40



Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1) (2017): 40-48

Gondang: Jurnal Seni dan Budaya

Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/GDG


Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi
Nyanyian Buku Ende dan Kidung Jemaat Yamuger
Muhammad Yusuf *
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengamatan terlibat (participant observer) untuk mengkaji Kontinuitas dan
perubahan Buku Ende dan Kidung Jemaat Yamuger merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari musik gereja. Kontinuitas dan
perubahan dengan menggunakan teori sinkronik dan diakronik sejarah. Untuk mengkaji struktur musik digunakan teori weighted
scale, ritme, dan hubungan musik dengan teks. Untuk mengkaji teks digunakan teori semiotik. Asal-usul teks lagu dan melodi
adalah dari lagu-agu jemaat Protestan Jerman, yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Batak (Buku Ende) maupun
bahasa Indonesia (Kidung Jemaat Yamunger). Di lain sisi muncul pula terjemahan langsung yang memunculkan perbedan-
perbedaan makna etimologis maupun semantik antara tiga jenis nyanyian ini. Pada konteks sosioreligius, bahasa Batak sudah
sangat terpenuhi menjadi sebuah bahasa pilihan agama dalam beribadah, untuk memperkuat sentimen kemasyarakatan yang
menyebabkan timbulnya emosi keagamaan dan pencapaian suasana batin para jemaatnya. Di kalangan anak muda fenomena di
atas benar adanya, namun tidak disemua tempat atau lokasi masyarakat pendukungnya, sehingga keraguan akan kesetiaannya
terhadap Buku Ende mulai diragukan tidak menjadi bahaya laten. Sentiment kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi
keagamaan dinilai masih kuat, namun diharapkan perlu adanya suatu sistem yang akan menjadi tolak ukur untuk dapat
keberadaanya tetap terjaga.
Kata Kunci: Kontinuitas, Perubahan, Struktur Music, Struktur Teks.

Abstract
This study used qualitative methods with participant observer to study Continuity and change of Ende Book and Yamuger's Song of
the Church is an integral part of church music. Continuity and change by using synchronic and historical diachronic theory. To study
the structure of music used the theory of weighted scale, rhythm, and the relationship of music with text. To study the text used semiotic
theory. The origins of song and melody texts are from the German Protestant congregation, which is then translated into Batak (Ende's
Book) and Indonesian (Yamunger's Song of the Church). On the other hand, there are also direct translations that give rise to
differences of etymological and semantic meaning between these three types of chanting. In the context of sosioreligious, Batak
language has been very fulfilled into a language of religious choice in worship, to strengthen the social sentiments that cause the
emergence of religious emotions and the attainment of the inner atmosphere of the congregation. Among young people the
phenomenon above is true, but not in all places or locations of the support community, so the doubt about its loyalty to Ende's Book is
undoubtedly not a latent danger. Social sentiment that causes the emergence of religious emotion is still considered strong, but it is
expected that there will be a system that will be a benchmark to be able to stay awake.
Keywords: Continuity, Change, Music Structure, Text Structure.

How to Cite: Yusuf, M., (2017). Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi Nyanyian Buku Ende dan
Kidung Jemaat Yamuger. Gondang:Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1): 40-48

*Corresponding author:
E-mail: [email protected]
p-ISSN 2599 - 0594
e-ISSN 2599 - 0543

Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1) (2017): 40-48
41
PENDAHULUAN
Bila dicermati, musik instrumental dan
vokal (nyanyian) tidak terlepas dari kehidupan
manusia. Baik di kala susah maupun senang,
manusia selalu mengungkapkan emosinya
melalui nyanyian, termasuk pujian kepada
Tuhan yang paling indah pun diungkapkan
melalui nyanyian. Ternyata kata-kata masih
dirasa belum cukup untuk mewakili perasaan
dan kesungguhan manusia. Penulis teringat
dengan sebuah ungkapan oleh Prier, yang
bunyinya, “Di mana bahasa berhenti bertutur di
sana musik mulai menghambur.” Ungkapan ini
menjelaskan bahwa musik menjadi penguat dan
bersifat esensial dalam mengungkapkan
perasaan manusia.
Nyanyian merupakan bagian integral
dalam liturgi gereja. Liturgi (bahasa Inggris
liturgy) adalah kebaktian (ibadah) resmi dalam
agama Kristen (Protestan, Katolik, Ortodoks)
yang termasuk di dalamnya lagu-lagu pujian dan
doa. Liturgi adalah istilah yang berasal dari
bahasa Yunani, leitourgia, yang berarti kerja
bersama. Kerja bersama ini mengandung makna
peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan
kasih, dan pada umumnya istilah liturgi lebih
banyak digunakan dalam tradisi Kristen, antara
lain umat Katolik. Kurang lebih dapat
dibandingkan dengan rukun salat secara
berjamaah baik pada hari-hari raya maupun hari
Jumat dan salat lima waktu setiap hari pada
umat Islam (lihat: Oxford Dictionary of World
Religions, hal.582-3).
Nyanyian dalam ibadah juga muncul
dalam satu kesaksian, dengan pemujian kepada
Allah dan juga sekaligus ungkapan akan
penerimaan firman Allah. Untuk itu, nyanyian
dalam ibadah haruslah menjadi pembawa dan
penafsir firman Allah, menjadi suara yang hidup
dari Injil itu sendiri. Dalam konteks ibadah pada
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), apa yang
dituntut dari sebuah nyanyian dalam ibadah,
sudah sangat terpenuhi dalam Buku Ende. Buku
Ende adalah kumpulan nyanyian jemaat yang
berbahasa Batak dimana lagu-lagunya yang
dipakai resmi di dalam ibadah umat Kristen
khususnya dalam organisasi HKBP, yang dalam
setiap syairnya sangat kaya akan makna teologis.
Charly E. Silalahi, 2013. “Kata Pengantar” pada
buku panduan The Story of Buku Ende Hymns
FromThe Batakland, Tiara Convention Hall,
Medan.
Buku Ende merupakan kumpulan
nyanyian utama bagi jemaat Gereja HKBP, Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah Gereja
Protestan terbesar di kalangan masyarakat
Batak, bahkan juga di antara Gereja-gereja
Protestan yang ada di Indonesia maupun di
dunia, dimana orang Batak berdomisili. untuk
disajikan dalam berbagai ibadah, termasuk di
antaranya ibadah Minggu. Buku Ende juga
dikonsepkan sebagai Injil bagi orang yang
menyanyikannya.
Begitulah pentingnya Buku Ende bagi
masyarakat Batak Kristen Protestan. Dalam
konteks sosioreligius, hal ini diperkuat oleh
pernyataan ketua pelaksana pada saa t
memberikan kata sambutan pada pertunjukan
Drama Choral The Story of Buku Ende Hymns
From The Batakland di Tiara Convention Hall,
Kota Medan, pada hari Sabtu, 21 September
2013, Victor Lumbanraja. Beliau menyebutkan
bahwasanya, Buku Ende masuk ke Tanah Batak
dan menjadi satu-satunya nyanyian pujian
penyembahan kepada Tuhan, menjadi Injil bagi
setiap orang yang menyanyikannya, menjadi
kesaksian dan pujian bagi setiap orang yang
percaya, menjadi doa bagi mereka yang meminta
pertolongan, menjadi kuat bagi mereka yang
lemah, menjadi penghiburan bagi mereka yang
berduka dan letih.
Bukan hanya nyanyiannya saja yang
seturut dengan firman Tuhan, tetapi juga
menyanyi harus seturut dengan firman Tuhan.
Jadi, eksistensi nyanyian itu juga tergantung dari
cara kita bernyanyi. Apabila tidak seturut
dengan firman Tuhan, maka nyanyian itu tidak
layak kita bawa ke dalam ibadah. R. Tambunan,
2011. Musik Gereja. hal. 64. Seturut yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah melakukan
sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan.
Peranan musik instrumental dan
nyanyian (terutama dari Buku Ende) sangatlah
penting dalam aktivitas ibadah Minggu di Gereja
HKBP. Dalam keseluruhan tulisan ini, Huria
Kristen Batak Protestan, dalam penulisn
berikutnya disingkat dengan HKBP. Musik di

