Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
1
Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017.
Edisi Khusus Persembahan Untuk Edward L Poelinggomang
ISSN: 0126 - 351X

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
MASA KEMERDEKAAN
(SUATU KAJIAN HISTORIS)


Abd. Rasyid Rahman
Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin

Abstract

The process of Islamization in Indonesia was peaceful, conducted by Islamic preachers who
happened to be traders. Those trading activities were supporting elements in the Islamization
process. The development of Islam in Indonesia in the independence era especially in the Old
Order era (under the Constitution of 1945, of Republic of the United States of Indonesia, and of the
Provisional Constitution of 1950) was in the stage of actualization of religious teachings as the
foundation in state-building. In the New Order era the development of Islam was marked by the
renewal of the teaching of Islam. In the Reformasi period, teh development of Islam was marked
by the growing calls for the implementation of Islamic law.


Keywords: Indonesia, history, Islam, Independence era
Author correspondence
Email: [email protected]
Available online at http://journal.unhas.ac.id/index.php/jlb
117 - 125
Abstrak

Proses masuknya Islam di Indonesia berjalan damai tanpa paksaan, dibawa oleh mubalig yang
kebetulan berprofesi pedagang. Kegiatan berdagang tersebut merupakan penopang dalam proses
islamisasi. Perkembangan Islam di Indonesia di masa kemerdekaan terlihat pada masa Orde Lama
(dalam masa berlakunya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) berada pada tingkat
pengaktualisasian ajaran agama untuk dijadikan sebuah dasar dalam bernegara. Sedangkan pada
masa Orde Baru, perkembangan Islam salah satunya dilakukan dengan pembaruan pemikiran
ajaran Islam. Pada masa Reformasi, perkembangan Islam diwarnai dengan semakin maraknya isu
penerapan syariat Islam.


Kata kunci : Indonesia, sejarah, Islam, Masa Kemerdekaan

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
2
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara religius, sikap
religius tersebut telah dimiliki oleh bangsa
ini sejak dahulu. Sebagaimana adanya
kepercayaan animisme, kemudian ma-
suknya ajaran Hindu dan Budha yang dis-
usul dengan datangnya ajaran Islam.
Proses datangnya Islam di Indonesia men-
jadi bagian dalam babak sejarah dunia
Islam. Islamisasi tersebut melalui priode-
sasi yang disertai dengan pembagian
waktu dan mengikuti pembagian tempat
(Sewang, 2005: 5.). Agama tersebut ma-
suk di perairan Nusantara secara damai
tanpa paksaan dan tidak melalui peperan-
gan.
Pergerakan Islam dan nasionalis
senantiasa jalan beriringan dalam perta-
rungan ideologi mengawal terwujudnya
kemerdekaan dari tangan para kolonial.
Sehubungan dengan pembentukan negara
baru, kalangan muslim menuntut pemben-
tukan sebuah negara Islam sedangkan
pada lain pihak kalangan nasionalis den-
gan tegas melarang setiap penglebihan
terhadap simbol-simbol muslim yang
dilekatkan pada pembentukan negara baru
tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945 ditetapkanlah
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila
pertama Pancasila. Meskipun kalangan
muslim menawarkan konsep berbeda yang
disisipkan dalam Piagam Jakarta. Sub-
stansi kehadiran sila pertama ini di antara
lima sila pada dasar negara merupakan
pernyataan aktif. Dalam artian negara dan
masyarakat Indonesia mesti proaktif un-
tuk mewujudkan makna pernyataan terse-
but.
Umat Islam memperjuangkan ke-
merdekaan dari agresi Belanda yang
datang dengan bantuan tentara sekutu un-
tuk kembali menjajah Indonesia. Beberapa
tokoh Islam menempati posisi penting
dalam ranah politik, baik dalam kabinet
maupun memimpin perjuangan fisik dan
diplomatik (Yatim, 2008: 267.). Aspirasi
perjuangan mereka juga tertuang pada
pembentukan beberapa organisasi dan
partai Islam, komunitas tersebut mewar-
nai perkembangan Islam di Indonesia
pasca kemerdekaan.
Keragaman kegiatan Islam semakin
mengalami perkembangan sejak dekade
1970-an yang ditandai dengan munculnya
bangunan-bangunan baru Islam; mesjid-
mesjid yang dibangun dengan rancangan
yang lebih megah, madrasah yang lebih
layak, dan pesantren modem yang men-
gintegrasikan pengetahuan agama dan
umum. Pengajian-pengajian agama yang
semakin marak, jamaah mesjid semakin
ramai. Selain itu, intelektual muda Mus-
lim muncul bersama dengan ide-ide aspi-
ratif untuk masa depan umat (Yatim,
2008: 272-274).
Perkembangan Islam di Indonesia
tidak hanya mengalami grafik menukik ke
atas namun terkadang mengalami perge-
seran ke bawah. Hal ini terjadi karena
adanya gesekan kepentingan pemerintah
yang kebijakannya terkadang memberikan
tekanan pada ruang gerak muslim,
khususnya dalam hal yang terkait dengan
politik. Hal lain yang mewarnai perkem-
bangan Islam di Indonesia adalah terben-
tuknya beberapa partai Islam yang ke-
mudian mencoba memasuki dunia politik
dengan memperkuat benteng kekuatan
masing-masing untuk ikut serta dalam per-
tarungan perebutan kekuasaan di Indone-
sia.

