Available online through http://ejournal.undip.ac.id/index.php/modul
positivisme dan post positivisme

Hendrianto Sundaro 21

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X
POSITIVISME DAN POST POSITIVISME :
REFLEKSI ATAS PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
DAN PERENCANAAN KOTA DALAM TINJAUAN FILSAFAT ILMU
DAN METODOLOGI PENELITIAN


Hendrianto Sundaro

*) Corresponding author email : [email protected]

Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Semarang. Menara USM Lt 7,
Jl Soekarno Hatta, Semarang- Indonesia




Abstract

Sebagai paradigma ilmu pengetahuan,
Positivisme dan Post positivisme telah memberikan
pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia
termasuk didalamnya adalah perkembangan kota yang
menjadi pusat peradaban manusia. Dalam proses
tersebut, filsafat dan metodologi penelitian memiliki
peran penting bukan hanya dalam membentuk ilmu
pengetahuan tetapi juga meninjau eksistensi ilmu
pengetahuan. Meninjau eksistensi ilmu pengetahuan
melalu kacamata filsafat dan bukan oleh ilmu itu
sendiri adalah agar dapat menempatkan ilmu
pengetahuan secara jujur dan obyektif. Artikel ini
bertujuan untuk : 1) Mendeskripsikan sejarah
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, 2)
MengetahuI esensi dari filsafat ilmu dan
kedudukannya dalam konstelasi ilmu pengetahuan
(science), 3) Mengetahui keterkaitan filsafat ilmu
dengan paradigma positivisme dan post-positivisme
dalam metodologi penelitian serta 4) Mengetahui
kontribusi positivisme dan post positivisme terhadap
perkembangan kota. Metode yang digunakan dalam
penulisan artikel ini adalah studi literatur dengan
pendekatan deskriptif-kualitatif. Data yang digunakan
adalah data sekunder berupa hasil-hasil pemikiran
yang dituangkan dalam buku dan jurnal baik nasional
maupun yang terakreditasi yang memuat topik tentang
filsafat, positivisme dan post positivisme, metodologi
penelitian dan perkembangan kota / perencanaan
wilayah dan kota.

Kata Kunci: Positivisme; pos-positivisme; Filsafat
ilmu; Metodologi Penelitian; Perencanaan wilayah dan
kota

PENDAHULUAN
Positivisme dan Post positivisme sebagai
paradigma ilmu pengetahuan telah memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, tidak terkecuali pada bidang
perencanaan wilayah dan kota. Perkembangan dalam
teori perencanaan wilayah dan kota banyak
dipengaruhi oleh pemikiran kedua paradigma tersebut.
Menurut Ritzer (2009), paradigma membantu
merumuskan tentang apa dan bagaimana persoalan
harus dipelajari dan mesti di jawab. Cara pandang atau
disebut juga dengan paradigma adalah asumsi-asumsi
dasar yang diyakini ilmuwan dan menentukan cara dia
memandang gejala yang ditelaahnya (Sulaiman,
2018)
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, paradigma
dipengaruhi oleh filsafat yang dalam periodesasi
perkembangannya sudah di mulai sejak abad ke 6 SM.
Sejarah panjang filsafat telah memberikan pengaruh
luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan
yang mendorong kemajuan peradaban manusia.
Meski perkembangan ilmu pengetahuan telah
memberikan pengaruh besar bagi kemajuan peradaban
manusia bukan berarti dunia kita saat ini terbebas dari
persoalan, atau, ilmu pengetahuan telah bebas dari
kesalahan. Berbagai malapetaka besar dalam sejarah
peradaban manusia juga terjadi pada saat yang
bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Perang dan penghancuran etnik, bencana alam dan
degradasi lingkungan, wabah (pandemi) dan beragam
penyakit sosial lainnya adalah fenomena mutakhir
Article info
MODUL vol 22 no 1, issues period 2022
Doi : 10.14710/mdl.22.1.2022.21-30
Received : 25
th
December 2021
Revised : 13
th
February 2022
Accepted : 26
th
may 2022

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
22

abad kontemporer yang ditandai dengan kemajuan
pesat ilmu pengetahuan.
Ironi tersebut telah memantik beragam
pertanyaan kritis tentang ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, yang menjadi pertanyaan bukan lagi semata-
mata scientific question tetapi juga persoalan ilmu itu
sendiri atau question about science (Hakim, 2020).
Pada umumnya para peniliti banyak menaruh minat
pada scientific question melalui evaluasi terhadap
praktik sebuah program pembangunan untuk
meminimalisisr ironi atau dampak negatif, sedangkan
penelitian yang terkait dengan question about science
yang mengetengahkan refleksi filosofis terhadap
science relative masih sedikit seperti penelitian yang
dilakukan Armawi, (Lingkungan, 2013) tentang kajian
filosofis terhadap pemikiran human ekologi dalam
pemanfaatan sumber daya alam menemukan bahwa
dalam perencanaan pembangunan tidak cukup hanya
dengan mempertimbangkan aspek teknis tetapi juga
aspek non teknis seperti nilai etis yang didasarkan
pada karifan manusia.
Perencanaan wilayah dan kota sebagai sebuah
disiplin ilmu dan praktik perencanaan juga
menghadapi tantangan yang relatif sama yakni masih
sedikitnya refleksi filosofis terkait dengan pandangan
positivisme dan post positivisme terhadap bidang
perencanaan wilayah dan kota sebagai sebuah disiplin
ilmu pengetahuan, padahal kompleksitas persoalan
dalam dinamika perkembangan kota menuntut
perlunya refleksi filosofis agar ilmu perencanaan
wilayah dan kota dapat terus memberikan
kemaslahatan bagi umat manusia utamanya terkait
dengan kehidupan di wilayah perkotaan.
Pada tahap inilah refleksi filosofis atas hakekat
keberadaan ilmu pengetahuan menjadi sebuah
kebutuhan. Alih-alih memberikan jawaban praktis,
artikel ini lebih merupakan refleksi filosofis terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan termasuk
perkembangan dalam teori-teori perencanaan.
Artikel ini mengetengahkan beberapa
pertanyaan relektif seperti: Apa yang dimaksud
dengan filsafat ilmu dan bagaimana kedudukannya
dalam konstelasi ilmu pengetahuan (science) ?
Bagaimana keterkaitan filsafat ilmu dengan paradigma
positivisme dan post-positivisme dalam metodologi
penelitian ? dan terakhir, apa kontribusi positivisme
dan post positivisme terhadap teori perencanaan
wilayah dan kota ?
Sebelum membahas pertanyaan-pertanyan
tersebut, artikel ini berupaya mendekripsikan
ringkasan sejarah perjalanan filsafat dan ilmu
pengetahuan sebagai dasar untuk memahami
perkembangan ilmu pengetahuan yang telah
menbentuk konstruksi paradigmatik pengetahuan kita
saat ini.

