As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

706 | Volume 6 Nomor 2 2024

Dirkursus Tafsir di Masa Para Sahabat dan Ruang Lingkupnya
Akmal Rizki Gunawan Hasibuan, Syaza El-Millah Mtd, Sabila Phutri Balqis


Universitas Islam 45 Bekasi
[email protected], [email protected]
,
[email protected]


ABSTRACT
This writing aims to explain the differences in interpretation of the Qur'an among
friends. The research methodology uses a descriptive analysis method with a qualitative
approach by applying the library research type of research. The results and discussion of this
research show several pros and cons between the two interpretive views of marfu' and mauquf
and the emergence of differences in interpretation among friends which are driven by two causes.
First, the reason for dzatiyyah is a reason related to the personality of the commenter. For
example, the level of knowledge, accuracy, ability to listen carefully or not tell stories, it could be
wrong if you obey the law. The second is the reason for maudzu'iyyat, namely reasons related to
the text or dilalah. Such as differences in the qiraat side, the irab side, controversies among
linguists in the interpretation of sentences, the pronunciation of isytarak, am khas, muthlaq and
muqayyad, haqiq and majazi, idlmar and istiqlal, sentence additions, the beginning and end of a
series, muhkam and mansukh, differences in story interpretation.
Keywords: differences in understanding, deviation, and division of the people.

ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan penafsiran al-Qur’an di
kalangan para sahabat. Metodologi peneliktian menggunakan metode deskriptif analisis
dengan dengan pendrkatan kualitatif dengan penerapan jenis peneitian library research. Hasil
dan pembahasan penilitian ini ada beberapa pro-kontra antara dua pandangan tafsir marfu’
dan mauquf dan munculnya perbedaan penafsiran dikalangan sahabat yang didorong oleh dua
penyebab. Pertama, alasan dzatiyyah adalah alasan yang berhubungan dengan kepribadian
pemberi komentar. Misalnya tingkat pengetahuan, ketelitian, kemampuan mendengarkan
baik-baik maupun tidak bercerita, bisa saja salah jika menaati hukum. Yang kedua ialah alasan
maudzu'iyyat, yaitu alasan yang berhubungan dengan nash atau dilalah. Seperti perbedaan
sisi qiraat, sisi irab, kontroversi para ahli bahasa dalam penafsiran kalimat, pengucapan
isytarak, am khas, muthlaq dan muqayyad, haqiq dan majazi, idlmar dan istiqlal, penambahan
kalimat, permulaan dan akhir rangkaian, muhkam dan mansukh, perbedaan penafsiran cerita.
Kata Kunci: Penafsiran, Perbedaan, Sahabat.

PENDAHULUAN
Cara penerjemahan Al-Qur'an pada zaman sahabat nabi tidak jauh berbeda
dengan zaman Rasulullah SAW ketika beliau masih ada. Adapun yang diterjemahkan
yaitu Al-Quran, Hadits dan pengetahuan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang ijtihad
tersebut dikerjakan bila ada ayat yang tidak memiliki interpretasi atau persamaan
antara ayatnya atau ayat yang hadis Nabinya dapat memberikan pemahaman yang

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

707 | Volume 6 Nomor 2 2024

akurat terhadap ayat tafsirnya, ijtihad juga dilakukan karena mereka adalah penutur
asli yang merupakan fasih berbahasa Arab, dapat mengerti dengan tepat serta
memahami bagian kefasihan, maka dari itu dapat lebih mengerti bahasa alquran dan
memberikan uraian yang baik tentang sebuah ayat (manna al qattan, 2007).
Teruntuk para sahabat, dalam belajar menerjemakan Al-Qur'an itu tidak sulit
karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa arab dan mereka bisa menyaksikan
keadaan dan kejadian turunnya ayat-ayat tersebut, selain 'mereka menerima Al-
Qur'an'. langsung dari risalah Sahibir dan belajar tafsir Alquran dari dirinya sendiri.
Namun pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an berbeda-beda, ada yang
jelas bagi sebagian orang, namun tidak jelas bagi sebagian lainnya. Hal ini terjadi
karena kehidupan yang dijalaninya selalu dikaitkan dengan Rasulullah. Selain itu,
tingkatan pengetahuan para sahabat mengenai isi dan model bahasa Al-Qur'an sangat
bervariasi. Oleh karena itu, perbedaan pemahaman akan tercermin pada tingkat
penafsiran masing-masing sahabat
Lebih lanjut, sejak wafatnya Nabi, ketimpangan politik di kalangan umat Islam
mulai menunjukkan ketegangan yang sangat kuat. ketidakseimbangan tersebut
menimbulkan arus yang memaksa mereka tinggal di benteng. Model kehidupan yang
demikian juga merambah pada bidang penerjemahan Al-Qur'an, Maka dari itu
pemikiran dan kefanatikan kepada mazhab yang akan menciptakan penerjemahan Al-
Qur'an yang sepadan dengan mazhab dan ideologi, maka dari itu yang ada hanya
sekedar ekspresi saja. pentingnya sekolah dan bukan pesan dan makna ayat-ayat Al-
Quran.
Banyak diskusi antar sahabat mengenai dunia tafsir. Hal ini menyebabkan
orientasi kajian yang dilakukan sangat beragam, seperti orientasi kajian meliputi
sumber penjelasan, modal dan teknik penjelasan yang di kerjakan teman (Miswar,
2016). Ada topik lain yang penelitiannya fokus membahas faktor-faktor penyebab
perbedaan penafsiran Al-Qur'an.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, tujuan dalam penelitian ini yaitu
penulis ingin menjelaskan tentang peristiwa perkembangan tafsir di zaman Sahabat
yang terjadi akibat adanya perbedaan paham dan permusuhan antar (Miswar,
2016)umat. Metode yang digunakan yaitu deskriptif dan komparatif melalui metode
kualitatif. Dengan mengingat hal ini, ada dua pertanyaan yang dibahas dalam
penelitian ini. Pertama, tahap penjelasan para sahabat NabiShallallahu ‘Alaihi
Wasallam meninggal yang diteruskan oleh para sahabat. Kedua, kondisi penafsiran
sejawat meliputi disparitas pengetahuan dan permusuhan antar kaum serta adanya
unsur penyimpangan dalam penafsiran Al-Quran.
Pada masa ini, pergolakan politik dan agama menyebabkan perpecahan dalam
komunitas Muslim. Namun ijtihad dan ilmu pengetahuan tetap ada dan berlanjut
ketika pra dan pasca wafatnya Nabi. Masalah tersebut di latarbelakangi adanya ayat-
ayat dalam Al-Quran yang masih belum diuraikan dengan lengkap dan sangat
bermakna. Oleh karena itu, setelah wafatnya Nabi, banyak dilakukan tafsir Al-Quran
dengan menggunakan ijtihad para sahabat untuk memberikan maksud makna di
dalam ayat Al-Quran bagi yang tidak dipahami..

