1



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Keperawatan Anak
Keperawatan anak merupakan keyakinan atau pandangan yang dimiliki
perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan pada anak yang
berfokus pada keluarga (family centered care), pencegahan terhadap trauma
(atrumatic care), dan manajemen kasus. Dalam dunia keperawatan anak,
perawat perlu memahami, menginggat adanya beberapa prinsip yang berbeda
dalam penerapan asuhan dikarenakan anak bukan miniatur orang dewasa
tetapi sebagai individu yang unik (Hidayat, 2005).
Keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan anak mengingat anak
bagian dari keluarga, dalam keperawatan anak harus mengenal keluarga
sebagai tempat tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan anak
(Wong,Perry & Hockenbery, 2002). Sebagai perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan anak, harus mampu memfasilitasi keluarga dalam
berbagai bentuk pelayanan kesehatan baik berupa pemberian tindakan
keperawatan langsung maupun pemberian pendidikan kesehatan pada anak.
Selain itu, keperawatan anak perlu memperhatikan kehidupan sosial, budaya
dan ekonomi keluarga karena tingkat sosial, budaya dan ekonomi dari
keluarga dapat menentukan pola kehidupan anak selanjutnya faktor-faktor
tersebut sangat menentukan perkembangan anak dalam kehidupan di
masyarakat.

2



B. Prinsip-prinsip Keperawatan Anak
Menurut Hidayat (2005), ada prinsip atau dasar dalam keperawatan anak
yang dijadikan sebagai pedoman dalam memahami filosofi dalam
keperawatan anak. Perawat harus mampu memahaminya, mengingat ada
beberapa prinsip yang berbeda dalam penerapan asuhan, diantaranya adalah
Pertama, anak bukan miniatur orang dewasa tetapi sebagai individu yang
unik yang berati bahwa tidak boleh memandang anak dari ukuran fisik saja
sebagaimana orang dewasa melainkan anak sebagai individu yang unik yang
mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju pros es
kematangan. Kedua, anak sebagai individu yang unik dan mempunyai
kebutuhan yang sesuai dengan tahap perkembangannya, kebutuhan tersebut
meliputi kebutuhan fisiologis seperti nutrisi, cairan, ativitas, eliminasi,
istirahat, tidur dan lain-lain. Dan kebutuhan psikologis, seperti sosial dan
spiritual.
Ketiga, pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan
penyakit dan peningkatan derajat kesehatan, bukan hanya mengobati orang
yang sakit. Keempat, keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan
yang berfokus pada kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab
secara komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak. Kelima,
praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan keluarga untuk
mencegah, mengkaji, mengintervensi, dan meningkatkan kesejahteraan hidup
dengan menggunakan prosese keperawatan yang sesuai dengan aspek moral
dan aspek hukum. Keenam, tujuan keperawatan anak dan remaja adalah untuk

3



meningkatkan maturasi atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja
sebagai makhluk biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan
masyarakat. Ketujuh, pada masa yang akan datang kecenderungan
keperawatan anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang karena akan
mempelajari aspek kehidupan anak.
C. Konsep Diare Pada Anak
1. Pengertian Diare Pada Anak
Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan pengeluaran tinja yang
tidak normal atau tidak seperti biasanya yang diakibatkan karena adanya
peningkatan volume cairan dan frekuensi dengan atau tanpa lendir
darah,lebih dari 3x/hari (Hidayat, 2005). Menurut Ngastiyah (2005) diare
merupakan salah satu penyakit dari sistem gastrointestinal atau penyalit
lain diluar saluran pencernaan dikarenakan keadaan frekuensi buang air
besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan
konsistensi feses encer dapat berwarna hijau dan dapat pula bercampur
lendir atau darah. Diare merupakan penyakit yang terjadi karena adanya
perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar dimana
feses lebih berair atau bila buang air besar 3x atau lebih,atau buang air
besar berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes,2009).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
diare adalah suatu keadaan dimana terjadi pola perubahan BAB lebih dari

4



biasanya > 3x/hari disertai perubahan konsistensi tinja lebih encer atau
berair dengan atau tanpa darah dan tanpa lendir.
2. Klasifikasi Diare Pada Anak
Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
a. Diare akut yaitu diare yang berlangsung < 14 hari.
b. Disentri yaitu diare yang disertai dengan darah.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung > 14 hari.
d. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang,2004).
Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi akut
apabila kurang dari 2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4
minggu, dan kronik jika berlangsung lebih dari 4 minggu. Lebih dari 90%
penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan disertai oleh
muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh
pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain berbeda dengan diare
akut, penyebab diare kronik lebih disebabkan oleh penyebab non infeksi
seperti alergi dan lain-lain.
3. Mekanisme Terjadinya Diare pada Anak
Lebih dari 90% kasus diare akut adalah disebabkan oleh agen
infeksius (Ahlquist dan Camelleri, 2005), dimana proses terjadinya
gastroentritis dapat disebabkan oleh agen infeksius yang diawali dengan
mikroorganisme yang masuk kedalam saluran pencernaan dan berkembnag

5



biak dalam usus sehingga merusak sel mukoa pada usus dan merusak kerja
dari usus tersebut. Sehingga terjadilah perubahan kapasitas usus yang
akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan
elektrolit atau dengan kata lain dikarenakan adanya bakteri sehingga
menyebabkan sistem transpor aktif dalam usus mengalami iritasi yang
kemudian menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.
Faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan
absorbsi, dimana kegagalan ini akan menyebakan tekanan osmotik
meningkat dan terjadi pergeseran air dan elektrolit kerongga usus yang
dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi gastroentritis.
Menurut Hidayat (2008), faktor makanan dapat terjadi apabila toksin yang
ada tidak mampu diserap dengan baik sehinggga terjadi peningkatan dan
penurunan peristaltik dan menyebabkan penurunan penyerapan makanan.
1. Gejala Diare Pada Anak
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi
gelisah dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair
dan mungkin disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja lama-
kelaman bisa menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu.
Anus dan daerah sekitarnya terlihat lecet karena seringnya defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang
berasal dari laktosa yang tidak adapat diabsorbsi oleh usus halus selama

