Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


127

Faktor-faktor yag berhubungan dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan


Hendra Mukhlis*, Rahmita Yanti
STIKEes Perintis Padang
Email : [email protected]


ABSTRAK
Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari
sepertiga anak usia di bawah lima tahun tingginya berada di bawah rata-rata. Prevalensi stunting di
Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%),
Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan faktor
tingkat asupan zat gizi (energi dan protein), berat badan bayi, tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan,
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 24 – 59 bulan. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif dengan pendekatan observasional analitik. Populasi dalam penelitian ini yaitu
adalah seluruh balita usia 24 – 59 bulan di Puskesmas Pasar Muaralabuh sebanyak 98 anak dengan
jumlah sample 37 orang. Teknik pengambilan sample menggunakan non probability sampling dengan
pendekatan accidental sampling. Intrument penelitian ini adalah kuesioner, microtoice, timbangan
digital, dan kamera. Ujistatistik yang digunakan adalah uji Chi-Square pada program computer.
Terdapat hubungan antara panjang badan lahir (p=0,000), berat badan lahir (p=0,033), pemberian
ASI eksklusif (p=0,000) dan jarak kelahiran (p=0,041). Manfaat penelitian ini adalah untuk dapat
memberikan gambaran tentang kejadian stunting yang berkaitan dengan factor-faktor penyebabnya.

Kata kunci :Stunting, Balita, panjang badan lahir, berat badan lahir.

ABSTRACT
Indonesia is ranked fifth in the world for the number of children with stunting conditions. More than a
third of children under five years of age are below average. The prevalence of stunting in Indonesia is
higher than other countries in Southeast Asia, such as Myanmar (35%), Vietnam (23%), and Thailand
(16%). The purpose of this study was to analyze the relationship between the level of nutrient intake
(energy and protein), baby weight, economic level, level of knowledge, exclusive breastfeeding with
the incidence of stunting in children aged 24 - 59 months. This type of research is quantitative with an
analytic observational approach. The population in this study were all toddlers aged 24 - 59 months
at Pasar Muaralabuh Health Center as many as 98 children with a total sample of 37 people. The
sampling technique uses non probability sampling with accidental sampling approach. The research
instruments were a questionnaire, microtoice, digital scales, and a camera. The statistics used were
the Chi-Square test on a computer program. There was a relationship between birth length (p =
0.000), birth weight (p = 0.033), exclusive breastfeeding (p = 0.000) and birth spacing (p = 0.041).
The benefit of this study is to provide an overview of the incidence of stunting related to the factors
that cause it.

Keywords: Stunting, Toddler birth length, birth weight

PENDAHULUAN
Indonesia menduduki peringkat ke lima
dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting. Lebih dari sepertiga anak usia di
bawah lima tahun tingginya berada di bawah
rata-rata. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar,
2013) mencatat prevalensi stunting nasional
mencapai 37,2% terdiri dari 18,0% sangat
pendek dan 19,2% pendek, meningkat dari
tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
daripada negara-negara lain di Asia Tenggara,
seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%) [MCA Indonesia, 2014].
Data Riskesdas Provinsi Sumatera Barat
tahun 2018 menunjukkanprevalensi stunting

