Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora
ISSN: 0215-837X (p); 2460-7606 (e), Vol. 19 (1), 2021, pp. 61-82
DOI: 10.18592/khazanah.v19i1.4150
Submit: 29/11/2020 Review: 01/01/2021 Publish: 30/06/2021

REKONSILIASI ISLAM DAN SAINS DALAM PERSPEKTIF
NIDHAL GUESSOUM

Zulpa Makiah
Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin
[email protected]
Abstract: This paper describes Nidhal Guessoum, who tried to reconcile the epistemic between the Islamic
tradition and modern science. The method used is descriptive content analysis. Nidhal sees that efforts to build
relations between religion and science are still simplistic. He seeks to uncover the deadlock between the science
of religion and philosophy and to present the principles of reconciliation of Islam and science more completely
and systematically. This reconciliation effort departs from his critique of the condition of education and Arab
society as well as the Islamic world as a whole, as well as the developing thoughts on the relationship between
religion and science, which are sometimes too simplistic, both Sardar's ijmli model, i'jz an-Najjar model,
and Islamization of al-Faruqi's model of knowledge. In Nidhal's view, these methods contain weaknesses, so
those other alternatives are needed. The steps taken by Nidhal are to build a foundation for the creation of a
harmonious relationship between science, religion and philosophy. He proposed a quantum approach through
(1) the principle of no conflict between religion and science, (2) layered interpretation of the Qur'an, (3)
theistic falsification.
Keyword: Reconciliation; Religion; Science

Abstrak:Tulisan ini berupaya menjelaskan pemikiran Nidhal Guessoum yang berusaha melakukan
rekonsiliasi epistemik antara tradisi Islam dan sains modern. Metode yang digunakan dalam membaca
karya Nidhal adalah dengan menggunakan analisis isi (content analysis) secara deskriptif. Nidhal melihat
upaya dalam membangun relasi antara agama dan sains masih bersifat simplistik. Nidhal berusaha
menyingkap kebuntuan titik temu antara sains agama dan filsafat serta menghadirkan prinsip-prinsip
rekonsiliasi Islam dan sains secara lebih lengkap dan sistematis. Upaya rekonsiliasi ini berangkat dari
kritiknya terhadap kondisi pendidikan dan masyarakat Arab serta dunia Islam secara keseluruhan, juga
terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang mengenai hubungan antara agama dan sains yang
terkadang terlalu simplistik, baik model ijmāli Sardar, model i’jāz an-Najjar, maupun Islamisasi
pengetahuan model al-Faruqi. Metode-metode itu dalam pandangan Nidhal mengandung kelemahan-
kelemahan sehingga diperlukan alternatif lain. Langkah yang dilakukan Nidhal adalah membangun
landasan terciptanya hubungan yang harmonis diantara sains, agama dan filsafat. Nidhal mengusulkan
pendekatan kuantum melalui: (1) prinsip tidak ada pertentangan antara agama dan sains; (2) penafsiran
berlapis terhadap al-Qur’an; (3) falsifikatif teistik.
Kata kunci: Rekonsiliasi; Agama; Sains

Pendahuluan
Hubungan antara agama dan sains secara umum seringkali problematik.
Dalam tradisi Kristen awal abad pertengahan ada ketidakharmonisan antara saintis
dan agamawan. Frederic Meyer mengungkapkan ada tiga hal. Pertama: munculnya
doktrin agama sehingga cenderung memicu perpecahan. Kedua, adanya kebutuhan
membentengi ajaran Kristen dari serangan luar terutama filsafat Yunani yang

Zulpa Makiah

62 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

menganggap Kristen sebagai agama penuh takhayul sehingga kebenarannya lebih
rendah dari filsafat. Ketiga, kebutuhan akan adanya penjelasan rasional dan sistematis
atas doktrin Kristen guna didakwahkan kepada kaum intelektual.1 Dominasi Gereja
atas pengetahuan sampai pada tindak kekerasan pada ilmuwan yang berbeda paham,
sebagaimana perlakuan terhadap ilmuwan perempuan bernama Hypatia yang
dibunuh oleh segerombolan fanatik.
Dobrakan terhadap pemahaman agama datang dari para ilmuwan Copernicus
(1473-1543) melalui paham heliosentris yang berupaya merevolusi keyakinan
astronomis tradisional yang diyakini gereja selama ribuan tahun.2 Copernicus
menunjukkan lewat penelitian secara matematis bahwa matahari sebagai pusat alam
semesta. Pendapat ini didukung oleh Galileo-Galilei (1564-1642) setelah menemukan
teleskop pada tahun 1610.3 Karena otoritas gereja begitu kuat, maka berujung pada
inkuisisi yang dilakukan atas Galileo. Setelah itu muncullah Kepler (1571-1630) yang
juga mendukung teori Copernicus, kemudian Newton (1642-1727) yang melahirkan
revolusi pemikiran yang menjadikan sains sebagai bagian dari kebudayaan Barat.4
Ian G. Barbour mengatakan terdapat empat varian hubungan agama dan
sains yaitu konflik, independen, dialog dan integrasi. Dalam hubungan konflik, agama
dan sains saling menegasikan dan masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-
sendiri. Hubungan independensi dimana ada pengakuan terhadap eksistensi masing-
masing. Dalam hubungan dialog, antara sains dan agama terdapat hal-hal yang dapat
didialogkan sehingga bisa saling mendukung. Sedangkan hubungan integrasi yaitu
agama bisa memanfaatkan temuan-temuan sains mutakhir dalam rangka merumuskan
konsep teologisnya sehingga agama dan sains terintegrasi.5
Diskursus mengenai Islam dan sains sudah diperbincangkan oleh banyak
tokoh dan pemikir muslim diantaranya Ziauddin Sardar6, Sayyid Hosen Nashr7,

1Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama Dan Sains: Analisis Sains Islam Naquib al-
Attas Dan Mehdi Golshani (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012).), 49-50.
2Kees de Groot, “The Church in Liquid Modernity: A Sociological and Theological
Exploration of a Liquid Church,” International Journal for the Study of the Christian Church 6, no. 1 (March
1, 2006): 91–103, https://doi.org/10.1080/14742250500484469.
3Avner Ben-Zaken, “The Heavens of the Sky and the Heavens of the Heart: The Ottoman
Cultural Context for the Introduction of Post-Copernican Astronomy,” British Journal for the History of
Science; Norwich 37, no. 132 (March 2004): 1–28,
https://search.proquest.com/docview/215730323/abstract/6831679491C2483EPQ/17.
4Maimun Syamsuddin, 54.
5Ian G. Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Pathners? (New York:
HarperCollins, 2000). Lihat Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi
(Bandung: Mizan Media Utama, 2005).), 22.; Lihat M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin &
Transdisiplin, Metode Studi Agama & Studi Islam Di Era Kontemporer (Yogyakarta: IB Pustaka, 2020).
6Ziauddin Sardar (1951), menguasai berbagai spektrum kajian yang luas dari sains, teknologi,
filsafat, agama, budaya, teori postmodernisme, seni, studi masa depan, kebijakan politik dan lain-lain.
Ia mengkritik metode sains modern dan rasionalis garis keras. Sardar mengkritik apa yang dilakukan
Barat yaitu memutuskan akar warisan Islam dari sains dan dari pembelajaran Eropa, merekayasa
sejarah dengan membuat semua sejarah sains Islam dan menyangkal keberadaan sains dalam Islam.
Lihat Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science (London-

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 63

Abdussalam8, Mehdi Golshani,9 Al-Faruqi10 dan lain-lain. Para pemikir muslim
kontemporer memiliki beragam pandangan dan posisi yang sangat berbeda terkait
sains secara umum, begitu pula dengan wacana sains islami, kita menjumpai beragam
proposisi-proposisi tentang hal tersebut.11
Ada beberapa aliran pemikiran yang dapat diidentifikasi dalam lanskap
kebudayaan muslim terkait dengan sains. Ada aliran yang sangat mistis (aliran gnostik
Nashr, pendekatan tradisional dan sakral dalam pengetahuan dan sains) hingga yang
sekular, universalis dan konvensionalis (penekanan Abdus Salam bahwa sains bersifat
universal dan objektif, sehingga tidak ada yang namanya sains Islami, sains Cina, sains
Yunani). Mazhab ijmālī model Sardar yang berasumsi bahwa sains islami bisa menjadi
universal meskipun terinspirasi dari prinsip-prinsip Islam, menurut Nidhal masih
belum membumi dan memiliki konsep yang kuat. Ada al-Najjar dengan metode i’jāz-
nya. Metode-metode itu dalam pandangan Nidhal mengandung kelemahan-
kelemahan sehingga diperlukan alternatif lain. 12