6



diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat keseimbangan
asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).
Bila anak telah banyak kehilangan air dan elektrolit, terjadilah
gelaja dehidrasi.berat badan menurun, turgor lkulit berkurang, dan ubun-
ubun menjadi cekung (pada bayi), turgor kulit berkurang, selaput lendir
pada bibir, mulut serta kulit tampak kering dan terjadi keram abdomen
(Suraatmaja, 2009).
2. Derajat Dehidrasi Pada Anak Dengan Diare
Menurut Suraatmaja (2009) derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan
3 (tiga) kriteria yaitu :
a. Kehilangan berat badan
Dehidrasi ringan dapat terlihat jika terjadinya penurunan berat badan
sebesar 2,5 sampai 5%, dan pada dehidrasi sedang penurunan berat
badan terjadi 5-10%, sedangkan pada dehidrasi berat penurunan berat
badan > 10%

7



b. Skor Maurice King
Tabel 2.1
Derajat dehidrasi menurut Maurice King



Bagian
tubuh
yang
diperikasa
Nilai gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan
umum
Sehat Gelisah,apatis,
cengeng,
ngantuk
Mengigau,
koma/syok
Elasitas
kulit Normal
Sedikit
Kurang
Sangat
Kurang
Mata Normal
Sedikit
Kurang
Sangat
Kurang
Ubun-ubun
besar Normal
Sedikit
Kurang
Sangat
Kurang
Mulut Normal Kering Kering &
Sianosis
Denyut
nadi/menit
Kuat >
120
Sedang 120-
140
Kering &
Sianosis
>140

Berdasarkan tabel diatas diatas dapat kita coba lakukan untuk melihat
derajat dehidrasi dengan cara menyubitkan, kulit perut selama 30-60 detik,
kemudian dilepas. Jika kulit normal dalam waktu 2 sampai dengan 5 detik
menandakan anak mengalami dehidrasi ringan, 5 sampai dengan 10 detik
anak mengalami dehidrasi sedang dan apabila terjadi dehidrasi tinggi
turgor kulit kembali lebih dari 10 detik, sehingga dapat ditentukan derajat
dehidrasinya yaitu untuk dehidrsi ringan (skor 0-2), sedang (skor 3-6),
berat (skor > 7).

8



c. Berdasarkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Menurut buku Manajemen Terpadu Balita Sakit (1997)
dikatakan dehidrasi berat yaitu terdapatnya tanda-tanda letargis
atau anak tidak sadar, mata cekung, anak tidak bisa minum atau
malas minum serta cubitan perut kembalinya agak lambat,
sedangkan dehidrasi ringan/sedang terjadi apabila terdapat dua atau
lebih dari tanda-tanda anak menjadi gelisah da rewel/marah, mata
cekung, haus, minum dengan lahap, cubitan kulit perut kembalinya
lambat.
3. Komplikasi yang Terjadi Pada Anak
Menurut Depkes RI (1999). Mengatakan pada kasus penderita
diare, penderita banyak sembuh tanpa mengalami komplikasi, akan tetapi
ada juga sebagian yang mengalami komplikasi dari dehidrasi, kelaianan
elektrolit atau pengobatan yang diberikan, seperti hiponatremia akibat
kekurangan asupan cairan yang tidak mengandung natrium, dan banyak
terjadi pada kasus gizi buruk, pada hipernatremia ini sendiri sering terjadi
pada bayi baru lahir sampai udsia 1 tahun (khususnya bayi berumur kurang
dari 6 bulan) yang disertai muntah atau cairan yang diminum mengandung
terlalu banyak natrium.
Pada Hipokalsemia terjadi jika penggantian kalium selama
dehidrasi tidak cukup, sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan
kalium yang mana dapat menyebabkan kelemahan pada tungkai, ileus,

9



kerusakan pada ginjal dan aritmia jantung, dan berdampak terjadinya
asidosis metabolik yang ditandai dengan bertambahnya asam atau
hilangnya basa cairan ekstraseluler, dan sebagai kompensasi terjadi
alkalosis resiratorik, yang ditandai dengan pernapasan yang dalam dan
cepat. Selain itu dapat juga menyebabkan komplikasi ileus paralitik yang
diakibatkan karena penggunaan obat antimotilitis sehingga menyebabkan
muntah, distensi abdomen dan berkurangnya peristaltik usus.
4. Cara merawat diare pada anak
Menurut Departemen kesehatan (1999) dalam membuat pedoman
tatalaksana diare yang dijelaskan bahwa, tahap pertama adalah menilai
derajat dehidrasi dan tahap kedua menentukan rencana pengobatan.
Derajat dehidrasi ditentukan berdasarkan hasil pengkajian fisik yang
meliputi keadaan umum, kondisi mata, air mata, mulut dan lidah, rasa haus
dan turgor kulit. Hasil penilaian dari derajat dehidrasi dijadikan dasar
untuk menentukan rencana pengobatan. Perilaku yang harus dilakukan
oleh masyarakat, kader dan orang tua bila anaknya sedang menderita diare
adalah pertama bagaimana melakukan perawatan saat diare berlangsung di
rumah tangga dan bagaimana cara mencegah penyakit diare.
Perawatan anak diare dapat dilakukan sendiri oleh keluarga dan
apabila perawatan tidak berhasil dan menunjukkan kondisi yang tidak
membaik maka bisa membawa anak ke fasilitas kesehatan. Beberapa hal
yang harus dilakukan keluarga menurut (Depkes, 1999) adalah:

10



a. Beri lebih banyak minum cairan yang ada di rumah tangga, yaitu
air tajin, air teh, kuah sayur, air sup dan oralit.
b. Teruskan pemberian makanan.
c. Bawa anak ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pertolongan
lanjutan, bila anak tidak membaik selama 3 hari atau ada salah satu
tanda berikut: diare terus menerus, muntah berulang-ulang, rasa
haus yang nyata, tidak \bisa makan/minum, demam dan ada darah
dalam tinja.
5. Penatalaksanaan Diare pada Anak
Departemen kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan
diare bagi semua kasus diare yang diderita oleh anak balita yang dirawat
dirumah maupun sedang dirawat di rumah sakit (Depkes RI, 1999), yaitu :
a. Pemberian cairan atau rehidrasi
Pada klien diare yang harus diperhatikan adalah terjadinya kekurangan
cairan atau dehidrasi, pada anak-anak tanpa tanda-tanda dehidrasi
memerlukan tambahan cairan dan garam untuk mengganti kehilangan
cairan dan elektrolit yang diberikan peroral berupa cairan yang
berisikan NaCL, dan Na, HCO, K, dan Glukosa, untuk GE akut diatas
umur 6 bulan dengan kategori dehidrasi ringan/sedang kadar natrium
50-60Meq/l dapat dibuat sendiri dengan menggunakan larutan garam
dan gula. Untuk pemberian cairan parenteral itu sendiri jumlah yang
akan diberikan tergantung dari berat badan atau ringannya dehidrasi,

11



yang diperhitungkan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat
badannya jika berat badan anak diketahui maka hal ini digunakan
untuk menentukan jumlah larutan yang tepat dan jika berat badan anak
tidak diketahui maka penentuan jumlah cairan ditentukan berdasarkan
usia anak (Jurrfie,2011).
b. Pemberian zinc
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa pemberian zinc yang dilakukaan diawal masa diare selama 10
hari kedepan secara signifikan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien. Dan pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan
absorbsi air dan elektrolit pada usus halus, meningkatkan regenerasi
epitel usus, meningkatkan jumlah brus border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen
usus (Juffrie,2011).
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air
matang, ASI atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat
dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit (Juffrie,2011).
c. Pemberian ASI, makanan dan pengobatan dietetik
Pemberian ASI tetap harus dilakukan sesuai dengan umur anak dengan
waktu yang sama pada waktu anak yang sehat untuk mencegah

12



kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. Dan dapat
dilakukan dengan cara pengobatan dietetik yaitu pengobatan dengan
pemberian makanan dan minuman khusus pada klien dengan tujuan
penyembuhan dan menjaga kesehatan, seperti contoh pemberian susu
formula yang mengnadung laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh
contoh LLM, makanan setengah padat seperti (bubur, makanan padat
nasi tim). Prinsip pengobatan dietetik dapat disingkat O-B-E-S-E yaitu
Oralit, Breast Feeding, Early Feeding, Stimulaneously with Education
(Suraatmaja, 2009).
d. Pengobatan kausal
Pada pengobatan ini dapat diberikan setelah diketahui penyebab yang
pasti, jika diare penyakit parental, diberikan antibiotika sistemik, jika
terdapat infeksi parental, antibiotik dapat diberikan sesuai dengan
pemeriksaan lab penunjang seperti ditemukannya bakteri patogen.
e. Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini bertujuan untuk menghentikan diare secara tepat seperti
antispasmodik dan obat ini meskipun sering digunakan tetapi tidak
mempunyai keuntungan yang praktis dan tidak diindikasikan untuk
pengobatan diare akut pada anak (Subagyo B & Santoso NB, 2010).

13



6. Pencegahan Diare Pada Anak
Menurut Subagyo B & Santoso NB, ( 2010) upaya pencegahan
diare dapat dilakukan dengan cara mencegah penyebayaran kuman
pathogen yang disebarkan melaui fekal-oral dan bisa dilakukan pemutusan
penyebaran kuman dengan cara pemberian ASI dengan benar,
memperbaiki makanan dan penyimpanan makanan pendamping ASI
dengan benar, penggunaan air bersih yang cukup, membudayakan
kebiasaan cuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum
makan, penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota
keluarga, dan membuang tinja bayi dengan benar.
Adapun cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh anak dan dapat mengurangi resiko diare antara lain : pemberian ASI
paling tidak sampai 2 tahun, meningkatkan nilai gizi makanan pendamping
ASI dan memberikan makan dalam jumlah yang cukup untuk
memperbaiki status gizi anak, dan imunisasi campak (Subagyo, 2008).
10. Faktor-faktor Terjadinya Diare Pada Anak
Faktor resiko dari penyebab terjadinya diare yang telah kita
ketahui yaitu melalui 4 F (Finger, Flies, Fluid, Food), Diare dapat
dikatakan sebagai masalah pediatrik sosial karena diare merupakan salah
satu penyakit utama yang terdapat dinegara berkembang dimana ada faktor
yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita itu sendiri yaitu

