi di dalam dinamika
kelompok. Ada anggota kelompok yang dominan dalam berkomunikasi, tetapi

9


juga ada yang cenderung pasif. Pekerja sosial juga harus mampu mengidentifikasi
bentuk komunikasi non verbal seperti bahasa tubuh, kontak mata, gerakan
tangan, dan lain sebagainya. Pada intinya, pekerja sosial harus mendorong
kelompok bahwa pusat dari komunikasi dan interaksi adalah untuk mendukung
ke arah perubahan anggota kelompok ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu,
pekerja sosial sebagai fasilitator kelompok harus mampu mengatur kelompok
agar pola komunikasi dan interaksi tidak didominasi oleh satu orang saja,
melainkan juga harus memberikan kesempatan kepada anggota lain untuk aktif
berbicara.
2. Interpersonal attaction and cohesion
Ketertarikan antar personal juga berkontribusi terhadap formasi sub grup dan
tingkat kohesivitas kelompok secara keseluruhan. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi peningkatan ketertarikan interpersonal, (a) meningkatkan
kedekatan interaksi di antara anggota kelompok yang secara otomatis juga
meningkatkan ketertarikan. Pertemuan-pertemuan fisik melalui pertemuan-
pertemuan membantu memperkuat ikatan di antara sesama anggota kelompok;
(b) faktor penerimaan dan persetujuan bergabung juga berperan dalam
meningkatkan ketertarikan inter personal. Anggota kelompok yang merasa telah
diterima secara positif akan memiliki ketertarikan inter personal dan
meningkatkan ikatan positif dengan kelompok. Hubungan resiprokal biasanya
berperan dalam situasi seperti ini; (c) kesesuaian antar anggota kelompok juga
berperan mempromosikan ketertarikan antar personal. Anggota kelompok
cenderung memiliki ketertarikan apabila mengetahuai bahwa interaksi di dalam
kelompok sesuai dengan ekspektasinya.
Total keseluruhan ketiga faktor tersebut membentuk kohesivitas kelompok
(Festinger, 1950). Ketertarikan inter personal memang hanya sebagian dari total
keseluruhan elemen yang berkontribusi dalam membentuk kohesivitas
kelompok. Faktor lain yang juga bekerja adalah, (a) kepuasan anggota kelompok
membutuhkan afiliasi, dikenali, dan diberikan rasa aman; (b) sumber daya dan
prestise yang diyakini oleh anggota akan dikumpulkan melalui partisipasi; (c)
ekspektasi tentang manfaat yang diterima sebagai konsekuensi di dalam
kelompok; (d) pengalaman positif bergabung di dalam kelompok yang berbeda

10


dibandingkan dengan pengalaman sebelumnya (Cartwright, 1968). Tingkat
kohesivitas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang meliputi (Toseland &
Rivas, 2001) : (a) ketekunan dalam mencapai tujuan kelompok; (b) harapan yang
kuat untuk memperoleh tanggung jawab untuk keberfungsian kelompok; (c)
adanya ruang untuk mengekspresikan perasaan; (d) kesediaan untuk
mendengarkan; (e) kemampuan untuk memberikan umpan balik dan evaluasi.
Tingginya derajat kohesivitas kelompok akan menciptakan dampak positif yang
dicirikan dengan : (a) besarnya kepuasan anggota dengan pengalaman di dalam
kelompok; (b) tingginya tingkat pencapaian tujuan individu di dalam kelompok
dan tujuan kelompok itu sendiri secara keseluruhan; (c) tingginya komitment
untuk mensponsori kelompok; (d) meningkatnya rasa percaya diri, penerimaan
diri, dan penyesuaian diri; dan, (e) tingginya angka kehadiran dan partisipasi di
dalam kelompok.
3. Integrasi sosial dan saling mempengaruhi
Integrasi sosial merujuk pada kesesuaian antar seluruh anggota dan saling
menerima di dalam kelompok. Norma-norma, peran, dan status adalah bagian
dari dinamika kelompok untuk mempromosikan integrasi sosial yang dipengaruhi
oleh perilaku anggota kelompok. Proses dinamika inilah yang berperan dalam
menempatkan anggota di dalam sebuah kelompok. Anggota kelompok mengikuti
tatanan dan bersikap kekeluargaan di dalam proses kelompok, untuk membantu
dalam memprediksi tingkah laku individual dan menciptakan kenyamanan bagi
seluruh anggota kelompok. Norma, peran, dan status sangat membantu
kelompok untuk menghindari konflik yang bersifat eksesif dan tidak terduga yang
dapat menyebabkan kekacauan dan disintegrasi kelompok. Grup tidak akan
berfungsi secara efektif apabila tidak memiliki derajat integrasi sosial yang
mencukupi. Integrasi sosial membantu untuk membangun kebulatan suara
tentang tujuan dan kelompok, membantu kelompok dalam rangka bekerja secara
efektif untuk mencapai tujuan kelompok.
Sementara itu terkait dengan pengaruh sosial, Deutsch dan Gerard (1955)
merumuskan dua bentuk pengaruh sosial, yaitu : (a) normative influence adalah
dorongan untuk memperoleh kesesuaian dengan harapan orang lain dan diterima
oleh orang lain; (b) informational influence adalah penerimaan dan dipersuasi

11


oleh informasi yang diberikan oleh orang lain. Tingginya penerimaan dan
kesesuaian dihasilkan dari kuatnya pengaruh sosial yang bersumber dari norma,
peran, dan status di dalam hirarkhi, harus diwaspadai karena dapat mengarahkan
pada pemikiran kelompok (grupthink). Situasi grupthink dapat berkonsekuensi
negatif karena kreatifitas dan kontribusi intelektual anggota kelompok menjadi
ditekan. Pada saat yang sama, serangkaian prediktiablitas, penerimaan, dan
kebersamaan sangat dibutuhkan agar dapat memungkinkan anggota kelompok
bekerja bersama untuk mencapai tujuan kelompok. Selain itu, seluruh anggota
kelompok juga harus mampu mengelola norma, peran, dan status yang
berasosiasi dengan integrasi sosial dan pengaruh agar dapat mencapai
keseimbangan antara terlalu rendah atau tingginya konformitas.
Norma adalah sebuah keyakinan dan harapan tentang tingkah laku yang pantas
untuk ditampilkan di dalam situasi sosial (Toseland & Rivas, 2001). Norma juga
dimaknai sebagai aturan yang berisi tentang nilai-nilai, preferensi, dan tingkah
laku yang dapat diterima di dalam kelompok. Norma dapat merupakan sesuatu
yang terbuka (overt) atau tertutup (covert). Seorang pimpinan kelompok yang
menyatakan bahwa kelompok akan dimulai dan berakhir tepat waktu dan
mengikuti aturan tersebut setiap minggu sebenarnya sedang mengembangkan
norma eksplisit kelompok. Sebaliknya, norma implisit dapat saja dikembangkan
oleh anggota kelompok untuk menghindari diskusi terbuka tentang kepuasan
seksualitas dengan pasangannya atau tentang perselingkuhan. Norma kelompok
dibangun perlahan-lahan melalui pengalaman anggota kelompok tentang apa
yang harus dihargai dan tingkah laku yang diharapkan melalui interaksi kelompok.
Oleh karena itu sangat penting bagi pekerja sosial untuk mengenali
pengembangan norma, terutama sekali pada tahap awal dan untuk membantu
anggota kelompok untuk membangun norma yang dapat berpotensi mengurangi
kepuasan anggota kelompok atau menghambat anggota kelompok mencapai
tujuannya. Pekerja sosial dapat berdiskusi dan membagikan persepsinya terkait
dengan norma kelompok dan memberikan saran-saran tentang perubahan
norma-norma agar dapat mendukung perkembangan kelompok dan anggotanya.
Peran adalah harapan yang dibagikan terkait dengan keberfungsian individu
sebagai anggota kelompok. Apabila norma terkait dengan dibagikannya ekpektasi

12


tentang kepatutan dan nilai bertingkah laku bagi seluruh anggota kelompok,
maka peran didefinisikan tentang harapan agar anggota kelompok secara
individual bersikap saling menghormati ketika berinteraksi di dalam kelompok.
Peran membantu kelompok di dalam pembagian tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh anggota kelompok dan seorang anggota kelompok dapat memiliki
lebih dari satu peran. Benne & Sheats (1948) mengembangkan tipologi peran
kelompok yang meliputi : (a) task role, seperti koordinasi dan pencari informasi;
(b) socioemotional role, motivator, encoureger, harmonizer; (c) individual role,
seperti agresor atau help seeker.
4. Power dan kontrol
Topik pembahasan tentang power and control seringkali menyebabkan pekerja
sosial tidak merasa nyaman, terutama bagi pekerja sosial yang lebih cenderung
membahas tentang pemberdayaan, fasilitasi, mediasi, mutual aid, partnership,
dan mengembangkan relasi. Kekuasaan (power) sesungguhnya adalah sesuatu
yang tidak dapat ditolak karena merupakan realita di dalam kelompok. Terdapat
dua jenis kekuasaan, (a) attributed power berasal dari persepsi orang lain yang
berada di dalam atau di luar kelompok terkait dengan kemampuan individual
anggota kelompok untuk menjadi pemimpin yang efektif. Kekuasaan ini
bersumber dari status profesional, latar belakang pendidikan, pengalaman
menjabat di organisasi, batasan antara peran dengan anggota kelompok, honor
yang dibayarkan untuk berpartisipasi di dalam kelompok; (b) Actual power
merujuk pada kemampuan anggota untuk melakukan perubahan kondisi di dalam
dan di luar kelompok. French & Raven’s (1959) secara klasik menganalisa bahwa
sedikitnya pemimpin memiliki tujuh jenis kekuasaan yaitu, (a) connection power
yaitu kemampuan untuk mengembangkan jejaring dengan orang-orang memiliki
pengaruh bagi kelompok; (b) expert power yaitu dimilikinya pengetahuan yang
mampu menolong kelompok untuk mencapai tujuannya; (c) information power
yaitu memiliki informasi yang dibutuhkan oleh kelompok; (d) legitimate power
yaitu memiliki kedudukan secara resmi, kekuasaan, kewenangan, dan
keistimewaan terkait dengan kedudukannya; (e) reference power yaitu menjadi
sosok yang dikagumi oleh anggota kelompok; (f) reward power yaitu kemampuan
untuk memberikan penghargaan kepada anggota kelompok; (g) coervice power

13


yaitu kemampuan untuk memberikan sanksi kepada anggota kelompok. Contoh
sederhana dari power and control yang dimiliki oleh pemimpin adalah ketika di
dalam situasi rapat, dimana seluruh anggota berkomunikasi langsung dengan
pemimpin, dan bukan dengan sesama anggota di dalam ruangan rapat.
Perhatian adalah salah satu peran yang harus dilaksanakan pada kelompok
yang berkuasa dan yang tidak berdaya di dalam kelompok multikultur. Pada
konteks multikultur, pemimpin harus menyadari untuk cara untuk mengelola
emosinya, persepsinya, dan tingkah lakunya terkait dengan kekuasaan dan
kewenangan di dalam relasinya dengan anggota kelompok dengan latar belakang
multikultur. Kegagalan anggota dan kelompok untuk memahami dinamika
kekuasaan sebagai bagian dari pemimpin dapat berpengaruh terhadap proses
dan dampak yang diharapkan. Ketidakmampuan ini akan mengarahkan pada
perasaan teralienasi dan kecemasan anggota mintoritas dan akan mengirimkan
pesan bahwa mereka tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk berproses di
dalam kelompok. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi pemimpin kelompok
untuk tidak sekedar mengembangkan self-awareness, melainkan juga
mempromosikan pemberdayaan dan empati untuk mengurangi internalisasi
merasa kurang berharga dan tidak berdaya dari anggota kelompok akibat merasa
sebagai minoritas (Hopps & Pinder- hughes, 1999; Jones, 2000).
Power dan control juga diperlukan untuk menjaga tatanan dan mengendalikan
pertemuan kelompok, termasuk juga memotivasi anggota kelompok. Pemimpin
dapat menggunakan kekuasaannya terhadap anggota kelompok yang memiliki
masalah motivasi. Anggota kelompok dapat kehilangan motivasi dengan berbagai
latar belakang dan tiga alasan dibalik itu adalah kemalasan sosial, free riding
(penunggang bebas adalah orang-orang yang berpikir bahwa kontribusi mereka
tidak memiliki arti penting dan mereka yang tahu bahwa mereka akan menerima
penghargaan terlepas dari besarnya kontribusi yang telah diberikan), dan sucker
effect – orang-orang yang memiliki kinerja yang baik mengalami pengenduran dan
diambil alih oleh orang-orang yang sebenarnya kurang berbakat atau kurang
termotivasi (levi, 2001).

