| 391
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
Analisis Konten Budaya dalam Buku Pantun Suku Mbojo yang
Ditulis oleh Lamone Magenda
Sukarismanti
1
, Najamudin
2
, Samsudin
3
Korespondensi ([email protected],
[email protected]@gmail.com )
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Samawa Rea Sumbawa Besar
ABSTRAK

Tujuan - Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konten budaya yang terkadung dalam pantun
yang hampir terkikis pada pemahaman masyarakat suku Mbojo sebagai pelaku budaya.
Desain / metodologi / pendekatan -Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kulaitatif deskriptif. Sementara teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah dengan
menggunakan teori yang dikemukankan oleh Koetjaraningrat.
Temuan/ Hasil - Hasil penelitian menunjukkan bahwa pantun suku mbojo mengandung norma-
norma dan aktivitas yang terpola yang biasa dilakukan oleh leluruh pada jaman dahulu. Namun,
kebisaan tersebut sudah sulit di temukan ditengah masyarakat bahkan telah punah. Hal itu
disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan yang telah mempengaruhi pola pikir generasi
penerus serta melemahnya pemahaman masyarakat terhadap kebiasaan yang telah dilakukan pada
jaman dahulu.
Kata Kunci: Konten Budaya, Pantun, Suku Mbojo

| 392
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
ABSTRACT
Objective - This study aims to analyze the cultural content contained in the pantun which is
almost eroded in the understanding of the Mbojo tribal community as cultural actors.
Design/methodology/approach - The method used in this research is descriptive qualitative
method. Meanwhile, the technique used to analyze the data is to use the theory proposed by
Koetjaraningrat.
Findings/Results - The results show that the mbojo tribal rhymes contain patterned norms and
activities that were usually carried out by ancestors in ancient times. However, this habit is hard to
find in the community and has even become extinct. This is due to the development of science that
has influenced the mindset of the next generation and the weakening of public understanding of
the habits that have been carried out in ancient times.
Keywords: Cultural Content, Pantun, Mbojo Tribe.

| 393
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
I. PENDAHULUAN
Pantun merupakan salah satu karya
sastra yang di dalamnya adalah hasil cipta
karsa manusia yang menghadirkan rekaan
sekaligus potret peristiwa kehidupan
manusia dari berbagai dimensi yang
mencangkup ranah lahir maupun batin.
Pantun dikenal sebagai sastra lisan klasik
yang diwariskan dari generasi ke generasi
dikalangan masyarakat suku Mbojo yang
ada di provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pelestarian pantun suku Mbojo baik dalam
bentuk festival maupun dalam bentuk
lainnya merupakan salah satu stategi untuk
merawat kekayaan daerah tersebut karena
didalamnya termuat nilai-nilai seperti nilai
sosial, nilai religius dan nilai budaya yang
biasa digunakan oleh masyarakat suku
Mbojo dalam mengajar generasinya. Namun
melihat kondisi generasi di era 4.0 sekarang,
masyarakat Suku Mbojo khususnya generasi
muda sebagai generasi pewaris budaya
mulai meninggalkan budaya tersebut. Hal
tersebut disebabkan karena pola pikir
masyarakat baik generasi klasik maupun
generasi modern sudah beralih ke media
sosial sehingga pemahaman nilai-nilai
budaya yang terkandung di dalam pantun
tersebut mulai terkikis. Media sosial
seharusnya menyebarluaskan nilia-nilai
budaya kepada generasi. Namun
kenyataannya bahwa media sosial malah
mengajarkan nilai budaya asing sehingga
akan melupakan nilai budaya sendiri.
Kehilangan pemahaman akan nliai budaya
daerah mengakibatkan pada kehilangan
kekayaan dan citra diri daerah.
Beberapa peneliti sebelumnya
mencoba meneliti dan mengkaji nilai-nilai
budaya yang terkandung di dalam karya
sastra pantun dan puisi; Pertama, penelitian
yang menilai tentang nilai agama dan
budaya dalam pantun nikah kahwin
masyarakat Melayu Bengkalis(Azmi, 2014).
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
sangat erat keterkaitan pantun nikah kahwin
dengan agama, adat dan budaya yang telah
mengurat dan mengakar dalam kehidupan
orang-orang Melayu. Kedua, Cultural
Characteristics and Values in Sorsogueños ’
Poems(Ed et al., 2015). Dalam penelitian ini
mengungkapkan nilai budaya seperti
nasionalis, religius, cinta dan rasa peduli
terhadap sesama. Ketiga, penelitian tentang
cultural values in the poetry of cianjur poets
(Latifah, 2018). Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa dalam pantun tersebut
terdapat nilai budaya bendung kejatan,
tawadhu, khusu, berdo’a, tawakal, bijkasana,
usaha, cinta alam, kasih sayang.
Penelitian yang dilakukan oleh
Azmi (2014) memiliki kekurangan baik pada
teori maupun pada pembahasan, dimana
teori yang digunakan untuk mengkaji nilai
budaya adalah tidak disebutkan dan
pembahasanya sebagian besar membahas
tentang nilai agama daripada nilai budaya
meskipun agama merupakan bagian dari
budaya. Sementara penelitian dilakukan oleh
Astillero (2015) menggunakan teori yang
dikemukan oleh Cotterill (Cotterill et al.,
2016). Kemudian penelitian yang dilakukan
oleh Latifa (2018) tidak mengunkapkan teori
mana yang digunakan dan dalam
pembahasannya menjelaskan bahwa ada 10
nilai budaya yang terdapat dalam poetry
tanpa ada teori yang menjadi rujukannya.
Dari penelitian relevan yang telah
direview diatas memiliki perbedaan dengan
penelitian yang akan dilakukan baik pada
sisi objek yang di kaji maupun teori yang
digunakan. Yang menjadi objek dalam
penelitian ini adalah pantun Suku Mbojo
yang tentu memiliki konten budaya yang
berbeda dengan objek-objek budaya yang
terdapat dalam budaya lain. Sementara teori
yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah teori yang dikemukan oleh
Koetjaraningrat.
Oleh karena itu, berdasarkan
analisis diatas bahwa penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji dan mendeskripsikan konten
budaya yang terdapat pada pantun dengan
menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Koetjaraningrat (Ahmad Yunus, Tatit

