TINJAUAN PUSTAKA 200| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018
Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia
Infection of Plasmodium knowlesi Malaria in Human
I Gede Yasa Asmara
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/Rumah Sakit Umum Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Korespondensi:
I Gede Yasa Asmara. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Email: [email protected]
ABSTRAK
Plasmodium knowlesi (P. knowlesi) telah dikenal sebagai penyebab kelima infeksi malaria pada manusia setelah P. vivax, P.
falciparum, P. malariae, dan P. ovale. Epidemiologi dan gambaran klinis penyakit ini telah banyak dibahas, namun hanya
pada beberapa studi, sejak kasusnya meningkat di Divisi Kapit, Sarawak, Malaysia pada tahun 2004. Penelitian skala besar
mengenai angka pasti kejadian penyakit ini di Asia tenggara penting untuk dilakukan. Oleh karena siklus hidupnya yang
singkat, jumlah parasit dalam darah dapat cepat meningkat, sehingga infeksi P. knowlesi berpotensi menjadi penyakit yang
berat. Aspek patofisiologi penyakit ini masih belum begitu jelas terutama terkait bagaimana sampai timbulnya malaria
berat seperti yang terjadi pada infeksi P. falciparum. Deteksi dini menggunakan pemeriksaan molekuler merupakan baku
emas diagnosis malaria knowlesi. Walaupun berbagai macam obat antimalaria masih sensitif terhadap infeksi P. knowlesi,
tatalaksana segera sangat penting mengingat penyakit dapat memburuk dengan cepat.
Kata Kunci: Infeksi, Malaria, Manusia, Plasmodium knowlesi
ABSTRACT
Plasmodium knowlesi (P. knowlesi) has been recognised as the fifth of malaria infections in human after P. vivax, P.
falciparum, P. malariae and P. ovale. Epidemiology and clinical features of the disease have much been discussed only
in several literatures since the incidence increased in Kapit Division, Sarawak, Malaysia in 2004. A large-scale research
investigating real incidence of the infection in South East Asia is important. Because of rapid life cycle, the number of
parasite in the blood can increase significantly, result in potential severe malaria. Pathophysiology aspect of the disease
has not been clear yet, particularly on how severe malaria can be occurred as similar as in P. falciparum infections. Early
detection using moleculer technique is the gold standar of the diagnosis of knowlesi malaria. Although P. knowlesi infection
is still sensitive to many anti-malaria drugs, prompt treatment is crucial since the infection might deteriorate fast.
Keywords: Human, Infection, Malaria, Plasmodium knowlesi
PENDAHULUAN
Malaria adalah infeksi protozoa yang disebabkan
oleh genus plasmodium. Saat ini terdapat lebih dari 150
spesies plasmodium yang menginfeksi mamalia, burung
dan reptil. Dari 20 jenis plasmodium yang menginfeksi
kera, terdapat 5 spesies yang bisa menginfeksi manusia
pada kondisi alamiah ataupun eksperimental yaitu
P. simium, P brazilianum, P. cynomolgi, P. inui dan P.
knowlesi.
1,2
Plasmodium knowlesi (P. knowlesi) pertama
kali diisolasi pada tahun 1931 di India pada kera ekor
panjang yang diimpor dari Singapura. Gambaran morfologi
pertama kali dipelajari oleh Sinton dan Mulligan pada
infeksi eksperimental pada kera.
3
Sekitar tahun 1920-
1950, P. knowlesi mulai menggantikan peran P. vivax
dalam pengobatan neurosifilis yang dilakukan dengan
cara menginduksi demam. Metode pengobatan ini dulu
disebut dengan Malarioterapi.
4,5
Kasus pertama infeksi malaria P. knowlesi pada
manusia terjadi tahun 1965 pada seorang warga negara
Amerika yang baru pulang bekerja di hutan semenanjung
Malaysia, awalnya penderita diduga menderita infeksi
malaria falciparum. Kasus kedua terjadi tahun 1971 pada
seorang warga negara Malaysia yang didiagnosis dengan
menggunakan metode molekuler, awalnya penderita
diduga menderita infeksi malaria malariae secara
mikroskopis. Sejak saat itu belum ada lagi kasus infeksi
alamiah P. knowlesi pada manusia sampai dengan tahun
2004. Hal ini terjadi mungkin karena diagnosis infeksi P.
knowlesi masih sulit ditegakkan dan memerlukan rhesus
monkey sebagai binatang coba sehingga jarang diteliti
lagi.
6-8
Plasmodium knowlesi adalah plasmodium yang
umum menginfeksi kera ekor panjang, Macaca fascicularis
(long tail) dan kera ekor babi, Macaca nemestrina (pig tail)
di wilayah Asia Tenggara. Plasmodium knowlesi biasanya
menyebabkan infeksi ringan pada Macaca fascicularis

201Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018 |
Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia
dan infeksi berat pada rhesus monkey (Macaca mulatta).
Sejak tahun 2004, Balbir Singh dan kawan-kawan mulai
meneliti infeksi alamiah P. knowlesi yang meningkat
kejadiannya di Divisi Kapit, Sarawak, Malaysia.
5
Sejak saat
itu banyak laporan kasus infeksi plasmodium ini di negara
lain di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia, ada beberapa
laporan kasus infeksi malaria P. knowlesi terutama di
Pulau Kalimantan. Sampai saat ini baru ada 4 kasus infeksi
malaria knowlesi berat dan fatal yang terjadi pada manusia
di dunia.
9,10
SIKLUS HIDUP DAN VEKTOR
Secara umum siklus hidup P. knowlesi tidak berbeda
dengan plasmodium lainnya, hanya saja plasmodium ini
memiliki siklus eritrosit yang paling singkat yaitu setiap
24 jam.
5
Masa inkubasi P. knowlesi pada vektor nyamuk
Anopheles sekitar 10 hari sehingga membutuhkan vektor
yang relatif berumur panjang atau sama dengan vektor
P. malariae. Begitu berada di dalam tubuh nyamuk,
pembentukan sporogoni berlangsung selama 9-10 hari
pada suhu 25° celcius. Pada saat nyamuk menggigit
manusia, kurang lebih 100 sporozoit diinjeksikan melalui
gigitannya. Siklus eksoeritosit membutuhkan waktu kurang
lebih 5 hari untuk pematangan P. knowlesi tetapi parasit ini
tidak membentuk hipnozoit di dalam sel hati.
6,9,11
Dalam
siklus hidup P. knowlesi, pembentukan gametosit terjadi
belakangan setelah beberapa kali siklus aseksual, biasanya
3-5 kali. Pembentukan gametosit P. knowlesi relatif lambat,
membutuhkan waktu sekitar 48 jam.
9
Vektor utama P. knowlesi adalah nyamuk grup
Anopheles leucosphyrus. Vektor nyamuk golongan
Leukosphyrus terdiri dari dua kelompok yaitu Dirus
(7 spesies) dan Leucosphyrus (4 spesies). Selanjutnya
kelompok Leucosphyrus dibagi lagi menjadi 3 subgrup
yaitu Leucosphyrus, Hackeri dan Riparis. Habitat nyamuk
ini umumnya di dalam hutan belantara, namun kadang
ada juga di area terbuka di pinggir hutan.
6,8,12,13
Intensitas
gigitan nyamuk grup Leucosphyrus berbeda tergantung
lokasi habitatnya yaitu tinggi di tepi hutan (6,74%), sedang
di dalam hutan (1,85%) dan rendah di dalam rumah adat
Malaysia (0,28%).
2
Contoh nyamuk grup Leucosphyrus
antara lain A. hackeri, A. balabacensis, A. latens, A. cracens
dan A. dirus. Semua jenis Anopheles tersebut tidak bisa
terinfeksi oleh empat jenis plasmodium yang umum
menginfeksi manusia, kecuali A. dirus yang habitatnya baru
ditemukan di negara Vietnam. Nyamuk ini biasa menggigit
pada malam hari sekitar pukul 19.00-22.00.
5
Untuk
menimbulkan infeksi pada kera hanya diperlukan satu
gigitan, tetapi dua gigitan nyamuk pada manusia belum
tentu menimbulkan penyakit.
14
Studi vektor menunjukkan
bahwa 94% kera yang ditangkap di Divisi Kapit, Sarawak,
Malaysia terinfeksi P. knowlesi dan sebagian besar juga
mengalami ko-infeksi dengan plasmodium jenis lainnya.
8

Studi di Vietnam juga melaporkan bahwa seekor nyamuk
Anopheles mampu membawa tiga jenis sporozoit yang
berbeda yaitu P. knowlesi, P. falciparum dan P. vivax.
14
EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar kasus infeksi P. knowlesi pada
manusia terjadi di Sabah dan Sarawak, Malaysia serta
beberapa negara di Asia Tenggara. Sejak tahun 2004,
infeksi malaria knowlesi terus dilaporkan di luar Malaysia
seperti di Thailand, Filipina, Myanmar, Singapura,
Vietnam, Indonesia, Brunei dan Kamboja. Sampai saat
ini seluruh negara Asia Tenggara pernah melaporkan
adanya kasus infeksi malaria P. knowlesi pada manusia
kecuali Laos dan Timor Leste.
5,15
Diperkirakan sekitar 500
juta penduduk berisiko untuk terinfeksi.
16,17
Suatu studi
di Sabah menunjukkan bahwa prevalensi infeksi malaria
knowlesi sekitar 6,9% dengan metode pemeriksaan
molekuler. Angka prevalensi ini tentu tidak serta merta
dapat diekstrapolasikan ke dalam populasi. Secara genetik
telah dibuktikan bahwa infeksi P. knowlesi adalah penyakit
zoonosis dan belum ada bukti kuat terjadi penularan dari
manusia ke manusia. Malaria knowlesi terutama terjadi
pada usia dewasa dan infeksi pada anak dibawah 15 tahun
dilaporkan hanya 10% (6-14%). Laki-laki (sekitar 74%) lebih
sering terinfeksi penyakit ini dibandingkan perempuan
karena aktivitasnya yang lebih sering diluar rumah, pergi
ke hutan atau kontak dengan kera. Studi menunjukkan
bahwa puncak insiden terjadinya infeksi P. knowlesi pada
pertengahan tahun yaitu bulan Juni.
14
Infeksi P. knowlesi
berbeda dengan infeksi P. malariae, dimana malaria
malariae biasanya asimptomatik, dapat menyerang semua
umur dan kadar parasitemia yang rendah.
13
Selama kurun
waktu 2005-2012 telah dilaporkan 15 kasus impor malaria
knowlesi pada wisatawan yang berkunjung di wilayah Asia
Tenggara dengan faktor risiko jenis kelamin laki-laki dan
riwayat bepergian ke hutan atau kontak dengan kera.
15,18

Peningkatan kasus malaria P. knowlesi di Asia tenggara
mungkin disebabkan karena semakin dekatnya hunian
penduduk dengan hutan dan meningkatnya eksploitasi
hutan baik untuk industri maupun pariwisata.
5,10,12,19