DATA DAN METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel
ini adalah studi literatur dengan pendekatan deskriptif-
kualitatif yakni mendekripsikan filsafat ilmu yang
dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan perencanaan wilayah/kota. Melalui filsafat dapat
dijumpai pandangan-pandangan tentang apa saja
(kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan)
dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual
(Bagir, 2005).
Data yang digunakan yakni data sekunder berupa
literatur yang bersumber dari buku maupun jurnal baik
nasional maupun terindeks, yang memuat topik
tentang filsafat ilmu, paradigma positivisme dan post
positivisme, metodologi penelitian (kuantitatif dan
kualitatif) dan perencanaan wilayah/kota, Adapun
sumber-sumber referensimyang digunakan dalam
studi literature ini sebagaimana terlihat dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Sumber referensi
Topik Penulis Ringkasan
Metodologi Atmadja, 2013;
Creswell, 2017;
Ginting dan
Situmorang,
2008; Hakim,
2020; Sulaiman,
2018;
Sumantri, 1995;
;
Membahas tentang
paradigma penelitian
dan pendekatan
kuantitatif -
kualitatiff dalam
penelitian
Filsafat ilmu Bagus, 2002;
Fadli, 2021;
Karim, 2014;
Komara, 2020;
Munir, 2004;
Nugroho, 2016,
Ritzer, 2009;
Ravertz, 2004;
Susanto,, 2011;
Membahas tentang
sejarah
perkembangan
filsafat dan ilmu
pengetahuan, Aliran
pemikiran filsafat
khususnya filsafat
rasionalisme dan
empirisme serta
aliran positivism dan
post positivism serta
membahas pula
tentang filsafat ilmu.
Perencanaan
Wilayah dan
Kota
Escobar, 1992;
Dodero, 2010;
Nurmandi, 2007;
Putra & Hidayat,
2017; Priyani,
2007; Royat,
2004;
Membahas tentang
teori perencanaan dan
pengembangan kota
serta keterkaitannya
dengan pandangan
positivisme dan post
positivisme.

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
23

Sumber: Penulis, 2021. Diolah dari beragam sumber
Gambar 1: Periodesasi Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat Abad Pertengahan
Abad kegelapan,Hegemoni gereja,
Anchia teologiae
Filsafat sebagai induk ilmu
pengetahuan
Periode Klasik Periode Abad Pertengahan
6 SM - 6 M 7 M - 14 M
Filsafat Klasik
Scotus Eriugena (815-877 M),
Santo Anselmus (1034-1109 M),
Roschellinus (1050-1120 M),
Santo Thomas Aquinas (1225-
1247 M)

Socrates (470-399 SM)
Plato (427-374 SM)
Aristoteles (384-322 SM
Plotinus (205-70 SM)

