M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    129 
INOVASI TEKNOLOGI BIOINDUSTRI BERBASIS KAKAO, PISANG, DAN
TERNAK KAMBING TERPADU: SEBUAH PELAJARAN DARI
KABUPATEN ACEH TIMUR

BIOINDUSTRY INNOVATION TECHNOLOGY BASED ON INTEGRATED COCOA,
BANANA AND GOAT: LESSON LEARNED FROM
EAST ACEH REGENCY


1)
M. Syakir

dan
2)
Yulius Ferry

1)
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
Jalan Tentara Pelajar No 1A Cimanggu, Bogor 16111
[email protected]
2)
BALAI PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI DAN PENYEGAR
Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357
[email protected]

ABSTRAK

Produktivitas tanaman kakao rakyat masih rendah, penyebabnya antara lain rendahnya populasi, banyaknya tanaman rusak,
serangan hama dan penyakit. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman pisang, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tanaman
pisang diserang oleh penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum sehingga luas dan produksi tanaman pisang
menurun masing-masing 30% dan 35%. Penurunan produksi ini menyebabkan pendapatan petani menjadi makin rendah. Sistem
pertanian bioindustri merupakan sistem yang mengoptimalkan semua potensi yang terdapat di lokasi tersebut, tidak terkecuali
limbah dari suatu proses budidaya dan pasca panen. Polatanam kakao, pisang, dan ternak tidak hanya mengoptimalkan penggunaan
lahan tetapi juga membuka peluang diversifikasi produk, penyediaan pakan ternak, dan penyediaan pupuk organik (kompos).
Terdapat peluang untuk meningkatkan pendapatan petani, yaitu dengan diversifikasi pertanaman untuk mempertangguh usahatani
perkebunan. Optimalisasi lahan perkebunan kakao dapat ditempuh dengan polatanam kakao dan tanaman pisang. Agar tidak terjadi
persaingan diperlukan inovasi teknologi polatanam kakao pisang berbasis pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Budidaya tanaman
kakao dan tanaman pisang merupakan penerapan teknologi polatanam yang memberikan keuntungan dan meningkatkan daya guna
lahan. Tanaman kakao yang rusak direhabilitasi dan tanaman pisang kembali ditanam di dalam baris tanaman kakao, dengan jarak
tanam 9 x 9 m. Sebagai penyediaan benih dibangun kebun induk pisang sehat, dan juga ternak untuk mendukung pemanfaatan
limbah dari serasah, kulit buah kakao menjadi kompos dan pakan ternak. Penerapan budidaya kakao dan pisang akan mendorong
berdirinya kembali industri rumah tangga seperti keripik pisang, pisang sale (di Aceh), pisang goreng, dan industri berbahan baku
pisang lainnya yang didukung oleh produksi biji cokelat dan pasta, yang akhirnya meningkatkan pendapatan petani.

Kata kunci: Kakao, pisang, industri rumah tangga, pendapatan petani

ABSTRACT

Smallholders cocoa productivity remains low that was caused by low population, damaged plants, and pest and disease attacks. As
well as banana plantation, in the last five years, many banana plants attacked by disease, caused by the bacterium Ralstonia
solanacearum, which decreased banana area and production by 30% and 35%. This conditions significantly decreased farmers'
income. However, there are opportunities to increase the farmer’s income by using bioindustry model, which can optimize all of
resources in the area, including farm waste. Crop diversification between cocoa, banana and livestock, not only can optimize land
use, but also give opportunities for products diversification to strengthen farming system. On the other hand, it needs technology
innovation to manage this model based on integrated crop management (ICM). Optimization of cocoa plantations can be reached by
integration cocoa with banana. Cultivation of cocoa and banana are the application of intercropping technology that provide financial
benefits and improve land use. Farmers should rehabilitate damaged cocoa crops and plant banana between cocoa rows, with a
spacing of 9 mx 9 m. In addition, livestock can use plantation waste as a feed and produce organic fertilizers. Integration of cocoa
and banana also will encourage the establishment back home industries such as banana chips, banana sale (in Aceh), fried banana
and other industries which is supported by the production of cocoa beans and cocoa powder, which ultimately increases farmer’s
income.

Keywords: Cocoa, bananas, home industries, farmers' income

PENDAHULUAN

Perkembangan tanaman kakao di Indonesia
dalam kurun waktu sepu luh tahun terakhir
meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada tahun 2000
luas tanaman kakao baru mencapai 749.917 ha
dengan produksi sebesar 421.142 ton, pada tahun
2010 meningkat menjadi 1.650.621 ha dan produksi
sebesar 837.918 ton/tahun. Perkebunan kakao
tersebut sebagian besar (94,41%) berbentuk
perkebunan rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan
[Ditjenbun], 2011), yang dicirikan dengan lahan
sempit dan tanpa tanaman pelindung. Produktivitas
tanaman kakao rakyat cenderung mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008
produktivitas kakao rakyat sebesar 891 kg/ha/tahun,
tahun 2009 turun menjadi 811 kg/ha/tahun, dan pada
tahun 2010 turun lagi menjadi 793 kg/ha/tahun.
Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh
beberapa hal antara lain, meningkatnya tanaman

 