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

708 | Volume 6 Nomor 2 2024

Pengetahuan ijtihad para sahabat Nabi di butuhkan saat sahabat tidak
mendapatkan tafsir dalam alquran maupun dalam uraian Nabi. Di antara para sahabat
Nabi ada para pejuang yang sungguh sakti dalam menafsirkan Al-Quran, antara lain:
para sahabat Nabi merupakan bagian dari empat khalifah (julukan Abu Bakar yang
paling terkenal adalah al-Shiddiq. Nya Namanya al-Shiddiq, dia adalah orang yang
jujur dan membenarkan Nabi dalam segala perkataannya, Umar yang dikenal sebagai
seorang khalifah yang jujur, tegas dan berani, Utsman dikenal sebagai peribadi yang
sangat dermawan, dan Ali keistimewaannya adalah orang kedua yang menerima
dakwah Islam), Ibnu Mas’ud dengan keutamaannya dalam menafsirkan al-Qur’an
dengan al-qur’an disamping pula melandaskan tafsirkan dengan hadis nabi. Ibnu
Abbas keutamaan yang dibawaknnya ialah hadist disertai dengan sanadnya. Ubay
Ibnu Ka’ab ialah salah seorang yang pertama-tama menvatatkan ayat-ayat al-Qur’an
ke dalam bentuk tulisan. Zaid ibnu Tsabit adalah salah satu sosok penting di dalam
sejarah perjuangan islam masa Nabi, mampu menguasai bahasa lain dalam waktu
singkat. Abu Musa Al-asy’ari kelebihan yang dimilikinya ialah bersuara merdu, ahli
fiqih, dan memegang tanggung jawab dengan baik. Dan Abdullah bin Zubair dikenal
sebagai sosok sahabat Nabi yang paling pemberani. Dan dari kalangan khalifah empat
yang paling banyak dikenal riwayatnya (munawwir, 2002)
Di samping itu, timbul permasalahan yang sangat penting, yakni perselisihan
di kalangan umat Islam. Terkait peristiwa ini pun telah diramalkan Nabi Muhammad
di sejumlah hadits diriwayatkan oleh banyak sahabat, khususnya berkaitan dengan
jamaah Iftaraqul yang terbagi ke dalam 73 kelompok. Ilmu tafsir juga menjadi wadah
yang ampuh dalam mengembangkan serta menyebarkan pandangan aliran dan
kelompok/aliran yang cenderung memaksakan gagasan dan membela alirannya
masing-masing dalam menerjemahkan surah di dalam Al-Quran.
Dr. Mahmud Basuni Fawdah menyampaikan, saat adanya peristiwa fitnah
besar (pertikaian) yang berujung pada terciptanya kelompok Syiah, Jumhur
(mayoritas), khawarij, sebagian dari ikatan itu berusaha menyembunyikan beberapa
cerita yang memperkuat pandangan dan pujian mereka. Oleh karena itu, dapat kita
simpulkan bahwa di sekitaran tahun ke 41 Hijriah mulai kemunculan penemuan-
penemuan penafsiran (Faudah)
Menurut al-Dhahabi, upaya memutarbalikkan makna kata ﻧﱠﻈﺮ ة dari makna
sebenarnya yaitu mengamati dengan mata sendiri; atau menyadari kemungkinan
makna itu, dengan kemampuan berbahasa yang lancar maka fungsi kata ل ا sebagai
kata penghubung (harf) akan menjadi kata benda (isim). Menafsirkan kata nadar
dalam arti menunggu tidak dapat dibenarkan, karena nadar dalam pengertian ini
tidak transitif dengan ila dan tidak ada hubungannya dengan wajah, kita tidak bisa
mengatakan “wajah seseorang ‘orang’ aku tunggu’. kata Nadar dalam arti menantikan
rahmat dan kehormatan Tuhan juga jelas merupakan manipulasi, karena dimaknai
mirip dengan menunggu.
Dengan istilah lain, al-Zamakhshari melakukan perbuatan yang tidak
konsisten ketika menafsirkan teks dalam suatu konteks (siyaq). Pada awalan kalimat,
kata wujuh dipahami secara dasar sedangkan kata nadirah dipahami sebagai majazi.
Seperti contoh lain yang ditunjukkan oleh Baidan bahwa kesalahan penerjemahan Al-
Quran di zaman pertama ilmu tafsir Al-Quran. Contohnya seperti menafsirkan

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

709 | Volume 6 Nomor 2 2024

kelompok syiah dalam menerjemahkan kelompok syiah dalam mengartikan ﺗَﺒﱠﺖْ ﯾَﺪَآ أَﺑِﻰ
ﻟَﮭَﺐٍ وَﺗَﺐﱠ yang terdapat di ayat satu surah al-lahab yang mengandung makna "celakalah
Abu Bakar dan Umar sebenar-benar celaka" pengertian: Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa (Adib, 2017).