14


5. Kultur.
Kultur kelompok didefinisikan sebagai seperangkat nilai, keyakinan, kebiasaan,
tradisi dan kecenderungan untuk bertingkah laku yang secara mudah dapat
dipahami dan dibagikan di antara seluruh anggota kelompok. Keyakinan yang
kuat dan asumsi yang membedakan budaya kelompok muncul melalui interaksi
sepanjang waktu. Nilai-nilai, kecenderungan, kekhasan interpersonal individual
anggota kelompok berasal dari latar belakang etniknya, kultural, pewarisan ras,
pengalaman hidup sebelumnya, kode genetika yang bercampur menjadi satu
sebelum terbentuknya budaya kelompok. Pada setiap pertemuan kelompok,
mereka mengeksplorasi sistem nilai dan kekhasan interpersonal, menelusuri basis
mendasar yang saling menghubungkan satu sama lain. Menghargai anggota
kelompok dengan perbedaan latar belakang sebagai upaya untuk memahami
latar belakang etnis, warisan ras, pengalaman, sikap, dan bagaimana seluruh hal
tersebut dilaksanakan.
Levi (2001) menyebutkan terdapat tiga bentuk kultur, (a) pada permukaan
(surface level) yang dicirikan dengan simbol-simbol dan ritual sebagai kekhasan
budaya kelompok; (b) deeper level, yaitu diperlihatkan melalui kekhasan dan
pendekatan dari anggota kelompok pada saat berinteraksi satu sama lain; (c)
deepest level, merupakan inti dari budaya yang berisi tentang nilai, ideologi,
keyakinan yang menjadi kebiasaan dari anggota kelompok. Budaya kelompok juga
ditentukan oleh lembaga sponsor dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Kelompok menyerap sebagian nilai-nilai yang bersumber dari sistem sosial yang
lebih besar. Pengaruh dari sistem ini tergantung dari kondisi alamiah dan luasnya
interaksi dengan kelompok.
B. Perkembangan Kelompok
Tahap perkembangan kelompok, mengacu pada model Tuckman (1963) adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Tahap Perkembangan Kelompok
Tahap Nama Tahapan Karakteristik Kelompok
I Forming (Pembentukan)  Anggota kelompok berinteraksi secara
tentatif.
 Masa pembentukan norma, peran,
dan status hirarkhi

15


Tahap Nama Tahapan Karakteristik Kelompok
 Kultur kelompok perlahan-lahan
terbentuk melalui interaksi.
 Interaksi berlangsung dengan penuh
kehati-hatian.
 Fokus utamanya adalah membentuk
integrasi sosial terlebih dahulu agar
dapat mencapai kohesi sosial.
 Terdapat sedikit konflik yang terjadi
antar anggota sebagai bagian mencari
kesesuaian.

II Storming  Anggota kelompok memiliki dorongan
untuk menjadi bagian kelompok,
tetapi pada saat bersamaan masih
mempertahankan identitasnya dan
independensinya.
 Pada saat anggota kelompok semakin
nyaman dan berani, maka konflik
dapat terjadi.
 Ketika kelompok semakin memiliki
integrasi sosial, anggota kelompok
mulai mengeksplorasi dan menguji
peran sosialnya di dalam kelompok,
mulai mengembangkan peran dan
statusnya. Dan, pada posisi ini, konflik
dipandang sebagai sesuatu yang
wajar.
III Norming  Fokus pada tugas-tugas kelompok.
 Energi anggota kelompok diarahkan
untuk mengembangkan dan
memfungsikan kohesivitas kelompok.
 Mengembangkan nilai-nilai yang
membuat nyaman seluruh anggota
kelompok.
 Pembagian peran di awal kelompok,
pada tahap ini semakin produktif.
 Hubungan interpersonal dicirikan
dengan intimasi, kinerja yang efektif,
dan mengedepankan pemecahan
masalah setiap kali menghadapi
konflik.
IV Performing  Fokusnya pada penuntasan tugas-
tugas yang belum diselesaikan.
 Melakukan evaluasi terhadap seluruh
pekerjaan kelompok.

16


Tahap Nama Tahapan Karakteristik Kelompok
 Ada hasil-hasil yang diperoleh selama
bekerja di dalam kelompok.
 Fokus pada upaya menjaga
keberlanjutan perubahan-perubahan
yang telah dicapai setelah terapi
kelompok selesai dan kelompok
dibubarkan.
 Merencanakan untuk perpisahan
kelompok dan anggota kelompok
diterapi agar tidak tergantung pada
kelompok.

Model tahap pengembangan kelompok sangat membantu dalam memberikan
panduan kepada pekerja tentang apa yang mungkin terjadi ketika suatu kelompok
berkembang. Pada saat yang sama, setiap kelompok adalah unik. Banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan kelompok. Karakteristik struktural, seperti apakah
suatu kelompok adalah waktu terbatas atau memiliki keanggotaan terbuka atau
tertutup, memiliki dampak penting pada pengembangan (Galinsky & Schopler, 1989).
Demikian pula kemampuan anggota kelompok dan dukungannya organisasi sponsor
juga dapat mempengaruhi pengembangan kelompok. Oleh karena itu, pekerja tidak
boleh berasumsi bahwa semua kelompok mengikuti pola perkembangan yang sama.
Stage model dari pengembangan kelompok adalah perangkat heuristik yang baik
untuk memahami bagaimana dinamika kelompok dapat berkembang dari waktu ke
waktu, tetapi pengungkapan dinamika kelompok yang sebenarnya dalam kelompok
tertentu hanya dapat dipastikan dengan pengamatan yang cermat atau dengan
menggunakan satu atau lebih tindakan yang dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

17

MODUL KETIGA
TEORI EKOLOGI DALAM INTERVENSI KELOMPOK


Pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi pertolongan, tentu saja harus memiliki
landasan teoritis dalam praktek pertolong profesional yang dilaksanakannya. Hal ini tentu
sesuai dengan prinsip dasar profesi yang dibangun berdasarkan tiga pilar utama, yaitu
body of knowledge, body of skills, dan body of values. Secara khusus, salah satu bidang
pengetahuan yang memberikan pengaruh kuat pada ilmu pekerjaan sosial adalah teori
ekologi yang merupakan turunan dari teori sistem. Tropman (2004) Perspektif ekologi
menggunakan konteks kelompok—khususnya, karakteristik kelompok, kompetensi,
kondisi, dan perubahan—untuk melihat ekosistem kelompok.
Awalnya istilah biologis, perspektif "ekologis" adalah salah satu yang
mempertimbangkan hubungan antara spesies dan lingkungannya. Dalam ekosistem
pantai, misalnya, orang mungkin melihat populasi kepiting, apa yang mempengaruhinya,
dan apa yang mempengaruhinya. Ekologi sosial datang berarti penerapan istilah biologis
untuk interaksi sosial manusia. Banyak kelompok lingkungan secara khusus prihatin
tentang hubungan manusia dengan sumber daya dunia. Lebih khusus lagi, perspektif
ekologis dalam pekerjaan sosial berarti melihat pada saling ketergantungan klien atau
sistem klien dan sistem sosial lainnya dalam lingkungannya.
A. Teori Ekologi
Huda (2009) menyampaikan secara ringkas perspektif ekologi ke dalam beberapa
poin sebagai berikut :
1. Teori ekologi memang menggunakan konsep biologi sebagai analogi atas
pentingnya intererlasi antara organisme dengan lingkungan sosial tempatnya
berada.
2. Teori ekologi dengan tegas memberikan pernyataan bahwa manusia sebagai
bagian dari lingkungan sosial harus mampu beradaptasi dengan baik apabila ingin
bertahan hidup. Lingkungan sosial dan fisik memiliki sumber-sumber penting
yang dapat diakses oleh manusia.
3. Manusia pada hakekatnya memiliki kemampuan untuk mencapai keseimbangan
hidup yang penting dalam membantunya beradaptasi dengan lingkungan hidup.

18


4. Sumbangan penting teori ekologi untuk ilmu pekerjaan sosial adalah perspektif
person – in – environment.
5. Cara pandang pekerja sosial terhadap masalah yang dihadapi oleh individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas berbasiskan perspektif ekologi adalah
apabila individu, keluarga, kelompok, atau komunitas mengalami masalah, maka
sumber masalahnya dapat berasal dari sistem-sistem yang berada di sekitarnya
yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung.
Visualisasi teori ekologi sebagai alat bantu untuk memberikan deskripsi terhadap
penerapan teori sebagai berikut :
Gambar 1. Person – in - Environment

Sumber : Huda, 2009
Posisi manusia di dalam lingkaran besar merupakan sentral untuk melihat
interaksinya dengan sistem-sistem lain di luar dari sistemnya. Setiap manusia dapat
berinteraksi lebih dari satu sistem sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Sistem-sistem yang terbuka tentu memudahkan manusia untuk menjangkaunya
dalam rangka memcapai keseimbangan dan harmonisasi dengan sistem-sistem sosial
lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh manusia akibat ketidakseimbangan dengan
sistem lain sehingga menghampat optimalisasi pelaksanaan fungsi sosial dan
perannya di masyarakat. Pada kasus anak dengan disabilitas di usia sekolah, tentu kita
dapat banyak sekali menemukan kasus penolakan dari pihak sekolah karena
Person
Sistem
Pendidikan
Sistem
Pelayanan
Sosial
Sistem
politik
Sistem
Pelayanan
dan Jasa
Sistem
Agama
Sistem
Keluarga

19


memandang anak dengan disabilitas seharusnya berada di sekolah luar biasa (SLB)
sebagai sistem pendukungnya, bukan di sekolah reguler. Faktanya, cukup banyak anak
dengan disabilitas yang tidak perlu belajar di SLB karena memiliki kemampuan kognitif
yang sama seperti anak-anak di sekolah reguler pada umumnya. Letak permasalahan
justru berada pada sistem pendidikan yang tidak aksesibel untuk dijangkau oleh anak
dengan disabilitas.
Seiring dengan diadopsinya pendekatan pendidikan inklusif di setiap jenjang
pendidikan, mengindikasikan bahwa sistem pendidikan telah memodifikasi dirinya
agar dapat diakses oleh anak dengan disabilitas agar dapat menikmati fasilitas
pendidikan selayaknya anak-anak yang lain. Terbukanya sistem pendidikan reguler ini
secara otomatis meningkatkan angka partisipasi anak dengan disabilitas pada sistem
pendidikan, sehingga pada jangka panjang sistem pendidikan ini mampu
memproduksi sumber daya manusia berkualitas tanpa memandang perbedaan antara
disabilitas dan non disabilitas. Pendidikan inklusif menjadi penyetara bagi setiap
peserta didik untuk berinteraksi di dalam sebuah sistem yang sama tanpa tersegregasi
berdasarkan tipologi disabilitas dan non disabilitas.
Konsekuensinya, terdapat keseimbangan sistem yang harmonis antara sistem anak
dengan disabilitas dengan sistem pendidikan, sehingga anak dengan disabilitas dan
masalahnya dapat diselesaikan dengan baik melalui terbukanya kesempatan-
kesempatan yang memungkinkannya untuk hidup bersama dengan anak-anak
sebayanya. Namun, perlu dicatat, bahwa pendekatan pendidikan inklusif tidak berarti
meniadakan sistem pendidikan luar biasa, sebab, sistem tersebut tetap dibutuhkan
untuk memfasilitasi kebutuhan anak disabilitas yang memang membutuhkan
penanganan khusus dan tidak dapat dilaksanakan di sistem pendidikan reguler yang
telah mengadopsi pendekatan inklusif. Hilangnya sistem pendidikan luar biasa
berpotensi menyebabkan masalah pada anak disabilitas karena kehilangan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan.
Contohnya adalah anak disabilitas dengan jenis ganda (tuna netra dan rungu
wicara, tuna netra dan tuna grahita, tuna grahita dan tuna daksa). Anak-anak dengan
disabilitas ganda seperti contoh di atas tentu membutuhkan sebuah sistem tersendiri
yang menyediakan fasilitas pendukung atas keunikan karakteristik disabilitas yang

20


dimilikinya. Salah satu lembaga sosial yang menyelenggarakan adalah Panti Sosial
Rawinala, Condet, Jakarta Timur.
Pengaruh teori ekologi pada kelompok menjadi bagian khusus yang harus dipelajari
sehingga pekerja sosial mampu memahami keterkaitannya. Penjelasan singkat
tentang hal tersebut adalah :
Gambar 2. Pengaruh Teori Ekologi Pada Kelompok


