1
LAPORAN PERKEMBANGAN KERJA (KINERJA)
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH PERIODE 2016 – 2021
1

“PEMULIHAN HAK KORBAN ADALAH KEWAJIBAN PEMERINTAH”

PENGANTAR
Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, Komisioner Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh periode 2016 – 2021 menyampaikan laporan
perkembangan kerja secara periodik pada akhir masa jabatan kepada Gubernur Aceh,
Ketua DPR Aceh dan Pemerintah.
Merupakan sebuah kehormatan bagi kami dapat bekontribusi mewarnai
sejarah perjalanan transisi damai Aceh sebagai Komisioner KKR Aceh yang
merupakan lembaga independen dan non-struktural dan dibentuk berdasarkan mandat
perjanjian damai dan/atau Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (MoU Helsinki, 15 Agustus 2005) yang
dijalankan melalui Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh.
Demikian juga dengan perjalanan KKR Aceh, dalam rentang waktu 5 (lima)
tahun terdapat dinamika yang penting dalam catatan kami, mulai dari pasang-surut
semangat, dianggap akan membuka luka lama, kecurigaan pada kerja-kerja KKR,
perdebatan dalam pelaksanaan kewenangan, kritik, sinisme, komplain, dianggap
lamban dalam bekerja dan catatan penting lainnya dari pelbagai pihak yang secara
keseluruhan jika dikombinasikan dalam satu bahasa hanya -lah
sebuah “harapan” yang menghendaki agar KKR Aceh dapat bekerja dengan baik dan
maksimal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Komisioner KKR Aceh terdiri dari 7 (tujuh) orang sesuai Qanun Aceh Nomor
17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh dengan susunan yang terdiri dari Afridal Darmi
(Ketua), Muhammad MTA (Wakil Ketua), Evi Narti Zain, Ainal Mardiah, Fuadi
Abdullah, Masthur Yahya dan Fajran Zain (Anggota). Pada akhir Tahun 2017 sdr.
Muhammad MTA mengundurkan diri dan kemudian digantikan oleh sdr. Muhammad
Daud Berueh pada 2018 untuk melanjutkan pergantian antar waktu dalam sisa waktu
periode 2016 - 2021. Selanjutnya pada akhir tahun 2018 sdr. Fajran Zain kembali
mengundurkan diri. Kemudian pada 21 September 2020, KKR Aceh berduka,

1
Laporan Perkembangan Kerja (Kinerja) Komisioner Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Aceh ini disampaikan kepada Gubernur Aceh dan Ketua DPR
Aceh serta sebagai bagian dari akuntabilitas publik KKR Aceh juga mengupload
laporan ini melalui website resmi KKR Aceh.

2
Komisioner Fuadi Abdullah meninggal dunia, kita semua mendoakan semoga Alm.
Fuadi Abdullah Husnul Khatimah. Dengan demikian Komisioner yang melanjutkan
sisa masa jabatan hanya diisi oleh 5 (lima) orang Komisioner hingga laporan ini
disampaikan yakni, Afridal Darmi (Ketua), Evi Narti Zein (Wakil Ketua), Mastur
Yahya, Ainal Mardiah dan Muhamad Daud Berueh (Anggota).
Laporan perkembangan kerja sebagaimana dimaksud pada pasal 15 Qanun
Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh disampaikan secara periodik kepada
Gubernur Aceh dan DPR Aceh. Dalam hal ini laporan perkembangan kerja yang
dimaksud adalah laporan pada akhir masa jabatan. Selain itu, laporan perkembangan
kerja ini penting disampaikan sebagai bentuk akuntabilitas kerja KKR Aceh kepada
publik.
Untuk memudahkan dalam penyajiannya, laporan ini disusun dengan
sistematika dan/atau susunan laporan sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
A. TUGAS DAN WEWENANG KKR ACEH
B. VISI DAN MISI
C. EFEKTIVITAS KERJA KKR ACEH
II. PERKEMBANGAN KERJA KKR ACEH
A. PENGUNGKAPAN KEBENARAN
A.1. PELAKSANAAN PENGUNGKAPAN KEBENARAN
A.2. PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN
A.3. INVESTIGASI
B. REKOMENDASI REPARASI
B.1. REPARASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAM
B.2. MEKANISME PELAKSANAAN REKOMENDASI REPARASI
B.3. JENIS HAK REPARASI MENDESAK
B.4. JENIS HAK REPARASI KOMPREHENSIF
B.5. TELAAH REPARASI
B.6. MERESMIKAN MEMORIALISASI
C. MEMFASILITASI PROSES REKONSILIASI (PAK MASTUR)
C.1. REKONSILIASI DALAM QANUN KKR ACEH
C.2. MEKANISME DAN TAHAPAN REKONSILIASI
C.3. UPAYA KKR ACEH DALAM MEMFASILITASI REKONSILIASI
C.4. PERSIAPAN REKONSILIASI DI KABUPATEN BENER MERIAH
D. PENGUATAN KELEMBAGAAN

3
D.1. KEGIATAN DI NASIONAL
D.2. KERJA SAMA KELEMBAGAAN
III. CAPAIAN
A. CAPAIAN ATAS HASIL PENGUNGKAPAN KEBENARAN
B. CAPAIAN ATAS HASIL REKOMENDASI REPARASI
C. CAPAIAN ATAS HASIL FASILITASI REKONSILIASI
IV. SUMBER PENDANAAN
V. REKOMENDASI
A. KELEMBAGAAN KKR ACEH
B. REPARASI KORBAN

Komisioner KKR Aceh periode 2016 – 2021 mengucapkan terima kasih dan
apresiasi yang sebesar-besarnya kepada para penyintas yang telah memberikan
pernyataannya kepada KKR Aceh dan unsur Pemerintahan Aceh, Wali Nanggroe
Aceh, Pemerintah Aceh, DPR Aceh, Kodam Iskandar Muda, Kepolisian Daerah
Aceh, Bupati/Walikota, DPR Kabupaten/Kota, Baitul Mal Aceh, Majelis Adat Aceh,
Dinas Sosial Aceh dan Badan Reintegrasi Aceh.
Ucapan terima kasih dan apresiasi juga kami sampaikan kepada Pemerintah
dan lembaga negara di tingkat Pusat mulai dari Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan, Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Komisi III
DPR Aceh, Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri, Kepala Staf Presiden, Direktur
Regulasi dan Reformasi Hukum Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan dan Ombudsman
Republik Indonesia. Atas dukungan Pemerintah, Pemerintah Aceh,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga menyampaikan ucapan terima
kasih dan apresiasi kepada Kedutaan Besar Norwegia dan Kedutaan Besar negara-
negara Eropa, Amerika, Afrika dan Asia di Jakarta, organisasi masyarakat sipil baik
di Aceh maupun di Jakarta yang telah berkontribusi besar sejak awal pendirian KKR
Aceh hingga memberikan dukungan berupa memfasilitasi pelbagai kegiatan guna
mendukung optimalisasi kerja-kerja KKR Aceh. Selanjutnya KKR Aceh
menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para Ulama
Dayah dan Majelis Adat Gayo Kabupaten Bener Meriah yang telah memberikan
masukan kontributif dalam pelaksanaan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal.

15
wilayah kerja untuk memperkenalkan KKR dan mandatnya serta menjajaki untuk
menjemput data umum atau informasi awal ihwal Calon Pemberi Pernyataan (CPP)
yang selanjutnya diharapkan secara sukarela bersedia memberi pernyataan. Siapa
calon pemberi pernyataan, adalah orang perorangan baik sebagai saksi secara
langsung terhadap peristiwa , atau Korban langsung pada peristiwa, dan atau
keluarga korban yang mengetahui peristiwa tersebut terjadi.
Pada awalnya, kegiatan sosialisasi dan prakondisi dilakukan sebagai
kelanjutan submisi data korban pelanggaran HAM masa lalu yang diserahkan mitra
KKR Aceh dari organisasi masyarakat sipil (OMS). Melalui kegiatan ini, KKR Aceh
meneliti kembali dan sekaligus menghimpun info terkini ihwal keberadaan saksi,
korban mau pun CPP yang bersedia diambil pernyataannya oleh KKR Aceh.
Tahap berikutnya, setiap data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan
prakondisi diregistrasi, lalu formulirnya dicetak, disiapkan sebagai alat kelengkapan
kerja petugas Pengambil Pernyataan (PP). Setelah itu petugas PP yang telah dilatih
secara khusus melakukan wawancara resmi untuk memperoleh keterangan berupa
data dan informasi dari CPP. Data dan informasi yang telah diperoleh itu diisikan ke
dalam Formulir Pengambilan Pernyataan seraya menyertakan transkrip hasil
wawancara serta dokumen lainnya. Adapun informasi yang di ambil dari pemberi
pernyataan / saksi sebagai berikut:
1. Informasi siapa pemberi pernyataan (baik korban, keluarga korban, kerabat
korban dan saksi yang melihat langsung peristiwanya) yang berisikan identitas
pemberi pernyataan;
2. Informasi yang berkaitan dengan peristiwa yang dialami dan siapa yang akan
memberi pernyataan, Informasi pendalaman terhadap peristiwa yang dialami
dengan daftar pertanyaan ( berkaitan tempat kejadian, waktu kejadian, siapa
yang melakukan dan menyaksikan, bagaimana peristiwa itu terjadi dan apa
yang dilakukan );
3. Informasi yang berkaitan dengan korban yang berisikan identitas korban,
tahun kejadian, lokasi kejadian, status hubungan pemberi pernyataan dengan
korban serta informasi identitas korban saat kejadian. Informasi yang
berkaitan dengan siapa pelaku, tahun kejadian dan lokasi kejadian dan
pertanyaan lanjutan yang berkaitan dengan, kelompok atau perorangan,
kesatuan dan lainnya;
4. Informasi yang berkaitan dengan pelaku kolektif dan korban kolektif;
5. Informasi yang berkaitan dengan informasi saksi;

16
6. Informasi yang berkaitan dengan informasi dampak saat peristiwa terjadi dan
setelah peristiwa serta kebutuhan untuk pemulihan (reparasi);
7. Informasi berkaitan Rekonsiliasi;
8. Informasi berkaitan dengan Ahli-waris;
9. Informasi yang berkaitan dengan situasi dan kondisi pemberi pernyataan (
Lembar pengamatan);
10. Lembar berita acara;
11. Lembar persetujuan.
Kegiatan Pengambilan Pernyataan dilakukan KKR Aceh sejak Desember
2017. Pada awalnya di lima wilayah kerja (Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie,
Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Selatan).
Selanjutnya, sejak Oktober 2018, KKR Aceh memperluas wilayah kerjanya di tujuh
wilayah baru meliputi Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Timur,
Aceh Tamiang, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Dalam kegiatan ini, kepada petugas PP,
para pemberi pernyataan mengungkap secara sukarela ihwal peristiwa dugaan
pelanggaran HAM yang pernah dialami, dilihat, didengar dan atau disaksikan
langsung di lokasi dan atau sebagai pelaksana langsung tindakan tertentu yang dapat
dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM.