METODE PENELITIAN
Penyusunan dalam penulisan jurnal ini menggunakan pendekatan jenis
penelitian literature kepustakaan. Literature perpustakaan adalah penelitian yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan data dengan menggunakan berbagai
jenis dokumen yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, jurnal, majalah, dan
dokumen sejarah. Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data dengan
mempelajari buku-buku, dokumen, catatan dan berbagai laporan yang berkaitan
dengan masalah yang ingin diselesaikan. Metode studi kepustakaan ini di gunakan
untuk mengetahui ruang lingkup dan perkembangan ilmu tafsir pada masa sahabat
Nabi Muhammad SAW.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskursus Tafsir di Masa Para Sahabat
Sumber yang digunakan para sahabat untuk menjelaskan Al-Quran hampir
sama dengan sumber yang digunakan Nabi. Namun dapat dilihat perbedaan yang
menonjol adalah penafsiran Al-Qur'an oleh nabi datangnya langsung dari Tuhan atau
diturunkan oleh malikat jibril menurut argument nabi sendiri (hadits). Disamping itu
sahabat berasal dari Al-Quran, tanggapan Nabi, ijtihadnya serta sejarah Isra'illiyat. Al-
Zahabiy berpendapat bahwa asal mula penerjemahan Al-Quran di zaman para teman
terdiri atas 4 macam yakni : (a) Al-Qur'an (b). Hadits Muhammad SAW. (dengan).(c)
Ijtihad (d). Kisah ahli-ahli Taurat Yahudi dan Kristen (adz-Dzahabi, 2012 M)
Di samping itu, timbul permasalahan yang sangat penting, yakni perselisihan
di kalangan umat Islam. Terkait peristiwa ini pun telah diramalkan Nabi Muhammad
di sejumlah hadits diriwayatkan oleh banyak sahabat, khususnya berkaitan dengan
jamaah Iftaraqul yang terbagi ke dalam 73 kelompok. Dr. Mahmud Basuni Fawdah
menyampaikan, saat adanya peristiwa fitnah besar (pertikaian) yang berujung pada
terciptanya kelompok Syiah, Jumhur (mayoritas), khawarij, sebagian dari ikatan itu
berusaha menyembunyikan beberapa cerita yang memperkuat pandangan dan pujian
mereka. madzhab mereka. Maka dari itu, bisa si ambil intisarinya bahwasanya di
sekitaran tahun ke 41 Hijriah mulai kemunculan penemuan-penemuan penafsiran
(Faudah). Berdasarkan hal tersebut, terdapat perbedaan pemahaman antar sahabat
dalam penafsiran Al-Quran. Adapunyang paling tinggi masalahnya pada perbedaan
pemahaman justru menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tujuannya
adalah untuk memasukkan cerita mereka sendiri untuk memperkuat kelompok
mereka.
Keadaan penafsiran di zaman para sahabat nabi menunjukkan adanya
ketimpangan pendapat terkait Al-Quran dan tafsirnya serta perpecahan etnis yang
terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Perbedaan ini juga menyebabkan

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

710 | Volume 6 Nomor 2 2024

perbedaan penafsiran terhadap Al-Quran. Jadi bisa kita simpulkan terkait ini adanya
ketimpangan dalam derajat penafsiran para sahabat. Perbedaan mereka juga timbul
disebabkan belum semuanya selalu datang dalam pertemuan dengan Baginda
Rasulullah SAW, terkadang ada di antara mereka yang hadir pada waktu tertentu dan
terkadang hadir pada waktu lain. Terkait perbedaan pengertian terhadap Al Quran,
para sahabat tidak lepas dari derajat pengertian yang Allah berikan kepada
hambanya, firman Allah SWT:
ﻳـ
ُ
ﺆْﺗ
ِ
ﻰ ٱﳊْ
ِ
ﻜْﻤ
َ
ﺔَ ﻣ
َ
ﻦ ﻳ
َ
ﺸَﺎٓء
ُ
ۚ و
َ

َ
ﻦ ﻳـ
ُ
ﺆْت
َ
ٱﳊْ
ِ
ﻜْﻤ
َ
ﺔَ ﻓـَﻘَﺪْ أُوﺗ
ِ

َ

َ

ًْ
ا ﻛَﺜ
ِ

ً
ا ۗ و
َ

َ
ﺎ ﻳ
َ
ﺬﱠﻛﱠﺮ
ُ
إِﻻﱠٓ أُو
۟
ﻟُﻮا
۟
ٱﻷَْﻟْﺒ
َ
ٰﺐِ
Artinya: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki, barang
siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak
ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal
sehat.’’ (QS. Al Baqarah : 269)
Perbedaan pemahaman ini juga disebabkan karena tingkat kemampuan otak
setiap orang berbeda-beda, padahal di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang
mengandung makna tersembunyi dan perlu direnungkan. Hal ini dibenarkan oleh
cerita beberapa teman. Al-Thabari menceritakan adanya perbedaan pemahaman teks
Al-Quran pada masa Abu Bakar yang hanya berlangsung 2 tahun setelah wafatnya
nabi. Diriwayatkan dengan sanad dari Qais bin Abi Hazim, Dia berkata: Aku
mendengar Abu Bakar berbicara dan dia berkhotbah di hadapan orang-orang: “Wahai
manusia, kalian semua telah membaca ayat ini dan kalian tidak memahami
maknanya..
اه تد يتم اذا ضل ﻣﻦ ليدر كم ا نفسكم عليكم ام نوا الذين ا يها يا
Dan sungguh, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jika
manusia melihat keburukan dan tidak menghentikannya, maka Allah akan
menghukum mereka juga.” Nampaknya penafsiran ayat ini kontroversial dalam teks-
teks lain. Para sahabat penafsirannya juga diriwayatkan dari Hamro, Ia berkata, Saya
mendengar Al Hasan berkata: para sahabat nabi mengambil ayat ini
ﯾﺎ
اه يا ﯾﻦذ ال ﻧﻮاما م كيﻋﻞ م كس ﻧﻒا ال م كدر ي ﻣﻦ ﺿﻞ اذا م تيد ته ا
.
Seseorang menyuruhku untuk melupakan, ayat ini bukan untukmu. Dan beliau
mengutip cerita sebelumnya mengenai aturan serupa mengenai ayat ini (Al-Amin,
2007)
Perbedaan tersebut tidak ditujukan kepada masyarakat umum melainkan
masyarakat kelas atas. Hal ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya
tentang Abu Musa Al Asy'ari. “Ada perbedaan pendapat antara kelompok Muhajirin
dan kelompok Ansar, kelompok Ansar berpendapat bahwa mandi tidak wajib kecuali
karena ejakulasi atau ejakulasi,” ujarnya. berejakulasi.” Sedangkan Muhajirin
meyakini: “Sekalipun seorang laki-laki menyetubuhi istrinya dan tidak mengalami
ejakulasi, maka ia wajib mandi.” “Saya orang yang lebih sehat dalam debat tersebut,”
kata Abu Musa. Lalu aku berdiri dan meminta izin pada Aisyah. » Aisyah berkata:
“Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat cabang paha dan lengan perempuan