| 394
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
Kartika sari, Rosyadi, 1995). Sementara
pantun yang menjadi objek peneltian ini
adalah pantu Suku Mbojo dalam buku
Lamone Magenda (2014).
2. METODE
Penelitian ini meruapakan penelitian
deskriptif kualitatif. Adapun teknik yang
akan digunakan untuk mengumpulkan data
adalah dengan menggunakan instument
penelitian. Kemudian insturmen penelitian
ini adalah peneliti sendiri.
Data penelitian ini merupakan teks
pantun suku Mbojo. Sementara sumber
datanya adalah pantun yang ada dalam buku
yang ditulis oleh Lamone Mangenda (2014).
Kemudian langkah-langkah analisis data
yang akan digunakan adalah sebagai berikut;
(1) tahap mengindetifikasi akan digunakan
untuk mengindentifkasih bait-bait pantung
yang mengandung nilai budaya, (2) tahap
Mengklasfikasi akan digunakan untuk
mengelompokan bait-bait pantun yang
mengandung nilai budaya berdasarkan teori
yang menjali pisau analasis penelitian ini,
(3) tahap Menganalisis data adalah tahap
yang akan digunakan untuk mendeskpriskan
lebih dalam nilai-nilia budaya suku Mbojo
yang terdapat dalam pantun, (4) tahap
Menyimpulkan adalah tahap yang akan
digunakan untuk menyimpulkan hasil dari
deskripsi atau pembahasan tentang nilai-
nilai budaya.

3. HASIL PENLITIAN
Hasil dari temuan penelitian ini dikaji
dengan menggunakan teori tentang nilai
kebudayaan yang dikemukankan oleh
Koentjaningrat dalam buku yang ditulis oleh
Yunus, dkk (1995). Dalam teori tersebut
menyatakan bahwa ada 3 aspek yang dapat
digunakan untuk menganalisis kebudayaan,
yaitu kebudayaan merupakan kumpulan ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. Kemudian,
kebudayaan merupakan suatu aktivitas
manusia dalam masyarakat yang sudah
terbentuk. Dan terakhir, kebudayaan
merupakan hasil karya manusia berupa
benda-benda.
Dari ketiga aspek tersebut, hanya
dua aspek yang digunakan oleh peneliti
dalam mengkaji nilai-nilai budaya yang
terkadung dalam pantu suku Mbojo. Yaitu
aspek kebudayaan sebagai ide, nilai, aturan
dan gagasan dan kebudayaan sebagai suatu
aktivitas manusia yang terpola. Berdasarkan
hasil analisis, peneliti menemukan nilai
budaya yang terkandung dalam pantun-
pantun sebagai berikut:

Bait Pantun Landa
Timbu
Aspek Budaya
Puru timbu sa’abala
ai
(bakar lemang
semalam)
Lao losa landa subu
(pergi subuh untuk
menjual lemang)
Rimpu moci tembe
nggoli
(memakai hijab
dengan menggunakan
sarung khas daerah)
Dompo timbu sama
rata
(potong lemang
samarata)
Aktivitas yang
terpola

Aktivitas yang
terpola

Norma, aktivitas
yang terpola


Norma

Bait Pantun Ngaha
Kawiri
Aspek Budaya
Ngaha kawiri
(makan bubur)
Doho reko weki
waru
(duduk keliling
berdelapan)
Rea rata wawo tare
(dinginkan diatas
nampan)
Si’di ai mbolo wura
(dipagi hari disaat
bulan purnama)
Do’a ndiha tola bala
(Berdo’a bersama
untuk menolak
bencana)
Aktivitas yang
terpola

Norma

Norma

Aktivitas yang
terpola, aturan

Norma, aktivitas
yang terpola

| 395
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
Bait Pantun Kareku
Kandei
Aspek Budaya
Kareku kandei
(Pukul lesu)
Mai sadeka epu
(Ketika gempa gumi
datang)
Palasi mai sadeka
Mbere
(Ketika datang
banjir)
Ka’boro mena weki
ndai
(Berkumpul secara
berkelompok)
Cua nenti mena aru
(Masing-masing
memegang alu)
Tinti ‘dikandei
ma’uru ara
(Memukul lesu)
Aktivitas yang
terpola

Norma

Norma

Aktivitas yang
terpola, aturan

norma, aktivitas
yang terpola

Activitas yang
terpola, norma

Ketiga pantun diatas merupakan
sebagain dari pantun yang dipilih
berdasarkan norma, nilai dan aktivitas yang
biasa dilakukan oleh masyarakat suku
Mbojo khususnya masyarakat kabupaten
dompu. Dari hasil analisis tersebut juga
terdapat dua aspek budaya yang menjadi
pusat kajian penelitian ini. Meskipun pada
aspek pertama t hanya beberapa bagain yang
terdapat pada pantun yaitu kebudayaan
sebagai nilai, norma atau atura. Sementara,
aspek kebudayaan tentang ide dan gagasan
tidak ditemukan. Kemudian, untuk
memahami secara detail nilai-nilai yang
terkadung dalam aspek budaya dari pantun
tersebut, peneliti membahasanya pada
bagain pembahasan.
Nilai budaya yang dilihat dari aspek
kebudayaan sebagai norma atau aturan dan
sistem nilai yang terdapat dalam pantun.
1. Norma
Norma merupakan bagian dari
bentuk nyata nilai sosial dalam masyarakat
yang memiliki kaidah-kaidah dan aturan-
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Norma tersebut mengatur tentang mana
tindakan yang salah dan mana tindakan yang
benar, mana yang baik dan mana yang
buruk, serta mana yang pantas dan mana
yang tidak pantas, juga mana yang harus
ditaati dan yang tidak harus ditaati oleh
masyarakat. Dari pengertian tersebut, pantun
yang terdapat pada masyarakat suku Mbojo
khususnya masyarakat kabupaten Dompu
memiliki norma-norma seperti pada
beberapa bait pantun dibawah ini:
a. Norma Dalam Pantun Landa
Timbuc
Pantun yang berjudul Landa Timbu
mengandung konten budaya seperti
norma atau nilai seperti pada bait-bait
dibawah ini:
Lao losa landa subu (pergi
subuh untuk menjual lemang)
Rimpu moci tembe nggoli
(memakai hijab dengan
menggunakan sarung khas)
Dari bait pantun tersebut
mengandung norma tentang tindakan
yang pantas yaitu perempuan yang
keluar rumah diwajibkan memakai
hijab (rimpu). Karena jika tidak maka
akan dianggap oleh masyarakat
sebagai perempuan yang tidak
memiliki ahlak, apalagi seorang
perempuan yang keluar dari rumah di
saat waktu subuh. Namun, kondisi
tersebut berlaku pada jaman dulu dan
untuk generasi era globalisasi khusus
yang perempuan sudah meninggalkan
budaya rimpu (hijab dengan
menggunakan sarung khas) dan
beralih ke hijab moderen. Perempuan
yang tidak memakai hijab pun
dijaman sekarang sudah dianggap
biasa dan itu menandakan terkikisnya
nilai-nilai yang menjadi pedoman
hidup masyarakat Kabupaten Dompu.
Dari kondisi tersebut ia dapat
dikatakan bahwa nilai budaya dari
masyarakat yang biasa menggunakan
rimpu ke masyarakat yang kadang
menggunakan dan kadang tidak
menggunakannya. Pernyataan ini
juga sejalan dengan penyataan
(Prayogi & Danial, 2016) yang
mengatakan bahwa pergeseran nilai