Tabel wilayah dan Jumlah pernyataan yang di ambil 2017- Maret 2021
No. Kabupaten
Formulir
keluar

Formulir
masuk

Realisasi
Pengambilan
pernyataan
Ket
1 Aceh Selatan 235 235 185
2 Aceh Barat 392 392 384
3 Aceh Besar 896 896 849
4 Aceh Tengah 271 271 239
5 Aceh Tamiang 252 252 237
6 Bener Meriah 368 368 310
7 Aceh Timur 372 372 335
8 Langsa 109 109 89
8 Aceh Jaya 490 490 466
9 Pijay 408 408 375
10 Pidie 686 686 615
11 Aceh Utara 799 799 723
12 Bireuen 410 410 371
14 Lhoksemawe 88 88 70
15 Abdya 1 1 1
16 Nagan Raya 15 15 13
17 Banda Aceh 2 2 2
Total 5794 5794 5264

17
Pengambilan pernyataan telah dilaksanakan di 17 kabupaten kota di antaranya
Kabupaten Aceh selatan 15 kecamatan dan 46 Desa, kabupaten Aceh timur 9
kecamatan dan 33 desa, kabupaten Aceh tengah 13 kecamatan 60 desa, Kabupaten
Aceh barat 3 kecamatan 26 desa, Kabupaten Aceh Besar 22 kecamatan 107 desa,
Kabupaten Pidie 19 kecamatan 114 desa, kabupaten Aceh Utara 23 kecamatan 107
desa, kabupaten Bireuen 12 kecamatan 35 desa, Kabupaten Aceh Barat Daya 1
kecamatan dan 1 desa, Kabupaten Aceh jaya 5 kecamatan dan 29 desa, Kabupaten
Nagan Raya 4 kecamatan dan 10 Desa, Kabupaten Aceh Tamiang 8 kecamatan 23
desa, kabupaten Bener meriah 10 kecamatan 68 desa, Kabupaten Pidie jaya 8
Kecamatan 38 desa, kota banda Aceh 2 Kecamatan dan 2 Desa, Kota Lhokseumawe
4 kecamatan 18 desa, Kota Langsa 5 kecamatan dan 11 desa. Jumlah keseluruhan
terdapat 17 kabupaten kota, 163 kecamatan dan 789 desa capaian ini dilakukan dalam
kurun waktu 2017 s/d 2021.
Dari 5794 formulir yang di keluarkan, 5264 yang memiliki informasi dan
terverifikasi, sebanyak 530 formulir di nyatakan rusak (tidak dapat diambil
Pernyataan) dengan berbagai alasan dan kondisi. Ada 12 Koordinator wilayah dan
sebanyak 74 petugas Pengambil Pernyataan yang membantu tugas lapangan KKR
Aceh dalam menjemput informasi dari korban, tugas mereka sebagai garda terdepan
menjemput informasi tentunya harus dilengkapi dengan peningkatan kapasitas dan
pengetahuan terhadap wilayah.
Petugas PP juga melakukan transkrip verbatim dari informasi peristiwa yang
dihimpun tersebut, Hasil kerja petugas PP kemudian diserahkan ke pangkalan data,
diproses berdasarkan Tata cara Baku dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Dokumentasi
dan Informasi KKR Aceh yang juga telah disiapkan bersama mitra kerja. KKR Aceh
juga membangun infrastruktur pangkalan data yang dilengkapi program aplikasi data
base berbasis web OpenEvSys. Lihat https://openevsys.org/about-openevsys/Untuk
mengetahui lebih lanjut lihat https://www.huridocs.org/ Aplikasi OpenEvSys
dikembangkan oleh HURIDOCS5 yang menawarkan sistem pengelolaan data base
open source yang efektif dengan pendekatan pelanggaran dan metodologi berbasis
peristiwa. Aplikasi ini digunakan banyak lembaga HAM di dunia untuk
mendokumentasikan dan melakukan analisa atas peristiwa pelanggaran HAM.
Aplikasi OpenEvsys dalam praktiknya, dapat pula disesuaikan format standarnya
dengan struktur data yang tertuang dalam formulir Pengambilan Pernyataan KKR
Aceh.

18
Sehingga, petugas data entry dengan mudah dan tepat dapat memindahkan
data dan informasi dari lapangan ke pangkalan data KKR Aceh. Data primer dari
proses pengambilan pernyataan diproses di pangkalan data dan dilakukan
pengkodean data dan informasi menggunakan aplikasi OpenEvsys. Proses kerja
dalam kegiatan ini merupakan suatu proses pengelolaan data dan informasi yang
telah diperoleh, yang diselenggarakan mulai dari pendaftaran, input data dan
informasi serta dokumen pendukung, hingga klasifikasi awal yang semuanya
terintegrasi di Pangkalan Data KKR Aceh. Selanjutnya, Pokja KKR Aceh melalui
admin Entry Data menyimpan dan mengolahnya di dalam pangkalan data untuk
kemudian disajikan menjadi sumber informasi yang sahih, akurat, dan reliable yang
dibutuhkan dalam menyiapkan pelaporan serta pengambilan kebijakan oleh
Komisioner KKR Aceh.
Proses pengungkapan kebenaran juga dilakukan melalui penyelidikan
(investigasi). Investigasi KKR Aceh merupakan serangkaian tindakan yang bertujuan
untuk memperoleh kejelasan dan kedalaman data dan informasi tertentu (tematik).
Metodenya dilakukan melalui serangkaian wawancara mendalam dan terstruktur,
menelaah arsip dan kepustakaan, serta mengelola submisi dari pihak lain. Kegiatan
investigasi yang diamanatkan dalam panduan pencarian fakta, lebih kepada
investigasi riset guna mendapatkan gambaran utuh berbagai peristiwa tindak
kekerasan yang pernah terjadi di Aceh.
RDK juga merupakan salah satu kegiatan pengambilan pernyataan, yang
dilakukan secara terbuka sesuai kebutuhan dan keputusan Komisioner KKR Aceh.
Tahapan dan mekanisme RDK dipandu dan direncanakan secara komprehensif oleh
komisioner KKR Aceh untuk menghasilkan suatu laporan tematik guna mengungkap
motif dari suatu tindak kekerasan atau memperlihatkan benang merah dari sejumlah
tindakan dan peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang disampaikan pemberi
kesaksian.
Setelah semua proses pengungkapan kebenaran dilakukan melalui berbagai
tahapan pengambilan pernyataan, pengelolaan data dan dokumentasi melalui aplikasi
OpenEvsys, investigasi, dan RDK, maka KKR Aceh melakukan kegiatan analisa
integratif. Kegiatan ini merupakan serangkaian aktivitas untuk menganalisa fakta
secara menyeluruh terhadap semua data dan informasi yang dikumpulkan KKR
Aceh. Melakukan analisa dan memadukan informasi dari Pangkalan Data, hasil
investigasi, arsip, sub-misi, dan data serta informasi lainnya yang dinilai relevan.
Analisa Integratif dilakukan untuk menemukan motif, bentuk dan pola pelanggaran

19
HAM Analisa dan temuan ini, akan menjadi bahan untuk menyusun rekomendasi
dan Laporan Akhir KKR Aceh.

 Wilayah Kerja
Kegiatan-kegiatan awal KKR Aceh, banyak dibantu organisasi masyarakat
sipil (OMS) melalui Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh. Fokus utama
pelaksanaan mandat KKR Aceh pada tahun 2018 sesuai dengan tahapan kerja dan
rencana strategis lembaga adalah melakukan pengungkapan kebenaran terhadap
dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Pada tahap-tahap awal pelaksanaan mandat pengungkapan kebenaran itu
KKR Aceh menghadapi keterbatasan, antara lain, dari segi pendanaan terutama
dalam menjalankan program kerja. Sehingga dalam pelaksanaan kerjanya KKR Aceh
mendapat dukungan signifikan dari OMS, berupa penyediaan personel untuk kerja–
kerja pengambilan pernyataan. Keterbatasan ini, berpengaruh juga pada jangkauan
wilayah kerja, sehingga KKR Aceh merasionalisasikan kembali wilayah kerjanya
berdasarkan data awal korban yang diperoleh melalui submisi lembaga mitra.
KKR Aceh memperhatikan keterwakilan wilayah timur, tengah dan wilayah
barat-selatan Aceh. Prioritas utama diberikan kepada wilayah yang semasa konflik
peristiwa kekerasannya dinilai cukup tinggi. Maka kebijakan yang diambil KKR
Aceh terkait pemilihan wilayah pelaksanaan kegiatan pengambilan pernyataan,
mulanya meliputi lima wilayah kerja (Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie,
Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Selatan).
Selanjutnya, pada pertengahan Juli hingga Agustus 2018 KKR Aceh melakukan
Kegiatan pre-assesment wilayah. Kegiatan ini dilakukan Komisioner KKR Aceh
bersama beberapa anggota Pokja dan staf sekretariat. Kelompok pertama menyusuri
wilayah bagian barat dan kelompok kedua menjejaki wilayah bagian timur, tengah
dan utara Aceh. Jumlah keseluruhan kecamatan yang telah di ambil pernyataan
sebanyak 163 kecamatan dan 769 Gampoeng. Selama 4 tahun KKR Aceh telah
sukses mengumpulkan pernyataan korban dan saksi sebanyak 5264 pernyataan,
Pengungkapan kebenaran melalui pengambilan pernyataan secara langsung adalah
sebuah proses mendengarkan, mencatat dan mendokumentasikan keterangan dari
korban, saksi, keluarga korban,serta kerabat terhadap peristiwa yang dialami di
saksikan dan didengar secara langsung tentang pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.

20
PELAKSANAAN PENGUNGKAPAN KEBENARAN
Pencarian informasi dan pengelolaan fakta dilakukan KKR Aceh secara
simultan melalui pengambilan pernyataan, investigasi, RDK, Sub-misi pengelolaan
data dan dokumentasi hingga analisa integratif. Semuanya diarahkan untuk
mengidentifikasi dugaan pelanggaran dalam suatu peristiwa dan menemukan fakta-
fakta yang relevan dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa konflik
di Aceh. Dalam ikhtiar mengungkap kebenaran, KKR Aceh memakai Metodologi
Berbasis Peristiwa (Event Base Methodology). Metode ini adalah sebuah metode
yang basis analisanya adalah “tindakan” (act) dan umumnya digunakan untuk
menganalisa peristiwa pelanggaran hak Sipol atau kasus-kasus kekerasan. Untuk itu
petugas PP dan Korwil melaksanakan misi yang penting untuk memenuhi
pelaksanaan mandat KKR Aceh dalam kerangka keadilan transisional.