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

711 | Volume 6 Nomor 2 2024

serta bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan, maka ia wajib mandi.”
Perbedaan ini bukan disebabkan oleh permasalahan yang jarang terjadi, melainkan
permasalahan sehari-hari yang sering terjadi.
Menurut Ibnu Taimiyah, alasan yang dijelaskan para sahabat sangat
bermacam-macam, terbagi menjadi dua; Pertama, penyebab dzatiyah adalah
penyebab yang berhubungan dengan kehidupan mufasir, bukan dengan nashnya. Ini
dibagi dalam sejumlah pola:
a. Tingkat pengetahuan dan asumsi yang berbeda. Meskipun sahabat
merupakan kaum yang mulia dikarenakan berdiri dan memperjuangkan
bersama baginda Rasulullah SAW, namun tetap saja berbeda secara
keilmuan, ada sahabat yang paham dan mudah memahami apa yang
disabdakan baginda Rasulullah SAW, namun masih terdapat juga yang
belum melaksanakannya. Perihal ini disebabkan oleh sebagian hal, yakni
kekuatan perjumpaan sahabat dengan Rasulullah SAW, serta cara sahabat
dalam memahami ayat serta cara mengimplementasikannya di kehidupan.
Adanya ketimpangan tingkat asumsi Anda dapat membuat penyebab
mengapa Anda memahaminya berbeda atau bahkan memahami ayat
dengan kurang tepat, sehingga implementasinya juga tidak tepat. Secara
keseluruhan ada sebagian sahabat masih belum memahami tafsir al-Quran
dengan keseluruhan.
Sebagaimana diilustrasikan oleh Ath-Thabary dalam bukunya Tafsir,
Umar R.A bertanya kepada sahabat lainnya bagaimana cara menafsirkan QS.
Al-Baqarah : 266. Tidak ada satupun jawaban sahabat yang menggembirakan
Umar. Kemudian Ibnu Abbas menuturkan bahwasanya ayat ini merupakan
permisalan yang diberikan oleh Allah, tentang seseorang yang semasa
hidupnya mengerjakan amal shaleh, namun ketika menjelang ajal ia
melakukan perbuatan keburukan hingga habis semua amal shaleh yang
dikerjakannya
Contoh tersebut memberikan fakta mengenai penerjemahan Al-
Qur'an sudah berlangsung dari masa para Sahabat. Salah satu penyebabnya
bukan karena Al-Quran yang kurang tepat atau terlalu pendek, melainkan
sahabat kurang memahami ayat-ayat di dalam Al-Quran. Adanya ketimpangan
penerjemahan ini bukan hanya berhubungan dengan penafsiran ini tidak
hanya berkaitan dengan maksud kata kata secara lisan maupun tulisan
melainkan juga maksud yang ada pada sebuah ayat. Ibnu Al-Qayyim Al-
Jauziyah menguraikan: “Orang mempunyai tingkat pemahaman teks yang
berbeda-beda. Ada orang yang memahami satu atau dua hukum dalam satu
ayat, dan ada pula yang memahami hingga 10 hukum atau lebih dalam satu
ayat. Ada juga orang yang memahaminya secara dangkal dengan tidak melihat
hubungan antara ayat tersebut dengan qarinah lainnya. »
b. tidak tepat dan pelupa
c. Belum menyimak cerita secara baik. Perihal ini disebabkan dia belum
mendengarkan narasi sampai selesai atau karena orang yang diajaknya
bercerita tidak meneruskannya secara keseluruhan. karena apapun yang

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

712 | Volume 6 Nomor 2 2024

diriwayatkan oleh sahabat tidak didengar langsung dari Rasulullah SAW,
melainkan didengar dari sahabat yang lain dan kemudian narasi tersebut
diatribusikan kepada Nabi. Menurut riwayat Abu Hurairah Nabi
SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM “sebenarnya kecelakaan itu terjadi pada
tiga hal yaitu rumah, wanita dan kuda.” Kemudian Aisyah berkomentar bahwa
Abu Hurairah tidak hafal hadis tersebut dan Aisyah pun melengkapi hadis
tersebut, “Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda bahwa
Allah berperang dengan orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa
kesialan terletak pada tiga hal, yaitu rumah, wanita dan kuda.” Abu Hurairah
hanya mendengar bagian akhir hadits dan bukan bagian awal.
d. Ada kekurangan dan persamaan dalam cara penyampaian cerita. Hal ini
sangat umum terjadi ketika menyampaikan sebuah cerita, baik itu berasal
dari teman atau orang lain. Oleh karena itu, antar sahabat terjadi kesalahan
dalam mewariskan hadis yang diperoleh dari teman lain. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Jika Bilal
mengumandangkan adzan malam, maka makanlah dan minumlah hingga Ibnu
Maktum mengumandangkan adzan. » Hadits tersebut sebenarnya
diriwayatkan oleh Aisyah r.a Nabi Muhammad SAW berkata: “Sesungguhnya
Ibnu Maktum itu buta, maka jika adzan dikumandangkan, makanlah dan
minumlah sampai Bilal mengumandangkan adzan”, maka Aisyah berpendapat
‘Ibnu Umar salah dalam cerita tersebut.
e. Hilangkan pengucapan tertentu yang membuat hadis menjadi tidak lengkap.
Memusnahkan beberapa pengucapan ini biasanya dap at membuat
perubahan, pembalikkan, atau sampai menghancurkan makna yang
dimaksudkan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Nabi (sallallahu
'Alaihi Wasallam) bersabda:
ﻟَﯾْﻠَﺔً وَﻋِﺷْرُوْنَ ﺗِﺳْﻊٌ اﻟﺷﱠﮭْرُ
“satu bulan itu adalah 29 hari
Aisyah kemudian mengoreksi bahwa Nabi telah berbicara:
Satu bulan itu terkadang 29 hari
f. Kesalahpahaman sebuah cerita
g. Cerita campuran. Sahabat tersebut mendengar pernyataan oleh nabi
Muhammad SAW, lalu dia mendengar pernyataan dari sahabat yang lain,
hingga ketika dia melontarkannya, ada beberapa cerita yang dia dengar yang
keliru. Hal ini membuat perkataan Utusan menjadi perkataan orang lain dan
perkataan orang lain menjadi perkataan Utusan. inilah sering terjadi dalam
peristiwa-peristiwa Israiliyyat yang diriwayatkan oleh Nabi SHALLALLAHU
'ALAIHI WASALLAM. Kaum Israiliyyat sudah memasuki kelimpahan ideology
dan literasi Islam, sampai-sampai ada beberapa pemuka agama menganggap
Israiliyyat merupakan sumber penerjemahan keempat sesudah Al-Qur'an,
hadis dan ijtihad. Ka'ab al-Ahbar ialah tokoh besar dalam sejarah Israel di
kenalan para sahabat. Beliau memiliki kesaktian yang besar yang telah
diungkapkan oleh sahabat-sahabat terkenal yang memberitakan tentang