130 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 
yang rusak dan tua, serta serangan hama dan
penyakit. Produktivitas yang rendah dan kepemilikan
lahan yang sempit (1,01 ha/KK) menyebabkan
pendapatan petani kakao hanya sekitar Rp.
12.814.880/tahun (asumsi harga Rp. 16.000/kg).
Pendapatan tersebut sangat rendah jika dibandingkan
pendapatan petani hasil sensus pertanian 2013 di
sektor perkebunan yang mencapai Rp20.445.000,00
per tahun (Badan Pusat Statistik [BPS], 2014).
Rendahnya pendapatan menyebabkan
kemampuan petani untuk memelihara kebun menjadi
terbatas sehingga tanaman tidak dipupuk serta tidak
dilakukan pengendalian hama dan penyakit dan
pemangkasan sesuai anjuran. Petani lebih memilih
bekerja di tempat lain untuk menambah pendapatan
sehingga kebunnya menjadi terlantar. Dengan
demikian, tanaman menjadi rentan terhadap
serangan hama dan penyakit seperti, busuk buah
kakao (BBK), penggerek buah kakao (PBK), dan
vascular streak dieback (VSD) sehingga tanaman
banyak yang mati dan populasi menjadi berkurang.
Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya
populasi tanaman kakao. Pada areal pertanaman
kakao rakyat, populasi tanaman kakao polikultur
hanya mencapai 600 tanaman/ha, sementara itu
untuk pertanaman yang monokultur populasinya 800
tanaman/ha. Populasi di atas sangat rendah
dibandingkan populasi anjuran sebanyak 1.100
tanaman/ha sehingga berdampak pada rendahnya
produktivitas per hektar. Di lain pihak, penyulaman
untuk mempertahankan populasi tanaman tidak
dilakukan karena tidak tersedianya benih tanaman
unggul sehingga sebagian lahan menjadi kosong.
Salah satu upaya peningkatan pendapatan
petani kakao adalah melalui optimalisasi
pemanfaatan lahan dengan komoditas-komoditas
yang bernilai ekonomi dan secara teknis dapat saling
mendukung. Tanaman kakao sebagai tanaman utama
memiliki sifat memerlukan naungan. Pemanfaatan
tanaman penaung yang bernilai ekonomi seperti
pisang, khususnya untuk kakao muda merupakan
salah satu upaya peningkatan pendapatan petani. Di
sisi lain, limbah kebun, baik yang berasal dari gulma
maupun hasil pangkasan kakao maupun tanaman
penaung merupakan hijauan yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah ternak
berupa kotoran dapat juga dijadikan sebagai pupuk
organik bagi tanaman kakao maupun pisang.
Komoditas-komoditas tersebut dapat diintegrasikan
sehingga tercipta sebuah siklus yang saling
mendukung dan menguntungkan secara ekonomi
membentuk satu sistem
zero waste yang merupakan
ciri utama dari sistem pertanian bioindustri
berkelanjutan.
Pola tanam kakao dewasa dengan tanaman
pisang masih mungkin dilakukan dengan beberapa
alasan antara lain: (1) populasi tanaman kakao
rendah (600 batang/ha), (2) penyebaran penyakit
pisang dapat dihambat oleh tanaman kakao, dan (3)
kedua tanaman ini tidak menjadi inang penyakit yang
sama. Selain itu penanaman secara polikultur lebih
menguntungkan karena lebih efisien menggunakan
lahan dan adanya diversifikasi produk. Febryano
(2010) mengatakan bahwa penanaman kakao +
pisang layak untuk diusahakan, dengan BCR dan IRR
masing-masing 1,32 dan 23%. Hasil penelitian Obiri,
Bright, Mcdonald, Angglaaere, & Cobbrina (2007);
Febryano, Suharjito, & Soedomo (2009); dan Nadeak,
Qurniati, & Hidayat (2013) juga menunjukkan bahwa
model polatanam tersebut cukup menguntungkan.
Polikultur juga dapat mengoptimalkan penggunaan
lahan dan waktu dengan memanfaatkan lahan di
antara tanaman utama serta petani dapat melakukan
kegiatan tambahan di luar pengelolaan tanaman
utama. Setiap keluarga petani pekebun dengan 5
orang anggota, masih tersisa 300 HOK (hari orang
kerja) setiap tahunnya sehingga tenaga kerja ini
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan
manfaat lahan yang dimiliki (Nancy & Supriadi, 2005).
Tanaman kakao dan pisang menghasilkan
biomassa cukup banyak. Tanaman kakao melalui
pemangkasan wiwilan dan produksi menghasilkan
daun yang dapat digunakan sebagai pakan ternak, hal
yang sama juga terjadi pada pisang, baik dari kulit
buah maupun daun dan batang pisang. Potensi
penyediaan pakan ternak tersebut memberikan
peluang untuk dintegrasikan dengan ternak kambing.
Pemberian pakan ternak kambing dari daun kakao,
berpengaruh pada pelaksanaan pangkasan tunas air
dan cabang/ranting yang tidak produktif sehingga
kanopi tanaman kakao menjadi lebih baik dan setting
buah meningkat. Selain itu kotoran kambing menjadi
bahan yang dapat memperkaya kompos yang dibuat
dari biomassa kakao dan pisang sebagai pupuk
organik ke dua tanaman tersebut.
Agar tidak terjadi persaingan di antara
tanaman diperlukan inovasi teknologi polatanam
kakao pisang berbasis pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) dan ternak kambing. Tulisan ini menyampaikan
beberapa hasil dan gagasan peningkatan produksi
kakao dan pisang melalui pendekatan pengelolaan
tanaman dan sumber daya terpadu hasil penerapan
teknologi Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Aceh
Timur.

KERAGAAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO,
PISANG, DAN KAMBING DI KABUPATEN
ACEH TIMUR

Tanaman kakao di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berkembang sangat pesat. Pada tahun
2002 luas areal kakao 42.960 ha, sepuluh tahun
kemudian menjadi 86.195 ha (Ditjenbun, 2012).
Peningkatan luas areal di Kabupaten Aceh Timur
jauh lebih tinggi. Jika pada tahun 2002, luas areal
kakao hanya mencapai 2.752 ha, pada tahun 2012,
jumlah tersebut mencapai 12.667 ha, atau meningkat
hampir 4 kali lipat. Pesatnya perkembangan luas
areal tanaman kakao di Aceh Timur sejalan dengan
dicanangkannya gerakan nasional tanaman kakao.
Pengembangan tanaman kakao ini memberikan
manfaat besar bagi perekonomian masyarakat.
Perkembangan teknik budidaya tanaman
kakao meliputi, pengelolaan pohon pelindung,
pembuatan rorak, pemupukan dan sambung samping
sudah cukup dikenal di Kabupaten Aceh Timur.
Namun, teknologi tersebut pada umumnya baru
sekedar diketahui oleh petani, tetapi belum

 
 
M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    131 
dilaksanakan sebagai mestinya. Penanaman dan
pemeliharaan tanaman pelindung belum
terlaksanakan dengan baik, jarak tanam belum
teratur, pemangkasan belum dilakukan, dan
tanaman tumbuh tanpa perawatan. Tanaman kakao
ditanam bercampur dengan tanaman lain seperti,
durian, rambutan, pisang, dan tanaman tahunan
lainnya. Tanaman-tanaman tersebut dianggap telah
berfungsi sebagai tanaman pelindung yang memadai
untuk pertumbuhan tanaman kakao, padahal
naungan yang ditimbulkannya tidak merata karena
jarak tanam tidak teratur.
Teknologi sambung samping telah
dilakukan petani dengan menggunakan entres
berasal dari tanaman yang terpilih, yang dicirikan
oleh produksi tinggi, sehat, dan tumbuh dengan baik,
dan entres yang berasal dari klon unggul lainnya
seperti Sulawesi 1, 2, dan Minahasa. Pengadaan
klon-klon ini difasilitasi oleh penyuluh pertanian
lapangan. Namun keberhasilan sambung samping
tersebut tidak diikuti oleh pemeliharaan yang baik,
pemangkasan untuk memberi kesempatan kepada
tunas sambung samping tumbuh dengan baik belum
dilakukan sehingga pertumbuhannya belum optimal
dan sering tidak berkembang atau mati.
Pembuatan rorak-rorak untuk
pengomposan serasah-serasah tanaman dan
penyimpanan air sudah didiseminasikan, tetapi tidak
berlanjut, setelah rorak tersebut penuh, rorak tidak
dibuat kembali sehingga serasah dan kulit buah
kakao kembali berserakan di lahan, yang
menyebabkan lahan menjadi sangat lembab. Rorak
juga dapat mengurangi serangan hama penggerek
buah karena larva yang terdapat dalam kulit buah
akan mati bersamaan dengan dibenamkannya kulit
buah kakao ke dalam rorak (Siregar, Riyadi, &
Nuraeni, 1994).
Demikian juga dengan teknologi
pemangkasan belum dilakukan dengan baik sehingga
pertumbuhan cabang dan ranting tanaman kakao
tidak teratur, tanaman menjadi lebih tinggi, lebih
rimbun, dan intersepsi cahaya yang sampai ke
batang dan permukaan tanah sangat rendah. Hal ini
terjadi disebabkan oleh pemahaman bahwa
pemangkasan menyebabkan banyaknya bunga dan
buah yang terbuang bersamaan dengan
terbuangnnya ranting yang dipangkas, dan akan
mengurangi produksi. Padahal dugaan tersebut tidak
benar karena menurut Soedarsono (1997) buah yang
berkualitas terdapat pada batang utama, dan cabang
utama, sedangkan yang tumbuh diranting bobot
buahnya akan lebih rendah.
Pemupukan sudah dilakukan petani,
walaupun belum sesuai dengan teknik budidaya yang
sebenarnya. Jenis pupuk yang digunakan umumnya
pupuk phospat alam yang banyak terdapat di lokasi
dan harganya lebih murah. Penggunaan pupuk
kandang atau kompos belum dilakukan karena
pupuk organik sulit diperoleh. Di daerah ini ternak
hewan umumnya tidak dikandangkan.
Di Kabupaten Aceh Timur, lahan yang
kosong pada pertanaman kakao umumnya ditanami
dengan tanaman pisang. Hal ini dilakukan karena
tradisi setempat, bahwa fungsi tanaman pisang
secara tradisi sangat penting sebagai pembungkus
makanan, sayur, dan makanan tradisional lainnya,
yang harus ada pada acara-acara penting di
masyarakat. Selain itu, pisang merupakan bahan
baku untuk industri rumah tangga seperti pisang
sale dan keripik pisang. Industri pisang sale di
Kabupaten Aceh Timur merupakan industri rumah
tangga yang sudah banyak berkembang karena
banyak rumah tangga dan tenaga kerja yang terlibat
pada industri ini, terutama di Kecamatan Lhok
Nibung, Pante Bidari dan Simpang Ulim. Industri
pisang sale di daerah ini menggunakan bahan baku
dari buah pisang oak. Buah pisang tersebut kurang
disukai apabila dikonsumsi dalam bentuk segar, dan
yang diolah dalam bentuk buah tidak segar atau 10
hari setelah dipanen sehingga tidak berkompetisi
dengan kebutuhan lain. Produksi pisang sale di
daerah ini mencapai 20 ton per hari, berasal dari
banyak pengrajin. Pemasaran produk ini dilakukan di
toko-toko makanan yang banyak terdapat di pasar
setempat, bahkan pemasarannya sampai ke Kota
Medan.
Pada lima tahun terakhir industri rakyat ini
mulai berkurang dan telah banyak yang menutup
usahanya karena langkanya bahan baku pisang.
Kelangkaan ini disebabkan tanaman pisang
terserang oleh penyakit yang disebabkan oleh
bakteri
Ralstonia solanacearum (Susanna, 2011).
Penyakit ini sangat mudah menyebar melalui air,
penggunaan alat yang tidak steril dan hewan ternak.
Gejala serangan mulai terlihat satu per satu daunnya
layu dan akhirnya tanaman mati. Penyakit ini oleh
petani disebut penyakit darah karena apabila batang
pisang dipotong akan mengeluarkan cairan yang
berwarna merah darah. Luas serangan penyakit
sudah mencapai 200 ha, luasan yang telah
mempengaruhi penyediaan bahan baku industri
pisang sale dan mengancam keberlanjutan industri
rumah tangga. Salah satu pencegahan penyakit ini
adalah menanam pisang secara polatanam sehingga
jarak antar rumpun tanaman pisang lebih jauh.
Penyakit ini tidak hanya menyerang tanaman pisang
di Aceh Timur, tetapi juga di Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Sulawesi, dan daerah lainnya.
Budidaya ternak kambing di Kabupaten
Aceh Timur belum banyak berkembang sehingga
pemanfaatan limbah kebun belum optimal. Pola
budidaya kambing yang selama ini dilakukan adalah
tidak dikandangkan sehingga kotoran kambing juga
belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Introduksi
teknologi sangat diperlukan karena potensi yang
dimiliki masih sangat besar.

