RENCANA AKSI NASIONAL
PANGAN DAN GIZI
2006 - 2010
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


ISBN 978-979-3764-27-6

KATA PENGANTAR


Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi
berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah
ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi,
serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium
menambah besar permasalahan gizi di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi
merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan dan langkah-langkah penanggulangannya juga harus
dirumuskan dan dilaksanakan bersama.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025 menegaskan bahwa “Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan
kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya”. Penyusunan Rencana Aksi
Pangan dan Gizi ini, yang disusun ke dalam empat pilar pembangunan pangan dan gizi yaitu :
akses terhadap pangan yang didukung oleh ketersediaan dan daya beli; keamanan pangan; status
gizi; dan pola hidup sehat, sebagai penjabaran pembangunan pangan dan gizi secara
komprehensif.
Rencana Aksi ini disusun sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan
pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, baik bagi institusi dan aparatur pemerintah, masyarakat dan pelaku lain yang bergerak dalam perbaikan pangan dan gizi di Indonesia. Sebagai tindak lanjut, dokumen ini perlu diterjemahkan ke dalam rencana aksi pangan
dan gizi di setiap wilayah. Agar langkah-langkah yang telah dirumuskan ini tidak menjadi sebuah dokumen saja, maka rumusan rencana aksi pangan dan gizi perlu diterjemahkan ke dalam langkah-langkah nyata dalam pembangunan pangan dan gizi di setiap propinsi dan kabupaten/kota.
Selanjutnya perlu dilakukan koordinasi, monitoring dan evaluasi secara periodik agar pelaksanaan
rencana aksi dapat betul-betul diterapkan dan mencapai tujuan serta dapat membawa kemajuan-
kemajuan yang dicapai.
Untuk itu, marilah kita manfaatkan Rencana Aksi Pangan dan Gizi 2006-2010 ini untuk
bersama-sama mengatasi masalah gizi di Indonesia agar kita dapat membangun generasi yang sehat, cerdas, dan mandiri.
Akhir kata ucapan terima kasih disampaikan kepada wakil-wakil dari Departemen
Kesehatan, Departemen Pertanian, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pendidikan Nasional, pakar dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia dan Universitas Hasanudin,
asosiasi profesi Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan Persatuan Gizi dan Pangan Indonesia
serta berbagai lembaga swadaya masyarakat yang telah memberikan pemikiran dan kerja kerasnya
dalam penyusunan dokumen ini.

Jakarta, Juni 2007
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

H. Paskah Suzeta
i

DAFTAR SINGKATAN

AGB = Anemia Gizi Besi
ASI = Air Susu Ibu
BBLR = Bayi Berat Lahir Rendah
BLT = Bantuan Langsung Tunai
CPMB = Cara Produksi Makanan Yang Baik
CDPB = Cara Distribusi Pangan Yang Baik
EYU = Eksresi Yodium Urine
FDA = Food Drug Administration
GAKY = Gangguan Akibat Kurang Yodium
GKP = Gabah Kering Panen
HDPP = Harga Dasar Pembelian Pemerintah
HDR = Human Development Report
HPP = Harga Pembelian Pemerintah
IMT = Indeks Massa Tubuh
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IFPRI = International Food Policy Research Institute
ISPA = Infeksi Saluran Pernapasan Atas
KEK = Kurang Energi Kronik
KLB = Kejadian Luar Biasa
KMS = Kartu Menuju Sehat
KUB = Kelompok Usaha Bersama
KVA = Kurang Vitamin A
LILA = Lingkar Lengan Atas
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs = Millenium Development Goals
MP-ASI = Makanan Pendamping Air Susu Ibu
PAUD = Pendidikan Anak Usia Dini
PDB = Produk Domestik Bruto
PPH = Pola Pangan Harapan
RANPG = Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJMD = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
SDM = Sumberdaya Manusia
SDKI = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak
SKPG = Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SUVITAL = Sumber Vitamin A Alami
Susenas = Survei Sosial Ekonomi Nasional
TBC = Tuberculosis
TGR = Total Goiter Rate
UPGK = Upaya Perbaikan Gizi Keluarga
WUS = Wanita Usia Subur
WNPG = Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
ii

DAFTAR ISTILAH

Anemia Rendahnya kadar hemoglobin dalam darah, 50 persen
kejadian anemia disebabkan kekurangan zat besi
BBLR Bayi Lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram
Diversifikasi Pangan Penganekaragaman Pangan atau Diversifikasi Pangan adalah
upaya peningkatan konsumsi anekaragam pangan dengan
prinsip gizi seimbang.
Gizi Kurang Gangguan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi
yang diperlukan untuk pertumbuhan. Indikator yang digunakan
untuk mengukur gizi kurang pada anak adalah berdasarkan
tinggi barat menurut umur (TB/U), berat badan menurut umur
(BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), untuk
dewasa berdasarkan IMT.
Gizi Lebih Kelebihan berat badan dibandingkan tinggi badan, untuk
dewasa diukur berdasarkan IMT. Pada anak diukur
berdasarkan berat badan per tinggi badan dengan
menggunakan referensi internasional z-score.
IMT Indeks Massa Tubuh, yaitu berat badan dalam kilogram dibagi
dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m
2
)
Keamanan Pangan Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia.
Ketahanan Pangan Kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Konsumsi Energi Besarnya energi dari pangan yang dikonsumsi penduduk yang
dinyatakan dalam satuan kilo kalori (Kkal)
Konsumsi Pangan jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang dalam satuan gram per kapita per hari.
Konsumsi Protein Jumlah protein dari pangan, baik hewani maupun nabati, yang
dikonsumsi , dinyatakan dalam satuan gram per kapita per hari.
Kurang Gizi Meliputi kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi
makro dulu disebut kurang kalori protein (KKP atau KEP). Sekarang KKP tidak dipakai lagi diganti dengan gizi kurang (z score BB/U <- 2 SD) dan gizi buruk (z score BB/U <-3 SD) jadi
gizi kurang pasangan dari gizi buruk, tidak lagi disebut KKP
atau KEP karena tidak semata-mata karena kurang kalori dan
protein tetapi juga kekurang zat gizi mikro.
iii

Gizi Seimbang Anjuran susunan makanan yang sesuai kebutuhan gizi
seseorang/kelompok orang untuk hidup sehat, cerdas dan
produktif, berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang.
Angka Kecukupan Gizi Sejumlah zat gizi/energi yang diperlukan oleh seseorang
dalam suatu populasi untuk hidup sehat.
Pangan Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari
atau pembuatan makanan dan minuman.
Pangan Pokok Pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau
penutup.
Pola Konsumsi Pangan Susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi/dimakan seseorang
atau kelompok orang penduduk dalam frekuensi dan jangka
waktu tertentu.
Pola Pangan Harapan Susunan jumlah pangan menurut 9 kelompok pangan yang
didasarkan pada kontribusi energi yang memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragaman dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama
dan cita rasa.
Stunting Kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur
berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur)
Wasting Kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur
berdasarkan BB/U (berat badan menurut umur)
Xerophthalmia Gangguan kekurangan vitamin A pada mata yang mengakibatkan kelainan anatomi bola mata dan gangguan
fungsi retina yang berakibat kebutaan
iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR SINGKATAN ii
DAFTAR ISTILAH iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii

I. PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. TUJUAN PENYUSUNAN 2
C. RUANG LINGKUP 3
D. PROSES PENYUSUNAN 4
E. PENGGUNA 4

II. PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INVESTASI PEMBANGUNAN 5
A. PANGAN DAN GIZI SEBAGAI PENENTU KUALITAS SUMBER
SUMBER DAYA MANUSIA 6
C. PENYEBAB MASALAH PANGAN DAN GIZI 9
D. KERANGKA PIKIR KETAHANAN PANGAN DAN GIZI 13
E. REVIEW STRATEGI PERBAIKAN G IZI JANGKA PENDEK DAN JANGKA PAN JANG 15

III. ANALISA SITUASI PANGAN DAN GIZI 17
A. STATUS GIZI MASYARAKAT 17
B. KONSUMSI PANGAN 21
C. AKSES RUMAH TANGGA TERHADAP PANGAN 26
D. KEAMANAN PANGAN 34
E. POLA HIDUP SEHAT DAN AKTIFITAS FISIK 43

IV. RENCANA AKSI 51
A. ISU STRATEGIS 51
B. TUJUAN 54
C. SASARAN 54
D. KEBIJAKAN 56
E. STRATEGI 58

V. MATRIK RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI 61

DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN 78
v

DAFTAR TABEL


1. Biaya per Unit dan Manfaat Ekonomi berbagai Program Gizi 8
2. Prevalensi Pendek/Stunting anak balita < -2SD 18
3. Total Goitre Rate (TGR) pada Survei 1996/1998 dan 2003 19
4. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat 22
5. Konsumsi Pangan Sumber Protein 22
6. Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan Vitamin/Mineral 23
7. Pola Konsumsi Pangan Pokok Menurut Wilayah dan Kelompok Pengeluaran 24
8. Perkembangan Konsumsi Energi Dan Protein Menurut Wilayah 25
9. Perkembangan Kualitas Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH 26
10. Perbandingan Konsumsi Pangan Anjuran Dan Aktual Tahun 1999-2005 26
11. Persebaran Produksi Pangan Pokok Menurut Wilayah Pulau 27
12. Perkembangan Produksi Palawija Per Kapita 27
13. Perkembangan Produksi Daging 28
14. Perkembangan Produksi Telur 28
15. Jumlah Penduduk Rawan Pangan Menurut Propinsi 30
16. Volume Beras dan Jumlah Keluarga Sasaran Program Raskin 33
17. Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Menengah ke Atas 35
18. Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Pangan Rumah Tangga 36
19. Pengeluaran Nomor Pendaftaran Produk Pangan Skala Besar Dan Menengah 37
20. Hasil pengujian produk pangan beredar 37
21. Persentase Pelanggaran Produk Pangan 38
22. Persentase hasil pengawasan makanan jajanan anak sekolah 38
23. Jumlah Pelanggaran pada Berbagai Kriteria Tidak Memenuhi Syarat 39
24. Data Temuan Bahan Berbahaya dalam Produk Pangan 39
25. Temuan Formalin dalam Produk Pangan 40
26. Hasil Pemantauan Produk Mi Basah, Tahu dan Ikan di Enam Propinsi 40
27. Jumlah Kasus Keracunan Tahun 2001 – 2005 42
28. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Merokok
Dalam Satu Bulan Terakhir Per Propinsi Menurut Wilayah Tahun 2004 50
vi

DAFTAR GAMBAR


1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi Anak Balita 10
2. Keterkaitan Kemiskinan dan Status Gizi 12
3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi 14
4. Prevalensi anemia pada anak balita (SKRT 2001) 19
5. Proporsi WUS resiko KEK (LILA <23.5 cm) 20
6. Jumlah kasus penolakan impor pangan Indonesia oleh FDA 41
7. Prevalensi Penderita Penyakit Degeneratif Tahun 2001 dan 2004 43
8. Prevalensi Gizi Lebih Pada Perempuan Dewasa (perdesaan, NSS-HKI 1999-2001) 45
9. Tingkat aktivitas penduduk usia diatas 15 tahun (2004) 48
10. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Merokok Dalam Satu
Bulan Terakhir (Untuk 2005: 15 Tahun Ke Atas) 49

















vii

RANPG 2006-2010
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersed iaan
sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris
menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi
yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang
dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi.
Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial-
ekonomi, budaya dan politik (Unicef, 1990). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus
terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional.
Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100
juta jiwa mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih.
Masalah gizi kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa dan seringkali
tidak cepat ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar. Selain gizi
kurang, secara bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan
kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain saat ini
Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda. Secara perlahan kekurangan gizi
akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya
umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya
partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan pentingnya
penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM
pada seluruh kelompok umur sesuai siklus kehidupan (Januari, 2000)
1
. Investasi di
sektor sosial menjadi sangat penting dalam peningkatan SDM karena akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi negara. Investasi gizi juga berperan penting untuk
memutuskan lingkaran setan kemiskinan dan kurang gizi sebagai upaya peningkatan
SDM. Beberapa dampak buruk kurang gizi adalah: (i) rendahnya produktivitas kerja; (ii)
kehilangan kesempatan sekolah; dan (iii) kehilangan sumberdaya karena biaya
kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006). Untuk menjaga agar in dividu tidak
kekurangan gizi maka akses setiap individu terhadap pangan harus dijamin. Akses
pangan setiap individu ini sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan
kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinyu (spasial dan waktu). Kemampuan
mengakses pangan ini dipengaruhi oleh daya beli, yang berkaitan dengan tingkat
pendapatan dan kemiskinan seseorang.
Dalam sistem ketatanegaraan kita, upaya peningkatan SDM diatur dalam UUD
1945 pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap individu berhak hidup
1
Nutrition throughout life cycle. 4
th
report on The World Nutrition Situation, January 2000.

RANPG 2006-2010
2
sejahtera, dan pelayanan kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia. Dengan
demikian pemenuhan pangan dan gizi untuk kesehatan warga negara merupakan
investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sementara itu, pengaturan
tentang pangan tertuang dalam Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan,
yang menyatakan juga bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar man usia yang
pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat. Pemenuhan hak
atas pangan dicerminkan pada definisi ketahanan pangan yaitu : “kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Kecukupan pangan yang baik
mendukung tercapainya status gizi yang baik sehingga akan memperlancar penerapan
Program Wajib Belajar 9 Tahun sesuai dengan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian akan dapat dihasilkan generasi muda
yang berkualitas.
Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kes empatan
pendidikan tersebut akan mendukung komitmen pencapaian
Millennium Development
Goals
(MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi kemiskinan dan
kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka
kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015. Komitmen global
lain sebagai landasan pembangunan pangan dan gizi adalah:
The Global Strategy for
Health for All 1981, The World Summit for Children 1990, The Forty-eight World Health
Assembly 1995, World Food Summit 1996
dan Health for All in the Twenty-first Century
1998.

Pada tingkat nasional, pembangunan pangan, kesehatan, dan pend idikan juga
ditempatkan sebagai prioritas utama dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004 -2009, yang dijabarkan dalam rencana strategis Departemen Pertanian,
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Untuk menjabarkan
kebijakan dan langkah terpadu di bidang pangan dan gizi serta dalam rangka
mendukung pembangunan SDM berkualitas, perlu disusun Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2006-2010
(RANPG 2006-2010) sebagai kelanjutan dari Rencana Aksi
Pangan dan Gizi Nasional (RAPGN) 2001-2005.

B. TUJUAN PENYUSUNAN
Tujuan Umum. Memberikan panduan dan arahan dalam pelaksanaan
pembangunan pangan dan gizi bagi institusi pemerintah, masyarakat dan pelaku lain
yang bergerak dalam perbaikan pangan dan gizi di Indonesia, baik pada tataran
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.

RANPG 2006-2010
3
Tujuan Khusus:
1. Meningkatkan pemahaman pentingnya peran pembangunan pangan d an gizi
sebagai investasi untuk mewujudkan SDM Indonesia berkualitas.
2. Meningkatkan kemampuan menganalisis perkembangan situasi pangan dan gizi di
setiap wilayah agar: (i) mampu menetapkan prioritas penanganan masalah pangan
dan gizi; (ii) mampu memilih intervensi yang tepat dan
cost effective sesuai
kebutuhan lokal; (iii) mampu membangun dan memfungsikan lembaga pangan dan
gizi; dan (iv) mampu memantau dan mengevaluasi pembangunan pangan dan gizi.
3. Meningkatkan koordinasi penanganan masalah pangan dan gizi secara terpadu.

C. RUANG LINGKUP
Rencana Aksi ini meliputi strategi dan langkah konkrit yang akan dilakukan
dalam perbaikan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan
meningkatkan status gizi masyarakat, yang tercermin pada tercukupinya kebutuhan
pangan baik jumlah, keamanan, dan kualitas gizi yang seimbang di tingkat rumah
tangga. Rencana aksi ini mengacu pada RPJM 2004-2009, komitmen pencapaian
MDGs, serta dokumen-dokumen kebijakan pembangunan nasional lain di bidang
pangan dan gizi
2.

Dokumen rencana aksi ini diawali dengan uraian mengenai peran pangan dan
gizi sebagai investasi pembangunan yang disajikan pada Bab II. Pada Bab III
dijabarkan analisis situasi pangan dan gizi lima tahun lalu sebagai cerminan hasil
pelaksanaan RANPG 2001-2005 dan sasaran yang belum sepenuhnya tercapai yang
masih relevan untuk dilanjutkan dalam RANPG 2006-2010. Dalam bab ini disajikan pula
langkah-langkah untuk mengatasi tantangan baru sesuai dinamika yang terjadi pada
tingkat nasional dan global, khususnya yang terkait dengan empat pilar pembangunan
pangan dan gizi yaitu: akses terhadap pangan, keamanan pangan, status gizi, dan pola
hidup sehat. Kemudian pada Bab IV diuraikan isu strategis pembangunan pangan dan
gizi dan tujuan yang akan dicapai melalui RANPG 2006-2010. Selain itu, pada bab ini
dijabarkan pula kebijakan, sasaran dan strategi penguatan ketahanan pangan dan
perbaikan gizi periode 2006-2010, yang diuraikan lebih lanjut pada Bab V dalam bentuk
matriks rencana aksi yang mencakup kebijakan, strategi, kegiatan pokok, indikator,
program dan instansi penanggung jawab. Dengan demikian, setiap kegiatan akan dapat
dijabarkan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota serta pengguna lainnya sesuai
dengan kondisi di wilayah masing-masing. Indikator yang terdapat dalam RANPG ini
akan menjadi dasar bagi pemantauan dan evaluasi program serta perkembangan status
pangan dan gizi baik pada tingkat rumah tangga, wilayah kabupaten/kota, provinsi,
maupun nasional.

RANPG 2006-2010
4

D. PROSES PENYUSUNAN
Penyusunan RANPG diawali dengan pertemuan lintas sektor yang menyepakati
empat pilar pembangunan pangan dan gizi hasil
WHO-FAO Inter-country Workshop for
Updating and Implementing Inter-sectoral Food and Nutrition Plans and Policies
di
Hyderabad, India tahun 2005 sebagai acuan. Selanjutnya, dibentuk Kelompok Kerja
yang secara paralel melakukan analisis dan diskusi untuk menyusun kebijakan, strategi
dan rencana aksi untuk masing-masing pilar. Proses penyusunan melibatkan konsultasi
dengan para pakar, pelaku usaha dan pemangku kepentingan lain dari perguruan tinggi,
LSM dan organisasi profesi. Jabaran rencana aksi atas empat kon sep pilar
pembangunan pangan dan gizi tersebut kemudian dituangkan secara terpadu dalam
RANPG 2006-2010.

E. PENGGUNA
RANPG ini merupakan dokumen operasional yang secara terpadu menyatukan
pembangunan pangan dan gizi dalam rangka mewujudkan SDM berkual itas sebagai
modal sosial pembangunan bangsa dan negara. Dokumen RANPG disus un sebagai
acuan pelaksanaan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi bagi semua pihak,
termasuk pemerintah dan masyarakat, yang memiliki tanggung jawab melakukan upaya
perbaikan pangan, gizi dan kesehatan.

RANPG 2006-2010
5
BAB II. PANGAN DAN GIZI
SEBAGAI INVESTASI PEMBANGUNAN


A. PANGAN DAN GIZI SEBAGAI PENENTU KUALITAS SUMBER DAYA
MANUSIA

Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap
warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung
pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya
manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran
kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat.
IPM merupakan ukuran agregat yang dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, pendidikan dan
kesehatan. Kualitas SDM Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan negara lain.
Hal ini ditunjukkan oleh posisi IPM Indonesia yang berada pada urutan ke-108 dari 177
negara. Posisi IPM negara ASEAN lainnya lebih baik dibanding Indonesia, seperti
Malaysia pada urutan ke-56, Filipina 77, Thailand 67, Singapura 22, dan Brunai 25.
Persentase penduduk miskin juga menjadi faktor penting penentu IPM. Pada tahun 2006
tingkat kemiskinan di Indonesia masih mencapai 17,8 persen yang berarti sekitar 40 juta
jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.
Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangg a untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10 persen
penduduk di setiap provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi Sumatera
Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat
gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan
wanita hamil. Implikasi dari masalah gizi pada kedua kelompok tersebut sangat luas,
antara lain:
a. Tingginya prevalensi Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) akibat tingginya prevalensi
Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka
kematian bayi dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta
penurunan kecerdasan. Anak bergizi buruk (pendek/
stunted) mempunyai resiko
kehilangan IQ 10-15 poin. Gangguan kurang yodium pada saat janin atau gagal
dalam pertumbuhan anak sampai usia dua tahun dapat berdampak bu ruk pada
kecerdasan secara permanen.
b. Kurang zat besi (anemia gizi besi) pada ibu hamil dapat meningkatkan resiko
kematian waktu melahirkan, meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan kurang zat
besi, dan berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel otak anak, sehingga secara

RANPG 2006-2010
6
konsisten dapat mengurangi kecerdasan anak. Pada orang dewasa d apat
menurunkan produktivitas sebesar 20-30 persen.
c. Kurang vitamin A pada anak balita dapat menurunkan daya taha n tubuh,
meningkatkan resiko kebutaan, dan meningkatkan resiko kematian akibat infeksi.
d. Meluasnya kekurangan gizi pada anak balita dan wanita hamil akan meningkatkan
pengeluaran rumah tangga maupun pemerintah untuk biaya kesehatan karena
banyak warga yang mudah jatuh sakit akibat kurang gizi. Di samping itu, hal ini juga
menyebabkan menurunnya produktivitas.
Dari uraian di atas tampak bahwa ketidakmampuan memenuhi kebut uhan
pangan dalam rumah tangga terutama pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat
pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak
berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan sulit meningkatkan IPM. Apabila
masalah ini tidak diatasi maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi
“kehilangan generasi” yang dapat mengganggu kelangsungan kepentingan bangsa dan
negara.
B. INVESTASI PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA
MANUSIA
Kecukupan pangan dalam jumlah dan mutu yang baik di tingkat rumah tangga
merupakan mandat untuk mewujudkan ketahanan pangan sesuai Undang-undang No.7
Tahun 1996. Pemerintah selalu menempatkan ketahanan pangan dala m program
pembangunan. Berbagai program pemerintah untuk meningkatkan pro duksi dan
ketersediaan pangan secara kontinyu melalui penghimpunan stok yang mencukupi
masih terus dilakukan. Investasi besar pada pembangunan dan pemeliharaan jaringan
irigasi, jalan produksi, serta peningkatan produksi pupuk dilakukan untuk mendukung
produksi pangan dalam negeri. Efisiensi sistem distribusi pangan terus ditingkatkan agar
harga pangan terjangkau oleh masyarakat. Bantuan dan subsidi pangan juga diberikan
pada rumah tangga miskin yang tidak dapat menjangkau harga pangan yang terjadi di
pasar. Selain itu, pangan lokal juga terus dikembangkan mengingat beragamnya pola
pangan dan wilayah kepulauan yang dimiliki Indonesia untuk membantu daerah-daerah
rawan pangan dan daerah-daerah yang jauh dari jangkauan distribusi nasional. Hal
penting yang juga dilakukan adalah upaya peningkatan pendapatan masyarakat,
terutama petani dan masyarakat perdesaan yang tingkat kemiskinannnya tinggi
sehingga daya beli dan kemampuan mereka untuk mengakses pangan semakin
meningkat.
Selanjutnya sesuai Bank Dunia (2006), perbaikan gizi merupakan suatu investasi
yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan
intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki keuntungan ekonomi