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

713 | Volume 6 Nomor 2 2024

beliau seperti Abu Hurairah, Ibnu Zubair, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Muawiyah
dan lain-lain.
Jika Israiliyyat hanya disalin dengan hati-hati dan diperiksa ulang
maka itu sudah cukup. Namun lain ceritanya jika israiliyyat didasarkan pada
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam Adz-Dzahabi bersabda: “banyak orang yang
bingung akan hal ini. Hingga Abu Hurairah menyampaikan kepada pihak lain
mengenai yang didengarnya dari Rasulullah. Dia kemudian juga
menyampaikan kepada pihak lain mengenai yang dia dengarkan melalui
Ka'ab. Namun para pendengar malah bingung antara perkataan Nabi dengan
perkataan Ka'ab.
Mengenai perihal ini semakin berlimpah kutipan dalam buku-buku
pada masa Tabi'in. Mereka tidak mengaitkannya kepada para sahabat
melainkan kepada rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam, sampai sampai ada
pula penulis yang memberikan rating marfu' (hingga Nabi Shallallahu 'alayhi
wasallam). Contohnya peristiwa Harut Marut dalam kitab Tafsir Ath-Tabari
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan diberi peringkat marfu. Lalu dikutip
oleh Imam As-Suyuthi dalam bukunya Ad-Dur Al-Mantsur. Mu'aqqaban
mengkritik cerita Harut Marut dan nyatanya cerita tersebut lebih mirip
dengan Abdullah bin Umar dari Ka'ab Al-Ahbar dibandingkan dengan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
h. Buruk dalam ta`wil dan dalam melewati undang-undang. Tak hanya cara
penyajian narasinya, kesalahan dalam menyimpulkan hukum dari ayat
tersebut juga menjadi penyebab perbedaan penafsiran. Sebagaimana
dilansir Bukhari, Muslim. Dari Urwah bin Zubair berkata kepada Aisyah,
“menurutku, orang-orang yang tidak mengetahui antara Safa dan Marwah
tidak dapat menanggung apapun dan aku tidak peduli apakah ada yang
mengetahui antara Safa dan Marwah Marwah atau tidak”, maka Aisyah
menjawab: “Sayang sekali ." kamu berkata oh keponakanku. Rasulullah dan
kaum muslimin melakukan sa'i, sesungguhnya orang-orang musyrik yang
berdoa kepada berhala di Musyallil (tempat antara Mekkah dan Madinah
yang banyak airnya) tidak melakukan sa'i i di antara Safa dan Marwah.
Kemudian Islam datang dan saya berdoa kepada Rasulullah, semoga Allah
memberkati dia dan memberinya kedamaian. Al-Baqarah: 158 Urwah
memahami ayat ini sebagai keringanan dari tidak adanya pradaksina karena
tidak ada dalil yang mengharuskannya. Sebab, ia lupa asbabun nuzul dan
makna ayat tersebut.
Alasan lain mengapa mengerti ayat-ayat di dalam Al-Qur'an salah
ialah disebabkan ayat-ayat tersebut berfokus dalam urusan agama.
Dikisahkan Ibnu Abbas, saat zaman dulu warga Yaman yang pergi
menunaikan haji tidak memuat bekal dan berpura-pura menjadi orang yang
bisa dipercaya. Setelah sampai di Mekkah, mereka shalat dan diturunkan
surah Al-Baqarah : 197. Ada pula tafsir yang bertentangan dengan nash. Jadi
yang perlu diingat hanyalah Nash dan bukan yang lain. Sebagaimana
meriwayatkan Hasan bahwa Umar bermaksud tidak membolehkan haji
tamattu', maka Ubay bin Ka'ab merespon: Ini bukan hakmu, karena ada ayat

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

714 | Volume 6 Nomor 2 2024

tentang hal itu dan kami mengerjakannya dengan meniru Duta Allah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Kedua, karena maudzu'iyyat mempunyai perbedaan tafsir karena
terjemahan dan dilalanya. Ini menyangkut kata-kata seperti mubham,
mujmal, musytarok atau kata-kata yang mengandung macam-macam arti. Al-
Kalbi merangkumnya dalam 12 alasan yaitu:
a. Adanya ketimpangan bacaannya atau qiroat
b. Ketimpangan dari sisi i'rob meskipun dari sisi qiroatnya sama.
c. Perdebatan linguistik tentang makna kalimat.
d. isytirok lafdzi.
e. Mungkin kesalahan pengucapan 'am dan khas.
f. Mungkin muqoyyad dan muthlaq
g. alam bisa atau majazi.
h. kemampuan idlmar dan istiqlal.
i. Kemampuan untuk menambahkan kalimat.
j. kemungkinan suatu hukum muhkam atau mansukh.
k. kemungkinan dalam urutan awal dan akhir.
l. Adanya ketimpangan riwayat penafsiran dari nab dan kaum salaf.
Beberapa sahabat yang menafsirkan antara lain:
1. Aisyah Radhiallahu ‘Anha
2. Abu Bakr as-Shiddiq
3. Umar bin Khattab
4. Utsman bin Affan
5. Ali bin abi Thalib
6. Ibn Mas’ud
7. Zaid bin Tsabit
8. Abdullah bin Zubair
9. Ubay bin Ka’ab
10. Abu Musa al-Asy’ary
Sepuluh sahabat inilah yang terkenal dalam menafsirkan alquran yang di
sampaikan oleh Rasulullah.
Perbedaan penafsiran para sahabat Nabi membuat penafsiran mereka tidak
bisa ditempatkan pada satu tingkatan saja. Oleh karena itu, para ulama membuat
yaitu ada 3 pengevaluasian mengenai penafsiran oleh sahabat. Pertama, cerita
mengenai perihal yang belum dapat diganggu olehdaya pikir, seperti sebab-sebab
turunnya alquran dan menghapus - memindahkan. Motif cerita ini bisa digolongkan
otentik atau lemah. Jika saluran tersebut shahih maka kisah tersebut dapat dibuat
data tafsir karena merupakan hadis marfu (hadits yang diturunkan kepada Nabi
Muhammawa SAW). Daripada itu sanad yang lemah belum bisa dijadikan sumber
penafsiran melainkan di topang dengan cerita teman lain yang dapat dipercayai atau
cerita teman yang usianya lebih tua yang dibenarkan sebagai sumber terpercaya..
Kedua, kisah-kisah yang dapat diterima akal sehat, dihubungkan dengan ayat-
ayat hukum dan jual beli ( ﻣﺎ ﻛﺎن ﻟﻠﺮأي ﻓﯿﮫ ﻣﺠﺎل). Informasi yang bisa dijadikan sumber