METODE
Artikel ini disajikan secara deskriptif
analitis dengan menggunakan kajian
pustaka. Seperti layaknya tulisan sejarah
pada umumnya, tulisan ini menggunakan
empat tahap penelitian. Empat tahap
penelitian ini merupakan suatu bagian
yang saling berurutan dan saling berkai-
tan. Tahapan penelitian tersebut adalah
pengumpulan sumber (heuristic), kritik
sumber, interprestasi dan histografi. Un-
tuk tahap pengumpulan sumber, peneli-
tian mengumpulkan tulisan-tulisan berupa
118

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
3
buku, artikel yang berkaitan dengan judul
tulisan ini. Untuk itu, peneliti telah meny-
isir ke beberapa perpustakaan baik itu per-
pustakaan yang ada di Makassar maupun
perpustakaan di Jakarta. Untuk menguat-
kan informasi yang peneliti peropleh dari
sumber tulisan, peneliti juga melakukan
wawancara dengan beberapa sejarawan
dan pemerhati sejarah. Hal ini dilakukan
untuk menguatkan sumber tertulis yang
peneliti peroleh.

PEMBAHASAN
Bentuk negara Indonesia berbentuk ne-
gara kesatuan dengan bentuk pemerin-
tahan berbentuk Republik yang sistem pe-
merintahannya bersifat presidential.
Kepala negara dan pemerintahannya dise-
but Presiden. Luas wilayah Negara Re-
publik Indonesia 1. 904.570 km
2
, ibu
kotanya terletak di Jakarta. Kemajemukan
masyarakat Indonesia melahirkan be-
berapa etnis; Jawa 45%, Sunda 14%,
Madura 8%, Melayu 7%, dan lainnya
26%. Beberapa bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Indonesia, Inggris,
Belanda, Sunda, Arab, Cina, dan dialek
lokal. Mata uang yang digunakan adalah
Rupiah, pendapatan per capitanya sebesar
1, 635. 50 U. S. $. Indonesia merupakan
negara yang kaya akan rempah-rempah,
hasil buminya pun sangat beragam; min-
yak tanah, emas, intan permata, gas bumi,
batubara, nikel, dan Iain-lain. Sektor pere-
konomiannya berupa hasil pertanian dan
perkebunan, sumber daya laut dan sumber
daya hutan. Menghasilkan bahan baku
berupa padi, kopi, cengkeh, coklat, teh,
kelapa, kelapa sawit, kacang, ikan, rum-
put laut, karet, kayu jati dan Iain-lain
(lihat David Joel Steinberg, “Republic of
Indonesia”, Microsoft Encarta 2009 [DVD],
Redmond, WA: Microsoft Corporation,
2008).
Berdasarkan data statistik 2008
jumlah penduduk Indonesia mencapai
237. 512. 360 jiwa, jumlah penduduk
Muslim 87%, penduduk beragama Protes-
tan 6%, Katolik 3%, penduduk beragama
Hindu 2%, penduduk beragama Budha
1% (lihat David Joel Steinberg, “Republic
of Indonesia”, Microsoft Encarta 2009
[DVD], Redmond, WA: Microsoft Corpo-
ration, 2008) dan penduduk yang men-
ganut agama lain sebanyak 1%.

