i
EXECUTIVE SUMMARY
Kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa
Sejak diberlakukannya Undang‐undang Nomor 32 tahun 2004, titik berat
otonomi daerah berada pada level pemerintah kabupaten/kota sehingga sumber
daya (keuangan, manusia, dll) lebih terkonsentrasi pada pemerintah kabupaten/kota.
Hal ini menyebabkan pembinaan pemerintahan kabupaten/kota terhadap desa
menjadi tidak optimal. Pengaturan yang demikian juga akan dapat menghilangkan
otonomi adat yang dalam kapasitas
tertentu dapat mengarahkan pemerintahan desa
menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas melayani pemerintah
kabupaten/kota.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terpenting adalah
bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,
mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, dan mampu meningkatkan
daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin terwujud apabila urusan yang
menjadi
kewenangan desa dapat terlaksana dengan baik. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai permasalahan yang langsung
maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan urusan‐urusan pemerintahan
tersebut.
Kapasitas yang masih rendah merupakan bagian dari permasalahan yang
ditunjukkan di lapangan. Diantaranya masih belum optimalnya aspek kelembagaan,
sumberdaya manusia, maupun manajemen pemerintahan desa. Pada
tahun 2008
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, telah melaksanakan Kajian Peningkatan
Kapasitas Pemerintahan Desa, kajian ini telah menghasilkan cetak biru (blueprint)
yang memuat strategi‐strategi penyelesaian masalah (problem solving)
penyelenggaraan pemerintahan desa dan menyusun modul‐modul peningkatan
kapasitas pemerintahan desa. Lebih lanjut modul‐modul tersebut merupakan hasil
identifikasi aspek
kapasitas yang perlu ditingkatkan yaitu Perencanaan &
Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan
Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa.
Sebagai tindak lanjut dari kajian tentang pemerintahan desa, maka Lembaga
Administrasi Negara c.q. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, pada tahun 2009 telah
melaksanakan kegiatan kajian tentang Peningkatan Kapasitas Aparatur
Desa, dimana
tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan strategi peningkatan kapasitas
aparatur desa dan menyempurnakan modul peningkatan yang telah disusun pada
kajian tahun 2008. Jenis kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah
pengembangan (development) dengan metode kualitatif. Tehnik pengumpulan data
yang dilakukan adalah workshop dengan para kepala desa dan
wawancara dengan
ii
narasumber di daerah kajian. Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah
provinsi, dimana dari masing‐masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten sebagai
lokus kegiatan ini yaitu Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan analisis data lapangan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai
berikut :
1. Perencanaan dan Penganggaran Desa. Belum semua desa menyusun dokumen‐
dokumen perencanaan, hanya beberapa desa yang telah menyusun RKP Desa
(tahunan), akan tetapi tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan). Hal ini ‘aneh’
karena dokumen RKP Desa seharusnya mengacu kepada dokumen RPJM Desa.
Selain itu pelaksanaan Musrenbang Desa
di beberapa daerah kajian tidak
berlangsung secara optimal. Adanya keterbatasan anggaran juga berpengaruh
besar pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa).
2. Keuangan Desa. Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat
dikatakan belum dapat terselenggara dengan baik . Dalam pelaksanaan
perencanaan keuangan daerah, banyak desa belum menerapkan anggaran
APBD
Desa serta belum dapat menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya
dengan baik. Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa,
administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik. Dalam
manajemen kekayaan desa, banyak dijumpai barang‐barang kekayaan desa yang
belum terpelihara dengan
baik serta masih adanya persoalan dalam pembagian
kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa. Pengelolaan potensi desa
untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan juga masih belum optimal.
Badan Usaha Milik Desa yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli
desa cenderung belum terkelola dengan baik. Akhirnya, dari sisi penerimaan
keuangan desa masih sangat
bergantung dari transfer pemerintah yang ada di
atasnya.
3. Kebijakan Desa. Berdasarkan temuan lapangan kapasitas aparatur desa dalam
penyusunan kebijaksanaan desa masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah
kebijakan desa yang disusun masih minim. Penyusunan kebijakan desa belum
mencerminkan tahapan dari proses penyusunan peraturan desa. Sosialisasi,
pelatihan dan simulasi
tentang penyusunan kebijakan desa yang diselenggarakan
oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten masih
sangat terbatas, karena keterbatasan sumber‐sumber daya yang dimiliki oleh
institusi tersebut.
4. Kepemimpinan Kepala Desa. Pembuatan keputusan oleh kepala desa belum
berdasar pada azas manajemen modern.