Pengambilan pernyataan khusus untuk kasus Kekerasan Seksual
KKR Aceh telah mengambil pernyataan terhadap 109 kasus kekerasan
seksual, 29 di antaranya adalah laki-laki, untuk kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan dilakukan secara tertutup dengan pendekatan tertentu, kami sadari bahwa
mengungkapkan kasus kekerasan seksual ini membutuhkan keahlian dan teknik
khusus, para pengambil pernyataan yang terlibat dalam proses ini terlebih dahulu
sudah dilatih dan di bekali dengan teknik pemulihan oleh para ahli dan juga komnas
perempuan, Komnas perempuan juga terlibat dalam memperkuat KKR Aceh dalam
membangun instrumen pengambilan pernyataan khusus untuk kekerasan seksual ini.
Pengambilan pernyataan menggunakan pendekatan kelompok dengan
persistiwa yang sama, peserta dibagi dalam beberapa kelompok, Metodologi yang
digunakan dalam pengambilan pernyataan dengan wawancara kelompok dan Body
Mapping (mengidentifikasi tubuh yang diserang melalui gambar tubuh). Metode ini
pernah di praktikkan di Timor Leste dan di kembangkan oleh AJAR, Dengan metode
wawancara kelompok, pemberi pernyataan diminta bercerita tentang hal-ikhwal
peristiwa yang dialami dalam kelompok masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
menggali informasi awal kasus kekerasan seksual yang dialami di ikuti dengan
pendalaman peristiwa yang dialami oleh setiap perempuan korban dilakukan kepada
masing-masing oleh petugas pengambil pernyataan KKR Aceh. Pendekatan religi
juga dilakukan di akhir kegiatan sebagai penutupan. Melalui pendekatan ini, seluruh
perempuan korban dan tim KKR Aceh yang terlibat melalukan aktivitas religi dengan
membaca surat Yasin bersama. Kegiatan ini berjalan dengan khidmat, sebagai bentuk

21
pemulihan untuk membangun kekuatan dan solidaritas pada sesama perempuan
korban.

Investigasi dan Riset
Proses lain yang dilakukan dalam rangka pengungkapan kebenaran melalui
pencarian fakta di lapangan adalah, kegiatan penyelidikan (investigasi). Investigasi
KKR Aceh merupakan serangkaian tindakan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk
memperoleh kedalaman data dan informasi tertentu (tematik), yang diselenggarakan
melalui kegiatan wawancara mendalam dan terstruktur, pencarian arsip, dan
pengelolaan submisi dari pihak lain. Kegiatan investigasi yang diamanatkan dalam
panduan pencarian fakta, lebih kepada investigasi riset guna mendapatkan gambaran
yang utuh terhadap berbagai peristiwa tindak kekerasan yang pernah terjadi di Aceh.
Ada 3 Tema yang ditetapkan oleh KKR Aceh dalam mendalami satu tema.
Kegiatan investigasi KKR Aceh yang pertama ini, ditujukan khusus untuk membantu
memudahkan menetukan tema Dengar kesaksian dalam menelaah lebih lanjut yang
bertujuannya, (1) Menemukan gambaran pelanggaran HAM yang terjadi baik tempat,
waktu, pola dan motif tentang peristiwa penyiksaan yang terjadi masa konflik Aceh;
(2) Menganalisa faktor penyebab dan peristiwa yang melatarbelakangi serta dampak
yang di timbulkan akibat dari penyiksaan terhadap korban konflik Aceh; (3)
Merumuskan Rekomendasi dan Pembelajaran yang dapat diambil atas temuan faktual
KKR Aceh tentang kebenaran peristiwa penyiksaan di masa konflik Aceh. KKR
Aceh membentuk TIM investigasi yang dapat beranggotakan pihak luar yang
dianngap berkompeten dalam melakukan tugas investigasi ada 3 tema yang telah di
Investigasi oleh KKR Aceh;
1. Tema Kekerasan Sexual
2. Tema Penghilangan Orang
3. Tema Pos-pos Sattis di Aceh

Submisi
Submisi adalah Penyerahan informasi yang diperlukan untuk penyelidikan
dalam bentuk tertulis ataupun keterangan lisan yang berasal dari institusi pemerintah
maupun non-pemerintah
Dasar Hukum Submisi
Laporan Submisi ini didasarkan pada Peraturan KKR Aceh Nomor 11/P-
KKRA/IX/2018 Tentang Tata Cara Baku Submisi. Submisi adalah tindakan

22
penyampaian informasi berupa data sekunder yang diperlukan untuk pengungkapan
kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi dalam bentuk tertulis dan audio-visual yang
berasal dari individu, institusi pemerintah maupun non-pemerintah.
Laporan submisi ini disusun menurut standar yang telah ditetapkan oleh KKR
Aceh yaitu Peraturan KKR Aceh Nomor 11/P-KKRA/IX/2018 Tentang Tata Cara
Baku Submisi. Submisi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pelaksanaan
pengungkapan kebenaran terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dimasa
konflik yang selama ini belum berhasil diungkapkan dalam proses pengambilan
pernyataan yang sudah dilakukan oleh KKR Aceh.
Organisasi Masyarakat Sipil yang memberikan laporan submisi kepada KKR Aceh
adalah sebagai berikut :
1. Asia Justice and Rights (AJAR) dan Paska memberikan laporan submisi
terkait dengan peristiwa penyiksaan di Rumoh Geudong;
2. Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) memberikan laporang
submisi terkait dengan kasus Kekerasan Seksual yang terjadi di masa Konflik
di wilayah Kabupaten Aceh Utara;
3. KontraS Aceh memberikan laporan submisi terkait dengan peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa dan laporan submisi berkenaan dengan
peristiwa pelanggaran HAM dalam konteks sumber daya alam.

A.2. PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN
Dalam rangka menjalankan mandat pengungkapan kebenaran berkenaan
dengan Permintaan informasi dan dokumen, KKR Aceh telah melakukan permintaan
informasi dan dokumentasi sesuai dengan pasal 229 UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, pasal 8 ayat (b), Pasal 10, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal
22, dan Pasal 45 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh serta
Peraturan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Nomor 15/P-KKRA/VI/2020
tentang Permintaan Informasi dan Dokumen.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagai lembaga
independen berhak meminta informasi dan dokumen kepada organisasi Pemerintah,
non-Pemerintah, dan masyarakat umum berkenaan dengan peristiwa yang terjadi
pada konflik bersenjata di Aceh. Permintaan informasi dan dokumen disampaikan
dengan merujuk pada tugas, pokok dan fungsi dari masing – masing institusi yang
relevan atau setidak-tidaknya memiliki informasi berkenaan dengan konflik Aceh

23
baik di masa konflik mau pun pasca damai. Informasi dan dokumen tersebut penting
disampaikan kepada KKR Aceh sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran.

PIHAK-PIHAK YANG DIMINTAI INFORMASI
Permintaan informasi dan dokumen dilakukan kepada 13 (tigas belas)
Kementerian dan lembaga di tingkat nasional, 8 (delapan) Satuan Perangkat Kerja
Aceh, 4 (empat) organisasi masyarakat sipil di Aceh, 7 (tujuh) Media Nasional, 14
(empat belas) Bupati/Walikota yang telah dilakukan pengambilan pernyataan oleh
KKR Aceh, 14 (empat belas) Ketua DPR Kabupaten/Kota yang telah dilakukan
pengambilan pernyataan oleh KKR Aceh, 33 Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta,
dan 2 (dua) Organisasi Masyarakat.
Permintaan informasi dan dokumen disampaikan melalui email dan kantor
Pos ke alamat institusi yang dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2020 sampai
dengan bulan Januari 2021. informasi dan dokumen yang diminta adalah terkait
kebijakan resmi pemerintah dalam menangani konflik Aceh yang ditujukan kepada
lembaga di tingkat nasional, secara khusus sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi
lembaga negara, sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, terkait kebijakan dalam
rapat resmi terkait pembentukan panitia khusus, panitia kerja, dan
lainnya, serta laporan resmi dan pansus yang berkenaan dengan konflik
Aceh;
2. Kementerian Sosial Republik Indonesia, terkait kebijakan pemerintah
dalam upaya penanganan korban konflik dan jumlah korban konflik yang
telah mendapatkan bantuan sosial;
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, terkait bagaimana upaya
penanganan konflik Aceh dari sisi anggaran Negara, jumlah uang yang
bersumber dari APBN untuk menangani konflik Aceh;
4. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, terkait dampak konflik
Aceh terhadap urusan pemerintah;
5. Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, terkait laporan resmi
Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 1999, dan laporan resmi lainnya
yang berkenaan dengan konflik Aceh;
6. Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh, Kodam Iskandar Muda dan Panglima
TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, terkait kebijakan keamanan,

24
penanganan yang dilakukan oleh kepolisian dan TNI, dan jumlah korban
dari pihak/ keluarga kepolisian dan TNI selama periode konflik
berlangsung;
7. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
Republik Indonesia, terkait langkah dan upaya apa yang sudah, sedang,
dan akan dilakukan Pemerintah dalam menindaklanjuti implementasi
MoU Helsinki (perjanjian damai Pemerintah RI dengan GAM, 15
Agustus 20105) untuk memperkuat perdamaian Aceh.
Kemudian KKR Aceh juga telah melakukan permintaan kepada lembaga
yang menyimpan arsip dan fokus pada kajian dan penelitian. Informasi dan
dokumentasi yang diminta adalah terkait hasil penelitian berkenan dengan konflik
Aceh dan penanganan konflik Aceh yang dilakukan oleh pemerintah, buku dan jurnal
yang terbitkan berkenaan dengan konflik Aceh, serta data korban konflik Aceh baik
dari kalangan sipil maupun militer berdasarkan hasil penelitian. Permintaan
informasi disampaikan kepada lembaga sebagai berikut :
1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
3. CSIS.
Selanjutnya KKR Aceh meminta informasi dan dokumen kepada instansi
yang berada di Aceh perihal kebijakan daerah, penanganan selama periode konflik
berlangsung, dan jumlah korban konflik yang pernah mendapatkan bantuan oleh
pemerintah/ pemerintah Aceh/ pemerintah kabupaten/ kota. Permintaan informasi
telah disampaikan kepada :
1. Kesbangpol Aceh;
2. Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh;
3. Dinas Sosial Aceh;
4. Dinas Pengelolaan Keuangan Aceh;
5. Bappeda Aceh;
6. Badan Reintegrasi Aceh;
7. Bupati dan Ketua DPRK Aceh Besar;
8. Bupati dan DPRK Pidie;
9. Bupati dan DPRK Pidie Jaya;
10. Bupati dan DPRK Bireuen;
11. Walikota dan DPRK Lhokseumawe;
12. Bupati dan DPRK Aceh Utara;

25
13. Bupati dan DPRK Aceh Timur;
14. Walikota dan DPRK Langsa;
15. Bupati dan DPRK Aceh Tamiang;
16. Bupati dan DPRK Bener Meriah;
17. Bupati dan DPRK Aceh Tengah;
18. Bupati dan DPRK Aceh Barat;
19. Bupati dan DPRK Aceh Jaya;
20. Bupati dan DPRK Aceh Selatan.
Selanjutnya KKR Aceh juga menyurati pimpinan media terkait permintaan
informasi berupa majalah, kliping, pemberitaan baik secara cetak maupun elektronik
dan/atau jurnal, hasil kajian dan/ atau penelitian media, jumlah korban dari kalangan
media sepanjang konflik Aceh yang berlangsung periode 1976 – 2005. Permintaan
informasi disampaikan kepada media sebagai berikut :
Majalah Tempo;
1. The Jakarta Post;
2. Harian Kompas;
3. SCTV;
4. TVRI;
5. Koran Tempo;
6. Radio Republik Indonesia;
7. RCTI.
Kemudian permintaan informasi dan dokumen berkenaan dengan hasil kajian
dan penelitian kami mintakan kepada lembaga pusat studi universitas sebagai berikut
:
1. Pusat Studi untuk Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala;
2. Pusat Studi Wanita UIN Ar Raniry;
3. Pusat Studi Gender dan Anak UIN Ar Raniry.

Selanjutnya KKR Aceh juga meminta informasi dan dokumen kepada
Masyarakat Transparansi Aceh (MATA), terkait dengan dokumen anggaran bantuan
untuk korban konflik yang bersumber dari APBA, APBN, dan APBK serta hasil
investigasi dan/ atau penelitian terkait dengan penggunaan anggaran untuk korban
konflik yang bersumber dari APBA, APBN dan APBK serta kepada Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta dan Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) perihal hasil kajian dan penelitian serta

26
dokumen lainnya berkenaan dengan kebijakan operasi militer dan laporan lainnya
yang terkait dengan konflik Aceh.
Selanjutnya KKR Aceh juga menyurati perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta di Indonesia untuk bisa mendapatkan informasi terkait hasil penelitian dan
jurnal ilmiah atas kebijakan daerah operasi militer Aceh, penanganan konflik Aceh,
korban pelanggaran HAM Aceh dan/ atau korban konflik Aceh, data penerima
beasiswa yang terkait dengan korban konflik Aceh sebagai berikut :
1. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh;
2. Universitas Abulyatama Banda Aceh;
3. Universitas Malikussaleh Lhokseumawe;
4. Universitas Muhammadiyah Aceh;
5. Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh;
6. Universitas Sumatera Utara;
7. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara;
8. Universitas Negeri Medan;
9. Universitas Sriwijaya Palembang;
10. Universitas Riau Pekanbaru;
11. Universitas Islam Sultan Syarif Kasim Riau;
12. Universitas Andalas Padang;
13. Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang;
14. Universitas Lampung (UNILA);
15. Universitas Indonesia Depok Jawa Barat;
16. Universitas Muhammadiyah Jakarta;
17. Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta;
18. Universitas Negeri Jakarta;
19. Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah;
20. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung;
21. Universitas Airlangga Surabaya;
22. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya;
23. Universitas Brawijaya Malang;
24. Universitas Muhammadiyah Malang;
25. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
26. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
27. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;
28. Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah;

27
29. Universitas Hasanuddin Makassar;
30. Universitas Cenderawasih Papua;
31. Universitas Udaya Bali;
32. Universitas Trisakti Jakarta;
33. Universitas Pattimura Ambon.
Selain perguruan tinggi, KKR Aceh juga mengirimkan surat kepada
organisasi masyarakat dalam hal ini kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memohon informasi dan dokumen
terkait hasil penelitian dan pengembangan atas konflik Aceh yang pernah dilakukan,
masukan atas penanganan konflik Aceh periode 1976 – 2005 kepada pemerintah,
peran organisasi masyarakat dalam membantu pemerintah menangani konflik Aceh,
dan jumlah korban konflik.
Kemudian KKR Aceh juga menyampaikan permohonan pertemuan untuk
meminta informasi kepada para tokoh bangsa dalam kapasitasnya sebagai berikut :
1. Prof. Dr. (H.C) Hj. Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai
Presiden Republik Indonesia saat diberlakukannya penetapan status Darurat
Militer;
2. Prof. Dr. (H.C.) H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A.,GCB.,AC., dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik saat
diberlakukannya penetapan Darurat Militer dan Keamanan dan Presiden
Republik Indonesia dalam proses perjalanan perdamaian Aceh;
3. Dr. (H.C).,Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dalam kapasitasnya sebagai
Menter Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan inisiator Perdamaian;
4. Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Wiranto, S.H., S.I.P.,M.M. dalam kapasitasnya
sebagai Panglima ABRI;
5. H. Azwar Abubakar dalam kapasitasnya sebagai Wakil Gubernur dan Plt
Gubernur Aceh (2004-2005)

TANGGAPAN ATAS SURAT PERMINTAAN INFORMASI
Merujuk pada permohonan informasi dan dokumen yang telah dimintakan
oleh KKR Aceh hanya beberapa lembaga dan/atau institusi saja yang telah
memberikan tanggapan sebagai berikut :
1. Kementerian Sekretaris Negera RI, membalas dengan surat bernomor B-22/
Kemensetneg/ D-2/ Humas/ HM.00.00/ 11/ 2020, perihal surat jawab,
tertanggal 25 November 2020 dengan tembusan Surat No. B-21/

28
Kemensetneg/ D-2/ Humas/ HM.00.00/ 11/ 2020, perihal : permohonan
informasi publik, kepada kepala biro hukum, persidangan, dan hubungan
kelembagaan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Kemenkopolhukam) R, tertanggal 24 November 2020;
2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui email membalas surat
dengan mengirimkan 8 (delapan) dokumen penelitian versi PDF;
3. Badan Reintegrasi Aceh (BRA), membalas surat pengantar bernomor 065/
277 tertanggal 5 Maret 2021, dengan melampirkan 1 berkas rekapitulasi
jumlah penerima bantuan untuk korban konflik di Aceh sampai dengan tahun
2020 menurut kabupaten/ kota dan kelompok sasaran bantuan serta menurut
jenis bantuan dan kelompok sasaran;
4. Badan Kesbangpol Aceh, mengirimkan balasan surat dan dokumen sebagai
berikut, Inpres RI No 4 tahun 2001, Perpres RI No 2 tahun 2004, Keppres RI
No 97 tahun 2003, Keppres RI No 43 tahun 2004, Keppres RI 28 tahun 2003,
UU RI No 44 tahun 1999, UU RI No 18 tahun 2001, Tabel Realisasi Bantuan
Kompensasi Pola Diyat yang disalurkan kesbangpol linmas Aceh tahun 2002
– 2005;
5. Kapolda Aceh mengkonfirmasikan bahwa permohonan informasi dan
dokumen yang minta oleh KKR Aceh tidak tersedia;
6. Kodam Iskandar Muda, membalaskan surat bernomor B/ 2928/ XI/ 2020
dengan perihal permintaan informasi dan dokumen masa konflik tertanggal 9
November 2020 tidak tersedia;
7. Dinas Pengelolaan Keuangan Aceh (DPKA) membalas surat bernomor 555/
422/ 2021 tertanggal 19 Februari 2021 dan menjelaskan bahwa permintaan
informasi dan dokumen tidak tersedia;
8. Bappeda Aceh, membalas surat bernomor 050/ 0437/ tertanggal 18 Maret
2021 dengan lampiran dokumen sebagai berikut di antaranya, kebijakan
pemerintah Aceh, rekapitulasi anggaran kegiatan pemberdayaan ekonomi
korban konflik pada Badan Reintegrasi Aceh tahun 2017 sampai dengan
2021, rekapitulasi jumlah penerima bantuan menurut kabupaten/ kota dan
jenis kelamin pada Badan Reintegrasi Aceh, rekapitulasi jumlah sasaran
bantuan menurut jenis bantuan dan jenis kelamin periode sampai dengan 8
Maret pada BRA;

29
9. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, Pidie Jaya, dan Aceh Tengah hanya
mengkonfirmasi via telpon melalui Badan Kesbangpol Linmas Kabupaten
setempat;
10. Universitas Syiah Kuala membalas dengan surat bernomor B/ 1209/ UN11/
PT.01.08/ 2021 tertanggal 24 Maret 2021 dengan melampirkan satu disertasi
laporan akhir penelitian unggulan Universitas Syiah Kuala dengan judul
“dekonstruksi tuha peut perempuan dalam menjaga perdamaian Aceh”;
11. Universitas Negeri Medan, membalas surat via email pada jumat 19 Februari
2021 bernomor 121/ UN33/ KU/ 2021 dengan respon tidak tersedia informasi
dan dokumen yang minta oleh KKR Aceh;
12. Universitas Airlangga Surabaya, membalas dengan mengirimkan dokumen
via email pada tanggal 19 Februari 2021 yang berisi 2 jurnal, 1 skripsi, dan 1
tesis;
13. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya membalas via email dengan
mengirimkan link 4 jurnal;
14. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membalas via email pada tanggal 4
Februari 2021 dengan mengirimkan 1 jurnal;
15. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung membalas surat
bernomor B.55/ Un.05/ V.2/ PP.00.9/ 02/ 2021 tertanggal 25 Februari 2021
menyebutkan bahwa informasi dan dokumen yang diminta tidak tersedia;
16. KontraS Jakarta merespon dengan memberikan informasi dan dokumen
sebagaimana yang diminta;
17. Elsam merespon dan memberikan informasi dan dokumen sebagaimana yang
diminta.;
18. Dari kelima tokoh bangsa yang disurati untuk melakukan pertemuan dan
yang bersedia memberikan informasi kepada KKR Aceh adalah Azwar
Abubakar (Plt Gubernur Aceh 2004-2005);

A.5. INVESTIGASI
Sebagai bagian dari proses pengungkapan kebenaran, KKR Aceh telah
melakukan investigasi dengan membentuk tim internal dan melibatkan pihak yang
kompeten untuk mendalami informasi yang diperlukan oleh KKR Aceh atas temuan
yang telah didapatkan dari hasil pengambilan pernyataan korban.
Investigasi dilakukan oleh KKR Aceh sesuai kebutuhan khususnya untuk
mendalami informasi. Dari hasil temuan, KKR Aceh memandang perlu untuk

30
melakukan pendalaman atas sejumlah peristiwa seperti dugaan penculikan dan
penghilangan orang, kekerasan seksual dan investigasi atas lokasi-lokasi yang
dijadikan tempat terjadinya dugaan peristiwa pelanggaran HAM. Hasil dari
investigasi atas ketiga peristiwa tersebut di atas menjadi bagian dari temuan KKR
Aceh untuk digunakan lebih lanjut dalam melakukan analisis peristiwa pelanggaran
HAM.

B. REKOMENDASI REPARASI
B.1. REPARASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAM
Dalam hukum internasional, prinsip-prinsip dan Pedoman PBB mengenai Hak
atas Penyelesaian dan Reparasi untuk pelanggaran berat terhadap Hukum Hak Asasi
Internasional dan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional
menyebutkan bahwa reparasi adalah kewajiban negara untuk memulihkan korban
kembali kepada kondisi sebelum mengalami pelanggaran.
Reparasi merupakan sebuah mekanisme untuk mengakui pelanggaran HAM
masa lalu yang merupakan bentuk tanggung jawab negara atas kerusakan/kerugian
yang telah dialami korban. Pelaksanaan hak reparasi korban pada pokoknya
menegaskan hak reparasi korban adalah enforceable right, maka dalam hal ini setiap
negara yang mengakui hak-hak ini harus menentukan di dalam norma hukum
nasionalnya untuk menjamin pelaksanaan hak reparasi demi kepentingan korban dan
korban wajib memperolehnya.
Sumber rujukan kewajiban hukum negara berkenan dengan pemenuhan hak
korban setidak-tidaknya termuat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan dan
aturan lainnya sebagai berikut :
1. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya
pada Pasal 28I ayat (4); “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama
Pemerintah.”;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1999 Tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 telah memberikan amanat dalam pengungkapan keadilan dan
kebenaran di Aceh;
3. korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu mempunyai hak untuk
memperoleh reparasi (right to reparation) sebagai salah satu upaya yang
efektf dalam pemulihan hak-hak korban (ICCPR). Kovenan ini telah

31
diratifikasi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan
internasional kovenan on Civil and Political Rights;
4. Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations of International Humanitarian Law, yang diadopsi oleh UN
General Assembly, pada 21 Maret 2006, A/RES/60/147;
5. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
6. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal 35 ayat 1 “Setiap
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.”);
7. UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 6 ayat (1), korban berhak
mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial dan
psikologis;

B.2. MEKANISME PELAKSANAAN REKOMENDASI REPARASI
Pelaksanaan rekomendasi Reparasi atau Pemulihan hak korban yang
rekomendasikan oleh merujuk pada Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR
Aceh dengan beberapa pemahaman atas definisi yang penting harus dipahami sebagai
berikut :
1. Reparasi adalah hak korban atas perbaikan atau pemulihan yang wajib
diberikan oleh negara kepada korban karena kerugian yang dialaminya, baik
berupa restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan ketidakberulangan dan hak
atas kepuasan;
2. Restitusi adalah ganti kerugian berupa materi atau ekonomi yang diberikan
oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang
merupakan ahli warisnya berupa pengembalian hak-hak korban yang telah
dilanggar dan dirampas secara tidak sah;
3. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban
atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya atas kerugian ekonomi
yang proporsional dengan pelanggaran yang dialami korban untuk memenuhi
kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental;
4. Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang
menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, termasuk pemulihan kondisi

32
fisik, psikis, maupun status sosial, melalui pemberian layanan medis,
psikologis, hukum, dan sosial pada korban sesuai kebutuhannya;
5. Hak atas kepuasan adalah untuk memuaskan korban yang termasuk di
dalamnya dihentikannya pelanggaran, pengakuan kebenaran, pencarian orang
hilang termasuk penggalian kuburan massal, deklarasi resmi atau putusan
Yudisial yang memulihkan martabat korban, permintaan maaf resmi, sanksi
terhadap pelaku, penghargaan korban melalui peringatan dan monumen.
Reparasi diberikan kepada individu dan atau kelompok setelah proses
pengungkapan kebenaran dengan pendekatan reparasi mendesak dan komprehensif.
Pemberian reparasi sebagaimana dimaksud menjadi tanggung jawab
Pemerintah/Pemerintah Aceh/Pemerintah kabupaten/kota. Bentuk-bentuk reparasi
terdiri dari restitusi, kompensasi, rehabilitasi, hak atas kepuasan dan jaminan atas
ketidakberulangan.
Reparasi bertujuan memberikan jaminan pada masyarakat bahwa Negara
memberikan perlindungan HAM dalam situasi dan kondisi apa pun dan memenuhi
hak korban atas kerugian yang diderita serta pemulihan yang dibutuhkan oleh korban.
Pemerintah Aceh dalam melaksanakan tanggung jawab Pemulihan Korban dapat
menunjuk suatu lembaga yang melaksanakan reparasi. Program reparasi yang
dilakukan oleh lembaga dilaksanakan dengan rekomendasi KKR Aceh;
Pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya dapat bekerja sama
dengan lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Aceh untuk melaksanakan reparasi.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tanggung jawab dapat bekerja
sama dengan lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Aceh untuk melaksanakan
reparasi.

B.3. JENIS HAK REPARASI MENDESAK
KKR Aceh telah merekomendasikan reparasi mendesak kepada pemerintah
Aceh sebanyak 245 orang korban dan telah ditindaklanjuti oleh pemerintah Aceh
dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1629/2020.
Pelaksanaan rekomendasi diserahkan kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Jenis
layanan rekomendasi reparasi mendesak terdiri dari layanan medis, layanan
psikosisial, layanan kependudukan, tunjangan hidup dan bantuan usaha.
Jumlah layanan yang direkomendasikan mendesak terdiri dari : layanan medis
sebanyak 123 orang, layanan psikologis 63 orang, bantuan modal usaha 101 orang,
tunjangan hidup 111 orang dan kebutuhan layanan kependudukan 6 orang.

33
B.4. JENIS HAK REPARASI KOMPREH ENSIF
Jenis dari layanan reparasi komprehensif adalah (layanan medis; b. layanan
psikososial; c. akses pendidikan; d. kompensasi korban meninggal; e. jaminan sosial;
f. pensiun Aparat Sipil Negara; g. bantuan hukum; h. bantuan usaha; i. penyediaan
surat keterangan orang hilang; j. penggalian kuburan massal; k. pemulihan nama baik;
l. dukungan bagi anak-anak yang lahir dari korban perkosaan; m. pembentukan
komisi orang hilang; n. memorialisasi situs-situs kekerasan, memorialisasi benda dan
non-benda; o. status kependudukan; p. reformasi pendidikan; dan q. reformasi hukum
dan institusi).
Tujuan dari penyusunan reparasi komprehensif (a) Menyusun rekomendasi
reparasi komprehensif yang memuat tentang analisa faktor penyebab, peristiwa yang
melatar belakangi, motif politik atau ekonomi, tindakan aktor baik lembaga Negara
maupun non Negara, (b). Menyusun analisis dampak kerusakan dan kehilangan yang
terjadi kurun waktu 1976-2005 dari sudut pandang kebijakan, analisis ekonomi dan
analisis dampak dan situasi perempuan serta anak. (c). Menyusun rencana tindakan
dan kebutuhan sumber daya pemulihan yang akan di rekomendasikan kepada
pemerintah selaku pelaksana reparasi yang di serahkan KKR Aceh.

B.5. TELAAH REPARASI
Hasil telaah atas 5.264 korban dan keluarganya yang diambil penyataannya
dan telah dilakukan telaah reparasi komprehensif oleh KKR Aceh sebanyak 5.178
dengan kriteria laki-laki sebanyak 3.275 dan perempuan sebanyak 1.903. Hasilnya
ditemukan jenis layanan yang dibutuhkan oleh korban dan/atau keluarganya. Telaah
ini sebagai sebuah upaya bagi KKR Aceh untuk merumuskan kembali temuan atas
kebutuhan korban dan keluarganya sebagai dasar bagi KKR Aceh untuk
menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Berdasarkan hasil telaah atas rekomendasi layanan ditemukan jenis layanan
sebagai berikut : pembangunan dan perbaikan rumah sebanyak 933 orang, bantuan
modal usaha bidang pertanian 168, bantuan modal usaha bidang peternakan 159,
bantuan usaha bidang perikanan dan kelautan 70 orang, tunjangan hidup 427 orang,
kompensasi dan ganti rugi 149 orang, penyediaan lapangan pekerjaan 148,
pengangkatan PNS 33 orang, layanan medis 349, pendidikan/beasiswa 407 orang,
layanan spiritual 51 orang dan layanan inprastruktur 17 orang.

34
Dalam rangka menyampaikan hasil telaah reparasi, KKR Aceh telah
melakukan konsultasi pra laporan untuk pemenuhan hak atas pemulihan korban di 6
(enam) wilayah. Mulai dari Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat,
Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tengah dan
Kabupaten Pidie Jaya.
Konsultasi dilakukan dalam bentuk diskusi terfokus dengan mengundang
pemateri dari Komisioner KKR Aceh yang memaparkan hasil telaah atas kebutuhan
korban, Pemerintah Kabupaten yang diwakili oleh kepala Bappeda dan peserta
konsultasi terdiri dari unsur penyintas, SKPA, Organisasi Masyarakat Sipil,
Forkopimda Kabupaten dan penyelenggaraan kegiatan ini dibuka secara langsung
oleh Bupati setempat. Kegiatan konsultasi ini memberikan masukan yang kontributif
bagi KKR Aceh atas layanan yang selama ini terdapat pada pemerintah kabupaten
setempat.
17
Sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam merekomendasikan
reparasi baik yang sifatnya mendesak dan komprehensif. Hasil dari konsultasi ini
digunakan untuk kepentingan penyusunan rekomendasi reparasi.