Realitas
keragaman agama di Nusantara (Indonesia
red) terlihat sangat jelas, berdasarkan sen-
sus yang dilakukan oleh BPS 2003, sekitar
177 juta penduduk Indonesia beragama
Islam, dan sekitar 23 juta penganut 4
agama resmi lain, sedangkan selebihnya
sekitar setengah juta orang adalah pen-
ganut agama lokal yang tidak diakui keab-
sahannya oleh Negara (lihat http://
wwiv.depag.go.id).

Proses Masuknya Islam di Indonesia
Pembahasan mengenai proses masuknya
Islam di Indonesia akan memberikan
informasi tentang tiga hal yang
saling terkait. Pertama, informasi ten-
tang pembawa Islam masuk ke Indonesia.
Literatur atau sumber-sumber sejarah ten-
tang Islamisasi di Nusantara menginfor-
masikan bahwa Islam datang dibawa oleh
orang-orang Arab mubalig yang kebetulan
berprofesi pedagang. Pembawa Islam
tersebut dapat disebut sebagai mubalig
pedagang. Mereka membawa barang -
barang dagangan yang mendukung proses
penyebaran Islam. Dikatakan mubalig
karena mereka menguasai pengetahuan
agama secara komprehensif.
Kedua, informasi tentang waktu ma-
suknya Islam di Indonesia. Informasi ten-
tang hal ini sangat beragam berdasarkan
daerah di mana Islam berkembang. Seba-
gaimana hasil seminar yang di adakan di
Medan pada tahun 1963 dan di Aceh pada
tahun 1980 menyimpulkan bahwa Islam
masuk di Indonesia pada abad 1 H dan
dibawa dari Arab. Munculnya tesis baru
ini, yakni Islam masuk di Indonesia pada
abad pertama hijriyah sekitar abad ke-7
dan ke-8 Masehi merupakan pembetulan
dari pendapat yang berkembang sebelum-
119