New York: I.B. Tauris, 2011), 76-77. Sardar juga mengkritik sains Islami ala Nashr karena dipandang
memuja simbolisme sains yang tersembunyi dan gaib. Sains Islam menurutnya bukan mengislamkan
sains yang sudah dikenal saat ini, melainkan memikirkan sains yang sudah ada dalam sudut pandang
Islam. Namun ia sendiri mendapat kritikan dari muslim tradisionalis karena dianggap sangat sedikit
menggunakan dimensi spiritual Islam dan terlalu tertarik pada etika, kritik sains lingkungan dan dunia
ketiga, bukan pada dasar-dasar metafisiknya.
7Sayyid Hosen Nashr (1932), seorang neo tradisionalis dan guru sufi, dengan metode Sains
Islami (Islamic Science). Sains dalam pandangan Islam memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan
sains dalam pandangan Barat yang materialis dan naturalis dan menolak dimensi spiritual manusia dan
alam semesta. Nashr menggunakan istilah scientia sacra (pengetahuan atau sains sakral), yaitu
pengetahuan sakral sebagai pengetahuan yang terletak di jantung setiap wahyu yang merupakan
aplikasi pengetahuan suci berbagai bidang realitas, sebagai perjalanan menuju kesempurnaan realitas.
Lihat Nidhal Guessoum., 105-107.
8Abdus Salam (1926), lahir di Pakistan, peraih Nobel, Ph. d dalam fisika teoritis, menyatakan
tidak ada kontradiksi antara iman pribadi dan penemuan-penemuan sains yang dengannya manusia
memahami alam dan jagat raya. Pandangannya sains bersifat universal, penerapannya dipengaruhi
faktor budaya. Ia menolak gagasan sains Islami, karena doktrin penciptaan dari ketiadaan bersifat
metafisis sehingga bukan merupakan lahan Islami.
9Mehdi Golshani (1939), fisikawan dan filsuf Iran, berpandangan sains modern adalah
warisan peradaban Islam. Meraih Ph. d dalam fisika partikel dari university of California di Barkeley,
memberi kontribusi besar mengenai interaksi sains dan agama. Lihat Nidhal Guessoum, Islam Quantum
Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, 96.
10Al-Faruqi, Islamisasi Sains atau Islamisasi pengetahuan, mengislamkan disiplin-disiplin
ilmu, menghasilkan buku-buku universitas dan membangun ulang sekitar duapuluh disiplin ilmu agar
sesuai dengan visi Islam. Membangun hubungan antara bidang-bidang pengetahuan tertentu dan
prinsip-prinsip Islam. Melakukan lompatan atau inovasi dalam mensintesakan dasar-dasar peradaban
Islam dengan pengetahuan kontemporer, dan mengarahkan berbagai pemikiran Islam menuju
pencapaian model ilahiah atau teistik. Lihat Nidhal Guessoum, 119.
11M. Zainal Abidin, “Islam Dan Ilmu Pengetahuan: Diskursus Pemikiran Muslim
Kontemporer,” ULUMUNA 10, no. 2 (2006): 391–410.; Muhammad Zainal Abidin, “Dinamika
Perkembangan Ilmu Dalam Islam Serta Statusnya Dalam Perkembangan Peradaban Modern,” Jurnal
Ilmu Ushuluddin 11, no. 1 (2012): 21–42.
12Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.
105-110, 125-129, 132-135.

Zulpa Makiah

64 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

Dalam bukunya Islam Quantum’s Question, Reconciling Muslim Tradition and
Modern Science, Nidhal berupaya meninjau kesuksesan yang baru-baru ini dilakukan
umat Islam dan menyingkap kebuntuan titik temu antara sains, agama dan filsafat
serta menghadirkan prinsip-prinsip rekonsiliasi Islam dan sains secara lebih lengkap
dan sistematis. Langkah yang dilakukan Nidhal adalah membangun landasan
terciptanya hubungan yang harmonis antara sains, agama dan filsafat.13
Selanjutnya tujuan dari buku ini adalah memperkenalkan tokoh-tokoh yang
telah berupaya dan menghidupkan kembali diskusi tentang peran dan status sains
dalam masyarakat muslim. Selain itu Nidhal ingin menunjukkan bahwa sintesis
harmonis antara sains modern dan Islam pada hakikatnya bisa diusahakan, dalam
versi sains teistik, dimana Islam dapat bergandengan tangan dengan tradisi
monotestik lainnya khususnya Kristen. Dengan melalui pembacaan yang masuk akal.
Dengan model harmoni ‘kuantum’ (ganda) yang dipenuhi pengetahuan sains,
filosofinya dan metode-metodenya yang tidak tunduk pada doktrin positivistik
materialistik, seraya menjauh dari pendekatan tradisionalis dan menolak sikap ultra
liberal, melainkan bersifat moderat dengan rekonstruksi yang cermat.
Karya akademik mengenai Nidhal Guessoum dilihat dari keterkaitan
pemikirannya dengan implementasi pengembangan modul ajar IPA untuk kelas VII
tingkat sekolah dikaji oleh A. Damayanti.14 Karya Achmad Khodari Soleh mengkaji
pendekatan kuantum dalam integrasi agama dan sains.15 Ilyas Daud mengkaji
pemikiran kosmologi Nidhal Guessoum.16 Sedangkan tulisan ini berupaya mengkaji
pemikiran epistemologis Nidhal dalam kerangka hubungan antara Islam dan sains
modern.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah termasuk library research (penelitian kepustakaan). Data
diperoleh dari sumber kepustakaan, meliputi sumber utama berupa karya-karya dari
Nidhal Guessoum dan karya lain yang mendukung untuk melihat pemikiran
mengenai rekonsiliasi antara agama dan sains. Metode yang digunakan dalam
membaca karya Nidhal adalah dengan menggunakan analisis isi (content analysis) secara
deskriptif.
Langkah-langkah pencarian data dilakukan dengan mengkaji buku-buku yang
sesuai dengan tema penelitian dengan memfokuskan kajian pada karya Nidhal
Guessoum yang berjudul Islam Quantum’s Question, Reconsiling Muslim Tradition and
Modern Science, dan karya lainnya yang memiliki kedekatan dengan tema yang dikaji.

13Nidhal Guessoum, xxv.
14Khodari Soleh, “Pendekatan Kuantum Dalam Integrasi Agama Dan Sains,” Jurnal Ulul
Albab Volume.19, no. No.1 (2018).
15Khodari Soleh.
16Ilyas Daud, “Islam Dan Sains Modern (Telaah Pemikiran Nidhal Guessoum Dalam
Karyanya Islam’s Quantum Question Reconciling Muslim Tradition and Modern Science,” Jurnal Al-
Mutaaliyah, 2019.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 65

Tulisan ini mengkaji pemikiran epistemologis Nidhal dalam kerangka hubungan
antara Islam dan sains modern.



Pembahasan
Mengenal Nidhal Guessoum
Nidhal Guessoum seorang guru besar Fisika dan Astronomi yang berusaha
membangun jembatan (rekonsiliasi epistemik) antara tradisi Islam dan sains modern.
Nidhal dilahirkan tanggal 6 September 1960 di Aljazair. Terlahir dari keluarga
intelektual. Ayahnya adalah guru besar filsafat di Universitas Aljazair sekaligus
seorang hafiz, lulusan dua universitas terkemuka dunia, yaitu Universitas Sorbonne,
Paris dan Universitas Kairo Mesir. Ibunya pecinta sastra yang bergelar Master dalam
bidang sastra Arab.17
Pendidikan dasarnya dilewatkan di Lycée Amara Rachid School, di Aljazair,
yang menggunakan bahasa Arab dan Prancis sebagai bahasa
pengantarnya. Pendidikan tingkat sarjana di Universitas Sains dan Teknologi Algeria,
Aljazair, program Fisika Teoritis, lulus tahun 1982, dengan predikat lulusan terbaik.
Pendidikan tingkat Master dan Doktor ditempuh di Universitas California, USA.
Lulus Master bidang Fisika tahun 1984, dan selesai Doktor tahun 1988 dengan
disertasi berjudul Thermonuclear Reactions of Light Nuclei in Astrophysical Plasmas.18
Selesai Doktor, Nidhal langsung mengambil program post-doctoral di pusat
penelitian NASA, USA, tahun 1988-1990, di bawah bimbingan langsung Prof.
Reuven Ramaty (1937-2001). Reuven Ramaty sendiri adalah tokoh di NASA, ahli
bidang astronomi sinar gamma, astrofisika nuklir, dan sinar kosmik. Selesai post-
doctoral, Guessoum pulang ke Aljazair dan menjadi dosen di Universitas Blida,
Aljazair, tahun 1990-1994. Tahun 1994-2000, ia pindah ke Kuwait dan menjadi
Asisten Profesor di College of Technological Studies, Kuwait. Tahun 2000, Nidhal
pindah ke Uni Emirat Arab (UEA) dan menjadi Profesor penuh pada tahun 2008 di
American University of Sarjah, pada Jurusan Fisika, Fakultas Art and Science.
Nidhal menghasilkan banyak karya tulis, baik berupa buku, proseeding
seminar, hasil penelitian maupun jurnal internasional. Untuk buku yang populer di
Indonesia, yaitu Islam’s Quantum Question Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.
Karya-karya yang lain yaitu (1) Islam Big Bag ed Darwin: Les Quetions Qui Fachent; (2)
Islam et Science: Comment Consilier Le Corant et La Science Moderne;(4). Reconcilier l’Islam et
La Science Moderne; (5) Itsbât al-Shuhûr al-Hilâliyah wa Musykilah al-Tawqîti al-Islâmi; (6)
Qishshah al-Qawni: (7) Applications of Astronomical Calculations to Islamic Issues. Nidhal
Guessoum, “Science, Education, Philosophy, and More”.

17Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.
xxiii
18Nidhal Guessoum.