RANPG 2006-2010
7
(economic returns) yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan
ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui
perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya
pengobatan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas perorangan diperkirakan
lebih dari 10 persen dari potensi pendapatan seumur hidup; dan secara agregat
menyebabkan kehilangan PDB antara 2-3 persen. Konferensi para e konom di
Copenhagen tahun 2005 (Konsensus Copenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi
menghasilkan keuntungan ekonomi tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari
17 alternatif investasi pembangunan lainnya. Konsensus ini menilai bahwa perbaikan
gizi, khususnya intervensi melalui program suplementasi dan fortifikasi zat gizi mikro
(memperbaiki kekurangan zat besi, vitamin A, yodium, dan seng) memiliki keuntungan
ekonomi yang sama tingginya dengan investasi di bidang liberalisasi perdagangan,
penanggulangan malaria dan HIV, serta air bersih dan sanitasi. Behman, Alderman dan
Hoddinot (2004) dalam Bank Dunia (2006) mengungkapkan bahwa Rasio Manfaat-Biaya
(
benefit-cost ratio/BC-Ratio) berbagai program gizi, khususnya program suplementasi
dan fortifikasi adalah sangat tinggi, berkisar antara 4 hingga 520 (Tabel 1 ).
Selama ini para ahli ekonomi berpendapat bahwa investasi ekonomi merupakan
prasyarat utama untuk memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Dari analisis hubungan
timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan, serta analisis ekonomi terhadap
keuntungan investasi gizi, diketahui bahwa perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus
menunggu tercapainya tingkat perbaikan ekonomi tertentu. Perkembangan iptek pada
dasawarsa terakhir memungkinkan perbaikan gizi dengan lebih cepat tanpa harus
menunggu perbaikan ekonomi. Studi yang dilakukan IFPRI di 15 negara menunjukkan
bahwa pertumbuhan pendapatan sebesar 5 persen per tahun saja tanpa didukung
perbaikan infrastruktur penunjang seperti akses air bersih dan program-program gizi
ternyata tidak mampu membawa negara-negara tersebut untuk mengurangi setengah
masalah gizi kurangnya pada tahun 2020.
Beberapa negara dengan PDB yang sama ternyata mempunyai angka
prevalensi gizi-kurang pada anak balita yang berbeda-beda. Zimbabwe yang memiliki
PDB lebih rendah dari Namibia ternyata memiliki status gizi anak balita yang lebih baik.
Demikian halnya dengan Cina, PDB per kapita negara ini relatif lebih rendah dibanding
negara-negara Asia lainnya namun memiliki prevalensi balita gizi kurang paling rendah.
Sampai 1970-an banyak ahli ekonomi dan ahli perencanaan pembang unan,
termasuk Bank Dunia, mengartikan investasi dalam arti sempit. Investasi pembangunan
ekonomi lebih diartikan sebagai penanaman modal untuk membangun industri barang
dan jasa dalam rangka menciptakan lapangan kerja. Titik berat investasi adalah untuk
membangun prasarana ekonomi seperti jalan, jembatan dan transportasi. Pada waktu
itu jarang sekali para perencana pembangunan memasukkan perbaikan gizi, kesehatan
dan pendidikan sebagai bagian suatu investasi ekonomi.

RANPG 2006-2010
8
Memasuki periode 1990-an keadaan ini mulai berubah. Pada 1992 Bank Dunia
menyatakan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu investasi pembangunan. Investasi
di bidang ini menjadi salah satu prioritas Bank Dunia dalam pemberian pinjaman kepada
negara berkembang. Keterkaitan upaya perbaikan gizi dengan pembangunan ekonomi
juga dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang menyatakan bahwa
gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental, melindungi kesehatannya, dan meletakkan fondasi untuk masa
depan produktivitas anak.

Perubahan kebijakan pinjaman Bank Dunia dan perhatian PBB terha dap
pembangunan perbaikan gizi dibuktikan dengan meningkatnya alokasi pinjaman Bank
Tabel 1. Biaya per Unit dan Manfaat Ekonomi berbagai Program Pangan dan Gizi
Biaya Per Unit Dan Lokasi
Jenis Intervensi
Biaya per Unit
(US$/target)
Negara &
Tahun Kajian
Manfaat
Ekonomi Per
1
US$ Investasi
(BC-Ratio)
Intervensi Pangan dan Gizi Di Masyarakat
1. Subsidi Pangan * - Indonesia, 2004 0,9
2. Program Intervensi Gizi Berbasis
Masyarakat Sebagai Bagian Dari
Pelayanan Kesehatan Dasar
8.01 Indonesia, 2004 2.6
3. Pendidikan Gizi 0.37 Indonesia, 2004 32.3
4. Promosi ASI di rumah sakit - - 5-67
5. Program Pelayanan Anak Terpadu - - 9-16
Intervensi Zat Gizi Mikro
6.Suntikan Iodium 0.49
0.14
0.21
Peru, 1978
Zaire, 1977
Indonesia, 1986
-
7. Iodinasi Air 0.04 Italia, 1986 -
8. Iodisasi Garam 0.04 India, 1987 28.0
9. Suplementasi Iodium pada Wanita - - 15-520
10. Suplementasi Vitamin A pada balita 0.46-0.68 - 4 -50.0
11. Fortifikasi Vitamin A Pada Gula 0.14 Guatemala, 1976 16.0
12. Suplementasi Tablet Besi Pada Ibu
Hamil
2.65-4.44
Tidak Disebut,
1980
24.7
13. Fortifikasi Besi Pada Garam 0.10 India, 1980
14. Fortifikasi Besi Pada Gula
0.10
0.80
Guatemala, 1980
Tidak Disebut,
1980
-
15. Fortifikasi zat besi - - 176-200
16. Fortifikasi Besi Pada Pangan Pokok
(Terigu)
- - 84.1
Pemberian Makanan Tambahan
17. PMT Pada Anak Balita 3.99 Indonesia, 2004 1.4
Sumber: Soekirman dkk (2003). Situational Analysis of Nutrition Problems in Indonesia: Its Policy, Programs and
Prospective Development. Direktorat Gizi dan Bank Dunia (Diolah dari berbagai sumber).
* Behrman, Alderman, and Hoddinott (2004) dalam Bank Dunia (2006)

RANPG 2006-2010
9
Dunia untuk proyek-proyek perbaikan gizi di negara berkembang yang meningkat 18 kali
lipat dari hanya US$ 50 juta pada 1980-an menjadi US$ 900 juta pada 1990-an. Sejalan
dengan itu, alokasi anggaran pembangunan untuk perbaikan gizi di Indonesia juga
meningkat secara signifikan dari Rp 61 Milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 179 Milyar
pada tahun 2005, atau meningkat hampir tiga kali lipat dalam jangka waktu lima tahun.
Meskipun peningkatan anggaran cukup tinggi namun jumlah tersebut dinilai masih
belum memadai, sehingga perlu dipilih intervensi pemerintah yang benar-benar “
cost-
effective
”. Bank Dunia (1996) merekomendasikan bentuk intervensi yang dianggap
cost-effective untuk berbagai situasi. Sementara Soekirman dkk (2003), berdasarkan
data dari berbagai sumber juga menyajikan informasi tentang unit
cost dan cost-
effectiveness
berbagai program gizi hasil studi di berbagai negara (Tabel 1).

C. PENYEBAB MASALAH PANGAN DAN GIZI
1. Kerangka Penyebab Masalah Pangan dan Gizi
Terdapat dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada anak balita, yaitu faktor
makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong. Sebagai contoh, anak
balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang
rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit
infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan
asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat pada gizi buruk.
Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi
kurang dan gizi buruk. Berbagai faktor penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya
gizi kurang digambarkan dalam kerangka pikir UNICEF (1990) (Gambar 1).
Faktor penyebab langsung pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat g izi seimbang.
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, yang pada tingkat makro
ditunjukkan oleh tingkat produksi nasional dan cadangan pangan yang mencukupi; dan
pada tingkat regional dan lokal ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan.
Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau
sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola
konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan.
Makanan lengkap bergizi seimbang bagi bayi sampai usia enam bulan adalah air
susu ibu (ASI), yang dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI)
bagi bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun. Data menunjukkan masih rendahnya persentase
ibu yang memberikan ASI, dan MP-ASI yang belum memenuhi gizi se imbang oleh
karena berbagai sebab. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang

RANPG 2006-2010
10






















Penyebab
Langsung
Penyebab
Tidak
Langsung
lah
berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare,
ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu
penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk.
Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua
faktor penyebab langsung gizi kurang itu memerlukan perhatian dalam kebijakan
ketahanan pangan dan program perbaikan gizi serta peningkatan kesehatan masyarakat.
Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor
penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam
rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan

RANPG 2006-2010
11
kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan
anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik
menyebabkan gizi kurang. Rendahnya kualitas konsumsi pangan dipengaruhi oleh
kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses pangan
karena masalah ketersediaan maupun tingkat pendapatan yang mempengaruhi daya
beli rumah tangga terhadap pangan. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan
keluarga berencana, serta kelembagaan sosial masyarakat untuk pemberdayaan
masyarakat khususnya perempuan.
Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya
tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi
kurang dan gizi buruk di masyarakat. Upaya mengatasi masalah ini bertumpu pada
pembangunan ekonomi, politik dan sosial yang harus dapat menuru nkan tingkat
kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi
serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan.
2. Kemiskinan dan Masalah Gizi
Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan
penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan
individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang
gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui
tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas
karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan
kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga,
kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena me ningkatnya
pengeluaran untuk berobat. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(Gambar 2) .
Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak
memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak
mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan
terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh
profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kas ar yang
berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga
juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi
karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan
bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga.
Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota
keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin.

RANPG 2006-2010
12
Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan kekurangan gizi pada setiap anggota
rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas individu
karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan yang rendah;
(ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena sering sakit. Sebaliknya,
kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada individu tersebut.
Adanya hubungan kemiskinan dan kekurangan gizi sering diartikan bahwa
upaya penanggulangan masalah kekurangan gizi hanya dapat dilaksanakan dengan
efektif apabila keadaan ekonomi membaik dan kemiskinanan dapat dikurangi. Pendapat
ini tidak seluruhnya benar. Secara empirik sudah dibuktikan bahwa mencegah dan
menanggulangi masalah gizi kurang tidak harus menunggu sampai masalah kemiskinan
dituntaskan. Banyak cara memperbaiki gizi masyarakat dapat dilakukan justru pada saat
masih miskin. Dengan diperbaiki gizinya, produktivitas masyarakat miskin dapat
ditingkatkan sebagai modal untuk memperbaiki ekonominya dan mengentaskan diri dari
lingkaran kemiskinan- kekurangan gizi - kemiskinan. Semakin banyak rakyat miskin
yang diperbaiki gizinya, akan semakin berkurang jumlah rakyat miskin. Perlu disadari
bahwa investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, sebagaimana











KEMISKINAN
Gambar 2. Keterkaitan Kemiskinan dan Status Gizi

RANPG 2006-2010
13
membangun gedung dan prasarana fisik. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan
kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia sekitar 17,8 persen
atau sekitar 40 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68 persen tinggal
di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian atau berbasis pertanian. Data
tersebut tidak jauh berbeda dengan data di tingkat dunia, yaitu setengah dari kelompok
miskin ini adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para
buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya
sendiri. Kelompok miskin inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian dalam
pembangunan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi.
Banyak intervensi gizi telah dilakukan dengan sasaran utama masyarakat miskin
dan gizi kurang, terutama anak-anak, Wanita Usia Subur (WUS), dan ibu hamil. Mereka
mendapatkan pendidikan dan penyuluhan gizi seimbang, termasuk pentingnya Air Susu
Ibu (ASI) bagi bayi; penyuluhan tentang pengasuhan bayi dan kebersihan; dan layanan
penimbangan berat badan bayi dan anak secara teratur setiap bulan di Posyandu. Di
samping itu juga mendapatkan suplemen berupa: zat besi untuk ibu hamil, Vitamin A
untuk anak balita dan ibu nifas, Makanan Pendamping – Air Susu Ibu (MP-ASI) untuk
anak 6 - 24 bulan, dan makanan untuk ibu hamil yang kurus. Secara terintegrasi
intervensi gizi tersebut ditunjang dengan pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi,
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, serta pelayanan kesehatan lainnya di
Puskesmas.
Apabila dipadukan dengan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang
dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, intervensi gizi untuk orang
miskin akan mempunyai daya ungkit yang besar dalam meningkatkan kesehatan,
kecerdasan, dan produktivitas. Upaya tersebut dapat meningkatkan akses rumah tangga
miskin kepada pangan yang bergizi seimbang, pendidikan terutama pendidikan
perempuan, air bersih, dan sarana kebersihan lingkungan. Untuk mengantisipasi
terjadinya fluktuasi ketahanan pangan rumah tangga yang berpotensi menimbulkan
kerawanan pangan, dilakukan pemantauan terus menerus terhadap situasi pangan
masyarakat dan rumah tangga, serta perkembangan penyakit dan status gizi anak dan
ibu hamil yang dikenal sebagai Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
D. KERANGKA PIKIR KETAHANAN PANGAN DAN GIZI
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat sub-
sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh
penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap
individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi
masyarakat (Gambar 3). Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak
hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro

RANPG 2006-2010
14
(nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di
tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama
anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian
ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih
sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak
terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari
aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik
secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpa h melebihi
kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari
kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan
akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu,
sasaran pertama
Millenium Development Goals (MDGs) bukanlah tercapainya produksi
atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelapa ran sebagai
indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan
masukan.
United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang
berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah













Gambar 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi

RANPG 2006-2010
15
kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang. Ukuran
tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripad a masukan.
Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi
masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan
sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya
masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak
langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup
baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak
menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.

E. TINJAUAN STRATEGI PERBAIKAN PANGAN DAN GIZI JANGKA PENDEK
DAN JANGKA PANJANG TA JALAN
Masalah gizi kurang maupun gizi lebih tidak dapat ditangani ha nya dengan
kebijakan dan program jangka pendek sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman
negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara t untas dan
berkelanjutan, seperti Thailand, Cina dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi
kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan
pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga
berencana yang saling terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi
masyarakat (
World Bank, 2006).
1. Strategi Jangka Pendek
Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan meliputi: (i) Pelayanan gizi
dan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK)
yang dilaksanakan 1970 sampai 1990-an, penimbangan anak balita di Posyandu yang
dicatat dalam KMS; (ii) pemberian suplemen zat gizi mikro seperti tablet zat besi kepada
ibu hamil, kapsul Vitamin A kepada anak balita dan ibu nifas; (iii) bantuan pangan
kepada anak kurang gizi dari keluarga miskin; (iv) fortifikasi bahan pangan seperti
fortifikasi garam dengan yodium, fortifikasi terigu dengan zat besi, seng, asam folat,
vitamin B1 dan B2; dan (v) biofortifikasi, suatu teknologi budidaya tanaman pangan yang
dapat menemukan varietas padi yang mengandung kadar zat besi tinggi dengan nilai
biologi tinggi pula, varietas singkong yang mengandung karoten dan sebagainya.
Kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan , meliputi: (i)
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin; (ii) Kredit mikro untuk
pengusaha kecil dan menengah; (iii) Pemberian makanan, khususnya pada waktu

RANPG 2006-2010
16
darurat; (iv) Pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, Vitamin A dan zat
yodium; (v) Bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin; dan (vi) Pemberian kartu
miskin untuk keperluan berobat dan membeli makanan dengan harga subsidi, seperti
beras untuk orang miskin (Raskin) dan MP-ASI untuk balita keluarga miskin.
Kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup seha t dan sadar
gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi
seimbang, termasuk pentingnya ASI eksklusif, MP-ASI yang baik dan benar; memantau
berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun; pengasuhan bayi dan anak yang baik
dan benar: air bersih dan kebersihan diri serta lingkungan; dan pola hidup sehat lainnya
seperti berolah raga, tidak merokok, makan sayur dan buah setiap hari.
2. Strategi Jangka Panjang
Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi: (i) P elayanan
kesehatan dasar termasuk keluarga berencana dan pemberantasan penyakit menular;
(ii) Penyediaan air bersih dan sanitasi; (iii) Kebijakan pengaturan pemasaran susu
formula; (iv) Kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan ditingkat
keluarga dan perorangan, dengan persediaan dan akses pangan yang cukup, bergizi
seimbang, dan aman, termasuk komoditi sayuran dan buah-buahan; (v) Kebijakan
pengembangan industri pangan yang mendorong pemasaran produk industri pangan
yang sehat dan menghambat pemasaran produk industri pangan yang tidak sehat; dan
(vi) Memperbanyak fasilitas olah raga bagi masyarakat.
Kebijakan yang mendorong terp enuhinya permintaan atau kebutuhan pangan
dan gizi, seperti: (i) Pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat
miskin; (ii) Pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan
masyarakat miskin; (iii) Pembangunan yang menciptakan lapangan kerja sehingga
mengurangi pengangguran; (iv) Kebijakan fiskal dan harga pangan yang meningkatkan
daya beli masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan pangan ya ng bergizi
seimbang; dan (v) Pengaturan pemasaran pangan yang tidak sehat dan tidak aman.
Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hid up sehat
dan gizi baik bagi anggota keluarga: (i) Meningkatkan kesetaraan gender; (ii)
Mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil; dan (iii) Meningkatkan
pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun di luar sekolah.

RANPG 2006-2010
17
BAB III. ANALISIS SITUASI
PANGAN DAN GIZI

A. STATUS GIZI MASYARAKAT
Salah satu tolok ukur status gizi seseorang adalah ukuran berat badan dan tinggi
badan menurut umur. Tolok ukur ini juga dapat mencerminkan kondisi gizi masyarakat.
Selain itu, keadaan gizi masyarakat juga dapat ditunjukkan oleh data Kurang Vitamin A
(KVA), Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY), Anemia Gizi Besi ( AGB), dan
gangguan pertumbuhan. Uraian berikut menyajikan analisis masalah gizi sesuai siklus
kehidupan, dimulai dari bayi, anak balita, anak usia sekolah hingga usia produktif.

1. Gizi Bayi dan Balita
Kondisi gizi bayi dapat ditunjukkan dengan BBLR. Kejadian BBLR ini erat
kaitannya dengan kondisi gizi kurang pada masa sebelum dan selama kehamilan dan
berpengaruh pada angka kematian bayi. Indonesia belum mempunyai data BBLR yang
diperoleh melalui survei nasional. Selama ini, angka BBLR merupakan estimasi yang
sifatnya sangat kasar yang diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) serta dari berbagai studi. Hasil SDKI dan berbagai studi tersebut menunjukkan
bahwa selama periode 1986-1999
3
proporsi BBLR berkisar antara 7–16 persen. Setiap
tahun diperkirakan sebanyak 355-710 ribu dari lima juta bayi lahir dengan kondisi BBLR.
Kondisi gizi balita secara umum mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan
menurunnya prevalensi gizi kurang. Pada tahun 1978-1998, preval ensi gizi kurang balita
menurun dari 46,3 persen menjadi 37,5 persen atau rata-rata 0,85 persen per tahun.
Prevalensi ini terus menurun menjadi 28,0 persen pada tahun 2005.
Masalah gizi kurang pada balita ditunjukkan oleh tingginya prevalensi anak balita
yang pendek (stunting < -2SD). Dari beberapa survei, prevalensi anak balita stunting
sekitar 40 persen (Tabel 2). Tinggi badan rata-rata anak balita ini umumnya mendekati
kondisi normal hanya sampai 5 - 6 bulan, setelah usia enam bulan rata-rata tinggi badan
anak balita lebih rendah dari kondisi normal.
Pada tahun 1995 prevalensi stunting pada anak laki-laki menurut survei SKIA
adalah 46,5 persen. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anak perempuan

RANPG 2006-2010
18
Tabel 2. Prevalensi Pendek/Stunting Anak Balita < - 2SD dari
Berbagai Jenis Survei

Survei Stunting < - 2SD
Suvita (Survei Nasional Vit. A), Tahun 1992 (15 Provinsi) 41,4
IBT (Indonesia Bagian Timur), Tahun 1991 (4 Provinsi) 44,5
SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak),Tahun 1995 Nasional 45,9
JPS (Jaring Pengaman Sosial) 43,8
Survei masalah gizi di 7 Provinsi (Puslitbang gizi 2006) 36,3
sebesar 45,2 persen. Berdasarkan survey NSS prevalensi anak laki-laki dan perempuan
baik di perdesaan dan perkotaan sebesar 45,6 persen.
Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun
masih dijumpai 50 persen balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 µg/100 ml,
sebagai pertanda Kurang Vitamin A Sub-Klinik. Kejadian tersebut diduga diakibatkan
kurang berhasilnya penyuluhan untuk mengkonsumsi sumber vitamin A alami
(SUVITAL) dan rendahnya cakupan distribusi kapsul Vitamin A (< 80 persen). Pada
tahun 2000, dilaporkan dari Nusa Tenggara Barat adanya kasus baru
xerophthalmia.
Hal serupa bisa terjadi di provinsi lain jika cakupan distribusi kapsul Vitamin A di wilayah
tersebut kurang dari 80 persen.
Berdasarkan SKRT 2001, prevalensi anemia anak balita masih cuk up tinggi.
Semakin muda usia bayi semakin tinggi prevalensinya; pada bayi kurang dari 6 bulan
(61,3 persen), bayi 6-11 bulan (64,8 persen), dan anak usia 12-23 bulan (58 persen).
Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2 - 5 tahun (Gambar 4).
2. Gizi Anak Usia Sekolah
Gangguan pertumbuhan dari usia balita berlanjut pada saat anak masuk sekolah.
Selama kurun waktu lima tahun terjadi peningkatan status gizi anak sekolah yang diukur
dengan tinggi badan menurut umur (TB/U). Pada tahun 1994 jumlah anak sekolah yang
pendek sekitar 40 persen dan turun menjadi 36,4 persen pada tahun 1999.
Masalah gizi lain yang juga menjadi masalah pada usia sekolah adalah adanya
gangguan pertumbuhan. Anak usia sekolah juga mengalami GAKY, wa laupun
prevalensinya telah menurun secara berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada
anak usia sekolah yang diukur dengan pembesaran kelenjar gondok (
Total Goiter
Rate/TGR
) adalah 30 persen. Angka ini menurun menjadi 27,9 persen pada tahun 1990,