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

715 | Volume 6 Nomor 2 2024

data sah mengenai penerjemahan al-quran hanya riwayat-riwayat yang disetujui
(ijma'), lain hal nya riwayat mukhtalif fih (dengan perbedaan) tidak mungkin.
Ketiga, membenarkan keaslian kisah Israiliyat yang diceritakan oleh para
sahabat. Kalau saluran sanadnya terkoneksi dengan bagus serta terpercaya ya, tapi
jumlahnya masih tergolong belum banyak. Karena para sahabat selalu waspada
dalam menerjemahkan kisah Israiliyat. Kebanyakan israiliyat yang didapat dari
teman ialah kisah-kisah yang belum valid dikarenan penutur cerita menyusun cerita
itu dan mengaitkannya dengan teman tersebut. Maka dari itu, Abu Zahrah
berpendapat bahwasanya sejumlah laporan para teman di Israel tentang kondisi
merekaialah tidak benar, hal ini dipercaya banyak fakta teman teman sangat waspada
dalam kejadian ini serta puas dengan data yang didapat dari Al-Qur'an serta Sunnah
rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam.
Perbedaan pemahaman Al-Quran antar sahabat juga disebabkan karena
adanya kendala pemahaman asbabun nuzul (akibat turunnya ayat-ayat). Perbedaan
tingkat pemahaman Al-Quran antar sahabat juga menimbulkan perbedaan
penafsiran. Ibnu Daqiq al-'Id berkata: “Penjelasan sebab-sebab turunnya alquran
merupakan cara efektif memahami Al-Quran.” Sementara itu, al-Wahidi menjelaskan,
“tidak mungkin mengetahui cara menafsirkan suatu ayat tanpa mengacu pada sejarah
ayat tersebut dan penjelasan wahyunya.” Sementara itu, Ibnu Taimiyah mengatakan
yaitu“mengetahui asbabul nuzul bisa menolong seseorang dalam mengerti Al-Quran.
Karena mengerti “sebabnya” dapat mengetahui “akibatnya” (Abdurahman bin Abu
Bakar Jalaluddin al-Suyuti, 1974)
Contohnya adalah ucapan Baidan tentang kata َرة قَ dalam surat al-Baqarah
ayat 67. Mereka mengartikannya sebagai “Aisyah”, sehingga ayat tersebut
mempunyai konotasi “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu untuk
membunuh Aisyah”. Penerjemahan diberikan oleh kelompok Syi’ah al-Islamiyah yang
diketahui dengan sebutan Kaum Batin. Dalam artikel Muslim diuraikan bahwasanya
hal tersebut merupakan model penjelekkan Islam Syiah dengan cara memfitnah dan
menghina Ummul Mu'minin, 'Aishah. Karena dengan mengkritiknya, seperempat
hukum Islam yang diperkenalkannya hilang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hakim
Abu Abdillah: Diriwayatkan dari 'Aishah radhiyallahu 'anha seperempat syariah'.
Oleh karena itu, seluruh hadis yang diriwayatkannya akan tidak diterima dan belum
bisa menjadi acuan dalam hukum syariat (Adib, 2017)
Namun penyimpangan tetap bisa dianggap ijtihad. ijtihad yang diamalkan
adalah tidak benar sehingga pandangan ini tidak benar dan tidak bagus untuk
menjadi acuan dalam menerjemahkan Al-Qur'an. Sanad narasinya sunggah
dipengaruhi dalam menjadikan ijtihad para sahabat sebagai sumber penafsiran Al-
Quran. Sebagaimana contoh lain dari firman Allah Swt
و
ُ

ُ

ۡ

ٌ
ﻳـﱠﻮ
ۡ

َ
ﯩUﺬ
ٍ
Wﱠﺿ
ِ

َ
ةٌ ◌ۙ ٢٢
ا
ِ
ﱃٰ ر
َ

ِ
َ
ﺎ Wَﻇ
ِ

َ
ةٌ ◌ۚ ٢٣
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.”