21 M
Terpisahnya
ilmu
pengetahuan
dari filsafat
Renaisance dan Aufklarung
Filsafat Modern Filsafat kontemporer
Berkembangnya disiplin
ilmu baru
Periode Abad Modern Periode Abad Kontemporer
Munculnya beragam
ilmu baru yg mandiri
Penemuan2 baru yg memacu revolusi,
degradasi lingkungan, disrupsi
Rasionalisme,empirisme,
idealisme, positivisme
Revolusi Industri
Munculnya filsafat ilmu
Berkembangnya post-positivisme
15 M , 16 M,- 17 M 18 M
Copernicus (1473-1543 M),
Kepler (1571-1630 M), Galileo-
Galilei (1584-1642 M), Rene
Descartes (1596-1650 M), Isaac
Newton (1643-1727), Immanuel
Kant (1724-1804)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah singkat perkembangan filsafat: Dari
filsafat klasik hingga filsafat modern dan
munculnya filsafat ilmu.
Dalam sejarahnya, ilmu pengetahuan telah
melawati berbagai tahapan perkembangan yang
tercermin dari perkembangan peradaban manusia.
Dalam proses tersebut banyak pemikir-pemikir
besar yang telah memberikan pengaruh terhadap
jalannya perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
hingga saat ini. Sampai dengan abad 17 M, yang
dimaksud dengan ilmu pengetahuan adalah filsafat.
Awal mula kemunculan filsafat (barat) adalah pada
sekitar abad ke 6 SM di Yunani. Dalam sejarah
filsafat, dikenal beberapa kategorisasi dan filsuf yang
hidup pada kurun waktu yang berbeda. Kategorisasi
tersebut adalah filsafat klasik, filsafat abad
pertengahan, dan filsafat modern. (Agriyanto &
Rohman, 2015:40 dalam Fadli, 2021).
Periode filsafat klasik berlangsung pada sekitar
abad 6 SM sampai abad 6 M (Karim, 2014). Puncak
kejayaan filsafat pada periode filsafat klasik adalah
pada masa Aristoteles (Ravertz, 2004). Perkembangan
filsafat periode abad pertengahan di eropa erat
kaitannya dengan kondisi sosial politik masa itu yang
ditandai dengan dominasi dan hegemoni gereja.
Filsafat masa itu lebih pada pengejawantahan doktrin
gereja (Anchila Teologiae). Periode abad pertengahan
dikenal sebagai abad kegelapan. Periode ini
berlangsung sejak sekitar abad 7 M hingga 14 M.
(Karim, 2014). Periode abad kegelapan yang panjang
menyebabkan kemunduran besar di eropa dan
mendorong munculnya gerakan renaisance dan
aufklarung yang berlangsung sepanjang abad ke 15 M
dan 16 M (Karim, 2014). Pada masa renaisance ilmu
pengetahuan dan seni berkembang dengan pesat. Era
itu sekaligus menandai dimulainya periodesasi filsafat
abad modern pada sekitar abad 17 M. Pada periode
ini, pemikiran-pemikiran filsafat mengalami masa
kejayaan dengan munculnya berbagai aliran filsafat
seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme,
dan positivisme.
Era filsafat dalam pengertiannya sebagai ilmu
pengetahuan berakir pada sekitar abad 17 M atau awal

abad 18 M. Pada era ini pula kedudukan filsafat
sebagai induk ilmu pengetahuan mulai mendapatkan
kritik yang mendorong berpisahnya ilmu pengetahuan
dari filsafat dan lahirnya berbagai disiplin ilmu baru
yang lebih spesifik seperti biologi, astronomi,
ekonomi, matematika, fisika, kimia, sosiologi dsb.
Banyaknya ragam ilmu pengetahuan menandakan di
mulainya abad kontemporer yang berlangsung sejak
berpisahnya ilmu pengetahuan dengan filsafat pada
akhir abad 17 M hingga saat ini. Perkembangan ilmu
pengetahuan paling kontemporer adalah terkait dengan
penemuan fiber optic yang mendorong penggunaan
teknologi informasi dan artificial inteligent hingga
melahirkan revolusi industri ke 4 yang memicu
terjadinya disrupsi di berbagai bidang kehidupan.

Filsafat ilmu dan kedudukannya dalam konstelasi
ilmu pengetahuan (science)
Di satu sisi, pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan telah mendorong kemajuan peradaban
manusia, namun di sisi yang lain, perkembangan ilmu
pengetahuan juga menimbulkan kekhawatiran terkait
dengan masa depan kehidupan manusia dan alam
semesta. Berbagai malapetaka hebat dalam sejarah
umat manusia seperti perang dan bencana alam,
wabah dan beragam penyakit sosial hadir pada saat
yang bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Ironi tersebut mendorong pertanyaan-pertanyaan kritis
dan reflektif terkait peran ilmu pengetahuan yang
tidak hanya memberi manfaat tetapi juga berpotensi

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
24

membawa kehancuran bagi peradaban dan masa depan
umat manusia.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
dibutuhkan pendekatan filsafat. Menelaah ilmu
pengetahuan lewat kacamata filsafat dan bukan oleh
ilmu itu sendiri adalah agar kita dapat mendudukkan
ilmu pengetahuan secara jujur dan obyektif (Hakim,
2020). Melihat ilmu dari kacamata filsafat,
merefleksikan ilmu secara kefilsafatan adalah subyek
pembahasan dalam filsafat ilmu (Sumantri, 1995).
Dengan kata lain filsafat ilmu dibutuhkan untuk
rerefleksikan dinamika perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat di abad kontemporer ini.
Beerling (dalam Susanto, A, 2011) menyatakan
bahwa filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-
ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperoleh pengetahuan tersebut. Pada dasarnya
filsafat ilmu berusaha melihat persoalan-persoalan
elementer terkait ilmu pengetahuan. (Hakim, 2020).
Dalam filsafat ilmu terdapat tiga hal pokok yang
menjadi fokus kajiannya yakni, ontology,
epistemology dan axiology. (Sumantri, 1995).
















Gambar 2. Kedudukan filsafat ilmu dalam
konstelasi ilmu pengetahuan (science)

Filsafat ilmu menjelaskan bagaimana
kedudukan perkara ilmu, apa yang menjadi landasan
asumsinya, bagaimana logikanya, apa hasil empirik
yang dicapai serta batas-batas kemampuannya.
(Komara, 2020). Ginting dan Situmorang (2008)
menyatakan bahwa filsafat ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap persoalan-persoalan mendasasar
ilmu pengetahuan seperti apa hakekat ilmu
pengetahuan (ontologi), bagaimana cara memperoleh
ilmu pengetahuan (epistemologi) dan apa fungsi ilmu
tersebut bagi kehidupan manusia (axiologi).
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat
pengetahuan atau epistemologi yang secara umum
menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk
pengalaman manusia juga mengenai logika dan
metodologi (Ginting, paham dan Situmorang, 2008).
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu baik ditinjau dari segi
ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Melalui filsafat ilmu, kita dapat meninjau
kembali, melihat lebih radikal dan kritis terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Tanpa evaluasi dan
kritik, tradisi ilmu akan stagnan dan tertutup. Dengan
kata lain posisi filsafat ilmu terhadap ilmu
pengetahuan adalah sebagai alat untuk meninjau
eksistensi ilmu pengetahuan. Karena perlunya evaluasi
dan kritik terhadap ilmu pengetahuan serta
penyelidikan terkait permasalahan yang dihadapi,
maka filsafat ilmu memiliki kaitan dengan
metodologi.