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


128

paling tinggi berada pada anak dengan rentang
usia 24 - 59 bulan dibandingkan anak dengan
rentang usia 0 - 23 bulan. Prevalensi stunting
pada anak kelompok usia 24 – 59 bulan sebesar
45,7 %, kelompok usia 36 – 47bulan sebesar
45,3 %, dan kelompok usia 48 – 59 bulan
sebesar 35,4 %. Penelitian Ramli, et al. (2009)
menunjukkan prevalensi stunting dan
severestunting lebih tinggi pada anak usia 24 –
59 bulan, yaitu sebesar 50 % (stunting) dan 24
% (severe stunting).
Masalah kurang gizi dan stunting
merupakan dua masalah gizi yang belum dapat
diselesaikan.Terdapat beberapa program
pemerintah dalam menyelesaikan masalah
kurang gizi dan stunting. Perbaikan gizi dan
penurunan angka prevalensistunting pada anak
bawah dua tahun (baduta) dari 32,9 % pada
tahun 2018 menjadi 28 % pada tahun 2019
menjadi salah satu prioritas pembangunan
nasional seperti yang tercantum pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2015 – 2019. Penurunan
prevalensi kejadian balita pendek (stunting) juga
merupakan salah satu prioritas Pembangunan
kesehatan pada periode 2015 – 2019.
Stunting pada balita perlu mendapatkan
perhatian khusus karena dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan
mental, dan status kesehatan pada anak. Studi –
studi terkini menunjukkan anak yang
mengalami stunting berkaitan dengan prestasi di
sekolah yang buruk, tingkat pendidikan yang
rendah, dan pendapatan yang rendah saat
dewasa. Anak yang mengalami stunting
memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh
menjadi individu dewasa yang tidak sehat dan
miskin. Stunting pada anak juga berhubungan
dengan peningkatan kerentanan anak terhadap
penyakit, baik penyakit menular maupun
Penyakit Tidak Menular (PTM), Kasus Stunting
pada anak dapat dijadikan predictor rendahnya
kualitas sumber daya manusia suatu negara.
Keadaan stunting yang menyebabkan buruknya
kemampuan kognitif, rendahnya produktivitas,
serta meningkatnya risiko penyak it
mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi
ekonomi Indonesia.
Secara umum asupan zat gizi disebabkan
karena asupan makanan yang tidak mencukupi.
zat gizi yang menyediakan energi bagi tubuh
dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk di
dalamnya adalah energi dan protein. Stunting
tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja
tetapi disebabkan oleh banyak faktor-faktor
tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lainnya.Ada faktor utama penyebab stunting
yaitu asupan makan tidak seimbang (berkaitan
dengan kandungan zat gizi dalam makanan
yaitu, protein dan energi) riwayat berat lahir
badan rendah (BBLR) dan riwayat penyakit
(UNICEF, 2007).
Faktor risiko lain terhadap kejadian
stunting yaitu berat lahir yang rendah. Hasil
penelitian Paudel, et al di Nepal (2012)
menunjukkan bahwa berat lahir rendah
merupakan faktor risiko stunting, balita dengan
berat lahir rendah memiliki risiko mengalami
stunting 4,47 kali lebih besar daripada balita
dengan berat lahir normal. Selain faktor berat
lahir, panjang lahir merupakan faktor risiko lain
dari stunting. Penelitian Meilyasari dan Isnawati
(2014) menunjukkan bahwa panjang badan lahir
merupakan factor risiko terjadinya stunting
yaitu 16,43 kali lebih besar daripada balita
dengan panjang badan lahir normal
Selanjutnya status imunisasi pada anak
adalah salah satu kontak indicator dengan
pelayanan kesehatan, berdasarkan penelitian
Neldawati,2013. Status imunisasi memiliki
hubungan sifnifikan terhadap indeks status gizi
TB/U. Di Puskesmas Pasar Muaralabuh di
wilayah Kabupaten Solok Selatan. Jumlah balita
stunting usia 24 - 59 bulan 37,37 % anak,
terbanyak diantara puskesmas yang lainnya
yang berada di Solok Selatan. Berdasarkan
Survei Awal yang dilakukan pada bulan
september tahun 2018 di Puskesmas Solok
Selatan, didapatkan jumlah balita stunting
adalah 56 orang. Penelitian ini tentang Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24 - 59 bulan di
Puskesmas Muaralabuh Kabupaten Solok
Selatan. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis hubungan faktor tingkat asupan
zat gizi (energi dan protein), berat badan bayi,
tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan,
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada anak usia 24 – 59 bulan di
wilayah kerja di Puskesmas Pasar Muaralabuh
Kabupaten Solok Selatan tahun 2019. Manfaat
penelitian ini adalah untuk dapat memberikan
gambaran tentang kejadian stunting yang
berkaitan dengan factor-faktor penyebabnya.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan
pendekatan observasional analitik. Populasi
dalam penelitian ini yaitu adalah seluruh balita