| 396
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
budaya merupakan perubahan nilai-
nilai dalam suatu budaya yang
nampak dari perilaku para anggota
budaya yang dianut oleh kebudayaan
tertentu.
Memakai rimpu mungkin
sudah berlaku umum dimasyarakat
khususnya yang beragama Islam,
namun di masyarakat suku Mbojo
khususnya di masyarakat Dompu
memiliki kekhasan yaitu
menggunakan sarung khas daerah
dan itu membedakan dengan suku-
suku lain yang ada di Indonesia.
Pemakaian rimpu tidak hanya
dilakukan pada saat pergi menjual,
tetapi ia juga dilakukan saat
perempuan keluar rumah seperti
pergi belanja kepasar, pergi kesawah
dan acara-acara adat lainnya.
Kemudian norma lain yang
terdapat pada bait pantun yaitu
dompo timbu sama rata (potong
lemang samarata). Kondisi ini juga
dapat dikatakan sudah berlaku umum.
Namun ia merupakan suatu tindakan
yang dikategori sebagai norma
karena ia mengandung aturan yang
tidak tertulis dalam masyarakat dan
aturan tertulis dalam agama Islam.
Sanksi tidak tertulis dalam aturan ini
yang berlaku dalam masyarakat
khsusunya di masyarakat Kabupaten
Dompu adalah masyakarat tidak akan
membeli lagi lemang ditempat yang
sama dan akan dibicarakan baik oleh
sesama penjual maupun oleh pembeli
jika diketahui ada ketidakseimbangan
dalam memotong. Kemudian, aturan
dalam islam bahwa memotong tidak
samarata akan berakibat dosa dan itu
sudah diatur dalam al-qur’an dan
hadis.
b. Norma Dalam Pantun Ngaha
Kawiri
Pantun yang berjudul Ngaha
Kawiri (makan bubur) juga terdapat
konten budaya baik norma maupun
aktivitas masyarakat yang terpola
seperti:
ngaha kawiri
doho heko weki waru
rea rata wawo tare
Ngaha kawiri merupakan
kebiasaan aktivitas masyakarat
Kabupaten Dompu atau masyarakat
suku Mbojo pada saat terjadi bencana
alam, syukuran, memulai nanam padi
atau panen padi serta aktivtas
lainnya. Selain itu, menurut
keyakinan masyarakat Dompu bahwa
ngaha kawiri juga dilakukan jika
ingin mendatangkan hujan.
Kebiasaan ini hanya dapat ditemukan
pada jaman dulu. Untuk kondisi
sekarang sudah jarang dan hampir
tidak perna lagi dilakukan. Kondisi
tersebut dapat dikatakan telah
bergesernya nilai-nilai budaya yang
dilakukan oleh masyarakat suku
Mbojo pada umumnya dan
masyarakat dompu khususnya.
Pergeseran ini dikarena oleh
modernisasi pemahaman dan
pandangan hidup. Pernyataan ini
sejalan dengan penryatakan yang
dikemukanan oleh Sumaatmadja, N
(2000) dan Prayogi & Danial, (2016).
Kemudian, bait pantun
doho heko weki waru maksudnya
bahwa disaat makan bubur untuk
menolak atau kebiasaan-kebiasaan
lain dikelilingi oleh delapan orang.
Sementara bait rea rata wawo tare
maksudnya bahwa bubur yang akan
dimakan dimasukan dalam nampan
supaya dimakan bersama delapan
orang teserbut. Kondisi ini kadang
berbeda di berbeda daerah di
masyarakat suku Mbojo seperti di
daerah kabupaten Bima. Masyarakat
kabupaten Bima biasanya
menggunakan daun pisang jika itu
dimakan di sawah dan menggunakan
piring masing-masing jika itu
dimakan di kampung serta tidak
mengharuskan delapan orang. Karena