POTENSI, PELUANG, DAN TANTANGAN

Potensi
Potensi tanaman kakao di daerah
Kabupaten Aceh Timur cukup tinggi karena sebagian
besar telah menggunakan varietas/klon unggul, dan
pertanaman kakao di daerah ini berada pada wilayah
yang sesuai baik iklim maupun jenis tanahnya.
Produktivitas tanaman masih berpotensi untuk
ditingkatkan melalui rehabilitasi tanaman rusak.
Selain itu lahan untuk pengembangan penanaman

 

132 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 
kakao di Kabupaten Aceh Timur cukup tersedia,
seperti di Kecamatan Peunaron, Simpang Ulim, Pante
Bidari, dan lainnya. Baik melalui ekstensifikasi,
intensifikasi, dan pengelolaan tanaman terpadu
dengan tanaman tahunan lainnya seperti tanaman
kelapa, karet, pala, pisang, dan lainnya.
Tanaman pisang juga sangat berpotensi
dikembangkan di Kabupaten Aceh Timur karena
selain tersedianya lahan, pisang merupakan
tanaman tradisional di daerah ini. Hampir semua
petani menanam pisang. Jenis pisang yang banyak
ditanam di daerah ini adalah pisang kepok,
barangan, dan pisang siem (oak). Pisang oak adalah
salah satu jenis pisang yang kurang disukai jika
dikonsumsi dalam bentuk segar. Pisang ini
dikonsumsi setelah diolah menjadi pisang sale, sama
dengan pisang kepok yang diolah menjadi pisang
goreng atau keripik, sedangkan jenis pisang
barangan lebih sering dikonsumsi dalam bentuk
segar sebagai pisang meja. Buah pisang ini
ukurannya lebih kecil dari pisang ambon, berwarna
kuning, dan rasanya manis. Buah pisang ini
dipasarkan tidak hanya di pasar lokal, tetapi sampai
ke pasar di Medan dan Jakarta. Kebutuhan akan
pisang semakin meningkat sehubungan dengan
membaiknya pendapatan penduduk kota. Pisang sale
produksi Aceh Timur sudah sangat terkenal oleh
masyarakat Aceh, sering dijadikan oleh-oleh khas
dari daerah ini. Potensi lainnya pada tanaman pisang
adalah banyaknya pengrajin pengolahan pisang sale
yang telah berpengalaman lama dalam industri
rumah tangga pisang sale.
Letak Kabupaten Aceh Timur sangat
strategis, berada di pantai Timur Sumatera, berbatas
dengan selat malaka, dekat dengan Singapura,
Malaysia, Thailand, dan India, sebagai negara tujuan
ekspor, sebelah selatan berbatas dengan Provinsi
Sumatera Utara, Medan (Sumatera Utara) dengan
industri pengolahan kakaonya mulai berkembang,
sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Utara dan
sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara.

Peluang
Harga biji kakao baik di pasar dalam negeri
maupun dunia terus mengalami peningkatan, rata-
rata 21,30% per tahun untuk harga di pasar domestik
dan 33,07% untuk harga dunia. Peningkatan yang
cukup tinggi untuk harga biji kakao di dalam negeri
terjadi dimulai dari tahun 2006, sedangkan di pasar
dunia lonjakan harga yang tinggi terjadi pada tahun
2008. Harga biji kakao di pasar domestik apabila
dibandingkan dengan harga biji kakao di pasar dunia
masih terdapat kesenjangan yang cukup besar,
kecuali pada tahun 2002 dan 2003, harga biji kakao
domestik lebih tinggi dibandingkan harga biji kakao
di pasar dunia (Ditjenbun, 2012). Pada tahun 2004
sampai 2010 harga biji kakao di pasar domestik
hanya mencapai 48-72% dari harga di pasar dunia
(Gambar 3 dan 4).


Gambar 3. Perkembangan harga biji kakao di pasar domestik (Rp/kg) (Sumber: Ditjenbun, 2012)
Figure 3. Price of cocoa beans in the domestic market (Rp/kg) (Source: Ditjenbun, 2012)



Gambar 4. Perkembangan harga biji kakao di pasar dunia (US$/ton) (Sumber: Ditjenbun, 2012)
Figure 4. Price of cocoa in world market (Source: Ditjenbun, 2012)

 
 
M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    133 
Secara nasional konsumsi dalam negeri
juga mengalami peningkatan, sejalan dengan
kebijakan pemerintah untuk mengutamakan
kebutuhan industri cokelat dalam negeri, pada tahun
2000 tingkat konsumsi masyarakat baru mencapai
0,016 kg/kapita/tahun, meningkat menjadi 0,3
kg/kapita/tahun pada tahun 2010. Peningkatan
konsumsi dalam rentang waktu sepuluh tahun
tersebut hampir dua puluh kali lipat. Namun, tingkat
konsumsi tersebut masih jauh lebih rendah
dibandingkan Malaysia dan Singapura yang masing-
masing mencapai 1 kg/kapita/tahun serta Swiss yang
mencapai 15 kg/kapita/tahun. Kondisi tersebut
menunjukkan masih terdapat peluang untuk
meningkat konsumsi dalam negeri lebih tinggi lagi,
yaitu mencampur cokelat pada industri makanan
tradisional seperti pada dodol, serabi, keripik pisang,
pisang sale, dan lain sebagainya.
Adanya kesenjangan harga yang besar
antara harga di pasar domestik dengan harga di
pasar dunia dan meningkatnya kebutuhan dalam
negeri terhadap biji kakao hal ini merupakan peluang
yang cukup penting dalam mengembangkan tanaman
kakao di Kabupaten Aceh Timur. Selain itu
pembangunan industri-industri rumah tangga
berbahan baku biji kakao juga akan berkembang
sebagai bahan pencampur industri makanan
tradisional.
Untuk tanaman pisang, pengembangan
tanaman ini peluangnya juga cukup besar karena
selain disebabkan oleh makin meningkatnya
konsumsi masyarakat akan buah segar, juga
teknologi pengolahan pisang semakin maju. Pada
tahun 2010 konsumsi buah pisang segar baru
mencapai 4,32 kg/kapita/tahun, pada tahun 2013
meningkat menjadi 5,68 kg/kapita/tahun. Demikian
juga industri berbahan baku pisang, industri tepung
pisang juga mengalami kemajuan yang cukup besar
bersamaan dengan meningkatnya industri tepung
lainnya seperti tepung singkong, tepung beras,
tebung nanas, dan lain sebagainya. Hal ini dapat
meningkatkan industri rumah tangga berbahan baku
pisang, dengan bermacam-macam bentuk produk.
Lahan pengembangan selain dapat menggunakan
lahan-lahan yang terlantar juga dapat dipadukan
dengan tanaman tahunan lainnya.
Banyaknya manfaat pisang bagi kesehatan
juga akan meningkatkan konsumsi pisang di dalam
negeri. Buah pisang mengandung (68%) air, (25%)
gula, (2%) protein, (1%) lemak dan minyak, (1%) serat
selulosa, juga mengandung pati dan asam tanin,
vitamin A (300 IU per seratus gram), vitamin B
dengan berbagai jenis: B1, B2, B6, dan B12 (100 mg
per seratus gram), persentase yang cukup dari
vitamin D, dan sedikit vitamin Z. Pisang juga
mengandung kalsium (100 mg per seratus gram),
fosfor, besi, sodium, kalium (potassium), magnesium,
dan seng (Satuhu & Supriadi, 2008).
Peluang pengembangan kambing yang
terintegrasi dengan tanaman kakao dan pisang juga
masih sangat besar. Kambing sebagai salah satu
jenis ternak ruminansia penghasil daging diharapkan
dapat mensubstitusi kebutuhan daging yang masih
banyak diimpor. Makka (2004) menyebutkan bahwa
ternak kambing memiliki keunggulan dibanding
ternak lainnya seperti kemampuan beradaptasi
terhadap berbagai macam kondisi lingkungan yang
ekstrim serta ketersediaan pakan. Selain itu,
kebutuhan modal untuk ternak kambing juga jauh
lebih kecil dibandingkan ternak ruminansia besar
seperti sapi dan kerbau. Ditinjau dari sisi
ketersediaan pakan, peluang pengembangan kakao
yang teritegrasi dengan kambing juga masih sangat
besar. Priyanto (2008) menyebutkan bahwa
perkebunan kakao memiliki daya dukung cukup
besar terhadap usaha ternak kambing. Hal tersebut
ditunjukkan oleh setiap hektar kebun kakao akan
mampu memenuhi pakan 6,05 ekor kambing hanya
dari kulit buah kakao. Ketersediaan pakan tersebut
belum dihitung dari gulma maupun hasil pangkasan
kakao dan pohon penaung yang dapat digunakan
sebagai pakan kakao. Dari uraian tersebut dapat
diketahui bahwa peluang pengembangan ternak
kambing yang terintegrasi dengan kakao masih
sangat besar.

Tantangan
Tantangan dalam pengembangan kakao
dimasa datang adalah bagaimana usaha untuk
meningkatkan produktivitas dan mutu (Kasumadati,
Sutardi, & Kartika, 2002). Peningkatan produktivitas
dan mutu berhubungan dengan penggunaan varietas
atau klon unggul, pengendalian hama penyakit dan
penerapan teknologi budidya, pasca panen dan
pengolahan hasil.
Untuk memenuhi kebutuhan benih unggul,
telah dilakukan penyediaan benih melalui teknologi
perbanyakan bahan tanaman somatik embriogenesis
(Pancaningtyas, 2013). Teknologi ini terbukti bahwa
penyediaan benih kakao bermutu dapat memenuhi
kebutuhan benih dalam jumlah yang banyak seperti
pada gerakan nasional kakao (gernas kakao) di
hampir seluruh wilayah Indonesia. Perbanyakan
konvensional seperti perbanyakan dengan biji atau
melalui vegetatif dengan entres yang unggul masih
digunakan. Cara ini dapat menyediakan benih untuk
kebutuhan di daerah, dan petani dapat memenuhi
kebutuhan benih kakao secara mandiri, dengan mutu
yang terjamin karena secara genetik sama dengan
induknya.
Serangan penyakit VSD, BBK, dan hama
PBK belum dapat diatasi dengan baik. Serangan
hama dan penyakit ini dapat menurunkan produksi
sampai 50%-100% (Iswanto & Winarno, 1999). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan agensia
hayati efektif untuk menanggulangi penyakit dan
hama tanaman kakao (Sulistyowati, Juminanto,
Mufrihati, & Wahab, 2002), namun aplikasi di
lapangan belum menunjukkan hasil optimal.
Tantangan dalam mengembangkan tanaman
pisang saat ini adalah serangan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dan
Fusarium
sp. yang sangat mematikan. Penyebaran
penyakit ini sangat cepat terutama melalui air, dan
alat yang digunakan (Soeseno, Mugiastuti, Ahmad, &
Witjahsono, 2012). Serangan penyakit ini telah
memusnahkan hampir 70% pertanaman pisang di
Aceh Timur sehingga tanaman pisang hanya

 

134 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 
dijadikan tanaman pekarangan dengan pemeliharaan
yang minimal. Tantangan lain yang tidak kalah
penting adalah dikonversinya tanaman baik kakao
maupun pisang ke tanaman lain yang lebih
menguntungkan, seperti kelapa sawit.
Sementara itu, tantangan bagi agribisnis
kambing di Indonesia adalah konsumen belum
menempatkan sumber protein dari daging kambing
sama dengan sumber protein lainnya seperti daging
sapi. Preferensi konsumen tersebut masih
merupakan tantangan sekaligus bagi setiap pelaku
yang terlibat dalam agribisnis kambing.


INOVASI TEKNOLOGI PENINGKATAN
PRODUKSI

Tanaman Kakao
Teknologi budidaya tanaman kakao TM
(tanaman menghasilkan) sangat berbeda dengan
teknologi budidaya tanaman kakao TBM (tanaman
belum menghasilkan). Teknologi budidaya tanaman
kakao TM lebih diarahkan untuk mempertahankan
produksi tinggi dan bentuk habitus tanaman tetap
rendah dengan kelembaban yang sesuai dan
kehilangan hasil seminimal mungkin. Teknologi
budidaya tanaman kakao TM antara lain,
pemupukan, pengendalian hama /penyakit, pangkas
produksi, panen sering, rehabilitasi tanaman rusak
dan tidak produktif.