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


129

usia 24 – 59 bulan di Puskesmas Pasar
Muaralabuh sebanyak 98 anak dengan jumlah
sample 37 orang. Teknik pengambilan sample
menggunakan non probability sampling dengan
pendekatan accidental sampling. Intrument
penelitian ini adalah kuesioner, microtoice,
timbangan digital, dan kamera. Kuesioner
digunakan untuk memperoleh data primer dari
respon den melalui wawancara. Pengumpulan
data antropometri berat badan balita dilakukan
oleh tenaga terlatih dengan menggunakan
timbangan digital yang berpresisi 0,1 kg, dan
tinggi badan balita dengan menggunakan
microtoise berpresisi 0,1 cm. Selain itu,
digunakan kamera untuk mendokumentasikan
kegiatan penelitian sebagai bukti bahwa peneliti
telah melakukan penelitian di lapangan.
Ujistatistik yang digunakan adalah uji Chi-
Square pada program computer dengan nilai
p<0,05.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tabel.1.Hubungan Panjang Badan Lahir terhadap Kejadian Stunting
Variabel
Kejadian Stunting
Jumlah

Uji
Statistik

PR Stunting Tidak Stunting
f % f % n %
Panjang Badan Lahir
p=0,000

1,76 Pendek 17 68 8 32 25 100
Tidak Pendek 7 58,3 5 41,7 12 100
Berat Badan Lahir
p=0,033

1,31 BBLR 9 56,25 7 43,75 16 100
Tidak BBLR 15 71,4 6 28,6 21 100
Pemberian ASI Eklusif
p=0,000

1,56

Tidak 17 77,3 5 22,7 22 100
Ya 9 60 6 40 15 100
Pemberian ASI s/d 2 Tahun
p=0,249

1,15 Tidak 26 83,9 5 16,1 31 100
Ya 2 33,3 4 66,7 6 100
Status Imunisasi Dasar
p=0,249

1,18 Tidak Lengkap 16 76,2 5 23,8 21 100
Lengkap 10 62,5 6 37,5 16 100
Jarak Kelahiran
p=0,041

1,26 Jauh 10 66,6 5 33,4 15 100
Dekat 13 59,1 9 40,9 22 100
Status Ekonomi Keluarga
p=1,000

0,95 Rendah 17 85 3 15 20 100
Tinggi 12 70,6 5 29,4 17 100

Berdasarkan tabel.1 menunjukkan bahwa
dari 25 responden yang
memiliki panjang badan lahir pendek, terdapat
17 orang (68 %) yang memiliki
panjang badan lahir pendek dengan kejadian
stunting dan Hasil analisis uji statistik diperoleh
nilai p=0,000 nilai rasio prevalensinya 1,76
(PR>1). Terdapat 9 orang (56,2 %) yang
memiliki berat badan lahir rendah dengan
kejadian stunting. Hasil analisis data didapatkan
diperoleh nilai p=0,033 nilai rasio prevalensinya
1,31 (PR>1). Terdapat 17 orang (77,3 %) yang
tidak memberikan ASI eksklusif dengan
kejadian stunting. Hasil analisis diperoleh nilai
p=0,000 nilai rasio prevalensinya 1,56 (PR>1).
Terdapat 26 responden (83,9 %) yang ASI
sampai dengan usia 2 tahun dengan kejadian
stunting Hasil analisis diperoleh nilai p=0,249
dan nilai rasio prevalensinya 1,15 (PR>1).
Terdapat 16 responden (76,2 %) yang memiliki
status imunisasi dasar tidak lengkap dengan
kejadian stunting. Hasil analisis diperoleh nilai
p=0,249. nilai rasio prevalensinya 1,18 (PR>1).
Terdapat 10 responden (66,6 %) yang memiliki
jarak kelahiran dekat dengan kejadian stunting.
Hasil analisis diperoleh nilai p=0,041 dan nilai
rasio prevalensinya 1,26 (PR>1). Terdapat 17