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
4
nya. Suatu hal yang dapat dikemukakan
bahwa masuknya Islam di Indonesia tidak
bersamaan, ada daerah yang sejak dini
telah dimasuki oleh Islam, ada pula yang
terbelakang dimasuki oleh Islam (Daulay,
2007: 12-13).
Ketiga, informasi tentang tempat
Islam pertama kali masuk. Informasi ten-
tang hal ini diwarnai dengan beragam
pendapat. Asumsi-asumsi tersebut disim-
pulkan juga dengan beragam pendekatan.
Salah satunya adalah asumsi bahwa Islam
masuk ke Nusantara melalui pesisir Suma-
tra Utara. Realitas bahwa pesisir Sumatra
Utara sebagai persinggahan pelayaran
memperkuat interpretasi bahwa Islam ma-
suk ke Nusantara melalui pesisir Sumatra
Utara. Para saudagar yang berlayar ke
Asia Timur melalui Selat Malaka singgah
di Pantai Sumatra Utara untuk mem-
peroleh tambahan bekal yang mulai
berkurang, seperti makanan, minuman
dan kebutuhan lainnya (Daulay, 2007: 12-
13).
Pendapat senada dikemukakan oleh
Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa
salah satu teori tentang masuknya Islam
ke Indonesia menyatakan, Islam masuk
pertama kali di pesisir Aceh pada abad ke-
1 H/7 M. Pendukung teori ini, menurut
Azyumardi Azra, di antaranya Syed Mu-
hammad Naquib al-Attas dan beberapa
sejarawan Nusantara seperti Hamka, A.
Hasjmi, dan M.Yunus Jamil. Selain
mereka, teori ini juga didukung oleh penu-
lis-penulis asing seperti Niemann, De
Holander, Keyzer Craw-furd, dan Veth
(Azra, 1994: 31).
Terbentuknya komunitas muslim
pada tempat tertentu melalui proses yang
panjang yang dimulai dengan pembentu-
kan pribadi muslim sebagi output dari
usaha para pembawa Islam. Komunitas
muslim tersebut selanjutnya menum-
buhkan kerajaan Islam. Tercatatlah ber-
dasarkan sejarah sejumlah kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara, seperti kera-
jaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam, dan
Demak (Hasjmy, 1989: 143). Kekuasaan
yang ada pada kerajaan-kerajaan tersebut
membantu proses Islamisasi di beberapa
wilayah kekuasaannya.
Senada dengan hal tersebut Uka
Tcandrasasmita sebagaimana dikutip oleh
Badri Yatim mengemukakan bahwa salu-
ran-saluran islamisasi yang berkembang
ada enam, yaitu; saluran perdagangan,
perkawinan, tasawuf, politik, pendidikan
dan kesenian. Islamisasi melalui saluran
pendidikan, baik pada pesantren maupun
pondok yang diselenggarakan oleh guru-
guru agama, kyai dan ulama-ulama.
Mereka dibekali pengetahuan agama dan
kemudian kembali ke kampung halaman
dan menyampaikan ajaran agama kepada
masyarakat di daerahnya tersebut (Yatim,
2008: 201-203). penyebaran Islam di Indo-
nesia tidak dapat dipahami hanya ber-
pegang pada suatu teori tertentu. Peng-
gunaan beberapa teori yang ada dapat
memberikan gambaran yang lebih me-
muaskan. Oleh karena itu, dapat dipa-
hami bahwa Islam pada mulanya diperke-
nalkan oleh para muballig pedagang yang
melakukan kontak dagang dengan pen-
duduk pribumi Nusantara.
Dalam sejarah Nusantara masalah
perdagangan, pembentukan kerajaan, dan
islamisasi adalah proses yang saling berir-
ingan dan membentuk sifat utama
perkembangan sejarah Islam. Para peda-
gang muslim intemasional kerap kali
didampingi oleh para guru pengembara.
Dengan dukungan para penguasa, peda-
gang dan guru-guru pengembara muslim
tersebut berperan sebagai pelaku ekonomi
dan juru dakwah yang memperkenalkan
Islam kepada masyarakat local (Yatim,
2008: 201-203).
Dengan demikian hubungan antara
muballig pedagang dengan penduduk
setempat menjadi semakin erat. Pada
masa awal saudagar-saudagar muslim
yang dikenal cukup mendominasi mem-
berikan pengaruh terhadap proses perke-
nalan nilai-nilai Islam terutama ketentuan-
120

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
5
ketentuan hukum Islam mengenai perda-
gangan yang memberikan keuntungan
ekonomi secara maksimal.
Kehadiran muslim saudagar men-
jadikan kota-kota perdagangan sebagai
pusat ekonomi, yang pada akhirnya men-
dukung kegiatan pengembangan Islam.
Kegiatan perdagangan yang maju me-
mungkinkan terselenggaranya pengajaran
Islam dan pembangunan lembaga -
lembaga pendidikan Islam sehingga men-
ciptakan kehidupan beragama yang dina-
mis. Dinamika ummat Islam di perkotaan
akhirnya mampu memperkuat penetrasi
Islam sampai ke pelosok Nusantara (Azra,
1991: xiv).
Cara penyebaran Islam lainnya
adalah dengan cara kekuasaan. Cara ini
sangat penting bagi perluasan Islam di
Nusantara. Agama yang dianut oleh pen-
guasa akan mudah diikuti rakyat dan pen-
dukungnya secara tepat. Keputusan pen-
guasa dapat mempengaruhi penguasa-
penguasa lainnya untuk memeluk agama
Islam sehingga Islam berkembang dengan
cepat. Setelah berdirinya kerajaan Islam,
penguasa mempelopori berbagai kegiatan-
kegiatan keagamaan, mulai dari dakwah
Islam, pembangunan mesjid-mesjid, sam-
pai penyelenggaraan pendidikan Islam.
Pengembangan beberapa hal inilah yang
mewarnai perkembangan Islam di Indone-
sia selanjutnya.