Sumber : Tropman, 2004
Tropman (2004) menjelaskan sebagai cara untuk mendekati masalah ekologi
kelompok dan membantu untuk fokus pada sistem ini model, maka perlu
mempertimbangkan enam tingkatan berikut: orang, kelompok, organisasi, komunitas,
masyarakat, dan dunia. Setiap tingkat sistem atau sistem klien memiliki dua elemen:
sumber masalah atau isu dan target intervensi. Artinya, masalah dapat terjadi pada
individu, kelompok, organisasi, komunitas, masyarakat, atau tingkat dunia. Setiap
masalah atau isu dapat ditangani pada berbagai tingkatan, beberapa atau hanya
sekali. Intervensi langsung berarti bahwa masalah tersebut ditangani pada tingkat
dimana masalah termanifestasi (misalnya, masalah tingkat individu ditangani pada
tingkat individu). Tapi itu bukan satu-satunya pilihan.
Intervensi komposisi dimungkinkan. Pendekatan ini disebut "komposisi" karena
terlihat "di bawah" tingkat sistem di mana masalah terjadi dan berusaha untuk
Ekologi kelompok
mempertimbangkan
variabel ekstra group di
dalam aktivitasnya
Variabel ekstra group
dapat dilihat secara
struktural yang
merupakan kelompok
atau institusi yang lebih
besar
Pengaruh
Struktural Bentuknya adalah
norma dan kepercayaan
dari ekstra group yang
berada di dalam
struktur dan grup itu
sendiri
Contohnya adalah
kebijakan lembaga
tempat grup itu berada
Pengaruh
sosiokultural

21


berubah komponen subsistem.Ketika masalah terjadi di tingkat kelompok, praktisi
kelompok mungkin berusaha untuk campur tangan di tingkat individu. Ketika masalah
terjadi dalam suatu organisasi, praktisi mungkin ingin campur tangan di tingkat
kelompok atau individu, dan sebagainya. Beberapa contoh dapat membantu. Jika
seseorang memiliki masalah atau masalah dan praktisi campur tangan pada tingkat
itu (penyesuaian dan perubahan individu), itu akan menjadi strategi langsung.Jadi,
jika seorang individu mengalami depresi dan diperlakukan secara individual, itu akan
menjadi strategi langsung. Jika individu itu bergabung dengan kelompok dengan
orang lain yang memiliki masalah serupa, itu akan menjadi ke bawah pengaruh sistem.
Jika ada masalah di tingkat kelompok (mis., SMP “Ratu Lebah”) gadis-gadis yang
menyalahgunakan “Wannabe” gadis-gadis lain di sekolah, lalu bekerja dengan kedua
kelompok secara langsung akan menjadi intervensi langsung. Upaya untuk mengubah
kebijakan di sekolah dan untuk meningkatkan penerimaan keragaman akan menjadi
intervensi organisasi. Sebuah usaha mengubah budaya di masyarakat sekolah,
melibatkan orang tua, dan lain sebagainya, akan intervensi masyarakat.
B. Teori Sistem
Mengutip Huda (2009) teori sistem menekankan bahwa sebuah sistem pada
hakekatnya merupakan sub sistem dari sistem lain yang lebih besar dibandingkan
dengannya. Teori sistem lebih menekankan kepada interaksi antar sistem. Suatu
sistem tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memperhatikan sistem-sistem lainnya.
Sebagai contoh kasus perkosaan anak kandung yang dilakukan oleh ayah kandung dan
paman beberapa waktu lalu. Ibu kandung korban telah lama meninggal dunia,
sehingga ayah kandung korban memiliki hambatan dalam memenuhi kebutuhan
biologisnya. Tropman (2004) menjelaskan bahwa perspektif sistem melihat
keseluruhan kelompok sebagai struktur nyata. Walaupun memang dibuat oleh
anggota kelompok pada saat itu, kelompok berada dalam (a) realitas sui generis dan
memiliki sejarah dan evolusi yang berbeda dari anggota atau peserta saat ini. Hal yang
perlu ditekankan bahwa, meskipun kelompok tersebut sebagian merupakan produk
dari unsur-unsur yang menyusunnya dan sebagian didorong oleh sistem yang lebih
besar di mana ia berada. Kelompok memiliki realitasnya sendiri yang tidak dapat
dijelaskan oleh komposisi atau konteksnya.
Realitas interaksi dan produk ini dapat menjadi produktif atau destruktif, sehat atau

22


tidak sehat. Misalnya, dalam geng, pembunuhan dan vandalisme mungkin merupakan
produk yang tidak sehat dari interaksi kelompok, dan praktisi kelompok (anggota
geng) dapat dimasukkan ke dalam keanggotaan untuk mengubah sifat interaksi yang
mengarah pada hasil yang tidak sehat ini. Semua sistem, termasuk kelompok tentu
saja, biasanya berisi proses aliran, pertukaran, dan transformasi dari waktu ke waktu.
Arus mengacu pada pengaruh seperti sumber daya, informasi, perspektif, dan energi
yang masuk ke dalam atau menimpa kelompok. Arus menarik perhatian kita, pertama,
ke fase input, ketika sumber daya memasuki sistem; kedua, untuk pemrosesan mereka
dari waktu ke waktu dalam sistem kelompok; dan, ketiga, untuk fase keluaran (yang
biasanya menjadi input pada sistem yang lain).
Sistem yang berhubungan dengan orang disebut sistem pemrosesan orang, dan,
jika tujuannya adalah untuk mengubah orang, kita mungkin menyebutnya orang
mengubah sistem (Street, Vinter, & Perrow, 1966). Pertukaran mengacu pada
penggunaan pengaruh yang disebutkan sebelumnya untuk mencapai beberapa tujuan
sistem. Transformasi membahas perubahan yang dialami sumber daya dan sistem
sebagai pertukaran terjadi dan menarik perhatian pada produk dari sistem. Dalam
pemrosesan orang sistem, kami menyebut hasil ini (keadaan yang berubah). Banyak
lembaga berbicara tentang keluaran sebagai gantinya, seperti jumlah pertemuan
kelompok yang diadakan dan berapa kali orang menghadiri grup, antara lain. Penting
untuk diingat bahwa keluaran adalah ukuran sistem dan bukan hasil. Dengan kata lain,
jika sebuah agensi memiliki pertemuan kelompok tentang manajemen kemarahan,
laporannya bahwa 14 sesi diadakan adalah output. Angka itu tidak memberi tahu kami
apa pun tentang hasil—apakah anggota kelompok benar-benar mendapatkan lebih
baik dalam manajemen kemarahan.
C. Perspektif 5 C Pada Praktek Kelompok
Garvin, et al. (2004) menjelaskan bahwa sistem itu sendiri tertanam dalam sistem
ekologi lain yang lebih besar, kelompok setidaknya memiliki lima properti yang dapat
digunakan oleh praktisi kelompok untuk menggambarkan dan mengubahnya dan
dimana pengaruh sistem mungkin berdampak, disengaja atau acak. Properti ini
termasuk karakteristik kelompok, kompetensi kelompok, kondisi kelompok,
perubahan kelompok, dan konteks kelompok. Secara terperinci akan dibahas sebagai
berikut :

23



Tabel 3. Perspektif 5 C Pada Praktek Kelompok
Perspektif Praktek Pada Kelompok
Karakteristik Kelompok  Variabel yang melingkupinya adalah : gender, ras,
etnisitas, usia, dan keanggotaan kelompok lainnya).
 Temperamen dari kelompok
 Jenis kelompok itu sendiri (kelompok tugas,
kelompok pemecahan masalah, dll)
 Dilihat dari prosesnya : minimum process
 Pola interaksinya kelompok, apakah kelompok juga
berinteraksi dengan partisipan di luar kelompok.
 Pengaruh dari praktisi kelompok dalam proses
penyesuaian, perubahan, bekerja dengan isu.
Kompetensi Kelompok  Kelompok memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan
menyelesaikan masalah.
 Setiap kelompok memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang berbeda sesuai dengan
karakteristik kelompoknya masing-masing.
 Kelompok cancer sangat menguasai tentang cancer.
Kondisi Kelompok  Berkaitan dengan struktur dan budaya kelompok
 Struktur merujuk pada bagaimana kelompok
mengorganisasikan diri secara informal maupun
formal (secara informal melalui budaya).
 Budaya kelompok mencakup norma dan nilai
bagaimana kelompok bekerja.
Perubahan Kelompok  Kelompok berubah dari sisi ukuran kelompok. Dari
kelompok kecil menjadi kelompok besar.
 Perubahan tujuan kelompok karena berkembang
semakin kompleks.
 Perubahan rencana strategis kelompok.
Konteks Kelompok  Beberapa jenis konteks kelompok meliputi :
kelompok lain, konteks organisasional, konteks
komunitas, dan konteks masyarakat.

24

MODUL KEEMPAT
PEKERJA SOSIAL DENGAN KELOMPOK

A. Praktek Pekerjaan Sosial Kelompok
Menurut Zastrow (2006) pekerja sosial adalah aktivitas profesional untuk
menolong individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan komunitas dalam rangka
memperkuat dan memperbaiki kapasitasnya agar dapat berfungsi sosial dan untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung pencapaian tujuannya. Pekerja sosial
berbeda dengan profesi lain (psikolog dan psikiater) dalam hal tanggung jawab dan
mandat untuk menyediakan pelayanan sosial. Ilmu pekerjaan sosial menjadi salah
satu disiplin ilmu sosial terapan yang bertujuan untuk membantu mendukung ke arah
ketercapaian kesejahteraan sosial. Bidang-bidang seperti perlindungan anak,
HIV/AIDS, korban kekerasan seksual, pelatihan peningkatan kepekaan masyarakat,
konseling keluarga, rehabilitasi ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan obat
terlarang, dan pelayanan lansia, merupakan sebagian lahan garapan yang menjadi
fokus ilmu pekerjaan sosial dengan memperkuat dan mengembangkan potensi-
potensi individu serta sumber-sumber di sekitarnya untuk mendukung ke arah
keberfungsian sosial.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ilmu pekerjaan sosial
memiliki salah satu metode yang bernama metode intervensi pekerjaan sosial dengan
kelompok. Penggunaan kelompok ini, menurut Zastrow (2006) sangat ditentukan oleh
tujuan yang hendak dicapai bersama oleh anggota kelompok yang pada intinya
menghendaki adanya perubahan nilai, sikap, dan tingkah laku dari anggota-
anggotanya. Terdapat cukup banyak aktivitas yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung kegiatan terapi kelompok seperti seni lukis dan kerajinan, menari,
permainan, drama, musik, fotografi, olahraga, belajar di alam, pertukangan,
pertolongan pertama, manajemen rumah tangga, pertukaran informasi, termasuk
juga diskusi seperti isu politik, seks, pernikahan, agama, dan pemilihan karier.