B.6. MEMORIALISASI
Memorialisasi dilakukan sebagai bagian dari bentuk dan upaya penghormatan
terhadap korban dan sebagai upaya bagi negara untuk merawat ingatan publik atas
peristiwa kelam yang terjadi di masa kelam. Memorialisasi dilakukan di tempat –
tempat yang memiliki nilai sejarah atas peristiwa kelam di masa lampau.
Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan memorialisasi, KKR Aceh telah
bekerja sama dengan pemerintah kabupaten Pidie Jaya untuk meresmikan
memorialisasi dalam bentuk prasasti di salah satu Desa di wilayah Pidie Jaya yang
mengalami peristiwa kelam di masa konflik.
18
Selain di Pidie Jaya, KKR Aceh juga
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dan Bireuen untuk
meresmikan memorialisasi dalam bentuk prasasti.
19

Selanjutnya pada November mendatang KKR Aceh juga akan meresmikan
memorialisasi dalam bentuk prasasti Peristiwa Tgk Bantaqiah di Beutong Ateuh,
Kabupaten Nagan Raya. Kegiatan ini dilakukan sebagaimana harapan keluarga
korban. Pada saat KKR Aceh berkunjung ke keluarga korban tahun lalu, keluarga

17
Lihat : https://acehbaratkab.go.id/berita/kategori/berita/sekda-aceh-barat-minta-kkr-
aceh-rumuskan-rekomendasi-pemulihan-hak-korban-untuk-perkuat-perdamaian ;
18
Lihat : https://sinarpidie.co/news/tugu-prasasti-memorialisasi-di-cot-keng-
diresmikan/index.html ;
19
Lihat : https://www.acehportal.com/news/pemkab-aceh-jaya-resmikan-prasasti-
memorial-konflik-aceh/index.html ;

35
korban meminta kepada KKR Aceh agar dibuatkan prasasti untuk mengenang Tgk
Bantaqiah dan para santrinya.
20


C. MEMFASILITASI PROSES REKONSILIASI
C.1. REKONSILIASI DALAM QANUN KKR ACEH
Pelaksanaan rekonsiliasi yang dilakukan oleh KKR Aceh merujuk pada Nota
Kesepahaman Damai antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (MoU Helsinki,
15 Agustus 2005) di mana salah satu poin memberikan mandat kepada Pemerintah
untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Kemudian dijalankan
melalui Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan
Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh.
Rekonsiliasi merujuk pada Qanun KKR “adalah hasil dari suatu proses
pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, dan penerimaan kembali
korban dan pelaku oleh komunitas, melalui KKR Aceh dengan menggunakan
mekanisme adat Aceh dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.”
Pada prinsipnya rekonsiliasi dilakukan secara sukarela tanpa pemaksaan baik
kepada korban maupun pelaku yang dilakukan setelah proses pengungkapan
kebenaran selesai. Tujuan dari Rekonsiliasi adalah; pertama, merajut kembali
persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban/keluarga
korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa; dan
Kedua, membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian; ketiga,
mencegah berulangnya konflik; dan menjaga keutuhan wilayah Aceh.

C.2. MEKANISME DAN TAHAPAN REKONSILIASI
Rekonsiliasi dilakukan dengan adat dan budaya Aceh yang dilaksanakan pada
tingkat Gampong dan Kecamatan, pada tingkat Kabupaten/Kota. Mekanisme
pelaksanaan rekonsiliasi dilakukan oleh KKR Aceh yang dihadiri oleh Wali
Nanggroe atau orang yang ditunjuk oleh Wali Nanggroe, adapun mekanisme
rekonsiliasi di tingkat Kabupaten/Kota dilakukan sebagai berikut;
1. Mempertemukan dan melakukan mediasi antara pelaku dengan korban atau
perwakilan korban;

20
Lihat : https://atjehwatch.com/2020/07/23/mengenang-peristiwa-tengku-bantaqiah-
di-beutong-ateuh-aceh/ ;

36
2. KKR Aceh membacakan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku termasuk
uraian perintah atau kebijakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran
HAM;
3. Pelaku menyatakan secara terbuka kesalahan kebijakan atau perintah yang
diberikannya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM;
4. Pelaku memohon maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan
pernyataan penerimaan maaf oleh perwakilan secara terbuka;
5. Pernyataan permohonan maaf harus dilakukan secara individual dan
pernyataan pemberian maaf dilakukan oleh korban atau perwakilan korban;
6. Dalam permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk
membayar restitusi.
21

Sedangkan Proses tahapan Rekonsiliasi tingkat Gampong dan Kecamatan
dilaksanakan dengan ketentuan:
1. Oleh KKR Aceh yang disaksikan oleh lembaga adat setingkat Mukim
dan/atau Gampong;
2. Mempertemukan dan melakukan mediasi antara pelaku dan korban;
3. Pelaku memohon maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan
pernyataan penerimaan maaf oleh korban secara terbuka juga;
4. Pernyataan permohonan dan pemberian maaf harus dilakukan secara
individual; dan
5. Dalam permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk
membayar restitusi yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sedangkan Rekonsiliasi pada tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh dilakukan
dalam hal pelaku bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM pada tingkatan
kebijakan. (2) Rekonsiliasi pada tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh hanya dapat
dilakukan setelah rekonsiliasi di tingkat Gampong dan Kecamatan selesai
sebagaimana dimaksudkan di atas.
Selanjutnya seluruh proses rekonsiliasi dicatat dalam suatu berita acara yang
ditandatangani oleh korban, pelaku dan komisioner yang bertugas serta lembaga adat
yang hadir bertindak sebagai saksi. Berita acara memuat:
1. Identitas lengkap korban dan pelaku;
2. Tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan rekonsiliasi;

21
Lihat pasal 36 Qanun KKR Aceh terkait mekanisme Rekonsiliasi pada tingkat
Kabupaten/Kota;

37
3. Uraian lengkap pelanggaran HAM yang menjadi obyek rekonsiliasi mencakup
tanggal, tempat dan waktu kejadian dan tindakan pelanggaran HAM yang
dilakukan serta kebijakan atau perintah yang diberikannya sehingga
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM;
4. Kesepakatan untuk bentuk, jumlah, waktu dan tata cara pembayaran restitusi atau
sanksi adat;
5. Uraian lengkap proses rekonsiliasi;
6. Tanda tangan para pihak.
Tahapan selanjutnya kemudian KKR Aceh membacakan kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku termasuk uraian tindakan yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran HAM, sebelum berita acara ditandatangani. Tahapan dan mekanisme ini
yang sedang disusun dalam peraturan internal KKR Aceh oleh Kelompok Kerja
Bidang Rekonsiliasi.
Sebagai catatan proses rekonsiliasi Aceh didasarkan pada mekanisme adat
Aceh untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Mekanisme adat Aceh inilah
yang kemudian wajib diselaraskan dalam proses rekonsiliasi. Untuk memulai langkah
tersebut harus dirumuskan terlebih dahulu dan diidentifikasi model adat Aceh, karena
sudah tentu di Aceh sendiri terdiri dari pelbagai wilayah yang harus dipastikan
apakah terdapat perbedaan antara wilayah satu dengan wilayah lainnya.

C.3. UPAYA KKR ACEH DALAM MEMFASILITASI REKONSILIASI
Dalam rangka memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi berbasis kearifan lokal
Aceh (adat dan agama), KKR Aceh tidak bekerja sendiri melainkan bekerja sama
dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil Aceh (KontraS Aceh, LBH Banda
Aceh dan Yayasan Pulih Aceh) serta mitra lokal agar dalam pelaksanaannya
mendapatkan dukungan yang luas.
Mengawali pelaksanaan fasilitasi rekonsiliasi, KKR Aceh telah mendapatkan
dukungan penyusunan Peraturan KKR Aceh tentang pelaksanaan rekonsiliasi
berbasis kearifan lokal. Peraturan ini dibuat untuk menindaklanjuti pasal-pasal di
dalam Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh khususnya yang
terkait dengan proses rekonsiliasi agar dapat diimplementasikan dalam kerja – kerja
KKR Aceh.
Selanjutnya KKR Aceh melakukan telaah terhadap hasil pernyataan korban
yang berdasarkan informasi awal ketika petugas KKR Aceh melakukan pengambilan
pernyataan didapati posisi korban apakah bersedia melakukan rekonsiliasi secara

38
sukarela atau tidak. Hasil telaah sementara sampai dengan bulan Desember 2020 dari
jumlah 3.986 orang pemberi pernyataan yang sudah ditelaah terdapat 2.787 orang
korban yang menyatakan kesediaannya untuk menempuh rekonsiliasi, ada 793 orang
yang tidak bersedia rekonsiliasi, dan 230 orang tidak memberikan sikap atau tidak
tahu.
Sejak KKR Aceh terbentuk (2016) kelompok kerja rekonsiliasi sudah
melakukan beberapa upaya untuk memfasilitasi rekonsiliasi, baik antara pelaku dan
korban maupun rekonsiliasi berbasis komunitas masyarakat. Salah satu daerah yang
dipilih untuk percontohan rekonsiliasi adalah kabupaten Bener Meriah. Kabupaten
ini dipilih karena Bener Meriah memiliki kondisi yang lebih spesifik bila dilihat dari
unsur para pihak yang berkonflik.
KKR Aceh bersama organisasi masyarakat sipil telah melakukan pertemuan
dengan semua pihak baik untuk menyusun mekanisme rekonsiliasi bersama para ahli
dari pelbagai latar belakang keilmuan. Pertemuan diawali dengan akademisi bidang
hukum adat dan Ketua Majlis Adat Aceh untuk membahas model rekonsiliasi
berbasis adat istiadat dan kearifan lokal Aceh. Kemudian melakukan pertemuan
dengan tokoh adat seluruh Aceh yang menjadi pengurus Majelis Adat Aceh untuk
dipersiapkan sebagai calon pendamping tenaga mediator untuk pra kondisi
rekonsiliasi.
Baru kemudian KKR Aceh melakukan pertemuan informal dengan mantan
kombatan dan mantan organisasi Pembela Tanah Air untuk mensosialisasikan proses
rekonsiliasi. Sampai sejauh ini sambutannya cukup menggembirakan, para pihak
sangat terbuka dalam menerima gagasan dan rencana rekonsiliasi yang difasilitasi
oleh KKR Aceh. Rekonsiliasi akan dilaksanakan setelah pengambilan pernyataan
dilakukan. Pada proses ini korban langsung diberikan pemahaman atas pelaksanaan
rekonsiliasi yang akan dilakukan secara sukarela. Tanpa ada unsur paksaan dari
pihak mana pun. Jika korban menyatakan bersedia maka kemudian Komisioner KKR
Aceh melakukan tahapan mediasi secara terpisah untuk membangun kesepahaman
antara pelaku dan korban. Dalam tahapan ini KKR Aceh melibatkan tokoh adat dan
para ulama setempat.
Fokus utama KKR Aceh dalam membangun rekonsiliasi adalah untuk
memulihkan kohesi sosial secara umum, kemudian secara khusus memberi peluang
kepada para pihak (pelaku dan korban) untuk membina kembali relasi sosial yang
lebih terbuka, lepas dari perasaan curiga dan dendam yang terpendam satu sama lain,

39
terutama sekali yang sampai saat ini antara para pihak masih tinggal satu wilayah
atau satu desa.
Supaya rekonsiliasi menjadi isu yang lebih luas dan mengakar, maka KKR
Aceh telah berinisiatif untuk bekerja sama dengan para Ulama Dayah/Pesantren di
Aceh untuk turut mendukung secara spiritual para korban yang menempuh
rekonsiliasi. KKR Aceh membutuhkan kajian Ulama Aceh terhadap legalitas Syariat
Islam terhadap upaya penyelesaian konflik secara rekonsiliasi yang berkelanjutan,
memutus mata rantai dendam, rasa saling curiga akan adanya aksi balas dendam
dikemudian hari.
Mengingat pentingnya kajian Rekonsiliasi pasca konflik di Aceh dari sudut
pandang Syariat Islam tersebut, maka KKR Aceh telah memprakarsai Muzakarah
Ulama Aceh dengan tema Rekonsiliasi Menurut Perspektif Islam pada 17-18
Desember 2020 yang lalu. Tujuan muzakarah adalah untuk menjaring pendapat para
Ulama Aceh tentang kemaslahatan berdamai dalam jangka panjang, demi generasi
masa depan atau ahli waris masing-masing secara suka rela menyelesaikan persoalan
masa lalu di luar pengadilan.