Keterkaitan filsafat ilmu dengan paradigma
positivisme dan post-positivisme dalam metodologi
penelitian.
Melalui metodologi penelitian, ilmu
pengetahuan akan terus diproduksi dan diuji sehingga
akan terus mengalami perkembangan. Sejarah telah
menunjukkan betapa pemikiran-pemikiran filsafat
telah memberikan pengaruh terhadap cara pandang
manusia dalam memahamai suatu fenomena/gejala
dan realitas. Cara pandang atau disebut juga dengan
paradigma adalah asumsi-asumsi dasar yang diyakini
ilmuwan dan menentukan cara dia memandang gejala
yang ditelaahnya (Sulaiman, 2018). Paradigma
membantu merumuskan tentang apa dan bagaimana
persoalan harus dipelajari dan mesti di jawab (Ritzer,
2009). Pemikiran Thomas Kuhn dipandang sebagai
titik awal munculnya ide tentang paradigma yang
memberi pengaruh dalam perkembangan ilmu
pengetahuan (Nugroho, 2016).
Pentingnya paradigma dalam sebuah penelitian
menempatkan dalam layer utama dalam metodologi
penelitian yang mengarahkan peneliti untuk mencari
pendekatan yang tepat dalam menjawab permasalahan
penelitian yakni kuantitatif atau kualitsatif. Pilihan
atas pendekatan penelitian akan mengarahkan pada
strategi induktif atau deduktif dalam memperoleh data.












Gambar 3. Layer dalam metodologi penelitian

Ilmu
Pengetahuan


Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
Pengetahuan
Ontology
Axilogy
Epistemology
Filsafat
Ilmu

Paradigma:
Positivisme
Post
Positivisme



Pendekatan:
Kuantitatif
Kualtatif
Strategi:
Deduktif
Induktif

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
25

Terdapat sejumlah paradigma yang digunakan,
diantaranya adalah paradigma positivisme dan post-
positivisme yang banyak memberikan pengaruh
terhadap metodologi penelitian. Sebagai sebuah
paradigma ilmu pengetahuan, positivisme telah
memberikan pengaruh yang sangat luas di berbagai
bidang pengetahuan yang lain. H.J. Pos bahkan
berpendapat bahwa sejarah ilmu pengetahuan di abad
19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme (Nugroho,
2016).
Positivisme adalah paradigma ilmu
pengetahuan yang berakar pada filsafat empirisme.
Filsafat empirisme mengajarkan bahwa pengetahuan
secara keseluruhan atau parsial didasarkan pada
pengalaman yang menggunakan indera, bahwa sumber
pengetahuan harus dicari dalam pengalaman (Bagus,
2002). Para pengikut aliran empirisme berpandangan
bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk
dengan menggabungkan apa yang dialami,
pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan dan bukan akal (Al Munir, 2004).
Penyokong aliran empirisme diantaranya adalah John
locke, Bishop Berkeley dan David hume.
Ajaran filsafat empirisme ini mempengaruhi
pandangan positivisme. August Comte adalah filsuf
berkebangsaan Prancis yang hidup di abad 18. Ia
dikenal sebagai tokoh pencetus positivisme. Istilah
positivisme sendiri pertama kali diperkenalkan oleh
Saint Simon pada sekitar tahun 1825 namun baru
dikenal luas sejak August Comte menulis karyanya
yang berjudul “Cours de Philosop Positive” (Ginting
dan Situmorang, 2008). Jauh sebelumnya, sekitar
tahun 1.600 M, Francis Bacon telah mengembangkan
prinsip filosopis positivisme.
Dalam positivisme segala sesuatu atau gejala
harus dapat diukur secara positif atau pasti sehingga
dapat dikuantifikasikan. Hal tersebut tidak hanya
berlaku untuk ilmu alam tetapi juga ilmu sosial.
Menurut Comte, fenomena sosial maupun perilaku
sosial memiliki karakteristik yang sama dengan
fenomena alam, karena kemiripan kedua fenomena
tersebut maka metode penelitian ilmu alam dapat
dipakai untuk melakukan penelitian ilmu sosial.
Dalam pandangan August Comte, teori haruslah
berciri nomotetik, berdasarkan pada fakta empiris
yang kasat mata, terukur dan dapat digeneralisasi.
Klain ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenarannya
melalui metode ilmu alam (science) (Atmadja, 2013).
Positivisme juga berpandangan bahwa realitas bersifat
obyektif, tunggal, bahwa ilmu pengetahuan bersifat
bebas nilai. Dalam konsepsi ini paham positivistik
melahirkan pendekatan penelitian kuantitatif yang
dicirikan oleh pengukuran dengan perhitungan angka
(numerik).
Meski memiliki pengaruh yang besar,
positivisme tak luput dari kritik. Kritik terhadap
positivisme mulai muncul tahun 1970-1980 an. Kritik
terhadap positivisme lebih kepada penolakan terhadap
pandangan positivisme yang menyamakan ilmu-ilmu
tentang manusia dengan ilmu alam. Manusia bukanlah
benda mati yang mudah diukur, apalagi dengan angka-
angka. Mereka berpendapat bahwa kebenaran tidak
hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di
balik fakta tersebut. Dalam ilmu sosial yang kajiannya
adalah manusia dan bukan benda, maka pendekatan
kuantitatif sulit untuk dilakukan. Pandangan ini
kemudian dikenal sebagai Post-positivisme yang
dipelopori oleh Karl Popper, Thomas Kuhn dan para
filsuf mazhab frankfurt.
Bertolak belakang dengan pardigma
positivisme, post positivisme lebih menekankan pada
penjelasan-penjelasan atau deskripsi kualitatif bukan
kuantitatif. Paradigma post-positivistik juga
beranggapan bahwa realitas bersifat subyektif dan
jamak serta pengetahuan bersifat tidak bebas nilai.
Melihat banyaknya kekurangan pada positivisme, para
pendukung post positivisme berupaya memperkecil
kelemahan tersebut dan menyesuaikan. Prediksi dan
kontrol tetap menjadi tujuan dari post positivisme
(Guba, 1990 dalam Putra & Hidayat, 2017) Dengan
demikian paradigma ini sesungguhnya memperbaiki
kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan
pada realitas empiris.
Dari penjelasan diatas, dapat dirumuskan
asumsi keterkaitan antara filsafat ilmu dengan
paradigma positivisme dan post positivisme
sebagaimana tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Asumsi keterkaitan filsafat Ilmu dengan
positivisme dan post positivisme
FILSAFAT
ILMU
METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma
Positivisme Post-positivisme
Ontology Realitas obyektif
dan tunggal
Realitas subyektif
dan jamak
Epistemolo
gy
Kuantitatif
Deduktif
Bebas Nilai
Kualitatif
Induktif
Tidak Bebas Nilai
Aksiology General Lokal / Particular /
Ideografik