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

716 | Volume 6 Nomor 2 2024

Al-Zamakhshari menjelaskan bahwa sebagai umat manusia tidak dapat
melihat Allah. “Ketahuilah bahwa saudara-saudara kita dengan tegas menolak hal
yang dituduhkan oleh umat yang percaya bahwa mereka melihat Tuhan berdasarkan
firman Tuhan, dan berikan beberapa alasannya. Mereka menguraikan bahwasanya
melihat bukan berarti melihat dan tidak melihat yang menjadi bagian dari ari nadzar.
Penjelasan lain nadazr yang disebutkan sebelumnya artinya menunggu dalam
qolbu atau melihat dengan mata. Disini pengucapan “ila rabbiha” berarti nikmat Allah,
disebabkan istilah ila merupakan model mufrad dari pengucapan al-ala’u yang
artinya pemberian / kenikmatan. Jadi maksud ayat ini adalah “menunggu
nikmat/pemberian Tuhan diutamakan atau dibawa ke surga.” (Hal ini dilakukan
untuk menghindari kemungkinan orang beriman melihat Allah di akhirat).
Selanjutnya al-Zamakhshari, mereka tidak mengharapkan kenikma tan dan
penghormatan kecuali Tuhannya, karena selama mereka hidup di dunia, mereka
berani atau tidak berharap kepada siapapun selain Allah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
(al-Zamakhsyari, 1407). Menurut al-Dhahabi, upaya memutarbalikkan makna kata
ﻧﱠﻈﺮ ة dari makna sebenarnya yaitu melihat dengan mata kepala sendiri; atau mengakui
kemungkinan makna tersebut, dengan penguasaan bahasa maka fungsi kata ل ا
sebagai kata penghubung (harf) menjadi kata benda (isim).
Menafsirkan istilah nadzar berarti menunggu tidak dapat dibenarkan, karena
nadzar dalam pengertian ini tidak berubah dengan ila dan tidak memiliki
hubungannya dengan wajah, kita tidak dapat mengatakan “wajah seseorang ‘yang
menunggu’. Begitu pula dengan penafsiran kata tersebut nadz ar dalam arti
menunggu rahmat dan kemuliaan Allah juga jelas merupakan manipulasi, karena
dimaknai sama dengan menunggu.
Dengan istilah lain, al-Zamakhshari membuat perbuatan yang tidak konsisten
ketika menafsirkan teks dalam suatu kondisi(siyaq). Pada awalan kalimat, istilah
wujuh dipahami sebagai dasar sedangkan istilah nadirah dipahami sebagai majazi.
Seperti contoh lain yang diberikan Baidan ketika menunjukkan kekeliruan penafsiran
Al-Quran pada masa-masa awal ilmu tafsir Al-Quran. Contohnya diberikan menurut
tafsir Râfidhah (Syiah) pada tafsir َھﺐ َل ِﺑﻰ اَ َدا yang ditemukan pada ayat ke satu surah
al-Lahab dengan abu yang terbakar dan Umar biarlah maknanya berubah “Celakalah
Abu Bakar dan celakalah sesungguhnya Umar” Makna autentiknya : “Biarlah binasa
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa”. (Adib, 2017)
Gambaran tersebut memperlihatkan antipati Râfidhah terhadap kedua raja
tersebut. Sejumlah pemuka agama berpendapat bahwasanya alasan mereka menamai
Râfidhah ialah disebabkan mereka melewati serta tidak menerima (rofadho) atas
kepemimpinan (imaamah) Abu Bakar dan Umar. Mempercayai bahwasanya
kepemimpinan yang semestinya muncul setelah wafatnya rasulullah SAW, berada di
tangan Ali bin Abi Thalib Ra. Melainkan sebagian besar pemuka agama berpendapat
pengangkatan Râfidhah dimulai di zaman Zaid bin Ali Rahimahullah. Saat itu, ia
mempercayai Ali lebih penting daripada Usman. Beliau juga selalu memberikan
kesetiaannya kepada Abu Bakar dan Umar serta menjadikan mereka sebagai orang-
orang terbaik setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Demikian di kalangan
pendukung setianya juga terdapat pengkritik Abu Bakar dan Umar. Melihat kejadian
itu Zaid segera memarahi dan berdebat dengan mereka, sampai-sampai mereka

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

717 | Volume 6 Nomor 2 2024

berpisah dan pergi melewati Zaid bin Ali. Kemudian Zaid mengatakan kepada mereka:
“Kalian telah meninggalkanku (rofadhtumuunii), maka mulai sekarang mereka
disebut Rafidhah (Adib, 2017)
Penyelesaian Persoalan Perbedaan Pemahaman
Al-Qur'an sendiri menganggap dirinya sebagai kitab tertulis. Perihal ini
diperlihatkan Al-Quran adalah kitab yang dicatat secara tertulis, suatu proses
penulisan yang telah berlangsung sejak awal berkembangnya Islam. Sedangkan
dalam bahasa tulis kita berbicara tentang bahasa yang “bebas konteks”, yaitu suatu
potongan teks dipisahkan dari konteks pengarangnya, maka dari itu makna yang
berisi dalam teks tersebut berarti “Tidak bisa dipertanyakan langsung kepada
pengarangnya. Konsekuensi yang harus diterima oleh karena itu adalah tidak adanya
penjelasan langsung dari Allah atas apa yang terkandung dalam teks Al-Qur'an. Hal
ini kemudian berimplikasi pada kebebasan penafsiran manusia (J.Ong, 2013)
Ada bagian-bagian yang menetapkan menbatas-batas maksud yang terdapat
dalam Al-Quran. Sarjana sastra berpendapat bahwasanya hanya baginda Rasulullah
SAW yang memiliki hak untuk menetapkan di mana dan apa saja batas-batas maksud
didalam Al-Quran. Mereka menanggapi bahwasanya tafsir Nabi harus diakui sebagai
tafsir final, sehingga tidak ada yang bisa mengabaikannya. Namun tampaknya
pandangan tersebut menimbulkan banyak permasalahan, karena Nabi sendiri tidak
pernah menjelaskan keseluruhan Al-Quran, bahkan Rasulullah hanya menguraikan
keamanan Al-Quran untuk maksud dan tujuan tertentu. Al-Quran yang diturunkan
secara bertahap tentu saja selalu dikaitkan dengan kondisi masing-masing. Lalu
kondisi inilah yang menjadi kekuatan pengikat arti yang berisi didalam Al-Quran
(Saeed, 2016)
Kondisi yang berbeda inilah yang selanjutnya menjadi penyebab pokok
munculnya keinginan yang heterogen. Artinya, kebebasan manusia untuk
menafsirkan Al-Quran pada akhirnya tetap berlaku, terutama setelah wafatnya Nabi.
Lebih lanjut, munculnya kebebasan tafsir merupakan pintu utama timbulnya
perbedaan pendapat (interpretasi). Dalam kondisi yang berbeda, hal ini selalu
membuat gejala yang lumrah, nyatanya ketimpangan itu sudah ada ketika
terbentuknya kelompok manusia (Shihab)
‘Umar bin Al Khaththab berkata: “Saya pernah mendengar Hisyam bin Hakim
bin Hizam membaca surat Al Furqan pada masa Nabi sallallahu 'alayhi wasallam, saya
pun mendengarkan dengan penuh perhatian bacaannya. Jadi ternyata beliau banyak
membaca surat-surat yang belum pernah dibacakan Rasulullah SAW kepada saya
seperti ini. Maka hampir saja aku mencekiknya ketika sedang salat, namun aku tetap
menunggu dengan sabar sampai dia selesai memberi salam. Kemudian, saya segera
meraih lengan bajunya dan bertanya: “Kepada siapa saya akan memberikan surat itu
untuk dibaca?” Saya sudah menjawab “Ya Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia
dan memberinya kedamaian, bacakan untuk saya.” Saya berkata: “Kamu berbohong.
Sesungguhnya Rasulullah SAW membacakannya untukku, padahal tidak seperti yang
kamu baca. “Maka aku segera membawanya menghadap Rasulullah SAW.
Selanjutnya aku berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku pernah mendengar
orang ini membacakan surat Al Furqan (dibaca dalam bahasa setempat) yang belum