Zulpa Makiah

66 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

Pada akhir 1990 Nidhal baru mulai menekuni bidang sains, agama dan
filsafat. Pertama-tama, Nidhal menjelajahi secara sistematis sains, agama, dan filsafat
Barat. Ia membaca berbagai karya penting dari Barbour, Peacockem Polkinghorne,
Ruse, dan lain-lain. Nidhal juga tidak melupakan filsafat Islam, dari al-Ghazali, Ibnu
Rusyd sampai Iqbal dan Nasr. Pada tahun 2000 bersama koleganya Karim Meziane
melakukan kerjasama perbandingan tiga variabel yaitu antara kosmologi yang
dikembangkan filsuf muslim abad pertengahan, pemikir kontemporer Islam dan ilmu
pengetahuan modern. Artikel ini menarik perhatian publik sehingga Nidhal banyak
diundang ke berbagai lokakarya dan seminar mengenai hubungan sains dan Islam19
Menurut Nidhal benang merah dari semua karya intelektual dan pendidikan
yang ia miliki adalah terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling terjalin
berikut: 1) sains sangatlah penting dan relevan dengan Islam (dan dengan budaya
lain), 2) sains dapat membantu menciptakan kemajuan bukan hanya secara material,
melainkan juga secara intelektual, kultural dan religius 3) Sains terus berkembang dan
teologi juga harus demikian. 4) Jika diperhatikan secara seksama tidak ada
meterialisme murni yang menentang keterkaitan antara Islam dan sains.20

Kegelisahan Nidhal Guessoum
Nidhal merasakan level perkembangan manusia dan sains yang sangat
menyedihkan. Ia mengamati dalam konteks UEA dan dunia Arab bahkan Islam
secara keseluruhan, terdapat hubungan yang kontras antara pembangunan material
dan intelektual dengan kemajuan teknologi dan ilmiah. Ia menambahkan ketika
terjadi konferensi kedelapan i’jāz ilmiah dalam al-Qur’an dan Sunnah tahun 2006 di
Kuwait yang menghadirkan 86 pemakalah. Nidhal melihat adanya upaya yang bersifat
simplistik dalam rekonsiliasi Islam dengan sains. 21
Pada April 2007, konferensi yang sama diselenggarakan di Abu Dhabi
mengenai “Penyembuhan Qurani”. Satu tema penting konferensi tersebut adalah
efek pembacaan ayat al-Qur’an terhadap air, yang konon menyembuhkan banyak
penyakit pada pasien yang meminumnya, dengan alasan efek memori air. Yang lain
mengatakan beberapa gelombang elektromagnetik yang berasal dari getaran-getaran
al-Qur’an yang dibaca sehingga mampu mengatur ulang struktur molekul air dan
memberikan energi khusus. Sebagian lagi mengatakan sistem konten informasi akan
diteruskan dari al-Qur’an menuju air dan kemudian kepada pasien. Bahkan menurut
Nidhal ada pembicara, seorang teknisi peralatan medis, yang membawa sebuah alat
yang dapat digunakan untuk mengekstrak energi penyembuhan Qur’ani yang
tersimpan dalam air yang kemudian ditransfer ke air dengan hanya menempatkan satu
jari di dalamnya dan membaca ayat-ayat dengan suara keras atau di dalam pikiran
seseorang. Perangkat itu menurut pembicara tersebut dapat mengubah energi
menjadi informasi digital, merekamnya dan mampu mengirimkan melalui internet

19Nidhal Guessoum., xxiv
20Nidhal Guessoum, xxiv-xxv.
21Nidhal Guessoum, 13-14.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 67

kepada siapa pun yang membutuhkan di seantero dunia. Penemuan dalam konferensi
tersebut dipandang sebagai lompatan kualitatif dalam perkembangan imunitas
psikologis dan lompatan kuantum dalam konsep teknologi penyembuhan ajaib
Qur’ani. Sebuah penemuan pertama yang menggabungkan al-Qur’an dengan
teknologi modern. Menurut Nidhal semua laporan tersebut disajikan pada konferensi
internasional abad 20 dan bukan dalam zaman gelap abad pertengahan.22
Nidhal selanjutnya mengatakan sistem pendidikan yang menekankan hafalan
saja, termasuk sikap terhadap al-Qur’an, bahwa al-Qur’an lebih banyak dihafal saja,
sehingga sebagian mahasiswa universitas lemah dalam kemampuan berfikir kritis dan
analitis, sebagai buah dari sistem pendidikan di masyarakat Arab atau Islam saat ini.
Pengabaian fakta-fakta dasar ilmiah yang sangat luas, diremehkannya hakikat sains,
metodologi, lingkup validitas dan keterbatasan-keterbatasan di dalamnya. Walaupun
sudah ada suara-suara serius yang selama bertahun-tahun untuk merekonstruksi
pemahaman muslim dan interaksinya dengan sains. Tetapi suara-suara tersebut masih
sedikit, terputus-putus dan seringkali sumbang bahkan untuk membuat mereka
didengar apalagi mampu mempengaruhi sikap publik muslim terhadap sains. 23

Pinsip-Prinsip Fundamental dalam Islam
Sebelum membicarakan wacana hubungan Islam dan sains, terlebih dahulu
harus memahami prinsip-prinsip utama dalam Islam, yaitu mengenai Tuhan. Semua
wacana yang berkembang dalam Islam dimulai dengan kajian mengenai Tuhan. Ayat
yang penting tentang Tuhan adalah al-Ikhlas :1-4 dan al-Baqarah: 225. Konsep
mengenai Tuhan sangat gamblang dan lugas. Adapun isu yang paling kontroversial
mengenai aspek antropomorfis, misalnya al-Qur’an menyebutkan Allah melihat dan
mendengar, yang merupakan dua dari nama-nama indah-Nya. Ayat yang
menyebutkan bahwa Allah memiliki tangan, Allah berbicara kepada manusia di hari
pembalasan tanpa mediator atau perantara, manusia benar-benar melihat Allah pada
hari pembalasan, membuat perselisihan teologis yang serius. Nidhal berbicara
mengenai ide-ide yang ditonjolkan oleh para pemikir muslim mengenai Tuhan. Ada
keragaman konsep tentang Tuhan, misalnya al-Ghazali mengatakan bahwa
permasalahan yang berkaitan dengan Tuhan atau dengan agama tidak dapat
diselesaikan hanya dengan akal. Realitas yang kita sebut Tuhan berada di luar akal dan
pikiran, sehingga sains dan metafisika tidak bisa membuktikan atau menyangkal
wujud (keberadaan)-Nya. Al-Ghazali menyimpulkan keyakinan mengenai Allah hanya
bisa bersumber dari pengalaman religius yang sejati, walaupun ia menolak klaim
mistis yang berlebihan.24 Sedangkan kaum filsuf menganggap filsafat sebagai cara
terbaik untuk mengenal Tuhan dan ilmu turunannya (paling tidak untuk kalangan
terbatas). Menurut Nidhal semua filsuf mempercayai Allah dan menganggap

22Nidhal Guessoum, 5-6.
23Nidhal Guessoum, 8-9.
24Nidhal Guessoum, 25.

Zulpa Makiah

68 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

keberadaan-Nya sangat jelas, walaupun ada hal-hal yang perlu diperdebatkan menurut
mereka.
Satu abad setelah al-Ghazali muncul Ibnu Rusyd. Menurut Ibnu Rusyd
filsafat bisa mensistematisasikan wacana rasional tentang Tuhan dan semua masalah
penting lainnya. Bagi Ibnu Rusyd, teologi tidaklah deduktif tetapi dialektis, sedangkan
wacana keagamaan klasik bersifat retoris. Argumen mengenai keberadaan Allah ada
argumen kosmologis yang diperkenalkan Aristoteles dan diadopsi oleh Ibnu Rusyd,
memiliki beberapa rumusan termasuk sebab pertama dan penggerak utama. Rumusan
ini menegaskan bahwa keberadaan dunia dapat ditelusuri dari suatu sebab ke sebab
lain, sampai kepada penyebab pertama yaitu Tuhan.25
Argumen ontologi yang dikemukakan Anselm dan Descartes menuntut
adanya bukti logis. Dasar argumennya adalah kemampuan manusia membayangkan
Tuhan sang pencipta memungkinkan mereka menganggapnya sebagai suatu hal
terhebat yang bisa dibayangkan baik dalam pikiran atau sudah dalam realitas.
Argumen teleologis, dasar argumennya ketidakmungkinan mengamati semua
kerumitan, keagungan dan keselarasan dari semua ciptaan Tuhan tanpa memikirkan
sosok pencipta yang sangat kuat di balik semua realitas penciptaan. Argumen moral
dan kemenangan manusia dipihak yang baik yang terkadang tidak terpenuhi di dunia,
memerlukan keberadaan Tuhan untuk memberi makna dan keputusan dalam
kehidupan kita. Argumen spiritual adalah pengakuan beragam pengalaman spiritual
yang dilaporkan manusia.26
Sains modern menurut Nidhal telah memunculkan sedikitnya tiga teori yang
sangat penting dan memberi dampak yang signifikan terhadap konsepsi dan
kepercayaan terhadap Tuhan. Ketiga teori tersebut adalah evolusi Darwin (melalui
seleksi alam), teori kosmologi Big Bang dan Mekanika Kuantum (MK) yang
merupakan deskripsi dunia mikrofisika. 27
Ringkasan tentang konsep Tuhan di dunia muslim adalah tunggal, Dia adalah
Pencipta dan Pemelihara alam semesta, kepada-Nya kita semua akan kembali untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan. Dia bertindak di dunia ini dan menjawab doa-
doa kita, Dia berada diluar imajinasi kita, namun Dia lebih dekat dari urat leher kita
sendiri. Dia bisa diketahui dari cara Dia menggambarkan diri-Nya dalam al-Qur’an
dan dari cara Nabi menjelaskan diri-Nya. Dalam al-Qur’an dijelaskan Dia yang Indah
namun misterius.28

Sains dan Beberapa Kritik
Terdapat kontroversi antara kubu ilmuwan konservatif garis keras yang
mempercayai objektivitas dan universalitas upaya ilmiah dan kubu filsuf dan sosiolog