Perkembangan Islam di Indonesia Pasca
Kemerdekaan

Masa Orde Lama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) merupakan perwakilan daerah se-
luruh kepulauan Indonesia. Dalam sidang
PPKI, M. Hatta berhasil meyakinkan
bahwa tujuh kata dalam anak kalimat
yang tercantum dalam sila pertama Pan-
casila “Ketuhanan yang maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dengan segala kon-
sekuensinya dihapuskan dari konstitusi.
Namun hal yang sedikit melegahkan hati
para nasionalis Islam adalah keputusan
tentang diadakannya Kementerian Agama
yang akan menangani masalah keaga-
maan (lihat B.J. Boland, Pergumulan Is-
lam di Indonesia (Jakarta : Grafiti Preaa,
1985), h. 110; bandingkan dengan Badri
Yatim, op tit, h. 266).
Meskipun Departemen Agama
dibentuk, namun hal tersebut tidak mere-
dakan konflik ideologi pada masa setelah-
nya. Setelah dikeluarkannya maklumat
tentang diperkenankannya mendirikan
partai partai politik, tiga kekuatan yang
sebelumnya bertikai muncul kembali,
yaitu; Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) 7 November 1945 lahir sebagai
wadah aspirasi umat Islam, Partai Sosialis
yang mengkristalkan falsafah hidup
Marxis berdiri 17 Desember 1945, dan
Partai Nasional Indonesia yang mewadahi
cara hidup nasionalis “sekuler” muncul
pada 29 Januari 1946. Partai-partai yang
berdiri pada saat itu dapat dikategorikan
dalam tiga aliran utama ideologi yang ada
tersebut.
Sejak tahun 1950 sampai 1955 PNI
dan Masyumi terlibat perselisihan men-
genai peran Islam dan peran komunis.
Tetapi kalangan muslim sendiri saling
berseberangan. Misalnya pada tahun 1952
Nahdatul Ulama (NXJ) menarik diri dari
Masyumi dan menjadi partai politik yang
mandiri. Terjadi pula perselisihan antara
kaum tua dan kaum muda dan antara Mu-
hammadiyah dan NU mengenai. orientasi
keagamaan. Pergolakan yang tidak tersele-
saikan antara beberapa partai politik yang
mengantarkan sebuah pemilihan nasional
(pemilu) tahun 1955 yang terbukti sebagai
sebuah peristiwa yang menentukan dalam
sejarah Indonesia. Pemilihan umum tahun
1955 tersebut mengkonsolidasikan bentuk
baru ideologi Indonesia dan organisasi
sosial, bahkan mengembangkan sebuah
kelanjutan dari masa lalu yang nyata In-
donesia. Sejak masa itu sampai sekarang,
beberapa partai muslim telah berjuang
121