25


B. Konteks Pekerjaan Sosial Kelompok
Mengacu kepada konteksnya, penerapan metode kelompok ini terdapat beberapa
perbedaan sesuai dengan konteksnya masing-masing :
1. Konteks Negara Industrialisasi
Penerapan metode kelompok umumnya menggunakan kelompok berukuran kecil
dan menggunakan tipe kelompok tugas dengan mengedepankan proses
kelompok.
2. Negara-negara Amerika Selatan
Penerapan metode kelompok umumnya mengadopsi ideologi pembebasan dan
membangun kesadaran anggota kelompok, terutama sekali pada penindasan-
penindasan yang dialami oleh kelompok masyarakat miskin.Pendekatan yang
dipergunakan adalah pembanguan sosial untuk mengaitkan antara tujuan
pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial (Midgley, 1995).
3. Negara-negara Asia dan kawasan lainnya
Umumnya metode kelompok menggunakan pendekatan pengorganisasian dan
pemberdayaan komunitas (Regan & Lee, 1992). Indonesia termasuk salah satu
yang mengadopsi pendekatan ini.
C. Pemberdayaan dan Metode Social Group Work
Breton (2004) Dalam rangka memahami makna yang baru saja diberikan kepada
pemberdayaan, tujuan keseluruhan kelompok, dari perspektif pemberdayaan, adalah
untuk mengubah struktur atau kondisi kognitif, perilaku, sosial, dan politik yang
menindas yang menghalangi kontrol yang dimiliki orang atas kehidupan mereka, yang
mencegah mereka dari mengakses sumber daya yang dibutuhkan, dan yang
menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka.
Dalam rangka mengubah struktur sosial dan politik, tentu saja kehadiran kelompok
dibutuhkan untuk memobilisasi dan mengatur berbagai tindakan kolektif yang
direncanakan yang ditujukan untuk membawa perubahan sosial. Tindakan tersebut
dapat tercapai apabila kelompok berkolaborasi, tidak bekerja sendiri, melainkan
dengan membangun kemitraan antar kelompok yang berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat untuk menghubungkan kelompok pada sumber daya
masyarakat, membangun dukungan, serta mengembangkan jaringan informasi.
Membangun hubungan dengan masyarakat, dari perspektif pemberdayaan, lebih dari

26


sekadar sarana untuk mencapai tujuan perubahan sosial tertentu. Ini menyediakan
kesempatan anggota kelompok untuk mulai melihat diri mereka sebagai anggota
komunitas dan akhirnya untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan komunitas itu.
Dalam hal ini, kerja masyarakat, dimana orang berkolaborasi untuk membangun
komunitas yang mendukung bagi diri mereka sendiri, berjalan seiring dengan
pekerjaan pemberdayaan (McKenzie, 1999).
Akhirnya, untuk mencapai tujuannya, kelompok yang berorientasi pada
pemberdayaan, seperti semua kelompok, harus bersaing dengan struktur
kelembagaan dan organisasi di mana mereka beroperasi. Pekerjaan pemberdayaan
membutuhkan memastikan dukungan dari administrator dan manajer organisasi
layanan sosial dan menghadapi struktur organisasi ketika mereka mencegah
kelompok berpartisipasi penuh dalam keputusan yang mempengaruhi mereka
(Bartle, Couchonnal, Canda, & Staker, 2002; Gutiérrez, GlenMaye, & DeLois, 1995).
D. Intervensi/Kolaboratif Aksi
Berdasarkan perspektif pemberdayaan, yang menempatkan kerangka acuan
kesetaraan, akan menjadi lebih akurat untuk mengkonseptualisasikan pekerjaan yang
terjadi sebagai tindakan kolaboratif daripada "intervensi"—yang terakhir
menyampaikan gagasan bahwa para ahli campur tangan atau bertindak. Dalam kerja
pemberdayaan, kerjasama ini berlangsung sejak awal, yaitu dari tahap perencanaan,
sampai dengan tahap penyadaran, tahap tindakan kolektif, dan tahap keterlekatan
pasca kelompok di dalam komunitas (Breton, 2004) yang dirinci sebagai berikut :
1. Perencanaan
Beberapa hal yang penting untuk dilakukan ketika kelompok berada pada tahap
perencanaan ini adalah :
a. semua orang yang akan terlibat dalam kelompok memiliki kesempatan untuk
berbagi kekuatan untuk menentukan tentang bentuk atau tipe kelompok dan
apa yang akan dilakukan oleh kelompok.
b. Perencanaan juga melibatkan memutuskan siapa yang akan dilibatkan untuk
bergabung sebagai anggota kelompok. Proses ini dapat dilakukan dengan cara
demokratis atau cara yang kurang demokratis. Pekerja sosial dapat memilih
individu dan mengundang beberapa orang yang dinilai tepat untuk bergabung

27


kelompok atau mengumumkan secara terbuka (misalnya, iklan di koran lokal,
selebaran, poster, dari mulut ke mulut).
c. Berbagi ide tentang tujuan keseluruhan dari dibentuknya kelompok. Oleh
karena itu, mengacu pada perspektif pemberdayaan, bahwa pekerja dan
anggota potensial mengakui bahwa pekerjaan kelompok akan melibatkan
perubahan pribadi dan sosial.
d. Untuk mewujudkan tujuan perubahan pribadi dan sosial, pekerja harus jelas
dalam pikiran mereka sendiri tentang nilai-nilai yang menjadi dasar kerja
pemberdayaan. Keadilan sosial adalah pusat pemberdayaan dan perlu
diidentifikasi seperti itu oleh semua orang. Perhatian tentang kondisi sosial
yang adil dan tidak adil harus menginformasikan diskusi tentang apa yang
akan dilakukan kelompok sekitar, meskipun akan melakukannya dengan cara
pendahuluan pada tahap ini.
e. Pada tahap awal ini, pekerja dan calon anggota juga akan mengenali konflik
sebagai fitur grup standar sebagai bagian dari proses belajar di dalam
kelompok. Menghadapi dan menangani konflik secara konstruktif seperti
konflik antar pribadi yang pasti terjadi pada tahap perencanaan merupakan
langkah pertama dalam mempersiapkan kelompok untuk akhirnya
menghadapi struktur dan kebijakan sosial yang menindas.
f. Mengklarifikasi jenis peran yang diharapkan dalam kelompok yang
berorientasi pada pemberdayaan juga bagian dari tahap perencanaan.
2. Meningkatkan kesadaran
a. Pada tahap ini, tindakan kolaboratif dimulai dengan keterlibatan kelompok
sebagai sistem saling membantu. Dinamika saling membantu dalam bertukar
informasi atau cerita pribadi adalah cara melalui anggota mana yang pertama
kali menemukan bahwa mereka dapat saling membantu.
b. Melalui proses penyadaran, anggota mulai mengidentifikasi diri mereka
sebagai warga negara—makhluk politik—yang, dalam demokrasi, memiliki
hak dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam kancah sosial politik,
untuk didengar, dan untuk mempengaruhi kebijakan agar mereka dapat
mengakses sumber daya yang mereka butuhkan. Ini menempatkan mereka
dalam posisi dari mana mereka dapat pindah ke tahap kerja pemberdayaan

28


berikutnya, yaitu mengambil tindakan kolektif untuk mengubah situasi
mereka ketidakberdayaan.
3. Aksi Sosial/Kolektif
a. Karena wajar bagi anggota kelompok dan fasilitator untuk mengalami
beberapa keraguan pada gagasan untuk terlibat secara politik, kelompok-
kelompok harus terlebih dahulu memobilisasi dan mempersiapkan diri untuk
mengambil tindakan. Pada titik ini, dinamika gotong royong “strength-in-us”
dapat disalurkan untuk bertindak sebagai motivator (“kita semua bersama-
sama”) dan sebagai ujian realitas (“mari kita lihat bagaimana kita dapat
menggunakan suara kolektif”)
b. Jenis tindakan yang diambil akan tergantung pada kecanggihan,
keterampilan, dan kemampuan anggota kelompok. Tindakan mungkin
termasuk mengambil bagian dalam demonstrasi; memberikan wawancara
kepada wartawan surat kabar, radio, atau televisi; berpartisipasi dalam
pertemuan balai kota; memimpin atau seminar bersama; dan menulis surat
kepada editor atau artikel surat kabar. Upaya ini juga harus diarahkan untuk
memimpin pembuat kebijakan publik dan pemerintah (pegawai sipil dan
politisi) untuk memulai proses penyadaran mereka sendiri (Breton & Breton,
1997).
c. Untuk menjadi berdaya, setiap tindakan harus diikuti dengan refleksi; itu
harus melibatkan apa yang disebut oleh Freire (1970/1993) dengan
terminologi "praksis", yaitu gerakan konstan dari refleksi ke tindakan kembali
ke refleksi. Melalui penilaian hasil tindakan mereka, anggota kelompok
memperoleh kesadaran yang semakin kritis tentang cara kerja kekuasaan di
lingkungan mereka.
4. Kelekatan Di Dalam Komunitas
a. Seluruh upaya untuk menumbuhkan kelekatan di dalam komunitas
memerlukan beberapa tingkat partisipasi dalam kaitannya dengan
pengembangan masyarakat. Langkah tersebut harus mengkonsolidasikan dan
membangun manfaat yang disusun dalam kelompok dengan berorientasi
pada pemberdayaan.

29


b. Keterikatan merujuk pada pemahaman menjadi satu dengan komunitas yang
merupakan penjaga utama terhadap marginalisasi sehingga menyebabkan
ketidakberdayaan.

30

MODUL KELIMA
RELEVANSI DAN TAHAPAN INTERVENSI


Bekerja di dalam kelompok tentu membutuhkan mekanisme tertentu untuk
membimbing proses kerja agar lebih sistematis dengan hasil-hasil yang terukur dengan
jelas. Setiap proses dari tahapan terapi bekerja di dalam kelompok harus dipahami dengan
baik oleh pekerja sosial agar tidak terjadi kesalahan yang dapat menyebabkan terjadinya
malpraktek. Pada bagian ini, akan dibahas terkait dengan proses terapi kelompok sebagai
kerangka kerja bagi pekerja sosial pada saat bekerja di dalam kelompok.
A. Relevansi Terapi Kelompok Dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Terdapat beberapa alasan yang mendasari relevansi terapi kelompok dalam
praktek pekerjaan sosial :
1. Menciptakan iklim mutual support yang mencakup :
a. Terciptanya iklim saling dukung di antara sesama anggota kelompok yang
tengah terlibat di dalam proses terapi. Saling dukung ini sangat penting untuk
membentuk sikap mental positif para anggota kelompok bahwa dirinya
diterima, merasa nyaman, tidak merasa sendirian, dan mendapatkan
perkalakuan yang baik dari sesama anggota kelompok.
b. Memfasilitas pelepasan ekspresi anggota kelompok. Pada hakikatnya, dalam
konteks praktek pekerjaan sosial, para anggota kelompok memiliki beban
emosional yang harus ditanggung sebagai konsekuensi dari permasalahan
yang dialaminya. Kelompok dapat menjadi ruang ideal bagi para anggota
kelompok untuk menyalurkan ekspresi emosinya yang selama ini mungkin
mengalami hambatan karena kurang mendapatkan dukungan dari pihak lain
di luar kelompok.
c. Harapan untuk mencoba gagasan baru atau perilaku baru. Di dalam
kelompok, seluruh anggota saling mendiskusikan permasalahannya dan
mengeksplorasi ide-ide yang menjadi alternatif untuk menghadapi dan
mengelola masalahnya. Setiap anggota mendapatkan kesempatan untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya secara terbuka, dan seluruh anggota
menyimak dan menghargai setiap ide-ide yang diproduksi bersama untuk

31


dijadikan sebagai miliki kelompok. Setiap ide tersebut pada satu sisi dapat
dilihat sebagai sebuah harapan untuk mencapai sebuah perubahan yang lebih
baik di masa depan.
2. Cohesiveness
a. Ikatan sesama anggota kelompok. Masing-masing anggota kelompok pada
awalnya tidak saling mengenal satu sama lain. Pada tahap pembentukan
kelompok, masing-masing anggota masih merasakan ketidaknyaman dan
berusaha untuk menjaga dirinya karena sedang dalam masa penjajakan untuk
mengenal lebih dekat teman-teman satu kelompoknya. Tidak tertutup juga
masih ada rasa curiga antar anggota kelompok. Oleh karena itu, pekerja sosial
berperan untuk mempromosikan kedekatan kelompok agar sesama anggota
saling mengenal lebih dekat satu sama lain melalui beragam aktivitas yang
dilakukan bersama-sama. Pekerja sosial harus mendorong terjadinya
ketertarikan antar anggota kelompok sehingga seiring berjalan waktu
interaksi dan relasi yang dilaksanakan lebih informal dan menyenangkan.
b. Saling menerima antar anggota kelompok. Anggota kelompok memiliki
keanekaragaman latar belakang dilihat dari status sosial ekonomi, agama,
usia, ras, etnis, dan jenis kelamin. Pekerja sosial harus mampu mendorong
seluruh anggota kelompok untuk saling menerima satu sama lain berbagai
perbedaan tersebut sebagai sebuah keunikan manusia yang justru menjadi
modal untuk memperkaya kelompok.
c. Saling mempengaruhi dalam konteks positif. Setiap anggota kelompok
memiliki kemampuan berbeda satu sama lain. Di dalam proses terapi,
umumnya ditemukan terdapat anggota yang cepat untuk berubah dalam
membentuk sikap dan perilaku positif, sementara ada anggota kelompok lain
yang masih mengalami kesulitan untuk mencapainya. Oleh karena itu, pekerja
sosial mendorong anggota yang sudah lebih mampu untuk memberikan
pengaruh positif kepada anggota lain yang sedang berproses mencapai
tingkat perubahan yang diinginkan dalam terapi yang tengah dilaksanakan.
d. Membangun komitmen bersama. Setiap anggota yang telah menyatakan
kesediaannya untuk terlibat di dalam proses terapi, harus mampu
menyatakan dan membuktikan komitmennya untuk berubah melalui

32


serangkaian program dan aktivitas yang telah disepakati bersama. Pekerja
sosial sangat berperan untuk membangun dan menjaga komitmen para
anggota tersebut agar tetap konsisten mengikuti proses terapi sesuai dengan
tujuan dan hasil yang telah ditetapkan. Setiap konflik dan inkonsistensi harus
segera diatas dengan baik agar tidak mempengaruhi komitmen anggota
kelompok.
3. Universality
a. Munculnya perasaan yang sama. Setiap anggota walaupun berasal atau
memiliki latar belakang heterogen, tetapi harus didorong untuk
menumbuhkan perasaan yang sama sebagai anggota kelompok untuk keluar
dari permasalahan yang sedang dihadapinya saat ini.
b. Tidak merasa sendiri. Anggota kelompok dapat saja berasal dari individu-
individu yang telah diabaikan oleh lingkungan sosialnya. Pekerja sosial dan
kelompok bertanggung jawab untuk menemaninya dan berperan sebagai
“keluarga” bagi individu tersebut. Perasaan diterima ini sangat penting sebab
memberikan perasaan positif bagi individu.
4. Altruism
a. Self-esteem dan personal identity semakin kuat dengan adanya relasi saling
menolong antar anggota.
b. Merasa mendapatkan apresiasi dan memiliki dorongan untuk berkontribusi
terhadap tugas kelompok dan bersedia mengambil tanggung jawab untuk
melaksanakan tugas tersebut.
5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
a. Kelompok menjadi tempat yang aman untuk memperoleh pengetahuan yang
dibutuhkan dalam hal : menerima ide-ide baru, upaya penyelesaian baru,
cara-cara baru, tujuan hidup baru, sikap dan perilaku yang baru.
b. Kelompok menjadi tempat yang aman untuk mempelajari keterampilan baru
dan melatihnya agar terinternalisasi menjadi sebuah pola perilaku baru yang
lebih adaptif dan diterima oleh masyarakat di luar kelompok.