Pemilihan kepala desa oleh masyarakat
di beberapa daerah lebih didasari oleh faktor tradisional atau pertalian
kekeluargaan. Kondisi sosial, ekonomi dan kultur termasuk tingkat pendidikan
iii
yang rendah dari masyararakat juga mempengaruhi pelaksanaan program‐
program pembangunan.
5. Manajemen Pelayanan Desa. Dalam hal pelayanan desa diperlukan political will
dari pemerintah daerah setempat, political will terkait dengan penyerahan
urusan sesuai dengan kebutuhan desa. Sementara itu, sebagai unit pelayanan
publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen‐
administratif (kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia aparatur desa yang
berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparatur desa). Sebagai unit
representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian
dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di wilayahnya.
Kurangnya sarana dan prasarana perkantoran menjadi penghambat dalam
menunjang pelaksanaan pelayanan administrasi di desa, disamping masih
minimnya pengetahuan masyarakat dalam
mengurus kelengkapan administratif
sesuai ketentuan yang ada. Yang tak kalah penting berpengaruh terhadap
aksesibilitas dan kualitas pelayanan adalah medan (geografis) yang sulit
dijangkau dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional terhadap
informasi dan pelayanan yang disiapkan pemerintah.
Dari uraian tersebut di atas dan uraian pada bab‐bab dalam laporan ini, kiranya
dapat direkomendasikan hal‐hal sebagai berikut :
1. Perencanaan dan Penganggaran, perlunya upaya peningkatan
kemampuan/kompetensi aparatur desa dalam hal: (a) metode perencanaan
partisipatif, (b) analisis masalah dan potensi desa, (c) metode pemilihan skala
prioritas kegiatan, (d) penyusunan anggaran dan belanja desa, dan (e)
berkomunikasi/berdiskusi/presentasi. Upaya yang dapat ditempuh: pelatihan
(bimbingan
teknis, pembekalan, penataran, dll) dan non‐pelatihan (studi banding,
magang, dst).
2. Keuangan Desa, pada level sistem strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa dengan kewenangan desa dan
memperbaiki metode pengalokasian dana desa dan perbaikan sumber daya
aparatur desa melalui perbaikan rekuitmen dan manajemen aparatur desa.
Pada
level organisasi adalah Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui
penguatan BUMDes sebagai sumber penerimaan dan pengembangan ekonomi
masyarakat desa dan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan
kerjasama antar desa dalam bidang ekonomi dan berbagai pelayanan publik,
peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan mekanisme
akuntabilitas desa. Pada level individu
, strategi yang dapat dikembangkan
adalah, peningkatan melalui bimbingan teknis manajemen keuangan desa yang
mencakup penyusunan APBDesa, Pengelolaan ADD, Pengelolaan Kekayaan Desa,
Pengelolan BUMDes. Selain itu perlunya sosialisasi peraturan kebijakan keuangan
desa melalui pendampingan maupun fasilitasi, misalnya dalam pendirian
BUMDes, dan sebagainya.
iv
3. Kebijakan Desa, strategi utama peningkatan kapasitas dalam kelembagaan
meliputi : aspek keuangan, dan aspek sumberdaya manusia aparatur perangkat
desa, aspek sumberdaya aparatur BPMPD yakni tersedianya pejabat fungsional
widyaiswara yang mampu untuk mengampu materi Kebijakan Desa. Strategi lain
adalah perumusan wewenang yang jelas antara antar lembaga dalam kebijakan
desa. Terprogramnya
kegiatan pelatihan dan sosialisasi berkesinambungan
tentang Penyusunan Kebijakan Desa yang dilaksanakan oleh Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten serta tersusunnya
modul‐modul yang berkaitan dengan Perumusan Kebijakan.
4. Kepemimpinan Kepala Desa, strategi yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan
dalam penguasaan seni dan teori kepemimpinan, selain itu kemampuan dalam
menyusunan peraturan
desa; kemampuan dalam pengambilan keputusan
Kemampuan dalam negosiasi; dan Kemampuan dalam manajemen konflik.
5. Manajemen Pelayanan Desa, sebagai strategi untuk meningkatkan kapasitas
aparatur desa dalam bidang pelayanan kepada masyarakat diantaranya adalah
perlu adanya peningkatan kemampuan aparat desa dalam merumuskan program‐
program pelayanan. Selain itu peningkatan kemampuan dalam mengelola
pelayanan termasuk
pengetahuan teknis administratif (format‐format pelayanan
administrasi dsb) dan kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan
undang‐undang yang mendukung aparatur desa dalam memberikan pelayanan,
selain kemampuan teknis penunjang(mengoperasikan komputer dll).
Kemampuan mengambil keputusan, Kemampuan dalam melakukan kerjasama
(LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait
juga perlu ditingkatkan.