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
6
untuk menyadari bahwa meskipun Indo-
nesia secara mayoritas dalam adalah se-
buah masyarakat muslim, namun partai
muslim merupakan sebuah mirioritas
politik.
Perdebatan mengenai hasil perun-
dangan terakhir Piagam Jakarta terus ber-
lanjut hingga periode pasca kemerdekaan
dan menjadi argumen bagi gerakan-
gerakan separatis, sepetti Darul Islam
(Ainal dan Samsu Rizal Pangabean, 2004:
65) di Jawa Barat dari 1948 hingga 1962
dan juga di Sulawesi Selatan dan Aceh.
Dalam Majelis Konstituante, sejak bera-
khirnya pemilu 1955 yang dilaksanakan
berdasarkan UUDS 1950, kalangan
islamis melahirkan tantangan lain bagi
negara model Pancasila ini. Karena tidak
ada satu pihak pun yang memenuhi 2/3
suara yang dibutuhkan untuk pengesahan,
Soekarno akhirnya membubarkan Majelis
Konstituante dengan mengeluarkan Dek-
rit Presiden pada 5 Mi 1959 (lihat
Mohammad Atho Mudzar, Islam and Is-
lamic Law in Indonesia: A Socio-Historical
Approach).
Perkembangan Islam pada masa orde
lama, (masa berlakunya UUD 1945, Kon-
stitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) berada
pada tingkat pengaktualisasian ajaran
agama untuk dijadikan sebuah dasar
dalam bernegara. Sehingga pergolakan
ideologi antara golongan muslim dan
golongan nasionalis saling tarik ulur untuk
memperjuangkan berlakunya rumusan
ideologi masing-masing. Sedangkan pada
masa demokrasi terpimpin (1959 - 1966)
golongan Islam mendapat tekanan melalui
dominasi peranan golongan komunis yang
membonceng kepada pemerintah.

Masa Orde Baru
Munculnya orde baru dianggap sebagai
kemenangan bagi umat Islam karena ada
andil dalam pembentukannya. Sehingga
umat Islam menarah banyak harapan
pada pemerintah, khususnya kesempatan
untuk berkiprah di bidang poiitik. Namun
realitasnya hal tersebut tidak mendapat
perhatian dari pemerintah rezim baru orde
baru karena pemerintah orde bara lebih
berorientasi pada pembangunan ekonomi.
Hal ini semakin menguat lagi dengan
adanya campur tangan pemerintah terha-
dap partai politik, pemerintah menghen-
daki partai politik diciutkan menjadi dua
ditambah partai golkar. Partai Islam di-
satukan ke dalam Partai Persatuan Pem-
bangunan (PPP: 5 Januari 1973) dan par-
tai-partai nasional serta partai Kristen dan
Katolik digabungkan dalam Partai De-
mokrasi Indonesia (PDI: 10 Januari 1973)
(lihat Jamhari “Islam di Indonesia” dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dimamika
Masa KM Jilid 6 (Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005), h. 345.)
Awal 1970-an merupakan periode
penting bagi perkembangan Islam di Indo-
nesia. Menjelang diadakannya pemilihan
umum pertama pada masa orde bara,
Nurcholis Madjid sebagai intelektual
menggagas perlunya pembaraan
pemikiran dalam Islam. Gagasan Cak Nur
tersebut rrtenunjukkan secara jelas pe-
nolakan terhadap pandangan yang men-
jadikan Islam sebagai landasan ideologi
poiitik dengan jargon “Islam yes, partai
Islam no”. Selain beliau, masih ada be-
berapa pembaharu seperti Harun
Nasution dan Abd Rahman Wahid juga
berperan dalam gagasan tersebut.

Di
samping perkembangan pemikiran keisla-
man oleh cendikiawan Muslim di Ling-
kungan Islam seperti di IAIN, pesantren,
organisasi Islam, corak pemikiran di IAIN
mulai pertengahan 1980-an sampai den-
gan pertengahan 1990-an, menjadi salah
satu kiblat perkembangan pemikiran Islam
di Indonesia. Perkembangan pemikiran
keagamaan di IAIN ditandai dengan
maraknya kajian keagamaan yang meng-
gunakan pendekatan ilmu sosial (lihat
Jamhari “Islam di Indonesia” dalam En-
siklopedi Tematis Dunia Islam: Dimamika
Masa KM Jilid 6 (Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005), h. 345.
122

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
7
Pada bidang pendidikan Islam,
pesantren merupakan institusi pendidikan
keagamaan yang pertama di Indonesia.
Pada awalnya pesantren lebih merupakan
lembaga keagamaan daripada lembaga
pendidikan agama. Seiring dengan
perkembangan zaman pesantren berkem-
bang menjadi lembaga pendidikan agama
yang mengajarkan materi keagamaan, na-
mun pada perkembangan selanjutnya
pesantren mengadopsi sistem modern se-
hingga pesantren tidak hanya mengajar-
kan ilmu keagamaan, tetapi juga pelajaran
umum dengan menggunakan teknologi
maju.
Pada masa ini pula, perkembangan
yang perlu dicatat adalah munculnya ide
reformasi fiqh yang diusulkan oleh ulama
Indonesia, misalnya Hasbi al-Shiddieqy
dan Hazairin, yang keduanya meninggal
dunia pada 1975. Hasbi al-Shiddieqy men-
gajukan konsep “Fiqh Indonesia” dan
berusaha menekankan pentingnya mere-
visi fiqh tradisional yang tidak memper-
timbangkan karakteristik komunitas Islam
di Indonesia. Sedangkan Hazairin menga-
jukan konsep “Fiqh Mazhab Nasional”
dengan rujuan agar lebih relevan dengan
adat dan budaya di Indonesia (lihat Nour-
ouzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia: Peng-
gagas dan Gagasannya (Jakarta: PustakaPe-
lajar, 1997), h. 215). Selain itu konsep
“Reaktualisasi Ajaran Islam” juga disam-
paikan oleh Munawir Sjadzali sebagai
upaya reinterpretasi terhadap doktrin Is-
lam. Menyusul konsep “ Fiqh Sosial”
yang diajukan oleh Ali Yafie.

Masa Reformasi
Runtuhnya Orde baru pada 21 Mei 1998,
bersamaan dengan munculnya berbagai
gerakan sosial. Isu Piagam Jakarta dan
tuntutan untuk memperbesar peran
syariah dalam negara kembali muncul ke
permukaan. Khusus untuk isu penerapan
syariah, secara umum ada dua tipe gera-
kan Islam yang berargumen tentang hal
tersebut (An-Na'im, 2007: 399). Namun,
perubahan struktural yang dibawa oleh
pengesahan otonomi daerah 1999 menam-
bah kerumitan siruasi ini karena kebijakan
tersebut memberikan ruang bagi komuni-
tas lokal untuk menerapkan syariah di
tingkat kabupaten dan provinsi, tanpa
memperhatikan sikap dan posisi pemerin-
tahan pusat.
Menyusul lengsernya rezim Soe-
harto, muncul kembali seputar hubungan
Islam, negara, masyarakat serta peran Is-
lam dalam Indonesia Baru. Banyak partai
Islam seperti PPP dan Partai Bulan Bin-
tang (PBB) yang beipartisipasi dalam
Pemilu 1999, kembali mengusung isu
Piagam Jakarta dalam sidang Tahunan
MPR. Namun usaha untuk mengamande-
men UUD 1945 dengan memasukkan
kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta
gagal diwujudkan karena seimia fraksi
lain di MPR menolaknya (An-Na'im,
2007: 431).
Selama periode ini pula sejumlah
daerah di Indonesia menuntut penerapan
syaiiat Islam secara formal. Selain Aceh
yang sudah diberikali hak otonomi untuk
menerapkan syariat Islam, provinsi-
provinsi lain (misalnya provinsi Sulawesi
Selatan, Riau, Banten dan beberapa kabu-
paten lain) juga menyampaikan tuntutan
untuk menerapkan syariat Islam. Seka-
lipun tuntutan tersebut disuarakan dari
waktu ke waktu, tidak terdapat konsep
yang jelas tentang syariat yang akan diber-
lakukan. Oleh karena itu, penerapan
syariat Islam pada faktanya bukanlah ma-
salah yang sederhana. Di antara kerami-
tan yang muncul di dalamnya adalah
kalangan umat Islam sendiri masih terjadi
perdebatan sengit mengenai apa yang di-
maksud dengan syariat dan bagaimana
bentuk konkrit rumusan syariat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
persoalan hubungan Islam, negara, dan
masyarakat yang mewarnai perkemban-
gan Islam di Indonesia masih sangat kon-
troversial, seringkali bersifat simbolik
yang menyelubungi persoalan politik dan
123

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
8
sosial lainnya, tanpa adanya kejelasan si-
kap dan pandangan para tokohnya, yang
mendasari penolakah terhadap klaim dan
penegasan pihak lain yang ditentangnya.
Selain itu, meskipun Islam tidak pemah
menjadi agama resmi negara, diskursus
keislaman mempengarulii dan dipenga-
ruhi oleh kebijakan negara, kendati masih
adanya ambivalensi di kalangan kelompok
Islam sendiri.

PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
Proses masuknya Islam di Indone-
sia berjalan damai tanpa paksaan, dibawa
oleh muballig yang kebetulan berprofesi
pedagang. Kegiatan berdagang tersebut
merupakan penopang dalam proses
islamisasi. Secara umum Islam masuk di
Indonesia pada tahun pertama hijriyah
bertepatan dengan tahun ke-7 dan ke-8
Masehi. Daerah yang pertama tempat
tersebarnya agama Islam adalah Pesisir
Sumatera Utara.
Perkembangan Islam di Indonesia
pasca kemerdekaan terlihat pada masa
orde lama dalam (masa berlakunya UUD
1945, Konstitusi RTS 1949 dan UUDS
1950) berada pada tingkat pengaktu-
alisasian ajaran agama untuk dijadikan
sebuah dasar dalam bernegara. Sedangkan
pada masa Orde Baru, Perkembangan Is-
lam salah satunya dilakukan dengan pem-
baruan pemikiran ajaran Islam. Pada
masa Reformasi Reformasi, perkemban-
gan Islam diwarnai dengan semakin
maraknya isu penerapan syariat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik et al. 2005. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara
Jilid 5. Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve.
Ali, Mukti. 1974. Alam Pikiran Islam Mod-
ern di Indonesia. Jakarta: Tinta Mas.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal
Pangabean. 2004. Politik Syariat Is-
lam: Dari Indonesia hingga Nigeria.
Cet. I; Jakarta: Pustaka Alvabet.
An-Na'im, Abdullah Ahmed. 2007. Islam
dan Negara Sekalar: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah. Cet. I; Band-
ung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 1991. Persfektif Islam di
Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1991.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Utama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusan-
tara Abad XVIIdan XVIII. Bandung:
Mizan.
Boland, B.J. 1985. Pergumulan Islam di In-
donesia. Jakarta : Grafiti Preaa.
Daulay, Haidar Putra. 2007. Sejarah Per-
tumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta:
Kencana.
Hasjmy, A. 1989. Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia.
Bandung: Al-Ma'arif.
Jamhari. 2005. “Islam di Indonesia”
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam: Dimamika. Masa Kini Jilid 6.
Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve.
M Lipidus, Ira. 2000. A Hisory of Islamic
Societies diterjemahkan oleh Ghu-
fron A. Mas'ad dengan judul ' Se-
jarah Sosial Umat Islam”, bagian
ketiga. Cet. II; Jakarta : PT.Raja
Grafmdo Persada.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999 Modernisme
dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam; Perbandingan Partai Masyumi
(Indonesia) dan Partai Jama'at al-
Islami (Pakistan). Cet. I; Jakarta: Pa-
ramadina.
Mudzar, Mohammad Atho. 2003. Islam
and Islamic Law in Indonesia: A Socio-
Historical Approach. Jakarta: Lem-
baga Penelitian dan Pengembangan
124

Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12(2), Okt 2017
9
Departemen Agama RI.
Nourouzzaman Shiddieqy. 1997. Fiqh In-
donesia: Penggagas dan Gagasannya.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Pasha, Mustafa Kamal dan Ahmad Ad-
aby Darban. 2000. Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam dalam Perspek-
tif dan Ideologi. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sewang, Ahmad M. 2005. Islamisasi Kera-
jaan Gowa: Abad XVI sampai Abad
XVII Jakarta: Yayasan Obor Indo-
nesia.
Steinberg, David Joel. 2008. “Republic of
Indonesia”, Microsoft Encarta 2009
[DVD], Redmond, WA: Microsoft
Corporation.
www.depag.go.id
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Is-
lam. Cet. XX; Jakarta: PT. Raja
Grafmdo Persada, 2008.
125