14



diantaranya faktor penyebab (Agent), penjamu (Host), dan faktor
lingkungan (environmet), (Subagyo, 2008).
Adapun faktor resiko terjadinya diare yaitu :
a. Faktor Orang Tua
Orang tua sangat penting berperan dalam pencegahan dan
perawatan anak dengan diare, dimana faktor yang mempengaruhinya
adalah umur ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan ibu terhadap
pentingnya hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit. Diare atau
dikenal dengan sebutan mencret memang merupakan penyakit yang
masih banyak terjadi pada masa kanak-kanak dan bahkan menjadi
salah satu penyakit yang banyak menjadi penyebab kematian anak yang
berusia di bawah lima tahun (balita). Karenanya, kekhawatiran orang
tua terhadap penyakit diare adalah hal yang wajar dan harus
dimengerti. Justru yang menjadi masalah adalah apabila ada orang tua
yang bersikap tidak acuh atau kurang waspada terhadap anak yang
mengalami diare sehingga beresiko mengalami dehidrasi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, (
Notoatmodjo, 2007) : Umur, Bertambahnya umur seseorang dapat
berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya akan
tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan
penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
Lingkungan, Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi

15



seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang buruk
tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan
memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara berpikir
seseorang, (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan, Pendidikan adalah suatu
kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau
meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu
dapat berdiri sendiri. Selain itu tingkat pendidikan juga dapat
menentukan mudah atau tidaknya kemampuan seseorang dalam
menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Pada
umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin
baik pengetahuanya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Irianto (1994),
ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTA di
bandingkan dengan ibu berpendidikan SLTP mempunyai kemungkinan
1,43 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik. Dari penelitian
Cholis Bachroen & S. Simantri (1993), diketahui pendidikan
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita,
begitu pula penelitian yang dilakukan Sunoto & Hartaniah Sadikin
tahun (1990) yang mendapati bahwa ibu yang berpendidikan tinggi,
kejadian diare pada anak balita akan menjadi rendah, sedangkan pada
ibu yang berpendidikan rendah didapatkan kejadian diare tinggi.

16



b. Faktor Lingkungan
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dimana sebagian besar penularan melalui faecal-oral yang
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana air bersih dan jamban yang
sesuai dengan standar kesehatan. Daerah yang kumuh yang padat
penduduk, kurangnya air bersih dengna sanitasi yang jelek akan
mengakibatkan penyakit mudah menular. Pada beberapa tempat
shigellosis yaitu penyebab diare merupakan penyakit endemik, infeksi
dapat berlangsung sepanjang tahun, terutama pada bayi dan anak-anak
yang berumur 6 bulan sampai 3 tahun (Depkes, 1999).
c. Hygene dan kebersihan diri
Perilaku hygene dan kebersihan ibu dan anak mempunyai
pengaruh terhadap pencegahan terjadinya diare pada bayi dan balita,
salah satu perilaku hidup bersih dan sehat yang sering dilakukan adalah
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan pada anak dan juga setelah
anak buang air besar (Hira,2002).
Tangan yang kotor dan kuku panjang merupakan sarana
berkembang biaknya agen kuman dan bakteri terutama penyebab
penyakit diare. Banyak penyakit mudah ditularkan melalui makanan
yang terkontaminasi atau dari tangan kemulut. Perilaku mencuci tangan
mengurangi risiko penularan penyakit pada saluran cerna (tinja)
maupun saluran pernafasan. (SDKI, 2007).

17



d. Sosial ekonomi
Status ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi status gizi
anggota keluarga. Hal ini nampak dari ketidakmampuan ekonomi
keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga khusunya pada anak
usia pra sekolah sehingga mereka cenderung memiliki status gizi
kurang bahkan gizi buruk yang memudahkan anak usia pra sekolah
tersebut mengalami penyakit diare. Menurut Adisasmito tahun 2007 ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit diare yaitu jumlah
anak pra sekolah dalam keluarga, jenis pekerjaan, pendidikan kepala
keluarga, pendapatan, faktor ekonomi.
Dari berbagai faktor yang diteliti faktor ekonomi dan
pendapatan keluarga yang dapat menunjukan hubungan yang sangat
kuat. Hal ini menunjukan bahwa rendahnya status ekonomi keluarga
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit diare
terutama pada anak usia pra sekolah.
e. Pengalaman ibu dalam merawat anak dengan diare
1) Konsep pengalaman
Pengalaman adalah pengetahuan dari hasil observasi
terhadap sesuatu benda atau kejadian. Pengalaman tidak hanya
memahami, tetapi merupakan proses aktif dari penemuan dan
perubahan dalam memahami situasi nyata (Benner & Wrubel, 1982
dalam Alligood & Tomey, 2006). Sehingga dapat dipahami bahwa

18



pengalaman adalah perubahan aktif yang dialami seseorang pada
situasi nyata dari hasil observasi terhadap kejadian atau mengalami
langsung.
Pengalaman terdiri dari immediacy of experience dan
subjektif experience. immediacy of experience diartikan sebagai
pengalaman baru yang dialami seseorang. Pengalaman baru ini
akan membentuk persepsi seseorang terhadap suatu kejadian.
Sedangkan subjektif experience merupakan persepsi yang terbentuk
dari hsil interaksi yang lama dengan kejadian atau situasi kejadian
(Emerson,2009). Untuk membuat persepsi tentang makna dan
perasaan pengalaman seseorang secara sadar, dibutuhkan
kemampuan untuk mengkaji apa yang mereka pikir, lihat dengar
dan rasakan selama berinteraksi dengan kejadian atau situasi
tersebut (Pollit & Hungler, 2004).
2) Ibu merawat anak dengan diare
Pengalaman ibu dalam merawat merawat anak dengan diare
dapat dilakukan sendiri atau oleh keluarga dan apabila perawatan
tidak berhasil dan menunjukkan kondisi yang tidak membaik maka
bisa membawa anak ke fasilitas kesehatan. Menurut (Depkes,
1999) adalah:
a) Beri lebih banyak minum cairan yang ada di rumah tangga, yaitu
air tajin, air teh, kuah sayur, air sup dan oralit.
b) Teruskan pemberian makanan.