RANPG 2006-2010
19
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
Persen
% Anemia 61,3 64,8 58,0 45,1 38,6 32,1
< 6 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-35 bln 36-47 bln 48-59 bln

Gambar 4. Prevalensi Anemia pada Anak Balita (SKRT 2001)
dan menjadi 11,1 persen pada tahun 2003. Walaupun prevalensi GAKY pada anak
sekolah telah menurun, ternyata masih terdapat 14 kabupaten yang tergolong daerah
endemik berat. Gambaran klasifikasi kabupaten menurut endemisitas GAKY dapat
dilihat pada Tabel 3.
Secara internasional, perhitungan proporsi penduduk yang menderita gondok
sebagai indikator GAKY sudah tidak dianjurkan lagi karena secara statistik dianggap
kurang sahih. Di samping itu, indikator tersebut baru timbul pada tingkat akhir sebagai
akumulasi terjadinya kekurangan yodium untuk waktu lama sehingg a dianggap
terlambat jika dipakai sebagai dasar tindak pencegahan. Indikator GAKY yang
dianjurkan WHO adalah (i) kadar yodium dalam urine (EYU= Eksresi Yodium Urine),
yaitu proporsi EYU dibawah 100 µg/L harus kurang dari 50 persen dan proporsi EYU
dibawah 50 µg/L harus kurang dari 20 persen; dan (ii) konsumsi garam beryodium oleh
rumah tangga, yaitu 90 persen rumah tangga menggunakan garam mengandung cukup
Tabel 3. Total Goitre Rate (TGR) pada Survei 1996/1998 dan 2003
Total
Non EndemikEndemik Ringan Endemik Sedang Endemik Bera

Sumber: National IDD Survey 1998, and National IDD Evaluation Survey 2003
tkabupaten
Non Endemik
86 26 2 1 115
Klasifikasi kab Endemik Ringan
28 52 13 3 96
menurut TGR Endemik Sedang5 18 7 5 35
tahun 2003 Endemik Berat 3 8 6 5 22
Total kabupaten 122 104 28 14 268
Tidak berubah150
Memburuk 68
Membaik 50
Klasifikasi kabupaten menurut TGR tahun 1998

RANPG 2006-2010
20
yodium. Kedua indikator tersebut sudah dapat dilihat pada tahap awal, saat tingkat
kekurangan yodium masih ringan. Oleh karena itu, kedua indikator itu dapat digunakan
sebagai dasar tindak pencegahan sebelum timbul gondok atau akibat lain yang lebih
parah seperti kerdil dan cacat mental.
Pada tahun 2003 median EYU anak sekolah di Indonesia adalah 22,9 µg/L,
sedangkan data proporsi EYU sudah mencapai 16,7 persen dari proporsi 100 µg/L.
Berdasarkan hasil survei Puslitbang Gizi tahun 2006, cakupan konsumsi garam
beryodium secara nasional meningkat dari 68,5 persen di tahun 2002 menjadi 72,8
persen di tahun 2005 (Susenas 2005). Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi
terjadinya GAKY pada masyarakat. Kekurangan yodium tingkat awal pada anak terbukti
dapat menurunkan kecerdasan atau IQ. Anak yang kekurangan yodium memiliki IQ 10-
15 poin lebih rendah dari anak sehat.
3. Gizi Usia Produktif
Masalah gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok usia produktif, yang dapat
diukur dengan Lingkar Lengan Atas kurang dari 23,5 cm (LILA < 23,5 cm). Ukuran ini
merupakan indikator yang menggambarkan resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK).
Secara nasional, proporsi LILA < 23,5 cm menurun dari 24,9 persen pada 1999 menjadi
16,7 persen pada 2003. Pada umumnya WUS kelompok usia muda memiliki prevalensi
KEK lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lebih tua. WUS dengan resiko KEK
mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR (Gambar 5).
Selain KEK, pada kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan
(IMT>25) dan obesitas (IMT>27). Kedua masalah gizi ini juga terjadi di wilayah kumuh

0%
10%
20%
30%
40%
50%
15-19
20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
Umur (tahun)
% WUS (LILA<23.5 cm) cm)
1999
2000
2001
2002
2003

Gambar 5. Proporsi WUS Beresiko KEK (LILA < 23.5 cm) 1999-2003

RANPG 2006-2010
21
perkota n maupun perdesaan. Hasil survey NSS-HKI tahun 2001 di empat kota (Jakarta,
Semarang, Makassar, Surabaya) menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan pada
wanita usia produktif daerah kumuh perkotaan berkisar antara 18-25 persen, yang justru
lebih besar daripada prevalensi kurus (11-14 persen). Demikian juga, di wilayah
perdesaan provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,
Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, prevalensi kegemukan
berkisar 10-21 persen, sementara prevalensi kurus antara 10-14 persen.
Masalah gizi juga dapat ditunjukkan oleh prevalensi anemia. Survei nasional
tahun 2001 menunjukkan prevalensi anemia pada WUS kawin, WUS tidak kawin, dan
ibu hamil masing-masing sebesar 26,9 persen, 24,5 persen dan 40 persen. Masalah gizi
mikro lain yang perlu mendapat perhatian adalah kurang seng (
Zinc) pada ibu hamil.
Kekurangan seng (kandungan seng <7 mg/dl serum darah) dapat men yebabkan
tingginya resiko komplikasi kehamilan dan bibir sumbing pada bayi yang dilahirkan.
Sebuah penelitian di Nusa Tenggara Timur (1996) menunjukkan, sekitar 71 persen
wanita hamil menderita kurang seng. Pada tahun 1999, di Jawa Tengah prevalensi
kurang seng pada wanita hamil cukup tinggi yaitu antara 70 sampai 90 persen.
Penelitian skala kecil di Jawa Barat, Jawa Tengah dan NTB (1997-1999), menunjukkan
prevalensi kurang seng pada bayi sekitar 6 sampai 39 persen. Sedangkan besarnya
masalah kurang zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, selenium, kalsium, vitamin C,
dan vitamin B1 sampai kini belum diketahui.

B. KONSUMSI PANGAN
1. Tingkat dan Pola Konsumsi Pangan
Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah
adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari
jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data
konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam
mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah
tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara im plisit juga
merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat
krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6 persen,
sedangkan konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada masa pemulihan
ekonomi (2002-2005), konsumsi beras dan jagung menurun, sedangkan konsumsi ubi
a

RANPG 2006-2010
22
jalar dan ubi kayu meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi kayu yang
mencapai 17,2 persen (Tabel 4).
Tabel 4. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat (Kg/kap/th)
Tahun Beras Jagung Ubikayu Ubijalar
1996 124,5 3,1 11,7 3,0
1999 116,5 3,4 13,4 3,0
2002 114,5 3,4 12,8 2,8
2005 105,2 3,3 15,0 4,0
Laju 1996-1999 (%/th) -6,4 9,7 14,5 0,0
Laju 2002-2005 (%/th) -8,1 -2,9 17,2 4,3
Sumber : Susenas 1996, 1999, 2002, 2005 (diolah)
Konsumsi pangan sumber protein baik daging, telur, susu maupun ikan menurun
selama masa krisis. Konsumsi pangan protein tersebut kembali meningkat pada 2002-
2005, meskipun konsumsi daging ruminansia belum mencapai tingka t konsumsi
sebelum krisis (Tabel 5).

Tabel 5. Konsumsi Pangan Sumber Protein (Kg/kap/th)
Tahun
Daging
ruminansia
Daging
unggas
Telur Susu Ikan
Kacang-
kacangan
1996 3,0 3,6 5,1 1,1 16,5 18,0
1999 1,3 1,9 3,5 0,8 14,1 6,8
2002 1,7 3,6 5,6 1,3 16,8 8,9
2005 1,8 4,1 6,1 1,4 18,6 9,3
La 96-1999 (%/th) -23,3 -47,2ju 19 -31,4 -27,3 -14,5 -15,0
La 02-2005 (%/th) 5,9 13,9 8,9 7,7 ju 20 10,7 4,5
Sumbe
m .
suaian
trategi
konsep ’kenyang’ tanpa memperhatikan kandungan gizinya.
r : Susenas 1996,1999, 2002, 2005 (diolah)

Demikian pula pada konsumsi pangan sumber lemak, vitamin dan m ineral
menurun pada masa krisis, terutama konsumsi buah dan sayuran yang mencapai lebih
dari 20 persen. Pada masa pemulihan ekonomi, peningkatan konsumsi pangan sumber
lemak relatif stagnan, walaupun untuk minyak goreng masih bernilai negatif. Sedangkan
untuk pangan sumber vita in/mineral telah meningkat di atas lima persen (Tabel 6)
Kondisi di atas menggambarkan bahwa pada masa krisis, terjadi penye
s pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga. De ngan daya beli yang
menurun, masyarakat mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan
mensubstitusinya dengan jenis pangan yang relatif murah. Konsumsi beras sebagian
digantikan dengan jagung dan umbi-umbian. Sedangkan konsumsi protein hewani
dikurangi. Dengan demikian, pemenuhan pangan lebih mengutamakan

RANPG 2006-2010
23

Tabel 6. Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan Vitamin/Mineral
(Kg/kap/th)
Sumber Lemak Sumber Vit/Mineral
Tahun Minyak
goreng
Buah/biji
berminyak
Sayuran Buah
1996 7,2 4,1 67 ,5 24,6
1999 7,0 2,7 40 ,7 18,5
2002 8,3 3,4 47 ,5 27,2
2005 8,2 3,4 50 ,8 31,7
Laju 1 9 (%/th) -2,8 -4,1 -3996-199 9,7 -24,8
Laju 2 -1,2 0,0 6002-2005 (%/th) ,9 16,5
Sumber 002, 2005 lah)
erintah berdampak positif
terhada nsumsi pangan hewani,
ayura
apita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah dibanding
Malaysia dan un dan 18
kg/kapita/tahun. ap uduk
Indones lebih re din n n -ne ers ia
P bangan menar am k msi an er idra lah
kecende n menurunnya sumsi s da epun rigu g mer kan
pangan meskipun ting konsum ya m teta nggi nding ber
p lainnya. ni, ko i p ola rig erti m tant
d enderung ningk erke ngan enar lah
an pokok kelompok masyarakat
berpendapatan rendah, terutama di pedesaa , yang mengarah kepada beras dan bahan
angan
2.
c n a a i
: Susenas 1996, 1999, 2 (dio
Upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pem
p peningkatan konsumsi pangan masyarakat. Ko
s n, dan buah-buahan meningkat. Namun demikian, konsumsi pa ngan hewani
harus terus ditingkatkan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu
bersaing di era globalisasi. Pada saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia
baru mencapai 6,2 kg/k
Filipina yang masing-masing mencapai 48 kg/kap/tah
Hal ini e nny tingkat pendapat an per krat kaita
ndah diban
a dengan
g denga
ita pend
tas. ia yang egaragara tebut d
erkem ik dal onsu pangsumbkarboht ada
runga kon bera n t g te yan upa
pokok, kat sin asih p ti diba sum
angan karbohidrat Saat i nsumsrodukhan teu sep ie ins
an aneka kue c me at. P mba m ik lainnyaada
kecenderungan berubahnya pola konsumsi pang
n
p berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie instan (Tabel 7).
Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor dan belum
diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan
ketergantungan pangan pada impor.
Konsumsi Energi dan Protein
Ter ukupinya kebutuhan panga antar lain dap t diind kasikan dari pemenuhan
kebutuhan energi dan protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun
2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing
adalah 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari.

RANPG 2006-2010
24

bel 7. Pola Konsumsi Pangan Pokok
rut Wilay ok Pengelua
Ta
Menu ah dan Kelomp

ran
Golongan pengeluaran
(Rp/kap/bl)
2002 2003 2004 2005
Kota+Desa
< 60.000 B B B B,T,J,UK ,J,UK ,T
60.000-79. B ,T B K B B,T 999 ,J,UK ,J,T,U ,T
80.000-99. B K B K B B,T999 ,T,U ,T,U ,T
100.000-149.999 B B B,,T ,T B,T T
150.000-199.999 B B B B,T,T ,T ,T
200.000-299.999 B,T B,T B, T B,T
300.000-499.999 B,T B,T B,T B,T
>500.000 B,T B,T B,T B,T
Kota
< 60.000 B,T B B,T B,T
60.000-79.999 B,T B,T,J B,T B,T
80.000-99.999 B,T B,T B,T B,T
100.000-149.999 B,T B,T B,T B,T
150.000-199.999 B,T B,T B,T B,T
200.000-299.999 B,T B,T B,T B,T
300.000-499.9 9 B,T B,T B,T B,T 9
>500.000 B,T B,T B,T B,T
Desa
< 60.000 B,J,UK B,J,UJ B,T B,T
60.000-79.999 B,J,UK B,J,UK,T B,T B,T
80.000-99.999 B,J,T,UK B,T,UK B,T B,T
100.000-149.999 B,T B,T B,T B,T
150.000-199.999 B,T B,T B,T B,T
200.000-299.999 B,T B,T B,T B,T
300.000-499.999 B,T B,T B,T B,T
>500.000 B,T B,T B,T B,T
Sumber ; Susenas 2002, 2003, 2004, 2005 (diolah)
Keterangan: B = Beras, J = Jagung, UK = Ubi Kayu, T = terigu
Secara agregat, konsumsi energi pada tahun 1996 mencapai 2.019 kkal
/kapita/hari, sudah lebih tinggi dari yang dianjurkan. Krisis ekonomi yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 telah menurunkan tingkat konsumsi energi menjadi 1.849 kkal
pita/ hanya mencapai 92,5 persen dari tingkat yang
jurka krisis berakhir, konsumsi energi masyarakat
erang
masa krisis sudah membaik dan
bahkan pada tahun 2005 sudah melebihi tingkat sebelum krisis (Tabel 8).
/ka hari pada tahun 1999 atau
dian n. Namun demikian setelah
b sur pulih, meskipun pada masyarakat perkotaan tingkat kon sumsinya belum
membaik kembali. Hal ini mengakibatkan tingkat konsumsi energi rata-rata masyarakat
secara nasional masih di bawah anjuran. Tingkat konsumsi protein pada masa krisis
mengalami perkembangan yang sama namun setelah

RANPG 2006-2010
25
Tabel 8. Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah
No. Uraian 2004* 2005 1996 1999 2002 2003*
1. Energi (Kal/kap/hari)
Kota 1.983 1.802 1.945 1.951 1.941 1.923
2.040 1.879Desa 2.011 2.018 2.018 2.060
Kota+Desa 2.0 1.84919 1.986 1.991 1.986 1.996
2 Protein(Gram/kap/hari)
Kota 5 49,35,9 56,0 56,7 55,9 55,3
Desa 5 48,23,7 53,2 54,4 53,7 55,3
Kota+Desa 5 48,7 4,5 54,4 55,4 54,7 55,23
* Data modul
Sumber : Susenas berbagai tahun (diolah)
an : Rekomendasi WN 004 :AKE= kkal/kap/hr P=52 /hr
3. nsumsi Pang
nalisis p bangan sumsi pa n, sela iperlu kan
info tang kuantitas kon si pangan pula dik u i tingka alitasnya.
Ku mutu konsumsi diliha an menggunakan n kor Pola
Pa (PPH). Nilai/sk PPH emb n inform enai
pen tas dan kualit si, y am an penc n ragam
(div umsi pangan akin be skor PPH ka ku al konsumsi
pan akin baik. itas kons pangan dian gg mpurna
dib ka kecukupa i dengan skor PPH menc 0.
tkan kualitas nsumsi n yang
1999 menjadi 72,6
pada tahun 2002 (Tabel 9). Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada tahun 2005
menca
Keterang PG 2 2000 dan AK g/kap

Kualitas Ko an
Untuk menga erkem kon nga in d
rmasi ten sum perlu etah t ku
alitas atau pangan t deng ilai/s
ngan Harapan or mutu ini dapat merika asi meng
capaian kuanti as konsum ang menggbark apaia
ersifikasi) kons . Sem sar ma itas
gan dinilai sem Kual umsi yang ap se
erikan pada ang n giz apai 10
Upaya pemulihan ekonomi telah meningka ko panga
ditunjukkan dengan peningkatan skor PPH dari 66,3 pada tahun
pai 79,1 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 9,0 persen selama 4 tahun. Laju
peningkatan skor PPH yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan konsumsi energi dan
protein mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan.
Kualitas konsumsi pangan (Tabel 9) merupakan perwujudan dari kuantitas dan
keragaman konsumsi aktual (Tabel 10). Sesuai kondisi ideal (PPH=100) konsumsi padi-
padian yang dianjurkan adalah sebesar 1.000 Kkal/kapita/hari. Namun demikian, baik
pada masa krisis maupun saat ini, konsumsi padi-padian aktual sudah lebih dari anjuran,
dan masih cenderung meningkat. Sementara itu, konsumsi kelompok pangan lain
masih di bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani, serta sayur dan

RANPG 2006-2010
26

bel 9. Perkemba lit nsum an er n
W ah 1999 03* 20
Ta ngan Kuaas Ko
2002
si P
20
gan Bdasarka
04*
PPH
2005 ilay
K 8,5 80,1 81,9 80,0 81,0 ota 6
Desa 6 1 74,4,4 72,5 75, 0 77,6
Kota+D 6 5 76,esa 6,3 72,6 77, 9 79,1
Sumber rbagai tah lah)
*Data M

: Susenas be
odul
un (dio

buah Tin umsi minya lema g dah dek a ran.
Deng pola antitas dan ker kons i sep ini, at PP aru m apai
skor .
juran dan Aktual ahun 1999-2005
(kkal/kapita/hari)
. gkat kons k dan k sertaula su menati tingkt anju
an
79
ku

agaman ums ertitingk H b enc

T . Perbanabel 10 dingan Konsumsi Pangan An T
Konsumsi Aktual
No Kelompok Pangan Anjuran
1999 2002 2003* 2004* 2005
1 Padi-padian 1000 1240 1253 1252 1248 1241
2 mbi-umbian 120 U 69 70 66 77 73
3 Pangan hewani 240 88 117 138 134 139
4 Minyak+Lemak 200 171 205 195 195 199
5 Buah/biji berminyak 60 41 52 56 47 51
6 Kacang2an 100 54 62 62 64 67
7 Gula 100 92 96 101 101 99
8 Sayur+buah 120 70 78 90 87 93
9 Lain-lain 60 26 53 32 33 35

TOTAL
2000 1851 1986 1992 1986 1997

Skor PPH 100 66,3 72,6 77,5 76,9 79,1
Sumber: Susenas(diolah)
* Data modul


C. AKSES RUMAH TANGGA TERHADAP PANGAN
1. Ketersediaan Pangan per Wilayah
Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu produksi beras menjadi indikator yang sangat
penting untuk diperhatikan pencapaiannya. Selama periode 2001-2005 ketersediaan
padi yang berasal dari produksi dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar

RANPG 2006-2010
27
1,8 persen per tahun, yaitu meningkat dari 50,46 juta ton gabah kering giling (GKG)
pada lah
pen maka tingkat pr padi ut seta gan k diaan per
kap ebesar 137 kg/tahu injau da yebara yahny a duksi p asih
ter ntrasi di Pulau Ja engan rsi seb 55 per Pulau tera
me perse ulawesi ar 1 rsen,
Ka lauan Nusa Tenggara persen. (T bel 11).
tahun 2001 menjadi 54,15 juta ton pada 2005. Dengan memperhitungkan jum
duduk, oduksi terseb ra den eterse beras
ita s n. Dit ri pen n wila , pro adi m
konse wa d propo esar sen. Suma
miliki proporsi produksi i sebes
ersen, serta Bali dan Kepu
pad ar 23 n, S sebes 0 pe
limantan 6 p 5 a

Tabel 11 . Persebaran Produksi Padi Menurut Wilayah Pulau (Ribu Ton GKG)
Pulau/Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
J a w a 28.312 28.608 28.167 29.636 29.764
Sum era 11.287 11.542 12.136 12.666 12.675 at
Bali & Nusa Tenggara 2.696 2.647 2.725 2.807 2.616
Kalimantan 3.074 3.169 3.358 3.6 57 3.614
Sulawesi 4.983 5.438 5.602 5.171 5.301
Maluk 85 51 181 u & Papua 109 149 1
Indo 89 52.1 5 51 nesia 50.461 51.4 37 4.088 54.1
Su mber: BPS

Sementara itu produksi ng d omod pan lainn a m gkat.
P u mi p ngkata rting d kan gan k oditas
panga Dalam kurun tersebut, pro si jagu me ni at den rata-
ra p buhan 7,7 persen; ayu 3 ersen n ub r 1,7 sen p tahun.
D a angan produ erseb maka tersed n per pita k oditas
ja ng , dan ubi jalar 2005 sing- ing m apa i kg, 8 g, dan
8,4 kg 12).
abel 12. Keters an Be an P ija P apita
Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar
jaguan k itas gan ya jugenin
rodksi jagung mengala eni n tegi dibaning den om
n lainnya. waktu duk ng ngk gan
ta ertum ubi k ,3 p ; da i jala per er
engn perkemb ksi t ut, ke iaa ka om
gu, ubi kayu pada ma mas enc 57 8 k
(Tabel
T edia ras dalaw er K (kg)
Tahun Beras
2001 135,4 44,8 81,7 8,4
2002 136,4 45,7 80 8, ,0 4
2003 136,3 50,8 86,5 9,3
2004 139,5 51,7 89,5 8,8
2005 137,9 57,0 87,9 8,4

Bahan pangan sumber protein yang terutama adalah daging dan telur.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi daging nasional sebesar 65 persen berasal dari
daging unggas dan sebesar 19 persen daging sapi. Untuk daging unggas proporsi
terbesar diperoleh dari ayam pedaging (broiler) yang mencapai 70 persen, sedangkan
24 persen dari daging ayam buras. (Tabel 13).

RANPG 2006-2010
28
Tabel 13. Perkembangan Produksi Daging (ribu ton)
No Jenis 2001

2002 2003 2004 2005
1 Sapi 338,69 330,29 369,71 447,57 358,70
2 Kerbau 43,64 42,30 40,64 40,24 38,10
3 Kambing 48,70 58,17 63,86 57,13 50,60
4 Domba 44,78 68,71 80,64 66,06 47,30
5 Babi 160,15 164,49 177,09 194,68 173,70
6 Kuda 1,09 1,06 1,60 1,57 1,60
7 Ayam Buras 275,14 288,34 298,52 296,42 301,40
8 Ayam Ras Petelur 88,30 42,78 48,15 48,38 45,20
9 Ayam Ras Pedaging 53 76,95 51,93 771,12 846,10 779,10
10 2 Itik 3,12 21,78 21,25 22,21 21,40
Jumlah 1.56 1.70,56 69,85 1.871,53 2.020,36 1.817,10
Su Peternakan, 200mber : Ditjen 6

si telur yang pad 200 sar u to gka di
1.1 005 (Tabe 4). Tingk produksi lur ini tela mencuku kebutuhan
konsum i dalam negeri. Sebagaimana padi, produksi telur juga terkonsentrasi di Pulau
Jawa d i
n pada 2004, dan 536 ribu ton pada 2005.