| 397
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
semakin banyak orang yang datang
makan akan semakin bagus.

c. Norma
Selanjutnya konten budaya
yang mengandung norma dalam
pantun yang berjudul Kareku
Kandei yaitu seperti
kareku kandei
mai sadeka epu
mai sadeka mbere.
Kareku Kandei atau yang
dikenal dengan memukul lesung
dengan menggunakan alu
merupakan kebiasaan atau aturan
tidak tertulis yang terdapat di
masyarakat kabupaten Dompu yang
biasa dilakukan disaat datang
bencana seperti bencana gempa
bumi, banjir dan bencana-bencana
lainnya. norma ini dilakukan
dengan tujuan agar bencana
tersebut tidak memakan korban
jiwa dan segera kondisi alam norma
kembali. Kondisi ini dijaman
sekarang sudah tidak ditemukan
lagi karena generasi milinial
sebagai penerus sudah mengalami
perkembangan baik pada sisi
pemahaman maupun pada jenjang
pendidikan. Artinya kebiasaan-
kebiasaan tersebut sudah
ditinggalkan karena sudah tidak
relevan jika dipikirkan dengan
menggunakan akal sehat dan tidak
dijelaskan dalam alqur’an dan
hadis. Menurutnya bahwa jika
mengingikan tidak adanya bencana
alam maka yang harus dilakukan
adalah merubah kebisaan buruk
yang ada dimasyarakat. Karena
bencana alam itu tergantung pada
tingkah laku masyarakat setempat.

2. Aktivitas yang Tepola dalam
Pantun
a. Aktivitas yang tepola dalam
pantun Landa Timbu
Kebiasaan yang biasa dilakukan
oleh masyarakat Dompu khususnya
bagi pedagang timbu (lemang)
membakar lemangnya dimalam hari
bahkan sampai subuh sehingga
ketika menjualnya di pagi hari
lemang masih terasa panas.
Langkah itu dimaksudnya dengan
tujuan untuk menjaga kualitas dan
menarik perhatian pembeli.
Kebisaan ini berbeda dengan
kebisaan yang dilakukan oleh
daerah-daerah lain yang membakar
lemang di siang hari seperti di
daerah Sumbawa Besar yang mana
pedagang membakarnya disiang
hari. Selain itu, masyakarat yang
menjual lemang akan berangkat
setelah sholat subuh sehingga di
siang hari mereka bisa istrahat.
pada saat berangkat menjual
lemang, masyarakat suku Mbojo
pada umumnya dan Kabupaten
Dompu khususnya menggunakan
Rimmpu Mpida atau yang dikenal
dengan cadar tradisional dengan
menggunakan Tembe Nggoli
(sarung khas daerah) untuk
menutup aurat.
b. Aktivitas yang tepola dalam
pantun Ngaha Kawiri
Makan bubur (Ngaha Kawiri) biasa
dilakukan pada saat bencana alam
datang dengan tujuan menolak dan
supaya bencana tersebut tidak
datang kembalai dan tidak
memakan korban. Selian itu, Ngaha
Kawiri dilakukan pada saat
memulai nanam tanaman seperti
padi, jagung, bawang dan tanaman
lainnya dengan maksud agar
tanaman tersebut bebas dari
gangguan hama serta berkas.
Kemudian ngaha kawiri setelah
panen merupakan ucapan bentuk
syukur atas hasil yang telah
diperoleh. makan bubur sebelum
nanam dan setelah panen ini