19



c) Bawa anak ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pertolongan
lanjutan, bila anak tidak membaik selama 3 hari atau ada salah
satu tanda berikut: diare terus menerus, muntah berulang-ulang,
rasa haus yang nyata, tidak \bisa makan/minum, demam dan ada
darah dalam tinja.
11. Beberapa Penelitian yang terkait dengan kejadian diare pada anak
Tabel 2.2
Penelitian yang terkait dengan kejadian diare
No Peneliti dan Tahun Hasil
1 Iswari (2009) Kejadian diare memiliki hubungan yang
signifikan dengan status gizi dengan p value
0,037 dan kebiasaan ibu mencuci tangan
sebelum memberikan makan pada anak dengan
p value 0,038.
2 Winlar (2002) Menyatakan bahwa ada 4 faktor yang
mempengaruhi kejadian diare yaitu : satatus
sosial ekonomi yang rendah sebesar 61,54 %,
kurangnya pengetahuan orang tua tentang cuci
tangan yang benar sebesar 54,7 %, kebiasaan
ibu memberikan berbagai macam selingan
sebesar 53,5 %, dan kebiasaan buruk pada
kehidupan anak sebesar 61,87 %.
3 Hira (2002) Melakukan penelitian pada 325 anak usia
kurang dari 5 tahun bahwa faktor yang
berhubungan dengan kejadian diare adalah
kebiasaan ibu mencuci tangan sebelum
memberi makan pada anak balita, sedangkan
pendidikan kesehatan pada ibu, pekerjaan,
kebiasaan mencuci tangan setelah buang air
besar dan persiapan air bersih tidak
berhubungan dengan kejadian diare pada balita
4 Warraow (2002) Gambaran prevalensi keluhan diare di
indonesia sebesar 3,3 % dimana tidak ada
perbedaan prevalensi diare antara dikota
dengan di desa dari analisi multivariat bahwa
resiko terjadinya diare yaitu penghuni rumah
yang berlokasi di daerah rawan banjir sebesar

20



43 kali beresiko terhadap diare, kondisi fisik
rumah yang tidakbaik beresiko sebesar 1,23
kali terhadap terjadinya diare dan jumlah balita
lebih dari satu dalam keluarga beresiko sebesar
0,83 kali terhadap terjadinya diare.
5 Adisansmito (2007) Melakukan sistemik review terhadap faktor
kejadian diare pada bayi dan balita, dari
beberapa faktor yang diteliti faktor ibu yang
bermakna adalah pengetahuan , perilaku, dan
kebersihan ibu, sedangkan faktor diare pada
anak adalah status gizi, dan pemberian ASI
Eklusif. Faktor lingkungan berdasarkan sarana
bersih (SAB) yang lebih banyak diteliti adalah
jenis SAB (rerata OR = 3,19), resiko
pencemaram SAB (rerata OR = 7,89), dan
sarana jamban (rerata OR = 17,25).
6 Sakufa (2013) Mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian diare pada anak usia < 1 tahun
diwilayah kerja puskesmas kedung mundu
kota semarang. Ada Hubungan antara Praktek
Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Diare pada
anak usia < 1 tahun dengan p value = 0,032 di
dapatkan tidak ada hubungan antara personal
higiene Ibu dengan kejadian diare pada anak
usia < 1 tahun dengan p value 1,000. Ada
Hubungan antara Resiko Pencemaran Sumber
Air Bersih dengan kejadian diare pada anak
usia < 1 tahun dengan p value = 0,029. Tidak
Ada Hubungan antara Resiko Pencemran
SPAL dengan Kejadian Diare pada Anak Usia
< 1 tahun dengan p value = 0,906. Tidak Ada
Hubungan antara Kondisi Jamban dengan
Kejadian Diare pada anak usia < 1 tahun
dengan p value = 1,000. Tidak Ada Hubungan
kondisi Pembuangan sampah dengan kejadian
diare pada anak usia < 1 tahun dengan p value
= 1,000
7 Widyastuti (2009) U Untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian
diare seperti hubungan sumber sarana air
bersih, penggunaan jamban keluarga,
pengetahuan tentang diare, praktik pencegahan
penyakit diare, serta kandungan bakteriologis
pada air minum dengan kejadian diare.
Populasi berjumlah 112 dengan sampel
sebanyak 52 sampel. Berdasarkan hasil
penelitian dari 52 responden yang mengalami

21



diare adalah 20 balita. Hasil uji statistic tidak
ada hubungan antara penggunaan jamban
keluarga dengan kejadian diare pada anak
balita dengan probabilitas = 0,312, tidak ada
hubungan antara pengetahuan ibu dengan
kejadian diare pada anak balita dengan
probabilitas = 0,439, tidak ada hubungan
antara praktik pencegahan diare dengan
kejadian diare pada anak balita dengan
probabilitas = 0,592, ada hubungan antara
kandungan bakteriologis pada air minum
dengan kejadian diare pada anak balita dengan
probabilitas = 0,007.
8 Wiku (2007 Mengenai faktor resiko diare pada bayi dan
balita di indonesia didapatkan bahwa faktor
risiko penyebab penyakit diare yang paling
banyak diteliti oleh mahasiswa adalah faktor
lingkungan. Faktor lingkungan ini berkaitan
dengan sanitasi meliputi sarana air bersih
(SAB), jamban, kualitas bakterologis air,
saluran pembuangan air limbah (SPAL), dan
kondisi rumah. Faktor lingkungan yang paling
banyak diteliti adalah aspek sarana air bersih
dan jamban. Untuk sarana air bersih, rata-rata
odd ratio (OR) jenis SAB sebesar 3,19 dan
rata-rata OR pencemaran SAB sebesar 7,89
sedangkan untuk jamban rata-rata OR
kepemilikan jamban sebesar 3,32.
9 Nababan (2009) Menunjukan bahwa bahwa informan
mempunyai cukup pengetahuan terkait
periolaku higenitas dalam pencegahan resiko
diare. Sumber informasi berasal dari kader
posyandu, bidan dokter dan orang-orang yang
berada disekitar informan. Semua informan
mempunyai sikap positif terhadap manfaat
adopsi perilaku higinitas penaggulangan diare,
nilai-nilai yang dianut informan mengenai apa
yang baik dan buruk dirasakan manfaatnya
memperkuat informan mengadopsi perilaku
higenis
10 Josefa (2011) Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan bermakna antara tempat
persalinan (p = 1,000), status pekerjaan (p =
0,537) dan pengetahuan ibu (p = 0,091) dengan
perilaku pemberian ASI eksklusif. Hal yang
menjadi faktor lain, yaitu dukungan petugas

22



kesehatan, peraturan tempat persalinan, faktor
sosial budaya,maraknya promosi susu formula,
faktor lingkungan dan faktor psikologis ibu.

D. Karakateristik dan Tumbuh Kembang Anak balita
Balita adalah bayi yang berumur dibawah 5 tahun atau masih kecil yang
perlu tempat bergantung pada orang dewasa yang mempunyai kekuatan untuk
mandiri. Masa balita merupakan tahapan pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat penting bagi anak, banyak permasalahan – permasalahan yang
terjadi terutama pada masalah kesehatan, sehingga kondisi ini berpengaruh
terhadap gangguan pertumbuhan dan perkembangan sehingga berdampak
terhadap kualitas hidup anak dikemudian hari. Rendahnya daya tahan tubuh
anak dan status gizi yang tidak baik merupakan penyebab utama seringnya
anak menderita suatu penyakit infeksi, seperti diare, walaupun banyak faktor
lain yang berperan seperti lingkungan yang tidak sehat, sosial ekonomi, pola
hidup yang salah dan lain-lain.

23



Tabel 2.3
Perkembangan Balita
Umur Motorik Kasar Kognitif Bahasa Sosial Bermain
1-1,5
tahun
Mampu berdiri
tanpa bantuan,
berjalan
dengan baik,
melempar
bola, berlari,
menendang
bola
Mengambil
mainan diatas
bantal, dapat
memanjat
ke tempat
tidur
Mengerti bahwa
benda-benda
memiliki nama,
dapat
mengucapkan 3
kata yang sudah
familiar seperti
mamah dan papa,
berkomunikasi
dengan bahasa
tubuh yang
sifatnya sosial
(melabai dan
menggeleng)
Melambaikan
tangan dan
mengatakan
“dadah”,
sudah mampu
membangun
kelekatan,
mampu
mengenali
diri sendiri di
kaca
Masih bermain
eksplorasi, namun
luas lantaran
kemampuan
fisiknya makin
berkembang,
mulai mengenal
mainan namun
belum
memainkannya
sesuai fungsinya
1,5-2
tahun
Berlari,
menarik
mainan sambil
berjalan,
mambawa
mainan besar
sambil
berjalan, naik
turun bangku
tanpa bantuan,
naik turun
tangga dengan
bantuan
Memasukan
benda ke
dalam bidang
yang sesuai
dengan
bentuk pola
yang tersedia,
membuka
ikat simpul
yang sudah di
ikat
sederhana
Menggabungkan
dua kata-katanya
masih banyak
yang disingkat
Terjadi
keinginan
untuk
mandiri,
mulai terjadi
konflik
dengan
saudara
kandung,
mampu
mengekplora
si lingkungan
Semakin gesit dan
tertarik
mempraktikkan
kemampuan
motoriknya,
masih asyik
bermain sendiri
2-3
tahun
Melompat
ditempat,
memanjat
dengan baik,
berjalan naik-
turun tangga
dengan
menggunakan
satu kaki per
anak tangga
Mampu
menggunaka
n simbol-
simbol
Mencoba-coba
menggunakan
berbagai kata
baru dalam
kalimat, dapat
menggabungkan
dua kata menjadi
satu kalimat
Menunjukan
ketertarikan
pada anak-
anak lain,
belajar
mengerti
emosi orang
lain, mulai
mempelajari
cara bergaul
dari orang
lain
Masih memiliki
kecenderungan
bermain
independen,
mulai
bereksplorasi di
luar rumah, mulai
bermain simbolis
atau bermain
pura-pura/
bermain khayal
3-4
tahun
Berdiri di atas
1 kaki selama
Mampu
melakukan
Menyebut warna
maupun
Mampu
bergiliran
Mampu
melakukan dua

24



Sumber : Kurniasih (2008:9)

Menurut Freud anak memasuki tahap oral sampai dengan tahap anal yang
berlangsung antara usia 1- 4 tahun. Dari tahap oral anak mendapatkan
kenikmatan dan kepuasan dari bebagai pengalaman di daerah mulutnya. Pada
tahap ini anak lebih cenderung memasukan apapun kedalam mulutnya
sehingga anak lebih muda terinfeksi penyakit diare. Selain itu pada fase ini
2 detik lalu
secara
bertahap
meningkat
hingga
akhirnya anak
mampu berdiri,
melompat
diatas benda
setinggi 15
cm
permainan
simbolik,
dapat
menggantika
n sesuatu
dengan
sesuatu yang
lain
penggunaan
benda,
menerangkan
secara sederhana
sebab-akibat dan
kata yang
berlawanan,
sering
menggunakan
kalimat tanya
dengan
bantuan
orang lain,
dapat melabel
dirinya laki-
laki atau
perempuan,
dapat
membagi-
bagi benda
mana saja
yang tipikal
untuk laki-
laki dan
untuk
perempuan
aktivitas
sekaligus, mulai
menyukai
permainan yang
dimainkan
bersama teman
sebaya, mulai
mengerti aturan
sederhana
4-5
tahun
Berjalan pada
garis lurus
ke depan,
berjalan diatas
papan
keseimbangan,
dapat
melompat
sambil berlari,
melompat
ditempat
dengan 1 kaki,
mampu berlari
Mampu
mengelompo
k kan baik
benda, warna,
bentuk,
maupun
ukuran
Makin lancar
dalam berkata-
kata termasuk
mengucapkan
huruf yang sulit
seperti “r”, dapat
menceritakan
pengalamannya
dengan baik,
mengenal sopan
santun dalam
berbicara
Mampu
bergiliran,
menunjukan
perhatian
dalam
mengexplora
si perbedaan
jenis
kelamin,
Mulai bisa
berbagi mainan,
menyukai
permainan-
permainan yang
lebih menantang
dan menguji
keterampilan,
mulai “hobi”
mengumpulkan
sesuatu yang
menarik dan
selektif

25



juga anak harus diajarkan, salah satunya adalah latihan kebersihan atau yang
disebut dengan “latihan toilet” (toiled training). Anak mengalami perasaan
nikmat pada saat menahan, maupun pada saat mengeluarkan tinjanya.
Sebagian kenikmatan itu berasal dari rasa puas yang bersifat egosentrik, yaitu
bahwa ia bisa mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya. Bila orang tua tidak
membantu anak untuk menyelesaikan tugas latihan dengan baik, maka akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan tingkah laku anak dalam defekasi
termasuk juga dengan kebiasaan anak untuk buang air besar dijamban atau
WC, kebiasaan anak buang air besar disembarang tempat dan di area terbuka
seperti di got dan di tanah menyebabkan resiko untuk terjadinya penularan
diare. Selain itu pada usia ini biasanya terjadi perubahan pola makan dimana
anak sukar atau kurang mau untuk makan, selera makan berubah-ubah, cepat
bosan dengan menu tertentu. Pada usia ini anak juga mulai belajar untuk
makan sendiri karena kemampuan motorik halus anak dalam koordinasi
antara mata dan tangan mulai berkembang baik sehingga anak lebih senang
untuk makan sendiri, pentingnya orang tua untuk memperhatikan kebersihan
tangan dan kuku anak sebelum makan. Kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan juga sebaiknya diajarkan pada anak, sehingga anak dapat
meminimalkan anak untuk terkontaminasi oleh agen-agen penyebab diare
(Palupi, 2005).
E. Peran Perawat dalam Pencegahan Penyakit
Menurut CHS ( konsorsium Ilmu Kesehatan ) tahun 1989, mengatakan
bahwa pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum

26



yakni: pencegahan tingkat pertama (Primary prevention), pencegahan tingkat
kedua (secondary prevention), dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary
prevention).
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor
penyebab, lingkungan dan faktor penjamu. Untuk faktor penyebab
dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme penyebab diare
dihilangkan, dengan cara peningkatan air bersih dan sanitasi
lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk
memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari
pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian
imunisasi.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah
menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan
menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta
untuk mencegah terjadinya efek samping dan komplikasi. Prinsip
pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit
(rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh
banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang dan
dapat diberikan pengobatan seperti kemoteraeutika yang memberantas
penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk

27



menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membnatu
menghilangkan kejang pada perut.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai
mengalami kecacatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini
penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis
semaksimal mungkin. Pada tingkai ini juga dilakukan usaha rehabilitasi
untuk mencegah terjadinya akibat efek samping dari penyakit diare.
Dengan cara menkonsumsi makanan bergizi dan menjaga
keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental
penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan
dukungan secara mental kepada anak.
F. Model Promosi Kesehatan Menurut Nola J. Pender
Model perilaku kesehatan yang bertujuan dalam peningkatan kesehatan di
masyarakat. Salah satunya model prilaku kesehatan yaitu model promosi
kesehatan (health Promotion) menurut Pender. Konsep promosi kesehatan
menurut Pender tidak hanya menjelaskan perilaku pencegahan penyakit tetapi
juga mencakup perilaku lainnya untuk meningkatkan kesehatan dan
mengaplikasikannya sepanjang daur kehidupan (Benner & Wrubel, 1982
dalam Alligood & Tomey, 2006).
Pengertian promosi kesehatan adalah suatu cara untuk menggambarkan
interaksi manusia dengan lingkungan fisik dan interpersonalnya dalam