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


130

responden (85 %) yang memiliki
status ekonomi keluarga rendah dengan kejadian
stunting Hasil analisis untuk melihat hubungan
status ekonomi keluarga terhadap kejadian
stunting menggunakan uji statistik Fisher,
diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05) dan nilai rasio
prevalensinya 0,95 (PR<1)
Panjang badan lahir merupakan salah satu
faktor risiko kejadian stunting pada balita
(Anugraheni dan Kartasurya, 2012; Meilyasari
dan Isnawati, 2014). penelitian Luh Sri Suciari
(2015) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara panjang badan lahir dan berat
badan lahir dengan kejadian stunting dengan
nilai p masing-masing 0,001 (OR: 6,08), dan
0,006 (OR: 1,14). Pada penelitian Fitrah (2013),
dari 202 bayi lahir dengan panjang badan
normal (≥ 48 cm), dan 41 bayi di antaranya
mengalami hambatan pertumbuhan (pendek)
pada saat anak usia 12 bulan dan 161 bayi
(79%) tumbuh normal. Kemudian ada 57 bayi
lahir dengan panjang badan pendek (≤ 48 cm),
didapati 36 bayi di antaranya tetap pendek pada
saat anak usia 12 bulan dan 19 bayi (33%)
tumbuh normal. Hasil uji statistic dengan
metode log rank menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok bayi
yang lahir di atas 48 cm dan di bawah 48 cm
(p=0,000).
Hasil penelitian ini sejalan pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Khoirun dkk.
(2015), yang menunjukkan bahwa panjang lahir
rendah (< 48 cm) terhadap kejadian stunting
pada balita. Risiko untuk terjadi gangguan
tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi
yang telah mengalami falter sebelumnya yaitu
keadaan pada masa kehamilan dan prematuritas.
Artinya, panjang badan yang jauh di bawah
rata-rata lahir disebabkan karena sudah
mengalami retardasi pertumbuhan saat dalam
kandungan. Retardasi pertumbuhan saat masih
dalam kandungan menunjukkan kurangnya
status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil
sehingga menyebabkan anak lahir dengan
panjang badan yang kurang (Kusharisupeni,
2002 dalam Khoirun, 2015).
Berat badan lahir sangat terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang
anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh
Anisa (2012) menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara berat lahir
dengan kejadian stunting pada balita di Wilayah
Pasar Muaralabuh. Bayi yang lahir dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) akan mengalami
hambatan pada pertumbuhan dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi
kemunduran fungsi intelektualnya. Selain itu,
bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA,
2012).
Sejalan dengan hasil penelitian Loida dkk.
(2017), bahwa ada hubungan
antara berat badan lahir dengan kejadian
stunting pada usia 0-59 bulan di wilayah
pusat Mozambique. Hasil penelitian lainnya
oleh Atikah Rahayu (2015), diperoleh
bahwa BBLR merupakan faktor risiko yang
paling dominan berhubungan dengan
kejadian stunting anak baduta
Rendahnya pemberian ASI merupakan
ancaman bagi tumbuh kembang anak yang akan
berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan kualitas sumber daya manusia
secara umum. Pemberian ASI yang baik oleh
ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi
anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang
normal. ASI sangat dibutuhkan dalam masa
pertumbuhan bayi agar kebutuhan gizinya
tercukup.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Aridiyah (2015) bahwa kejadian stunting pada
anak balita baik yang berada di wilayah
pedesaan maupun perkotaan dipengaruhi oleh
variabel pemberian ASI eksklusif. Rendahnya
pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu
pemicu terjadinya stunting pada anak balita
yang disebabkan oleh kejadian masa lalu dan
akan berdampak terhadap masa depan anak
balita, sebaliknya pemberian ASI yang baik oleh
ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi
anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang
normal.
Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik
diperoleh p value=0,0001, disimpulkan terdapat
hubungan antara pemberian ASI dengan
kejadian stunting. Sedangkan hasil analisis
diperoleh nilai OR=3,7 (CI 95% ; 1,740-7,940),
artinya bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif
mempunyai risiko 3,7 kali lebih besar terkena
stunting dibandingkan balita dengan ASI
eksklusif.
Tidak adanya hubungan yang signifikan
antara ASI sampai dengan usia 2 tahun terhadap
kejadian stunting disebabkan karena pemberian
MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu)
tidak optimal terhadap balita. Sejalan dengan
teori yang kemukakan oleh Robert, dkk (2008),
bahwa bahkan dengan penyusuan yang optimal,