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

718 | Volume 6 Nomor 2 2024

pernah kamu bacakan untukku. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah wahai
Hisyam. » Kemudian dia membacanya seperti yang pernah saya dengar sebelumnya.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Demikianlah hal itu diturunkan. » Kemudian
dia berkata: “Bacalah wahai Umar. » Maka aku membacakannya dengan bacaan yang
dibacakan Nabi Muhammad SAW kepadaku. Dia kemudian berkata: “Beginilah surat
itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek
bacaan). Jadi bacalah, dalam dialek membaca lho (Muslim).
Lebih lanjut, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan di atas, Banyak
factor-faktor yang menyebabkan ketimpangan penerjemahan Al-Qur'an. Membatasi
interpretasi penerjemah ialah perihal yang tidak mungkin dan tidak rasional.
Memang hakikat pengertian dan pengetahuan manusia terus berkembang dan tidak
bisa diselaraskan dengan pemahaman orang lain. Selanjutnya pemahaman Al-Quran
menjadi hubungan terbuka yang terjadi antara penyusun yaitu Allah , teks sebagai Al-
Qur’an dan pembaca sebagai manusia (Fadl, 2003)
Pembatasan tidak boleh dilakukan, apalagi menghilangkan makna
pemahaman Al-Quran, karena (pembatasan) hanya akan berdampak pada sikap
sewenang-wenang, yang merupakan salah satu bentuk kekerasan intelektual.
Padahal, dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengambilan
keputusan, atau dalam hal ini ijtihad, kita selalu menduduki kedudukan yang luhur
di hadapan Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Jika hasil ijtihad seseorang
benar maka dia akan mendapat dua pahala. Namun jika hasil ijtihad seseorang salah
maka orang tersebut akan mendapat pahala. » Artinya, tidak ada salahnya seseorang
melakukan ijtihad, bahkan dijamin mendapat pahala.
Ketika melihat adanya kesalahan penafsiran, hal yang penting dikerjakan
ialah memperlihatkan kesalahan itu dengan jelas dan tidak tergesa-gesa hingga
kesalahan tersebut terselesaikan dengan baik. Namun apabila penafsir tidak
menerima bahkan berpendapat ada kekeliruan dalam penafsirannya, maka ia harus
memperhatikan terlebih dahulu dalilnya, asalkan dalilnya tidak bertentangan dengan
kaidah penafsiran dan tidak melanggar aturan penerjemahan. tidak menyimpang
dengan prinsip syariah, adanya perbedaan penerjemahan akan diselesaikan melalui
perbuatan lapang dada dan toleran

KESIMPULAN
Dalam penerjemahan Al-Quran, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan dan kesalahan pemahaman pada masa para sahabat. Secara umum sebab-
sebab terjadinya peristiwa ini bersifat dzatiyyah, yakni penyebab yang berhubungan
dengan kepribadian penafsir, seperti tingkat pengetahuan yang dipunyai temant,
ketelitian, kemampuan menyimak kalimat-kalimat cerita dengan sempurna atau
tidak. Maudzu'iyyat adalah penyebab yang berhubungan dengan teks atau dilalah.
Seperti perbedaan sisi qiraat, sisi i'rab, dalil-dalil para ahli bahasa dalam penafsiran
suatu kalimat, lafaz am dan khas, mutlaq dan muqayyad dan lain-lain. Hal ini pula
yang menyebabkan perpecahan di kalangan masyarakat saat itu. Perselisihan ini
menimbulkan adanya ketimpangan kualitas penerjemahan antar masing-masing
sahabat.

As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Volume 6 Nomor 2 (2024) 706 - 719 E-ISSN 2656-8152 P-ISSN 2656-4807
DOI: 10.47476/assyari.v6i2.1295

719 | Volume 6 Nomor 2 2024

Namun dalam hal ini, kita tidak bisa membatasi pemikiran seseorang untuk
memahami penjelasan berdasarkan pemahamannya sendiri. Kita tidak bisa melarang,
dan kita tidak bisa berasumsi bahwa penafsiran kita benar sementara penafsiran lain
salah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “jika hasil ijtihadnya benar maka dia
mendapat dua pahala. Namun jika hasil ijtihad seseorang salah maka ia akan
mendapat pahala, artinya ijtihadnya tidak merugikan. Dan Rasullullah berkata
dengan perkataannya sendiri: “Demikianlah surat itu diturunkan. Faktanya, Al-
Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Jadi bacalah dalam
dialeknya, bacalah semampu Anda.”

DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman bin Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuti. (1974). al-itqan fi ulum al-qur'an.
cairo: al-hay'ah al Masriyah al-'Ammah.
Adib, N. (2017). Faktor faktor penyebab penyimpangan dalam penafsiran alqur'an.
Jurnal dakwah dan pengembangan sosial kemanusiaan, 8(1).
adz-Dzahabi, M. h. (2012 M). al-tafsir wa al mufassirun. Mesir: Dar al-Hadith.
Al-Amin. (2007). Manhajun Naqdi Fi Tafsir. Cairo: Dar al-Hady.
al-Zamakhsyari, A. a.-Q. (1407). Al-Kasysyaf 'An Haqa'iq Ghawamidh al-Tanzil. Beirut:
Dar al-kutub al-arabi.
Fadl, K. M. (2003). Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj.
Jakarta: serambi ilmu semesta.
Faudah, M. B. (n.d.). At-Tafsir wa Manahijuh.
J.Ong, W. (2013). Kelisanan dan keaksaraan (terjemahan). Yogyakarta: Gading
Publishing.
manna al qattan, M. (2007). Mahabits fi ulumil qur'an Terjemahan . Jawa Barat:
Pustaka Literasi Antar Nusa.
Miswar, A. (2016). Perkembangan Tafsir Al-Quran Pada Masa Sahabat. Jurnal Rihlah,
V(2).
munawwir, s. a. (2002). Alqur'an : Membangun tradisi kesalehan hakiki. jakarta:
ciputat pers.
Muslim, B. (n.d.). HR. Bukhari nomor 4608. rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab
sembilan imam hadits.
Saeed, A. (2016). Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-
Qur’an,Terjemahan. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press.
Shihab, M. (n.d.). Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran.