Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


120

TINDAK KORUPSI : BUDAYA PRAKTIK GRATIFIKASI DALAM
PELAYANAN ADMINISTRATIF MASYARAKAT
(ANALISIS SOSIOLOGI KORUPSI)

Shafira Indah Ayu Lestari
1
Haryono
2
1,2
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Email : [email protected]
1
, [email protected]
2


Abstrak: Korupsi telah menjadi masalah besar bagi kehidupan negara Indonesia. Didalam perspektif
sosiologi korupsi, korupsi merupakan sebuah gejala sosial yang ada di masyarakat karena korupsi telah
memberikan dampak yang besar di dalam aspek kehidupan masyarakat. Salah satu tindak korupsi yang
sering ditemui adalah praktik tindak gratifikasi. Gratifikasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan
oleh individu dalam memberikan sebuah pemberian yang dimana pemberian tersebut memiliki makna
atau tujuan tertentu. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah : (1) Menguraikan praktik gratifikasi di
dalam pelayanan administratif berdasarkan perspektif teori kecurangan (fraud) ; (2) Menguraikan faktor
pendukung untuk budaya praktik gratifikasi berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Metode yang
digunakan oleh penulis adalah metode systematic review dengan teknik meta-sintesis kualitatif. Hasil dan
pembahasan dari artikel ini adalah tindakan gratifikasi terjadi karena adanya tekanan, kesempatan dan
pembenaran pelaku tindak gratifikasi dalam pelayanan administratif. Terdapat normalisasi dari
masyarakat terhadap tindak gratifikasi yang dianggap sebagai hal yang lumrah untuk sebuah dalam
memberikan tanda terima kasih kepada pihak yang telah membantu.
Kata Kunci: Korupsi,Budaya, Gratifikasi, Masyarakat

Abstract: Corruption has become a big problem for the life of the Indonesian state. In the perspective of
the sociology of corruption, corruption is a social phenomenon that exists in society because corruption
has had a major impact on aspects of people's lives. One of the most common acts of corruption is the
practice of acts of gratification. Gratification is an action taken by an individual in giving a gift where the
gift has a specific meaning or purpose. The purposes of writing this article are: (1) To describe the
practice of gratification in administrative services based on the perspective of the theory of fraud; (2)
Describe the supporting factors for the culture of gratification practices developing in people's lives. The
method used by the author is a qualitative meta-synthesis method with a systematic review. The results
and discussion of this article are that acts of gratification occur because of pressure, opportunity and
justification for perpetrators of acts of gratification in administrative services. There is normalization
from the community towards acts of gratification which are considered normal for a person to give a sign
of gratitude to those who have helped.
Keywords: Corruption, Culture, Gratification, Society

PENDAHULUAN
Korupsi merupakan tindakan yang merugikan seluruh masyarakat di
berbagai aspek kehidupan bernegara. Dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangan
secara tidak adil, seseorang maupun kelompok mendapatkan sebuah keuntungan pribadi
dari tindak kecurangan melalui korupsi tersebut. Seperti yang dikatakan Kartono
(Atmadja, 2019, p. 36) bahwa korupsi merupakan tingkah laku individu maupun
kelompok yang menyalahgunakan wewenang dan jabatan bukan hanya untuk mengeruk
keuntungan pribadi namun juga merugikan kepentingan masyarakat bahkan negara.
Secara etimologis, makna kata korupsi berasal dari kata corruptio atau
corruptus yang memiliki arti kebusukan, menyimpang dan tindakan yang
menghancurkan (Hamzah, 2005). Pemaknaan kata korupsi menurut Lord Action tidak
lepas dari bingkai kekuasaan yang dimana semakin absolut sebuah kekuasaan, maka
semakin besar peluang untuk melakukan tindak korupsi (Atmadja, 2019, p. 32). Makna
kata korupsi secara terminologi menurut pendapat Burke (2015) adalah suatu perilaku
menyimpang sekelompok pejabat publik dalam menjalankan tugas-tugasnya serta

Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


121

melanggar batas moral di dalam masyarakat. Dapat diartikan bahwa penyalahgunaan
kekuasaan tersebut menunjukkan adanya sikap ketidak jujuran dan tidak bermoralnya
para pelaku tindak korupsi atau koruptor.
Dalam perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi dianggap sebagai
gejala sosial yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena dengan adanya
korupsi kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak diberantas
beberapa aspek kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh. Tindak korupsi
dapat dikaji dengan melihat bagaimana interaksi sosial yang terjalin antara beberapa
pihak yang terlibat di dalam tindak korupsi tersebut serta melihat sebuah kultur atau
budaya yang ada di dalam struktur sebuah institusi.
Pelayanan administratif merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh pihak
pemerintahan yang bertugas dalam mengurus administrasi publik maupun pihak
pemberi layanan administratif lainnya yang seluruh kegiatannya berkaitan dengan
masalah pendokumenan masyarakat seperti pencatatan sipil, pembuatan surat izin,
mengurus kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Pelayanan administratif publik menjadi salah satu tempat yang sering ditemukan praktik
gratifikasi berlangsung.
Dari penjelasan sebelumnya maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai budaya gratifikasi dalam pelayanan administrasi dan mengkaji tindakan
gratifikasi tersebut dari perspektif teori kecurangan (fraud) sudut pandang sosiologi
mengenai perilaku masyarakat dalam pelayanan administratif

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode meta-sintesis kualitatif.
Pendekatan kualitatif dalam systematic review digunakan untuk mensintesis
(merangkum) hasil-hasil penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Metode
mensintesis (merangkum) hasil-hasil penelitian kualitatif ini disebut dengan teknik
melakukan integrasi data untuk mendapatkan sebuah tingkatan pemahaman yang lebih
mendalam dan menyeluruh (Perry & Hammond, 2002). Dapat dijelaskan bahwa
systematic review merupakan sebuah metode dengan mengumpulkan penelitian
sebelumnya dan melihat hasil penelitian terdahulu maupun artikel yang relevan lalu
penulis akan membuat sebuah rangkuman yang telah mengaitkan antara hasil penelitian
yang satu dengan yang lainnya untuk membuat sebuah kesimpulan guna menambah
pemahaman terhadap fenomena yang dikaji.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi
Menurut pendapat Heidenheimer dalam karyanya yang berjudul "Perspektif atas
Persepsi tentang Korupsi", memberikan klasifikasi mengenai jenis-jenis korupsi,
diantaranya adalah :
a. Korupsi Kecil
Bentuk dari korupsi kecil ini adalah adanya suatu penyimpangan peraturan untuk
seseorang yang memiliki hubungan kerabat atau dekat misalnya teman dan keluarga.
Contoh dari korupsi kecil ini adalah dimana terdapat tukang parkir yang membebaskan
teman ataupun keluarganya untuk tidak membayar.
b. Korupsi Rutin
Jenis korupsi ini terjadi secara berkala dan sering ditemukan oleh para pejabat yang
memiliki kekuasaan di suatu bidang tertentu. Jenis korupsi ini dapat juga melahirkan

Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


122

korupsi nepotisme dan korupsi investif karena dilakukan secara berulang oleh pihak
yang terlibat.
c. Korupsi yang menjengkelkan
Korupsi ini terjadi pada masyarakat luas mulai dari jenjang institusi tingkat bawah
sampai tingkat atas. Jenis korupsi ini ditandai dengan adanya uang kopi, salam tempel
maupun uang pelumas untuk memperlancar segala urusan (Atmadja, 2019, p.44). salah
satu tindak korupsi yang dapat masuk kedalam jenis korupsi ini adalah gratifikasi.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata gratifikasi ini dapat
disamakan artinya dengan kata suap. Gratifikasi merupakan salah satu tindakan korupsi,
dimana gratifikasi ini dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh individu dalam memberikan sebuah pemberian yang dimana pemberian
tersebut memiliki makna atau tujuan untuk individu tersebut memperoleh manfaat dari
pihak yang diberikan. Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Pasal 12B
mengatakan bahwa pemberian yang sengaja diberikan oleh pemberi dan diterima oleh
sang penerima yaitu pejabat maupun pegawai negeri yang bernilai 10 juta rupiah hingga
lebih baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dapat dikatakan
sebagai tindakan gratifikasi yang berupa suap.
Suap dan gratifikasi memiliki kesamaan makna yaitu adanya pemberian atau sogokan
barang maupun uang ke pihak yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dengan
tujuan dan maksud tertentu (Irfan,2014). Sehingga dapat diartikan bahwa tindak
gratifikasi merupakan tindakan yang setara dengan tindakan suap karena memberikan
suatu pemberian baik hadiah, barang maupun uang kepada pihak lain yang memiliki
kepentingan dengan si pemberi hadiah tersebut.

Gratifikasi Pelayanan Publik dalam Fraud Triangle
Tindak gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi yang banyak
dipraktikkan dalam birokrasi. Bila dilihat secara sosiologis, pemberian tanda terima
kasih atau hadiah oleh seseorang, baik dalam bentuk barang atau uang telah menjadi
kebiasaan dan dianggap oleh masyarakat sebagai suatu yang wajar. Namun pemberian
hadiah atau gratifikasi kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) atau penyelenggara negara
dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan dan dikatakan sebagai
tindakan menyimpang karena hal tersebut tidak sejalan dengan terciptanya
pemerintahan yang bersih dari tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) (Rusadi
dkk,2018).
Kasus gratifikasi yang terdapat dalam kegiatan pelayanan administratif bila dikaji
dengan teori Segitiga Kecurangan (fraud triangle) Donald R. Cressey yang menjelaskan
tindakan korupsi seorang individu dilihat dari tiga faktor yaitu diantaranya :
1) Tekanan
Faktor pertama, terdapat tekanan atau kesulitan yang memaksa dan
mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Biasanya tekanan ini
ditemukan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang mendesak sehingga
jalan yang dapat ditempuh olehnya adalah dengan melakukan tindakan korupsi.
Tekanan ini dapat dikatakan dengan tekanan keuangan dalam diri individu.
Hal ini dapat diilustrasikan kepada pegawai pelayanan administratif yang
menerima sebuah gratifikasi dari masyarakat karena adanya tekanan dari luar maupun
dalam dirinya sehingga pegawai tersebut menerima apa yang diberikan oleh masyarakat
tersebut. Bila dilihat dari pandangan masyarakat, masyarakat memberikan barang
maupun uang ke pegawai administratif karena adanya sebuah tekanan atau keadaan

Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


123

mendesak seperti pembuatan surat izin yang memerlukan beberapa waktu sehingga
masyarakat merasa agar urusan mereka dipercepat maka mereka memilih untuk
memberikan sesuatu kepada pihak yang membantu urusannya tersebut.
2) Kesempatan
Faktor kedua adalah kesempatan. Seorang individu dapat melakukan suatu
tindakan korupsi karena terdapat kesempatan pada saat individu tersebut memiliki suatu
kekuasaan atau status dan peran yang lebih tinggi hingga didalam dirinya dia merasa
terdapat kesempatan untuk melakukan suatu kecurangan seperti melakukan tindakan
korupsi uang masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa faktor kesempatan ini melihat bagaimana seorang
yang memiliki jabatan atau kekuasaan dalam suatu hal, seseorang tersebut memiliki
pemikiran untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan
jabatannya. Contoh dari kesempatan ini adalah pemberian janji-janji kepada masyarakat
untuk dipermudah urusan pelayanannya dengan memberikan ‘pelicin’ kepada pegawai.
3) Rasionalisasi
Faktor ketiga adalah rasionalisasi, dimana pihak yang melakukan tindakan
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) akan melakukan suatu rasionalisasi akan
tindakannya tersebut. Rasionalisasi ini dapat diartikan sebagai suatu pembenaran,
pembelaan maupun penolakan dari tindakan yang telah dilakukannya. Proses
rasionalisasi dapat diartikan sebagai proses pembenaran atas logika korup, seperti
penolakan atas tanggung jawab kerugian sehingga melemparkan tanggung jawab
tersebut ke pihak lain, memberikan berbagai alasan-alasan seperti membantu golongan
tertentu dan patuh terhadap kekuasaan yang lebih tinggi darinya dan sebagainya
(Atmadja, 2019).
Budaya Praktik Gratifikasi di Masyarakat
Menurut pandangan sosiologi, terdapat budaya yang berjalan di masyarakat
untuk melakukan tindakan gratifikasi di kehidupan. Budaya masyarakat Indonesia yang
memiliki rasa berterima kasih dan memberikan apresiasi kepada orang yang telah
berjasa maupun telah membantu masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya, untuk
mengucapkan terimakasih yang di dalam artian sogokan bukan merupakan budaya dari
masyarakat indonesia, akan tetapi karena praktik gratifikasi telah dilakukan oleh
masyarakat sejak lama dan selalu diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya,
gratifikasi ini dianggap seperti budaya yang sudah melekat dalam diri masyarakat.
Menurut Mac Iver dan Page (Ruyadi dkk. 2016) kebiasaan merupakan
perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat, apabila kebiasaan tersebut tidak
semata-mata dianggap sebagai cara perilaku saja tetapi diterima sebagai norma-norma
pengatur, maka kebiasaan tadi dapat disebut sebagai Mores atau tata kelakuan. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa memberikan uang ucapan terima kasih menjadi
sebuah keharusan bagi masyarakat yang terdorong karena norma yang berlaku di
masyarakat itu sendiri.
Hal ini telah terjadi pada masyarakat yang telah terbiasa melakukan tindakan
gratifikasi ini. Dan juga masyarakat pada umumnya tidak memahami apa itu istilah
gratifikasi yang membuat masyarakat beranggapan bahwa memberikan uang maupun
barang untuk mengucapkan terimakasih kepada pihak lain seperti pegawai kelurahan
(layanan sipil) dan pihak penyelenggara yang membuka penerimaan pegawai baru ini
termasuk kedalam tindakan gratifikasi.
Jika permasalahan gratifikasi pada masyarakat dikaji dengan menggunakan
teori penyimpangan sosial yang diungkapkan oleh Shuterland (Kartono,2014), bahwa

Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


124

perilaku menyimpang timbul karena proses belajar yang dipelajari oleh individu dan
adanya interaksi yang berjalan serta adanya hubungan yang akrab antar kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tindak gratifikasi yang
berlangsung dalam kegiatan pelayanan sipil seperti layanan administratif terus
berkembang karena adanya nilai dan norma yang terus diturunkan oleh masyarakat dari
generasi ke generasi selanjutnya sehingga terbentuklah persepsi dalam diri masyarakat
bahwa mengucapkan atau memberikan barang dan uang sebagai ucapan terima kasih
adalah hal yang lumrah.

KESIMPULAN
Pada dasarnya tindak gratifikasi ini dapat diartikan secara sisi positif dan sisi
negatif. Jika dalam pemberian hadiah ini dilakukan secara tulus dan tidak berniat atau
berharap mendapatkan balasan apapun serta memberikan atas dasar tanda apresiasi dan
terima kasih kepada pihak penerima, maka tindakan tersebut tidak dikatakan sebagai
suap atau gratifikasi. Sedangkan pada sisi negatifnya pemberian tersebut merupakan alat
atau perantara si pemberi mendapatkan sesuatu yang diinginkannya serta kemungkinan
manfaat tersebut bisa saja membuat kerugian bagi pihak si penerima maupun
berdampak kepada masyarakat luas.
Untuk mencegah tindak korupsi khususnya gratifikasi semakin berkembang
pada kegiatan pelayanan administratif masyarakat, para petugas atau pegawai perlu
memiliki sikap jujur, tegas, bertanggung jawab dan profesional dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sikap profesional pegawai sangat diperlukan dalam
memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat san juga bersikap tegas bila ada
masyarakat yang ingin memberikan sesuatu apapun bentuknya sebagai bentuk
penolakan tindak gratifikasi diikuti dengan memberikan pemahaman bagi masyarakat
bahwa tindakan tersebut tidak perlu dilakukan.
Masyarakat perlu paham mengenai apa saja yang termasuk kedalam tindakan
korupsi seperti gratifikasi dan suap sehingga perilaku tersebut dapat dikendalikan dan
tidak menyebar lagi ke generasi selanjutnya terlebih lagi mengembangkan, membiarkan
tindakan korupsi menjadi bagian dari budaya kita. Sebagai warga negara yang seluruh
kegiatannya memiliki pedoman hukum dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara harus bisa taat kepada hukum yang berlaku sehingga hukum yang ada dapat
berjalan linear dengan apa yang menjadi tujuan hukum tersebut dibentuk.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Sumber Buku dan Artikel Jurnal :
Atmadja, A. Tungga & Nengah Bawa Atmadja. (2019). Sosiologi Korupsi Kajian
Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta : Prenadamedia
Group.
Azhary, V. H. (2019). Nepotisme dan Gratifikasi sebagai Unsur Budaya pada Korupsi
Politik dan Birokrasi di Indonesia. Simposium Nasional Ilmiah & Call for
Paper Unindra (Simponi). https://doi.org/10.30998/simponi.v1i1.437

Jurnal Cahaya Mandalika, Vol. 3, No. 2, 2022 ,e- ISSN: 2721-4796, p-ISSN: 2828-495X
Available online at: http://ojs.cahayamandalika.com/index.php/JCM
Copyright © 2022 Publisher: Institut Penelitian & Pengembangan Mandalika Indonesia


125

Hamzah, Andi. (2005). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Irfan, M. N. (2014). Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman
Mati. Madania: Jurnal Kajian Keislaman , 18 (2), 131-146.
http://dx.doi.org/10.29300/madania.v18i2.20.
Kartono,K. 2014. Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers.
Mauliddar, Nur, dkk. 2017. Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya
Laporan Penerima Gratifikasi. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.19 No.1 Halaman
155-173.
Nasution, I. H. (2021). Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi Dikaitkan Dengan Undang -Undang Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 2(8), 1356-1375.
https://doi.org/10.36418/jist.v2i8.219
Perry, A. & Hammond, N. (2002). Systematic Review: The Experience of a PhD
Student. Psychology Learning and Teaching, 2(1), 32–35.
Rusadi, F. A. R. P., Sukinta, S., & Baskoro, B. D. (2019). Penetapan Gratifikasi Sebagai
Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktiannya dalam Proses Peradilan
Pidana. Diponegoro Law Journal, 8(2), 1145-1165.
Ruyadi, Yadi dkk. 2016. Gratifikasi dan Pelayanan Sipil : Suatu Fenomena Sosial
dalam Kehidupan Masyarakat. Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol.6 No.1.
http://dx.doi.org/10.17509/sosietas.v6i1.2865
Salam, R. (2018). Hadiah/Gratifikasi dan Suap Sebagai Pemahaman Perilaku Korupsi
dalam Perspektif Administrasi Publik. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, & Akuntansi) , 2(3), 195 -208.
https://doi.org/10.31955/mea.vol2.iss3.pp192-205
Siswanto, S. (2010). Systematic review sebagai metode penelitian untuk mensintesis
hasil-hasil penelitian (sebuah pengantar). Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 13(4), 21312.
https://dx.doi.org/10.22435/bpsk.v13i4%20Okt.2766
Sulastri, L., & Wibowo, K. T. (2021). Rekonstruksi Pemberi Gratifikasi Sebagai
Subyek Tindak Pidana Korupsi. IBLAM Law Review, 1(3), 55-82.
https://doi.org/10.52249/ilr.v1i3.33