25Edith Hall, “‘Master of Those Who Know’: Aristotle as Role Model for the Twenty-First
Century Academician,” European Review; Cambridge 25, no. 1 (February 2017): 3–19,
http://dx.doi.org/10.1017/S1062798716000429.
26Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, 34.
27Nidhal Guessoum, 39-40.
28Nidhal Guessoum, 45.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 69

liberal sains yang mempercayai sifat relatif dan aspek sosial dari penelitian ilmiah dan
hasil-hasilnya. Apa itu sains, bagaimana sains bekerja, hingga batasan-batasan dan
kelemahan-kelemahannya.29
Menurut Nidhal sebagian besar kaum elite dan masyarakat pada umumnya
memiliki sifat apresiasi yang kurang bagaimana sains bekerja dan seberapa banyak
capaian yang harus dihasilkan setiap harinya dalam level yang cukup besar dan
kepercayaan yang terlalu besar terhadap hampir semua jenis klaim dari apapun
sumber rujukannya meskipun ia hanya berasal dari surat kabar, tv atau orang
terhormat. Masyarakat tidak memahami kriteria falsifikasi untuk mengecek ilmiah
tidaknya sebuah hipotesis, begitu pula tentang peer review atau wide checking dalam
menerima atau menolak hasil penemuan. Masyarakat juga sama sekali tidak
memberikan apresiasi terhadap peran sains dalam memperkuat rasionalitas dan tradisi
berpikir kritis dalam penalaran para pemikir kita, baik dalam isu ekonomi, sosial
maupun agama. Untuk menjawab keresahan tersebut Nidhal memulainya dengan
mempertanyakan apa itu sains. Menurut Nidhal selama ini belum ada konsensus
mengenai apa itu sains. Beberapa ahli seperti Rutherford mengatakan sains adalah apa
yang dilakukan oleh ilmuwan.
Sains menurut Nidhal adalah upaya manusia untuk membangun penjelasan
objektif mengenai dunia sekitarnya. Dalam upaya untuk membuat penjelasan objektif
yang berarti tujuan tersebut tidak mudah dicapai. Karena sains dibangun manusia,
maka kemungkinan salah atau bias selalu ada dan sains adalah upaya menggambarkan
dunia seluas mungkin.30 Sains adalah seperangkat metode objektif, sistematis,
kuantitatif dan dapat difalsifikasi, sehingga memungkinkan seseorang mengamati
alam semesta.
Filsafat sains menurut Nidhal adalah pengujian kritis terhadap metode
penelitian dan eksplorasi yang digunakan dan diterapkan dalam sains.31 Kesadaran
ilmiah diawali bahwa metode deduksi yang diwariskan dari filsafat harus diubah
menjadi induksi. Seseorang harus memulai dari fakta dengan keyakinan-keyakinan
apapun mengenai fakta tersebut, kemudian mencoba membangun generalisasi, yakni
induksi suatu hukum sesuai dan bisa menjelaskan fakta. Sebagaimana Roger Bacon
menemukan metode ini, al-Biruni dan Ibnu Sina yang hidup 3 abad sebelum Bacon
juga menggunakannya. Karakteristik utama dan terpenting sains terletak pada metode
dan proses yang dibangun didalamnya dan menuntut kepatuhan siapapun yang
bekerja di dalamnya yang disebut dengan metode ilmiah.
Deskripsi diatas menurut Nidhal harus dilengkapi dengan memasukkan unsur
manusia dimana elemen-elemen subjektif berpeluang dalam membangun hipotesa
dan pembuktiannya, dan perlunya komunitas ilmiah dalam memperkuat proses
tersebut. Selanjutnya Nidhal berpandangan bahwa sains yang dikembangkan oleh
peradaban kuno (ketika mereka menganggap alam sebagai kerajaan dan pertempuran

29Nidhal Guessoum, 67.
30Nidhal Guessoum, 71-72.
31Nidhal Guessoum, 82.

Zulpa Makiah

70 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

dewa-dewa), seperti masyarakat Cina, Maya, India dan Babilonia, Yunani, Romawi,
dan Arab-Muslim adalah bagian dari usaha saintifik. Walaupun para penulis Barat
cenderung mengatakan renaisans (khususnya revolusi Copernicus dan kemenangan
paradigma Galileo) sebagai awal mula sains. Berbeda dengan pemikir muslim yang
mengatakan dasar-dasar sains sudah ada sejak paradaban Arab-Muslim.32
Bagaimana sains bekerja dan bagaimana menyadari keterbatasan otoritasnya
dalam kasus-kasus tertentu dijelaskan tiga filsuf sains, yaitu Popper, Thomas Kuhn
dan Paul Feyerabend. Popper memperkenalkan karakteristik hipotesis ilmiah yang
harus bisa difalsifikasi dengan cara membuat beberapa prediksi atau harus bisa
mengasah pada konsekuensi yang dapat diuji dan dibuktikan benar atau salahnya.33
Setiap hipotesis yang tidak dapat diuji atau dibantah dianggap tidak ilmiah. Popper
mengajak ilmuwan untuk mengajukan hipotesisnya. Namun menurut Nidhal dalam
ilmu alam ada juga ruang gelap dimana sejumlah entitas dalam alam semesta telah
diperkirakan keberadaannya, namun tidak bisa dibuktikan secara langsung, misalnya
quark dan materi gelap. Meski demikian tidak ada orang yang meganggap teori fisika
tersebut tidak ilmiah walaupun keberadaannya tidak dapat dibuktikan. Demikian pula
dalam teori-teori kosmologi yang memprediksi eksistensi alam semesta yang tidak
dapat dibuktikan secara eksperimental. Dengan demikian menurut Nidhal kriteria
falsifiabilitas sangat penting dan amat menentukan dalam hipotesa ilmiah, dan bisa
menemukan jalan buntu dalam kasus tertentu. Gagasan falsifiabilitas sendiri
menurutnya merupakan konsep paling tajam untuk mendifinisikan dan
menggarisbawahi sifat aktivitas ilmiah.34

32Okasha dalam Philosopy of Science mengkaji Sejarah Sains mengatakan bahwa asal-usul
kebohongan sains modern terjadi pada periode 1500-1750, yang sebenarnya penyelidikan ilmiah sudah
dilakukan sejak zaman kuno dan abad pertengahan, sehingga revolusi ilmiah tidak datang tiba-tiba
begitu saja. Pada masa awal tersebut, pandangan Aristotelian sangat dominan. Namun gagasan
Aristoteles termasuk metode penyelidikannya tampak asing bagi ilmuwan modern. Dengan kata lain
ilmu pengetahuan modern dimulai sejak Galileo, sebab sains sebelum itu tidak sesuai dengan metode
ilmiah ala Galileo. George Sarton menulis dalam Introduction to the History of Science, menyajikan sains
selama periode Islam. Ia mengatakan tidak ada perkembangan dalam sejarah sains baik modern
ataupun Barat tanpa memanfaatkan kontribusi tersebut. Walaupun Chittick mengatakan sains modern
tidak muncul di kalangan Islam karena pandangannya bahwa sains modern menolak teleologi
mengabaikan yang transenden. Ziauddin Sardar mengatakan umat Islam telah mengembangkan
setidak-tidaknya dasar-dasar dan spirit sains modern dengan menekankan seruan yang berulang-ulang
disebutkan dalam al-Qur’an dengan mengamati dan merenungkan fenomena alam sebagai cara untuk
mengenal Allah atau ketetapan-ketetapan-Nya. Gagasan-gagasan Ibn Haitam, al-Biruni dan Ibnu Sina
serta para ilmuan muslim lainnya telah menjadi dasar semangat ilmiah dikalangan muslim. Teolog
klasik kata Sardar menekankan eksprementasi dan observasi sistematis sebagaimana metode ilmiah
yang ada sekarang. Sardar mengatakan dari Islamlah Eropa belajar melakukan penalaran logis, metode
eksperimen, ide-ide kedokteran dan menemukan kembali filsafat Yunani. Lihat Nidhal Guessoum, 75.
33Arnold G. Kluge, “Explanation and Falsification in Phylogenetic Inference: Exercises in
Popperian Philosophy,” Acta Biotheoretica; Leiden 57, no. 1–2 (June 2009): 171–86,
http://dx.doi.org/10.1007/s10441-009-9070-4.
34Olivier Rieppel, “Popper and Systematics,” Systematic Biology; Oxford 52, no. 2 (April 2003):
259–71, https://search.proquest.com/docview/194768761/abstract/5AE7E17ACF6C43E9PQ/6.,
83-84,136.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 71

Menurut Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution, sains
bergerak ke depan, sains muncul menghapus teori-teori yang ada, sebuah paradigma
digantikan dengan paradigma yang lain.35 Ketika paradigma geosentris mendominasi
berabad abad dan kemudian digantikan dengan paradigma heliosentris. Namun Kuhn
mengatakan transformasi tersebut berjalan sangat subjektif dan sering bergantung
pada apresiasi para ilmuwan terhadap anomali-anomali yang beredar serta kesiapan
masyarakat untuk memegang teguh atau membuang teori lama. Klaim objektifitas
dan universalisme sains menurut Kuhn adalah fatamorgana. Pendapat Kuhn dibantah
oleh Imre Lakatos, filsuf sains kelahiran Hongaria. Ia mengatakan bahwa paradigma
tidak identik dengan teori individu. Paradigma terbentuk melalui proses kolektif, yang
dapat menjamin objektifitasnya. Ia menyarankan semacam research program
berangkat dari rangkaian fakta untuk menghasilkan penemuan baru. Sedangkan Paul
Feyerabend, filsuf Austria berpandangan tidak ada pendekatan tunggal dalam
memperoleh pengetahuan yang harus dibakukan sebagai metode ilmiah.36
Postmodernisme (1960-1970) juga mengkritik sains. Postmodernisme
diidentikkan dengan relativisme. Gagasan ini mengandaikan sains salah satu
pendekatan untuk mencari pengetahuan dan untuk melihat dunia diantara
pendekatan-pendekatan lain yang setara secara esensial, misalnya mistisisme dan
okultisme. Zaman postmodernisme menandai munculnya gerakan-gerakan sosial
yang melontarkan kritik pada sains, misalnya enviromentalisme, mengkritik
penerapan sains dan metodenya. Rachel Carson dalam buku Silent Spring
menggambarkan bahaya besar sains bagi dunia (lingkungan). Sebagai ahli zoologis ia
memaparkan dampak lingkungan yang terjadi di Amerika Serikat. Demikian pula
semua orang mengetahui dampak negatif teknologi seperti polusi udara, air, hujan
asam, kepunahan spesies, limbah beracun, penyebaran kanker, pemanasan global dan
banyak lagi. Sardar mengatakan sains Amerika dikontrol secara ketat oleh aliansi
militer, perusahan multinasional yang kuat dan riset dari berbagai universitas,
termasuk riset dan tesis mahasiswa dikendalikan militer.37 Sardar menyebut Sains
sebagai teologi kekerasan dan menjelaskan sains melakukan kekerasan terhadap
subjek pengetahuan, objek pengetahuan, pemanfaatan pengetahuan bahkan pada
pengetahuan itu sendiri. Sains di Barat juga dituduh mendiskriminasi gender dalam
upaya ilmiah, dimana harus ada kesetaraan partisipasi dalam program penelitian dan
aktivitas ilmiah. Kemudian kritik sentrisme budaya dimana klaim sains dianggap
berakar dari norma, aturan dan metode Barat. Menurut Sardar sains modern menjadi
alat kontrol dan manipulasi kebudayaan non-barat, meminggirkan minoritas dan
perempuan. Demikian pula kegiatan ilmiah sengaja dibiarkan tertutup untuk orang

35K. Brad Wray, “Assessing the Influence of Kuhn’s Structure of Scientific Revolutions,”
Metascience; Dordrecht 21, no. 1 (March 2012): 1–10, http://dx.doi.org/10.1007/s11016-011-9603-8.
36Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, 84.
37Nidhal Guessoum, 87-89.