Tabel
Wilayah 001 20 5
Produk a tahun 1 sebe850 ribn menint menja
49 ton pada 2 l 1 at te h pi
s
an Sumatera, dan propinsi penghasil utama telur adalah Jawa T mur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Pangan hewani yang juga penting peranannya adalah susu. Pemenuh an
konsumsi susu saat ini masih mengandalkan dari pasokan susu impor. Ketersediaan
susu dari produksi dalam negeri masih terbatas, dan perkembangan produksinya pun
cenderung menurun. Pada tahun 2003 produksi susu mencapai 553 ribu ton, menurun
menjadi 550 ribu to
14. Perkembangan Produksi Telur (ribu ton)
2 2002 2003 04 200
Jawa 433,2 476,6 ,0 596, 607,3 484 6
Bali da a Tenggara 25,7 26,1 1 44, 44,8 n Nus 37, 2
Sumatera 280,7 287,7 ,2 324, 341,3 309 3
Kalimantan 44,2 48,5 68,0 68,8 71,5
Sulawesi 63,9 67,0 71,0 68,2 78,4
Maluku dan Papua 2,6 2,9 4,2 5,4 5,6
Luar Jawa 417,1 432,3 489,6 510,8 541,6
Indonesia 850,3 908,9 973,6 1.107,4 1.148,9
Sumber : Deptan

RANPG 2006-2010
29
2. Kerawan
Keter n pangan ra ma k se nya m in ke iaan
p a t mikro. Masalah i yan terja ila y ntu d a
w u tertentu mengakib konse eterse di se ntra p i
d p a-masa panen. konsum ng rel ma a dividu r-
w u ntar-daerah men tkan a masa defi loka si
d sit an. Dengan demik kanis r da bus n ant si
s a dengan me lkan ’ b ruh eim n
a ra n kons serta harga terja pasar. r
k eim efleka harg at be den ya be h
t g hadap pangan. Den emikia skipun ditas n ters i
pa apabila harga ggi k ter d a ma ,
t mengakses pangan yang tersedia. Kondisi seperti
ini dapat menyebabkan kerawanan pangan.
an masih terjadi di semua propinsi dengan
besara
provinsi yang merupakan
sentra produksi pangan seperti provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan,
Jawa B ngannya cukup tinggi.
emikian pula, juml ak balita an stat i buru gizi g di
-daerah tersebut juga tinggi. inya p i ru m ngg an
kurang enunjukk hwa ke an pa pada at
tau wilayah tidak s arti b tingka a nan ah
individu juga terpen Masalah lah dis i dan anism r
garuh terhadap h daya be ah tan yang aitan
n dan pendapatan ru tangga, ingkat p tahua tang
rpengaruh ke konsums n kecuku panga n gizi h
an Pangan
sediaa seca kro tidapenuh enjam tersed
adtingka produks g hanya di di wah tertean pad
akt-waktu atkan ntrasi k diaan ntra-se roduks
anada mas Pola si ya atif santar-in , anta
akt, dan a gakiba danya -masa sit dan s
ar
i-loka
efi pang ian, me me pasan distrii panga loka
ertantar waktu nganda stok’ akanerpenga pada kesbanga
nta ketersediaan da umsi pada yang di di Fakto
esbangan yang ter si pada a sang rkaitan gan da li ruma
anga ter gan d n, me komo panga edia d
sar namun terlalu tin dan tidajangkau ya beli ruh tangga
maka rumah tangga tidak akan dapa
Penduduk rawan pangan didefinisikan sebagai mereka yang rata-r ata tingkat
konsumsi energinya antara 71–89 persen dari norma kecukupan energi. Sedangkan
penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70 persen
dari kecukupan energi.
Banyaknya penduduk rawan pang
n yang berbeda. Berdasarkan data SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition
Map of Indonesia tahun 2006, jumlah penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi
Bali yaitu sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di DIY yaitu mencapai 20,0 persen (Tabel
15). Proporsi penduduk rawan pangan di semua provinsi masih diatas 10 persen,
kecuali di provinsi Sumbar, Bali dan NTB. Bahkan di semua
arat dan Sulawesi Selatan proporsi penduduk rawan pa
D ah an deng us giz k dan kuran
daerah masih Tingg ropors ah taa raw
pangan dan anak balita gizi m an ba tahan ngan tingk
nasional a
tangga dan
elalu ber
uhi.
ahwa
-masa
t ketah
tribus
pangan
mek
di rum
e pasa
yang berpen arga, li rum gga berk dengan
kemiskina mah dan t enge n ten pangan
dan gizi sangat be pada i da pan n da ruma
tangga.

RANPG 2006-2010
30
Tabel 15. Jumlah Penduduk Rawan Pangan Menurut Propinsi
Jumlah Penduduk Rawan Pangan No. Propinsi
(Ribu Orang) (%)
1 NAD 295 17,1
2 Sumatera Utara 1.162 11,0
3 Sumatera Barat 305 7,2
4 Riau 621 13,1
5 Jambi 290 12,1
6 Sumatera Selatan 1.182 17,1
7 Bengkulu 221 13,9
8 Lampung 919 13,8
9 Kep. Bangka Belitung 122 13,6
10 DKI Jakarta 1.404 16,9
11 Jawa Barat 6.224 17,5
12 Jawa Tengah 5.089 18,8
13 DI.Yogyakarta 621 20,0
14 Jawa Timur 6.684 19,3
15 Banten 690 10,2
16 Bali 144 4,8
17 Nusa Tenggara Barat 295 7,7
18 Nusa Tenggara Timur 565 14,9
19 Kalimantan Barat 614 16,5
20 Kalimantan Tengah 119 6,6
21 Kalimantan Selatan 299 11,8
22 Kalimantan Timur 342 18,2
23 Sulawesi Utara 225 11,4
24 Sulawesi Tengah 210 10,5
25 Sulawesi Selatan 1.185 15,2
26 Sulawesi Tenggara 227 12,8
27 Gorontalo 98 11,8
28 Maluku 161 15,3
29 Maluku Utara 113 16,9
30 Papua 335 19,1
*) Tidak dilakukan survey total
Sumber : Gizi dalam Angka (2005) dan
Nutrition Map of Indonesia, 2006

3. Peningkatan Akses Terhadap Pangan
S
etiap rumah tangga memiliki kemampuan yang berbeda dalam menc ukupi
ebutuhan pangan secara kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kecukupan gizi.
rkaitan dengan itu, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin agar
k
Be

RANPG 2006-2010
31
rumah tangg Upaya atau
k an umum ya kan adalah gar
mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapa pangan k dengan
harg jangkau. Salah satu instrumen kebijakan untu a bilisasi harg lah
cada a imiliki pemerintah.
K adalah subsidi/bantuan pangan b a beras untu ah
tang rpendapatan di bawah garis kemiskinan. Men at beras adala han
pang banyak dikonsumsi, maka priorit ma pemerinta lah
untuk m masyarakat agar dapat mengakses be dalam juml ang
menc

i rga Pangan
S rga beras diukur berdasarkan perkemb n harga rata- dan
koe asinya dan dimonitor terus menerus. Selama n tahun 2000 ,
per b di Jawa dan Bali cenderung st yang ditandai gan
koe ndah.
K ian harga memiliki dua sisi yang dalam Inpres . 13
Tah isi, pemerintah menerapkan ke an Har ga P lian
Pem emberikan harga produsen yang cukupi kepad tani
aga rima harga lebih rendah dibanding a produksi. P sisi
lain elian dari petani digunakan untuk osional progra kin
dan eras pemerintah untuk mensta harga pad
kon
H erapan insentif harga untuk petani terce pada perk e gan
har Panen (GKP) yang menunjukkan hwa kebijak PP
mem r aat yang cukup kepada petani. Perkemba harga transa ang
te daripada HPP, kecuali di daerah yang sulit dijangkau
(t n.
Di tingkat konsumen selama 2000-2004, harga eceran rata-rata bulanan untuk
eras medium juga tidak mengalami gejolak yang berarti. Perdagangan antar daerah
ant ilitas harga. Pada saat di daerah-daerah
entu merintah menggunakan cadangan beras
ang d
a dan individu memiliki akses terhadap pangan yang tersedia.
ebijak ng diterap stabilisasi harga pangan pokok a
t menyediakan poko
a yang ter k st a ada
ngn pangan yang d
ebijakan lainnya erup k rum
ga yang be ging h ba
anpokok yang paling as uta h ada
enjamin ras ah y
ukupi.
. Stabilitas Ha
tabilitas ha anga rata
fisien vari kuru – 2004
kemangan harga beras abil den
fisien variasi harga yang re
ebijakan pengendal diatur No
un 2005. Pada satu s bijak embe
erintah (HPP) untuk m men a pe
r petani tidak mene biay ada
nya, gabah hasil pemb pera m Ras
sebagai cadangan b bilkan a tingkat
sumen.
asil pen rmin mban
ga Gabah Kering ba an H
beikan manf ngan ksi y
rjadi pada umumnya lebih tinggi
erisolasi) atau yang komoditas produknya tidak memenuhi syarat pembelia

b
dan ara pulau dapat mempertahankan stab
tert terjadi lonjakan harga yang besar, pe
y imiliki untuk menstabilkan harga melalui kegiatan operasi pasar.

RANPG 2006-2010
32
ii. Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin)
Selain melalui mekanisme pasar dan bantuan pangan saat bencana, pemerintah
juga memiliki subsidi pangan dalam bentuk beras untuk rumah tangga miskin. Beras
untuk rumah tangga miskin (Raskin), pada awalnya disebut Operasi Pasar Khusus
PK),
a g k
Besarnya volume beras yang didistribusikan dalam program Raski n terus
eningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 jumlahnya mencapai sebesar 1,35 juta
ton, meningkat menjadi 1,48 juta ton pada tahun 2001, dan 2,24 juta ton pada tahun
2002. d volume distribusi beras Raskin relatif stabil pada
kisaran 2,0 juta ton.
ng
5 persen (Tabel 16).
hun ra a be
lan. Kendala pelaksanaan lainnya adalah adanya kesalahan sasaran.
Jumlah
y
manfaat,
rogram
dap permintaan
agregat karena adanya efek pengganda dari transfer pendapatan yang meningkatkan
aya beli penerima Raskin (Tabor dan Sawit, 2005).

(O diluncurkan sejak bulan Juli 1998. Program ini diterapkan sebagai salah satu
upaya untuk menanggulangi kekuarangan pangan pada rumah tangga miskin yang pada
masa krisis ekonomi paling menderita. Melalui program ini pemerintah mendistribusikan
beras dengan harga bersubsidi sehinga masyarakat miskin yang daya belinya sangat
terbatas bisa mendapatkan bah n pan an po ok yaitu beras.
m
Pa a tahun-tahun berikutnya
Secara volume, beras yang didistribusikan dalam program Raskin memang
cukup besar, namun belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sesuai norma sebanyak
20 kg per bulan dan seluruh rumah ta ga miskin. Sampai saat ini persentase keluarga
miskin yang dapat dijangkau sekitar 6
Besaran volume beras Raskin yang tidak mencukupi kebutuhan ses uai norma
sebesar 20 kg/KK/bulan menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan di tingkat
lapangan. Kendala tersebut diselesaikan di tingkat masyarakat melalui musyawarah
desa. Namun demikian sebagai akibatnya beras dibagi kepada tiap keluarga miskin
dalam jumlah kurang dari 20 kg. Survei evaluasi yang dilaksanakan oleh 35 perguruan
tinggi pada ta 2003 menemukan bahwa ta-rat penerimaan r as Raskin adalah
13,3 kg/KK/bu
penerima yang memang keluarga miskin “dianggap berhak” d iperkirakan
sebesar 84 persen. Ini berarti terdapat 16 persen distribusi Raskin ang tidak tepat
sasaran. Beberapa penyebabnya adalah rasa solidaritas sehingga harus dibagi merata
ke seluruh penduduk, namun ada pula yang disebabkan penyimpanga n oleh para
pelaksana. Terlepas dari adanya kelemahan dalam penentuan penerima
p Raskin dinilai telah memberikan kontribusi dalam mengur angi tingkat
kemiskinan dengan beberapa alasan, yaitu: (1) program Raskin telah mempersempit
celah kemiskinan sekitar 20 persen; (2) tingkat konsumsi kalori keluarga miskin
penerima Raskin lebih tinggi antara 17-50 kkal per hari dibandingkan mereka yang tidak
memperoleh Raskin; (3) memberikan stimulasi tidak langsung terha
d

RANPG 2006-2010
33

Tabel 16. Volume Beras dan Jumlah Keluarga Sasaran Program Raskin
KK Miskin Rencana Distribusi
Realisasi
Penyaluran Persen thd KK miskin
Tahun
(Ribu KK)
Beras
(ton)
(Ribu
KK)
Beras
(ton)
(Ribu
KK) Rencana Realisasi
2000 14.782,4 1.350.000 9.674,9 1.353.248 10.934,9 65,45 73,97
2001 15.135,6 1.501.274 9.835,4 1.482.030 8.316,2 64,98 54,94
2002 15.135,6 2.349.600 9.029,6 2.235.137 12.333,9 59,66 81,49
2003 15.746,8 2.057.438 8.574,9 2.023.864 11.832,9 54,45 75,14
2004 15.820,5 2.061.793 8.590,8 2.059.707 11.546,0 54,30 72,98
20 9 .99 1 ,05 15.7 0,0 1 2.000 8.300,0 1.991.131 1.207,9 52,56 70 98
Sumber: Perum BULOG
iii. Cadangan Pangan
Selain digunakan untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga, Cadangan
eras

n t
B Pemerintah (CBP) juga digunakan untuk mengatasi kekuranga n pangan yang
terjadi sebagai akibat bencana alam. Di tingkat yang lebih tinggi CBP juga digunakan
untuk memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam menyediakan cadangan beras
dalam kerangka kerjasama ASEAN
Emergency Rice Reserve.
Untuk memenuhi kekurangan pangan akibat bencana, Gubernur dan
Bupati/Walikota mempunyai kewenangan untuk meminta CBP secara langsung dengan
batas maksimum masing-masing sebesar 200 ton dan 100 ton dalam setahun. Dengan
adanya CBP dan kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah tersebut, masyarakat
yang terkena dampak bencana akan dapat terpenuhi kebutuhan konsumsi pangan
pokoknya.
Sampai saat ini cadangan pangan untuk keperluan tanggap darura t hanya
berupa beras. Dalam kondisi darurat pada saat bencana, masyarakat mengalami
kesulitan pula untuk mendapatkan bahan bakar, air bersih, serta peralatan masak.
Dengan demikian, bantuan pangan dalam bentuk beras seringkali tidak dapat mengatasi
kekurangan pangan secara cepat. Perlu dipikirkan penyediaan cadangan pangan siap
konsumsi untuk keperluan darurat, terutama pa gan yang disukai masyarakat se empat.
Untuk itu cadangan pangan yang siap digunakan oleh daerah dan cocok dengan pola
konsumsi daerah sangat penting untuk dikembangkan. Mandat Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan untuk pengembangan cadangan
pangan daerah (pemda dan masyarakat) sampai saat ini belum dikembangkan sehingga
menyebabkan langkah-langkah untuk mengatasi masalah pangan sebagian besar masih
bertumpu pada pemerintah pusat.

RANPG 2006-2010
34

D. KEAMANAN PANGAN
ntang keaman gan pak sala ting karena di perkirakan
lebih s ha nu it m B
data (2 ta (
e) m
penye 0 ar 5 e tiap a
meny an m d a
m t pe n
te a r gan r
dan pemeriksaan produk pangan beredar. Hal ini sejalan dengan pembangunan
ea mana diamanatkan dalam Undang-Undang No.7 tahun 1996
tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mu ,
gan penerapan berbagai
praktek i , d
berapa tanggung jawab yang terkait dengan kegiatan keamanan pangan
ada h
Isu te an pan
h kes
meru
tan m
an ma
ia terk
h pen
engadari 90persen maala e as a d n
n
akanan. erdasarkan
WHO 000) dikehui penyakit karena pangan foodbore diseaserupakan
bab 7persen di sekitar 1,milyar kjadian penyakit diare, dan se tahunny
ebabk 3 juta keatian anakberusia ibawah 5 thun.
Untukenekan erjadinya penyakitkarena pangan dilakukan ngawasa
rhadap keamanan pangan antar lain dengan pengawasan poduk pan terdafta
k manan pangan sebagai
tu dan Gizi Pangan. Dalam peraturan tersebut keamanan pangan didefinisikan
sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
Selain itu penguatan produksi pangan juga didukung den
dan pengolahan pangan sepert : Cara Budidaya yang Baik Cara Pro uksi
Pangan Segar yang Baik, Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik, Cara Distribusi
Pangan yang Baik, Cara Ritel Pangan yang Baik, dan Cara Produksi Pangan Siap Saji
yang Baik. Upaya lain adalah melalui penguatan kelembagaan, membangun jejaring
keamanan pangan baik dalam negeri maupun luar negeri serta peng uatan peran
sumber daya manusia (pengawas pangan, produsen dan konsumen). D alam aspek
legislasi, be
la penyiapan ketentuan tentang standar dan batasan keamanan pangan misal
jenis dan cara penggunaan pestisida yang aman, teknologi dan cara pengolahan,
penyimpanan dan penanganan pangan, jenis dan batas maksimum penggunaan BTP
(Bahan Tambahan Pangan), cara-cara pengujian dan batas maksimum cemaran
mikroba, kimia dan bahan-bahan lain yang mempengaruhi keamanan pangan.
Untuk menjamin kualitas pangan, peran produsen dalam mengaplikasikan
berbagai teknologi dan prinsip-prinsip pengolahan pangan, sangat penting, termasuk
didalamnya pelabelan kemasan. Dengan jumlah pengolah pangan besar dan menengah
sejumlah kurang lebih 5900 dan 1 (satu) juta industri kecil dan industri rumah tangga
ditambah dengan importir dan distributor, angka tersebut merupakan potensi sekaligus
tantangan dalam menghasilkan pangan yang aman.

RANPG 2006-2010
35
Lahan pertanian, pabrik, tempat distribusi dan penjualan produk pangan
merupakan bagian dari sistem rantai pangan yang dilalui produk pangan. Seluruh
na da pada area tersebut serta perlakuan yang diterima
oleh produk pangan berpeluang besar mempengaruhi keamanan pangan. Oleh karena
itu ko
Saji yang Baik.
sara dan prasarana yang bera
ndisi pabrik, tempat distribusi dan penjualan produk pangan secara tidak langsung
merupakan salah satu indikator keamanan pangan. Indikator ini secara tidak langsung
juga dapat menggambarkan pengetahuan dan kesadaran produsen aka n keamanan
pangan.

1. Pengawasan Pangan sebelum Beredar
Untuk menghasilkan produk pangan yang bermutu baik dari aspek kesehatan,
mutu dan gizinya, industri pangan seharusnya menerapkan prinsip-prinsip cara produksi
pangan yang baik. Pemeriksaan sarana produksi pangan dilakukan secara rutin oleh
tenaga pengawas pangan dalam rangka mengevaluasi penerapan higi enitas dan
sanitasi sarana produksi atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) serta
penerapan Cara Produksi Pangan Siap
Pemeriksaan dilakukan baik untuk industri yang telah memiliki nomor pendaftaran
MD (Makanan, industri rumah tangga yang telah memiliki nomor pendaftaran SP/P-IRT
(Sertifikat Penyuluhan/Produk-Industri Rumah Tangga) maupun industri rumah tangga
yang tidak terdaftar. Hasil penilaian sarana produksi pangan dikelompokkan menjadi 3
(tiga) kategori yaitu baik (B), cukup (C), dan kurang (D). Hasil pemeriksaan sarana
produksi untuk industri pangan menengah ke atas (telah mendapat nomor MD) selama
kurun waktu 2000-2005 dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Menengah ke Atas

Hasil Pemeriksaan
Baik Cukup Kurang Tahun
Jumlah
Sampel
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
2000 278 54 19.4 184 66.2 40 14.4
2001 229 56 24.5 143 62.4 30 13.1
2002 339 55 16.2 209 61.7 75 22.1
2003 741 105 26.1 236 58.7 61 15.2
2004 602 327 54.3 229 38.0 46 7.6
2005 570 91 16.0 390 68.4 89 15.6

RANPG 2006-2010
36
D
Tabel 18. Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri
Pangan Rumah Tangga
ari Tabel 17 tersebut terlihat bahwa sebagian besar industri menegah ke atas
berpredikat cukup dalam penerapan CPMB. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan
untuk persentase sarana produksi yang berpredikat baik dari tahun 2000 (19,4 persen)
ke tahun 2004 (54,3 persen), namun pada tahun 2005 terjadi penurunan lagi, menjadi
16 persen.
Hasil pemeriksaan sarana produksi untuk industri rumah tangga selama kurun
waktu 2000-2005 dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini.
Hasil Pemeriksaan
Baik Cukup Kurang Tahun
Jumlah
Sampel
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
2000 1632 83 5.1 810 49.6 739 45.3
2001 1649 52 3.2 668 40.5 929 56.3
2002 2104 66 3.1 903 42.9 1135 53.9
2003 1536 157 10.2 512 33.3 867 56.4
2004 3951 337 8.5 1921 48.6 1693 42.8
2005 2555 101 4.0 1287 50.4 1167 45.7
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar industri rumah tangga masih
dinila
an sampah; fasilitas pabrik dan
kebersihan yang tidak memadai; fasilitas produksi belum terbebas dari binatang
serang
Sarana distribusi pangan yang tidak m men meliputi sarana yang
menjua k ked a, tida ftar, rus S t usus, dan
sarana yang menj u T s en patan p an yang
mengan babi tid rpisa e pr lain n prod p anga ng
bercamp ngan pro non ga ada il pe sanaan rana d usi
tersebut m satu s a dis us a m kan rapa j pelan .
Hasil p ksaan m jukk a seb n be sarana tr ibusi h
menerap PMB dan senta sa dist i yan menuhi at (M rus
meni kat dari tahun ke tahun, yaitu berturut-turut dari tahun 2000, 2001, 2002, 2003,
2004 an 2005 adalah 80 persen, 80 persen, 74 persen, 88 persen, 72 persen, dan 71
perse .
i kurang dalam penerapan CPMB. Sekitar separuh dari industri rumah tangga
masih dinilai kurang dalam penerapan CPMB, yaitu berturut-turut dari tahun 2000, 2001,
2002, 2003, 2004 dan 2005 adalah 45 persen, 56 persen, 53 persen, 56 persen, 42
persen, dan 45 persen.
Faktor penyebab utama industri produk pangan dinilai kurang dalam penerapan
CPMB adalah masih rendahnya penerapan higienitas perorangan; kurangnya kesadaran
dalam pengolahan lingkungan seperti pembuang
ga; serta peralatan dan suplai air bersih kurang memadai.
euhi syarat (TMS)
ak label, TMl produ aluwars
ual prod
k terda , TMS anda kh
k yangMSeperti pem produk gan
dung ak te h dnganoduk , da uk n ya
ur de duk pann. P has merik sa istrib
, dala aran tribi biselaku bebe enis ggaran
emeri enun an bhwa agia sar dis suda
kan C per se rana ribusg me syar S) te
ng
d
n

RANPG 2006-2010
37
Dalam rangka pengawasan sebelum beredar, dilakukan penilaian te rhadap
keamanan, mutu dan gizi produk pangan dan bila sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan maka dikeluarkan nomor pendaftaran. Data produk pangan yang terdaftar
selama tahun 2001–2005 berdasarkan pengelompokan jenis pangan dapat dilihat pada
Tabel 19 di bawah ini. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan
kena
Tabel 1
ikan jumlah produk pangan olahan dengan industri menengah–besar yang terdaftar
dan diedarkan di Indonesia.
9. Pengeluaran Nomor Pendaftaran Produk Pangan
Skala Besar Dan Menengah
Tahun Jumlah
Maka am gnan Dal Neeri Ma n egekana Luar Nri
2001 2 765539
2002 2 139227 7
2003 1731768 5
2004 1252793 8
2005 5377 1843
Sumber: BPOM, 2006
2. Pengawasan Produk Pangan Beredar
Pemeriksaan (sampling dan pengujian) terhadap pangan yang beredar dilakukan
secara berkala pada pangan yang terdaftar dengan nomor MD/ML dan SP/P-IRT, untuk
memastikan kesesuaiannya dengan data dan informasi yang disetujui pada proses
pendaftaran. Hasil pengujian selama tahun 2001–2005 dapat dilihat pada Tabel 20
dibawah ini.

Tabel 20. Hasil pengujian produk pangan beredar
2001 2002 2003 2004 2005
Memenuhi Syarat 3.817 16.542 19.289 29.564 23.372
Tidak Memenuhi Syarat 1.399 1.396 1.258 3.176 3.934
Sumber: BPOM, 2006

Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa sebagian besar produk pangan
yang beredar telah memenuhi syarat dengan persentase selama tahun 2001, 2002,
2003, 2004, dan 2005 berturut-turut adalah 73 persen, 92 persen, 94 persen, 90 persen
dan 86 persen.

RANPG 2006-2010
38
i. P
ditemukan adalah
produk pangan buatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan. K , kadar dan penggunaan bahan
tambahan pa ng tidak termasuk diizinka n yang dilar ang. Pada Tabel 21
terlihat persenta hasil n 2
abel 21. Pers Pelanggaran Produk an
roduk Pangan Tidak Memenuhi Syarat (TMS)
Terdapat beberapa parameter yang menentukan suatu produk pangan
dikategorikan sebagai produk yang tidak memenuhi syarat, antara lain menggunakan
bahan tambahan pangan yang dilarang, menggunakan bahan tambahan pangan
melebihi batas maksimum yang diizinkan serta mengandung cemaran melebihi batas
maksimum yang diizinkan. Dalam satu produk pangan mungkin ditemukan lebih dari
satu kriteria TMS.
Selama tahun 2002 – 2005, pelanggaran yang paling banyak
yang menggunakan pemanis
-lain meliputi bobot tuntriteria lain
ngan ya
as, label
n maupu
se pengawasan selama tahu001 – 2005.
T entase Pang
HASIL
PEMERIKSAAN 2001 2002 2003 2004 2005

Jumlah
Sample %
Jumlah
Sampel%
Jumlah
Sampel%
Jumlah
Sampel%
Jumlah
Sampel %
Jumlah sampel 5216 7938 20547 32740 27306 1
A. Jumlah sampel ya
memenuh 73,18 16542 92,22 19289 93,88 29564 90,30 23372 85,59
ng
i syarat 3817
B. Jumlah sampel TMS : 1399 26,82 13 96 7,78 1258 6,12 3176 9,70 3934 14,41
- Pem is bu 46,20 326 25,91 - 844 21,45an atan TMS 219 15,65 645
- Pengawet TMS 229 16,37 170 12,18 52 4,13 372 11,71 216 5,49
- Formalin 282 7,17 137 9,81 82 6,52 213 6,71
- Bor 307 7,80aks 127 9,10 106 8,43 538 16,94
- Pew
ma 445 11,31
arna bukan untuk
kanan 190 13,61 204 16,22 967 30,45
- Cem TMS 79 5,65 - 33 2,62 748 23,55 225 5,72aran mikroba

- Lain-lain 811 57,97 - 475 37,76 338 10,64 1605 40,80
Sumber: POM, 2006
Ket: Jumlah sampel me

Selama pe e 2002–200 h an wa rh roduk
panga olah. Tabe m a a r roduk
pangan j hun 20
se hasil pengawasan makanan jajanan anak sekolah
B
rupakan hasil penjumlahan A dan B.
riod 5, teladilakukpengasan teadap p
n jajanan anak sek l 22 enunjukkn data hsil pemeiksaan p
ajanan anak sekolah ta2002 - 05.
Tabel 22. Persenta
HA ILS PEMERIKSAAN 2002 2003 2004 2005

Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Sampel % Sampel % Sampel % Sampel %
Sampel Memenuhi Syarat 913 56,12 393 59,91 390 42,81 517 60,05
Sampel Tidak Memenuhi Syarat 714 43,88 263 40,09 521 57,19 344 39,95
Sumber: BPOM, 2006

RANPG 2006-2010
39
Dari hasil pemeriksaan terlihat bahwa kriteria tidak memenuhi syarat ditemukan
karena a n b k
0
pelangg ran penggunaan pe gawet yang mele ihi batas ma s imum,
penggunaan bahan berbahaya formalin, boraks, rhodamin-B, penyalahgunaan pemanis
buatan dan pangan tercemar mikroba melebihi batas maksimum. Dalam satu sampel
produk pangan mungkin ditemukan lebih dari satu kriteria TMS. Tabel 23 berikut
menunjukkan data hasil pemeriksaan produk pangan jajanan anak sekolah yang tidak
memenuhi syarat dari tahun 2002-2 05:
Tabel 23. Pelanggaran pada Berbagai Kriteria Tidak Memenuhi Syarat
Jumlah Pelanggaran
pada Tahun
Kriteria Tidak Memenuhi Syarat
(TMS)
2002 2003 2004 2005
Pemanis buatan melebihi batas
persyaratan
282 154 402 122
Pengawet melebihi batas 86 8 19 10
Pewarna ya
hanyl yellow, Amaranth) 133 63

147

90
ng dilarang (Rhodamin-B,
Met
Formalin 139917
Boraks 74 34 20 38
Cemaran mik T
ada data
91 198roba idak 98
Sumber: BPOM,

2006
n Men u ha a
hasil pemer n a k tahu 00 mpai g ,
kan pelanggaran peng aan ba b aya m duk p an an
itemukan ter pat dala rodu ngan elipu bahan ang
kan dalam p si pangan sepe
o , Bor , amin nanyl
l 24). Pemakaian bahan berbahaya ini dapat dikarenakan keterbatasan
tahuan produsen tuan rangan pe un ya d ksi
urangny kep lian terhadap masal kea n p uk an

ii. Produk Panga gandng Ban Berbhaya
Dari iksaa selamurunwaktu n 22 sa denan 2005
ditemu gun han erbah d
m
ala pro ang. Bah
berbahaya yang d da m p k pa ti yang dilar
diguna roduk rti FrmalinaksRhodB da Meth
Yellow (Tabe
penge p
a
eriha
edu
l keten la n
ah
ggaann alam produ
pangan ataupun k mana rod pang
yang dapat berakibat buruk terhadap kesehatan.
Tabel 24. Temuan Bahan Berbahaya dalam Produk Pangan
Tahun
Total
Sampel Temuan Bah n Berbaha a **) a y
Jumlah %
2002 19078 454 2
2003 2 2 0547 392
2004 0 8 5 3274 171
2005*) 26990 935 3
Sumber: BPOM, 200
, Boraks, Rhodamin B, dan Methanyl Yellow
6
**) Meliputi Formalin
Comment [AH1]: Apa catatan
utk bintang ini?

RANPG 2006-2010
40
Tabel 25 menunjukkan temuan formalin dalam produk pangan periode tahun
2002 sampai dengan 2 05. Dari tabel tersebut ter hat ba wa sejak tahun 2 02 formalin
sudah ditemukan dalam produk pangan, dan persentase produk pangan yang
mengandung formalin sejak tahun 2002 sampai tahun 2005 mengalami penurunan.
Tabel 25. Temuan Formalin dalam Produk Pangan
0 li h 0
Tahun
Total
Sampel
Temuan Produk Pangan yang
Mengandung Formalin
J umlah %
2002 248 139 56
2003 180 73 41
2004 786 274 35
2005
*)
1160 1 177 5
Sumber: BPOM, 2006
ember 200
saan terhadap jen angan rtentu ng me ndung
formalin per 6 Januari 2006. Pemant n dila an ter ap p k mie
basah, eberapa propinsi di sia. Tabel 26 t m jukkan
hasil pemantauan produk mie basah, tahu n di 6 (enam) pr opinsi terhadap
pemak
Tabel 26. Hasil Pemantauan Produk Mi Basah, Tahu,
pinsi
*) Data sampai Bulan Nov
Lebih jauh lagi pemerik
5
is p te ya nga
dilakukan aua kuk had rodu
tahu dan ikan di b Indone
dan ika
berikuenun
aian formalin.
dan Ikan di Enam Pro
Pengambil
Sampel
Jumlah
Sampel
Memenuhi Syarat
Mengandung
Formalin
Sampel % Sampel %
BBPOM Makasar 40 38 95 2 5
BPOM Jambi 50 48 96 2 4
BBPOM Manado 55 36 65 19 35
BBPOM
Yogyakarta 41 41 100 0 0
BBPOM J 61 akarta 116 91 78 25
BBPOM Semarang 107 99 93 7
8
Jum 353 5 14 lah 409 6
Sumbe OM, 200
Kond anan k pangan ju dilihat da besarnya kasus
penola ke negara lain. Berbagai faktor yang menentukan
diterim nan (cemaran kimia,
cemaran mikroba, cemaran fisik), faktor mutu, faktor pelabelan, produsen dan lain-lain.
r: BP 6
isi keam produ ga dapat ri
kan pangan yang diekspor
a atau tidaknya pangan tersebut antara lain faktor keama

RANPG 2006-2010
41
Gamba







Drug Administration, 2006
Gambar 6 leh FDA
B asus d manan nunjukkan
masih re tingka produk pangan, yang mun mber pada
bahan baku pangan yang digunakan nu yarat um d pkannya
prins nan, pe , pe masan distrib usi yang baik.
lebi nyak dit daripa produk . Hal in ena
prod golong p a kelomp pangan esiko ting d an m
kom utama bila d dingkan gan pr pangan l ain. Dari d yang
dike (2006) t bahwa ama tah 2005 se b an besa ngan
yang asil perikanan denga san p lakan dia anya k sihan
prod
Salmonellamaran nit uran, cemaran histam n, cemar obat
paka , mengand racun, kloram kol. Seda ka n unt jenis
pangan elain prod erikana a penolakannya ala h k lahan
pelabe na yang tidak aman, dan produsen yang tidak terdaftar.
Total p
r 6 menggambarkan alasan penolakan produk pangan dari Indonesia oleh Food
and Drug Administration
(FDA), Amerika Serikat.






Sumber : Food
. Jumlah Kasus Penolakan Impor Pangan Indonesia O

esarnya k
ndahnya
penolakan
t keamanan
engan alasan kea pangan me
gkin bersu
tidak memehi s atau belitera
ip-prinsip penanga ngolahannge atau
Produk perikanan
nan ter
h ba
ad
olak
ok
da
r
lain
gi
i kar
erupakan uk perika
oditas ekspor iban den oduk ata
luarkan oleh FDA
ditolak adalah h
terliha sel
n ala
un
eno
agi
ntar
r pa
eber
uk, cemaran
n, pelabela
, ce
ung
rof
an
i
ng
an
uk n
olahan s
d
n al
feni
uk p san ad esa
lan, penggunaan pewar
enolakan dari Februari 2005 – Januari 2006 adalah 235 kasus.


Jumlah kasus penolakan impor pangan Indonesia oleh FDA
berda uari 2006)
(N =
sarkan alasan penolakan (Pebruari 2005 - Jan
235)
212
23
Keamanan Pangan Pelabelan, Produsen, dll

RANPG 2006-2010
42
iii. Kasus Keracunan Makanan
P

arameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukan tingkat keamanan
pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan.
Data y g diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima mencakup jumlah Kejadian
Lua Biasa (KLB) keracunan pangan, jumlah orang yang sakit, dan jumlah orang yang
meninggal.
Tabel 27 menunjukkan, dalam kurun wa u 5 tahun (2001-2005) jumlah KLB
keracunan serta orang yang terpapar, sakit, an meninggal aki bat keracunan
cenderung eningkat; demikian pula dengan
Case Fatality Rate (CFR) dan Incident
Rate
(IR). elama 2 tahun terakhir nilai IR terbesar terjadi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Namun, hal ini tidak mengindikasikan KLB keracunan pangan di DI
gyakarta lebih buruk dibandingkan daerah lain. Tingginya nilai IR di DI Yogyakarta
kemungkinan disebabkan kesadaran yang baik dari petugas kesehatan setempat untuk
melapo KLB keracunan pangan di daerahnya. Diduga masih bany ak KLB
keracu pangan yang belum dilaporkan di Indonesia.
Tabel 27. Jumlah Kasus Keracunan Tahun 2001 - 2005
an
r
kt
d
m
S
.
Yo
rkan
nan
Tahun KLB Terpapar Sakit Meninggal CFR*) IR**)
2001 26 1965 1183 16 1.35 0.54
2002 43 6543 3 10 0.28 1.67 635
2003 34 8651 1843 12 0.65 0.84
2004 164 22297 7366 51 0.69 3.37
2005 184 23864 8949 49 0.55 4.11
*) Case Fatality Rate (CFR): perbandingan antara jumlah yang meninggal dengan yang
sakit dikalikan 100.
**)
Incident Rate (IR) adalah angka kejadian per 100.000 penduduk.
Sumbe
rsen); sedangkan
pada ahun 2005 adalah pangan rumah tangga (42,4 persen), pangan olahan (15,2
persen), pangan jasa boga (21,2 persen), pangan jajanan (17,9 persen), dan lain-lain
(3,3 persen).
r: BPOM, 2006
Ditinjau dari etiologinya, penyebab KLB keracunan pangan yang dilaporkan pada
tahun 2005 diketahui sebesar 5.43 persen terkonfirmasi, 18.48 persen
suspect dan
76.09 persen tidak diketahui penyebabnya. Penyebab keracunan pangan mikrobiologi
yang sering timbul antara lain
Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella sp,
dan E.coli patogen. Sementara penyebab keracunan pangan kimia antara lain nitrit,
histamin, formalin, sianida, methanol, serta tetradotoksin
.
Sumber pangan penyebab keracunan pangan untuk tahun 2004 adalah: pangan
rumah tangga (53,7 persen), pangan olahan (15,2 persen), pangan jasa boga (15,2
persen), pangan jajanan (12,2 persen), serta tidak dilaporkan (3,7 pe
t

RANPG 2006-2010
43
E. POLA HIDUP SEHAT DA N AKTIVITAS FISIK
meningkat dari 15,4 persen (1980) menjadi 48,5 persen (2001). Penyakit
kardiov
e
i-laki dan 4,6 persen wanita
mengalami kelebihan berat badan. Penyakit kanker merupakan penyebab 6 persen
kematian di I
ar 7, rl ning keg T pa -lak i
dan p uan. D ian ju ngan mia i a asup mak
yang ti erta hip olester
Sebagai negara berkembang Indonesia banyak mengalami permasalahan pada
penyakit menular. Tetapi, prevalensi penyakit tidak menular men unjukkan
kecenderungan peningkatan sebagai penyebab kematian. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan, kematian yang disebabkan oleh penyakit
degeneratif
askuler meningkat dari 9,1 persen (1986) menjadi 26,4 persen (2001). Penyakit
kardiovasluler menjadi penyebab kematian ke 11 pada tahun 1972, tetapi kemudian
terus meningkat menjadi urutan ke 3 tahun 1986 dan penyebab kematian pertama pada
tahun 1992, 1995 dan 2001.
Prevalensi penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup
tinggi, yaitu 83 per 1.000 anggota rumah tangga tahun 1995. Pada tahun 2001, pada
kalangan penduduk umur 25 tahun keatas sebanyak 27 persen laki-laki dan 29 persen
wanita mend rita hipertensi, 0,3 persen mengalami penyakit jantung iskemik, dan stroke,
1,2 persen mengalami diabetes dan 1,3 persen lak
ndonesia.
Gamb mempeihatkan pekatan emukan (IM e” 25)da laki
eremp emik ga de hiperglike sebagakibat an le
nggi s erk ol.

35
26,6
28,9
30
8,1
8,9
5,8 5,9
7,2
12,7 12,2
12,9
9,2
15,5
9,7
16,7
0
5
10
15
m u k an
rtensi
l ik ema
esterol
muk an
erten
a
l
Pe
17,3
g
si
glik e m
estero
rse
24
25
20n
Ke g e
Hipe
Hip er
Hip erkol
Keg e
Hip
Hiper
Hiperkol
20012004


Gambar 7. Prevalensi Penderita Penyakit Degeneratif Tahun 2001 dan 2004
Laki ‐ laki   Perempuan 
Sumber : SKRT 2001, 2005

RANPG 2006-2010
44

Peningkatan prevalensi penyakit tidak menular seperti kardiovaskular, hipertensi,
kanker dan lain-lain menunjukkan adanya perubahan pola hidup, terutama kebiasaan
makan yang tidak baik dan aktivitas fisik yang berkurang.
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang sehat dan
aktivitas fisik dapat menurunkan resiko perkembangan diabetes sebanyak 58 persen,
hipertensi 66 persen, serta serangan jantung dan stroke 40-60 persen. Selain itu,
sepertiga jenis kanker dapat dihindari dengan menerapkan pola h idup sehat,
meningkatkan aktivitas fisik dan menurunkan jumlah asupan lemak jenuh.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, faktor resiko penyebab kesakitan dan
kematia
akit tidak menular ini.
hat dapat menyebabkan berbagai penyakit. Misalnya
konsum buah dan sayur yang rendah diperkirakan menyebabkan 31 persen panyakit
jantung emik, 11 persen stroke dan 19 persen kanker gastrointestinal (WHO 2005).
Pola makan yang tidak sehat antara lain meliputi makan secara berlebih, rendahnya
konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumi garam, gula dan lemak.
Peningkatan industrialisasi, urbanisasi dan mekanisasi dapat menyebabkan
terjadinya perubahan pola makan, yaitu makanan yang lebih kaya akan lemak dan
energi sementara aktivit
Indonesia, permasalahan
gizi buruk pada populasi, bahkan keluarga yang sama.
Meningkatnya kejadian gizi lebih tidak hanya terjadi pada penduduk dengan
penghasilan yang cukup untuk membeli makanan, tetapi juga pada masyarakat miskin di
perkotaan dan perdesaan serta pada laki-laki dan perempuan. Data HKI menunjukkan
bahwa (IMT>25) pada perempuan di daerah perdesaan dari tahun
1991-2001 memperlihatkan kecenderungan meningkat pada semua kelompok umur
dengan kecenderungan kegemukan terjadi pada usia setengah baya (Gambar 8).
amun kejadian gizi lebih juga terjadi pada anak-anak dengan prevalensi yang lebih
n meliputi hipertensi, hiperkolesterol, konsumsi buah dan sayur yang kurang,
kegemukan dan obesitas, aktivitas fisik yang rendah, serta konsumsi tembakau. Semua
faktor resiko ini merupakan penyebab timbulnya penyakit tidak menular (
The World
Health Report
2002). Dengan demikian pola makan dan aktivitas fisik merupakan
bagian dari penyebab utama penyakit tidak menular, seperti diabetes, kardiovaskular,
kanker, saries gigi dan osteoporosis. Merokok juga meningkatkan resiko terhadap
serangaan penyakit-peny
1. Pola Makan yang Tidak Sehat
Pola makan yang tidak se
si
isk
as fisik semakin berkurang. Di banyak negara, termasuk
gizi lebih terjadi secara bersamaan dengan kurang gizi dan
prevalensi gizi lebih
N
kecil.