C.4. PERSIAPAN REKONSILIASI DI KABUPATEN BENER MERIAH
Berdasarkan temuan dan informasi yang telah disampaikan kepada KKR
Aceh, wilayah Kabupaten Bener Meriah (pemekaran wilayah dari Kabupaten Aceh
Tengah) memiliki pengalaman kelam di masa konflik sepanjang tahun 1999 – 2005.
Konflik yang terjadi tidak hanya secara vertikal, melainkan horizontal. Sebagian
besar yang tinggal di wilayah Aceh Tengah berasal dari suku Aceh, Jawa dan Gayo
yang sebelumnya mereka hidup berdampingan secara damai.
Merujuk pada sifat konflik tersebut, dipandang penting bagi KKR Aceh dan
organisasi masyarakat sipil untuk mendalami lebih lanjut kenapa konflik bisa terjadi
di Aceh Tengah dan pihak-pihak mana saja yang berkonflik sehingga berdampak
serius pada persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih kerugian yang diderita
oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dikonversi
dalam bentuk apa pun, mulai dari kerugian materil dan immateril.
Selain itu, di Kabupaten Bener Meriah telah lahir inisiasi merajut perdamaian
melalui Ikrar Musara Pakat Redelong pada tahun 2006 yang merupakan terobosan
pada awal-awal masa perdamaian pasca penandatanganan perjanjian damai di
Helsinki pada 15 Agustus 2005. Ikrar ini ditandatangani oleh Bupati, Ketua DPRK,
Ketua MPU, Kepala Kejaksaan Aceh Tengah, Dandim Aceh Tengah/Bener Meriah,

40
Ketua Pengadilan Aceh Tengah, komponen strategis GAM dan komponen strategis
Pembela Tanah Air (PETA).
Tujuan dari dilakukannya pendalaman atas konflik yang terjadi di Bener
Meriah adalah untuk melakukan pengungkapan kebenaran atas peristiwa kelam yang
pernah terjadi guna diketahui penyebab dan dampak dari peristiwa tersebut.
Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan rekomendasi pemulihan hak korban bagi
masyarakat sipil yang menjadi korban dan melaksanakan rekonsiliasi berbasis
kearifan lokal antara para pihak yang berkonflik dengan korban.
Hingga saat ini KKR Aceh bersama dengan organisasi masyarakat sipil masih
terus melakukan pertemuan dengan pelbagai pihak untuk mendapatkan dukungan
yang lebih luas. Fokus pertemuan saat ini adalah dengan unsur pemerintahan Aceh,
Gubernur Aceh, DPR Aceh, Wali Nanggroe dan instansi vertikal (Polda Aceh,
Kodam Iskandar Muda dan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Aceh).
Selain itu KKR Aceh juga menyampaikan perkembangan persiapan
pelaksanaan rekonsiliasi di Kabupaten Bener Meriah kepada Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang disampaikan melalui Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.

D. PENGUATAN KELEMBAGAAN
D.1. KEGIATAN DI NASIONAL
Dalam rangka memperkuat kelembagaan, KKR Aceh telah melakukan
serangkaian pertemuan dengan Kementerian dan Lembaga Negara di tingkat
nasional. Tujuan dilakukannya pertemuan ini adalah selain untuk mensosialisasikan
tentang kedudukan KKR Aceh juga menjadi ruang bagi KKR Aceh untuk
memperkuat kelembagaan.
Pertemuan berupa audiensi dilakukan oleh KKR Aceh bersama dengan
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Dalam pertemuan ini KKR Aceh
menyampaikan bahwa upaya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi adalah
sebuah upaya untuk memperkuat perdamaian Aceh.
22
Selanjutnya pertemuan
dilakukan oleh KKR Aceh bersama dengan Dirjen HAM Kementerian Hukum dan
HAM dengan menyampaikan agenda kerja KKR Aceh dan harapan kepada
Pemerintah untuk memberikan dukungan bagi kerja pengungkapan kebenaran,

22
Lihat : https://aceh.tribunnews.com/2018/03/04/kkr-aceh-temui-gubernur-lemhanas
diakses pada 04 November 2021;

41
rekomendasi reparasi dan rekonsiliasi. Merespon masukan dan harapan KKR Aceh,
Dirjen HAM memberikan dukungan bagi KKR Aceh.
Pertemuan lanjutan dilakukan oleh KKR Aceh bersama dengan Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko-Polhukam) yang
diwakili oleh Deputi Koordinasi Bidang Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam
Negeri dalam hal ini Direktorat Jenderal Otonomi Daerah serta Kepala Staf Presiden.
Kemudian KKR Aceh juga melakukan koordinasi dengan Komnas HAM, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dan Komnas Perempuan untuk mendiskusikan
tentang pemenuhan hak bagi korban berdasarkan tugas, pokok dan fungsi masing-
masing lembaga.
Dalam rangka menindaklanjuti masukan KKR Aceh, Dirjen HAM dan
Asisten Deputi Pemajuan HAM pada Deputi Koordinasi Bidang Hukum dan HAM
Kemenko-Polhukam memfasilitasi pertemuan antara KKR Aceh bersama dengan
Kementerian terkait, Kepala Staf Presiden dan unsur TNI dan Polri serta Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Pertemuan tersebut dilakukan sepanjang tahun 2019
dan menghasilkan kesepahaman tentang pentingnya upaya pemenuhan hak atas
pemulihan bagi korban. Dalam rangka mendorong Pemerintah untuk memberikan
dukungan bagi kerja-kerjanya, KKR Aceh juga melakukan pertemuan dengan Kepala
Staf Presiden.
23

Selanjutnya KKR Aceh juga melakukan pertemuan dengan Badan
Perencanaan Nasional (Bappenas) melalui Direktur regulasi dan reformasi hukum.
Dalam pertemuan tersebut, KKR Aceh memaparkan pentingnya pengarusutamaan
pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi dan rekonsiliasi dimasukkan dalam
RPJMN.
Selain dengan Kementerian dan Lembaga negara terkait, KKR Aceh juga
melakukan pertemuan dengan Komisi III DPR RI untuk menyampaikan paparan
berkenaan dengan pengungkapan kebenaran yang sedang dilakukan oleh KKR Aceh
dan meminta dukungan Komisi III DPR RI perihal pentingnya lembaga atau instansi
pada aktor keamanan memberikan informasi dan dokumen kepada KKR Aceh yang
sedang menjalankan mandatnya dalam melakukan pengungkapan kebenaran.
24


23
Lihat : https://www.ksp.go.id/ksp-apresiasi-kerja-kkr-aceh-dalam-mengungkapkan-
kebenaran-dan-membangun-rekonsiliasi.html diakses pada 04 November 2021;
24
Lihat :
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/22082/t/KKR+Aceh+Lakukan+Pendekatan+No
n+Yudisial diakses pada 04 November 2021;

42
Kemudian pada bulan September 2021, KKR Aceh yang difasilitasi oleh
LPSK melakukan pertemuan dengan Menko-Polhukam. Dalam pertemuan tersebut,
KKR Aceh menyampaikan perkembangan kerjanya khususnya perihal pengungkapan
kebenaran dan agenda pelaksanaan rekonsiliasi yang sedang dilakukan di Kabupaten
Bener Meriah. Menindaklanjuti paparan LPSK, Menko-Polhukam menyampaikan
dukungannya dan berharap proses persiapan dapat dilaksanakan dengan baik.

D.2. KERJA SAMA KELEMBAGAAN
Sepanjang tahun 2017 – 2020, KKR Aceh telah melakukan kerja sama untuk
memperkuat kelembagaan bekerja sama dengan lembaga dan institusi serta organisasi
masyarakat sipil sebagai berikut:
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
2. Komnas Perempuan;
3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
4. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan, Perempuan dan Anak;
5. Universitas Teuku Umar;
6. Fakultas FISIP Universitas Islam Negeri Ar-Raniry;
7. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry;
8. Universitas Malikul Saleh;
9. Universitas Cot Kala;
10. Majelis Adat Gayo Kabupaten Bener Meriah;
11. Organisasi Masyarakat Sipil (KontraS, AJAR, ELSAM, KontraS Aceh, LBH
Banda Aceh, Yayasan Pulih, Yayasan Tifa)

III. CAPAIAN
A. CAPAIAN ATAS HASIL PENGUNGKAPAN KEBENARAN
Sepanjang tahun 2017 – 2021, KKR Aceh dapat menyimpulkan bahwa
capaian atas hasil dari pengungkapan kebenaran adalah sebagai berikut :
1. Pengambilan pernyataan terhadap korban dan keluarganya sejumlah 5.264
yang tersebar di 14 (empat belas) wilayah Kabupaten/Kota seperti Aceh
Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur,
Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat
dan Aceh Selatan;
2. Terselenggaranya Rapat Dengar Kesaksian yang telah dilakukan di 3 (tiga)
tempat. Pertama di Pendopo Gubernur Aceh pada November 2018, kemudian

43
di Gedung DPRK Aceh Utara pada Juli 2019 dan di Gedung DPR Aceh pada
November 2019. Sekitar 50 (lima puluh) penyintas telah menyampaikan
pengalaman atas peristiwa kelam di masa konflik sebagaimana yang telah
dialaminya dalam dugaan peristiwa penyiksaan dan yang telah dialami oleh
keluarganya dalam peristiwa pembunuhan dan penghilangan orang secara
paksa. Selain itu para penyintas juga menyampaikan dampak yang dialami
baik saat peristiwa terjadi maupun pasca peristiwa dan menyampaikan
harapan kepada Pemerintah dan publik.