Meskipun terdapat perbedaan yang besar antara
paradigma positivisme dan post positivisme, namun
keduanya memiliki dasar asumsi dan logika yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan
demikian perbedaan keduanya bukan untuk
dipertentangkan tetapi justru untuk saling melengkapi
dan untuk memperkaya wawasan, sebagaimana
terlihat pada gambar 4. Kontribusi data dan informasi
baik yang bersumber dari paradigma positivistik
dalam bentuk kuantitatif (deduktif) maupun yang

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
26

1

E
Data
Data


4
A
Review 2

Hypothesis
3

Hypothesis
D
Conclusion
Conclusion


6
C
Analysis
Analysis


5
B
Theory
Theory
QUANTITATIVE
1-2-3-4-5-6
Theory testing
Deductive
Begin with theory
QUALITATIVE
A-B-C-D-E
Theory Building
Inductive
Ends with theory
bersumber dari paradigma post positivistik dalam
bentuk kualitatif (induktif) diperlukan sebagai
perspektif tambahan yang dapat saling melengkapi
menuju terbangunnya “body of knowledge” (Newman
dan Benz,1998 dalam Setioko, 2011).
Melalui ide Thomas Kuhn, Guba dan Lincoln
kemudian mempertajam dalam melakukan penelitian
baik kuantitatif maupun kualitatif (Sulaiman, 2018).














Gambar 4. Daur Penelitian Deduktif-Induktif
Sumber: Newman and Benz, 1998 dalam
Setioko, 2011

Apabila setiap jenis pengumpulan data
memiliki kekuatan dan kelemahan, maka kita dapat
mempertimbangkan untuk mengkombinasikan
keduanya (Creswell, 2017). Gagasan untuk
mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif ini kemudian memunculkan metode baru
yang disebut metode campuran (mixed method)
(Creswell, 2017).

Kontribusi positivisme dan post positivisme
terhadap perencanaan wilayah dan kota
Kota adalah cermin peradaban manusia.
Dinamika perkembangan kota yang cepat membawa
dampak yang luar biasa bagi kehidupan warga kota.
Kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial sangat
mempengaruhi ritme kehidupan warga kota.
Kesibukan kota adalah ciri khas dari kehidupan
perkotaan yang menjanjikan banyak harapan kepada
siapa saja. Daya tarik kota telah mendorong laju
urbanisasi yang makin pesat. Kota-kota tumbuh dalam
desakan urbanisasi yang mendorong semakin
kompeksnya problematika perkotaan.
Problematika kota-kota nyatanya bukan lagi
sekedar permasalahan fisik kota dan bagaimana
pemerintah kota mampu memfasilitasi aktivitas warga
kota. Permasalahan kota-kota juga terkait dengan
bagaimana mewujudkan tempat yang nyaman dan
aman yang bukan sekedar dalam pengertian fisik atau
materi tetapi juga terkait dengan spirit dan nilai-nilai
perkotaan yang humanis agar kota menjadi tempat
yang aman dan nyaman untuk ditinggali. Problematika
kota yang bukan hanya terkait aspek fisikal tetapi juga
non fisikal telah menjadi issu dalam ranah akademik
khususnya di bidang perencanaan wilayah dan kota.
Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
juga memberikan pengaruh besar pada perkembangan
kota-kota terutama kota-kota industri. Sejak
dimulainya revolusi industri abad 18 di eropa, struktur
masyarakat mengalami perubahan dari masyarakat
feodal ke masyarakat kapitalis-borjuis dan terus
berkembang menjadi masyarakat modern yang
bercirikan industrialis. Dalam terminologi Marxian
perkembangan masyarakat tersebut melahirkan kelas
baru dalam masyarakat yakni kaum proletar, atau
kelompok miskin perkotaan yang tinggal di
lingkungan permukiman yang buruk.
Dari kondisi tersebut muncul pemikiran-
pemikiran baru untuk perubahan lingkungan. Gagasan
tersebut mengilhami perencanaan kota yang dikenal
dengan perencanaan utopis, yang sebagian gagasannya
seperti garden city yang dicetuskan oleh Ebenezer
Howard masih relevan hingga saat ini
(Gondokusumo,2002). Gagasan tentang desentralisasi,
zoning, mengintegrasikan elemen alam ke dalam kota,
greenbelt dan pengembangan masyarakat kota baru di
luar pusat kota bahkan telah menjadi dasar dari teori
perencanaan modern (Gondokusumo, 2002). Para
pemikir utopis yang gagasannya memberikan
pengaruh besar dalam teori-teori perencanaan kota
pada periode-periode berikutnya diantaranya adalah
Ebenezer Howard (1850-1926), Robert Owen, Patric
Gaddes (1854-1932).
Dalam mengkaji pengembangan perkotaan di
Indonesia, terdapat dua pandangan dasar yang dapat
diterapkan untuk mengupas permasalahan serta
mengenali berbagai problematika yang dihadapi.
Pertama, dengan menggunakan cara pandang kota
sebagai dimensi fisik dari kehidupan dan kegiatan
usaha manusia yang memberikan berbagai implikasi
pada aspek-aspek pembangunan. Kedua, kota
dipandang sebagai bagian dari suatu sistem yang
menyeluruh dari kehidupan dan kegiatan usaha
manusia dan masyarakat yang saling terkait dengan
upaya pada aspek-aspek pembangunan lainnya
(Royat, 2004). Cara pandang pertama dan kedua
tersebut sesungguhnya mengarah pada perencanaan
fisik (phisical planning). Perencanaan sebagai disiplin
ilmu dan praktek dapat dijelaskan sebagai kegiatan