Zulpa Makiah

72 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

non-Barat berdasarkan rasio jurnal yang diindeks di Barat terhadap jurnal di seluruh
dunia.38
Isu metafisik mengenai sains menjadi tema perdebatan para ilmuwan, filsuf
dan agamawan mengenai perihal batas-batas epistemik sains. Saintisme berpandangan
penerapan sains untuk semua hal yang ada di alam semesta, termasuk kehidupan
manusia dan masyarakat. Sebagian mengemukakan sains teistik, sebuah
kecenderungan untuk mengembalikan Tuhan kepada sebuah pandangan dunia dan
pendekatan sains. Teisme adalah kepercayaan kepada Tuhan, bukan hanya sebagai
pencipta dan perancang dunia, tetapi juga penopang alam semesta, sehingga tanpa-
Nya alam semesta mustahil terjadi. Sedangkan deisme, Tuhan hanya dibutuhkan
dalam penciptaaan alam, selanjutkan hukum-hukum alam mengambil alih peran
Tuhan dan mengarahkan setiap detil alam semesta. Mehdi Golshani memfokuskan
wacananya pada sains teistik dan menganjurkan pergeseran dari sains sekular, bahwa
sains teistik sesuai dengan filsafat sains Islam dan para pemikir Barat. Sains teistik ini
menurut Nidhal dapat memberikan jalan keluar dari barbagai krisis saintifik (etika,
lingkungan, sosial dan lain-lain)
Selanjutnya Nidhal mengusulkan membuat sintesis atau perpaduan antara
prinsip-prinsip teistik dan berbagai metode/temuan sains modern dengan
merumuskan beberapa teologi baru yang konsisten dengan sains modern meskipun
sains modern tidak senada dengan keyakinan dan teks suci secara literal.39 Kemudian
membangun kosmologi untuk memungkinkan ditemukannya beberapa spririt dalam
alam semesta dan keberadaannya. Sebuah kosmologi modern Islam menurutnya
sangat mungkin dibangun selama para aktor intelektualnya tetap terbuka, kreatif dan
tidak kaku, baik dalam pengetahuan religious maupun saintifiknya.40
Perlunya mengajarkan filsafat sains, merevisi dan menyajikan sejarah sains
dengan benar, melakukan dialog yang serius dengan para teolog dan cendikiawan
muslim untuk meyakinkan bahwa sains dewasa ini sudah terlalu lama mereka
monopoli, perlunya mendidik publik tentang isu-sisu sains yang agak dekat dengan
wilayah keagamaan dan membangun dialog dengan Barat. Adanya permasalahan
kependidikan dan kemasyarakat yang serius dalam Islam, keberatan para ulama untuk
memberikan kepada para pakar non agama) untuk menyuarakan gagasan tentang isu
apa pun yang diklaim milik ranah keagamaan, dan kedang kala budaya ilmiah di
kalangan muslim pada umumnya dan absennya kultur tersebut dalam pengajaran para
ulama.

Tawaran Rekonsiliasi Agama dan Sains
Sebelum mengajukan gagasannya, Nidhal mengkritik pola-pola Islamisasi
yang berkembang saat itu. Diantaranya model i’jâz al-’ilmî. Model pemikiran ini

38Ziauddin Sardar, Islamic Science The Way Ahead (Makalah Konferensi Tahun 1995), Dalam Ehsan
Masood (Ed), How Do You Know? (London-New York: Pluto Press, 2006).
39Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science., 97-
98.
40Nidhal Guessoum, 370-371.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 73

menyatakan bahwa al-Qur’an jika dibaca dan ditafsirkan secara ilmiah akan secara
eksplisit mengungkapkan sebagian kebenaran ilmiah, karena al-Qur’an berisi segala
jenis pengetahuan. Gagasan ini dijustifikasi ayat al-Qur’an: “Tiada kami alpakan
sesuatu apapun di dalam kitab” (al-An’am (6): 38). Metode i’jâz ini berkembang di
dunia Arab. Banyak buku ditulis dengan pendekatan ini untuk menunjukkan bahwa
al-Qur’an telah meramalkan misalnya penemuan telpon, telegram, radio, televisi,
faximili, e-mail, laser, lubang hitam dan sterusnya. Konferensi pun digelar demi
mengokohkan pendekatan ini.41
Zahlul al-Najjar sebagai tokoh metodologi ini mematok 10 prinsip
pendekatan i’jâz, yaitu: Pertama, memahami teks al-Qur’an dengan baik sesuai dengan
pemaknaan Bahasa Arab. Kedua, mempertimbangkan al-’ulûm al-Qur’ân. Ketiga,
menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan sebuah topik umum sebelum
melangkah pada penafsiran baru. Keempat, menghindari penafsiran berlebihan dan
tidak memelintir ayat-ayat agar bisa sesuai dengan temuan ilmiah. Lima, menjauhi isu-
isu yang gaib. Enam, fokus pada sebuah tema secara khusus ketika menafsirkan ayat-
ayat yang berhubungan dengan topik tertentu. Tujuh, mempertahankan ketetapan dan
kejujuran intelektual ketika berhadapan dengan pernyataan ilahi. Delapan,
menggunakan fakta-fakta ilmiah yang sudah mapan, bukan teori yang belum pasti
atau dugaan Sembilan, membedakan tafsir al-’ilmî dan i’jâz al-’ilmî, baik dalam al-
Qur’an maupun sunnah. Tafsir al-’ilmî ada beberapa kasus yang belum bisa dipastikan
hasilnya oleh ilmu-ilmu manusia, sehingga sah-sah saja menggunakan teori ilmiah
untuk menjelaskan ayat atau hadis. Sedangkan dalam i’jâz al-’ilmî, seorang penafsir
menggunakan fakta-fakta ilmiah yang benar-benar mapan saja. Sepuluh, menghormati
upaya-upaya ulama sebelumnya dalam segala hal terkait.42
Menurut Nidhal pedoman tersebut agak trivial dan tidak fundamental, terlalu
kaku secara metodologis. Dalam kenyataannya praktisi i’jâz justru tidak berpegang
pada metode tersebut. Ia menggambarkan bagaimana an-Najjar menggunakan
metode ini. An-Najjar memilih sebuah ayat kosmik (pernyataan al-Qur’an tentang
bagaimana fenomena alam), menyajikan belasan halaman berisi informasi ilmiah yang
dapat ditemukan pada ensiklopedi mananpun, baru kemudian menyatakan bahwa
benar-benar ada keajaiban (i’jâz) karena ayat tersebut telah meramalkan semua fakta
ilmiah sebagaimana ia menafsirkan.43
Nidhal mengkritik prinsip-prinsip i’jâz ini yaitu pertama, sangat normatif dan
tidak fundamental. Prinsip yang ditawarkan tidak berbeda dengan aturan metodologis

41Nidhal Guessoum, 148.
42Nidhal Guessoum, 156-157.
43Contoh Ketika An-Najjar menafsirkan ayat al-An’am (6): 1), Segala puji bagi Allah yang tela
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang. Ayat ini ditafsirkan dalam 13 halaan
dari berbagai referensi klasik diikuti 8 halaman mengenai skenario Big Bang dengan berbagai tahap
secara detail: quark, gluon, usia nucleon dan anti nucleon serta usia galaksi. Penjelasan selanjutnya adalah
mengenai kegelapan meliputi kegelapan primordial alam semesta, kegelapan kosmos, kegelapan
kedalaman laut dan Samudra, kegelapan dalam Rahim, kegelapan dalam alam kubur. Menurut Nidhal
benar-benar diluar jangkauan pemikiran bagaimana ayat tersebut bisa ditafsirkan demikian. Lihat
Nidhal Guessoum, 163.