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


131

anak-anak akan menjadi pendek jika mereka
tidak mendapat kuantitas dan kualitas makanan
komplementer yang cukup setelah usia 6 bulan.
Sebagian besar insiden stunting (dan wasting di
luar situasi kelaparan) terjadi pada 2 tahun
pertama kehidupan ketika anak-anak memiliki
permintaan nutrisi yang tinggi dan ada
keterbatasan dalam kualitas dan kuantitas
makanan mereka, terutama setelah masa
pemberian ASI eksklusif.
Berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Susilowati (2009), menunjukkan
bahwa ada hubungan antara durasi pemberian
ASI dengan status gizi pada anak, yaitu
signifikan untuk indeks PB/U dan BB/PB,
mengindikasikan kejadian stunting
(kependekan) dan wasting (kekurusan) yang
cukup tinggi. Rata-rata durasi pemberian ASI
belum memenuhi rekomendasi global. Analisis
tabulasi silang menguatkan adanya hubungan
positif antara durasi pemberian ASI dan ASI
eksklusif dengan pertumbuhan linier pada anak.
Penelitian ini menguatkan saran pengukuran
antropometri di negara berkembang
menggunakan indeks PB/U dan BB/PB
agarmasalah status gizi dapat dikaji lebih
mendalam karena lebih sensitif untuk
menemukan kasus stunting dan wasting.
Tidak adanya hubungan yang signifikan
antara pemberian imunisasi dan
kejadian stunting karena imunisasi tidak
mencegah terjadinya stunting pada balita.
Imunisasi merupakan salah satu cara
pencegahan penyakit menular khususnya PD3I
yang diberikan kepada tidak hanya kepada anak
sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga
kepada orang dewasa. Cara kerja imunisasi
yaitu dengan memberikan antigen bakteri atau
virus tertentu yang sudah dilemahkan atau
dimatikan dengan tujuan merangsang sistem
imun tubuh untuk membentuk antibodi.
Antibodi yang terbentuk setelah imunisasi
berguna untuk menimbulkan atau meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat
mencegah atau mengurangi akibat penularan
PD3I tersebut (Infodatin Imunisasi, 2016)
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Aridiyah (2015). Hasil
analisis hubungan perawatan kesehatan dengan
kejadian stunting pada anak balita
menunujukkan bahwa tidak ada hubungan
antara pemberian imunisasi dengan kejadian
stunting pada anak balita baik di wilayah
pedesaan maupun di perkotaan. Dalam hal ini
imunisasi yang lengkap belum tentu dapat
menjamin anak terhindar dari suatu penyakit.
Terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi manfaat dan efektivitas dari
pemberian imunisasi seperti kualitas vaksin
yang diberikan tidak memenuhi standar atau
kurang baik. Hal ini berarti baik anak balita
yang imunisasinya lengkap maupun yang tidak
lengkap memiliki peluang yang sama untuk
mengalami stunting.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Neldawati (2006) menunjukkan bahwa status
imunisasi memiliki hubungan yang signifikan
terhadap indeks status gizi TB/U. Milman, dkk.
(2005) mengemukakan bahwa status imunisasi
menjadi underlying factor dalam kejadian
stunting pada anak < 5 tahun. Hasil penelitian
Picauly, dkk. (2013) menunjukkan bahwa anak
yang tidak memiliki riwayat imunisasi memiliki
peluang mengalami stunting lebih besar
dibandingkan anak yang memiliki riwayat
imunisasi. Anak yang tidak memiliki riwayat
imunisasi memiliki peluang menjadi stunting
sebesar 1,983 kali. Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa kelengkapan imunisasi
berpengaruh signifikan terhadap stunting.
Anekwe, dkk. (2012) menyebutkan bahwa anak-
anak yang mendapatkan imunisasi TBC, difteri,
tetanus, dan cacar tidak menunjukkan tanda-
tanda terjadinya stunting.
Jarak kelahiran mempengaruhi stunting
secara tidak langsung dengan asupan makan
sebagai variabel antara, anak dengan jarak
kelahiran kurang dari dua tahun cenderung
memiliki pola makan tidak baik (Prasetyo, 2008
dalam Mutia 2016). Hal serupa juga
dikemukakan oleh Santrock, 2002 dalam Mutia
2016, bahwa jarakkelahiran mempengaruhi pola
asuh dalam pemberian makan pada anak. Jarak
kelahiran yang cukup membuat ibu dapat pulih
dengan sempurna dari kondisi setelah
melahirkan. Saat ibu sudah merasa nyaman
dengan kondisinya maka ibu dapat menciptakan
pola asuh yang baik dalam mengasuh dan
membesarkan anaknya sehingga memperhatikan
pemberian makan anak dengan baik. Candra
(2013) juga menyebutkan bahwa jarak kelahiran
yang dekat membuat orang tua cenderung
kerepotan sehingga kurang optimal dalam
merawat anak.
Pada penelitian Mutia Ayuningtias (2016)
terdapat 48 anak (76,2%) yang memiliki jarak
kelahiran jauh dari 48 anak tersebut terdapat 40
anak yang tidak mengalami stunting. Hal