28



berbagai dimensi. Model ini mengintegrasikan teori nilai harapan
(Ekpectancy-value) dan teori kognitif (sosial Cognitif Theory) dalam
perspektif keperawatan manusia dilihat sebagai fungsi yang holistik.
Pada tahun 1996 Pender melakukan revisi terhadap konsep promosi
kesehatan modelnya setelah dilakukan analisis dan studi riset terhadap HPM.
Dalam revisinya Pender menambahkan tiga variabel baru yang
mempengaruhi individu untuk berpartisipasi dalam perilaku peningkatan
kesehatan, yaitu sikap yang berhubungan dengan aktivitas, komitmen
terhadap perencanaan kegiatan, serta kebutuhan untuk berkompetisi dan
memilih. Health Promotion Model (HPM) yang telah direvisi berfokus pada
10 kategori faktor yang menentukan terhadap tingkah laku peningkatan
kesehatan. Model ini mengidentifikasi konsep yang relevan terhadap tingkah
laku peningkatan kesehatan (Benner & Wrubel, 1982 dalam Alligood &
Tomey, 2006). Adapun konsep utamanya terdiri: prilaku sebelumnya, faktor
personal, persepsi terhadap manfaat tindakan, hambatan yang dirasakan,
kemampuan diri, afek sikap yang berhubungan dengan aktivitas, pengaruh
individu, pengaruh situasi, komimen dengan rencana tindakan, kebutuhan
untuk berkompetisi serta perilaku peningkatan kesehatan.
Asumsi dasar dari Pender’s Health Promotion model itu sendiri
merefleksikan pola pikir tentang ilmu perilaku serta menekankan pada peran
aktif pasien dalam mengelola perilaku sehat dengan modifikasi lingkungan.
Adapun asumsi dari Health Promotion Model (HPM) menurut pender adalah
sebagai berikut :

29



1. Individu mencari cara untuk mengekspresikan potensi kesehatan mereka
yang berbeda satu sama lain dalam menjalani kehidupan.
2. Individu memiliki kemampuan untuk merefleksikan kesadaran diri
termasuk mengkaji kompetensi diri sendiri.
3. Prinsip individu berkembang kearah positif dan selalu berusaha untuk
mencapai keseimbangan antara perubahan dan kemampuan peribadi.
4. Individu berupaya secara aktif untuk melakukan kebiasaan secara
kontinue
5. Individu dalam konteks biopsikososial berhubungan erat dengan
lingkungan, saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.
6. Profesi kesehatan terlibat dalam lingkungan interpersonal dengan
memberikan oengaruh pada individu dalam daur kehidupan
7. Inisiatif pribadi membentuk pola interaksi antara individu dengan
lingkungan adalah penting untuk perubahan perilaku.
Manusia menurut Pender menyatakan bahwa manusia mempunyai faktor-
faktor personal, diantaranya adalah faktor biologis personal, yang termasuk
dalam faktor ini antara lain usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh, status
pubertas. Faktor psikososial personal, yang termasuk dalam faktor ini antara
lain harga diri, memotivasi diri, kompetensi diri, persepsi terhadap status
kesehatan dan definisi individu terhadap kesehatan dan juga terdiri dari faktor
sosiokultural yaitu ras, etnik, pendidikan dan status sosial ekonomi.
Lingkungan pengaruh situasional merupakan persepsi dan kognisi yang
muncul dalam berbagai situasi atau konteks yang dapat memfasilitasi atau

30



menghambat perilaku promosi kesehatan pada individu. Yang termasuk
didalamnya adalah pilihan persepsi, karakteristik kebutuhan, dan gambaran
estetika yang memungkinkan perilaku promosi kesehatan dapat dilakukan.
Pengaruh situasional ini memiliki pengaruh langsung maupun tak langsung
dalam perilaku kesehatan.
Konsep Health Promotion Model (HPM) dapat dipakai sebagai dasar
pertimbangan dalam pencegahan terhadap terjadinya penyakit diare pada
anak. Diperlukan komitmen bersama dari semua komponen yang ada baik
dari masyarakat terutama adalah orang tua yang mempunyai anak balita
maupun dari tenaga kesehatan termasuk juga perawat. Pentingnya peran
perawat dalam upaya pencegahan terhadap berbagai penyakit infeksi seperti
diare, dengan memutuskan rantai penularan infeksi. Faktor orang tua sangat
menentukan untuk terjadinya diare baik itu dari segi umur, pendidikan,
pengetahuan serta kegiatan orang tua khususnya ibu dalam memberikan
makan pada anak dengan menerapkan kebersihan yaitu dengan cara mencuci
tangan sebelum memberi makan pada anak dan aktivitas lainnya. Faktor
lingkungan juga mempunyai pengaruh besar terhadap penularan penyakit
diare, lingkungan yang tidak sehat merupakan sarana tempat berkembang
biaknya agen-agen penyebab diare seperti air sumber air bersih yang tidak
memadai, sarana tempat pembuangan tinja dan jamban yang tidak layak.
Selain itu faktor ekonomi pun mempengaruhi karena pada faktor ekonomi ini
status gizi anak akan terlihat baik atau tidaknya, anak yang kurang

31



mendapatkan asupan gizi yang cukup dapat membuat anak terserang penyakit
infeksi.

32



G. Kerangka Teori















Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Tomey & Alligood (2006) : Mubarak (2009)
Faktor Penyebab
 Infeksi
 Malabsorbsi
 Makanan basi,
beracun & alergi
Faktor Ibu
 Usia
 Pendidikan
 Pengetahuan
 Kebiasaan
mencuci tangan
sebelum
memberikan
makan anak
Faktor Sosial
Ekonomi
 Penghasilan
keluarga
Peran Perawat :
Primer, sekunder,
tersier
Hambatan
yang dirasakan
Diare Pada
Anak
Pengaruh
Interpersonal
Keluarga
(orang tua)
Pelayanan
Kesehatan
Pengaruh
situasional :
Persepsi
terhadap
pilihan yang
ada,
karakteristik
kebutuhan,
ciri-ciri
estetik
lingkungan
Pencegahan dan
perawatan diare
Manfaat
tindakan
Sikap
Ya
Tidak
Diare
terulang
Komitment
terhadap
rencana
tindakan