33


6. Reality testing
a. Anggota kelompok lain memiliki tugas untuk memberikan evaluasi terhadap
sesama anggota kelompok terkait dengan perubahan sikap dan perilaku yang
telah dicapai.
b. Anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan umpan
balik.
c. Anggota kelompok dapat memberikan alternatif metode sebagai bahan
pertimbangan untuk proses uji coba terhadap realita.
7. Group control
a. Sesuai dengan target kelompok, maka setiap anggota kelompok harus
mengurangi resistensinya agar di dalam kelompok terbangun integrasi sosial.
b. Mengurangi perilaku yang kurang pantas dari anggota kelompok agar
bersikap adaptif terhadap norma kelompok.
c. Bersama-sama dengan kelompok mengatasi rasa frustasi.
d. Menerima keterbatasan sebagai proses penerimaan diri.
B. Tahapan Intervensi
Zastrow (2006) merumuskan tahapan proses perubahan sebagai acuan dalam
intervensi sebagai berikut :
Tabel 4. Tahapan Intervensi
No. Tahapan Deskripsi Tahapan
1 Membangun Relasi Dengan
Klien
 Mengidentifikasi potensi-potensi
klien.
 Mengembangkan relasi kerja yang
tepat.
2 Identifikasi Isu, Masalah,
Kebutuhan, Sumberdaya, dan
aset
 Mengidentifikasi berbagai isu yang
muncul di dalam kelompok.
 Membuat pemetaan masalah atas
isu tersebut agar mempermudah
proses identifikasinya.
3 Mengumpulkan dan Mendalami
Informasi
 Informasi dikumpulkan secara
mendalam dan dianalisa untuk
membantu pekerja sosial
merumuskan jawaban atas
permasalahan/isu yang muncul.
 Informasi dapat bersumber dari klien
atau sistem lain yang berhubungan
dengan klien.

34


No. Tahapan Deskripsi Tahapan
4 Merencanakan Pemberian
Layanan
 Disusun berdasarkan hasil
assessment.
 Menentukan pilihan-pilihan program
terbaik.
 Menyusun dokumen perencanaan
layanan.
5 Menggunakan keterampilan
komunikasi, Supervisi, dan
Konsultasi
 Menggunakan keterampilan
berkomunikasi baik verbal maupun
tulisan.
 Menggunakan keterampilan
wawancara pada saat melaksanakan
konseling.
 Salah satu pentingnya keterampilan
berkomunikasi adalah apabila
pekerja sosial diminta menjadi saksi
di pengadilan.
 Pekerja sosial juga perlu mengetahui
kapan konsultasi dibutuhkan dan
perlu dijadwalkan.
6 Identifikasi, Analisa, dan
Mengimplementasikan
Rancangan Intervensi Untuk
Mencapai Tujuan Klien
 Menetapkan program p rioritas
sebagai program utama untuk
dilaksanakan.
 Penetapan program harus sesuai
dengan tujuan, nilai, dan kode etik.
7 Menerapkan Pengetahuan dan
Teknologi
 Penerapan teknologi informasi
sangat mendukung pelaksanaan
intervensi.
 Penggunaan perangkat komputer
untuk mencatat dan menyimpan
data sangat efektif.
8 Evaluasi Program dan
Efektivitas Praktek
 Dapat mempergunakan metode
survey untuk mengetahui
keberhasilan program dan efektivitas
praktek.
 Terminasi sebagai tahap akhir
perubahan terencana.

35


MODUL KEENAM
PERAN PEKERJA SOSIAL


Pada bagian ini, akan membahas tentang peran-peran pekerja sosial ketika bekerja
bersama dengan kelompok. Pembagian peran ini menjadi sangat penting terkait dengan
dinamika kelompok ketika sedang berproses dalam rangka mencapai tujuan kelompok
dan individu. Posisi pekerja sosial sangat sentral dalam hal ini, sehingga pekerja sosial
membutuhkan pengetahuan tentang peran-peran yang tepat di dalam sebuah situasi
dinamis. Terdapat cukup banyak peran yang dapat diidentifikasi sesuai dengan tugas yang
dilaksanakannya. Zastrow (2006) membagi peran pekerja sosial sebagai berikut :
1. Peran sebagai enabler
Dalam peran ini, seorang pekerja sosial bertugas untuk membantu individu atau
kelompok dalam mengartikulasikan kebutuhan mereka, untuk mengklarifikasi dan
mengidentifikasi masalah, untuk mengeksplorasi strategi resolusi, untuk memilih dan
menerapkan strategi, dan untuk mengembangkan kapasitas mereka untuk mengatasi
masalah mereka sendiri secara lebih efektif. Ini mungkin merupakan pendekatan yang
paling sering digunakan adalah konseling individu, kelompok, dan keluarga. Model ini
juga diterapkan di dalam praktik masyarakat terutama ketika tujuannya adalah untuk
membantu sejumlah individu dalam mengorganisasikan diri. Perlu dicatat bahwa
definisi istilah ini enabler sangat berbeda dari yang digunakan di area dari
ketergantungan zat kimia tertentu. Peran enabler tidak tepat untuk dipergunakan
dalam konteks anggota keluarga atau teman yang memfasilitasi penyalahgunaan zat
adiktif terlarang secara terus menerus oleh penggunanya.
2. Peran sebagai broker
Seorang broker menghubungkan individu dan kelompok yang membutuhkan bantuan
(dan tidak tahu di mana tersedia) dengan layanan komunitas. Sebagai contoh, seorang
istri yang sering dianiaya secara fisik oleh suaminya dapat dirujuk ke rumah singgah
sebagai tempat perlindungan bagi wanita yang dianiaya. Saat ini bahkan komunitas
telah memiliki 200 atau 300 lembaga/organisasi layanan sosial yang menyediakan
layanan masyarakat. Bahkan profesional layanan manusia mungkin hanya sebagian
menyadari total jaringan layanan di masyarakat.

36


3. Peran sebagai advokat
Peran advokat telah dipinjam dari hukum profesi. Ini adalah peran aktif dan direktif di
mana pekerja sosial mengadvokasi klien atau untuk warga negara kelompok. Ketika
klien atau kelompok warga membutuhkan bantuan dan lembaga yang ada tidak
tertarik (atau bahkan secara terbuka negatif dan bermusuhan) dalam memberikan
layanan, maka peran advokat mungkin tepat. Peran sebagai advokat memiliki ruang
lingkup untuk mengumpulkan informasi, untuk memperdebatkan kebenaran
pernyataan klien kebutuhan dan permintaan, dan untuk menantang institusi
keputusan untuk tidak memberikan layanan. Tujuannya bukan untuk mengolok-olok
atau mencela lembaga tertentu tetapi memodifikasi atau mengubah satu atau lebih
kebijakan layanannya. Di dalam peran, advokat adalah partisan yang secara eksklusif
melayani kepentingan klien atau kelompok warga negara. Dalam menjadi advokat,
seorang pekerja berusaha untuk memberdayakan klien atau kelompok warga melalui
mengamankan perubahan dalam satu atau lebih kebijakan kelembagaan.
4. Peran sebagai aktivis
Seorang aktivis mencari berupaya untuk mendorong terjadinya perubahan
institusional; seringkali tujuannya melibatkan pergeseran kekuasaan dan sumber
daya ke kelompok yang kurang beruntung. Aktivis memiliki keprihatinan tentang
ketidakadilan sosial, ketidaksetaraan, dan perampasan, konflik, konfrontasi, dan
negosiasi. Tujuannya adalah untuk mengubah lingkungan sosial agar lebih suportif
dalam memenuhi kebutuhan individu. Peran sebagai advokat dapat dilaksanakan
pekerja sosial dengan menggunakan metode asertif dan berorientasi pada tindakan
(untuk misalnya, mengorganisir warga yang peduli untuk bekerja untuk perbaikan
dalam pelayanan di komunitas untuk orang dengan AIDS), pekerja sosial terlibat
dalam pencarian fakta, analisis kebutuhan masyarakat, penelitian, penyebaran dan
interpretasi informasi, mobilisasi, dan upaya lain untuk mempromosikan pemahaman
dan dukungan publik atas nama yang ada atau yang diusulkan program sosial.
Kegiatan aksi sosial dapat diarahkan terhadap masalah yang bersifat lokal, negara
bagian, atau dalam lingkup nasional.

37


5. Peran sebagai mediator
Peran mediator dilaksanakan ketika melibatkan intervensinya dalam perselisihan
antara pihak-pihak yang berkonflik untuk membantu mereka menemukan kompromi,
mendamaikan perbedaan, atau mencapai kepuasan bersama dalam sebuah
perjanjian yang disepakati bersama. Pekerja sosial harus menggunakan nilai atau
orientasi dan keterampilan unik dari pihak yang berkonflik dalam berbagai bentuk
mediasi. Contoh kelompok sasaran di mana mediasi telah digunakan termasuk
perselisihan yang melibatkan perceraian pasangan, tetangga yang berkonflik,
perselisihan tuan tanah-penyewa, perselisihan manajemen-tenaga kerja, dan hak
asuh anak perselisihan. Mediator tetap netral, tidak memihak salah satu pihak, dan
pastikan mereka memahami posisi kedua belah pihak. Pihak berkonflik dapat
membantu memperjelas posisi, mengidentifikasi miskomunikasi tentang perbedaan,
dan membantu mereka yang terlibat mempresentasikan kasus mereka dengan jelas.
6. Peran sebagai negosiator
Seorang negosiator menyatukan mereka yang berada dalam konflik atas satu atau
lebih masalah dan berusaha untuk mencapai tawar-menawar dan kompromi untuk
sampai pada kesepakatan yang dapat diterima bersama perjanjian. Agak mirip seperti
mediasi, negosiasi melibatkan pekerja sosial untuk menemukan jalan tengah atas
permasalahan yang dihadapi semua pihak. Namun, tidak seperti seorang mediator,
yang merupakan peran netral, seorang negosiator biasanya bersekutu dengan salah
satu pihak yang terlibat.
7. Peran sebagai edukator
Peran pendidik melibatkan pemberian informasi kepada klien dan mengajari mereka
keterampilan adaptif. Untuk menjadi pendidik yang efektif, pekerja harus terlebih
dahulu memiliki pengetahuan. Selain itu, pekerja sosial harus menjadi komunikator
yang baik sehingga informasi tersampaikan dengan jelas dan mudah Contohnya
termasuk mengajarkan keterampilan mengasuh anak kepada orang tua muda,
memberikan strategi mencari pekerjaan kepada para pengangguran, dan mengajar
teknik pengendalian kemarahan untuk individu dengan buruk emosi.
8. Peran sebagai inisiator
Pemrakarsa meminta perhatian pada suatu masalah—atau bahkan pada masalah
potensial. Penting untuk disadari bahwa beberapa masalah dapat diketahui terlebih