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
27

manusia yang berorientasi pada masa depan.
Orientasi ke depan diasosiasikan melalui tindakan
preskripsi atau peramalan yang menjadi ciri
perencanaan (Priyani, 2007).
Selama beberapa dekade, konsep-konsep
perencanaan kota lebih berorientasi pada perencanaan
fisik yang secara epistemologis bersumber dari
paradigma positivistik (Nurmandi, 2007). Jejak
positivistime dalam perencanaan kota dapat ditelusuri





















Sejak abad 18 (utopis planning) hingga akhir
tahun 1960-an atau awal tahun 1970 -an
(comprehensive rational planning) sebagaimana
diperlihatkan pada gambar 5. Perencanaan rasional
(comprehensive rational planning) didasarkan pada
asumsi bahwa masyarakat "tidak tahu apa yang
mereka inginkan" atau hanya orang yang memiliki
kompetensi yang dapat memahami kebutuhan terbaik
untuk masyarakat. Turner (1972, dalam Dodero, 2010)
Artinya, pembangunan perkotaan membutuhkan
tindakan pemerintah dalam perencanaan melalui peran
perencana dengan prosedur dan teknik-teknik
perencanaan formal. Escobar (1992) menunjukkan
bahwa metode perencanaan ini didasarkan pada
identifikasi "masalah", yang dapat diatasi dengan
institusi top-down, diskrit dan praktek-praktek
"rasional" Periode tersebut bisa dikategorikan sebgai
periode perencanaan positivistik yang lebih
berorientasi pada perencanaan fisik. mekanis, dan
bersifat universal.
Dalam perkembangannya terdapat banyak
kritik terhadap positivisme termasuk dari tokoh-tokoh
pemikir eksakta. Paradigma positivistik yang hanya
berkutat pada angka-angka tidak lagi mampu
mengcover problem-problem sosial. Dalam pandangan
positivis, adalah alat untuk mengungkapkan kebenaran
universal. Kebenaran yang berlaku umum (dengan
kondisi – kondisi tertentu) dapat ditelusuri melalui
teori-teori sains. Pandangan ini kemudian dipatahkan
oleh aliran postmodern dan post-positivist yang
mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang
obyektif ataupun kebenaran mutlak yang bersifat
universal (Allmendinger, 2001, 2002a, 2002b dalam
Priyani, 2007).






















Pemikiran post-positivist adalah respon
terhadap ketidakberhasilan rasionalitas instrumental
yang tertanam dalam teori perencanaan prosedural dan
pembedaan perencanaan secara substansi dan prosedur
(Healey, 1997; Sandercock, 1998 dan Allmendinger,
2002 dalam Priyani, 2007). Perkembangan teori-teori
perencanaan kota pada akhir tahun 1960 atau awal
tahun 1970 an mulai mengakomodir pandangan-
pandangan post positivistik. Hal ini tercermin dari
teori advocacy planning, transactive planning,
concensus planning dan communicative planning. Ide
dasar tema ini adalah bahwa rencana harus dapat
dilaksanakan dan mulai terkait dengan kesetaraan,
komunikasi dan partisipasi dalam perencanaan.
Perencanaan yang dilakukan adalah untuk dan oleh
publik, karenanya kesetaraan, partisipasi publik
mutlak dibutuhkan dalam perencanaan.
Dalam tradisi perencanaan, teori perencanaan
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Teori
dalam perencanaan (theory in planning) yang
meminjam dari bidang ilmu lain seperti geografi,
ekologi, ekonomi, dll. Teori ini juga di kenal sebagai
teori substansi perencanaan. 2) Teori tentang
perencanaan (theory of planning). Teori ini membahas
tentang prosedur perencanaan seperti bagaimana
proses merencana dapat berjalan. Dengan kata lain
Gambar 5. Perkembangan Teori Perencanaan Kota dari positivistik ke post positivistik

Abad 18 1950 1980 Now 1960 1970 1990
POSITIVISME POST POSITIVISME
Comprehensive
Rational Planning
planning
Advocacy Planning
planning
Transactive Planning
planning
Concensus Planning
planning
Communicative
Planning
Utopis Planning
planning

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
28

teori ini membahas peran perencana dalam sebuah
proses perencanaan. 3) Teori untuk perencanaan
(theory for planning). Teori ini terkait dengan peran
perencanaan dalam komunitas atau masyarakat
(Priyani, 2007).
Perkembangan teori perencanaan prosedural
umumnya terkait dengan aspek domain publik
(definisi dan redefinisi tentang publik), model
perencanaan yang ideal, kelembagaan (siapa
perencana, mitra perencana, dan sumber) (Priyani,
2007). Hal senada juga dikemukakan oleh John
Friedman (1987 dalam Nurmandi, 2007) seorang ahli
perencanaan memberikan definisi yang lebih luas
mengenai planning sebagai upaya menjembatani
pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and
technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam
domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial
dan proses transformasi sosial yang melibatkan
kelembagaan social. Masalah kota yang kompleks
harus direspon dengan perspektif yang berbeda dan
tidak mampu diselesaikan secara positivistik dan
linear (Nurmandi, 2007).
Dari penjelasan diatas nampak bahwa terdapat
pergeseran pemikiran perencanaan yang bersifat
komprehensif (comprehensif nrational planning) yang
berakar pada paradigma positivistik ke perencanaan
komunikatif (communicative planning) yang berakar
pada paradigma post positivistik. Meski demikian hal
tersebut tidak berarti menegasikan pandangan
positivistik dalam disiplin ilmu perencanaan wilayah
dan kota. Dalam praktiknya kedua pandangan tersebut
bisa saling melengkapi, karena pada dasarnya
munculnya pandangan post positivisme merupakan
koreksi terhadap keterbatasan ataupun kekurangan
positivism dan hal tersebut juga berlaku dalam teori
perencanaan wilayah dan kota. Artinya, teori-teori
perencanaan wilayah dan kota akan terus beradaptasi
sesuai dinamika perkembangan masyarakat dan
kompleksitas permasalahan (perkotaan) yang ada di
dalamnya. Pendekatan komunikasi dan partisipasi
dalam teori perencanaan (communicative planning)
yang menekankan pada upaya komunikatif dan
partisipatif dalam proses perencanaan yang bermuara
pada konsesnsus dalam pemanfaatan ruang dapat
dianggap sebagai ujung perkembangan dari proses
evolusi teori perencanaan wilayah dan kota saat ini.
Dengan demikian positivisme dan post positivisme
sebagai sebuah pandangan filsafat sekaligus
paradigma dalam penelitian telah memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan
teori perencanaan wilayah dan kota.
Hasil/temuan penelitian ini memberikan
petunjuk sekaligus rekomendasi terutama bagi para
akademisi dan perencana kota bahwa refleksi filosofis
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
perencanaan kota haruslah menjadi bagian dari siklus
ilmu pengetahuan : Teori-praktik-refleksi (filosofis)
sehingga ilmu pengetahuan dapat terus berkembang
untuk kemaslahatan umat manusia. Dari penelitian ini
terdapat sejumlah keterbatasan yang dapat menjadi
agenda kedepan bagi para peneliti yang ingin
mendalami bidang perencanaan wilayah dan kota
terutama terkait dengan isu peran etik perencana kota
dalam mewujudkan kawasan perkotaan yang humanis
yang belum di bahas dalam penelitian ini.

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan dapat ditarik
kesimpulan sebagaimana tujuan dari penulisan artikel
ini yakni:
1) Perkembangan ilmu pengetahuan jika ditinjau dari
kemunculan filsafat dimulai sejak abad 6 SM. Dari
abad 6 SM hingga abad 17 M, yang dimaksud
denga ilmu pengetahuan adalah filsafat. Artinya
semua ilmu pengetahuan masih menginduk pada
filsafat. Filsafat adalah induk ilmu pengetahaun,
Baru setelah abad 17 M, ilmu pengetahuan
memisahkan diri dari filsafat dan membentuk
disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri. Sejak itu
ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat
pesat dengan munculnya spesialisasi bidang
keilmuan yang beragam yang mendor ong
munculnya berbagai revolusi yang mengubah
dunia. Pada konteks ini, ilmu pengetahuan
dihadapkan pada dua kenyataan sekaligus, sebagai
pendorong kemajuan peradaban manusia atau
(berpotensi) sebagai penghancur peradaban
manusia. Menyadari adanya ironi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul
filsafat ilmu pengetahuan yang berperan untuk
meninjau eksistensi ilmu pengetahuan agar ilmu
pengetahuan dapat tetap menjadi suluh bagi
kemajuan peradaban manusia dan bukan
sebaliknya.
2) Terkait posisi filsafat ilmu di dalam konstelasi ilmu
pengetahuan. Posisi filsafat ilmu adalah
menjelaskan bagaimana kedudukan perkara ilmu,
dengan meninjau persoalan-persoalan mendasasar
ilmu pengetahuan seperti apa hakekat ilmu
pengetahuan (ontology), bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan (epistemology) dan
apa fungsi ilmu tersebut bagi kehidupan manusia
(axiology). Sehubungan dengan posisi tersebut,
maka filsafat ilmu juga memiliki keterkaitan
dengan metodologi.
3) Filsafat ilmu memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan paradigma positivisme dan post
positivisme. Secara ontologi, paradigma
positivisme mamandang reaalitas bersifat obyektif
dan tunggal, sementara pandangan post
positivisme memandang realitas bersifat subyektif
dan jamak. Secara epistemologi, paradigma