| 398
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
dilakukan di pagi hari pada pada
hari bulan purnama. Kemudian,
makan bubur tidak hanya dilakukan
pada saat bencana, sebelum nanam,
setelah panen, namun ia juga
dilaksanakan pada kegiatan-
kegiatan lain. Selanjutnya saat
makan bubur tersebut, masyarakat
biasanya mentaburkan beras kuning
untuk dimakan oleh makluk selain
manusia. Namun kondisi ini tidak
semua daerah melakukannya.
c. Aktivitas yang tepola dalam
pantun Kareku Kandei
Kareku Kandei atau pukul lesung
dengan menggunakan alu
meruapakan aktivitas lainnya yang
dibiasa dilakukan oleh masyarakat
ketika terjadi bencana alam seperti
gempa bumi, banjir. Kebiasaan ini
merupakan bentuk menolak
bencana tersebut sehingga tidak
memakan korban jiwa. Kemudian,
Kebiasaan ini juga merupakan
bentuk lain dari Ngaha Kawiri atau
makan bubur. Namun, kareku
kandei yang paling sering
dilakukan adalah ketika terjadi
gerhana bulan dan gerhana
matahari. Menurut pemahaman
masyarakat suku Mbojo umumnya
bahwa melakukan kareku kandei
disaat gerhana bulan atau gerhana
matari adalah supaya tidak terjadi
sesuatu di daerah tersebut. kareku
kandei dilakukan oleh beberapa
orang supaya suara dari pukulannya
menghasilkan suara yang keras
yang akan menolak bencana
tersebut.

4. SIMPULAN
Pantu merupakan cerminan kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat baik yang yang
dilakukan pada jaman dulu maupun pada
jaman sekarang. Jadi, berdasarkan hasil dan
pembahasan terhadap beberapa pantun
diatas bahwa terdapat nilai-nilai budaya
yang cukup unik yang biasa dilakukan oleh
masyarakat suku Mbojo pada umumnya dan
masyarakat Dompu Khususnya. Nilai-nilai
tersebut hidup pada old generation dan
bahkan menjadi kebiasaan yang tetap
dilakukan. Namun, warisan leluruh tersebut
telah ditinggalkan bahkan telah punah
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan pendidikan dimasyarakat Dompu.
Namun ada satu pantun yang masih tetap
dilakukan sampai saat ini yaitu pantun yang
berjudul Landa Timbu. Dalam pantun ini
mengandung kebiasaan yang harus
dipertahankan melalui kegiatan-kegiatan
fertival budaya yaitu memakai rimpu (hijab
dengan menggunakan sarung tradisional)
karena ini juga sejalan dengan ajaran Agama
Islam yang notabene dianut oleh masyarakat
Dompu.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yunus, Tatit Kartika sari, Rosyadi,
S. G. (1995). Nilai-Nilai Budaya
dalam Kehidupan Pesantren di
Daeran Situbondo Jawa Timur
(Wiwik Pertiwi (ed.); 1st ed.).
Depdikbud.
https://doi.org/10.1017/CBO97811074
15324.004
Azmi, U. (2014). NILAI AGAMA DAN
BUDAYA DALAM PANTUN
NIKAH KAHWIN MASYARAKAT
MELAYU BENGKALIS. NASPA
Journal, 10(2), 73 –95.
https://doi.org/10.1017/CBO97811074
15324.004
Cotterill, S., Heidrich, E., & Curtis, T.
(2016). Microbial Electrolysis Cells
for Hydrogen Production. Microbial
Electrochemical and Fuel Cells:
Fundamentals and Applications, 287–
319. https://doi.org/10.1016/B978-1-
78242-375-1.00009-5
Ed, S. F. A. M. A., D, M. M. O. E., College,
S. S., & Campus, C. (2015). Cultural
Characteristics and Values in
Sorsogueños ’ Poems. 3(4), 12–18.

| 399
Received 25 May 2021
Revised 27 July 2021
Accepted 30 Aug 2021
http://oaji.net/articles/2016/1543-
1464679171.pdf
Latifah, L. (2018). CULTURAL VALUES
IN THE POETRY OF CIANJUR
POETS. Jurnal Alinea, 7(2), 78–89.
Prayogi, R., & Danial, E. (2016). Pergeseran
Nilai-Nilai Budaya Pada Suku Bonai
Sebagai Civic Culture Di Kecamatan
Bonai Darussalam Kabupaten Rokan
Hulu Provinsi Riau. Humanika, 23(1).
https://doi.org/10.14710/humanika.v23
i1.11764