Muhammad Yususf,. Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi Nyanyian Buku
42
Gereja HKBP tidak hanya berfungsi untuk
mengiringi himne yang dinyanyikan sewaktu
acara ibadah, akan tetapi musik juga berfungsi
untuk membantu dalam menumbuhkan iman
para jemaatnya.
Ibadah Minggu HKBP telah ditetapkan
dalam Aturan dan Peraturan HKBP dengan salah
satu unsurnya adalah nyanyian. Nyanyian untuk
ibadah ini bersumber dari: (1) Buku Ende, (2)
nyanyian-nyanyian yang sesuai dengan Konfessi
HKBP (yaitu lagu-lagu baru dalam Buku Ende
yang lazim disebut Suplemen), (3) lagu-lagu dari
Kidung Jemaat oleh Yamuger (Yayasan Musik
Gereja) dalam bahasa Indonesia, dan (4)
nyanyian-nyanyian lain yang diakui oleh HKBP.
Keadaan nyanyian dalam konteks ibadah
pada Gereja HKBP seperti di atas, sangat
menarik untuk penulis kaji secara ilmiah dalam
tesis ini. Ditambah lagi dengan pengalaman
empiris penulis sebagai seorang outsider dan
sekaligus terlibat dalam konteks ibadah
tersebut. Penulis sebagai seorang dosen di
Universitas HKBP Nomensen (UHN) sejak tahun
2007 sampai saat ini, dan aktif sebagai pemusik
pada acara-acara gereja di HKBP. Penulis juga
salah satu pengisi peran pada Drama Choral The
Story of Buku Ende, Hymns From The Batakland
A Choral Drama di Tiara Convention Hall Medan,
pada hari Sabtu, 21 September 2013 sebagai
pemeran calon pendeta yang sedang belajar
musik tiup (brass band), yang memang menjadi
fenomena utama dalam music Batak Toba.
Berdasarkan pengamatan penulis, latar
belakang sosial keagamaan terselenggaranya
pertunjukan The Story of Buku Ende, Hymns
From The Batakland A Choral Drama adalah
adanya sebuah fenomena sosioreligius yang
ditangkap oleh petinggi-petinggi Gereja HKBP
terhadap kurangnya kesetiaan jemaat HKBP
terhadap nyanyian-nyanyian pada Buku Ende
dalam ibadah gereja, terutama di kalangan kaum
muda. Seperti yang diungkapkan oleh Victor
Lumbanraja, Ketua Pelaksana The Story of Buku
Ende, Hymns From The Batakland A Choral
Drama. Dalam kata sambutanya, pertunjukan
drama tersebut merupakan wujud kesetiaan
terhadap Buku Ende sekaligus upaya menggali
dan memaknai kembali tema-tema rohani yang
terkandung dalam lagu-lagu buku ende;
diselaraskan dengan perjalanan kehidupan
manusia, memotivasi jemaat, khususnya
generasi muda gereja untuk lebih mengenal,
memahami dan merasakan keagungan substansi
dalam lagu-lagu pada Buku Ende sebagai suatu
bentuk pujian.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pdt.
Charly E. Silalahi, yang pada kata pengantar
buku panduan pertunjukan Drama Choral The
Story of Buku Ende, Hymns From The Batakland
A Choral Drama menuliskan, bahwasanya akhir-
akhir ini Buku Ende seakan diserang dan
digugat, baik dari dalam maupun dari luar
gereja. Buku Ende dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan zaman, Terutama selera kaum muda
mempunyai kebutuhan lain sesuai dengan selera
musik zaman ini. Sehingga dalam rangka
“memenuhi kebutuhan zaman,” maka di sana-
sini terjadi penyesuaian yang muncul dari luar
dan dalam gereja. Tetapi sangat disayangkan,
makna teologis nyanyian seperti ini adalah
dalam rangka memenuhi selera zaman saja.
Menurut Kepala Pengkajian Budaya Batak
Universitas HKBP Nommensen dan sekaligus
juga seorang jemaat Gereja HKBP, munculnya
“ibadah alternatif” merupakan ancaman bagi
kelestarian budaya Batak dalam hal bahasa.
Penerjemahan langsung Buku Ende yang
berbahasa Batak ke dalam bahasa Indonesia
yang dirangkum dalam Kidung Jemaat HKBP
juga memiliki persoalan. Beliau berpendapat
bahwa, untuk menterjemahkan satu kata dalam
bahasa Batak, untuk dapat memaknainya
dibutuhkan sebuah kalimat dalam bahasa
Indonesia. Yang lebih menarik lagi menurut
beliau adalah ada beberapa kata dalam Buku
Ende untuk dapat memaknainya, dibutuhkan
adanya penafsiran dengan menggunakan bahasa
sumber itu sendiri. Hal ini relevan dengan apa
yang disebutkan oleh Bapak Ridwan Hanafiah,
selaku pembimbing penulis dalam penelitian ini,
bahwasanya yang mampu menertejemahkan
bahasa sumber yaitu bahasa sumber itu sendiri,
yang mampu merasakan apa makna dari pada
bahasa sumber itu mesti orang sumber itu
sendiri. Kecuali menterjemahkan bahasa
sumber bukan dalam bentuk teks, tetapi
diterjemahkan dalam bentuk isi.

Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1) (2017): 40-48
43
Selain itu, penambahan nyanyian-
nyanyian dalam ibadah Gereja HKBP ini,
didukung oleh rekomendasi pada peringkat
Sinode Godang. Pada tahun 1998, Sinode Godang
(Sidang Sinode Agung) HKBP Sinode Godang
adalah muktamar atau sidang raya HKBP. Sinode
Godang sesuai dengan Aturan dan Peraturan
HKBP tahun 2002 dilaksanakan setiap 4 tahun.
SG ke-60 berlangsung 10 sampai16 September
2012, yang dihadiri 1.379 peserta atau
Sinodestan yang mewakili seluruh Distrik HKBP
di seluruh Indonesia di Pematang Siantar telah
merekomendasikan komisi liturgi HKBP untuk
terbuka menjawab tuntutan jemaat mengenai
pembaruan liturgi. Salah satu keputusan yang
ditetapkan pada waktu itu adalah
dimungkinkannya gereja-gereja lokal untuk
membuat liturgi alternatif dan kontemporer,
sesuai dengan kebutuhan jemaat setempat,
tanpa menghilangkan makna dari unsur-unsur
liturgi yang ada dalam buku agenda (Buku
Ende).
Hasil putusan di atas memunculkan
warna baru pada Gereja -gereja HKBP.
Sebelumnya ibadah Minggu Gereja HKBP hanya
menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa
pengantar dalam ibadah, dan nyanyiannya pun
bersumber hanya dari Buku Ende. Sejak tahun
1998 sampai saat sekarang ini, mulai terdapat
ibadah Minggu yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar yang
sumber lagunya-lagunya diambil dari Kidung
Jemaat Yamuger, yang sering disebut dengan
istilah ibadah alternatif. Menurut beberapa
informan, nyanyian yang dipakai pada ibadah ini
awalnya adalah lagu-lagu Buku Kidung Jemaat
HKBP, namun alihbahasa lagu-lagu dalam Buku
Ende yang berbahasa Batak ke dalam Kidung
Jemaat HKBP yang berbahasa Indonesia,
dianggap belum mampu mengungkap makna
yang terkandung dalam bahasa sumbernya
tersebut. Kondisi ini membuat sebahagian
jemaat beralih ke lagu-lagu Kidung Jemaat
Yamuger yang bahasanya relatif lebih mudah
dimaknai dan dipahami.
Dari hasil temuan informasi-informasi
inilah yang menggoda penulis untuk
mengungkap kontinuitas, perubahan, struktur
musik, dan teks nyanyian dari Buku Ende dan
Kidung Jemaat Yamuger dalam ibadah Minggu
Gereja HKBP. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis memilih judul: Realisasi Nyanyian Buku
Ende dan Kidung Jemaat Yamuger dalam Ibadah
Minggu pada Tiga Gereja HKBP di Sumatera
Utara: Kontinuitas Perubahan, Struktur Musik,
dan Teks.