RANPG 2006-2010
45
0
15- 19 20- 24 25- 29 30- 34 35- 39 40-44 45- 49
Umur ( t ahun)
10
20
30
40
50
1999
2000
2001



Kebiasaan makan yang terkait dengan
Gambar 8. Prevalensi Gizi Lebih pada Perempuan Dewasa
(Perdesaan, NSS-HKI 1999-2001)

kegemukan dan obesitas antara lain
adalah kebiasaan makan makanan ringan (
snack) dan makan di restoran. Bayi yang
juga beresiko mengalami kegemukan. Pengaruh
lingkungan
ab 31 persen penyakit jantung
iskemik ,7 n
ang cukup akan memberikan asupan yang cukup bagi serat ke dalam tubuh.
tidak mendapatkan ASI eksklusif
seperti iklan dan promosi memberikan kontribusi bagi peningkatan konsumsi
makanan dengan densitas energi yang tinggi lemak dan karbohidrat. Faktor lain yang
ikut mendorong kegemukan dan obesitas antara lain adalah peningkatan restoran siap
saji, meningkatkan konsumsi minuman bergula dan jus buah.
i. Kurang Konsumsi Buah dan Sayur
Buah dan sayur merupkan bagian penting dari pola makan yang sehat. Buah dan
sayur yang dikonsumsi dengan cukup dapat membantu mencegah peny akit
kardiovaskular dan kanker. Menurut
The World Health Report 2002, asupan buah dan
sayur yang masih rendah diperkirakan menjadi penyeb
dan 11 persen stroke. Diseluruh dunia 2 juta nyawa dapat diselamatka setiap
tahun jika konsumsi buah dan sayur dapat ditingkatkan.
Joint FAO/WHO Expert Consultation on diet, nutrition and the prevention of
chronic diseases
merekomendasikan asupan minimum 400 gram buah dan sayur per
hari (tidak termasuk kentang dan umbi-umbian yang mengandung pa ti) untuk
pencegahan penyakit kronis seperti jantung, kanker, diabetes dan obesitas, sekaligus
sebagai upaya pencegahan kekurangan zat gizi mikro. Jumlah konsumsi buah dan
sayur y

RANPG 2006-2010
46
Menurut data Susenas 2004, persentase pengeluaran untuk buah dan sayur
pada tingkat rumah tangga cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2002,
pengeluaran untuk sayur dan buah masing-masing 2,84 persen dan 4,73 persen;
kemudian turun menjadi 2,61 persen dan 4,33 persen pada tahun 2004. Penurunan
pengeluaran untuk buah dan sayur menyebabkan penurunan rata-rata konsumsi buah
dan sayur di Indonesia. Pada tahun 1999, konsumsi sayur dan buah sebesar 309 gram
per kapita per hari; angka ini turun pada tahun 2004 menjadi 221 gram per kapita per
hari (Susenas 1999 dan 2004). Rendahnya konsumsi buah dan sayur ini berkontribusi
pada rendahnya konsumsi serat yang baru mencapai rata-rata 10 gr/hari, jauh lebih
rendah dari kecukupan sebesar 30 gr/hr ( Jahari AB, 2000).
Upaya peningkatan kebiasaan konsumsi buah dan sayur sebagai salah satu
gaya hidup sehat sebenarnya telah didukung dengan ketersediaan buah dan sayur yang
cukup melimpah. Produksi sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan pola yang
meningka pai 9,1 juta ton dan
menjad persen per tahun.
Produs 14,3 juta ton tahun 2004 menjadi 15,5 juta
ton tah r
ny Oleh karena itu
pening a kebiasaaan makan terkait dengan garam,
gula dan lemak perlu terus ditingkatkan.

i a a n d
N
t. Pada tahun 2004 tingkat produksi sayur-sayuran menca
9,2 juta ton tahun 2006 atau mengalami peningkatan 0,54
uah-buahan juga meningkat dari
i
ki b
un 2006, atau meningkat 3,91 pe sen per tahun.
ii. Konsumsi garam, gula, dan lemak yang berlebihan
Konsumsi garam, gula, dan lemak yang berlebihan juga merupakan salah satu
ciri dari kebiasaan makan yang tidak sehat. Konsumsi yang berlebih pada bahan
makanan tersebut dapat meningkatkan resiko serangan penyakit hipertensi, diabetes,
kardiovaskular, stroke, dan penyakit-penyakit kronis lain a.
kat n pengetahuan masyarakat tentang
Konsumsi garam oleh penduduk di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5,6
gram per kap ta per hari, d n pada t hun 2004 meni gkat menja i 6,3 gram per kapita
per hari. Menurut Standar Nasional Indonesia (S I) kadar Natrium klorida dalam garam
minilan adalah 97,1 persen (kelas I) dan 94,7 persen (kelas II). Selain itu SNI
mewajibkan iodisasi pada garam konsumsi guna meningkatkan kadar yodium, dengan
kadar minimal
Kalium Iodat sebesar 30-80 mg/kg.
WHO Technical Report on Diet, Nutrition and the Prevention of Chronic Disease
merekomendasikan penurunan asupan garam sebagai bagian kebiasaan makan yang
sehat untuk mengurangi resiko serangan penyakit kronis tidak menular. Namun upaya
untuk mengurangi konsumsi garam, hingga saat ini belum menjadi kebijakan nasional
karena adanya beberapa tantangan seperti upaya untuk mencapai konsumsi garam
beryodium untuk semua (
Universal Salt Iodization atau USI).

RANPG 2006-2010
47
Tingkat konsumsi garam beryodium yang cukup baru mencapai 72,81 persen
pada tahun 2005 (Susenas 2005). Karena gangguan akibat kurang yodium (GAKY)
masih menjadi masalah utama di Indonesia, maka pemerintah menetapkan kebijakan
untuk meningkatkan cakupan konsumsi garam beryodium. Salah satu pesan utama
yang disampaikan dari 13 Pesan Umum Gizi Seimbang (PUGS), adala h “gunakan
hanya garam beryodium”. Dengan demikian, tidak terdapat pesan khusus untuk
mengurangi konsumsi garam, sebagaimana rekomendasi Laporan Teknis WHO tersebut
di atas.
Mengingat keberadaan dua masalah yang terjadi secara bersamaan (
co-exist)
yaitu GAKY yang menuntut peningkatan konsumsi
garam beryodium, dan
berkem
a pasir di Indonesia meningkat
dari rat -rata 22,6 gram per kapita per hari (tahun 1999) menjadi 24,4 gram per kapita
per har
yang cukup.
tung iskemik, 10-16 persen kanker
payudar
meningkatkan kesehatan
fisik dan mental individu.
bangnya penyakit tidak menular yang merekomendasikan peng urangan
konsumsi garam, maka perlu dipikirkan langkah strategis dalam penetapan kebijakan
konsumi garam sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal.
Konsumsi makanan dengan densitas energi yang tinggi ikut berkontribusi pada
meningkatnya kegemukan dan obesitas yang pada akhirnya meningkatkan kejadian
diabetes. Salah satu jenis makanan yang mempunyai densitas energi tinggi adalah gula.
Data konsumsi rumah tangga menunjukkan konsumsi gul
a
i (tahun 2004).
Selain garam dan gula, konsumsi lemak yang berlebih, terutama lemak jenuh,
juga dapat meningkatkan resiko berbagai jenis penyakit kronis. Perubahan pola
konsumsi kepada jenis makanan yang banyak mengandung lemak anta ra lain
dipengaruhi oleh globalisasi sehingga jenis-jenis makanan berlemak makin mudah di
dapat, perubahan gaya hidup dengan meningkatnya konsumsi makanan siap saji dan
lain-lain. Resiko serangan penyakit akan lebih tinggi, apabila konsumsi lemak, garam
dan gula tidak diikuti dengan aktivitas fisik

2. Kurangnya Aktivitas Fisik
Ketiadaan atau rendahnya aktivitas fisik dan pola konsumsi yang tidak seimbang
diperkirakan secara global menyebabkan meningkatnya prevalensi kegemukan dan
menyebabkan terjadinya 22 persen penyakit jan
a, kanker usus dan kanker rektal serta diabetes mellitus. Secara keseluruhan
terdapat 1,9 juta kematian yang disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik. Makanan dan
aktivitas fisik dapat mempengaruhi kesehatan baik secara bersama-sama maupun
sendiri-sendiri. Efek dari pola makan dan aktivitas fisik saling berinteraksi, terutama
dalam kaitannya dengan obesitas. Selain berfungsi untuk membantu mencegah obesitas, aktivitas fisik merupakan cara yang utama dalam

RANPG 2006-2010
48
Hasil SKRT tahun 2004 menunjukkan sebagian besar (lebih dari 84 persen) dari
kelompok umur 15 tahun ke atas kurang aktif melakukan aktivitas fisik, , sebesar 9,1
persen bahkan tidak aktif, dan hanya 6 persen yang melakukan aktivitas fisik secara
aktif (Gambar 9).
Tidak AktifAktif
9,1%6,0%
Kurang
Aktif
84,9%
Aktif: latihan (exercise) setiap
hari selama 10 menit, total
kumulatif 150 menit/mingggu
Kurang Aktif: latihan
(exercise) setiap hari selama
10 menit, total kumulatif <150
menit/mingggu

Sumber : Susenas, 2005


Gambar 9. Tingkat aktivitas penduduk usia diatas 15 tahun (2004)
Pola hidup generasi dewasa muda saat ini mengalami perubahan ka rena
pengaruh lingkungan, infrastruktur dan gaya hidup. Kebiasaan berjalan kaki, misalnya
alat transportasi dan fasilitas infrastruktur yang lebih baik.
la as untuk aktivitas fisik di sekolah dan fasilitas umum
menye
digantikan dengan keberadaan
Se in itu, terbatasnya fasilit
babkan makin berkurangnya aktivitas fisik yang dilakukan. Berbagai macam
hiburan, pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain seringkali menuntut fisik untuk tidak aktif,
seperti menonton televisi, film, pertunjukkan dan lain sebagainya.
Pertambahan penduduk menyebabkan makin berkurangnya ruang terb uka dan
fasilitas umum serta fasilitas olahraga. Dengan ketiadaan fasilitas olahraga yang
nyaman dan memadai ditambah dengan pengetahuan, kesadaran dan motivasi yang
kurang menyebabkan frekuensi untuk berolahraga sebagai salah satu bentuk aktivitas
fisik juga semakin menurun.

RANPG 2006-2010
49
3. Keb
dikandung dalam sebatang rokok, 60 di antaranya bersifat karsinogen
yang dapat menyebabkan terjadinya kanker. Orang yang terpapar bahan kimia tersebut,
baik perokok aktif maupuan pasif, mempunyai resiko yang lebih besar terserang
berbagai penyakit kanker, penyakit jantung, stroke,
emfisia dan penyakit lainnya.
Selain dampak terhadap kesehatan, merokok juga mempunyai dampak langsung
terhadap status gizi, diantaranya menurunkan kadar vitamin dan mineral dalam tubuh,
menurunkan kadar vitamin C dari jaringan tubuh dan darah serta menurunkan tingkat
vitamin D dalam tubuh. Sebuah penelitian menunjukkan adanya perbedaan pola
konsumsi antara perokok dan bukan perokok. Perokok mengkonsumsi lebih tinggi:
energi, total lemak, lemak jenuh, kolesterol dan alkohol; namun mengkonsumsi lebih
rendah lemak tak jenuh ganda, serat, vitamin C, Vitamin E, dan beta karoten. Pola
konsumsi perokok seperti ini meningkatkan efek bu anker dan
serangan jantung.
Penggunaan tembakau merupakan salah satu p kesakitan
di antara penduduk termiskin di Indonesia. Pada sekitar 34 persen
penduduk berumur 15 tahun ke atas merokok, dengan ggi di daerah
pedesaan (36,6 persen), dibanding perkotaan (31,7 persen), Tabel 28. Angka ini
meningkat dari 27,7 persen di tahun 2001 (Gambar 10).
iasaan merokok
Tembakau, rokok, dan asapnya mengandung
nikotin dan bahan kimia lain yang
menyebabkan ketagihan serta gangguan kesehatan. Terdapat kurang lebih 4.000
bahan kimia yang
ruk merokok seperti k
enyumbang utama dari
hun 2004,ta
prevalensi lebih tin
34
40
26,23
27,7
0
5
10
15
20
25
0
Persen
,44
3
35
1995 2001 2004
Gambar 10. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Merokok
Dalam Satu Bulan Terakhir (Untuk 2005: 15 Tahun Ke Atas)

RANPG 2006-2010
50
Sekitar 77,9 persen dari perokok tersebut mulai merokok sebelum usia 19 tahun,
yaitu es k
yang
Total
pada saat mereka mungkin belum bisa memahami r i o merokok dan sifat nikotin
sangat adiktif. Karena sebagian besar (91,8 persen) perokok yang berumur 10
tahun ke atas merokok di dalam rumah ketika bersama dengan angg ota keluarga
lainnya, diperkirakan jumlah perokok pasif anak-anak adalah 43 juta orang
Tabel 28. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Merokok Dalam Satu
Bulan Terakhir Per Propinsi Menurut Wilayah Tahun 2004
Propinsi Kota Desa Total Propinsi Kota Desa
NAD 32.50 36.57 35.4 Bali 25.05 23.53 24.30
Sumatra Utara 34.07 34.36 34.23 NTB 31.63 33.23 32.62
Sumatra Barat 32.64 34.95 34.22 NTT 24.75 27.81 27.28
Riau 34.60 40.62 37.86 Kalimantan Barat 30.27 40.30 37.44
Jambi 32.44 39.51 37.42 Kalimantan Tengah 29.35 39.29 36.29
Sumatra Selatan 32.02 44.04 39.76 Kalimantan Selatan 24.02 29.47 27.36
Bengkulu 31.88 41.62 38.75 Kalimantan Timur 26.80 33.20 29.64
Lampung 39.53 39.41 39.44 Sulawesi Utara 29.49 41.98 37.14
Bangka Belitung 32.10 31.47 31.74 Sulawesi Tengah 23.08 37.20 34.19
DKI Jakarta 31.21 - 31.21 Sulawesi Selatan 25.32 30.67 29.02
Jawa Barat 3 6.87 41.19 38.91 Sulawesi Tenggara 25.78 33.26 31.53
Jawa Tengah 29.10 35.14 32.62 Gorontalo 34.37 41.32 39.39
DI Yogyakarta 27.17 31.07 28.76 Maluku 28.83 33.69 32.22
Jawa Timur 28.74 35.20 32.48 Maluku Utara 35.60 44.41 41.90
Banten 36.17 41.09 38.31 Papua 30.77 40.93 38.38
Indonesia 31.72 36.60 34.44
Di Indonesia, penggunaan tembakau berkontribusi cukup besar pada beban
kesehatan. Satu dari dua perokok jangka panjang, meninggal karena kebiasaan tersebut,
dan separuh kematian terjadi dalam usia produktif ekonomi. Merokok bukan hanya
berpengaruh pada biaya-biaya perawatan kesehatan, namun juga me nurunkan
produktivitas kerja. Kelompok miskin adalah yang paling dirugikan karena penggunaan
tembakau. Pada 2001, penduduk termiskin menggunakan 9,1 persen dari pengeluaran
bulanan untuk tembakau, dibandingkan 7,5 persen pada kelompok kaya. Persentase
pengeluaran untuk tembakau pada kelompok penduduk miskin melebihi pengeluaran
untuk kesehatan dan pendidikan yang hanya sebesar 2,5 persen (perdesaan) dan 5,9
persen (perkotaan). Pengeluaran untuk rokok, seharusnya bisa digunakan untuk
mencukupi asupan gizi keluarga. Belanja produk tembakau yang lebih banyak daripada
pengeluaran untuk makanan mempunyai dampak yang sangat besar pada kesehatan
dan gizi keluarga miskin.
Beberapa langkah yang dianjurkan untuk dapat menurunkan permint aan
terhadap rokok antara lainnya adalah penerapan harga dan pajak yang tinggi, proteksi
n dan
label, e angan
gelap pelarangan penjualan kepada anak-anak dan penyediaan kegiatan alternatif
secara ekonomis bagi petani dan karyawan pabrik tembakau.
terhadap paparan asap tembakau, pengaturan kadar nikotin, pengaturan kemasa
dukasi, pelarangan iklan dan promosi rokok, penindakan tegas perdag
,

RANPG 2006-2010
51
BAB IV. RENCANA AKSI

lu diperoleh
b
lanjut dalam isu strategis
ter at d k k aitan d bi
t an izi , (iv) perila n
k
1 Strategis B a eri
n a o h
a terba p n
ersedia n g m sih te h
r d t u zi m s s
ia n r as d
kata k n e si pangan a
ert h ga mampu m s
kons a a d kelomp t
kon d a gai sumber v
hew
rangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan
l e k
A. ISU STRATEGIS
Berdasarkan analisis situasi pangan dan gizi pada bab terdahu
eberapa isu strategis yang masih perlu mendapatkan perhatian dan penanganan lebih
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Isu-
sebut dap ibagi e dalam
,
lima elompok berk engan: (i si) akselitas
erhadap pang, (ii) g (iii) keamanan pangan ku hidup sehat, da (v)
elembagaan.
. Isu erkaitn denganPangan adalah sebagai bkut:
i. Terbatasya kapsitas prduksi beras dan panganlokal sumber karboidrat
sert tasnyaproduksianga asal hewan.
ii. Ket an pagan di tinkat ruah tangga ma rus menjadi masala dan
berpengauh paa tingkakecukpan asupan gi eskipun ecara naional
ketersedan pagan di pasamencukupi. M alah utamanya aalah
peningn efetivitas da efisinsi distribu antar daerah danntar
waktu sa dayabeli ruma tangga sehing engakse pangan.
iii. Pola umsi pngan msih diominasi oleh ok padi-padian teruama
beras,
protein
sumsi
ani ma
sayuran
sih rendah
an bu
.
h seba itamin dan miner la serta
2. Isu Strategis Berkaitan dengan Gizi adalah sebagai berikut:
i. Masih tingginya prevalensi kurang gizi pada balita erat hubungannya dengan
masalah KEK pada WUS dan berkurangnya kebiasaan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan, khususnya oleh perempuan perkotaan dan pekerja.
ii. Masih kurangnya kesadaran terhadap masalah gizi karena rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya pengetahuan mengenai masa paling kritis dalam
peningkatan gizi (
Window of Opportunity), yaitu ibu hamil, bayi, dan anak sampai
usia 2 tahun menjadi penghambat upaya perbaikan gizi.
iii. Masih rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin disebabkan rendahnya
akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layan an
kesehatan dasar, ku
kurangnya ayanan r produ si
iv. Meningkatnya masalah gizi lebih karena tingginya konsumsi makanan yang kaya
karbohidrat, lemak, garam, rendah serat, kebiasaan merokok dan berkurangnya
aktifitas fisik mengakibatkan gizi lebih merupakan salah satu penyebab penyakit
degeneratif (tidak menular).

RANPG 2006-2010
52
v. Masih tingginya angka penyakit infeksi
penurunan status gizi, terutama berkaitan dengan status air minum dan sanitasi
asih memprihatinkan, serta pelayanan kesehatan yang tidak
i infeksi dengan tingkat kejadian yang tinggi antara lain adalah
pada balita yang menyebabkan

lingkungan yang m
memadai. Berbaga
demam berdarah dengue, diare dan ISPA.

3. Isu Strategis Berkaitan dengan Keamanan Pangan adalah sebagai berikut:
i. Kesadaran keamanan pangan baik pada produsen dan konsumen ma sih perlu
ditingkatkan karena kesadaran akan keamanan pangan, merupakan awal dari
umsi.
n bahan-bahan uji pangan yang
iii.
lebih
an makanan yang aman
4.
i.
men serta kesepakatan
i
ii. ik makro dan mikro, terjadi secara bersamaan
ingkatan konsumsi energi dapat berdampak pada
peningkatan konsumsi lemak dan upaya peningkatan konsumsi yodium dapat
upaya menciptakan produk pangan yang aman untuk dikons
ii. Ketersediaan tenaga pengawas yang masih terbatas, kesadaran produsen dan
konsumen yang masih rendah, serta ketersediaa
masih terbatas masih menjadi kendala dalam penerapan standar keamanan
pangan secara konsisten.
Masih maraknya pengunaan bahan tambahan makanan berbahaya, terutama
pada industri pangan menengah kecil dan rumah tangga. Upaya untuk menekan
dan menghindari penggunaan bahan tambahan pangan berbahaya menjadi
sulit karena keterbatasan tenaga pengawas dan penegak hukum ser ta
rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, baik konsumen maupun
industri pangan.
iv. Belum berkembangnya alternatif produk bahan tambah
dan terjangkau merupakan salah satu faktor masih banyaknya penggunaan
bahan tambahan makanan berbahaya dalam industri pangan.
Isu Strategis Berkaitan dengan Pola Hidup Sehat adalah sebagai berikut:
Masih kurangnya upaya advokasi dan edukasi tentang pentingnya aktivitas fisik
bagi kesehatan yang memerlukan dukungan dan komit
sektor lain terutama dalam penyediaan sarana olahraga dan tempat-tempat
terbuka untuk beraktivitas fisik serta upaya pen ngkatan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat
Saat ini masalah gizi kurang, ba
(co-exist) dengan kelebihan gizi dan penyakit kronis, namun belum ada strategi
dan metode yang komprehensif dalam upaya penanggulangan gizi kurang, yang
pada saat yang sama juga menanggulangi masalah gizi lebih dan penyakit kronis.
Sebagai contoh, upaya pen

RANPG 2006-2010
53
berakibat pada konsumsi garam yang berlebih karena pem erian yo dium
dilakukan melalui fortifikasi pada garam.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan kebiasaan untuk
mengkonsumsi sayur dan buah sebagai salah satu gaya hidup sehat. Padahal
ketersediaan sayur dan buah cukup melimp
b
iii.
ah, ditunjukan dengan data produksi
yang meningkat.
erokok, terlihat dari

5. Isu
i. lah gizi masih terpecah-pecah dalam berbagai sektor
a
ii. gunan pangan dan gizi saat ini tersedia dan secara umum
keputusan untuk
intervensi yang sesuai dan tepat waktu dalam menilai ketahanan pangan dan gizi.
Oleh karenanya pengembangan indikator ketahanan pangan dan gizi yang
ditangani
iii.
iv. Belum optimalnya upaya untuk mengurangi kebiasaan m
kecenderungan meningkatnya prevalensi merokok pada penduduk ser ta
meningkatnya prevalensi penyakit kronis akibat tembakau. Hal ini terkait antara
lain dengan kebiasaan dan budaya, kesadaran, sumber keuangan negara dan
sumber kehidupan petani tembakau.
Strategis Berkaitan dengan Kelembagaan adalah sebagai berikut:
Saat ini penanganan masa
seperti kesehatan dan pertanian, namun Rencana Pembangunan Jang ka
Panjang 2005-2025 telah mengarahkan bahwa masalah gizi harus ditangani
secara lintas sektor. Dengan tidak adanya satu lembaga tersendiri yang khusus
menangani m salah gizi, maka perlu suatu upaya untuk penanganan gizi yang
terintegrasi dan memerlukan kepemimpinan yang kuat.
Indikator pemban
merupakan salah satu indikator yang datanya dapat diperoleh secara sistematis
sampai tingkat daerah. Perlunya ditingkatkan penggunaan data-data ini sebagai
indikator yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
sensitif baik ditingkat lokal maupun nasional menjadi isu yang perlu
dengan baik.
Masih belum optimalnya upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
dalam memerangi masalah kerawanan pangan dan kekurangan gizi dikarenakan
belum adanya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat termasuk LSM
dan swasta.
iv. Ketersediaan tenaga di bidang pangan dan gizi masih menjadi kendala. Karena
penyediaan tenaga di bidang pangan dan gizi memerlukan investasi yang cukup
lama dan menyangkut pendidikan, sistem kepagawaian, dan profesi, maka
upaya pemenuhan ketenagaan pangan dan gizi tidaklah mudah. Untuk itu perlu
upaya yang ekstra dalam upaya peningkatan ketersediaan tenaga terampil di
bidang pangan dan gizi.

RANPG 2006-2010
54

B.

1.
daan gizi masyarakat yang baik sebagai dasar untuk mencapai
ma
dan giz n
2.
i. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat dengan kesadaran
gizi yang tinggi kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya perbaikan gizi
ii.
iii. idu untuk mengakses
iv.
v.
masyarakat sebagai modal untuk mengurangi kemiskinan.
vi

C.
1.
zat
kur
pen
TUJUAN
Tujuan Umum
Mewujudkan kea
syarakat yang sehat, cerdas, dan produktif melalui pemantapan ketahanan pangan
i nasional dan daerah pada tahu 2010.