38


dahulu. Sebagai contoh, proposal untuk merenovasi lingkungan pada masyarakat
berpenghasilan rendah dengan membangun unit perumahan berpenghasilan
menengah dapat mengakibatkan di warga saat ini menjadi tunawisma. Jika proposal
disetujui, keluarga berpenghasilan rendah tidak akan mampu membayar biaya unit
berpenghasilan menengah. Biasanya peran inisiator harus diikuti oleh yang lain fungsi;
hanya meminta perhatian pada masalah biasanya tidak menyelesaikannya.
9. Peran sebagai pemberdaya
Tujuan utama dari praktik pekerjaan sosial adalah pemberdayaan, yaitu proses
menolong individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan komunitas meningkatkan
pribadi, interpersonal, sosial ekonomi, dan politik kekuatan dan pengaruh melalui
perbaikan keadaan mereka. Pekerja sosial yang terlibat dalam praktik yang berfokus
pada pemberdayaan berusaha mengembangkan kapasitas klien untuk memahami
lingkungan mereka, membuat pilihan, bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan
mempengaruhi situasi kehidupan mereka melalui organisasi dan advokasi. Pekerja
sosial yang berfokus pada pemberdayaan juga berusaha untuk mendapatkan
distribusi sumber daya yang lebih adil dan kekuasaan di antara kelompok-kelompok
yang berbeda dalam masyarakat. Ini fokus pada kesetaraan dan keadilan sosial telah
menjadi ciri khas profesi pekerjaan sosial, sebagaimana dibuktikan melalui pekerja
pemukiman awal.
10. Peran sebagai koordinator
Koordinator menyatukan beberapa jenis komponen secara terorganisir. Misalnya,
untuk keluarga dengan banyak masalah seringkali diperlukan beberapa agen untuk
bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah keuangan, emosional, hukum,
kesehatan, sosial, pendidikan, rekreasi, dan kebutuhan interaksi anggota keluarga.
Seseorang di sebuah lembaga perlu mengambil peran sebagai manajer kasus untuk
mengoordinasikan layanan dari berbagai lembaga untuk menghindari duplikasi dan
untuk mencegah layanan yang beragam dari memiliki tujuan yang saling
bertentangan.
11. Peran sebagai peneliti
Setiap pekerja sosial kadang-kadang adalah seorang peneliti. Penelitian dalam praktik
pekerjaan sosial termasuk mempelajari literatur pada topik yang menarik,

39


mengevaluasi hasil praktek, menilai kelebihan dan kekurangan program, dan
mempelajari kebutuhan masyarakat.
12. Peran sebagai fasilitator kelompok
Fasilitator kelompok adalah orang yang berfungsi sebagai pemimpin untuk aktifitas
kelompok. Kelompok tersebut mungkin merupakan kelompok terapi, dan kelompok
pendidikan, kelompok swadaya, kepekaan kelompok, kelompok terapi keluarga, atau
kelompok dengan beberapa fokus lainnya.
13. Peran sebagai pembicara publik
Pekerja sosial kadang-kadang direkrut untuk diajak bicara berbagai kelompok (seperti
sekolah menengah, organisasi layanan umum, petugas polisi, staf di lembaga lain)
untuk menginformasikan tentang ketersediaan layanan atau untuk mengadvokasi
layanan baru. Pada beberapa tahun terakhir, berbagai layanan yang dibutuhkan telah
diidentifikasi (misalnya, pusat perlindungan, layanan untuk korban KDRT, pusat krisis
korban pemerkosaan, layanan untuk orang dengan AIDS, dan panti asuhan untuk
pemuda). Pekerja sosial yang memiliki keterampilan berbicara di depan umum dapat
menjelaskan layanan untuk kelompok klien potensial

40

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J., & Carter, R. W. (Eds.). (2003). Diversity perspectives for social work practice:
Constructivism and the constructivist framework. New York: Pearson Allyn & Bacon.
Bart le, E. E., Couchonnal, G., Canda, E. R., & Staker, M. D. (2002). Empowerment as a
dynamically developing concept for practice: Lessons learned from organizational
ethnography. Social Work, 47(1), 32–43.
Benne, K. D., & Sheats, P. (1948). Functional roles of group members. Journal of Social
Issues, 4(2), 41–49.
Breton, M. (2004). An empowerment perspective. Garvin, et.al. ed. (2004). Handbook of
social group work. New York : The Guilford Press.
Breton, M., & Breton, A. (1997). Democracy and empowerment. In A. Breton, G. Galeotti,
P. Salmon, & R. Wintrobe (Eds.), Understanding democracy: Economic and political
perspectives (pp. 176– 195). New York: Cambridge University Press.
Cartwright, D. (1968). The nature of group cohesiveness. In D. Cartwright & A. Zander
(Eds.), Group dynamics: Research and theory (3rd ed., pp. 91–109). New York: Harper
& Row.
Charles, H. Z. (2006) Social work with group : A comprehensive workbook (7
th
). London :
Broke/Cole.
Deutsch, M., & Gerard, H. (1955). A study of normative and informational social influence
upon individual judgement. Journal of Abnormal and Social Psychology, 51, 62
Festinger, L. (1950). Informal social communication. Psychological Review, 57, 271–282
French, J. R. P., Jr., & Raven, B. (1959). The bases of social power. In D. Cartwright (Ed.),
Studies in social power (pp. 150–167). Ann Arbor, MI: Institute for Social Research.
Galinsky, M. J., & Schopler, J. H. (1989). Developmental patterns in open-ended groups.
Social Work with Groups, 12(2), 99–114.
Garvin, et.al. ed. (2004). Handbook of social group work. New York : The Guilford Press.
Gutiérrez, L. M., GlenMaye, L., & DeLois, K. (1995). The organizational context for
empowerment practice: Implications for social work administration. Social Work,
40(2), 249–258.
Gray-Little, B., & Kaplan, D. (2000). Race and ethnicity in psychotherapy research. In C.
Snyder & R. Ingram (Eds.), Handbook of psychological change. New York: Wiley.
Hopps, J. G., & Pinderhughes, E. B. (1999). Group work with overwhelmed clients. New
York: Free Press.
Huda, M. (2009). Pekerjaan sosial dan Kesejahteraan sosial : Sebuah pengantar.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jones, L.V. (2000). Enhancing psychosocial competence among black women through an
innovative psycho-educational group intervention. Ann Arbor, MI: UMI Bell & Howell.
Levi, D. (2001). Group dynamics for teams. Thousand Oaks: Sage.
Mayadass, et. al. (2004). Social group work in global context. (in Garvin, et.al. ed. (2004).
Handbook of social group work. New York : The Guilford Press.
McKenzie, B. (1999). Empowerment in First Nations child and family services: A
community-building process. In W. Shera & L. M. Wells (Eds.), Empowerment practice
in social work (pp. 196–219). Toronto, Ontario, Canada: Canadian Scholars’ Press
Midgley, J. (1995). Social development: The developmental perspective in social welfare.
Thousand Oaks, CA: Sage.

41


Regan, S., & Lee, G. (1992). The interplay among social group work, community work and
community action. Social Work with Groups, 15(1) 35–50.
Schopler, J., Abell, M., & Galinsky, M. (1998). Technology-based groups: A review and
conceptual framework for practice. Social Work, 43(3), 254–267.
Smokowski, P. R., Galinsky, M., & Harlow, K. (2001). Using technologies in groupwork: 2.
Computer-based groups. Group Work, 13(1), 98–115.
Stewart, G., Manz, C., & Sims, H. (1999). Team work and group dynamics. New York: Wiley
Street, D., Vinter, R., & Perrow, C. (1966). Organization for treatment. New York: Free
Press.
Sue, D. W., & Sue D. (1999). Counseling the culturally different: Theory and practice (3rd
ed.). New York: Wiley.
Toseland, R. W., & Rivas, R. F. (2001). An introduction to group work practice (4th ed.).
Boston: Allyn & Bacon.
Tropman, J. E. (2004). An ecological system perspective. (in Garvin, et.al. (ed). (2004).
Handbook of social group work. New York : The Guilford Press.
Tuckman, B. (1963). Developmental sequence in small groups. Psychological Bulletin, 63,
384–399.

SEJARAH DAN BENTUK
KELOMPOK
MODUL SATU

SEJARAH PERKEMBANGAN
METODE INTERVENSI KELOMPOK
•intervensi pertama kali di The First Settlement
House, Toynbee Hall, London pada tahun 1884.
Bentuk-bentuk serupa juga ditemukan di Amerika
Serikat.
•YMCA di London. Fokus pelayanan utamanya
adalah menjadi pendoa, membaca kitab suci, dan
berdiskusi tentang topik-topik spiritual
•US YMCA menjadi pioner yang membentuk
komunitas dukungan bidang olahraga dan atletik,
menemukan olahraga basketball dan bola voli, dan
mengajarkan tentang water safetydan renang.
Gerakan ini terus berkembang sampai membantu
pelajar-pelajar berkebangsaan asing di Amerika.
Pada tahun 1866 dibentuk Young Women’s
Christian Association di Boston.

JENIS KELOMPOK : SOCIAL
CONVERSATION
•Pekerja sosial dan klien membahas topik untuk
didiskusikan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh kelompok.
•Contoh topik yang dibahas adalah pemecahan
masalah.

JENIS KELOMPOK : KELOMPOK
REKREASI
•Disebut juga sebagai informal recreational group
atau Skill-building recreational group.
•Menawarkan kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk mendapatkan kesenangan dan melatih
keterampilan tertentu.
•Kegiatan dapat bersifat fisik dengan memanfaatkan
perlengkapan yang telah tersedia.
•Pada kelompok keterampilan agak berbeda dengan
kelompok rekreasional yang bertujuan untuk
menguasai keterampilan tertentu.

JENIS KELOMPOK : KELOMPOK
EDUKASI
•Tujuan utamanya adalah untuk membantu anggota
kelompok mempunyai pengetahuan dan
mempelajari keahlian tertentu.
•Aktivitas kelompok ini membutuhkan pendidik
yang ahli dalam menguasai pengetahuan atau
keahlian yang akan diajarkan.
•Pekerja sosial perlu bekerja sama dengan
profesional untuk meningkatkan proses transfer
pengetahuan dan keahlian anggota kelompok

JENIS KELOMPOK : KELOMPOK
TUGAS
•Tujuannya untuk membangun sifat bertanggung
jawab dari masing-masing anggota kelompok.
•Melalui tugas yang diberikan, anggota kelompok
dilatih dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.
•Tugas yang diberikan pekerja sosial dapat
membantu meningkatkan kemampuan kognitif
anggota kelompok

KELOMPOK PEMECAHAN
MASALAH DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
•Lebih menekankan kepada proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
•Pekerja sosial mendorong setiap anggota terlibat
aktif dan saling bertukar pikiran untuk memahami
masalah secara mendalam sebagai langkah untuk
memecahkan masalah dan mengambil keputusan
terbaik.

KELOMPOK FOKUS
•Dibentuk dengan berbagai tujuan, mencakup : (1)
mengidentifikasi kebutuhan atau issu; (2) menguji
reaksi atas pendekatan alternatif dalam merespon
issue.

SELF-HELP DAN MUTUAL AID
•Ditujukan untuk membantu individu mengatasi
permasalahan hidupnya.
•Saling dukung dilakukan dengan cara memberikan
testimoni dan pengakuan
•Umumnya dalam bentuk “direct service” dengan
memberikan pertolongan langsung kepada setiap
anggota kelompok yang menghadapi masalah.

KELOMPOK SOSIALISASI
•Tujuannya adalah untuk membantu anggota
kelompok mengembangkan sikap dan perilaku
yang lebih dapat diterima oleh lingkungan sosial.
•Jenis keterampilan sosial yang dikembangkan
meliputi : meningkatkan rasa percaya diri,
merencanakan masa depan.

KELOMPOK TREATMEN
•Dibentuk dengan tujuan untuk menolong individu
yang mengalami gangguan emosional, tingkah laku,
masalah personal dengan kategori berat.
•Menggunakan teknik konseling dan leadership.
•Membutuhkan peran profesional selain pekerja
sosial seperti psikolog dan psikiater.

KELOMPOK SENSITIVITY &
ENCOUNTER TRAINING
•Kelompok yang dibentuk untuk menolong
anggotanya memiliki kedekatan relasi personal
yang lebih intim.
•Kelompok ini memang untuk membantu agar
terbangun kesadaran.
•Anggotanya adalah individu yang mengalami
masalah psikososial dan gangguan mental.