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


132

tersebut dikarenakan berdasarkan wawancara
diketahui bahwa ibu melakukan kontrasepsi
setelah melahirkan untuk menjaga jarak
kelahiran anaknya karena menganggap jarak
kelahiran yang jauh akan memudahkan ibu
dalam mengasuh anak terutama pola asuh
makan. Diketahui dari wawancara bahwa ibu
yang anaknya memiliki jarak kelahiran jauh
lebih mudah dalam menerapkan praktik makan
karena anak yang lebih tua sudah dapat mandiri
sehingga ibu maupun pengasuh lebih mudah
mengatur pola makan anak terutama anak yang
lebih muda.
Tidak adanya hubungan yang signifikan ini
kemungkinan disebabkan karena cara
pengkategorian status ekonomi keluarga yang
tidak cocok dalam penelitian ini.
Pengkategorian yang salah menyebabkan hasil
uji statistik tidak signifikan. Sebaiknya jika
ingin mengkategorikan tinggi dan rendahnya
status ekonomi keluarga, penentuannya
digunakan rata-rata (mean) pendapatan keluarga
per bulan seluruh responden sebagai patokan.
Jika di atas rata-rata maka dikategorikan sebagai
status ekonomi tinggi dan sebaliknya jika di
bawah rata-rata dikategorikan sebagai status
ekonomi keluarga rendah.
Peningkatan pendapatan rumah
berhubungan dengan penurunan dramatis
terhadap probabilitas stunting pada anak.
Beberapa studi menunjukkan bahwa
peningkatan pendapatan pada penduduk miskin
adalah strategi untuk membatasi tingginya
kejadian stunting dalam sosial ekonomi rendah
pada segmen populasi. Malnutrisi terutama
stunting, lebih banyak dipengaruhi oleh dimensi
sosial ekonomi, sehingga harus dilihat dalam
konteks yang lebih luas dan tidak hanya dalam
ranah biomedis (Zere & McIntyre, 2003 dalam
Paramitha, 2012).
Sementara itu menurut Astari, 2005 dalam
Paramitha, 2012, dengan karakteristik sosial
ekonomi yang rendah pada kedua kelompok
anak stunting dan normal, ternyata kelompok
anak normal yang miskin memiliki pengasuhan
yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok
anak stunting dari keluarga miskin.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Zilda Oktarina (2013), balita yang berasal
dari keluarga dengan status ekonomi rendah
lebih banyak mengalami stunting dibandingkan
balita dari keluarga dengan status ekonomi
tinggi. Secara statistik, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
status ekonomi keluarga dengan kejadian
stunting pada balita dengan nilai p=0,03. Balita
yang berasal dari keluarga dengan status
ekonomi rendah 1.29 kali berisiko mengalami
stunting dibandingkan dengan balita dari
keluarga dengan status ekonomi tinggi.

KESIMPULAN
Terdapat hubungan antara panjang badan lahir,
berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif dan
jarak kelahiran dengan kejadian stunting. Tidak
ada hubungan antara pemberian ASI sampai
dengan usia 2 tahun, status imunisasi, jumlah
anak , dan status ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting.