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
29

positivisme memandang fakta harus dapat diukur
secara kuantitatif dan diperoleh melalui
mekanisme deduktif dan pengetahuan bersifat
bebas nilai sedangkan paradigma post positivisme,
berpandangan bahwa dalam ilmu sosial yang
berhubungan dengan manusia, fakta diukur secara
kualitatif bukan kuantitatif, karena fakta tidak
selalu bersifat tangible tetapi juga intangible,
mengkuantifikasi fakta yang intagible hanya akan
mereduksi fakta itu sendiri. Fakta diperoleh
melalui proses induktif dan pengetahuan bersifat
tidak bebas nilai, atau sangat ditentukan oleh
ruang, waktu dan situasi sosial yang
melatarbelakangi.
4). Selama beberapa dekade perencanaan wilayah/kota
lebih berorientasi pada phisical planning yang
berakar pada paradigma positivisme. Secara
teoritik phisical planning berada dalam domain
comprehensif rational planning. Konsep ini banyak
mendapat kritik dari para pengikut aliran post
positivisme (post modern) yang dianggap terlalu
dapat idealis, formal dan prosedural sehingga sulit
untuk diwujudkan. Dalam perkembangannya
terjadi pergeseran pemikiran dalam perencanaan
wilayah/kota dari pendekatan comprehensif
rational planning ke pendekatan teori
communicative planning yang menekankan
kesetaraan dan partisipasi publik dalam
perencanaan. Teori ini berakar pada post
positivisme.

REFERENSI
Al Munir, M. I. (2004). Tinjauan terhadap Metode
Empirisme dan Rasionalisme. Jurnal Filsafat,
Vol. 38, pp. 234–245. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31
413
Atmadja, A. T. (2013). Pergulatan Metodologi dan
Penelitian Kualitatif dalam Ranah Ilmu
Akuntansi. Akuntansi Profesi, 3(2), 122–141
Bagus, Lorens, (2002). Kamus Falsafah, Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Creswell, John W. (2017). Research Design,
Pendekatan metode kualitatif, kuantitatif dan
campuran. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dodero, A. L. (2010). An Analysis of the Rational
Comprehensive Model in Selected Cities in
Developing Countries. Porla University of
Waterloo.
Escobar, A (1992) Planning, in Sachs, W (ed) The
Development Dictionary: a guide to knowledge
as power. London: Zed.
Fadli, M. R. (2021). Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan dan Relevansinya Di Era Revolusi
Industri 4.0 (Society 5.0). Jurnal Filsafat, 31(1),
130. https://doi.org/10.22146/jf.42521
Ravertz, Jerome R. (2004) Filsafat Ilmu: Sejarah dan
Ruang Lingkup Bahasan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cetakan ke-4
Ritzer, George (2009). Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Terjemahan Alimandan,
PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Ginting, paham dan Situmorang, (2008). Filsafat Ilmu
dan Metode Riset, USU Press.
Gondokusumo, M. D. (2002). Perkembangan Teori-
teori Perencanaan Kota Sejak Revolusi
Industri. Universitas Sinar Harapan, 5(1), 33-
44
Hakim, Lukman, (2020). Filsafat ilmu dan Logika:
Dialektika Perubahan. Lakeisha
Karim, A. (2014). Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan. Fikrah, 2(1), 273–289. Retrieved
from
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/fikrah/
article/view/563
Komara, H. Endang, (2011) Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, Bandung: PT. Refika
Aditama,
Lingkungan, J. M. D. A. N. (2013). KAJIAN
FILOSOFIS TERHADAP PEMIKIRAN
HUMAN- EKOLOGI DALAM
PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM
(Philosophical Studies of Human Ecology
Thinking on Natual Resource Use). Journal of
People and Environment, 20(1), 57–67.
https://doi.org/10.22146/jml.18474
Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte:
Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains. Cakrawala: Jurnal Studi Islam,
11(2), 167 –177.
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192
Nurmandi, A.(2007) Menuju Knowledge Based City
Planning. repository umy.ac.id
Putra, D. W., & Hidayat, H. P. (2017). FILSAFAT
ILMU TERKAIT DENGAN
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
(Studi kasus: Green Urban Open Space dan
Quality of Life). Jurnal Pengembangan Kota,
5(2), 112. https://doi.org/10.14710/jpk.5.2.112-
120
Priyani, Rina. (2007). Pluralitas Dalam Teori
Perencanaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota, Vol. 18/No. 3 Desember, hal 23- 37
Royat, Sujana. (2004). Perubahan dan pergeseran
paradigma perencanaan pengembangan
perkotaan. Forum Geografi, Journal.ums.ac.id
Setioko, B. (2011). Penggunaan Metoda Grounded
Theory Dibawah Payung Paradigma
Postpositivistik Pada Penelitian Tentang
Fenomena Sosial Perkotaan. Modul, 11(1), 1–
6. https://doi.org/10.14710/mdl.11.1.2011.%p

ISSN (P)0853-2877 (E) 2598-327X MODUL vol 22 no 1,issues period 2022
30

Sulaiman, S. (2018). Paradigma dalam Penelitian
Hukum. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(2),
255–272.
https://doi.org/10.24815/kanun.v20i2.10076
Sumantri, Jujun S, (1995). Filsafat Ilmu, Jakarta:
Pustaka Sinara Harapan
Susanto, A (2011). Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi
Aksara