METODE PENELITIAN
Dalam penulisan penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan kajian Etnografi.
Model etnografi adalah penelitian untuk
mendeskripsikan kebudayaan sebagai mana
adanya model ini berupanya mempelajari
peristiwa kultural yang menyajikan pandangan
hidup subyek sebagai objek studi. Studi ini akan
terkait bagaimana subyek berpikir, hidup, dan
berprilaku. Tentu saja perlu dipilih peritiwa
yang unik yang jarang teramati oleh kebayakan
orang. Penelitian etnografi adalah kegiatan
pengumpulan bahan keterangan atau data yang
dilakukan secara sistematik mengenai cara
hidup serta berbagai aktivitas sosial dan
berbagai benda kebudayaan dari suatu
masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian
unik dari komunitas budaya akan menarik
perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru
banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan
sangat respek cara mereka belajar tentang
budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat
menjadi penting dalam aktivitas penelitian.
Penelitian ini memilih aktifitas Buku Ende
di dalam ibadah minggu gereja HKBP dilakukan
di tiga lokasi yaitu daerah inti atau pusat HKBP,
daerah perbatasan dan rural atau pedalaman;
(1) Gereja HKBP Pearaja Tarutung, yang berada
di desa Huta Toruan V kec. Tarutung, Pearaja
Tarutung Tapanuli Utara, sebagai lokasi pusat
gereja HKBP; (2) Gereja HKBP Sudirman yang
berlokasi di Jln. Jend. Sudirman No. 17A Medan
sebagai daerah urban masyarakat Batak
khususnya jemaat HKBP; (3) Gereja HKBP
Tambunan Baruara Jln. Tambunan Simpang
Baruara Kecamatan Balige Kabupaten Toba
Samosir, sebagai daerah pedesaan atau rural.
Informan kunci yang dipilih adalah orang-
orang yang terlibat langsung dalam aktivitas
buku ende dalam ibadah minggu gereja HKBP,

Muhammad Yususf,. Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi Nyanyian Buku
44
yaitu kepala biro ibadah pusat HKBP, para
pendeta, porhangir, atau guru huria, pemusik,
dan song leader pada ibadah Minggu Gereja
HKBP.
Pengumpulan data menggunakan teknik
partisipant observation (Atler, 1994:377) dan
indepth intervew (Fontana dan Fray, 1994:365-
366), dalam melakukan partisipant observation
juga berpegang pada konsep Spradley
(1997:106) bahwa peneliti berusaha
menyimpan pembicaraan informan, membuat
penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan
informan, dan tidak menanyakan makna tetapi
gunanya. Pengamatan berpartisipasi dipilih
untuk menjalin hubungan baik dengan informan.
Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan
berpartisipasi atau ikut di dalam ibadah
kebaktian minggu Gereja HKBP dari awal sampai
akhir. Pada saat itu, peneliti berusaha ikut larut
dalam proses ritual kebaktian.
Melalui pengamatan terlibat demikian,
dimaksudkan agar peneliti mudah melakukan
wawancara secara mendalam. Dalam
wawancara peneliti memakai bahasa Indonesia
dan bahasa Batak Toba. Oleh karena, ada hal-hal
dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus
diungkapkan dalam bahasa Batak Toba. Hasil
wawancara yang berbah asa Indonesia
selanjutnya ditranskrip, adapun yang berbahasa
Batak Toba di alihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia untuk memudahkan analisis. Namun,
istilah-istilah yang sulit diterjemahkan atau
memang bahasa lokal yng khas, tidak
diterjemahkan, melainkan hanya diberikan
padanan katanya saja. Wawancara dilakukan
sebelum dan sesudah pelaksanaan ibadah
Minggu Gereja HKBP.
Penulisan ini, menggunakan metode
penelitian kualitatif yang berupa deskripsi
mendalam terhadap penomena eksistensi Buku
Ende dalam ibadah minggu Gereja HKBP. Dalam
kaitan ini diterapkan konsep analisis budaya
Gertz (Banton, 1973:7-8) yang disebut model for
dan model off. Model for artinya konsep yang
telah ada diterapkan ke dalam realitas fenomena
sosial budaya. Model off artinya realitas
fenomena sosial budaya ditafsirkan atau
dipahami.
Penelitian ini menggunakan model off
yakni mengadakan pengamatan terlibat,
kemudian secara emik menanyakan kepada
jemaat eksistensi Buku Ende, sesuai dengan
“kategori jemaat setempat.” Untuk mengungkap
eksistensi buku ende secara sruktural di dalam
ibadah HKBP, digunakan teknik analisis
kualitatif etnografi. Maksudnya, peneliti
berusaha mendeskripsikan secara entografis
semua tentang keberadaan Buku Ende di dalam
Gereja HKBP. Deskripsi tersebut digambarkan
secara holistik dan mendalam. Analisis ini
dilakukan secara terus menerus baik pada saat
di lapangan dan setelah di lapangan.
Dalam analisis ini, yang berbicara adalah
data dan peneliti tidak banyak melakukan
penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil
pemahaman dari interpretasi informan
terhadap penomena keberadaan Buku Ende.
Dengan cara semacam ini, akan terlihat
eksistensi Buku Ende dalam ibadah Minggu
Gereja HKBP bagi jemaatnya tanpa interpensi
peneliti. Hal ini dilandasi asumsi, karena mereka
yang menggunakan Buku Ende dalam ibadah
minggu gereja HKBP diharapkan juga
mengetahui sejauh mana keberadaan Buku Ende
dalam ibadah minggu gereja serta fenomena-
fenomena yang ada di dalamnya dewasa ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk melihat realisasi nyanyian dalam
Buku Ende dan Kidung Jemaat Yamuger pada
ibadah minggu gereja HKBP di Sumatera Utara
dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data
dari tiga lokasi yang berbeda di Sumater Utara,
yaitu Gereja HKBP Pearaja Tarutung, yang
berada di desa Huta Toruan V, Kecamatan
Tarutung, Pearaja Tarutung Tapanuli Utara,
sebagai lokasi pusat Gereja HKBP; Gereja HKBP
Sudirman yang berlokasi di Jalan Jenderal
Sudirman, Nomor 17A, Medan sebagai daerah
urban masyarakat Batak, khususnya jemaat
HKBP; dan Gereja HKBP Tambunan Baruara,
gereja ini berdiri di Jalan Tambunan (Simpang
Baruara), Kecamatan Balige, Kabupaten Toba
Samosir, sebagai daerah rural.
Semakin berada di kawasan rural, maka
“kesetiaan” terhadap Buku Ende semakin kuat

Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1) (2017): 40-48
45
dalam ibadah Minggu. Sebaliknya, semakin
berada di daerah urban, maka “perubahan”
semakin diinginkan sesuai dengan
perkembangan zaman. Perubahan itu terutama
disesuikan pula dengan eksistensi bahasa yang
lazim dipakai keseharian setiap orang Batak. Di
kota mereka cenderung menggunakan bahasa
Indonesia, maka dalam tata ibadah Minggu pun
mereka lebih memilih bahasa Indonesia,
sebaliknya di daerah rural mereka cenderung
menggunakan bahasa Batak dalam
kesehariannya, maka sikap dan pemilihan
mereka dalam ibadah Minggu adalah
menggunakan bahasa Batak, dan setia pada Buku
Ende yang berbahasa Batak. Di kalangan
generasi muda juga terjadi perubahan yaitu
mereka lebih memilih ibadah alternatif yang
menggunakan bahasa Indonesia dan lagu-lagu
dari Buku Kidung Jemaat Yamuger.
Mengacu pada pengertian yang ketiga di
atas dapat kita lihat bahwa nyanyian pada
ibadah minggu gereja HKBP tidak lagi
didominasi oleh nyanyian-nyanyian dari Buku
Ende HKBP, terutama pada ibadah alternatif
yang lebih menggunakan Kidung Jemaat
Yamuger sebagai sumber nyanyianya, dan
itupun sudah ada diatur dalam almanak HKBP.
Walaupun demikian, beberapa nyanyian dari
Buku Ende HKBP ada terdapat pada Kidung
Jemaat Yamuger dengan tema dan melodi yang
sama, namun dengan bahasa atau teks yang
berbeda.
Sumber lagu yang digunakan penulis
dalam analisis adalah lagu-lagu dari Buku Ende
dan Kidung Jemaat Yamuger yang memiliki garis
melodi dan tema teks yang sama namun berbada
dalam bahasa dan yang paling banyak muncul
atau yang sering dinyanyikan dalam tata ibadah
minggu gereja HKBP dalam satu tahun seperti
yang terurai pada Bab IV sebelumnya, yaitu
sebagai berikut.
Untuk melihat realisasi Buku Ende dalam
ibadah minggu Gereja HKBP melalui persamaan
lagu-lagu yang ada pada Buku Ende dengan
Kidung Jemaat Yamuger, yang mengacu kepada
Talcott Parsons dalam teori fungsionalisme
struktural, bahwasanya sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu
dengan kebutuhannya, sebuah sistem harus
memperlengkapi, memelihara, dan
memperbaiki, baik motivasi individual maupun
pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi.
Kontinuitas dan perubahan Buku Ende dan
Kidung Jemaat Yamuger. Buku Ende dalam
Gereja HKBP adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah music gereja di dunia,
maupun Indonesia. Dalam sejarah gereja musik-
musik gereja ini menyebar dari gereja-gereja tua
di Eropa dan Amerika ke seluruh dunia, tidak
terlepas ke Tanah Batak. Di Indonesia biasanya
setiap gereja memiliki buku kidung jemaat
sendiri. Akhirnya pada tahun 1975 panitia
kidung jemaat mengadakan lokakarya di Jakarta.
Setelah itu tahun 1984 mereka menerbitkan 117
karya lagu-lagu rohani Kristen Indonesia.
Kemudian menjadi Kidung Jemaat, dan selepas
itu menjadi Kidung Jemaat Yayasan Musik Gereja
Indonesia (Yamuger).
Kontinuitas dan perubahan Buku Ende
diawali dengan digunakannya 9 nyanyian jemaat
yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke
dalam bahasa Batak pada tahun 1860 -an.
Kemudian dimuat pula 90 nyanyian jemaat
tanpa notasi. Tahun 1901 terdapat 278 nyanyian
jemaat yang dimuat di dalam cikal bakal Buku
Ende dan diedit oleh Meerwald. Tahun 1923
kemudian masih diedit oleh Meerwald ditambah
lagi 53 nyanyian jemaat. Tahun 1935 versi baru
nyanyian jemaat ini dicetak di Laguboti dengan
375 notasi.
Kemudian secara formal Buku Ende
diterbitkan oleh Percetakan HKBP
Pematangsiantar pada tahun 1980, dengan isi
sebanyak 500 lagu. Kemudian Buku Ende ini
ditambahi kembali dengan lagu-lagu suplemen
yang kemudian disebut sebagai Buku Ende
Sangap Di Jahowa (BE-SDJ). Demikianlah
rangkuman kontinuitas dan perubahan BE dan
KJY.
Realisasi nyanyian dari BE dan KJY adalah
pertama pada lokasi gereja HKBP untuk level
pusat HKBP, lagu-lagu dari Buku Ende (BE)
masih memiliki eksistensi, namun tidak
sepenuhnya dipakai dalam ibadah minggu.
Gereja ini memiliki dua kali ibadah minggu pada

Muhammad Yususf,. Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi Nyanyian Buku
46
setiap minggunya, yaitu pagi dan ibadah siang.
Pada ibadah siang sepenuhnya lagu-lagu pada
Buku Ende masih eksis, namun pada ibadah pagi
lagu-lagu dari Buku Ende diselingi dengan lagu-
lagu dari Kidung Jemaat (KJ) Yamuger, karena
pada ibadah pagi terdapat ibadah alternatif dua
kali dalam sebulan, artinya pada ibadah pagi,
terdapat Buku Ende dua kali dan Kidung Jemaat
(KJ) Yamuger juga dua kali dalam sebulan.
Realisasi Buku Ende pada level ini adalah; dalam
delapan kali ibadah minggu dalam sebulan,
terdapat enam kali BE dan hanya dua kali KJ, (8
X ibadah = 6 BE dan 2 KJ).
Kedua, gereja HKBP Sudirman Medan;
sebagai daerah urban penelitian, buku ende juga
masih meiliki eksistensi, namun persentasinya
masih di bawah lokasi pusat penelitian. Gereja
ini memiliki tiga kali ibadah minggu dalam setiap
minggunya, di daerah urban ini lagu-lagu Buku
Ende hanya empat kali hadir dalam ibadah, dari
dua belas kali ibadah dalam sebulan. (12 x
ibadah = 4 BE dan 8 KJ).
Ketiga, gereja HKBP Tambunan Baruara;
sebagai daerah pedesaan atau rural penelitian
ini, ternyata masih murni menggunakan lagu-
lagu dari Buku Ende dalam ibadah minggu gereja,
karena gereja ini belum memanfaatkan ibadah
alternatif, namun pada sekolah minggu,
nyanyiannya tidak hanya diambil dari buku
ende, tapi ada juga dari lagu lain seperti kidung
jemaat dan lagu-lagu rohani lainnya.
Hasil lain yang menarik yang muncul dari
penelitian ini adalah, ternyata Paska Sinode
Godang HKBP, muncul ibadah alternatif minggu
gereja HKBP yang dipandang banyak pihak
dapat melemahkan eksistensi nyanyian dalam
buku ende, karena pada ibadah alternatif,
nyanyian yang dipakai dalam ibadah diluar dari
lagu-lagu buku ende, dan gereja ini didominasi
oleh generasi muda. Namun Talcott Parsons
dalam teori fungsionalisme struktural,
bahwasanya sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu
dengan kebutuhannya. Berikutnya Parson juga
menambahkan sebuah sistem harus
memperlengkapi, memelihara, dan
memperbaiki, baik motivasi individual maupun
pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi.
Struktur musik nyanyian dari BE dan KJY.
Dari analisis enam nyanyi-an, empat dari BE dan
2 KJY. Perincian adalah: (a) lagu-lagu yang sering
dinyanyikan adalah: BE 106, BE 111, KJY 10, KJY
45, dan (b) lagu-lagu yang jarang dinyanyikan
BE 176 dan BE 768. Keenam lagu menggunakan
tangga nada Mayor, namun dengan tanda kunci
atau mula (key signature) yang berbeda-beda,
yang intinya adalah disesuaikan dengan ambitus
suara jemaat, yang terdiri dari berbagai jenis
suara, sopran, alto, tenor, maupun bas, namun
umumnya dinyanyikan dalam satu garis melodi
yang monofonik saja. Lagu BE 6 F Mayir, BE 111
F Mayor, KJY 10 G Mayor, KJY 45 F Mayor, BE 176
Bb Mayor, dan BE 768 Ab Mayor. Keenam
nyanyian ini menggunakan meter yang lazim
digunakan di dalam musik Barat. Dalam hal ini
meter tertsebut adalah 3/4, 6/8, dan 4/4. Tidak
ada satu lagupun yang bermeter ganjil. Meter-
meter yang digunakan ini memberi identitas
yang khas semua nyanyian tersebut sebagai
bagian dari musik gereja, dengan meter yang
khas terdapat di dalam peradaban music Eropa.
Keenam nyanyian yang menjadi bahan
analisis ini, dapat dikelompokkan ke dalam dua
bentuk frase. Bentuk frase yang pertama adalah
binari, dengan sebaran pada tiga lagu, yang
terdiri dari komposisi: (a) BE 6 frasenya bimari
(A,B); (b) BE 111 frasenya binari (A, B, B, B, B);
dan (c) BE 176 frasenya binari (A, B). Frase yang
kedua adalah multi, yang diartikan memiliki
frase lebih dari tiga, terdapat dalam tiga
nyanyian yaitu: (a) KJY 10 bentuk frasenya (A. B.
C. D); (b) KJY 45 frasenya (A. B. C. D. E). dan (c)
BE 768 frasenya (A, B, C, D, E, F, G). Ritme yang
membentuk komposisi enam lagu ini juga mulai
sederhana hingga kompleks. Ini dapat ditandai
dengan penggunaan durasi-durasi not dari
hanya dikomposisikan du ant saja seperti pada
BE 111, dan sampai yang kompleks (poliritme)
pada BE 768.
Ambitus atau wilayah nada yang
digunakan dalam enam nyanyian yang
dianalisis, yang paling kecil adalah 800 sent (4
laras) yaitu pada KJY 45, dan yang paling luas
adalah pada BE 6 sebesar 1400 sent (7 laras).
Selengkapnya masing-masing nyanyian adalah

Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 1 (1) (2017): 40-48
47
sebagai berikut: BE 6 1400 sent; BE 111 1000
sent; KJY 10 1200 sent; KJY 45 800 sent; BE 176
1200 sent; dan BE 768 1200 sent.
Interval-interval yang cenderung
digunakan keenam lagu terdiri dari dua kategori.
Yang pertama adalah lagu-lagu yang cenderung
menggunakan gerakan-gerakan interval
melangkah, tidak banyak loncatan. Kategori
kedua adalah lagu-lagu dengan interval
loncatan, bahkan bagi jemaat umum agak sulit
merrealisasikannya di dalam nyanyian. Yang
cenderung mealngkah adalah BE 6, BE 111, KJY
10, dan KJY 45. Sementara itu, BE 176 dan BE
768 cenderung mengtgunakan interval-interval
yang melompat bakhan cenderung “sulit” untuk
dinyanyikan.
Kontur keenam lagu yang menjadi kajian
ini terdiri dari berbagai jenis. Yang pertama
adalah pendulum, baik ke bawah atau ke atas.
Yang kedua adalah asending (naik). Yang ketiga
adalah disending (turun). Kontur-kontur ini
bagaimanapun tetap mengacu pada struktur
musik dalam kebudayaan Barat, seperti
penggunaan frase tanya dan jawab, naik
diimbangi turun, konsekuen dan anteseren, dan
hal-hal sejenis.
Dalam melihat hubungan melodi dengan
teks, maka keenam lagu atau lebih luas lagi,
keseluruhan lagu baik dalam BE maupun KJY
bergaya umum silabik (syllabic), kecenderungan
menggunakan satu nada dengan satu suku kata.
Melismatik, yaitu satu suku kata dengan
menggunakan beberapa nada hanya dijumpai di
beberapa lagu saja, dan bukan yang dominan.
Dengan demikian cirri umum BE dan KJY adalah
silabik. Delapan cirri umum tersebut menjadi
identitas kuat baik untuk BE maupun KJY. Ciri ini
menjadi inti dari keseluruhan nyanyian ibadah
gereja, baik dalam konteks internasional,
Indonesia, dan HKBP sendiri.
Struktur teks nyanyian BE dan KJY serta KJ
HKBP, memiliki sejarah panjang. BE yang
berbahasa Batak dan KJY yang berbahasa
Indonesia adalah terjemahan dari dua sumber
buku ibadah Kristen Protestan di Jerman yaitu
Grosse Missionsharfe dan Evangelischer Psalter.
Di lain sisi Kidung Jemaat HKBP adalah
terjemahan langsung dari Buku Ende HKBP.
Secara struktural, teks sangat sangat terikat
kepada struktur melodi, pada sumber-sumber
dan hasil terjemahannya. Gaya yang umum
adalah teks yang silabik. Dari 12 nyanyian yang
dibandingkan, terdapat kedekatan makna antara
BR dengan KJ HKBP. Di lain sisi KJY agak berbeda
maknanya jika dibandingkan dengan KJ HKBP.
Bahasa Batak sudah sangat terpenuhi
menjadi sebuah bahasa pilihan agama dalam
ibadah minggu gereja HKBP. Hal ini dapat
dilakukan hanya dengan sebuah sistem yang
dapat dibangun dan dipertahankan seperti yang
diungkapkan oleh Parsons dengan teorinya
fungsional struktural. Salah satu sistem tersebut
dapat dibangun pada sebuah kurikulum dalam
pelajaran agama tentang pemaknaan atau
pemahaman makna teologis di dalam lagu-lagu
Buku Ende, agar suasana batin dalam beribadah
dapat mulai dibangun mulai usia dini. Liturgi
kebaktian gereja memang harus tetap
direlevansikan untuk kebutuhan ibadah secara
komplit, mengikuti era globalisasi masa kini
dalam arti positif dengan memperhatikan tanda-
tanda zaman. Dalam menghadapi era baru ini
Gereja-gereja mulai membuka diri, tidak
terkecuali gereja HKBP.
Sinode Godang HKBP (Sidang Sinode
Agung HKBP) tahun 1998 di Pematang Siantar
telah merekomendasikan komisi liturgi HKBP
untuk terbuka menjawab tuntutan jemaat
mengenai pembaruan liturgi. Salah satu
keputusan yang ditetapkan pada waktu itu
adalah dimungkinkannya Gereja-gereja lokal
untuk membuat liturgi alternatif dan
kontemporer sesuai dengan kebutuhan jemaat
setempat tanpa menghilangkan makna dari
unsur-unsur liturgi yang ada dalam buku Agenda
HKBP. Kebijakan ini dimaknai berbeda-beda
oleh gereja-gereja HKBP, namun kebanyakan
gereja memaknainya dengan perlunya ada
ibadah alternatif pada ibadah minggu, serta
nyanyian jemaatnya diambil dari buku kidung
jemaat yamuger yang berbahasa Indonesia.
Kehadiran ibadah alternatif yang didominasi
oleh kalangan generasi muda dianggap dapat
melemahkan keberadaan nyanyian dalam buku
ende oleh beberapa pihak terutama dari
golongan ama dan ina jemaat HKBP. Memang
benar ada beberapa lagu dari Buku Ende ada
pada Kidung Jemaat Yamuger dengan tema dan

Muhammad Yususf,. Perubahan, Kontinuitas, Struktur Musik, Dan Teks Realisasi Nyanyian Buku
48
garis melodi yang sama namun dengan bahasa
dan makna yang berbeda.

SIMPULAN
Di kalangan anak muda penomena di atas
benar adanya, namun tidak disemua tempat atau
lokasi masyarakat pendukungnya, sehingga
keraguan akan kesetiaannya terhadap Buku
Ende mulai diragukan tidak menjadi bahaya
laten. Sentimen kemasyarakatan yang
menyebabkan timbulnya emosi keagamaan
dinilai masih kuat, namun diharapkan perlu
adanya suatu sistem yang akan menjadi tolak
ukur untuk dapat keberadaanya tetap
terjaga.Usaha penerjemahan lagu-lagu dalam
buku ende kedalam bahasa indonesia, Menurut
Hymes tidak akan berjalan dengan baik, karena
akan mengurangi makna theologis pada lagu-
lagu buku ende itu sendiri, karena menurutnya
dalam proses komunikasi dengan menggunakan
suatu bahasa, seseorang membutuhkan lebih
dari sekedar kemampuan untuk menggunakan
bahasa sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa.
Penggunaan bahasa haruslah sesuai
dengan konteks, yakni hal-hal yang menjadi
ruang lingkup serta mempengaruhi penggunaan
bahasa itu sendiri. Bahasa Batak sudah sangat
terpenuhi menjadi sebuah bahasa pilihan agama
dalam beribadah, dari pandangan Bourdieu
sebuah bahasa pilihan ag ama dapat
memperkuat sentimen kemasyarakatan yang
menyebabkan timbulnya emosi keagamaan dan
pencapaian.

DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles. Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci
Etika. Bandung: Mizan Media Utama, 2004.
Cobley, P dan Jansz L. Mengenal Semiotika for
Beginners. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
David R. R, Gereja Yang Hidup, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2000.
David, W, The World of Music 3rd Edition, Brown &
Benchmark Publisher, Susquehanna
University,1996.
Djohan, Psikologi Musik. Yokyakarta: Buku Baik, 2005
Hatta, M. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press, 1986.
Kaplan, D dan Manners R. A. Teori Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Khan, H.I. Dimansi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta:
pustaka Sufi, 2002.
Lombard, D. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1: Batas-
Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
______________. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 2:
Jaringan Asia. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Merriam, A.P. The Antropology Of Musik,( Evaston Ill:
Northwestern University Press, 1964.
O’Donnel, K. Posmodernisme. Yogyakarta: Penerbit
Kanisisus, 2013.
PaEni, M. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni
Pertunjukan Dan Seni Media. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009.
Piliang, Y.A. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya
Dan Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012.
Q-Anees, B dan A Hambali, Radea Juli. Filsafat untuk
Umum. Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Ricoeur, P. Teori Interpretasi: Memahami Teks,
Penafsiran dan Metodologinya. Jogjakarta:
IRCisod, 2012.
Susantina, S. Nada-Nada Radikal: Perbincangan Para
Filsuf Tentang Musik. Jogjakarta: Panta Rhei
Books, 2004.
Sylado, R. Menuju Apresiasi Musik. Bandung: Penerbit
Angkasa, 1983.
Coulmas, F. The Blackwell's Encyclopedia of Writing
Systems. Oxford: Blackwells, 1996. Hal.174