B. CAPAIAN ATAS HASIL REKOMENDASI REPARASI
Sepanjang tahun 2017 – 2021 KKR Aceh telah melakukan telaah dan
menyerahkan rekomendasi reparasi yang mendesak kepada Pemerintah Aceh.
Merujuk pada hal tersebut, KKR Aceh menyimpulkan bahwa capaian atas hasil
rekomendasi reparasi sebagai berikut :
1. Adanya Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1269/2020 tanggal 20 Juli
2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak sebanyak 245 korban
Pelanggaran HAM Aceh yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan
Reintegrasi Aceh;
2. Adanya telaah atas hasil pengambilan pernyataan korban dan keluarganya
sebanyak 5.178 untuk kebutuhan rekomendasi reparasi yang komprehensif.

C. CAPAIAN ATAS HASIL FASILITASI REKONSILIASI
Sepanjang tahun 2017 – 2021 KKR Aceh telah melakukan serangkaian
tahapan dalam rangka menyusun tahapan pelaksanaan rekonsiliasi bersama dengan
organisasi masyarakat sipil. Merujuk pada hal tersebut, KKR Aceh menyimpulkan
bahwa capaian atas hasil fasilitasi rekonsiliasi adalah sebagai berikut :
1. Adanya wilayah yang sudah ditetapkan untuk memulai tahapan proses
rekonsiliasi yakni di Kabupaten Bener Meriah;
2. Adanya hasil Muzakarah Ulama Dayah yang memberikan masukan
kontributif atas pelaksanaan rekonsiliasi dalam perspektif Islam;
3. Adanya pertemuan dengan para pihak yang terlibat dalam Konflik di
Kabupaten Bener Meriah dan telah menyatakan kesediaannya untuk meminta
maaf dan saling memaafkan.

VI. SUMBER PENDANAAN

44
Sebagaimana Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 khususnya pada pasal 42
dan 48 yang pada pokoknya menyampaikan bahwa sumber pendanaan KKR Aceh
bersumber dari APBA, APBN, APBK dan sumber lainnya yang sah dan tidak
mengikat. Namun dalam perjalanannya sepanjang tahun 2017 – 2021, anggaran KKR
Aceh hanya bersumber pada ABPA dan dukungan dari pihak ketiga.
Pada tahun 2017 KKR Aceh mendapatkan anggaran sebesar Rp 5 Milyar.
Kemudian Tahun 2018 hingga tahun 2021, anggaran KKR Aceh setiap tahunnya
sejumlah Rp 4,5 Milyar. Sepanjang tahun 2017 – 2018 anggaran KKR Aceh
dititipkan pada Dinas Sosial Aceh dengan kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban
KDRT. Kemudian pada tahun 2019 hingga saat ini anggaran KKR Aceh dititipkan di
bawah Sekretariat Badan Reintegrasi Aceh. Akibat dari pandemi alokasi anggaran
untuk KKR Aceh tahun 2020 mengalami refocusing.
Kemudian selain mendapatkan pendanaan dari APBA, KKR Aceh juga
mendapatkan dukungan berupa fasilitasi kegiatan dalam bentuk workshop,
penyusunan regulasi kelembagaan, diskusi terfokus, peningkatan kualitas staf dan
anggota Pokja dan kegiatan lainnya dalam rangka pelaksanaan kegiatan KKR Aceh
melalui Yayasan Tifa, KontraS, Asia Justice and Rights, KontraS Aceh, LBH Banda
Aceh, Elsam, HRWG, Yayasan Pulih dan Federasi KontraS.

VII. REKOMENDASI
A. KELEMBAGAAN
Mengingat hingga saat ini KKR Aceh belum memiliki sekretariat yang
mandiri sebagaimana dimanatkan di dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Qanun Aceh
Nomor 17 Tahun 2013 yang pada pokoknya menegaskan bahwa “Dengan Qanun
ini dibentuk sekretariat KKR Aceh.” Merujuk pada hal tersebut, KKR Aceh
merekomendasikan kepada :
1. Gubernur Aceh untuk membuat Peraturan Gubernur Aceh tentang
Sekretariat KKR Aceh;
2. Ketua DPR Aceh untuk memberikan rekomendasi kepada Gubernur Aceh
untuk membuat Peraturan Gubernur Aceh tentang Sekretariat KKR Aceh
guna memberikan dukungan dan pelayanan terhadap KKR Aceh. Dengan
demikian kerja-kerja KKR Aceh dalam rangka melakukan pengungkapan
kebenaran, merekomendasikan reparasi dan memfasilitasi tercapainya
rekonsililiasi dapat berjalan secara optimal.

45
B. REKOMENDASI
Rekomendasi yang disampaikan oleh Komisi merujuk pada pasal 16 ayat (4)
Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Rekomendasi dibuat dalam
rangka perlindungan HAM, dengan demikian poin-poin rekomendasi yang
disampaikan oleh Komisi adalah sebagai berikut :
a. Perubahan hukum, politik dan administratif;
b. Pelaksanaan mekanisme rekonsiliasi;
c. Reparasi pada korban;
d. Tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM; dan
e. Tindakan lainnya.
KKR Aceh telah melakukan telaah dan analisis secara komprehensif dengan
melibatkan ahli yang kompeten atas hasil pengungkapan kebenaran yang telah
dilakukan meliputi hasil pengambilan pernyataan terhadap korban dan keluarganya,
khususnya dalam pelaksanaan Rapat Dengar Kesaksian.
Dari hasil telaah, KKR Aceh telah menemukan bahwa temuan yang paling
signifikan atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam kurun waktu 1976 –
2005 adalah sebagai berikut:
a. Peristiwa Penyiksaan;
b. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa;
c. Peristiwa pembunuhan di luar proses hukum;
d. Peristiwa Kekerasan Seksual;
Bahwa terhadap peristiwa – peristiwa tersebut telah berdampak serius
pada korban dan/atau keluarganya yang telah diambil pernyataannya. Dengan
demikian, KKR Aceh menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah, Pemerintah
Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota se- Aceh, DPR RI, DPR Aceh dan DPRK/Kota
dan lembaga negara yang fokus pada upaya perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan
penegakan HAM.

A. Rekomendasi Perubahan Hukum, Politik dan Administratif
Rekomendasi Perubahan Hukum, Politik dan Administratif akan disampaikan
oleh KKR Aceh pada Desember bersamaan dengan laporan temuan KKR Aceh,
mengingat sampai saat ini KKR Aceh bersama tim ahli masih melakukan analisis
yang komprehensif atas temuan dari hasil pengambilan pernyataan, permintaan
informasi dan dokumen serta Investigasi.

46
B. Pelaksanaan Mekanisme Rekonsiliasi
Proses rekonsiliasi yang sedang dipersiapkan di wilayah Kabupaten Bener
Meriah untuk dilanjutkan hingga ke tahap pelaksanaan rekonsiliasi oleh Komisioner
KKR Aceh periode 2021 – 2026;

C. Rekomendasi Reparasi
Dari keseluruhan pernyataan korban dan keluarganya yang telah ditelaah oleh
KKR Aceh (terlampir dalam lampiran). Mengingat data dan identitas korban bersifat
rahasia, maka data tersebut hanya diperuntukkan dalam rangka penyusunan kebijakan
pemulihan hak korban, oleh karenanya KKR Aceh menyampaikan rekomendasi
sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah untuk menyusun kebijakan Nasional dalam bentuk
Peraturan Presiden, Instruksi Presiden dan peraturan lainnya agar rekomendasi
reparasi atau pemulihan hak korban bisa diimplementasikan dengan segera;
2. Kepada Gubernur Aceh agar menyusun kebijakan daerah berupa Peraturan
Gubernur, Instruksi Gubernur dan peraturan lainnya untuk menindaklanjuti
rekomendasi reparasi atau pemulihan hak korban bisa diimplementasikan
dengan segera;
3. Kepada Bupati/Walikota agar menyusun kebijakan daerah berupa Peraturan
Bupati dan/atau Peraturan Walikota serta kebijakan lainnya untuk
menindaklanjuti rekomendasi reparasi atau pemulihan hak korban bisa
diimplementasikan dengan segera;
4. Kepada DPR RI, DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota se-Aceh (wilayah yang
telah diambil pernyataan korban oleh KKR Aceh) untuk memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota agar menindaklanjuti rekomendasi KKR Aceh melalui
kebijakan resmi sehingga pemenuhan hak atas reparasi korban dapat
diimplementasikan segera.

D. Tindakan Hukum Pada Pelaku Pelanggaran HAM
KKR Aceh telah melakukan telaah yang menyeluruh terhadap temuan yang
dihasilkan dari pengambilan pernyataan. Namun dari informasi atas temuan terhadap
para pihak yang diduga sebagai pelaku dari peristiwa pelanggaran HAM, KKR Aceh
belum melakukan investigasi lebih lanjut mengingat keterbatasan kewenangan.

47
KKR Aceh telah melakukan telaah atas peristiwa yang dialami oleh korban
dan keluarganya sepanjang konflik bersenjata berlangsung. Temuan atas peristiwa
pelanggaran HAM meliputi peristiwa penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
pembunuhan di luar proses hukum dan kekerasan seksual masih dalam proses analisis
oleh KKR Aceh dan tim ahli. Hasilnya akan dilaporkan pada bulan Desember
mendatang.

E. Tindakan Lainnya
Komisi memandang perlu untuk merekomendasikan tindakan lainnya yang
wajib dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
serta DPR RI, DPR Aceh dan DPR Kab/Kota serta lembaga independen lainnya
dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak atas reparasi (pemulihan hak korban).
Upaya yang wajib dilakukan oleh para pihak tersebut adalah dengan cara
mengambil peran yang strategis dalam rangka memperkuat dan
mengimplementasikan kebijakan pemulihan. Dengan demikian Komisi
merekomendasikan kepada para pihak untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Menyusun perencanaan kebijakan dari implementasi rekomendasi Komisi
wajib diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), RPJM Aceh dan
RPJM Kabupaten/Kota. Sehingga dibutuhkan sinergitas dan koordinasi yang
konstruktif antara Bappenas dan Bappeda (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
dalam rangka menjalankan rekomendasi Komisi untuk mewujudkan
pemenuhan hak korban atas pemulihan;
2. Menyusun skema layanan dan bantuan dalam peraturan internal Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengakomodasi pemenuhan hak
korban pelanggaran HAM sebagaimana yang telah diambil pernyataannya
oleh Komisi;
3. Karena dari temuan KKR Aceh merujuk pada korban yang diambil
pernyataannya terdapat 149 orang yang meminta ganti kerugian atas
hilangnya harta benda mereka di masa konflik, maka KKR Aceh
merekomendasikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Aceh untuk segera
membentuk komisi klaim sebagaimana telah diamanatkan dalam MoU
Helsinki “Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi
Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak

48
terselesaikan.” Komisi klaim ini penting dibentuk dalam rangka menangani
klaim yang hingga kini belum terselesaikan;