Zulpa Makiah

74 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

akademik yang berlaku di kampus pada umumnya. Kedua, pedoman terkait
penggunaan teori-teori yang sudah mapan. Yang jadi pertanyaan apakah pendukung
teori i’jâz menganggap teori gravitasi Isaac Newton adalah fakta alam yang sudah
mapan. Padahal pembahasan mengenai teori gravitasi sudah dimulai sejak zaman
Yunani Kuno sehubungan dengan kinematika sistem tata surya. Einstein juga
membahas mengenai relativitas umum sebagai sebuah teori geometri mengenai
gravitasi. Apakah teori Einstein juga mapan, mana yang harus dipilih dan atas dasar
apa. Ketiga, kalau kemapanan sebuah fakta atau teori dikaitkan dengan ayat al-Qur’an,
berarti an-Najjar membiarkan para peneliti menggunakan ayat demi mengunggulkan
suatu teori sains tertentu, dan ini adalah kesalahan luar biasa. Keempat, klaim
kelompok ini yang mengatakan seseorang dapat mengidentifikasikan fakta ilmiah
untuk kemudian membandingkan dengan pernyataan yang jelas dalam al-Qur’an
menunjukkan kesalahpahaman yang nyata dengan sifat sains. Sains menurutnya
bukanlah sekumpulan fakta seperti halnya sebuah rumah bukan sekedar sekumpulan
batu bata. Kelima, klaim bahwa penafsiran al-Qur’an bersifat tunggal dan pasti
sehingga bisa dibandingkan dengan pernyataan ilmiah. Sains bersifat sederhana dan
jelas, yang berisi fakta definitif yang mudah dibedakan dari teori. Keenam, prinsip-
prinsip metodologis yang diajarkan ternyata jarang digunakan dalam praktiknya.44
Model ijmâlî Ziauddin Sardar, seorang ilmuwan muslim asal Inggris kelahiran
Pakistan didasarkan dua ide: (1). Bahwa sains modern telah mengalami cacat bawaan
dan berbahaya, baik dalam dasar metafisikanya maupun aplikasi teknologinya. (2).
Islam sangat mendorong pengembangan sains tetapi tetap haus memperhatikan etika,
nilai moral dan harmoni dengan lingkungan. Dengan kata lain pengembangan sains
dalam Islam seperti bentuk ibadah yang mempunyai fungsi spiritual dan sosial.45
Menurut Sardar pengembangan sains islami dalam pendekatan ijmâlî harus
memiliki kreteria: tidak reduktif, tidak anakronistik, tidak ada dominasi metodologi
tertentu atau pembatasan metodologi tertentu, tidak terfragmentasi dan
terspesialisasi, tidak berwawasan sempit, tidak bersifat objektif yang lepas dari
konteks sosial, tidak Bucailistik, tidak bersifat mistik, tidak tanpa keadilan dan tidak
berdasar worldview Barat.46
Untuk membentuk sains ideal yang dimaksud, Sardar mematok beberapa
konsep fundamental yang menjadi kerangka kerja ilmiah yaitu: tauhid, keterkaitan
alam dengan Tuhan, khilafah, adanya tanggungjawab dan akuntabilitas kerja, sains
bagian dari ibadah, ilmu dan sains bagian dari jalan menuju Allah, halal vs haram
konsep untuk menilai penerapan ilmu, keadilan vs kezaliman konsep untuk menilai
aplikasi sains, manfaat vs ketidakbergunaan pertimbangan lain untuk mengukur
aplikasi sains. 47

44Nidhal Guessoum, 117.
45Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (London-New York: Mansel, 1989), 112.
46Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.
126.
47Nidhal Guessoum, 127.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 75

Secara teoritis, menurut Nidhal konsep integrasi sains versi ijmâlî menjadi
model yang menjanjikan. Namun dalam kenyataannya, gagasan tersebut hanyalah
mimpi dan tidak terealisasikan. Alasannya adalah: Pertama, pendukung model ijmali
sudah bubar sebelum ide terealisasikan. Kedua, kelompok ini sering menentang
sebuah teori tetapi tidak memberikan alternatifnya. Ketiga, ajakan Sardar untuk
menghindari penyiksaan atau pembedahan binatang dalam pengembangan sains
justru dinilai penyebab kelambatan dalam perkembangan sains. Karena riset maju
dengan mengandalkan percobaan pada binatang. Secara keseluruhan model Ijmâlî
Sardar bagus dalam tataran konsep tetapi tidak dapat diteruskan dalam upaya
mempertemukan antara sains dan agama.
Sedangkan integrasi ilmu Ismail Raji al-Faruqi mendasarkan pengetahuan atas
dua premis: (1) kegagalan reformis Islam untuk melahirkan peradaban yang nyata. (2)
Kegagalan para kritikus post modernis Barat untuk menjauhkan dunia modern dari
berbagai bencana, khususnya kehancuran agama dan hilangnya makna serta tujuan
hidup.48 Al-Faruqi sebenarnya ingin mengkritik realitas pengetahuan modern yang
sekularistik satu sisi dan Islam yang terlalu religius pada sisi yang lain dalam suatu
paduan yang utuh tanpa pemisahan satu sama lain.49
Menurut Nidhal, ada beberapa catatan gagasan Islamisasi al-Faruqi ini,
pertama, proyek al-Faruqi yang mencari kesesuaian khazanah Islam kepada sains
modern dinilai sebagai pengarahan Islam kepangkuan Barat, sehingga Islam hanya
bersifat pasif. Kedua, proyek Islamisasi ini sebagaimana juga dikemukakan Sardar
dikhawatirkan akan menyebabkan penghapusan dan penyaringan pengetahuan yang
dianggap tidak islami, sehingga menciptakan kasta para ilmuwan yang akan
menyaring pengetahuan yang diinginkan kelompok mereka saja. Ketiga, proyek
Islamisasi dinilai tidak sesuai dengan kenyataan sejarah paradaban Islam. Dalam
sejarah para ilmuwan klasik tidak mengislamkan paradaban sebelumnya, sebaliknya
mereka mempelajari, menguasai dan mengembangkan ilmu dengan metode ilmiah
ang berlaku, bukan dari perspektif agama.50
Menurut Nidhal prinsip utama filsafat pengetahuan dalam al-Qur’an adalah
manusia dianugerahi kemampuan untuk belajar dan memahami sesuatu. Kemampuan
inilah yang menjadikannya khalifah di muka bumi. Konsep ‘aql (reasoning) muncul 49
kali dalam al-Qur’an dan selau disajikan dalam bentuk aktif, bukan sebagai gagasan
abstrak atau kemampuan pasif manusia. Pada prinsipnya manusia bisa mempelajari
apapun, hal ini berarti alam semesta juga dapat dipahami, karena pengetahuan
bersifat luas, menyeluruh dan meliputi berbagai bidang.51

48Nidhal Guessoum, 117.
49Rosnani Hashim and Imron Rossidy, “Islamization of Knowledge: A Comparative Analysis
of the Conceptions of AI-Attas and AI-Fārūqī,” Intellectual Discourse 8, no. 1 (2013),
http://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/view/479.
50Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science,
124.
51Nidhal Guessoum, 54.

Zulpa Makiah

76 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

Pengamatan terhadap al-Qur’an yang berhubungan dengan pengetahuan dan
cara memperolehnya memungkinkan ditemukannya beberapa istilah yang merujuk
pada hierarki metode pengetahuan itu sendiri. Beberapa diantaranya adalah
mendengarkan, mengamati, merenungkan, berfikir, mempertimbangkan,
merefleksikan, dan lain-lain yang disebutkan belasan kali dalam al-Qur’an.52 Oleh
karena itu manusia dapat memeras saripati ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Quran
dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan makna
istilah pengetahuan itu sendiri, seperti mempercayai, mempertanyakan, berfikir,
memahami, menyadari, memastikan dan lain-lain.
Menurut Nidhal, al-Qur’an juga menekankan perhatian bahaya penalaran
tanpa bukti berbahaya.53 Bukti menurut sudut pandang al-Qur’an menurut Ghaleb
Hasan adalah bukti yang meyakinkan atau argumen yang jelas dan kuat. Bukti tidak
didapat dari tradisi atau pandangan orang-orang terdahulu.54 Baik pernyataan atau
penolakan sama-sama memerlukan bukti.55 Sedangkan tujuan pengetahuan menurut
al-Quran adalah naiknya jenjang manusia dari sekedar percaya menuju jenjang yang
lebih tinggi, yakni mengetahui, membaiknya moral dan keyakinan penuh akan
keberadaan Tuhan.
Menurut beberapa penulis, sekitar 750 ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan fenomena alam. Sebagian dari ayat-ayat tersebut sangat mendorong bahkan
merekomendasikan kajian dan eksplorasi tentang alam semesta.56 Dengan
memusatkan perhatian, melakukan observasi dan berfikir ekstensif pada fenomena
astronomis, seseorang dapat membuktikan keesaan Tuhan dan mengenal sang
pencipta lebih dalam, begitu juga dengan kebijasanaan dan desain halus-Nya.
Menurut Nidhal filsafat sains al-Qur’an mengacu pada dua hal, pertama:
eksplorasi alam, mulai observasi hingga penelitian yang serius, menunjukkan
keteraturan dan tujuan kosmos. Kedua: kajian terhadap alam semesta harus mengarah
pada satu kesatuan tertentu yang menuntun pada keimanan terhadap sang pencipta.57
Para pemikir muslim tetap mempertahankan dimensi etis dalam sains al-Qur’an dan
Islam pada umumnya. Namun, konsep sains dalam pengertian modern memang tidak
mudah ditemukan dalam al-Qur’an atau bahkan disebagian besar warisan Islam
klasik.
Dalam hal ini Nidhal mengemukakan satu pendekatan dalam rekonsiliasi
agama dan sains yaitu dengan model kuantum, sebagai berikut:
1. Prinsip tidak bertentangan

52Nidhal Guessoum, 55.
53Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011).
Lihat QS. Al-Isra (17): 36, “Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mengetahui
apapun tentangnya.”
54Departemen Agama RI. Al-Maidah (5): 104.
55Departemen Agama RI. An-Nisa (4): 174.
56Departemen Agama RI. Lihat al-Imran (3): 191.
57Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, 59.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 77

Dalam proses filosofi rekonsiliasi antara agama dan sains, Nidhal berpegang
pada pemikiran Ibnu Rusyd58 yang mengatakan dalam kitabnya Fashl al-Maqâl bahwa
agama dan filsafat (yang disebut sebagai hikmah atau kebijaksanaan yang dapat
diperluas menjadi pengetahuan, termasuk sains) tidak pernah bisa bertentangan satu
sama lain karena keduanya adalah saudara sepersusuan (bosom sisters). Keduanya hanya
mengungkapkan kebenaran yang sama dengan cara yang berbeda. Ibnu Rusyd secara
eksplisit menyerukan penafsiran metaforik atas teks-teks agama dengan berlandaskan
al-Imran (3): 7, dalam rangka mempertemukan kontradiksi antara pernyataan agama
dan hasil penalaran pengetahuan profan mengenai masalah tertentu. Hermeneutika
Ibnu Rusyd menurut Campanini59 mengajak pada takwil linguistik yang
memposisikan konsep atau makna dibalik kata-kata. Karena ayat al-Qur’an memiliki
makna yang beragam, ada yang bermakna literal, sebagian lagi bermakna simbolis
tentang alam semesta. 60 Disamping itu penekanan keragaman bacaan dan makna
dibalik ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana disarankan Muhammad Talbi dan Hasan
Hanafi.
Jika al-Qur’an diseriusi dan dikaji sedemikian rupa, prinsip-prinsip Rusydian
tentang ketidakmungkinan adanya konflik antara firman Tuhan dan karya Tuhan
harus dijunjung tinggi. Prinsip ini dapat menjadi suatu pendekatan tanpa penolakan
atau tanpa oposisi ketika seseorang mengemukakan mengenai gagasan tertentu,
bukan dengan membuktikan bahwa teori ini ditemukan dalam al-Qur’an, tetapi

58Mengapa Ibnu Rusyd, menurut Nidhal ada 4 alasan menjadikan Ibnu Rusyd sebagai model
dalam rekonsiliasinya: (1). Ibnu Rusyd adalah tokoh yang cerdas. Pada usia 12 tahun telah menguasai
tiga bidang keilmuan yang berbeda, yaitu fiqih, sains dan kedokteran, disamping jasanya dalam
meletakkan dasar-dasar teologi dan pemikiran filsafat Islam.(2). Pengaruhnya yang besar pada
pemikiran sesudahnya, khususnya dalam bidang sains, teologi dan filsafat, Ibnu Rusyd berjasa
membersihkan tafsiran-tafsiran sebelumnya yang dinilai keliru untuk kemudian menjelaskannya agar
bisa dihasilkan interpretasi yang benar, memberikan doktrin baru bahwa logika bukan hanya bicara
benar salah, tetapi juga harus berkaitan dengan logika empirik. (3). Upaya Ibnu Rusyd untuk
mempertemukan agama dan filsafat, wahyu dan rasio, yang menurut Nidhal dilakukan Ibnu Rusyd
dengan pertama: menganalogikan filsafat dengan agama sebagai bosom sister (saudara sepersususan),
sehingga luka agama yang disebabkan filsafat adalah luka paling perih karena berasal dari orang
terdekat. Kedua: prinsip agama tidak bertentangan dengan filsafat, siapapun yang akan mencari
kebenaran dari agama akan selaras dengan filsafat. Ketiga: menggunakan metode takwil ketika secara
tekstual sebuah ayat tampak tidak selaras dengan pemahaman rasional. Keempat: hukum ilahi adalah
kemanunggalan wahyu dan akal. Lihat Khodari Soleh, “Pendekatan Kuantum Dalam Integrasi Agama
Dan Sains,” 122-125.
59Campanini menyimpulkan bahwa teks-teks agama tidak berbeda dengan teks linguistik pada
umumnya dan bisa dijadikan objek analiis hermeneutik, maka secara otomatis al-Qur’an tidak dapat
dimaknai secara literal semata. Berbagai petunjuk biologis dan kosmologis al-Qur’an memang tidak
benar-benar ilmiah. Namun secara simbolis, petunjuk-petunjuk tersebut dapat diinterpretasikan
dengan hermeneutika tekstual yang cerdas. Sistem linguistik al-Qur’an terdiri atas teks-teks tetap, tetapi
niat para penafsir dapat mengungkapkan sejumlah makna, hermenutika filosofis bisa melacak dasar
sains dalam al-Qur’an tanpa harus berasumsi bahwa al-Qur’an adalah teks ilmiah, lihat Masimo
Campanini, “Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach,” Journal of Qur’anic Studies 7, no. 1
(2005). 60
60Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, 61.

Zulpa Makiah

78 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

dengan menunjukkan bahwa sebuah pembacaan dan interpretasi cerdas terhadap
ayat-ayat tertentu telah menghasilkan kesimpulan yang sepenuhnya konsisten dengan
teori ilmiah tertentu yang relevan.

2. Penafsiran berlapis
Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an harus dilakukan secara berlapis,
berjenjang sesuai dengan tingkat penalaran seseorang, sehingga tidak ada penafsiran
tunggal. Pembacaan berlapis ini menjadi keniscayaan karena tingkat nalar manusia
memang berbeda. Dengan penafsiran berlapis upaya untuk mempertemukan antara
agama dan sains menjadi sangat terbuka.61
Konsep sains dalam pengertian modern tidak mudah ditemukan dalam al-
Qur’an atau bahkan sebagian besar warisan Islam klasik. Nidhal menunjukkan
sikapnya: (1) Menolak terhadap semua perspektif yang ekstrem, yaitu klaim seputar
pengetahuan ilmiah (mukjizat ilmiah) dalam al-Qur’an harus ditolak karena berbagai
alasan. (2). Menekankan pembacaan berlapis (multiplicity readings), dengan nuansa dan
petunjuk multilevel terhadap sebagian besar -jika tidak semua- bagian al-Qur’an-.
Pembacaan al-Qur’an dengan berbagai perangkat termasuk, pengetahuan ilmiah yang
dimilikinya. Pendekatan ini merupakan pendekatan kombinasi dari gagasan beberapa
cendikiawan, mulai dari Ibnu Rusyd hingga Muhammad Talbi. Menurut Nidhal al-
Qur’an harus dibaca dan dikaji dengan serius dan penuh hormat, maka resep
hermeneutika dan prinsip Rusydian (Averoes) mengenai ketidakmungkinan
pertentangan antara firman Tuhan dan karya Tuhan haruslah dijunjung tinggi. Dalam
praktiknya, prinsip ini dapat diubah menjadi pendekatan tanpa keberatan atau tanpa
oposisi yang memungkinkan kita meyakinkan masyarakat muslim mengenai gagasan
tertentu. Contoh teori evolusi Biologi, bukan dengan membuktikan bahwa teori
tersebut dapat atau tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an melainkan dengan
mengajak mereka melakukan pembacaan dan penafsiran yang cerdas terhadap
beberapa bagian al-Qur’an yang benar-benar konsisten dengan teori tersebut.62
Prinsip ini didasari beberapa alasan yaitu pertama, sebagaimana Sachiko
Murata dan William Chitticck menyatakan secara historis munculnya keragaman
pemahaman atas ayat-ayat al-Qur’an justru menjadi kekayaan intelektual dalam
sejarah keemasan Islam. Sebagaimana yang diungkapkan ad-Dzahabi bahwa
munculnya banyak penafsiran, mulai yang tekstual sampai yang rasional, empirik dan
mistik. Setiap mazhab mempunyai tafsir sendiri untuk menguatkan pendapatnya.
Alasan kedua, umat Islam menempatkan al-Qur’an sebagai kitab suci, dan
selalu merujuk ayat-ayat al-Qur’an untuk membahas topik-topik yang dianggap
penting. Aslan mengatakan umat Islam dari semua ragam kebudayaan dan etnis,
harus membaca al-Qur’an dalam Bahasa Arab, karena ia merupakan kata-kata suci
Tuhan dan memiliki kekuatan spiritual dengan istilah barakah. Ciri lain yang
membuat al-Qur’an istimewa adalah kualitasnya yang mengagumkan dalam versi

61Nidhal Guessoum, 62.
62Nidhal Guessoum, 174-175.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 79

aslinya yang berbahasa Arab, kekayaan kosa kata, beberapa kata memiliki beberapa
arti, kekhasan dalam nada dan irama, keseimbangan dalam menyentuh pikiran dan
hati, menggunakan gaya sastra dan ilmiah sekaligus, dan keluasan dalam
menggunakan imaji dan metafora sebagaimana disebutkan oleh Fahd ar-Rumi dalam
Characteristic of the Noble Quran. Bahkan Muzaffar Iqbal menyebut al-Qur’an sebagai
sebuah filsafat sains kosmologis, karena al-Qur’an mengandung beberapa ayat yang
menggambarkan asal mula alam semesta dan kehidupan. 63
Ketiga, pernyataan al-Qur’an sendiri yang menunjukkan adanya ragam
pemahaman dan pemaknaan atas sebuah teks (QS al-Imran (3): 7). M. Asad
menyatakan ayat 7 al-Imran ada banyak ekspresi dalam al-Qur’an yang tidak dapat
dipahami secara tekstual melainkan harus dipahami dalam arti alegoris, agar dapat
dipahami masyarakat yang berbeda.
Keempat, Nidhal mengutip pendapat Sachiko Murata dan Chittick yang
mengutip sabda Rasul bahwa setiap ayat al-Qur’an mengandung tujuh arti, mulai
tekstual sampai makna ketujuh, makna terdalam yang hanya diketahui Allah sendiri.
Muhammad Talbi mengatakan ada banyak kunci dalam memahami al-Qur’an, kunci-
kunci tersebut dalam waktu yang sama bisa menjadi objektif atau subjektif.64
Kelima, mengikuti pendapat Ibnu Rusyd mengenai nalar manusia. Menurut
Ibnu Rusyd tingkat berfikir masyarakat tidaklah sama, ada awam, menengah dan elit.
Awam adalah kelompok yang hanya berfikir tekstualis-retoris sama sekali tidak
mampu berfikir rasional. Kelas menengah adalah kalangan yang mampu berfikir
rasional tetapi belum mampu tingkat kritis filosofis. Kelompok elit adalah kalangan
yang mampu berfikir kritis filosofis tidak sekedar rasional dialektis. Karena itu
menurut Ibn Rusyd pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami teks sesuai
dengan makna zahirnya secara keseluruhan atau memahami teks sesuai dengan
makna takwilnya secara keseluruhan.65

3. Pendekatan falsifikatif teistik.
Prinsip ini terkait dengan persoalan metodologis dan pilihan metafisis yang
diikutinya. Menurut Nidhal, ini adalah salah satu cara kerja sains terkait metodologi.
Aspek ini memberi aturan main bagaimana sains bekerja. Dengan menggunakan
kriteria falsifiabilitas. Sains bukanlah sebuah proses mekanis, sebab ia dimulai dari
prinsip-prinsip yang terkadang belum terbukti dan sering tidak bisa dibuktikan,
bahkan cenderung bergantung pada insting pribadi, kecenderungan personal,
konsensus bersama dan mengikuti berbagai paradigma serta prinsip-prinsip revolusi
yang aktual.66

63Nidhal Guessoum, 48-50.
64Nidhal Guessoum, 50.
65Ibnu Rusyd, Fashl Al-Maqāl Fī Mā Baina al-Syarī’ah Wa al-Hikmah Min al-Ittisāl (Beirut: Dar
al-Afaq, 1978), 31.
66Nidhal Guessoum, Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern Science,
175.

Zulpa Makiah

80 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

Secara sederhana, metode ilmiah yang dianut dalam sains dapat diartikan
dengan serangkaian tindakan yang terdiri atas beberapa tahapan: (1) serangkaian
tindakan mengamati fenomena dan merekam sebanyak mungkin data/informasi
tentang fenomena tersebut. (2) membuat hipotesa berdasarkan pengetahuan yang
sudah ada terhadap fenomena tersebut. (3) menguji hipotesa, kemudian
memperbaiki/menyempurnakan hipotesa sehingga prediksi yang dibuat terbukti
benar atau membuang hipotesis lama dan menggantinya dengan hipotesis baru jika
bertentangan dengan hasil percobaan atau pengamatan.67
Nidhal mengusulkan agar pengembangan sains modern harus didasarkan atas
worlview teistik. Teisme bukan sekedar kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta
semesta, tetapi juga penopangnya, dimana tanpa-Nya keberadaan semesta menjadi
mustahil terjadi. Tuhan senantiasa berinteraksi dengan semesta, tidak lepas darinya.
Metode pengembangan sains modern harus didasarkan atas metode ilmiah yang
ketat, yaitu falsifikasi, tetapi pada aspek metafisikanya didasarkan atas worldview teistik,
sehingga gabungan keduanya menjadi falsifikatif-teistik.
Nidhal Guessoum adalah tokoh yang ikonik dan memiliki otoritas dalam
upaya membangun hubungan harmonis antara agama dan sains. Nidhal seorang
praktisi saintis dan pada saat yang sama memiliki ghirah keislaman yang kuat, yang
berkomitmen membangun sains dari diskursus Islam. Nidhal sangat terobsesi dengan
Ibnu Rusyd yang berusaha untuk mendapatkan legitimasi agama terhadap filsafat,
dengan kata lain Ibnu Rusyd berpihak pada filsafat untuk menaklukkan agama.
Nidhal menyatakan solusi hubungan antara agama dan sains dengan menindaklanjuti
apa yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd, dengan mengatakan bahwa filsafat tidak
bertentangan dengan Islam. Padahal Nidhal dan Ibnu Rusyd memiliki titik tolak yang
berbeda. Nidhal menyatakan solusi hubungan antara sains dan agama adalah dengan
bertitik tolak dari al-Qur’an dengan pendekatan kuantum yaitu antara sains dan al-
Qur’an idak ada pertentangan, penafsiran berlapis terhadap al-Qur’an dan falsifikasi
teistik. Akan lebih baik jika Nidhal tetap konsisten dengan solusi problem hubungan
antara Islam dan sains tersebut, karena memiliki titik tolak yang berbeda dengan apa
yang telah dirintis oleh Ibnu Rusyd.

Simpulan
Upaya rekonsiliasi antara agama dan sains yang dikemukakan Oleh Nidhal
Guessoum berangkat dari kritiknya terhadap kondisi pendidikan dan masyarakat
Arab dan dunia Islam secara keseluruhan. Juga terhadap pemikiran-pemikiran yang
berkembang mengenai hubungan antara agama dan sains yang terkadang terlalu
simplistik, baik model ijmâlî Sardar, model i’jâz an-Najjar, maupun Islamisasi
pengetahuan model al-Faruqi. Menurut Nidhal solusi hubungan antara sains dengan
agama menggunakan metode kuantum yaitu: Pertama, prinsip tidak ada pertentangan
antara agama dan sains. Keduanya hanya mengungkapkan kebenaran yang sama
dengan cara yang berbeda.

67Nidhal Guessoum, 72.

Rekonsiliasi Islam dan Sains dalam Perspektif Nidhal Guessoum

Khazanah, Vol. 19 (1), 2021 81

Kedua, penafsiran berlapis terhadap al-Qur’an, misalnya ketika membahas
teori evolusi, bukan dengan membuktikan bahwa teori tersebut dapat atau tidak
dapat ditemukan dalam al-Qur’an, melainkan dengan melakukan pembacaan dan
penafsiran yang cerdas pada beberapa bagian al-Qur’an yang benar-benar konsisten
dengan teori mereka.
Ketiga, falsifikatif teistik. Nidhal berusaha untuk mengembangkan paradigma
yang teistik dalam sains, sehingga bisa dikembangkan oleh nonmuslim sekalipun
selama ia meyakini adanya satu bentuk kreator atau pencipta yang selalu aktif dalam
relasi dengan semesta, sehingga dualisme antara pencipta dan semesta selalu dalam
relasi dinamis dalam cara kerja saintifik.



Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin, Metode Studi Agama &
Studi Islam Di Era Kontemporer. Yogyakarta: IB Pustaka, 2020.
Abidin, M. Zainal. “Islam Dan Ilmu Pengetahuan: Diskursus Pemikiran Muslim
Kontemporer.” ULUMUNA 10, no. 2 (2006): 391–410.
Abidin, Muhammad Zainal. “Dinamika Perkembangan Ilmu Dalam Islam Serta
Statusnya Dalam Perkembangan Peradaban Modern.” Jurnal Ilmu Ushuluddin
11, no. 1 (2012): 21–42.
Ben-Zaken, Avner. “The Heavens of the Sky and the Heavens of the Heart: The
Ottoman Cultural Context for the Introduction of Post-Copernican
Astronomy.” British Journal for the History of Science; Norwich 37, no. 132 (March
2004): 1 –28.
https://search.proquest.com/docview/215730323/abstract/6831679491C24
83EPQ/17.
Departemen Agama RI. Alquran Dan Terjemahnya. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2011.
Groot, Kees de. “The Church in Liquid Modernity: A Sociological and Theological
Exploration of a Liquid Church.” International Journal for the Study of the
Christian Church 6, no. 1 (March 1, 2006): 91–103.
https://doi.org/10.1080/14742250500484469.
Hall, Edith. “‘Master of Those Who Know’: Aristotle as Role Model for the Twenty-
First Century Academician.” European Review; Cambridge 25, no. 1 (February
2017): 3–19. http://dx.doi.org/10.1017/S1062798716000429.
Hashim, Rosnani, and Imron Rossidy. “Islamization of Knowledge: A Comparative
Analysis of the Conceptions of AI-Attas and AI-Fārūqī.” Intellectual Discourse
8, no. 1 (2013).
http://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/view/479
.

Zulpa Makiah

82 Khazanah, Vol. 19 (1), 2021

Ian G. Barbour. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Pathners? New York:
HarperCollins, 2000.
Ibnu Rusyd. Fashl Al-Maqāl Fī Mā Baina al-Syarī’ah Wa al-Hikmah Min al-Ittisāl. Beirut:
Dar al-Afaq, 1978.
Ilyas Daud. “Islam Dan Sains Modern (Telaah Pemikiran Nidhal Guessoum Dalam
Karyanya Islam’s Quantum Question Reconciling Muslim Tradition and
Modern Science.” Jurnal Al-Mutaaliyah, 2019.
Khodari Soleh. “Pendekatan Kuantum Dalam Integrasi Agama Dan Sains.” Jurnal
Ulul Albab Volume.19, no. No.1 (2018).
Kluge, Arnold G. “Explanation and Falsification in Phylogenetic Inference:
Exercises in Popperian Philosophy.” Acta Biotheoretica; Leiden 57, no. 1–2
(June 2009): 171–86. http://dx.doi.org/10.1007/s10441-009-9070-4.
M. Amin Abdullah. Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin, Metode Studi Agama &
Studi Islam Di Era Kontemporer. Yogyakarta: IB Pustaka, 2020.
Maimun Syamsuddin. Integrasi Multidimensi Agama Dan Sains: Analisis Sains Islam
Naquib al-Attas Dan Mehdi Golshani. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
Masimo Campanini. “Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach.” Journal of
Qur’anic Studies 7, no. 1 (2005).
Nidhal Guessoum. Islam Quantum Question, Reconciling Muslim Tradition and Modern
Science. London-New York: I.B. Tauris, 2011.
Wray, K. Brad. “Assessing the Influence of Kuhn’s Structure of Scientific
Revolutions.” Metascience; Dordrecht 21, no. 1 (March 2012): 1–10.
http://dx.doi.org/10.1007/s11016-011-9603-8.
Zainal Abidin Bagir (ed). Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi. Bandung:
Mizan Media Utama, 2005.
Ziauddin Sardar. Explorations in Islamic Science. London-New York: Mansel, 1989.
———. Islamic Science The Way Ahead (Makalah Konferensi Tahun 1995), Dalam Ehsan
Masood (Ed), How Do You Know? London-New York: Pluto Press, 2006.