REFERENSI
Astari, LD. 2006. Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Stunting Anak Usia 6-
12 Bulan Di Kabupaten Bogor. Tesis.
Paskasarjana. Institusi Pertanian Bogor.
Bogor.
Kemenkes RI2013. Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Khoirun dkk. (2015). Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stunting
PadaBalita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10,
No. 1 Januari–Juni 2015: Hlm. 13–19
Mahgoub, Salah E.O, Maria Nnyepi, Theodore
Bandeke., 2007. Factors Affecting
Prevalence Of Malnutrition Among
Children Under Three Years Of Age In
Botswana. African Journal of Food
Agriculture Nutrition and Development,
Vol. 6, No. 1, 2006.
Mamiro, P.S., Kolsteren, P., Roberfroid, D.,
Tatala, S., Opsomer, A.S., Camp, H.V.,
2005. Feeding Practices and Factors
Contributing to Wasting, Stunting, and
Iron-deficiency Anaemia among 3-23-
month Old Children in Kilosa District,
Rural Tanzania. J Health Popul Nutr 23
(3): 222-230.
Nasikhah, R. 2012. Faktor-faktor Resiko
Kejadian Stunting pada Balita Usia 24- 36
bulan di Kecamatan Semarang Timur.
Artikel Penelitian. Program Studi Ilmu Gizi
Universitas Diponegoro. Semarang.
Ni'mah K, Nadhiroh SR. Faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting
balita. Media Gizi Indonesia. 2015;Vol. 10,
No. 1 Januari–Juni.

Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN : 2622-2256
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020


133

Novi, A. 2013. Hubungan antara Kebersihan
Diri dan Lama Tinggal Dengan Kejadian
Penyakit Skabies di Pondok Pesantren Al-
Hamdulillah Rembang. Skripsi : UMS.

Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian
Makan pada Anak danKarakteristik Laain
dengan Status Gizi Balita 6-59 Bulan di
LaboratoriumGizi Masyarakat Puslitbang
Gizi dan Makanan (P3GM) (Analisis
DataSekunder Data Balita Gizi Buruk
Tahun 2005) (Skripsi). Depok: FKM UI
Oktarina, Zilda, dkk. 2013. Faktor Risiko
Stunting Pada Balita (24—59 Bulan)di
Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan,
November 2013, 8(3): 175—180
Perignon, et al., 2014. Stunting, Poor Iron Status
and Parasite Infection Are Significant Risk
Factors for Lower Cognitive Performance
in Cambodian School-Aged Children. Plos
One 9 (11).
Proverawati, A dan Wati, E K. 2011. Ilmu Gizi
untuk Perawat dan Gizi Kesehatan. Yulia
Medika. Yogyakarta.
Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI Infodatin. 2017, Situasi dan
Analisis ASI Eksklusif. Jakarta
Ramli, dkk. 2009. Prevalence and Risk Factors
for Stunting and Severe Stunting Among
Under-fives in North Maluku Province of
Indonesia. BMC Pediatric.
Robert dkk. (2008). Maternal and Child
Undernutrition 1; Maternal and
ChildUndernutrition: Global and Regional
Exposures and HealthConsequences.The
Lancet, 371: 243-260
Rosha, Bunga Ch, Hardinsyah Hardinsyah, and
Yayuk Farida Baliwati, 2007. Analisis
Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan
Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan
Jawa Timur (Determinant Analysis Of
Stunting Children Aged 0- 23 Months In
Poor Areas In Central And East Java).
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal
of Nutrition and Food Research)
Rahayu, Atikah, dkk. 2015. Riwayat Berat
Badan Lahir dengan KejadianStunting pada
Anak Usia Bawah Dua Tahun Kesmas.
Jurnal KesehatanMasyarakat Nasional,
9(3):67-73
Syarfaini. 2013. Gambaran Pola Pengasuhan
Gizi pada Anak Balita di Kecamatan
Tapalang Kab. Mamuju Prop. Sulawesi
Barat. Jurnal kesehatan Vol. VII (1).
Suciari, Luh Sri. 2015. Hubungan Antara Status
Gizi Saat Hamil, Panjang BadanLahir,
Berat Badan Lahir, dan Umur Awal
Pemberian MP-ASI DenganKeadaan
Stunting pada Balita Umur 24-59 Bulan di
UPT PuskesmasProgram Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat FakultasKedokteran
Universitas Udayana
Susilowati, dkk. (2010). Breast-feeding
duration and children’s
nutritionalstatusatage 12-24 months.
Paediatr Indones, 50:56-61
Unicef. 2009. Tracking Progress on Child and
Maternal Nutrition a Survival and
Development Priority. New York. USA