Tujuan Khusus
masyarakat.
Meningkatkan kemampuan masyarakat dan individu untuk mengak ses pangan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dengan gizi seimbang y ang
diperlukan bagi kehidupan yang sehat, yang tercermin dari ketersediaan pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya, aman, merat a dan
terjangkau.
Meningkatkan kemampuan masyarakat dan indiv
pelayanan gizi dan kesehatan secara merata, terjangkau dan berkualitas serta
cost-effective.
Meningkatkan akses keluarga terhadap informasi gizi dan kesehatan untuk
membentuk perilaku sadar pangan dan gizi serta hidup sehat.
Mendukung kebijakan dan upaya penanggulangan kemiskinan mela lui
pelayanan gizi khusus kepada masyarakat miskin sehingga diwujud kan
perbaikan gizi
. Meningkatkan keamanan pangan beredar melalui peningkatan pa rtisipasi
produsen pangan dan pelaksanaan pengawasan yang efektif dan efisien.
SASARAN
Menurunkan prevalensi berbagai bentuk kekurangan gizi yaitu gizi kurang, kurang
besi, kurang vitamin A, dan kurang yodium, pada tahun 2010 sekurang-
angnya menjadi 50 persen dari prevalensi tahun 2005, serta mencegah terjadinya
ingkatan prevalensi kegemukan akibat kelebihan gizi.

RANPG 2006-2010
55
2. Meningkatkan konsumsi pangan perkapita untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
seim gan kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan pr otein sebesar 52
gram n cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan keragama n konsumsi
pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal 85, sehingga konsumsi
ber 1 persen per tahun, umbi-umbian naik 1-2 persen per tahun,
sayu
mi kerawanan dalam konsumsi pangan
dengan mengefektifkan sistem distribusi pangan dan meningkatkan
kemudahan/kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan, termasuk pangan
yan
4. e
pen
me nsumsi sayur dan buah.
5 e
kelo
atnya persentase anak usia 6 - 24 bulan memperoleh Makanan
g ( n a
i tnya efektifitas surveilen dan intervensi pada WUS, ibu
k
6. Me
hid engan
n a l
7. Me arakat
dengan menekan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan pangan sampai 90
ingkatkan penelitian untuk menemukan zat pengawet yang aman
n asyarakat miskin.



bang den
/hari da
as turun sebesar
ran naik 4,5 persen per tahun, buah-buahan naik 5 persen per tahun, pangan
hewani naik 2 persen per tahun.
3. Menurunkan jumlah penduduk yang mengala
g difortifikasi.
M mpertahankan ketersediaan energi perkapita minimal 2.200 k kal/hari, dan
yediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari, terutama protein hewani serta
ningkatkan ko
. M ningkatnya cakupan dan kualitas pelayanan gizi pada masyarakat terutama
mpok rentan dengan sasaran sebagai berikut :
i. Meningkatnya pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan.
ii. Meningk
Pendampin Air Susu Ibu MP - ASI) ya g tep t. iii. Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil dan Wanita Usia Subur.
v. Meningka
Hamil dan remaja putri yang beresiko Kurang Energi Kronis (LILA <
23,5 cm).
v. Menurun an prevalensi xerophthalmia.
ningkatnya pengetahuan dan kemampuan keluarga untuk menerapkan pola
up sehat dan perilaku sadar pangan dan gizi, yang ditunjukkan d
pe ingkatan akses pelayanan gizi dan konsumsi p ngan ke uarga.
ningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masy
persen dan men
da terjangkau m

RANPG 2006-2010
56
D. KEBIJAKAN
Pemantapan ketahanan pangan. Arah kebijakan: (a) menjamin ketersediaan
pangan, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman
untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang;
(b) mengembangkan kemampuan dalam pemupukan dan pengelolaan cadangan
pangan pemerintah dan masyarakat; (c) meningkatkan kapasitas produksi
pangan nasional melalui pene

1.
tapan lahan abadi untuk produksi pangan dalam
e ir
2.
n daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin; (b)
rah; (c) mengembangkan teknologi dan
m
konomi perdesaan dalam rangka
rakat
te
3. en an menuju gizi seimbang.
gota
l

em enuhan
pangan implementasi pemenuhan hak atas pangan; (c)

cost effective, diantaranya melalui
pemenuhan hak
en
4. at. Arah kebijakan: (a) mengutamakan upaya
preventif, promotif dan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin
dalam rangka mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi
mikro (kurang vitamin dan mineral); (b) memprioritaskan pada kelompok penentu
masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas
dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia
lainnya; (c) meningkatkan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan
rencana tata ruang wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
sumb rdaya lahan dan a .
Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan . Arah kebijakan:
(a) meningkatka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan
melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan
hambatan distribusi pangan antar dae
kelembagaan pengolahan dan pemasaran pangan untuk menjaga kuali tas
produk pangan dan mendorong peningkatan nilai ta bah; (d) meningkatkan dan
memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan e
mengembangkan skema distribusi pangan kepada kelompok masya
ter ntu yang mengalami kerawanan pangan.
P ingkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pang
Arah kebijakan: (a) menjamin pemenuhan asupan pangan bagi setiap ang
rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman dan hala
dikonsumsi dan bergizi seimbang; (b) mendorong, mengembangkan dan
m bangun, serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pem
sebagai
mengembangkan program perbaikan gizi yang
peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan progra m
suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A; ( d)
mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk
atas pangan dan gizi; dan (e) meningkatkan efisi si dan efektivitas intervensi
bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan mis kin
terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.
Peningkatan status gizi masyarak

RANPG 2006-2010
57
kesehatan pada kelompok masyarakat dewasa dan usia lanjut dalam rangka
ribu ta
gsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah dan
5.
rite dap
adap keamanan pangan, dan (e)
6.
l
a
la hat;
an informasi sehingga


mengurangi laju peningkatan (tren) prevalensi penyakit bukan infeksi yang terkait
dengan gizi yaitu kegemukan, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker; serta
penyakit degeneratif lainnya; (d) meningkatkan kemampuan riset di bidang
pangan dan gizi untuk menunjang upaya penyusunan kebijakan dan program,
monitoring, surveilan gizi, dan evaluasi program pangan dan gizi, berdasarkan
bukti
(evidence-based); (e) meningkatkan profesionalisme tenaga gizi dari
berbagai tingkatan melalui pendidikan dan pelatihan yang teratur dan
berkelanjutan dan memperbaiki dist si penempa n tenaga gizi tersebut
; (f)
meningkatkan efektivitas fun
swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga terjamin adanya
keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor di pusat dan daerah,
khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian dan ketahanan pangan, industri,
perdagangan, pendidikan, agama, pengentasan kemiskinan, serta
pemerintahan daerah.
Peningkatan mutu dan keamanan pangan. Arah kebijakan: (a) meningkatkan
pengawasan keamanan pangan; (b) melengkapi perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang mutu dan keamanan pangan; (c) meningkatkan
kesadaran produsen, importir, distributor dan l terha keamanan pangan;
(d) meningkatkan kesadaran konsumen terh
mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman dan
memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan menengah
produsen makanan dan jajanan.
Perbaikan pola hidup sehat. Arah kebijakan: (a) mendukung akses edukasi dan
pelayanan yang se uas-luasnya pada masyarakat dalam melaksanakan pola
hidup sehat; (b) meningkatkan komitmen dan peran serta pemangku
kepentingan dalam mendukung program pola hidup sehat; (c) meningkatkan
fungsi dan kapasit s sektor-sektor terkait dalam pengembangan pola hidup
sehat baik di Pusat maupun di daerah; (d) melibatkan secara optimal peran serta
media dalam upaya sosialisasi program dan kebijakan program pola hidup sehat;
(e) memastikan adanya keterlibatan semua lapisan masyarakat secara aktif baik
dalam program maupun kebijakan pelaksanaan program po hidup se (f)
meningkatkan kapasitas dalam administrasi data d
terbentuk data yang akurat; (g) mengembangkan program Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS); (h) mengembangkan program pendidikan kecakapan hidup (
Life
Skills Education
).

RANPG 2006-2010
58
E.

Aksesib
1.
s
d p y e
2.
n e i
nasional dan daerah.
4.
ro, tetapi juga pada aspek akses pangan yang

Status
1.
2.
3. P rga dan masyarakat sadar gizi melalui komunikasi, informasi
dan edukasi untuk mencegah gangguan.
STRATEGI
ilitas Pangan:
Pengembangan program diversifikasi pangan ditingkatkan melalui pengkajian
berbagai teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan pangan
berba is tepung, untuk: (a) mempertahankan pola konsumsi pangan lokal yang
didaerah an kelom ok mas arakat tert ntu telah beragam terutama untuk
makanan pokok, dan (b) pengembangan aspek kuliner dan daya teri ma
konsumen, melalui berbagai pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi
untuk meningkatkan citra pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan
pendidikan umum.
Penyusunan kebijakan pembangunan di bidang pangan dan gizi yang bersifat
lintas sektor, sehingga mendoro g komitm n dan investasi d bidang pangan dan
gizi dalam pembangunan
3. Peningkatan kemampuan pemerintah setempat dan masyarakat dal am
mengembangkan dan memanfaatkan sistem kewaspadaan pangan dan gi zi
untuk deteksi dini kemungkinan terjadinya bencana kerawanan pan gan,
kelaparan dan gizi kurang, serta tindakan cepat yang harus dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah setempat.
Peningkatan kegiatan dan sasaran ketahanan pangan tidak hanya pada aspek
persediaan pangan di tingkat mak
menjamin konsumsi pangan dengan gizi seimbang bagi keluarga da n
perorangan, serta dampaknya pada status gizi.
Gizi :
Pengutamaan sasaran program gizi kepada kelompok sangat rentan yaitu:
remaja putri usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi sampai usia 2 tahun
dalam rangka memperkuat dasar pencapaian program pengembangan anak usia
dini (PAUD) dalam menentukan masa depan kualitas SDM.
Peningkatan program pencegahan dan penanggulangan masalah ku rang gizi
mikro, melalui suplementasi dan fortifikasi vitamin dan mineral khususnya untuk zat besi, zat yodium, dan vitamin A dalam rangka peningkatan kualitas SDM.
eningkatan kelua

RANPG 2006-2010
59
4. Pengutamaa n sasaran program gizi kepada masyarakat miskin melalui upaya
penanggulangan kemiskinan yang disebabkan bukan karena pendapatan (“
non-
income poverty
”) dalam rangka pengembangan sumber daya manusia.
ualitas pelayanan pada penderita gizi lebih melalui pemantauan
6.

Keama

a H

1.
olah raga dan ruang terbuka,
dalam rangka menumbuhkan dan menciptakan kesadaran seluruh lapi san
akat
3.
enyusunan regulasi
4.

5. Peningkatan k
secara berkala berat badan dan tinggi badan, manajemen terpadu penanganan
kasus gizi lebih dan peningkatan KIE.
Peningkatan upaya penanggulangan penyakit infeksi khususnya pada balita
melalui pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, peningkatan surveilen
dan epidemiologi, imunisasi serta KIE.
nan Pangan :
1. Peningkatan kesadaran tentang keamanan pangan dan gizi melal ui upaya
pencegahan dini dan penegakan hukum dalam rangka menjaga mutu m utu
keamanan pangan.
2. Peningkatan keamanan pangan melalui penguatan peraturan, pemantauan dan
penegakan hukum, perlindungan konsumen dalam rangka melindungi status
kesehatan masyarakat.
Pol idup Sehat :
Meningkatkan aktivitas fisik masyarakat melalui peningkatan promosi,
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana
masyar
2. Peningkatan promosi untuk konsumsi sayur dan buah melalui pola makan gizi
seimbang dalam rangka pencegahan penyakit degeneratif
Peningkatan promosi pola makan rendah lemak, garam dan gula terutama pada
kelompok-kelompok tertentu yang beresiko tinggi melalui p
yang mengatur tentang iklan-iklan makanan dan minuman untuk mengurangi
kejadian timbulnya penyakit degeneratif di kalangan muda.
Peningkatan promosi tentang bahaya merokok melalui regulasi penertiban iklan
rokok, kebijakan penurunan permintaan suplai rokok dalam rangka mencegah
penyakit kronis.

RANPG 2006-2010
60

agaan: Kelemb
p r

3. ah dan masyarakat dalam pelaksanaan
program pangan dan gizi
memanfaatkan potensi sumber daya dari masyaraka t untuk
i masalah pangan dan gizi
data dan informasi yang lebih dapat di percaya.
s program perbaikan gizi masyarakat.
. Peningkatan pendidikan dan pemanfaatan tenaga profesional di bidang gizi di
at pemerintahan pusat dan daerah, serta di masyarakat, guna
memaksimalkan peran tenaga profesional dalam program giz
i.
1. Peningkatan kerjasama lintas sektor melalui enyusunan prog am-program
pangan dan gizi yang terkoordinasi dalam rangka pembangunan di bidang
pangan dan gizi.
2. Revitalisasi SKPG untuk meningkatkan ketersediaan data pangan dan gizi di
daerah
Memantapkan kerjasama antara pemerint
4. Menggali dan
menanggulang
5. Peningkatan kemampuan dan kualitas penelitian dan pengembangan pangan
dan gizi melalui lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan masyarakat, dalam
rangka menghasilkan
6. Peningkatan kemampuan tenaga administrasi dan profesional melalui koordinasi
perencanaan dan pengelolaan program pangan dan gizi dalam rangka
memaksimalkan efektivita
7
berbagai tingk

61
BAB V. MATRIKS RENCANA AKSI NASIONAL
PANGAN DAN GIZI 2006-2010

NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
I. AKSESIBILITAS TERHADAP PANGAN
1. Terbatasnya kapasitas
produksi beras dan pangan
lokal sumber karbohidrat
serta terbatasnya produksi
pangan asal hewan.

Pemantapan Ketahanan
Pangan

Menjamin ketersediaan
pangan, terutama dari
produksi dalam negeri,
dalam jumlah dan ragam
yang memadai
1. Peningkatan produktivitas
dan produksi pangan pokok

2. Pengkajian dan
pengembangan teknologi
pengolahan pangan
3. Revitalisasi penyuluhan
dan peningkatan
kemampuan kelembagaan
petani
4. Peningkatan ketersediaan
jenis pangan alternatif yang
murah, aman, tidak mudah
rusak, dan mudah
didistribusikan
5. Meningkatkan efektivitas
layanan prasarana irigasi
6. Meningkatkan kemudahan
petani untuk mengakses
sarana produksi bermutu

1. Ketersediaan pangan
pokok yang memenuhi
kebutuhan
2. Meningkatnya jenis
dan ketersediaan
pangan pokok yang
aman dikonsumsi
Ketahanan
Pangan
Deptan,
Dep.PU, Pemda


2. Ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga masih
Pemantapan Ketahanan
Pangan
Mengembangkan kapasitas
cadangan pangan
1. Pembelian gabah petani
oleh pemerintah
1. Tercapainya jumlah
dan mutu cadangan
Ketahanan
Pangan
Deptan, Perum
Bulog, Pemda

62
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB

pemerintah dan masyarakat
serta kemampuan
pengelolaannya
2. Mendorong terbentuknya
cadangan pangan daerah
dan masyarakat
3. Mengembangkan
cadangan pangan non-
beras siap konsumsi
4. Pengembangan sarana
dan prasarana untuk
pengelolaan cadangan
pangan pemerintah dan
masyarakat
pangan pemerintah
dan masyarakat yang
aman
2. Menurunnya jumlah
daerah dan penduduk
rawan pangan
Pemantapan Ketahanan Pangan

Penyediaan lahan abadi
untuk produksi pangan
dalam rangka menjamin
kapasitas produksi yang
dapat mencukupi kebutuhan
pangan pokok

1. Penyusunan regulasi
penetapan lahan pertanian
abadi
2. Pengendalian alih fungsi
lahan pertanian produktif
1. Terbitnya peraturan
perundangan yang
menetapkan lahan
pertanian abadi untuk
produksi pangan
2. Menurunnya tingkat
konversi lahan
produktif

Ketahanan
Pangan
Deptan, BPN,
DPR

terus menjadi masalah dan
berpengaruh pada tingkat
kecukupan asupan gizi
meskipun secara nasional
ketersediaan pangan di
pasar mencukupi. Masalah
utamanya adalah
peningkatan efektivitas dan
efisiensi distribusi pangan
antar daerah dan antar
waktu serta daya beli rumah
tangga sehingga mampu
mengakses pangan.
Peningkatan Kemudahan
dan Kemampuan
mengakses pangan
Meningkatkan efektivitas dan
efisiensi distribusi dan
perdagangan pangan
1. Pengembangan sarana
dan prasarana distribusi
2. Pengurangan hambatan
distribusi pangan antar
daerah
1. Kualitas sarana dan
prasarana distribusi
pangan yang
meningkat
2. Semakin pendeknya
rantai distribusi
pangan
Pengembangan
Agribisnis
Deptan

63
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
Peningkatan Kemudahan dan Kemampuan
mengakses pangan
Pengembangan teknologi
serta kelembagaan
pengolahan dan pemasaran
pangan
1. Revitalisasi kelembagaan
pengolahan dan
pemasaran pangan
2. Inovasi teknologi
pengolahan dan
pemasaran pangan
1. Meningkatnya kualitas
produk pangan
2. Peningkatan nilai
tambah produk pangan
Pengembangan
Agribisnis
Deptan
Peningkatan Kemudahan
dan Kemampuan
mengakses pangan
Meningkatkan serta
memperbaiki infrastruktur
dan kelembagaan ekonomi
perdesaan
1. Revitalisasi kelembagaan
ekonomi perdesaan untuk
menunjang distribusi
pangan
2. Perbaikan fasilitas
distribusi pangan di
perdesaan seperti pasar,
kios beras.

Deptan, Depdag

Peningkatan Kemudahan
dan Kemampuan
mengakses pangan
Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas intervensi
bantuan/subsidi pangan
kepada kelompok
masyarakat tertentu
Distribusi beras bersubsidi bagi
rakyat miskin (Raskin) yang
lebih efisien dan efektif
Operasi Pasar dalam rangka
stabilisasi harga pangan
Bantuan pangan untuk kondisi
darurat/bencana.
1. Distribusi pangan
bersubsidi yang efisien
dan tepat sasaran
2. Harga pangan stabil
dan terjangkau
Distribusi bantuan pangan
tepat sasaran dan
tepat waktu

Program
Peningkatan
Ketahanan
Pangan
Perum Bulog,
Dep.
Perdagangan,
Dep. Sosial,
Pemda,

3. Pola konsumsi pangan
masih didominasi oleh
kelompok padi-padian
Peningkatan kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan
menuju gizi seimbang
Mempertahankan pola
konsumsi pangan lokal dan
kelompok masyarakat
1. Sosialisasi keragaman
bahan pangan yang
berkualitas dan bergizi
1. Tingginya pemahaman
masyarakat akan
pentingnya konsumsi
Deptan, Depkes

64
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB

terutama beras, konsumsi
sayuran dan buah sebagai
sumber vitamin dan mineral
serta protein hewani masih
rendah.


tertentu yang telah beragam
terutama untuk makanan
pokok
seimbang
2. Peningkatan pemahaman
pentingnya pangan yang
beragam
3. Pengembangan aspek
kuliner dan daya terima
pangan lokal

pangan yang beragam
2. Tetap terjaganya
keragaman konsumsi
pangan yang
seimbang

II. PENINGKATAN STATUS GIZI MASYARAKAT
1. Masih tingginya prevalensi
kurang gizi pada balita
yang erat hubungannya
dengan masalah KEK
pada WUS dan rendahnya
kebiasaan pemberian ASI
eksklusif.

Peningkatan status gizi
dan kesehatan
masyarakat.
Pengutamaan sasaran
program gizi kepada
kelompok sangat rentan
yaitu: remaja putri usia
subur, ibu hamil, ibu
menyusui, dan bayi sampai
usia 2 tahun

1. Revitalisasi Posyandu dan
revitalisasi Puskesmas
2. Memberikan penyuluhan
ASI eksklusif untuk bayi 0-
6 bulan
3. Pemantauan pertumbuhan
4. Pengembangan Pos Gizi

1. Meningkatnya jumlah
posyandu yang aktif
2. Tersedianya data
capaian kegiatan
(SKDN, BGM,
Imunisasi)
3. Terlaksananya
mekanisme insentif
untuk kader Posyandu
4. Meningkatnya jumlah
petugas puskesmas
dan kader posyandu
yang dilatih
5. Meningkatnya
penggunaan ASI
eksklusif
6. Peningkatan
pelayanan antenatal di
Upaya
Kesehatan
Masyarakat

Perbaikan gizi
masyarakat

Pendidikan anak
usia dini

Depkes,
Depdiknas
Depdagri
Deptan
Deprin
Depdag
Meneg PP
PKK
Pemda

65
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
Puskesmas

Peningkatan status gizi
dan kesehatan
masyarakat.
Peningkatan program
pencegahan dan
penanggulangan masalah
kurang gizi mikro.

1. Pemasaran sosial sumber
vitamin A
2. Peningkatan konsumsi
garam beryodium untuk
semua (KGBS)
3. Fortifikasi minyak sayur
dengan vitamin A
4. Pendataan data sasaran
bayi, balita, bumil, busui
melalui RT/RW secara
berkala.
5. Peningkatan pemberian
suplementasi tablet besi
pada remaja putri, calon
pengantin dan tenaga kerja
wanita
6. Pemberian MP-ASI kepada
balita gakin dengan resiko
kekurangan gizi
7. Pemberian kapsul vitamin
A setiap bulan Februari
dan Agustus
8. Pemberian tablet besi
kepada ibu hamil
9. Promosi dan pemantauan
1. Meningkatnya
konsumsi tablet besi
dan ketepatan
konsumsi
2. Tercapainya
pemberian kapsul Vit.
A bagi setiap semua
bayi/anak 6-59 bulan
3. Menurunnya
prevalensi
xeropthalmia (X1b <
0,33%)
4. Menurunnya
prevalensi anemia
pada Ibu hamil, ibu
nifas, balita dan wanita
usia subur (WUS)
5. Meningkatnya
konsumsi garam
beryodium
6. Jumlah kasus gizi
buruk yang berhasil
ditangani

Peningkatan
kesejahteraan
dan
perlindungan
anak

Depkes
Deptan
Deprin
Depdagri

66
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
konsumsi garam beryodium
10. Penanganan kasus gizi
buruk
11. Pemanfaatan pekarangan
untuk memenuhi
kebutuhan pangan
keluarga

2. Masih kurangnya
kesadaran terhadap
masalah gizi karena
rendahnya tingkat
pendidikan dan masih
maraknya perilaku yang
menghambat upaya
perbaikan gizi.
Peningkatan status gizi
dan kesehatan
masyarakat.
Peningkatan keluarga dan
masyarakat sadar gizi.