Saat ini diperkirakan sekitar 70% kasus malaria yang
membutuhkan rawat inap di Malaysia disebabkan oleh
infeksi P. knowlesi.
20
Prevalensi dan distribusi infeksi P. knowlesi pada
manusia di Indonesia belum dipelajari dengan baik. Satu

202| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018
I Gede Yasa Asmara
Gambar 1. Siklus hidup Plasmodium knowlesi
6
studi di Kalimantan menyebutkan ada 4 dari 22 sampel
yang terdeteksi sebagai infeksi P. knowlesi. Satu sampel
dikonfirmasi sebagai infeksi tunggal dan tiga lainnya
infeksi campuran P. falciparum, P. vivax dan P. knowlesi
dengan pemeriksaan molekuler. Sampai tahun 2014 telah
dilaporkan 7 kasus malaria knowlesi pada manusia di
Indonesia dan semua penularannya terjadi secara lokal di
sekitar hutan di Kalimantan. Kasus pertama adalah turis
asal Australia berumur 39 tahun yang berkerja di hutan
Kalimantan Selatan tahun 2010. Klinis pasien membaik
setelah diberikan terapi atovaquone 250mg/proguanil
100mg.
20
Kasus kedua tahun 2011, lalu 2 kasus tahun
2012 dan terakhir 3 kasus tahun 2015 dimana salah
satunya merupakan kasus pertama di Kalimantan Tengah.
Perkiraan prevalensi infeksi P. knowlesi di Indonesia sekitar
1% dimana angka ini jauh lebih rendah dari prevalensi di
Malaysia yaitu berkisar 27,7-58%. Baru-baru ini peneliti
dari Universitas Airlangga menemukan adanya infeksi
P. knowlesi pada pekerja perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan Tengah. Nampaknya secara epidemiologi,
malaria knowlesi di Indonesia masih terbatas di Pulau
Kalimantan.
8,9,19
PATOGENESIS TERJADINYA MALARIA BERAT
Secara patogenesis, infeksi malaria P. knowlesi
pada manusia bisa terjadi di suatu daerah bila memenuhi

203Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018 |
Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia
kondisi yaitu terdapat kera yang terinfeksi sebagai penjamu
alamiah, manusia yang berisiko untuk terpapar dan
vektor alamiah nyamuk Anopheles yang sesuai. Ketiga hal
tersebut wajib ada sehingga tidak di semua daerah yang
ada populasi kera bisa terjadi kasus malaria knowlesi pada
manusia.
8,21
Secara filogenetik, P. knowlesi sangat mirip
dengan P. vivax dan sama-sama menggunakan antigen
Duffy dari sel darah merah sebagai reseptor untuk invasi
sel.
18
Patofisiologi terjadinya malaria berat pada infeksi P.
knowlesi belum sepenuhnya diketahui. Manifestasi malaria
berat pada infeksi P. knowlesi berhubungan dengan kadar
parasitemia yang lebih tinggi. Kadar rata-rata parasitemia
pasien yang terinfeksi P. knowlesi sebenarnya cukup rendah
yaitu 1.387/µL (rentang 1-764.720/µL) dibandingkan
dengan P. vivax yang rata-ratanya mencapai 26.781/µL.
7,12

Walaupun infeksi P. knowlesi tidak bisa relaps karena
tidak ada stadium hipnozoit, infeksi rekuren dengan strain
parasit yang berbeda masih mungkin terjadi.
18
Patogenesis infeksi malaria berat P. knowlesi
diduga mirip dengan yang terjadi pada P. falciparum
yaitu sekuestrasi parasit dan perdarahan organ vital.
Kadar sitokin pro-inflamasi dan sitokin lain yang berasal
dari makrofag lebih tinggi pada pasien malaria knowlesi
berat dibandingkan dengan yang tanpa komplikasi. Gen
yang bertanggungjawab terhadap virulensi dan daya
invasi eritrosit P. knowlesi adalah Plasmodium knowlesi
normoctye binding protein xa (Pknbpxa).
12,22
Studi
molekuler menunjukkan bahwa infeksi P. knowlesi berbeda
dengan P. falciparum dimana kadar IL-6, TNF alfa dan
MIP1b lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi P. knowlesi.
Studi lain juga menunjukkan adanya peran sitoadheren
pada patogenesis P. knowlesi yang melibatkan eritrosit
yang terinfeksi dengan ICAM-1 dan VCAM tetapi tidak
dengan CD36. Terjadinya malaria serebral pada infeksi P.
falciparum diperantari oleh sekuestrasi yang dimediasi
oleh perlekatan antara protein PfEMP1 pada permukaan
eritrosit terinfeksi dengan CD36 pada permukaan endotel
pembuluh darah. Pada infeksi P. knowlesi, juga terjadi
sekuestrasi dan sitoadheren yang diperantarai oleh
perlekatan protein Schizont-Infected Cell Aglutination
variant (SICAvar) dengan ICAM-1 pada permukaan
endotel, tetapi tidak dengan CD36. Saat ini masih banyak
hal yang belum jelas tentang patogenesis malaria knowlesi
yang mungkin berbeda dengan malaria lainnya sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut.
5,12
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Masa inkubasi infeksi P. knowlesi berlangsung
sekitar 11 hari. Manifestasi klinis malaria knowlesi
sebagian besar bersifat ringan, 10% berat dan hanya 1-2%
fatal.
12
Siklus aseksual eritrosit P. knowlesi berlangsung
sangat singkat yaitu setiap 24 jam sehingga demam yang
timbul berlangsung setiap hari yang disebut dengan
quotidian fever.
7,23
Demam diawali dengan menggigil
Gambar 2. Peta epidemiologi infeksi P. knowlesi pada kera dan manusia di Asia Tenggara.
5

204| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018
I Gede Yasa Asmara
yang berlangsung 4-5 hari disertai gejala prodromal sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, lemah, penurunan nafsu
makan, gangguan saluran pernafasan dan saluran cerna.
Kadang disertai batuk (56%), nyeri perut (52%) dan diare
(29%).
4,5
Gejala lain seperti muntah dan sesak nafas sering
berkaitan dengan jumlah parasit yang tinggi dalam darah.
Trias infeksi P. knowlesi adalah riwayat berkunjung atau
melakukan aktivitas di hutan, kontak dengan kera dan
kadar parasit lebih dari 5000/µL.
3
Gejala infeksi P. knowlesi
di Indonesia sebagian besar bersifat ringan dimana 100%
mengeluh demam dan 83,2% ngilu-ngilu.
9
Tanda klinis
yang umum dijumpai adalah peningkatan suhu badan,
takikardi dan takipneu. Hepatomegali didapatkan pada 25-
40% kasus dan splenomegali hanya 15-33% kasus. Tanda
defisit neurologis fokal pada infeksi P. knowlesi lebih jarang
didapatkan dibandingkan infeksi malaria falciparum.
10
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
trombositopenia pada hampir semua kasus. Jumlah
trombosit <45.000/µL didapatkan pada 71% kasus malaria
knowlesi berat.
10
Trombositopenia merupakan salah satu
tanda yang khas pada infeksi P. knowlesi, dimana angka
kejadiannya lebih tinggi dibandingkan pada infeksi P. vivax
atau P. falciparum. Walaupun kadar trombosit bisa sangat
rendah, hal ini tidak berkaitan dengan kejadian koagulopati
seperti yang terjadi pada infeksi plasmodium lainnya.
23

Studi di Kapit, Sarawak menunjukkan bahwa 98% pasien
malaria knowlesi yang masuk rumah sakit ditandai dengan
trombositopenia, tetapi hanya sepertiga dengan jumlah
trombosit dibawah 50.000/µL. Seperti diketahui bahwa
pasien dengan demam dan trombositopenia merupakan
ciri khas pasien infeksi dengue di Asia Tenggara sehingga
dengue merupakan diagnosis banding utama. Sebagai
gambaran, data di RS Kapit menunjukkan bahwa 10%
pasien yang datang dengan trombositopenia didiagnosis
malaria knowlesi.
5
Sekitar 62-75% pasien malaria knowlesi
mengalami anemia selama perawatan sampai dengan
28 hari setelah pulang. Studi lain mendapatkan anemia
dengan gambaran normokromik normositer jarang
terjadi pada kasus malaria knowlesi dengan prevalensi
<5%. Kejadian gangguan ginjal terjadi pada 6,9-14,5%
kasus malaria knowlesi dan biasanya bersifat reversibel
setelah diberikan terapi yang adekuat. Acute Kidney Injury
merupakan salah satu gambaran malaria knowlesi berat
yang terjadi pada 24% kasus. Hiponatremia ringan sampai
sedang dilaporkan pada 29% kasus. Hepatitis terjadi pada
47% kasus disertai peningkatan bilirubin ringan akibat
hemolisis yang berkaitan dengan malaria.
5,10,11
Bentuk malaria berat pada infeksi P. knowlesi
terjadi pada 7,5-10% kasus dan ditandai dengan adanya
hiperparasitemia karena kemampuannya menginfeksi
sel darah merah muda dan tua. Suatu studi di Malaysia
menunjukkan bahwa sekitar 29% pasien yang terinfeksi
P. knowlesi berpotensi menjadi berat. Angka ini tiga kali
lipat lebih tinggi dari kemungkinan infeksi P. falciparum
menjadi berat di daerah endemis.
18
Manifestasi berat
dari malaria ini biasanya dalam bentuk sindrom distres
pernafasan akut dan sindrom hepatorenal. Pasien dapat
datang dengan keluhan takipneu, hipoksemia dan infiltrat
pada kedua lapang paru. Angka kejadian Sindrom Distres
Pernafasan Akut dilaporkan sekitar 5,6-10,7% dengan
angka kematian 37%. Komplikasi lain seperti Acute Kidney
Injury, Black Water Fever dan hipotensi refrakter pernah
dilaporkan terjadi pada malaria berat akibat P. knowlesi,
sedangkan malaria serebral yang sering terjadi pada P.
falciparum relatif jarang didapatkan.
13,23
Diagnosis malaria
berat akibat infeksi P. knowlesi sama dengan kriteria
malaria berat pada umumnya yang memenuhi kriteria
WHO kecuali untuk anemia berat, koma dan batasan
jumlah parasit yang lebih rendah dari 100.000/µL.
12,16

Petanda malaria berat pada infeksi P. knowlesi antara lain
parasitemia >35.000/µL, bilirubin >43/µL, serum kreatinin
>256µmol/l dan trombosit <45.000/µL (18). Ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan prognosis yang buruk
antara lain leukositosis >12.000/µL, kreatinin >265µmol/l,
urea >21,5mmol/l, Hb <7,1mg/dL dan glukosa darah
<2,2mmol/l. Case Fatality Rate malaria berat akibat P.
knowlesi yaitu 1,8%.
5,22
Sampai saat ini baru ada 4 kasus
malaria berat akibat infeksi P. knowlesi. Semua kasus
dengan riwayat demam dan menggigil disertai nyeri perut
yang hebat. Terdapat gambaran sindrom hepatorenal dan
hipotensi yang refrakter mirip malaria algida pada satu
kasus dan hipoglikemia berulang yang mungkin akibat
terapi kina pada kasus lainnya.
1

205Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018 |
Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia
Tabel 1. Kriteria malaria berat P. knowlesi pada manusia.
16
Kriteria Penjelasan
Koma GCS < 11 (belum pernah dilaporkan pada infeksi P. knowlesi)
Distres Pernafasan Saturasi oksigen <92% dengan laju respirasi > 30 kali/menit
Syok Tekanan darah sistolik < 80 mmHg dengan akral dingin atau gangguan pengisian kapiler
Ikterus Bilirubin > 50 µmol/L dengan parasitemia > 20.000/µL dan atau kreatinin > 132 µmol/L
Anemia berat Hb < 7 g/dL (dewasa)
Hb < 5 g/dL (anak)
Perdarahan abnormal -
Hipoglikemia Glukosa darah < 2,2 mmol/L
Asidosis metabolik Bikarbonat < 15 mmol/L atau laktat > 5 mmol/L
Acute Kidney Injury Kreatinin > 265 µmol/L
Hiperparasitemia Jumlah parasit > 100.000/µL atau >2% eritrosit terinfeksi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tepi merupakan alat diagnostik
sederhana yang wajib dikerjakan pada kasus dugaan
malaria. Sulit membedakan P. knowlesi dengan plasmodium
lainnya karena secara morfologi sangat mirip dan kadar
parasitemianya yang rendah.
10,23
Laboran yang ahli di
negara Asia Tenggara mampu dan biasa mengidentifikasi
tiga jenis plasmodium yaitu P. falciparum, P. vivax dan P.
malariae. Pada infeksi P. falciparum dan P. malariae tidak
didapatkan pembesaran eritrosit yang terinfeksi. Pada
infeksi P. falciparum dapat ditemukan bentuk cincin,
tropozoit awal dan crescent-shape gametocytes pada
hapusan darah tepi akibat adanya sekuestrasi. Semua
stadium P. malariae ditemukan di darah tepi, bahkan ada
yang bentuk band forms. Bentuk awal tropozoit P. vivax
dan P. falciparum kadang sulit dibedakan pada kadar
parasitemia yang rendah. Bentuk stadium awal tropozoit
P. knowlesi mirip dengan P. falciparum yaitu didapatkan
eritrosit tidak membesar, double chromatin dots dan
infeksi multipel per eritrosit, sedangkan bentuk akhir
tropozoit, skizon dan gametosit P. knowlesi lebih mirip
dengan P. malariae yaitu ditemukan tropozoit dengan
sitoplasma berbentuk pita selebar diameter eritrosit
yang terinfeksi. Perbedaan morfologi P. knowlesi dan P.
malariae yaitu skizon P. knowlesi maksimal mengandung
16 merozoit dan tidak memiliki rosette pattern. Oleh
sebab itu, diagnosis mikroskopis di negara Asia Tenggara
merekomendasikan untuk melaporkan infeksi P. malariae
sebagai P. malariae/P. knowlesi.
5,8-10,12,23
Tes cepat berbasis imunokromatografi untuk
mendeteksi infeksi malaria telah rutin digunakan di
dunia karena kelebihannya antara lain mudah, cepat,
cost effective dan dapat dilakukan dimana saja (point of
care testing). Pemeriksaan ini menggunakan antibodi
monoklonal terhadap pvLDH untuk P. vivax, pfLDH dan
Histidine Rich Protein-2 untuk P. falciparum atau LDH
dan Aldolase untuk semua jenis plasmodium. Diagnosis
serologi untuk infeksi P. knowlesi belum banyak diteliti.
Penggunaan tes cepat ini tidak begitu memuaskan untuk
diagnosis infeksi P. knowlesi mengingat sensitivitasnya
hanya 23% untuk Aldolase dan 25% untuk LDH.
Sensitivitasnya sedikit meningkat pada kasus dengan
hiperparasitemia.
5,23
Secara umum penggunaan Rapid
Diagnostic Test (RDT) untuk diagnosis infeksi malaria
P. knowlesi pada manusia memiliki sensitivitas yang
bervariasi antara 26-74% dan bahkan lebih rendah sekitar
0-45% bila jumlah parasit kurang dari 1000 /µL (13). Saat
ini ada dua RDT yang menunjukkan hasil positif terhadap P.
knowlesi yaitu tes OptiMal yang mendeteksi P. falciparum
dan Entebe yang mendeteksi P. vivax.
4
Gambar 3. Morfologi P. knowlesi pada berbagai stadium
eritrositer dengan pengecatan giemsa
8

206| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018
I Gede Yasa Asmara
Tabel 2. Gambaran morfologi P. knowlesi dari berbagai stadium eritrosit
23
Ciri-ciri Tropozoit awal Tropozoit lanjutTropozoit dewasa Skizon Gametosit
Kekerapan Semua pasien Semua pasien Semua pasien 80% pasien 40% pasien
Jumlah dalam
Eritosit
Biasanya 1, maksimal
3
Biasanya 1, maksimal
3
Biasanya 1, maksimal 3Biasanya 1 Satu
Ukuran 2.5-4 µm 3-5 µm 5-6 µm 5-6 µm 2.5-4 µm
Bentuk Menyerupai cincinMenyerupai cincinMenyerupai cincin Berbentuk bola Berbentuk bola
Sitoplasma Menyerupai cincin
dengan vakuola
Menyerupai cincin
dengan vakuola,
padat, amoeboid
Lebih padat, vakuola kecil
atau tidak ada
Dipenuhi merozoit dan
pigmen
Mikrogamet: Ungu
agak pink
Makrogamet:
Kebiruan
Kromatin intiPaling sering berupa
1 titik. Dua titik letak
berlawanan (38%
hapusan)
Sama seperti pada
tropozoit awal tapi
lebih besar
Lebih menyolok tapi tidak
terbagi
Terbagi; maksimal
mengandung 16
merozoit, tersebar
atau tersusun seperti
buah anggur
Mikrogamet:
Massa besar yang
gelap dan tersebar
Makrogamet: Padat
warna pink letak
dipinggir
Pigmen Tidak ada Sangat sedikit atau
tidak ada
Butiran halus warna coklat
gelap tersebar merata
atau gumpalan padat
warna coklat emas
Banyak; butiran kecil
bergerombol atau
gumpalan padat
Tersebar tidak
teratur, butiran
coklat gelap
Lainnya Kromatin tambahan
dalam vakuola,
bercorak
Bentuk seperti pita
(60%)
Titik halus tidak
teratur (Sinton-
Mulligan stippling)
Tabel 3. Perbedaan morfologi infeksi P. malariae dan P. knowlesi
3
P. malariae P. knowlesi
Eritrosit penjamu
Ukuran Tidak membesar Tidak membesar
Bentuk Bulat, tidak berubah Bulat, umumnya tidak berubah
Stippling Ziemen’s stippling dengan pengecatan tertentuTitik tidak teratur atau stippling pada beberapa eritrosit dengan
tropozoit dewasa, skizon dan gametosit
Parasit
Tropozoit awal (bentuk
cincin)
Bentuk cincin dengan sitoplasma padat dan kromatin
tunggal; kadang dengan titik tambahan
Bentuk cincin dengan sitoplasma padat; kromatin tunggal
atau ganda kadang triple; bercorak; banyak parasit dalam satu
eritrosit
Tropozoit lanjut Sitoplasma teratur dan rapat; tampak pigmenSitoplasma padat dan kental; Sitoplasma agak amoeboid dan
tidak teratur; bentuk pita; pigmen bervariasi
Tropozoit dewasa Rapat, bulat, banyak pigmen; bentuk pita; tidak
amoeboid
SItoplasma rapat dan padat, bentuk bulat dengan pigmen coklat
gelap; bentuk pita; tidak amoeboid
Skizon Memenuhi eritrosit, mengandung 6-12 merozoit,
biasanya 8; merozoit berkelompok mengelilingi
pigmen coklat gelap malaria berbentuk rosette
Memenuhi eritrosit; mengandung maksimal 16 merozoit;
merozoit tersebar tidak merata atau menyerupai anggur; pigmen
malaria tersebar atau membentuk massa tunggal
Gametosit Bulat, rapat, memenuhi eritrosit, pigmen malaria
tersebar; bentuk awal sangat mirip dengan tropozoit
dewasa
Bulat, rapat, mengisi seluruh eritrosit, pigmen malaria tersebar
atau menggumpal; bentuk awal sangat mirip dengan tropozoit
dewasa
Diagnosis molekuler merupakan pilihan pada pusat
rujukan dengan fasilitas yang memadai.
5
Polymerase Chain
Reaction (PCR) merupakan metode yang paling akurat saat
ini untuk diagnosis P. knowlesi. Penggunaan PCR untuk
diagnosis keempat jenis plasmodium telah berkembang
sejak tahun 1990an. Nested PCR lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan pemeriksaan mikroskopis. Metode ini
menggunakan target subunit kecil gen ribosomal RNA
dengan primer genus spesifik, kemudian diamplifikasi
dengan primer yang spesies spesifik dengan target variable
regions. Primer spesifik untuk P. knowlesi adalah Pmk8
dan Pmkr9, walaupun primer ini kadang mengalami reaksi
silang dengan DNA P. vivax. Studi infeksi P. knowlesi pada
pekerja tambang di Kalimantan Tengah menggunakan
primer mtCOI yang nampaknya lebih spesifik dibandingkan
Pmk8 dan Pmkr9.
19
Nested PCR dapat meningkatkan
sensitivitas diagnosis pada pasien dengan kadar parasit
yang rendah. Teknologi PCR terus berkembang dari deteksi
end-point ke deteksi real-time dalam diagnosis malaria
knowlesi. Dasar deteksi P. knowlesi dengan real-time PCR
adalah menggunakan primer small subunit ribosomal RNA
gene. Metode ini mampu mendeteksi kadar parasit antara
5-100 kopi template/mikroliter.
8
Multiplex quantiative
qPCR juga sudah dikembangkan untuk mendeteksi P.
knowlesi dengan nama komersial PlasmoNex multiplex
PCR. Metode ini menggunakan primer spesifik dan gel
elektroforesis, namun kurang praktis untuk diagnosis pada
daerah dengan sarana yang terbatas.
12
Metode amplifikasi

207Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018 |
Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia
materi asam nukleat baru sedang berkembang yaitu Loop-
mediated Isothermal Amplification (LAMP). Metode ini
berbeda dengan PCR dimana LAMP menggunakan DNA
polimerase dan 4 primer yang berbeda untuk mentarget
enam area spesifik dari target genom. Metode LAMP
sangat spesifik dan sensitivitasnya sama dengan PCR
konvensional. Metode ini mudah, sederhana dan lebih
singkat karena tidak membutuhkan thermocycler. Metode
LAMP untuk mendeteksi P. knowlesi menggunakan
gen β-tubulin dan antigen 1 (AMA-1).
8
Loop-mediated
Isothermal Amplification bisa digunakan sebagai alternatif
pengganti PCR untuk daerah dengan sumber daya yang
terbatas karena hanya membutuhkan heating block
sederhana, primer, kontrol positif dan negatif serta
hasilnya didapatkan dalam waktu relatif singkat yaitu 60
menit.
12
TERAPI ANTIMALARIA
Secara umum semua jenis antimalaria efektif
diberikan pada pasien dengan infeksi P. knowlesi.
Plasmodium knowlesi memiliki siklus eritrosit yang
pendek sehingga kadar parasitemianya dapat meningkat
dengan cepat. Oleh karena itu, pemberian antimalaria
secepat mungkin merupakan tindakan yang paling tepat.
Berdasarkan studi ACT-KNOW, malaria knowlesi memiliki
respon terapi yang baik terhadap kombinasi klorokuin dan
primakuin. Studi menunjukkan bahwa setelah pemberian
terapi antimalaria yang adekuat, pasien biasanya membaik
dalam waktu 24 jam dengan median fever cleareance 26
jam dan median parasite clearance 2,4 hari (1-5 hari).
Waktu yang dibutuhkan klorokuin untuk membunuh
50% jumlah parasit dalam darah (PCT50) dan 90% jumlah
parasit dalam darah (PCT90) masing-masing 3,1 dan
10,3 jam. Belum ada laporan mengenai kasus resisten,
rekrudensi atau reinfeksi dalam 28 hari follow-up.
4
Studi di Kapit menunjukkan bahwa malaria knowlesi
efektif diterapi dengan klorokuin, primakuin, kina dan
sulfadoksin-pirimetamin. Dosis yang diberikan pada studi
itu adalah klorokuin 25mg/kgBB yang terbagi menjadi
10mg/kgBB dosis awal dilanjutkan dengan 5mg/kgBB pada
jam ke-6, 24 dan 48. Primakuin diberikan 2 dosis masing-
masing 15mg/kgBB pada jam ke-24 dan 48 (2). Berdasarkan
rekomendasi WHO, pada daerah dengan angka kejadian
malaria falciparum yang tinggi, daerah dengan situasi
resisten klorokuin atau daerah dengan sumber daya
yang tidak memungkinkan untuk membedakan infeksi
malaria falciparum dan knowlesi maka antimalaria yang
direkomendasikan yaitu derivat artemisinin.
5,7,10,13
Beberapa kombinasi obat berbasis artesunat
telah diujicoba diberikan pada kasus malaria knowlesi
diantaranya artesunat, meflokuin, artemeter lumefantrin,
dan dihidroartemisinin piperakuin. Data menunjukkan
bahwa pemberian kombinasi artesunat meflokuin lebih
baik dibandingkan klorokuin dalam hal parasite clearance
dalam 24 jam pertama yaitu 84% dan 55%. Penggunaan
meflokuin sebagai monoterapi tidak direkomendasikan
dan hanya diberikan dalam kombinasi dengan artesunat.
Efek samping meflokuin yang serius yaitu psikosis dan
keinginan bunuh diri, dengan angka kejadian 1 dari 1217
penderia ras Asia usia dewasa. Penggunaan obat lain
seperti Atovaquone-proguanil telah dilaporkan diberikan
pada wisatawan yang terinfeksi malaria knowlesi dan
memberikan hasil yang optimal. Malaysia, negara yang
melaporkan infeksi malaria knowlesi terbanyak di dunia, saat
ini menggunakan artemeter lumefantrin sebagai terapi lini
pertama pada kasus malaria knowlesi tanpa komplikasi.
16

Pada kasus malaria knowlesi berat, penggunaan kina atau
artesunat memberikan efek yang memuaskan dalam hal
masa bebas demam dan parasite clearance.
5,7,10
Studi lain
menyatakan bahwa pemberian injeksi artesunat memiliki
kemampuan untuk membersihkan parasit di dalam darah
lebih cepat dibandingkan dengan injeksi kina.
12

Artemisinin merupakan antimalaria yang kuat,
bekerja dengan onset yang cepat dan saat ini digunakan
untuk pengobatan malaria berat. Beberapa kasus infeksi
P. knowlesi yang terjadi di Indonesia diterapi dengan obat
program yaitu Artemisinin Combination Therapy (ACT)
dan primakuin. Semua pasien yang terinfeksi P. knowlesi
di Indonesia menunjukkan perbaikan yang nyata dengan
pemberian ACT.
9,19,20
Beberapa laporan menyebutkan
bahwa penderita P. knowlesi sembuh dengan obat lain yang
beberapa diantaranya tidak digunakan lagi di Indonesia
seperti klorokuin, meflokuin, kombinasi sulfadoksin-
pirimetamin dan kina.
9
Plasmodium knowlesi merupakan
kandidat target untuk pembuatan vaksin malaria yang
ideal karena parasit ini mampu dikembangbiakan dengan
kultur, antigennya mirip dengan parasit malaria lain yang
menginfeksi manusia dan infeksi plasmodium ini mudah
diinduksi dengan berbagai cara seperti injeksi sporozoit
atau eritrosit yang terinfeksi pada percobaan binatang.
Sampai saat ini belum ada vaksin untuk infeksi malaria P.
knowlesi.
6
SIMPULAN
Plasmodium knowlesi merupakan malaria yang
umum menginfeksi kera dan dapat menular pada
manusia. Angka kejadian penyakit ini terus meningkat
sejak tahun 2004 namun belum ada penelitian skala
besar mengenai angka pasti kejadian penyakit ini di Asia
Tenggara. Karena siklus hidupnya singkat, jumlah parasit

208| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 5, No. 4 | Desember 2018
I Gede Yasa Asmara
dalam darah dapat cepat meningkat, sehingga infeksi
P. knowlesi berpotensi menjadi penyakit yang berat.
Aspek patofisiologi penyakit ini masih belum begitu jelas
terutama mengenai bagaimana timbulnya malaria berat
seperti yang terjadi pada P. falciparum. Diagnosis dini,
stratifikasi beratnya penyakit, pemberian antimalaria
segera, resusitasi, monitoring dan antisipasi komplikasi
merupakan hal yang penting dilakukan pada manajemen
infeksi malaria P. knowlesi pada manusia. Walaupun saat
ini belum ada panduan rekomendasi khusus pengobatan
malaria akibat infeksi P. knowlesi, semua jenis antimalaria
termasuk artemisinin masih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cox-Singh J, Davis TME, Lee KS, Shamsul SS, Matusop A, Ratnam S,
et al. Plasmodium knowlesi malaria in humans is widely distributed
and potentially life threatening. Clin Infect Dis. 2008;46(2):165-71.
2. Sabbatani S, Fiorino S, and Manfredi R. Plasmodium knowlesi: from
Malaysia, a novel health care threat. Infez Med. 2012;20(1):5-11.
3. Lee KS, Cox-Singh J, Singh B. Morphological features and differential
counts of Plasmodium knowlesi parasites in naturally acquired
human infections. Malar J. 2009;8:73-82.
4. Singh B, Daneshvar C. Plasmodium knowlesi malaria in Malaysia.
Med J Malaysia. 2010;65(3):166-72.
5. Singh B, Daneshvar C. Human infections and detection of
Plasmodium knowlesi. Clin Microbiol Rev. 2013;26(2):165-84.
6. Collins WE. Plasmodium knowlesi: a malaria parasite of monkeys
and humans. Annu Rev Entomol. 2012;57:107-21.
7. Nelwan RHH. Malaria Plasmodium knowlesi. Cermin Dunia
Kedokteran. 2013;40(5):327-9.
8. Lee KS, Vythilingam I. Plasmodium knowlesi: emergent human
malaria in Southeast Asia. In: Lim YAL, Vythilingam I, editors.
Parasites and their vectors. New York: Springer-Verlag Wien; 2013.
p.5-31.
9. Ompusunggu S, Dewi RM, Yuliawaty R, Sihite BA, Ekowatiningsih
R, Siswantoro H, et al. Penemuan baru Plasmodium knowlesi pada
manusia di Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan.
2015;43(2):63-76.
10. Daneshvar C, William T, Davis TME. Clinical features and
management of Plasmodium knowlesi infections in humans.
Parasitology. 2018;145(1):18-31.
11. Antinori S, Galimberti L, Milazzo L, Corbellino M. Plasmodium
knowlesi: the emerging zoonotic malaria parasite. Acta Trop.
2013;125(2):191-201.
12. Millar SB, Cox-Singh J. Human infections with Plasmodium knowlesi
– zoonotic malaria. Clin Microbiol Infect. 2015;21(7):640-8.
13. Singh B. Plasmodium knowlesi: an update. Microbiol Aust.
2016;3:39-42.
14. Wesolowski R, Wozniak A, Mila-Kierzenkowska C, Szewczyk-Golec
K. Plasmodium knowlesi as a threat to global public health. Korean
J Parasitol. 2015;53(5):575-81.
15. Muller M, Schlagenhauf P. Plasmodium knowlesi in travellers,
update 2014. Int J Infect Dis. 2014;22:55-64.
16. Barber BE, Grigg MJ, William T, Yeo TW, Anstey NM. The treatment
of Plasmodium knowlesi malaria. Trends Parasitol. 2017;33(3):242-
53.
17. Barber BE, Rajahram GS, Grigg MJ, William T, Anstey NM. World
malaria report: time to acknowledge Plasmodium knowlesi
malaria. Malaria J. 2017;16:135-7.
18. Cramer JP. Plasmodium knowlesi malaria: overview focussing on
travel-associated infections. Curr Infect Dis Rep. 2015;17(3):469.
19. Setiadi W, Sudoyo H, Trimarsanto H, Sihite BA, Saragih RJ,
Juliawaty R, et al. A zoonotic human infection with simian malaria,
Plasmodium knowlesi, in Central Kalimantan, Indonesia. Malaria J.
2016;15:218-23.
20. Figtree M, Lee R, Bain L, Mackertich S, Urban M, Cheng Q, et al.
Plasmodium knowlesi in human, Indonesian Borneo. Emerg Infect
Dis. 2010;16(4):672-4.
21. Sabbatani S, Fiorino S, Manfredi R. The emerging of the fifth
malaria parasite (Plasmodium knowlesi): a public health concern?
Braz J Infect Dis. 2010;14(3):299-309.
22. Ahmed MA, Cox-Singh J. Plasmodium knowlesi – an emerging
pathogen. ISBT Sci Ser. 2015;10(Suppl 1):134–40.
23. Jeremiah SS, Janagond AB, Parija SC. Challenges in diagnosis of
Plasmodium knowlesi infections. Trop Parasitol. 2014;4(1):25-30.