1. Pemupukan
Setiap panen biji kakao kering sebanyak
1.000 kg/ha/tahun, bersamaan dengan itu unsur hara
yang ikut terbawa dari dalam tanah sebanyak 346 kg
Nitrogen; 6,3 kg P
2O
5; 72,6 kg K
2O; 6,8 kg Mg; dan 8,6
kg Ca (Pujianto & Prawoto, 2008). Jumlah hara yang
terkuras tersebut belum termasuk unsur hara yang
terbawa pada waktu pemangkasan dan gugurnya
daun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan
lebih tinggi dan kandungan bahan organik rendah,
unsur hara yang diberikan mengalami pencucian ke
lapisan bawah tanah sehingga dosis pupuk yang
diberikan dan waktu pemberian harus
memperhitungkan pencucian unsur hara tersebut.
Pemupukan tanaman kakao ditentukan oleh
produksi, kandungan hara tanah, dan kandungan
hara dalam daun. Makin tinggi produksi dan makin
rendah kandungan hara tanah, dosis pupuk yang
diberikan akan lebih tinggi. Demikian juga dengan
kandungan hara dalam daun yang lebih tinggi, pada
kandungan hara dalam tanah rendah, dosis pupuk
yang diberikan juga akan lebih tinggi.
Gejala kekurangan unsur hara pada
tanaman kakao terlihat pada daun. Kekurangan
unsur N menyebabkan daun berwarna kuning,
tumbuh kerdil, dan ukuran daun kecil. Kekurangan
unsur P pada daun terlihat warna daun hijau gelap,
persentase buah jadi rendah dan gugurnya buah
berumur muda, sedangkan kekurangan unsur K
menyebabkan daun berwarna kuning, kuning daun
tersebut dimulai dari pinggir daun, umur daun
pendek, dan banyaknya daun yang gugur. Tanaman
yang kekurangan unsur hara pertumbuhannya
terhambat, produktivitas rendah serta mudah
diserang hama dan penyakit.
Jenis pupuk yang diberikan untuk tanaman
kakao, dapat berupa pupuk tunggal seperti Urea,
SP36 dan Kalium, dan berupa pupuk majemuk
seperti NPK. Dosis pemberian pupuk pada tanaman
kakao TM tergantung dari hasil analisis tanah dan
daun, namun secara umum dapat digunakan dosis
pupuk seperti terlihat pada Tabel 1.
Saat ini telah tersedia pupuk hayati yang dapat
menghemat pemakaian pupuk anorganik,
meningkatkan kemampuan tanaman untuk
mengadsropsi unsur hara, dan meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap kekeringan. Beberapa
pupuk hayati tersebut antara lain: mikoriza, bakteri
penambat P, K, dan N. Mikoriza adalah jamur yang
berasosiasi simbiotik dengan akar tanaman
membentuk daerah serapan yang lebih luas dan lebih
mampu memasuki ruang pori yang lebih kecil
sehingga meningkatkan kemampuan tanaman untuk
menyerap unsur hara, lebih toleran terhadap
keracunan logam, serangan penyakit khususnya
patogen akar dan kekeringan (Priyanto, 2008;
Pattimahu, 2004). Pada pemupukan NPK, pemberian
mikoriza dapat mengefisienkan pemupukan (Baon &
Wibawa, 2000; Gandry, Diem, & Dommergues, 1982).
Pemberian mikoriza dapat menghindari penurunan
kesehatan tanaman akibat adanya input bahan kimia
(Hindersah & Simarta, 2004).
Laporan tentang peranan mikoriza bagi
tanaman kopi sudah banyak. Tanaman kopi yang
bermikoriza mampu bertahan hidup pada kondisi
lahan yang marginal (Goenadi, 1994; Setiadi, 2002).
Wibawa & Baon (1990) melaporkan bahwa
pertumbuhan bibit kopi yang diinokulasi mikoriza
pada medium dengan sumber P yang sulit larut lebih
baik dibandingkan yang tidak diinokulasi. Selain itu,
inokulum mampu meningkatkan persentase tanaman
hidup setelah pemindahan di lapangan (Sieverding &
Toro, 1986). Teknologi pengembangbiakan mikoriza
juga semakin berkembang, bahan pembawa
inokulum tidak harus menggunakan zeolit yang tidak
tersedia disemua lokasi, tetapi juga dapat
menggunakan bahan organik seperti abu sekam dan
kompos enceng gondok (Nurbaity, Herdiyanto, &
Mulyani, 2009), kompos enceng gondok dan
kiambang (Ferry, Towaha, & Sasmita, 2013),

 
 
M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    135 
Tabel 1. Dosis pemupukan kakao tanaman menghasilkan (TM)
Table 1. Fertilizer doses for young cacao plants
Jenis pupuk Dosis per pohon/tahun (g) Dosis per ha/tahun (kg)
SP 32 280 310
Urea 180 200
KCl 170 190
Sumber/source: Susanto (2012)


Pemupukan dilakukan 2 kali setahun
dengan dosis seperti dilihat pada Tabel 1. Pupuk
diberikan pada awal dan akhir musim hujan dengan
cara membuat parit melingkar pada jarak selebar
tajuk dari pohon tanaman kakao. Pupuk ditabur
dalam parit tersebut dan kemudian ditutup dengan
tanah. Penaburan pupuk dilakukan sekaligus untuk
ketiga jenis pupuk, setelah dicampur secara merata
sesuai dengan dosis yang digunakan. Jenis pupuk
yang diberikan dapat berupa pupuk majemuk atau
pupuk tunggal yang dicampur merata. Apabila
menggunakan pupuk tunggal pencampuran harus
merata dan segera ditaburkan ke dalam parit pupuk
pada piringan. Oleh sebab itu, perhitungan
pencampuran harus tepat agar tidak ada pupuk yang
rusak dan terbuang.
Tanaman kakao dapat berbuah terus
menerus apabila unsur hara yang diperlukan cukup
tersedia. Tanaman yang baik terlihat dari komposisi
buah yang terdapat pada pohon, yaitu pada tanaman
tersebut terdapat hampir semua fase umur buah.

2. Pengendalian hama dan penyakit
Kehilangan produksi akibat serangan hama
dan penyakit pada tanaman kakao cukup besar.
Akibat serangan hama PBK, penyakit BBK, dan VSD,
masing-masing mencapai 30%, 30%, dan 10%.
Serangan hama dan penyakit utama berbeda-beda
disetiap daerah, penyakit BBK di Sulawesi bukan
merupakan penyakit penting, sedangkan hama PBK
dan penyakit VSD menjadi hama dan panyakit yang
sangat merugikan petani kakao. Berbeda dengan
yang terjadi di Sumatera, penyakit BBK dapat
menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%.
Beberapa penyebab serangan penyakit
tersebut antara lain, lemahnya kondisi tanaman
akibat tidak dipupuk, pemangkasan yang tidak
teratur sehingga kelembaban tinggi, sanitasi yang
kurang, dan panen yang tidak teratur. Berdasarkan
penyebab tersebut di atas maka pengendalian hama
dan penyakit pada tanaman kakao dapat dilakukan
secara terpadu meliputi: teknologi budidaya,
mekanis, serta penggunaan bahan kimia, dan
biopestisida.
Hasil penelitian Sastrosiswojo (1999)
menyatakan bahwa pemupukan yang berimbang
dapat mengurangi serangan penyakit busuk buah
kakao disebabkan oleh
Colletotrichum
gloeosporioides.
Pemupukan ekstra dengan
meningkatkan dosis pupuk K dapat meningkatkan
ketahanan tanaman kakao terhadap serangan
penyakit kanker batang oleh
Phytophthora sp.
Sementara itu, panen yang lebih sering merupakan
usaha memperpendek kesempatan hama penyakit
untuk menyebar dan berkembang. Sanitasi juga
merupakan cara untuk menekan populasi dan
memutus siklus hidup serangga hama dan penyakit.
Selain itu, pemangkasan cabang sekunder dan
ranting merupakan cara efektif untuk menanggulangi
penyakit VSD. Penggunaan varietas unggul yang
tahan terhadap hama dan penyatkit dengan
produktivitas yang tinggi juga merupakan salah satu
cara penting (Santoso, Prawoto, & Sudarsianto,
2013).

Tanaman sela baik ditanam di antara
tanaman kakao maupun dipinggir lahan dapat
berpengaruh terhadap serangan hama dan panyakit.
Tanaman sela yang mempunyai jenis hama dan
penyakit yang sama tidak disarankan untuk ditanam.
Jenis tanaman sela yang dapat ditanam adalah yang
berfungsi sebagai perangkap atau mengusir serangga
hama. Tanaman serai wangi sebagai tanaman sela di
antara tanaman kakao dapat mengurangi serangan
hama penggerek buah kakao dan penggerek cabang
tanaman kakao.
Pengendalian hama dan penyakit secara
biologis dapat dilakukan dengan pemanfaatan masuh
alami. Predator yang paling berperan menekan
populasi hama penggerek buah kakao adalah semut
yang memangsa hama pada stadium pupa sampai
41%. Selain itu, penggunaan
Trichoderma sp. juga
efektif menekan serangan penyakit BBK yang
disebabkan oleh
Phytophthora sp. Pengendalian
hama dan penyakit secara kimia dapat dilakukan
dengan penggunaan insektisida dan feromon seks.

3. Rehabilitasi tanaman rusak/tidak produktif
Jumlah tanaman kakao petani yang rusak
mencapai 45% sehingga tanaman yang masih cukup
baik hanya tersisa 600 batang/ha. Tanaman yang
rusak dengan kondisi batang utamanya masih segar
dapat dilakukan rehabilitasi melalui sambung
samping. Rehabilitasi akan menghasilkan tanaman
yang lebih muda, cepat berbuah, dan klonnya dapat
disesuaikan dengan keinginan. Kegiatan rehabilitasi
dapat dibagi 2 tahap, yaitu penyiapan tanaman
sumber entres dan tahap melakukan sambung
samping untuk semua tanaman yang akan
direhabilitasi.
Sumber entres yang digunakan berasal dari
tanaman dengan klon yang jelas, terdapat beberapa
klon kakao unggul yang kompatibel dengan tanaman
kakao rakyat. Kompatibilitas menjadi penting karena
tanaman kakao rakyat berasal dari biji hasil
open
pollination
beberapa klon unggul yang terdapat pada
kebun induk yang ditanam secara poliklonal
sehingga pertanaman kakao rakyat akan beragam.
Tjahyana
et al. (2013) melaporkan bahwa klon yang

 

136 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 
sesuai untuk digunakan sebagai entres pada
sambung samping kakao rakyat adalah klon TSH
908, TSH 858, dan Sca 12. Setek entres sebagai
batang atas berasal dari tanaman yang telah
disiapkan, klonnya jelas, produktivitas dan mutu
hasilnya tinggi. Dapat juga berasal dari klon yang
didatangkan dari luar yang sesuai dikembangkan di
daerah tersebut. Akhir dari sambung samping ini
terbentuknya tanaman kakao yang lebih muda
dengan produksi lebih tinggi karena berasal dari klon
unggul.

4. Pemangkasan
Tanaman kakao cenderung memproduksi
cabang, ranting, dan wiwil yang lebih banyak,
pemangkasan yang tidak rutin menyebabkan habitus
tanaman kakao menjadi tidak seimbang, tanaman
menjadi tinggi, dan daun menjadi rimbun yang
menyebabkan lahan menjadi lebih lembab. Selain itu
pertumbuhan tanaman kakao lebih mengarah kepada
pertumbuhan vegetatif, produksi menjadi rendah,
dapat memicu terjadinya serangan penyakit busuk
buah dan VSD sehingga produksi semakin menurun.
Pemangkasan bertujuan mengembalikan bentuk
habitus tanaman kembali seimbang, dan tidak terlalu
tinggi. Pemangkasan dilakukan dengan memotong
ranting yang terlalu rimbun, saling tumpang tindih,
sangat menaungi, sakit, kering, menggantung,
cabang balik dan tunas ortotrop, kemudian
dilanjutan dengan cabang sekunder dan cabang
utama.

5. Sanitasi
Pembersihan kebun adalah kegiatan
membebaskan kebun dari gulma dan tanaman
pengganggu. Pembersihan kebun dilakukan dengan
penyiangan dan pembongkaran tanaman
pengganggu. Penyiangan dilakukan secara manual
tidak menggunakan herbisida karena serasah gulma
ini akan digunakan untuk pakan hijauan ternak,
sedangkan untuk tanaman pengganggu harus
dibongkar dengan cangkul. Pembersihan areal
diutamakan pada piringan, yaitu areal keliling batang
tanaman kakao selebar tajuk dari pangkal batang.
Pembersihan pada piringan juga dilakukan sewaktu
melakukan pembuatan lubang pupuk.

6. Pembuatan rorak dan drainase
Rorak dibuat untuk menempatkan sisa-sisa
bahan organik seperti serasah, bekas pangkasan dan
buah-buah busuk, rorak dapat dibuat berukuran 2 x
1x 0,4 m atau lebih. Rorak berfungsi juga sebagai
tempat pengomposan dan penyimpan air. Rorak yang
sudah penuh ditutup dengan tanah agar
pengomposan berlangsung baik, selanjutnya dibuat
rorak yang baru. Setelah pengomposan sempurna di
dalam rorak, kompos yang dihasilkan dibongkar dan
digunakan untuk memupuk tanaman kakao. Rorak
yang sudah kosong diisi kembali dengan serasah
bahan organik.
Sebagai penyimpan air, rorak dapat
menampung air yang tergenang di lahan penanaman
kakao, melalui aliran drainase yang dibuat. Air ini
akan tersimpan dan dimanfaatkan oleh tanaman
secara berlahan-lahan pada musim kemarau, dengan
demikian tanaman kakao tidak mengalami
kekeringan. Pada tanaman kakao di bawah tegakan
kelapa pembuatan rorak dapat memutus akar kelapa
yang tumbuh tumpang tindih dengan perakaran
kakao sehingga pembuatan rorak dapat mengurangi
persaingan kedua tanaman tersebut dalam
memanfaatkan air dan unsur hara.

7. Penggunaan biofertilizer
Penggunaan pupuk hayati seperti jamur
mikoriza, bakteri pengurai P, dan bakteri penambat
N dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik
pada pemupukan tanaman kakao. Pemberian pupuk
hayati dengan dosis 100 g/tanaman/tahun, dengan
populasi spora 150 spora/100 g bahan pambawa
efektif mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao.


Pengelolaan Tanaman Pisang di Antara
Kakao
Teknologi budidaya tanaman pisang di
antara tanaman kakao pada kondisi berjangkitnya
serangan bakteri dan fusarium dimulai dari kegiatan
eradikasi, pembersihan lahan, pembuatan lubang
tanam, penanaman, pemupukan dan pemeliharaan.

1. Eradikasi
Eradikasi yaitu pemusnahan tanaman
pisang yang terserang. Pemusnahan dilakukan
dengan membongkar rumpun tanaman pisang,
dicincang dan kemudian membenamnya ke dalam
tanah. Eradikasi dilakukan agar tidak tersisa spora-
spora dari jamur penyakit yang dapat berkembang
kembali. Tanah bekas penanaman pisang yang
terserang penyakit dibero untuk beberapa waktu
agar sumber penyakit tersebut benar-benar habis.
Eradikasi dilakukan pada seluruh tanaman pisang
termasuk tanaman pisang yang dipanen.

2. Penggunaan spesies pisang tanpa jantung
Tanaman pisang tanpa jantung adalah jenis
pisang oak (siam) yang kelopak jantungnya terbuka
secara serentak sehingga tidak jantung pisang yang
tergantung di ujung tandan. Pisang jenis ini tidak
mudah terserang oleh penyakit layu pisang yang
penyebarannya melalui serangga dengan menyerang
jantung pisang.

3. Pembangunan kebun induk pisang sehat
Pembangunan kebun induk pisang menjadi
penting tidak hanya menyediakan kebutuhan benih
untuk pengembangan tetapi juga menjamin mutu dan
jenisnya. Pemeliharaan kebun induk pisang sehat
dilakukan lebih intensif dibandingkan pohon induk
yang terdapat di lapangan, dan letaknya juga harus
terisolasi dengan pertanaman pisang lainnya.

Teknologi Pemeliharaan Ternak Kambing
Pemeliharaan ternak meliputi pembuatan
kandang, pakan, dan kesehatan ternak.

1. Pembuatan kandang
Letak kandang kambing tidak jauh dari areal

 
 
M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    137 
pertanaman kakao dan pisang, dan mudah dijangkau.
Kandang berbentuk panggung dengan tinggi 0,75 m
dari permukaan tanah, ukuran kandang lebar 2 m dan
panjang 6 m, sesuai untuk kapasitas kambing 10 ekor.
Pada kandang tersedia tempat pakan ternak yang
mempermudah pemberian pakan dan ternak
memakannya, sedangkan lantai dari reng kayu yang
disusun lebih jarang agar kotoran ternak dapat jatuh
ke bawah kandang. Agar kandang lebih sehat, letak
kandang memanjang arah Utara-Selatan.

2. Pakan ternak
Sebagai sumber pakan ternak digunakan
bahan hijauan dan bahan yang dapat diolah menjadi
konsentrat. Tersedia beberapa jenis pakan hijauan
daun yang dapat dijadikan pakan ternak antara lain:
pangkasan daun kakao, pangkasan glirisidia, daun
pisang, kulit pisang, dan rumput hijauan, sedangkan
yang dapat dijadikan konsentrat antara lain tepung
dari kulit buah kakao dan dedak.
a. Daun Pangkasan Tanaman Kakao
Pada populasi 600 tanaman/ha akan
dihasilkan daun kakao yang dapat digunakan sebagai
pakan ternak kambing 4,08 ton/tahun, jumlah ini
dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak 17
ekor/tahun. Pakan ternak ini diduga mengandung
keloid yang kurang baik untuk ternak kambing, oleh
sebab itu agar dapat dikonsumsi perlu perlayuan
terlebih dahulu sebelum dimakan ternak.
b. Daun Tanaman
Gliricidia
Daun pemangkasan tanaman pelindung
gliresidia juga merupakan pakan ternak yang cukup
baik, kebutuhan pakan seekor kambing dapat
dipenuhi oleh 180 batang
gliricidia /tahun sehingga
untuk 10 ekor kambing dapat dipenuhi oleh 1800
batang
gliricidia /tahun atau lebih kurang 2 ha
pertanaman kakao. Untuk mendapatkan persediaan
pakan ternak dari tanaman
gliricidia, tanaman ini
perlu dipelihara dengan teratur, yaitu dilakukan
pemangkasan yang baik, selain daunnya untuk
ternak juga sebagai pemeliharaan tanaman. Daun
gliricidia sebelum diberikan kepada ternak, terlebih
dahulu dilayukan agar tannin dan keloid yang
dikandungnya berkurang dan tidak menimbulkan
efek negatif kepada ternak.
c. Kulit Pisang
Pengolahan pisang baik dijadikan keripik
maupun pisang sale akan mendapat hasil samping
kulit pisang segar. Bersamaan dengan mengolah
setiap ton keripik dan pisang sale juga dihasilkan
kulit pisang sebanyak 1,3 ton kulit pisang. Jumlah
kulit pisang ini dapat memenuhi kebutuhan pakan
tambahan ternak sebanyak 8 ekor.
d. Daun Pisang
Daun pisang salah satu hijauan yang dapat
dijadikan pakan ternak kambing, setiap batang
pisang dapat menghasilkan sehelai daun pisang
setiap bulan. Jika setiap rumpun pisang terdiri dari
3-4 batang dan tiap hektar terdapat 120 rumpun
maka setiap hektar pertanaman pisang dan kakao
diperoleh 5.760 helai daun pisang, ini merupakan
jumlah yang cukup untuk menambah pakan hijauan
ternak kambing.
e. Serasah Gulma
Di areal pertanaman kakao terdapat
banyak tanaman liar yang dapat digunakan untuk
pakan hijauan ternak kambing, seperti rumpun hijau,
rumput alang-alang, kacang-kacangan dan
sebagainya. Untuk mempertahankan keberadaan
hijauan liar ini, pengendalian gulma di areal
tanaman kakao dilakukan secara manual, tidak
dilakukan dengan menggunakan herbisida.
f. Kulit Buah Kakao
Potensi kulit buah kakao menjadi pakan
ternak sangat besar. Setiap 1 ton biji kering kakao
yang dihasilkan, bersamaan dengan itu juga
dihasilkan 2,2 ton kulit buah kakao. Kulit buah kakao
menjadi pakan ternak memerlukan fermentasi
terlebih dahulu, fermentasi bertujuan untuk: (a)
meningkatkan kandungan protein, (b) menurunkan
kandungan serat kasar, dan (c) menurunkan
kandungan tannin. Bagan proses pengolahan kulit
buah kakao menjadi pakan ternak sebagai berikut:
 
 
Gambar 5. Skema proses pengolahan kulit buah kakao (Sumber: Goenadi & Pronowo, 2007; Guntoro, 2008) 
Figure 5. The scheme of cocoa pod husk processing (Source: Goenadi & Pronowo, 2007; Guntoro, 2008)

 

138 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 
3. Kesehatan ternak
Ternak kambing sangat rawan terhadap
serangan penyakit, oleh sebab itu pencegahan
dilakukan terus-menerus secara berkala. Setiap
sebulan dilakukan suntikan pencegahan (imunisasi),
vitamin, dan sebagainya. Kandang harus bersih,
kotoran ternak yang dihasilkan langsung
dimasukkan dalam bak pengompos.

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Teknologi budidaya kakao, pisang, dan
kambing terpadu perlu diarahkan pada beberapa hal
sebagai berikut:
1. Pemanfaatan lahan di antara tanaman kakao
yang mati dan menjadikan tanaman pisang
sebagai tanaman pelindung permanen.
2. Meningkatkan pemeliharaan kakao dan
mengurangi serangan penyakit pisang melalui
penanaman di antara kakao.
3. Pengembangan produk berbahan baku buah
pisang dan kakao dengan teknologi perbaikan.
4. Pemanfaatan pangkasan kakao, kulit kakao,
pangkasan tanaman pelindung, kulit pisang dan
biomassa lainnya untuk pakan ternak.
5. Pemanfaatan limbah tanaman kakao, tanaman
pelindung, tanaman pisang, dan kotoran ternak
untuk pupuk organik.
Sementara itu, strategi yang diperlukan
dalam mempercepat implementasi inovasi teknologi
budidaya kakao dan pisang terpadu meliputi:
1. Pembentukan kawasan-kawasan budidaya kakao
dan pisang terpadu dalam satu kesatuan
budidaya seluas 20 ha.
2. Pembentukan gabungan kelompok tani
berdasarkan kawasan-kawasan tersebut.
3. Diseminasi, sosialisasi, dan pelatihan petani
untuk menyatukan pemikiran dan rencana
kegiatan.
4. Membentuk unit pengolahan hasil dan sampai
kepada produk yang lebih hilir serta pemasaran.