1. Peningkatan pendidikan
dan penyetaraan gender
guna meningkatkan
kualitas perawatan
kehamilan dan perawatan
bayi dan anak
2. Pembentukan kelompok
pendidik sebaya (peer
educator) diantara remaja
di sekolah dan luar sekolah
3. Pendidikan gizi melalui
kampanye, penyebaran
komunikasi, informasi dan
edukasi
4. Pemberian muatan pangan
dan gizi pada kurikulum
pendidikan di sekolah
dasar dan kejuruan
5. Menyebarkan informasi
1. Meningkatnya
persentase keluarga
sadar gizi (kadarzi)
2. Meningkatnya
kesadaran masyarakat
tentang pangan
bermutu sejak usia dini
3. Meningkatnya
pengetahuan dan
konsumsi penduduk
tentang pangan
sumber Vitamin A
4. Meningkatnya cakupan
rumah tangga dengan
konsumsi garam
beryodium cukup
5. Terlaksananya
pedoman tata laksana
gizi buruk
Promosi
Kesehatan dan
Pemberdayaan
Masyarakat

Peningkatan
kualitas hidup
dan
perlindungan
perempuan

Ketahanan dan
Pemberdayaan
Keluarga
Depkes
Meneg PP
BKKBN
Pemda
PKK

67
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
melalui media cetak dan elektronik.
6. Menyebarkan informasi
melalui kelompok
pengajian, arisan, karang
taruna, PKK, Pramuka,
LSM, dll.
7. Menyebarkan informasi di
sekolah, tempat kerja,
tempat umum lain
8. Menyelenggarakan
kegiatan peningkatan
pendapatan keluarga
(KUB, industri kecil, dll)

6. Tersedianya informasi
tentang gizi di semua
media untuk seluruh
lapisan masyarakat
7. Meningkatnya jumlah
kelompok yang
dibentuk dan
melakukan kegiatan
diskusi tentang pangan
dan gizi
8. Meningkatnya jumlah
keluarga yang
memanfaatkan
pekarangan untuk
memenuhi kebutuhan
pangan keluarga.

3. Belum optimalnya
program penanganan gizi
bagi penduduk miskin.
Pemenuhan hak dasar
masyarakat miskin atas
layanan kesehatan
dasaryang bermutu



Pengutamaan sasaran
program gizi kepada
masyarakat miskin.

1. Menyediakan pelayanan
kesehatan yang bermutu
dan terjangkau bagi
masyarakat miskin
terutama penanganan gizi
kurang
2. Pemberian suplemen zat
gizi mikro, khususnya zat
besi, vitamin A dan yodium
3. Pemberian kartu miskin
untuk keperluan berobat
dan membeli makanan
1. Meningkatnya
pelayanan kesehatan
bagi keluarga miskin
2. Berkurangnya kejadian
gizi buruk pada
keluarga miskin


Promosi
Kesehatan dan
Pemberdayaan
Masyarakat

Perbaikan gizi
masyarakat
Depkes
Depdagri

68
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
dengan harga subsidi seperi beras untuk orang
miskin (Raskin) dan MP-
ASI untuk balita keluarga
miskin
4. Bantuan langsung tunai
bersyarat bagi penduduk
miskin
5. Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam
pemgembangan pelayanan
kesehatan dan gizi bagi
masyarakat miskin

4. Meningkatnya
kecenderungan masalah
gizi lebih.
Pencegahan
penanggulangan gizi lebih


Peningkatan kualitas
pelayanan pada penderita
gizi lebih
1. Pelaksanakan pemantauan
secara berkala BB dan TB
2. Melaksanakan manajemen
terpadu penanganan kasus
gizi lebih dan penyakit
degeneratif dan penyakit
lainnya
3. Peningkatan promosi
tentang pencegahan
kegemukan dan obesitas

Menurunkan prevalensi
kegemukan
Perbaikan gizi
masyarakat
Depkes
Depdiknas

5. Masih tingginya angka
penyakit infeksi pada
balita yang berkaitan
Peningkatan pengetahaun
masyarakat tentang
penyakit, lingkungan
Peningkatan upaya
penanggulangan penyakit
infeksi khususnya pada
1. Pencegahan dan
penanggulangan faktor
resiko
Menurunnya angka
penyakit infeksi pada
balita.
Perbaikan gizi
masyarakat
Pencegahan
Depkes

69
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB

dengan sanitasi,
lingkungan, dan
pelayanan kesehatan
yang tidak memadai.
sehat, kelangsungan dan
perkembangan anak, gizi
keluarga dan perilaku
hidup sehat
balita.

2. Peningkatan surveilen dan
epidemiologi dan
penaggulangan wabah
3. Peningkatan cakupan
imunisasi
4. Peningkatan KIE tentang
pencegahan dan
pemberantasan penyakit

dan
Pemberantasan
Penyakit
III. MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
1. Kesadaran keamanan
pangan baik pada
produsen dan konsumen
masih perlu ditingkatkan
karena kesadaran akan
keamanan pangan,
merupakan awal dari
upaya menciptakan
produk pangan yang
aman untuk dikonsumsi.


Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan
Peningkatan kesadaran
keamanan pangan pada
masyarakat produsen dan
konsumen

1. Meningkatkan sosialisasi
peraturan dan standar
keamanan pangan
2. Meningkatkan efektivitas
karantina pertanian

1. Meningkatnya
kesadaran masyarakat
akan keamanan
pangan
2. Tercegahnya
pemasukan bahan
pangan impor yang
tidak memenuhi syarat
keamanan pangan
3. Pemahaman produsen
terhadap CPMB
Pengawasan
dan keamanan
pangan
BPOM
Deprin
Deptan
Depdagri
Depdag

2. Ketersediaan tenaga
pengawas yang masih
terbatas, kesadaran
produsen dan konsumen
Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan
Meningkatkan pengawasan
keamanan pangan

1. Peningkatan jumlah dan
kompetensi petugas serta
laboratorium pengawasan
1. Memadainya jumlah
pengawas,
laboratorium
pengawasan makanan,
Badan POM
Depdiknas
Men-PAN

70
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB

yang masih rendah, serta
ketersediaan bahan-
bahan uji pangan yang
masih terbatas masih
menjadi kendala dalam
penerapan standar
keamanan pangan secara
konsisten.
Meningkatkan perlindungan
kepada konsumen

2. Peningkatan cakupan
wilayah dan jenis produk
pangan yang diawasi

jumlah produk pangan
dan cakupan wilayah
yang diawasi
3. Masih maraknya
pengunaan bahan
tambahan makanan
berbahaya, terutama pada
industri pangan menengah
kecil dan rumah tangga.
Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan
Peningkatan pengawasan
keamanan pangan

1. Melengkapi perangkat
peraturan perundang-
undangan di bidang mutu
dan keamanan pangan
2. Penetapan standard
pangan yang aman
dikonsumsi
3. Penyediaan produk
pengawet, pewarna, dan
tambahan fungsional
pengolahan makanan yang
aman
1. Menurunnya
peredaran produk
pangan TMS
2. Tersusunnya standar
keamanan dan mutu
pangan
3. Tersedia dan
terjangkaunya
pengawet dan
pewarna makanan
produsen makanan
dan jajanan
BPOM
Deptan

4. Belum berkembangnya
alternatif produk bahan
tambahan makanan yang
aman dan terjangkau.
Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan
Peningkatan pengembangan
dan penelitian bahan
tambahan makanan yang
aman.


1. Pengembangan teknologi
pengolahan makanan
2. Pelaksanaan penelitian
untuk mencari alternatif
produk bahan tambahan
makanan
Tersedianya alternatisf
bahan tambahan
makanan yang aman dan
terjangkau
BPOM
LIPI


IV.
PERBAIKAN POLA HIDUP SEHAT

1. Rendahnya aktifitas fisik Perbaikan pola hidup Peningkatan aktivitas fisik 1. Peningkatan promosi 1. Meningkatnya Promosi Depkes

71
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
yang berakibat pada meningkatnya penderita
penyakit degeneratif
sehat.

masyarakat. tentang aktivitas fisik
2. Peningkatan promosi
tentang manfaat aktifitas
fisik untuk kesehatan,
pencegahan penyakit
degeneratif.

pemahaman
masyarakt tentang
manfaat aktifitas fisik
2. Meningkatnya sarana
dan prasarana
olahraga serta ruang
terbuka untuk aktifitas
masyarakat
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat
Pembinaan dan
Pemasyarakata
n olahraga
Peningkatan
Sarana dan
Prasarana olah
raga
Deptan
Menpora
BPOM
Depdiknas
Pemda
2. Masih rendahnya
konsumsi sayur dan buah
Perbaikan pola hidup
sehat.

Peningkatan promosi untuk
konsumsi sayur dan buah

Peningkatan sosialisasi dan
advokasi untuk konsumsi
sayur dan buah.
Meningkatnya rata-rata
konsumsi sayur dan buah
per kapita per hari

Promosi
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat
Deptan
Depdiknas
Depkes

3. Meningkatnya konsumsi
gula, garam, lemak

Perbaikan pola hidup
sehat.

Peningkatan promosi pola
makan rendah lemak, garam
dan gula terutama pada
kelompok-kelompok tertentu
yang beresiko tinggi

1. Peningkatan promosi
tentang pengurangan
konsumsi lemak, gula dan
garam.
2. Pengembangan metode
penyampaian pesan-pesan
Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS) yang
mudah dipahami oleh
masyarakat.

1. Meningkatnya
kesadaran tentang
kebiasaan makan yang
sehat
2. Meningkatnya
pemahaman
masyarakat tentang
pesan-pesan PUGS
3. Meningkatnya
frekuensi penayangan
informasi tentang pola
hidup sehat dan gizi
seimbang di media
masa.
Promosi
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat
Depkes
Depdiknas
BPOM

72
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
4. Meningkatnya
pengetahuan dan
kemampuan keluarga
untuk menerapkan
pola hidup sehat
5. Meningkatnya jumlah
Sekolah sehat
1. Belum optimalnya
pencegahan kebiasaan
merokok


Perbaikan pola hidup
sehat.

Peningkatan promosi
tentang bahaya merokok

4. Peningkatan promosi
tentang bahaya merokok
bagi kesehatan.
5. Peningkatan upaya
regulasi dalam rangka
menurunkan
ketersediaan rokok di
pasaran.
6. Penegakan hukum
dalam hal pelarangan
merokok di tempat
umum.

1. Menurunnya
pengeluaran rumah
tangga untuk rokok
2. Meningkatnya tempat-
tempat umum yang
dilarang merokok
1. Dilaksanakannya
regulasi tentang
pemasaran rokok

Promosi
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat
Depkes
Menpora
Depdag
Pemda

V. PEMANTAPAN DAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
1. Masalah pangan dan gizi
yang bersifat multi
dimensi, multi sektoral
dan multi disiplin belum
tertangani secara terpadu
dan terkoordinasi
Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan dan
Gizi
Peningkatan kerjasama
lintas sektor melalui
penyusunan program-
program pangan dan gizi
yang terkoordinasi dalam
rangka pembangunan di
bidang pangan dan gizi.
Advokasi pangan dan gizi
pada para pengambil
keputusan perencanaan di
tingkat pemerintah dan
parlemen.

1. Kebijakan Pangan dan
Gizi terakomodasi
secara jelas dalam
dokumen perencanaan
tingkat nasional dan
daerah seperti RPJP-
RPJPD, RPJM-
Perbaikan Gizi
Masyarakat


Bappenas
Bappeda
Depkes
Deptan
Organisasi

73
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB

RPJMD dan Renstra-
Renstrada
2. Meningkatnya program
dan pembiayaan
pangan dan gizi
3. Terciptanya kerjasama
sinergis antara
lembaga pemerintah,
swasta, dan
masyarakat yang
peduli pada mutu
pangan dan gizi

profesi
Menpan
2. Masih terbatasnya
penggunaan data-data
pangan dan gizi sebagai
indikator untuk menilai
ketahanan pangan dan
gizi pada tingkat lokal
yang sesuai dan tepat
waktu untuk pengambilan
keputusan.
Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan dan
Gizi
Revitalisasi SKPG 1. Pengembangan dan
analisis data pangan dan
gizi
2. Pengumpulan, pengolahan
dan analisa data untuk
pemantapan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG)
3. Advokasi hasil analisis
SKPG kepada pengambil
keputusan (pejabat
berwenang)

1. Dimanfaatkannya
sistem pelaporan dan
informasi untuk
penyusunan kebijakan
2. Semua kabupaten/kota
sudah melaksanakan
pemetaan,
keterampilan Tim
SKPG dalam
menanggulangi
masalah pangan dan
gizi
3. Sudah
dimanfaatkannya
informasi SKPG untuk
pengambilan
Ketahanan
Pangan

Perbaikan Gizi
Masyarakat
Perbaikan Gizi
Masyarakat
Depkes
Deptan
BKKBN
Bulog
Depdagri
BPS

74
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
keputusan, perumusan kebijakan,
perencanaan program
dan evaluasi
4. Tersedianya peta
rawan pangan dan gizi

3. Masih belum optimalnya
upaya untuk
meningkatkan kepedulian
masyarakat dalam
memerangi masalah
kerawanan pangan dan
kekurangan gizi


Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan dan
Gizi
Memantapkan kerjasama
antara pemerintah dan
masyarakat dalam
pelaksanaan program
pangan dan gizi

Menggali dan memanfaatkan
potensi sumber daya dari
masyarakat untuk
menanggulangi masalah
pangan dan gizi

1. Peningkatan kerjasama
dengan lembaga non-
pemerintah dan kelompok
masyarakat lain yang
peduli terhadap
peningkatan sumberdaya
manusia (SDM)
2. Menggerakaan LSM dan
swasta untuk berperan
serta dalam
penanggulangan masalah
pangan dan gizi
3. Pengembangan sistem
penanggulangan masalah
kerawanana pangan
melalui kerjasama
pemerintah, swasta, dan
mastyarakat.

Meningkatnya jumlah LSM
dan swasta yang berperan
serta dalam
penanggulangan pangan
dan gizi

Ketahanan
Pangan
Penelitian dan
Pengembangan
Perbaikan Gizi
Masyarakat
Deptan
Depdiknas
Depkes

4. Masih terbatasnya
ketersediaan tenaga
terampil di bidang
Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan dan
Peningkatan kemampuan
dan kualitas penelitian dan
pengembangan pangan dan
1. Penyusunan kebijakan
pembangunan di bidang
pangan dan gizi
Meningkatnya peran
lembaga penelitian,
perguruan tinggi dan
Ketahanan
Pangan
Deptan
Depdiknas

75
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
Gizi gizi melalui lembaga
penelitian, perguruan tinggi,
dan masyarakat, dalam
rangka menghasilkan data
dan informasi yang lebih
dapat di percaya.

2. Peningkatan kerjasama
institusi pendidikan,
lembaga penelitian dan
pengelola program.
masyarakat dalam
menghasilkan data yang
dapat dipercaya.
Penelitian dan
Pengembangan
Perbaikan Gizi
Masyarakat
Depkes
Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan
dan Gizi

Peningkatan kemampuan
tenaga administrasi dan
profesional melalui
koordinasi perencanaan dan
pengelolaan program
pangan dan gizi dalam
rangka memaksimalkan
efektivitas program
perbaikan gizi masyarakat.

1. Penyusunan rencana
kebutuhan tenaga pangan
dan gizi
2. Menggali potensi sumber
daya (tenaga, sarana dan
dana) yang ada pada LSM
dan swasta.
Tersedianya tenaga
pangan dan gizi yang
memadai


Ketahanan
Pangan
Pendidikan
Kedinasan
Perbaikan Gizi
Masyarakat



Deptan
Depdiknas
Depkes





pangan dan gizi.



Pemantapan dan
Pengembangan
Kelembagaan Pangan
dan Gizi
Peningkatan pendidikan dan
pemanfaatan tenaga
profesional di bidang gizi di
berbagai tingkat
pemerintahan pusat dan
daerah, serta di masyarakat,
guna memaksimalkan peran
tenaga profesional dalam
program gizi.
1. Pengembangan kurikulum
dan Pengembangan
pendidikan tenaga gizi
2. Pengembangan sertifikasi
profesi
3. Pengembangan profesi
tenaga pangan dan gizi
melalui kerja sama institusi
pendidikan dengan
organisasi profesi

Jumlah tenaga pangan
dan gizi yang dilatih

Ketahanan
Pangan
Prndidikan Non
Formal
Pendidikan
Kedinasan
Deptan
Depdiknas
Depkes

76
NO

ISU STRATEGIS

KEBIJAKAN STRATEGI KEGIATAN INDIKATOR PROGRAM
PENANGGUNG
JAWAB
Pengendalian pertambahan
penduduk
6. Pengembangan
kebijakan dan program
pembangunan yang
berwawasan
kependudukan meliputi
aspek kuantitas, kualitas
dan mobilitas
7. Pengintegrasian faktor
kependudukan ke dalam
pembangunan sektoral
dan daerah
Keserasian
Kebijakan
Kependudukan
BKKBN

77

DAFTAR PUSTAKA


Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2002-2003.

Bapenas dan Unicef. 2000. Laporan Indonesia untuk persiapan End Decade Goal
2000.

Depdiknas, Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan S ekolah
(UKS). Jakarta. 2006

Departemen Kesehatan. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005 – 2009.

Departemen Pertanian. Statistik Pertanian 2005 (Agriculturel Statictisc 2005). 2006

Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Nasional. 2005

Gizi dalam Angka sampai dengan 2005. Departemen Kesehatan. 2006

Government of Indonesia (GOI). 2004. Indonesia Progress Report on the Millenium
Development Goal.

Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembanguna n Jangka
Menengah Tahun 2004-2009

Profil Pangan dan Pertanian 2003 – 2006. Direktorat Pangan dan Pertanian,
Bappenas. 2006

UNDP. 2006. Human Development Report: Beyond scarcity: Power, poverty and
the global water crisis.

LIPI. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII.2000.

LIPI. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.2004.

Soekirman dkk. 2003. Situational Analysis of Nutrition Problems in Indonesia: Its
Policy, Programs and Prospective Development.

RI-WHO. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005, Jakarta.
UU No 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional yang juga mengatur tentang "Wajib
belajar 9 tahun".

World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development A Strategy for
Large-Scale Action.

WHO. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health, A Framework to Monitor
and Evaluate Implementation. Geneva. 2006

78
LAMPIRAN


TIM PENYUSUN RENCANA AKSI N ASIONAL PANGAN DAN GIZI
TAHUN 2006-2010
(Berdasarkan Keputusan Nomor: KEP. 339/M.PPN/12/2005
Tentang Pembentukan Tim Penyusun Rencana Aksi Nasional Pangan
dan Gizi Tahun 2006-2010)


Tim Pengarah
Ketua : Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan,
Kementerian
Bappenas
Wakil Ketua : Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya, Badan POM
Anggota : 1. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan
2. Kepala Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian
3. Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
Kementerian PPN/ Bappenas
4. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas
5. Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI)
6. Ketua Persatuan Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan)
7. Ketua Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI)
8. Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI)
9. Ketua Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK)
Pusat
10. Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
11. Ketua Komisi Perlindungan Anak


Tim Teknis
Ketua : Direktur Kesehatan dan Gizi mAsyarakat, Bappenas
Wakil Ketua : Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas
Sekretaris : Kasubdit Gizi Masyarakat, Direktorat Kesehatan dan Gizi
Masyarakat, Bappenas
Anggota : 1. Kasubdit Pangan, Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas
2. Ir. Destri Handayani, ME
3. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS

79
I. Kelompok Gizi
Ketua : Direktur Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan
Sekretaris : Kasubdit Gizi Makro, Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes
Anggota : 1. Kasubdit Kewaspadaan Pangan, Direktorat Gizi Masyarakat,
Depkes
2. Kasie Standarisasi, Subdit Kewaspadaan Gizi, Direktorat Gizi
Masyarakat, Depkes
3. Kasie Standarisasi, Subdirt Gizi Mikro, Diretorat Gizi Masyarakat,
Depkes
4. DR. Abbas Basuni Jahari, MSc., Puslitbang Gizi, Depkes
5. DR. Imam Sumarno, MPH, Puslitbang Gizi, Depkes
6. Dian Proboyekti, staf Subdit Gizi Makro, Depkes


II. Kelompok Keamanan Pangan
Ketua : Direktur Standarisasi Produk Pangan, Badan POM
Sekretaris : Kasubdit Standarisasi Pangan Khusus, BPOM
Anggota : 1. Kasubdit Penilaian Pangan Khusus, BPOM
2. Kasubdit Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan,
BPOM
3. Kasubdit Inspeksi Produksi dan Peredaran Produk Pangan, BPOM
4. Anggraini, STP, Staf Direktorat Standarisasi Produk Pangan,
BPOM
5. Kabid Standarisasi, Pusat Standarisasi dan Akreditasi, Deptan
6. Kabid Kerawanan dan Mutu Pangan, Pusat Kewaspadaan Pangan,
Deptan

III. Kelompok Aksesibilitas Pangan
Ketua : Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan, Deptan
Sekretaris : Kabid Konsumsi Pangan Lokal, Pusat Konsumsi dan Keamanan
Pangan, Deptan

Anggota : 1. Kabag Perencanaan, Sekretariat Badan Ketahanan Pangan, Deptan
2. Kabid Pemantauan Produksi Pangan, Pusat Pengembangan
Ketersediaan Pangan, Deptan
3. Kabid Analisis Harga, Pusat Pengembangan Distribusi Pangan,
Deptan
4. Kabid Penganekaragaman Pangan, Pusat Konsumsi dan Keamanan
Pangan, Deptan
5. Kabid Pola Pemberdayaan, Pusat Pemberdayaan Ketahanan
Pangan Masyarakat, Deptan

80
IV. Kelompok Pola Hidup Sehat
Ketua : Kepala Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani
Sekretaris : Kabid Pengembangan Pendidikan Keterampilan Hidup dan
Kesehatan, Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Depdiknas
Anggota :1. Kasubdit Kesiswaan, Direktorat Pendidikan TK dan SD, Depdiknas
2. Kasubdit Kesiswaan, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama,
Depdiknas
3. Kasubdit Kesiswaan, Direktorat Pendidikan Menengah Umum,
Depdiknas
4. Kasubdit Kesehatan Olahraga, Depdiknas
5. Kabid Olahraga Kesiswaan, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
6. Ismoyowati, SKM, M.Kes, Pusat Promosi Kesehatan, Depkes




TIM PENYUNTING


1. Abbas Basuni Jahari 16. Irawati Susalit
2. Ali Muharam 17. Kismanto
3. Andriyanto 18. Mewa Ariani
4. Arif Haryana 19. Minarto
5. Arum Atmawikarta 20. Muhammad Zakky
6. Atmarita 21. Nana Mulyana
7. Darwin Karyadi 22. Nita Yulianis
8. Dhian P. Dipo 23. Razak Thaha
9. Drajad Martianto 24. Soekirman
10. Endah Murniningtyas 25. Subiyakto
11. Endang L. Achadi 26. Pungkas Bahjuri Ali
12. Entos Zaina 27. Noor Avianto
13. Hardinsyah 28. Tety H. Sihombing
14. Ima Anggraini 29. Yosi Diani Tresna
15. Inti Wikanestri