DINAMIKA KELOMPOK
MODUL KEDUA

RELEVANSI MEMAHAMI
DINAMIKA KELOMPOK
•kegagalan dalam memberikan perhatian penuh
kepada dinamika kelompok dapat mengarahkan
pekerja sosial pada pertemuan yang tidak produktif
dan mengecewakan anggota kelompok.
•kedua, menguatnya rasa serba salah pada anggota
seperti kasus ekstrim bunuh diri massal di
Jonestown
•ketiga, Semakin menguatnya diversifikasi
multikultural di dalam masyarakat sehingga harus
memperhitungkan aspek perbedaan budaya, etnik,
ras, dan agama. Pekerja sosial harus memahami
kondisi psikologis kelompok yang membutuhkan
kohesivitas agar mampu bergerak efektif untuk
menemukan solusi-solusi yang tepat agar
permasalahan yang dialami dapat segera
mendapatkan penyelesaian.

PENGETAHUAN TENTANG
DINAMIKA KELOMPOK
Proses
Komunikasi
dan Interaksi
Interpersonal
Attracktion &
Cohesion
Integrasi Sosial
& Saling
Mempengaruhi
Power &
Control
Kultur

Tahap Perkembangan Kelompok
Forming (Pembentukan)
Anggota kelompok berinteraksi secara tentatif.
Masa pembentukan norma, peran, dan status hirarkhi
Kultur kelompok perlahan-lahan terbentuk melalui
interaksi.
Interaksi berlangsung dengan penuh kehati-hatian.
Fokus utamanya adalah membentuk integrasi sosial
terlebih dahulu agar dapat mencapai kohesi sosial.
Terdapat sedikit konflik yang terjadi antar anggota
sebagai bagian mencari kesesuaian.

TAHAP PERKEMBANGAN
KELOMPOK
Storming
Anggotakelompokmemilikidoronganuntuk
menjadibagiankelompok,tetapipadasaat
bersamaanmasihmempertahankanidentitasnya
danindependensinya.
Padasaatanggotakelompoksemakinnyaman
danberani,makakonflikdapatterjadi.
Ketikakelompoksemakinmemilikiintegrasi
sosial,anggotakelompokmulaimengeksplorasi
danmengujiperansosialnyadidalamkelompok,
mulaimengembangkanperandanstatusnya.
Dan,padaposisiini,konflikdipandangsebagai
sesuatuyangwajar.

TAHAP PERKEMBANGAN
KELOMPOK
Norming
Fokuspadatugas-tugaskelompok.
Energianggotakelompokdiarahkanuntuk
mengembangkan danmemfungsikan
kohesivitaskelompok.
Mengembangkannilai-nilaiyangmembuat
nyamanseluruhanggotakelompok.
Pembagianperandiawalkelompok,pada
tahapinisemakinproduktif.
Hubunganinterpersonaldicirikandengan
intimasi,kinerjayangefektif,dan
mengedepankanpemecahanmasalahsetiap
kalimenghadapikonflik.

TAHAP PERKEMBANGAN
KELOMPOK
Performing
Fokusnyapadapenuntasantugas-tugasyang
belumdiselesaikan.
Melakukanevaluasiterhadapseluruh
pekerjaankelompok.
Adahasil-hasilyangdiperolehselama
bekerjadidalamkelompok.
Fokuspadaupayamenjagakeberlanjutan
perubahan-perubahanyangtelahdicapai
setelahterapikelompokselesaidan
kelompokdibubarkan.
Merencanakanuntukperpisahankelompok
dananggotakelompokditerapiagartidak
tergantungpadakelompok.

TEORI EKOLOGI DALAM
INITERVENSI KELOMPOK
MODUL KETIGA

TEORI EKOLOGI
•Teori ekologi memang menggunakan konsep biologi
sebagai analogi atas pentingnya intererlasi antara
organisme dengan lingkungan sosial tempatnya berada.
•Teori ekologi dengan tegas memberikan pernyataan
bahwa manusia sebagai bagian dari lingkungan sosial
harus mampu beradaptasi dengan baik apabila ingin
bertahan hidup. Lingkungan sosial dan fisik memiliki
sumber-sumber penting yang dapat diakses oleh
manusia.
•Manusia pada hakekatnya memiliki kemampuan untuk
mencapai keseimbangan hidup yang penting dalam
membantunya beradaptasi dengan lingkungan hidup.
•Sumbangan penting teori ekologi untuk ilmu pekerjaan
sosial adalah perspektif person –in –environment.
•Cara pandang pekerja sosial terhadap masalah yang
dihadapi oleh individu, keluarga, kelompok, atau
komunitas berbasiskan perspektif ekologi adalah
apabila individu, keluarga, kelompok, atau komunitas
mengalami masalah, maka sumber masalahnya dapat
berasal dari sistem-sistem yang berada di sekitarnya
yang berhubungan secara langsung maupun tidak
langsung.

VISUALISASI TEORI EKOLOGI

PENGARUH TEORI EKOLOGI PADA
KELOMPOK

TEORI SISTEM
•teori sistem menekankan bahwa sebuah sistem
pada hakekatnya merupakan sub sistem dari sistem
lain yang lebih besar dibandingkan dengannya.
•Teori sistem lebih menekankan kepada interaksi
antar sistem. Suatu sistem tidak dapat dipahami
dengan baik tanpa memperhatikan sistem-sistem
lainnya.
•contoh kasus perkosaan anak kandung yang
dilakukan oleh ayah kandung dan paman beberapa
waktu lalu. Ibu kandung korban telah lama
meninggal dunia, sehingga ayah kandung korban
memiliki hambatan dalam memenuhi kebutuhan
biologisnya.

PERSPEKTIF 5 C PADA KELOMPOK
KARAKTERISTIK
(CHARACTERITIC)
KELOMPOK
KOMPETENSI
(COMPETENCE)
KELOMPOK
KONDISI
(CONDITION)
KELOMPOK
PERUBAHAN
(CHANGE)
KELOMPOK
KONTEKS
(CONTEXT)
KELOMPOK

Pekerja sosial
dengan kelompok
MODUL KEEMPAT

DEFINISI PEKERJA SOSIAL
1.PEKERJA SOSIAL ADALAN AKTIVITAS PROFESIONAL UNTUK
MENOLONG INDIVIDU, KELOMPOK, KELUARGA, ORGANISASI, DAN
KOMUNITAS DALAM RANGKA MEMPERKUAT ATAU MEMPERBAIKI
KAPASITASNYA AGAR DAPAT BERFUNGSI SOSIAL DAN UNTUK
MENCIPTAKAN LINGKUNGAN YANG MENDUKUNG PENCAPAIAN
TUJUANNYA (CHARLES ZASTROW)
2.PEKERJA SOSIAL BERBEDA DENGAN PROFESI LAIN (PSIKOLOGIS OR
PSIKIATRY) DALAM HAL TANGGUNG JAWAB DAN MANDAT UNTUK
MENYEDIAKAN PELAYANAN SOSIAL (CHARLES ZASTROWZ)

Konteks Praktek Pekerjaan
Sosial
1.Konteks Negara Industrialisasi
◦Penerapan metode kelompok umumnya menggunakan kelompok berukuran
kecil dan menggunakan tipe kelompok tugas dengan mengedepankan proses
kelompok.
2.Negara-negara Amerika Selatan
◦Penerapan metode kelompok umumnya mengadopsi ideologi pembebasan
dan membangun kesadaran anggota kelompok, terutama sekali pada
penindasan-penindasan yang dialami oleh kelompok masyarakat
miskin.Pendekatan yang dipergunakan adalah pembanguan sosial untuk
mengaitkan antara tujuan pembangunan ekonomi dengan pembangunan
sosial (Midgley, 1995).
3.Negara-negara Asia dan kawasan lainnya
◦Umumnya metode kelompok menggunakan pendekatan pengorganisasian
dan pemberdayaan komunitas (Regan & Lee, 1992). Indonesia termasuk
salah satu yang mengadopsi pendekatan ini.

Pemberdayaan dan Metode
Social GroupWork
Tujuan
•Mengubah Struktur
•Perilaku Sosial & Politik
Yang Menindas
•Meningkatkan
Partisipasi
•Meningkatkan Akses
Sumber
Metode
•Mobilisasi Massa
•Mengatur Tindakan
Kolektif
•Berkolaborasi
•Membangun
Kemitraan
Orientasi
•Menghubungkan antar
sistem sumber
•Membangun Dukungan
•Mengembangkan
Jaringan Informasi

Intervensi/Kolaborasi Aksi
Perencanaan
•Setiap orang yang
terlibat
mendapatkan
kesempatan berbagi
kekuatan
•Memutuskan calon
anggota
•Berbagi ide tentang
tujuan
•Memahami nilai-nilai
pemberdayaan
Meningkatkan
Kesadaran
•Kelompok saling
membantu
•Proses Penyadaran
Aksi Sosial Kolektif
•Membangun
perspektif Strong in
Us
•Tindakan
disesuaikan dengan
keterampilan
•Refleksi
Kelekatan Dalam
Komunitas
•Konsolidasi
Kekuatan
•Partisipasi

Relevansi dan
Tahapan
Intervensi
MODUL LIMA

Relevansi Terapi Kelompok
Dalam Praktek Pekerjaan
Sosial
MUTUAL SUPPORT
•TERCIPTANYA IKLIM
SALING DUKUNG
•MENGURANGI
KECEMASAN
•MEMFASILITASI
PELEPASAN EKSPRESI
ANGGOTA KELOMPOK
•HARAPAN UNTUK
MENCOBA GAGASAN
BARU ATAU PERILAKU
BARU
COHESIVENESS
•IKATAN SESAMA
ANGGOTA KELOMPOK
•SALING MENERIMA
ANTAR ANGGOTA GRUP
•TERPENUHINYA
KEBUTUHAN SOSIAL
•SALING MEMPENGARUHI
DALAM KONTEKS POSITIF
•MEMBANGUN
KOMITMEN BERSAMA
QUALITY OF RELATIONSHIP
•ADANYA RELASI POSITIF
DALAM BENTUK
MENGOREKSI
PENGALAMAN
EMOSIONAL
•KEERATAN HUBUNGAN

LANJUTAN
UNIVERSALITY
•MUNCULNYA PERASAAN
YANG SAMA
•MERASA MEMILIKI
KESULITAN SERUPA SEPERTI
MERASA SENDIRI DAN
DIPANDANG UNIK
•TIDAK MERASA SENDIRI
A SENSE OF HOPE
•MENGIDENTIFIKASI DAN
MENERIMA HARAPAN
POSITIF KELOMPOK
•ANGGOTA KELOMPOK
TERPENGARUHI OLEH
TARGET OPTIMISTIK DARI
ANGGOTA GRUP YANG LAIN
•MEMAHAMI ORANG LAIN
MEMILIKI MASALAH SERUPA
DAN MAMPU
MENGATASINYA
ALTRUISM
•SELF-ESTEEM DAN PERSONAL
IDENTITY SEMAKIN KUAT
DENGAN ADANYA RELASI
SALING MENOLONG ANTAR
ANGGOTA
•MERASA MENDAPATKAN
APRESIASI DAN MEMILIKI
DORONGAN UNTUK
BERKONTRIBUSI

LANJUTAN
AQUISITION OF KNOWLEDGE AND SKILLS
•KELOMPOK MENJADI TEMPAT AMAN
UNTUK MENDAPATKAN PENGETAHUAN
YANG DIBUTUHKAN DALAM HAL :
MENERIMA IDE BARU, UPAYA BARU,
DAN PERILAKU BARU
•KELOMPOK MENJADI TEMPAT AMAN
UNTUK MEMPELAJARI KETERAMPILAN
SOSIAL BARU
•KELOMPOK MENJADI TEMPAT AMAN
UNTUK MENGEKSPRESIKAN HASIL UJI
COBA
•KELOMPOK MENJADI TEMPAT UNTUK
MENGUASAI PENGETAHUAN DAN
KETERAMPILAN
CHATARSIS
•KELOMPOK MENJADI RUANG UNTUK
MENGEKSPRESIKAN PERASAAN DAN
MENDALAMI GAGASAN SERTA
PENGALAMAN YANG DITERIMA DARI
ORANG LAIN
•MENGURANGI KECEMASAN SERTA
MENGUMPULKAN ENERGI GUNA
MENCAPAI TARGET HIDUP BARU
REALITY TESTING
•ANGGOTA KELOMPOK LAIN BERGUNA
UNTUK MENGEVALUASI PERUBAHAN-
PERUBAHAN BARU
•ANGGOTA KELOMPOK DAPAT
MEMBERIKAN UMPAN BALIK
•ANGGOTA KELOMPOK DAPAT
MEMBERIKAN ALTERNATIF METODE
LAIN DALAM PROSES UJI COBA REALITA

LANJUTAN
GROUP CONTROL
•SESUAI DENGAN TARGET
KELOMPOK, ANGGOTA
KELOMPOK MENGURANGI
RESISTENSINYA
•MENGURANGI PERILAKU
YANG KURANG PANTAS
•MENGATASI RASA
FRUSTASI
•MENERIMA
KETERBATASAN

PENGETAHUAN DASAR
PENDUKUNG PRAKTEK
PEKERJAAN SOSIAL DENGAN
KELOMPOK
•MANUSIA ADALAH SEBUAH SISTEM TERBUKA YANG DINAMIS
MELALUI PERUBAHAN TRANSAKSIONAL DENGAN
LINGKUNGAN SEPANJANG HIDUPNYA
•BERFOKUS PADA EMOSI, KOGINISI DAN AKSI BAIK SECARA
SADAR MAUPUN TIDAK SADAR
MEMAHAMI
FUNGSI
PSIKOSOSIAL
•FUNGSI EGOADALAH KEKUATAN DINAMIS UNTUK
MEMAHAMI, KOPING, ADAPTASI, DAN MEMBENTUK
LINGKUNGAN EKSTERNAL
•HUMAN DEVELOPMENT TENTANG KEBERHASILAN SESEORANG
DALAM MENGUASAI TUGAS DAN PERKEMBANGAN DAN
BERHUBUNGAN DENGAN ORANG LAIN
KONSEP UTAMA

LANJUTAN KONSEP UTAMA
•FUNGSI PSIKOSOSIAL SELAIN DIPENGARUHI OLEH KEKUATAN EGO DAN
PROSES PERKEMBANGAN, TETAPI JUGA OLEH FAKTOR BIOPHYSICAL YANG
BERPERAN DALAM MENDUKUNG KESEHATAN INDIVIDU, SEPERTI FAKTOR
GENETIK, KEMATANGAN PSIKOLOGIS, FAKTOR BIOLOGIS GANGGUAN
KEJIWAAN, PENGGUNAAN OBAT TERLARANG, SAKIT, DAN DISABILITAS
BIOPHYSICAL
FACTOR
•MERUPAKAN SEBUAH ETNOSYSTEM YANG DIDALAMNYA TERDIRI ATAS
HUBUNGAN INTERDEPENDEN KELOMPOK YANG MASING-MASING
KELOMPOK MEMILIKI SEJARAH DAN KEUNIKANNYA SENDIRI, DAN TERIKAT
BERSAMA DALAM SEBUAH IKATAN SISTEM POLITIK
•KELOMPOK ETNIS MEMILIKI PERBEDAAN DALAM HAL SISTEM NILAI,
NORMA, TRADISI, RAS, AGAMA, DAN KELAS SOSIAL
CULTURAL
INFLUENCES

LANJUTAN
•KELUARGA DAN
KELOMPOK TEMPAT
SESEORANG BERADA
MERUPAKAN KONTEKS
DAN BERPERAN DALAM
PERUBAHAN SIKAP,
MINAT, DAN PERILAKU.
ENVIRONTMENTAL
INFLUENCES

MAJOR SMALL GROUP
THEORIS
FIELD THEORY :
1.PERILAKU INDIVIDU ADALAH FUNGSI DARI RUANG ATAU BIDANG
KEHIDUPAN YANG BERKAITAN DENGAN KONSEP PERSON AND
ENVIRONTMENT, DAN TERDAPAT KONSTELASI HUBUNGAN SALING
MEMBUTUHKAN SATU SAMA LAIN.
2.FOKUS TEORI ADALAH PADA PERSEPSI YANG MERUPAKAN HASIL DARI
BERBAGAI FAKTOR YANG BERKAITAN SATU SAMA LAIN DALAM
MENJELASKAN TENTANG SITUASI.
3.TINGKAH LAKU ADALAH FUNGSI INTERAKSI DARI PERSONALITY
DENGAN LINGKUNGAN
4.PERSONALITY MENCAKUP SISTEM PSIKOLOGIS DAN FISIOLOGIS
5.THE ENVIRONTMENT MELIPUTI KELOMPOK SOSIAL, KELUARGA,
KELOMPOK KERJA, DAN KELOMPOK LAIN TEMPAT SESEORANG
TERLIBAT DI DALAMNYA, TERMASUK JUGA SISTEM BUDAYA.

Tahapan Intervensi
Membangun Relasi
Dengan Klien
Identifikasi Isu,
Masalah, Kebutuhan,
Sumber Daya
Mengumpulkan &
Mendalami Informasi
Merencanakan
Pemberian Layanan
Menggunakan
Keterampilan
Komunikasi, Supervisi,
& Konsultasi
Identifikasi, Analisa, &
Implementasi
Menerapkan
Pengetahuan dan
Teknologi
Evaluasi Program &
Efektivitas Praktek

MODUL ENAM

Dalamperanini,seorangpekerjasosialbertugasuntukmembantu
individuataukelompokdalammengartikulasikankebutuhan
mereka,untukmengklarifikasidanmengidentifikasimasalah,untuk
mengeksplorasistrategiresolusi,untukmemilihdanmenerapkan
strategi,danuntukmengembangkan kapasitasmerekauntuk
mengatasimasalahmerekasendirisecaralebihefektif
Pendekatanyangpalingseringdigunakanadalahkonseling
individu,kelompok,dankeluarga.

Seorang brokermenghubungkan individu dan kelompok
yang membutuhkan bantuan (dan tidak tahu di mana
tersedia) dengan layanan komunitas.
Sebagai contoh, seorang istri yang sering dianiaya secara
fisik oleh suaminya dapat dirujuk ke rumah singgah
sebagai tempat perlindungan bagi wanita yang dianiaya.

Peran advokat telah dipinjam dari hukum profesi. Ini adalah peran
aktif dan direktif di mana pekerja sosial mengadvokasi klien atau
untuk warga negara kelompok.
Ketika klien atau kelompok warga membutuhkan bantuan dan
lembaga yang ada tidak tertarik (atau bahkan secara terbuka
negatif dan bermusuhan) dalam memberikan layanan, maka peran
advokat mungkin tepat.
Peran sebagai advokat memiliki ruang lingkup untuk
mengumpulkan informasi, untuk memperdebatkan kebenaran
pernyataan klien kebutuhan dan permintaan, dan untuk menantang
institusi keputusan untuk tidak memberikan layanan.

Seorang aktivis mencari berupaya untuk mendorong
terjadinya perubahan institusional; seringkali tujuannya
melibatkan pergeseran kekuasaan dan sumber daya ke
kelompok yang kurang beruntung.
Aktivis memiliki keprihatinan tentang ketidakadilan
sosial, ketidaksetaraan, dan perampasan, konflik,
konfrontasi, dan negosiasi. Tujuannya adalah untuk
mengubah lingkungan sosial agar lebih suportif dalam
memenuhi kebutuhan individu.

Peranmediatordilaksanakanketikamelibatkanintervensinyadalam
perselisihanantarapihak-pihakyangberkonflikuntukmembantumereka
menemukankompromi,mendamaikanperbedaan,ataumencapaikepuasan
bersamadalamsebuahperjanjianyangdisepakatibersama.
Pekerjasosialharusmenggunakannilaiatauorientasidanketerampilanunik
daripihakyangberkonflikdalamberbagaibentukmediasi.Contohkelompok
sasarandimanamediasitelahdigunakantermasukperselisihanyangmelibatkan
perceraianpasangan,tetanggayangberkonflik,perselisihantuantanah-
penyewa,perselisihanmanajemen-tenagakerja,danhakasuhanakperselisihan.
Mediatortetapnetral,tidakmemihaksalahsatupihak,danpastikanmereka
memahamiposisikeduabelahpihak.Pihakberkonflikdapatmembantu
memperjelasposisi,mengidentifikasimiskomunikasitentangperbedaan,dan
membantumerekayangterlibatmempresentasikankasusmerekadenganjelas.

Seorang negosiator menyatukan mereka yang berada dalam konflik
atas satu atau lebih masalah dan berusaha untuk mencapai tawar-
menawar dan kompromi untuk sampai pada kesepakatan yang
dapat diterima bersama perjanjian.
Agak mirip seperti mediasi, negosiasi melibatkan pekerja sosial
untuk menemukan jalan tengah atas permasalahan yang dihadapi
semua pihak. Namun, tidak seperti seorang mediator, yang
merupakan peran netral, seorang negosiator biasanya bersekutu
dengan salah satu pihak yang terlibat.

Peranpendidikmelibatkanpemberianinformasikepadakliendan
mengajarimerekaketerampilanadaptif.Untukmenjadipendidik
yangefektif,pekerjaharusterlebihdahulumemilikipengetahuan.
Selainitu,pekerjasosialharusmenjadikomunikatoryangbaik
sehinggainformasitersampaikandenganjelasdanmudah
Contohnyatermasukmengajarkanketerampilanmengasuhanak
kepadaorangtuamuda,memberikanstrategimencaripekerjaan
kepadaparapengangguran,danmengajarteknikpengendalian
kemarahanuntukindividudenganburukemosi.

Pemrakarsa meminta perhatian pada suatu masalah—atau bahkan
pada masalah potensial. Penting untuk disadari bahwa beberapa
masalah dapat diketahui terlebih dahulu. Sebagai contoh, proposal
untuk merenovasi lingkungan pada masyarakat berpenghasilan
rendah dengan membangun unit perumahan berpenghasilan
menengah dapat mengakibatkan di warga saat ini menjadi
tunawisma. Jika proposal disetujui, keluarga berpenghasilan rendah
tidak akan mampu membayar biaya unit berpenghasilan
menengah. Biasanya peran inisiator harus diikuti oleh yang lain
fungsi; hanya meminta perhatian pada masalah biasanya tidak
menyelesaikannya.

Tujuanutamadaripraktikpekerjaansosialadalahpemberdayaan,yaituproses
menolongindividu,keluarga,kelompok,organisasi,dankomunitas
meningkatkanpribadi,interpersonal,sosialekonomi,danpolitikkekuatandan
pengaruhmelaluiperbaikankeadaanmereka.
Pekerjasosialyangterlibatdalampraktikyangberfokuspadapemberdayaan
berusahamengembangkan kapasitasklienuntukmemahami lingkungan
mereka,membuatpilihan,bertanggungjawabataspilihanmereka,dan
mempengaruhisituasikehidupanmerekamelaluiorganisasidanadvokasi.
Pekerjasosialyangberfokuspadapemberdayaanjugaberusahauntuk
mendapatkandistribusisumberdayayanglebihadildankekuasaandiantara
kelompok-kelompokyangberbedadalammasyarakat.Inifokuspadakesetaraan
dankeadilansosialtelahmenjadicirikhasprofesipekerjaansosial,sebagaimana
dibuktikanmelaluipekerjapemukimanawal.

Koordinatormenyatukanbeberapajeniskomponen secara
terorganisir.Misalnya,untukkeluargadenganbanyakmasalah
seringkalidiperlukanbeberapaagenuntukbekerjabersama-sama
untukmengatasimasalahkeuangan,emosional,hukum,kesehatan,
sosial,pendidikan,rekreasi,dankebutuhaninteraksianggota
keluarga.
Seseorangdisebuahlembagaperlumengambilperansebagai
manajerkasusuntukmengoordinasikanlayanandariberbagai
lembagauntukmenghindariduplikasidanuntukmencegahlayanan
yangberagamdarimemilikitujuanyangsalingbertentangan.

Setiappekerjasosialkadang-kadangadalahseorang
peneliti.Penelitiandalampraktikpekerjaansosial
termasukmempelajariliteraturpadatopikyangmenarik,
mengevaluasihasilpraktek,menilaikelebihandan
kekuranganprogram,danmempelajarikebutuhan
masyarakat.

Fasilitatorkelompokadalahorangyangberfungsi
sebagaipemimpinuntukaktifitaskelompok.
Kelompoktersebutmungkinmerupakankelompok
terapi,dankelompokpendidikan,kelompok
swadaya,kepekaankelompok,kelompokterapi
keluarga,ataukelompokdenganbeberapafokus
lainnya.

Pekerjasosialkadang-kadangdirekrutuntukdiajakbicara
berbagaikelompok(sepertisekolahmenengah,organisasilayanan
umum, petugaspolisi,stafdilembaga lain)untuk
menginformasikantentangketersediaanlayananatauuntuk
mengadvokasilayananbaru.
Padabeberapatahunterakhir,berbagailayananyangdibutuhkan
telahdiidentifikasi(misalnya,pusatperlindungan,layananuntuk
korbanKDRT,pusatkrisiskorbanpemerkosaan,layananuntuk
orangdenganAIDS,danpantiasuhanuntukpemuda).Pekerjasosial
yangmemilikiketerampilanberbicaradidepanumumdapat
menjelaskanlayananuntukkelompokklienpotensial