PENUTUP

Budidaya tanaman kakao dan pisang
terpadu dapat memberikan beberapa keuntungan,
antara lain: (1) meningkatkan produktivitas tanaman
kakao dan mengembangkan tanaman pisang yang
bebas dari serangan penyakit; (2) kembali
menyediakan bahan baku untuk meningkatkan
industri rumah tangga yang mulai mengalami
kekurangan pasokan; (3) meningkatkan pemanfaatan
lahan, pangkasan tanaman kakao dan pisang untuk
ternak, dan memproduksi pupuk organik secara
mandiri; (4) lebih menjamin pendapatan petani,
apabila salah satu dari tanaman dan ternak yang
diusahakan mengalami penurunan harga atau
produksi; dan (5) berwawasan lingkungan karena
menggunakan bahan organik.
Budidaya tanaman pisang dan kakao
terpadu dapat dilakukan melalui: (1) sosialisasi dari
inovasi budidaya kakao dan pisang terpadu kepada
petani dan pemerintah daerah setempat; (2)
membentuk kawasan-kawasan budidaya tanaman
kakao dan pisang terpadu di daerah sentra tanaman
kakao dan sentra tanaman pisang seperti di Aceh,
Lampung dan Sulawesi; (3) memperkuat
kelembagaan petani untuk mengembangkan
agroindustri berbahan baku kakao dan pisang.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2014).
Angka tetap sensus
pertanian 2013: Rata-rata pendapatan per
rumah tangga pertanian menurut sumber
pendapatan utama dan sumber
pendapatan/penerimaan selama setahun yang
lalu (000 Rp).
Retrieved from
http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/ta
bel?search-tabel=Rata-
rata+Pendapatan+Per+Rumah+Tangga+Pe
rtanian+Menurut+Sumber+Pendapatan+Ut
ama+dan+Sumber+Pendapatan%2FPenerim
aan+Selama+Setahun+yang+Lalu+%28000
+Rp%29&tid=73&search-
wilayah=Indonesia&wid=0000000000&lang
=id.
Baon, J.B., & Wibawa. (2000). Pertumbuhan tanaman
kopi muda yang diinokulasi jamur mikoriza
arbuskular dan produksi awalnya.
Pelita
Perkebunan
, 16, 132-141.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2012). Statistik
perkebunan Indonesia 2002-2010: Kakao (p.
52). Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan.
Febryano, I. G. (2010). Agroforestri kakao di lahan
hutan negara dan lahan milik.
Jurnal Perenial,
4(1), 41-47.
Febryano, I.G., Suharjito, D., & Soedomo, S. (2009).
Pengambilan keputusan pemilihan jenis
tanaman sela dan polatanam di lahan negara
dan lahan milik: Studi kasus di Desa Sungai
Langka, Kecamatan Gedong Tatan, Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung.
Forum
Pascasarjana
, 32(2), 129-143.
Ferry, Y., Towaha, J., & Sasmita, R.R.K. (2013).
Pemanfaatan kompos tanaman air sebagai
pembawa inokulum mikoriza pada budidaya
lada perdu di lahan bekas tambang timah.
Jurnal Littri, 19(1), 15-22.
Gandry, F., Diem, H.G., & Dommergues, Y.R. (1982).
Effect of inoculation with Glomus mosseae on
nitrogen fixation by field grown soybeans.
Plant and Soil, 68, 321-329.
Goenadi, D.H. (1994). Peluang aplikasi mikroba
dalam menunjang pengelolaan tanah
perkebunan.
Bul. Biotek Perkebunan, 1(1), 17-
22.
Goenadi, D. H., & Pranowo, A. A. (2007).
Kulit buah
kakao sebagai pakan ternak
. Paper presented
at
Seminar dan Ekspose Sistem Integrasi
Tanaman Pangan dan Ternak. Bogor, 22-23
Mei 2007.

 
 
M. Syakir dan Yulius Ferry: Inovasi Teknologi Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, Dan Ternak Kambing Terpadu...                                    139 
Guntoro, S. (2008). Membuat pakan ternak dari
limbah perkebunan
(p. 76). Jakarta: PT.
Agromedia Pustaka.
Hindersah, R., & Simarta, T. (2004). Potensi
rizobakteri azotobacter dalam meningkatkan
kesehatan tanah.
J. Natur Indonesia, 5(2),
127-133.
Iswanto, A., & Yunianto, D. (1987). Pengaruh ukuran
bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk
dan berat biji kakao.
Pelita Perkebunan, 3,
185-188.
Iswanto, A., & Winarno. (1999). Cacao breeding at
RIEC Jember and the role of planting material
resistant to VSD and black pod. In P. J. Keane
& C. A. J. Putter (Eds).
Cacao Pest and
Disease Management in Southeast Asia and
Australia
(pp. 163-169). FAI Plant Production
and Protection Paper No. 112
.
Kasumadati, W., Sutardi, & Kartika, B. (2002). Kajian
penggunaan bebagai metode pengeringan dan
jenis mutu biji kakao lindak terhadap sifat-
sifat kimia bubuk kakao.
Gama Sains IV, 2,
102-111.
Makka, D. (2004). Tantangan dan peluang
pengembangan agribsinis kambing ditinjau
dari aspek pewilayahan sentra produksi
ternak.
Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong: Kebutuhan Inovasi
Teknologi Mendukung Agribisnis Kambing
yang Berdaya Saing
. Bogor, 6 Agustus 2004.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.
Nadeak, N., Qurniati, R., & Hidayat, W. (2013).
Analisis finansial polatanam agroforestry di
Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang
Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi
Lampung.
Jurnal Sylva Lestari, 1(1), 65-74.
Nancy, C., & Supriadi, M. (2005). Karakterisasi sosial
ekonomi peremajaan dan pengembangan
karet rakyat partisipatif di Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Jurnal
Penelitian Karet,
23(2), 87-113.
Nurbaity, R., Herdiyanto, D., & Mulyani, O.
(2009).
Pemanfaatan bahan organik pembawa
inokulum fungi mikoriza arbuskula.
Jurnal
Biologi
, XIII(1), 7-11.
Obiri, B.D., Bright, G.A., Mcdonald, M.A., Angglaaere,
L.C.N., & Cobbrina, J. (2007). Financial
analysis of shaded cocoa in Ghana.
Agroforestry System. 71, 139-149.
Pancaningtyas, S. (2013). Evaluasi kuantitas dan
hiperhidrisitas embrio somatik kakao pada
kultur padat, kultur cair, dan subkultur
beruntun.
Pelita Perkebunan, 29(1), 10-19.





Pattimahu, D. V. (2004).
Restorasi lahan kritis pasca
tambang sesuai kaidah ekologi
(p. 18).
Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB.
Priyanto, D. (2008). Model usahatani integrasi kakao
kambing dalam upaya peningkatan
pendapatan petani.
Wartazoa, 18(1), 46-56.
Pujianto, & Prawoto, A. (2004). Konservasi hara di
perkebunan kakao.
Prosiding Simposium
Kakao
(pp. 131-147). Jogjakarta, 4-5 Oktober
2004.
Sastrosiswojo, S. (1999). Program pengendalian hama
terpadu pada tanaman kakao.
Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao
, 15(3), 264-273.
Setiadi, Y. (2002). Peranan mikoriza arbuskula dalam
rehabilitasi lahan kritis di Indonesia
.
Prosiding Seminar Nasional Mikoriza.
Bandung, 23 April 2001. Asosiasi Mikoriza
Cabang Jawa Barat.
Siregar, T. H. S., Riyadi, S., & Nuraeni. (1994).
Budidaya, pengolahan, dan pemasaran coklat
(p. 170). Seri Pertanian – Lxxxv/278/88.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Soedarsono. (1997). Pengaruh jumlah cabang dan
cabang primer terhadap pertumbuhan dan
produksi kakao.
Pelita Perkebunan, 13(1), 8-
16.
Soeseno, L., Mugiastuti, E., Ahmad, F., & Witjahsono.
(2012). Diagnosis lima penyakit utama karena
jamur pada 100 kultivar pisang.
J. HPT., 12(1),
36-45.
Sulistyowati, E., Juminanto, Y. Dj., Mufrihati, E., &
Wahab A. (2002). Keefektifan jamur
Paecilomyces fumosoroseus untuk
mengendalikan penggerek buah kakao
(
Conopomorpha cramella). Pelita Perkebunan,
18(3), 120-128.
Susanna. (2011). Pemanfaatan bakteri antagonis
sebagai agen biokontrol penyakit layu
(
Fusarium oxysporum sp.) pada tanaman
pisang.
Posren In Jurnal, 2 (2).
Susanto. 2012.
Budidaya Tanaman Kakao
(
Theobroma cacao L.). Gresik: Himpunan
Mahasiswa Agroteknologi, Universitas
Muhamadyah.
Tjahyana, B. E. (2013).
Penelitian sambung samping
beberapa klon kakao dan pemupukan pada
kakao rakyat
. Laporan Tengah Tahun 2013 (p.
11) Balai Penelitian Tanaman Industri dan
Penyegar.
Wibawa, A., & Baon, J.B. (1990). Pengaruh mikoriza
ber-VA dan sumber fosfat terhadap
pertumbuhan kopi.
Prosiding Simposium Kopi
(pp. 216-218). Surabaya, 20-21 November
1990.

 

140 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao