Perempuan dan Kekerasan…. 99
Perempuan dan Kekerasan pada Masa Orde Baru
==========================================================
Oleh: Siti Fatimah

ABSTRACT

Many studies about women history, especially which of related to
violence issues toward them, are strongly related to the issues of
human rights and democratization. Along Indonesian history, the New
Order era is assumed as the era that had high frequency of violence
toward human rights, especially for women. The crucial issue of
struggling for human rights and democratization is one of the issues
related to social equity. This article tries to analyze some issues about
women and violence during the New Order Era, especially that of
related to the state policy of women in Indonesia, the violence
opportunity of women, and the violence peak of women in the tragedy
of Mei 1998.

Kata Kunci: Perempuan, Kekerasan, Hak Asasi Manusia, Keadilan,
Demokratisasi

I. PENDAHULUAN

Studi tentang sejarah perempuan,
khususnya yang mengkaji tentang
persoalan-persoalan kekerasan terha-
dap perempuan sangat erat kaitannya
dengan masalah hak asasi dan
demokratisasi. Berbagai periode
dalam sejarah Indonesia, mulai dari
masa pergerakan sampai pada masa
reformasi, maka periode Orde Baru
paling banyak disorot sebagai periode
yang paling tinggi frekuensinya dalam
melanggar hak asasi manusia dan
lunturnya nilai-nilai demokrasi. Hal
demikian, tentu dipresentasikan oleh
bentuk negara itu sendiri yang
cenderung militeristik, dimana Presi-


den Indonesia memainkan peranan
penting sebagai kepala negara, kepala
pemerintahan, dan panglima tertinggi
angkatan bersenjata.
Isu krusial dari perjuangan hak
asasi dan demokratisasi
1
adalah
persoalan yang berhubungan dengan
keadilan pada masyarakat. Sebagian
besar penduduk Indonesia bahkan

1
Berbicara tentang hak asasi dan demokrasi
adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Demokrasi adalah sebuah
ideologi „welstanschauung‟ (cara meman-
dang dunia), dan sistem politik HAM
adalah seperangkat hak dasar yang bersifat
universal dan dimiliki semua orang..

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
lebih berjenis kelamin perempuan,
dan dalam kenyataannya perempuan
lah yang paling banyak mengalami
ketidakadilan. Hal ini dapat dicermati
dari berbagai bentuk kekerasan yang
dialami kaum perempuan, mulai dari
kekerasan yang dialami dalam rumah
tangga sebagai wilayah privat sampai
kepada kekerasan yang dipresentasi-
kan negara ke dalam wilayah publik.
Sebenarnya banyak faktor yang
menyebabkan kekerasan terhadap
perempuan. Salah satu diantaranya
adalah budaya patriakhis
2
yang sudah
berkembang di masyarakat dalam
kurun waktu yang sudah berpuluh-
puluh tahun bahkan berabad-abad
lamanya. Budaya patriakhi yang

2
Patriakhi adalah dominasi institusi sosial
politik oleh laki-laki dalam kehidupan
pribadi dan publik melalui dukungan
hokum, khususnya hukum keluarga.
(Scruton. 1982. A Dictionary of Political
Thought Pan Reference. London,
1982:347). Menurut Julia I Suryakusuma,
patriakhi sesungguhnya sebuah institusi
ketimbang sekedar dominasi laki-laki,
karena laki-laki sendiri kadang-kadang juga
tertekan oleh budaya patriakhi, yang
mengutamakan kirarki dan kontrol
ketimbang atas segala-galanya. Suharto
sebagai bapak pembangunan merupakan
patriaki tertinggi, yang memegang
kekuasaan atas seluruh kekuasaan negara
melalui penindasan. Julia I Suryakusuma
“Militerisme dan kekerasan terhadap
perempuan”, makalah dipresentasikan
untuk Program Kampanye Hari
Internasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan, diselenggarakan oleh Yayasan
Journal Perempuan di Pusat Studi Jepang,
Uviversitas Indonesia, 25 November 2000.
sudah mapan ini semakin dilegitimasi
oleh negara dalam berbagai bentuk
kebijakan yang dipresentasikan
melalui berbagai institusi yang ada
pada masa Orde Baru. Dengan kata
lain, budaya patriakhi telah melang-
gengkan kekerasan terhadap perem-
puan dan negara sebagai agent atau
aktor dari kekerasan tersebut. Oleh
karena itu tulisan kecil ini bermaksud
untuk menganalisis beberapa pokok
persoalan yang berhubungan dengan,
antara lain: kebijakan negara Orde
Baru terhadap perempuan, peluang
kekerasan terhadap perempuan, dan
kasus Mei 1998 sebagai puncak
kekerasan negara Orde Baru terhadap
perempuan. Dengan membahas bebe-
rapa pokok persoalan ini diharapkan
dapat menjelaskan berbagai bentuk
kekerasan dan ketidakadilan yang
telah terjadi terhadap perempuan
selama pemerintahan Orde Baru.

II. NEGARA ORDE BARU ( THE
NEW ORDER STATE)
Negara Orde Baru adalah sebuah
negara yang melanggengkan konsep
dwifungsi militer yang bertujuan
untuk menopang dan melindungi
negara, jika perlu hingga mengor-
bankan rakyat yang seharusnya
dilindungi oleh negara dan militer
tersebut. Karena itu, kekerasan
terhadap perempuan sangat erat
kaitannya dengan kekerasan negara
terhadap perempuan. Pentingnya
stabilitas sebagai prasyarat pemba-
ngunan pada masa Orde Baru telah

Perempuan dan Kekerasan…. 99
dipakai untuk membenarkan berbagai
tindakan opresif dan kekerasan.
Negara adalah satu-satunya institusi
yang memiliki legitimasi untuk
menggunakan kekerasan, dan negara
Orde Baru tidak pernah ragu-ragu
malakukan hal itu.
3

Militerisasi masyarakat Indo-
nesia di masa Orde Baru tidak hanya
berdampak pada dilakukannya
kekerasan sistematik oleh negara,
namun juga timbulnya budaya
kekerasan dalam masyarakat. Dalam
konteks masyarakat semi-feodal dan
paternalistik, seperti Indonesia, negara
yang bersifat militeristik akan
menghasilkan masyarakat yang
termiliterisasi. Negara yang sarat
dengan kekerasan akan melahirkan
kekerasan pula. Jika negara ditem-
patkan sebagai institusi, sedangkan
„pembangunanisme‟ sebagai ideologi-
nya, maka dogma-dogma dari
ideologi demikian akan memberikan
penekanan total pada pembangunan
ekonomi, materi dan fisik
4
.
Di sisi lain, pengambilan
keputusan bersifat sentralistik, proses
pengambilan keputusan yang yang
bersifat top-down dan pendekatan oleh
negara kepada masyarakat dengan
model korporatif adalah merupakan ciri
utama dari negara Orde Baru.
5


3
Ibid.,
4
Ibid,.
5
Siti Fatimah. 2002. “Negara dan Perem-
puan: Studi Kasus Dharma Wanita 1974-
1999”, Tesis, S2 Jurusan Sejarah, Fakultas
Sastra, Program Pascasarjana, Universitas
Indonesia, 2002.
Pemisahan antara ideologi
„pembangunanisme‟ dan „militer-
isme‟ dilakukan semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhanan
analisis, akan tetapi dalam kenya-
taannya, keduanya selalu bergan-
dengan. Manifestasi dari ideologi
kembar ini terlihat di mana-mana,
dalam berbagai kelembagaan negara
maupun sosial, dalam berbagai
kecenderungan dan karakter sosial
budaya, maupun dalam kecende-
rungan untuk mengabaikan hak asasi
manusia. Beberapa kasus di Aceh,
Irian jaya, Timor Timur dan wilayah-
wilayah lainnya di Indonesia,
menunjukkan bahwa pemerintahan
Orde baru telah melanggengkan
budaya kekerasan terhadap
perempuan. Budaya kekerasan yang
dikemas ke dalam budaya patriakhi.
Kasus-kasus berikut ini
menunjukkan beberapa contoh
kekerasan yang dilakukan negara
Orde Baru terhadap perempuan.
Sebuah organisasi perempuan Flower
Aceh mengumpulkan ceritera keke-
jian yang dialami kaum perempaun
Aceh. Seorang gadis Sh, 32 tahun,
menjadi korban perkosaan oleh
seorang tentara. Sh yang cacat
kakinya diganggu oleh tentara dari
Yonif 126 Ulee Glae di Kecamatan
Bandar Dua Pidie, pada saat ia
bekerja di warungnya. Tentara dari
Yonif 126 yang sedang mabuk
tersebut mengejar gadis tersebut
sampai ke rumahnya dan mendorong
pintu yang sudah dikunci. Dengan

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
ancaman todongan senjata, tentara ini
memperkosanya
Penyiksaan dengan metode
kekerasan seksual menjadi kebiasaan
yang biasa dialami perempuan di
wilayah operasi DOM (Daerah
Operasi Militer). Penelitian Flower
Aceh menunjukkan bahwa seorang
perempuan berumur 45 tahun, dari
Kecamatan Glp. Tiga Pidie, mengalami
penyekapan dua kali oleh Kopasus.
Dalam penyekapannya, ia mengalami
penyiksaan yang sangat keji:
ditelanjangi, disetrum payudara dan
vaginanya. Aparat dari institusi militer
meminta uang suap Rp. 600.000,- jika
tidak ia diancam akan ditangkap
kembali, karena perempuan itu dituduh
telah menyembunyikan senjata.
Di Timor-Timur, sebuah hasil
investigasi yang dilakukan oleh
Forum Komunikasi Perempuan Loro
Sae (Fukopers) menjelaskan bahwa
seorang perempuan menceriterakan
pengalamannya ditinggalkan oleh
seorang aparat militer yang tadinya
berjanji mengawininya pada tahun
1976. Beberapa tahun kemudian
perempuan ini diperkosa oleh seorang
anggota ABRI setelah terlebih dulu
diikat dan dipukul dengan pipa besi.
Ia dipaksa untuk tinggal di kompleks
ABRI untuk memasak, menimba air,
dan mencari kayu bakar.
Di Irian Jaya, KOMNASHAM
dikritisi oleh kelompok perempuan
Nduga karena dalam dokumen awal
instrumen monitoring HAM mencer-
minkan bias gender. Perempuan
Nduga, suku asli di pegunungan
tinggi wilayah Mapenduma ini,
memberi kesaksian sebagai berikut:
“Pada waktu itu saya baru
pulang dari kebun menuju
kampung saya yaitu Desa Kuid.
Di tengah jalan saya ketemu
dengan anggota ABRI, lalu
saya berdiri di pinggir jalan
untuk memberi mereka jalan.
Tindakan saya itu sesuai
dengan budaya kami, meng-
hormati tamu agar mereka bisa
lewat. Namun mereka (anggota
ABRI) itu langsung menyeret
saya ke pinggir jalan dan
memperkosa saya, hingga saya
tak berdaya dan pingsan di
tempat. Selama empat jam
lebih saya tak sadarkan diri
hingga masyarakat desa
menemukan saya, lalu mem-
bawa saya ke kampung Kuid.”
(SK, 20 tahun)
Dalam kasus-kasus peristiwa keke-
rasan terhadap perempuan di Irian
Jaya, dalam laporan yang
dikumpulkan KOMNASHAM di
Jakarta sejak Desember 1996 sampai
1997, terindikasi bahwa dari 126
orang yang meninggal dunia akibat
korban kekkerasan, 85 %
diantaranya adalah perempuan untuk
kasus-kasus perkosaan.
6
Dari seba-

6
Silfiana Sanggenafa, “Pelanggaran HAM,
perempuan, dan Aparat Militer di Irian
Jaya: dalam Negara dan Kekerasan
Terhadap Perempuan, (YJP dan The Asia
Foundation, 2000), p. 184.

Perempuan dan Kekerasan…. 99
gian kecil contoh kasus kekerasan
yang dialami perempuan di wilayah
operasi DOM, menunjukkan keke-
rasan yang dilakukan negara terhadap
perempuan merupakan cerminan
potret elite Indonesia ketika itu,
mengingat perkosaan yang terjadi di
panggung nasional adalah kekerasan
yang terjadi di ruang publik.

III. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP
PEREMPUAN
Masa pemerintahan Suharto telah
melahirkan berbagai kebijakan dan
aturan-aturan tersendiri terhadap
perempuan. Mulai dari kebijakan
tertinggi yang dituangkan dalam
GBHN (Garis-Garis Besar Haluan
Negara) sampai kepada kebijakan-
kebijakan yang tertuang dalam bentuk
aturan-aturan tertentu. Kebijakan
negara terhadap perempuan yang
dituangkan dalam GBHN tersebut
mendefinisikan perempuan ke dalam
lima bentuk partisipasi. Pertama,
perempuan didefinisikan dalam
bentuk kodrat yang berbeda dengan
laki-laki. Kedua, perempuan dapat
memilih perannya dalam proses
pembangunan tanpa harus mening-
galkan posisinya sebagai ibu rumah
tangga. Ketiga, perempuan dapat
dilihat sebagai memegang peran
penting dalam rumah tangga.
Keempat, perempuan baik di kota
maupun di desa harus terlibat dalam
memecahkan masalah nasional.
Kelima, kerja perempuan sangat
berkaitan erat dengan pembangunan,
terutama yang berkaitan dengan
jenis-jenis pekerjaan yang membu-
tuhkan ketelitian dan keterampilan.
Sebagai penjabaran dari
GBHN, Depatemen Dalam Negeri
telah merancang tugas utama
perempuan, antara lain: Pertama,
perempuan didefinisikan sebagai
pasangan yang tergantung kepada
suami. Kedua, perempuan dilihat
sebagai pembentuk bangsa. Ketiga,
perempuan dilihat sebagai ibu dan
pendidik anak. Keempat, perempuan
dipersiapkan sebagai pengurus rumah
tangga dan bekerja hanya untuk
memperoleh nafkah tambahan.
Kelima, perempuan dilihat sebagai
bagian dari masyarakat.
Dari kebijakan-kebijakan yang
ada, baik yang dituangkan dalam
GBHN maupun yang telah dirancang
oleh Departemen Dalam Negeri,
terlihat bahwa pendefinasian tentang
perempuan dan tugas-tugasnya
sangat sub-ordinat dan marjinal.
Pendefinisian demikian, tidak menu-
tup adanya peluang untuk kesemena-
menaan terhadap perempuan yang
akhirnya menjurus ke berbagai
bentuk kekerasan, baik di dalam
rumah tangga, meupuan di luar
rumah. Pendefinisian perempuan
seperti ini juga telah melahirkan
konstruksi gender Orde Baru yang
yang bermuara dari pendefinisian
yang sempit tentang perempuan. Di
sisi lain, konstruksi negara tentang
ideologi gender Orde Baru juga
mencerminkan ideologi militeristik,

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
yang merupakan bagian dari lembaga
korporatis negara. Implementasi dari
konstruksi ini dapat dilihat secara
nyata dalam struktur organisasi isteri
pegawai negeri, Dharma Wanita dan
PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga) di tingkat pedesaan.
Dharma Wanita sesungguhnya
juga berakar dari pemikiran militer,
yang berasal dari Persit (Persatuan
Isteri Tentara) dan Bhayangkari
(Persatuan Isteri Polisi) karena ABRI
atau militer memiliki sifat struktur
seperti Dharma Wanita dan PKK.
7

Karena itu, jika dipahami lebih jauh,
Dharma Wanita tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa, melainkan
semata-mata kekuasaan pinjaman dari
negara melalui suami mereka yang
berstatus pegawai negeri sipil. Tidak
hanya organisasi Dharma Wanita dan
PKK, masyarakat sipil lainnya
(kelompok agama, pemuda, partai dan
mahasiswa), juga telah mengadopsi
cara-cara dan gaya militer. Hal ini
terlihat kecenderungan berbagai
keseragaman dan struktur organisasi
yang bergaya komando. Dengan
demikian, apapun bentuk institusi
yang diciptakan pemerintahan Orde
Baru, hampir semuanya telah
mengadopsi gaya militer. Tidak
mengherankan jika budaya kekerasan
sudah merupakan bagian yang
terintegral dari budaya masyarakat

7
Siti Fatimah. 2004. “Negara dan Perem-
puan: Fujinkai 1943-1945 dan Dharma
Wanita 1974-1999”, disertasi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2004.
Indonesia pada masa Orde Baru.
ABRI sebagai agent atau aktor telah
mensosialisasikan budaya ini disadari
atau tidak. Pola pemerkosaan yang
dilakukan militer lewat institusi
DOM (Daerah Operasi Mi liter)
dijadikan alat atau metode untuk
menaklukkan masyarakat demi
kepentingan politik – dalam hal ini
tentu negara - untuk kepentingan
ekonomi politik sipelakunya.
Meskipun operasi militer umumnya
bertujuan untuk memerangi kaum
laki-laki yang berpihak kepada
kelompok separatis, namun acap kali
perempuan dijadikan umpan bagi
pihak militer dalam upaya
menangkap pihak separatis.
Selain itu, terdapat pula bebe-
rapa pasal yang bermasalah dalam
kebijakan publik di Indonesia,
khususnya yang berkenaan dengan
perempuan, seperti pasal 31 dan
pasal 34 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, pasal 2 dan 5 KUHP
Pidana, UU No. 25 tahun 1997, dan
UU No. 23 Tahun 1993.
8
Beberapa
pasal tersebut memperlihatkan adanya
ketimpangan dan ketidakadilan gender,
sehingga memberi peluang berbagai
bentuk kekerasan terhadap perem-
puan, baik di sektor domestik
maupun publik. Beberapa pasal ini,
pada hal sudah menupakan beberapa

8
Untuk penjelasan dari berbagai isi Undang-
undang ini dapat dilihat dalam Adriana
Vennya, “Memahami Kekerasan Terhadap
Perempuan” YJP dan the Japan
Foundation, 2003, p.18, table III.

Perempuan dan Kekerasan…. 99
pasal revisi setelah masa Orde Baru,
namun kenyataannya masih belum
sempurna. Perjuangan yang serius
dari berbagai pihak tentu bukan saja
perempuan – yang meliputi seluruh
komponen pemerintahan (eksekutif)
dan legislatif sangat menentukan
tercapainya sebuah masyarakat yang
berkeadilan dan menjunjung tinggi
hak asasi setiap individu di bumi
Indonesia.

IV.PELUANG K EKERASAN TER -
HADAP PEREMPUAN
Pemerintahan Orde Baru telah
dibangun dan dipertahankan melalui
kekerasan, dengan penetrasi militer
dalam segala aspek kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik. Kekerasan yang
diwakili oleh militer dengan segala
macam simbol yang diberikan
kepadanya, seperti ”militer sebagai
pengayom rakyat, pelindung rakyat,
militer dari rakyat dan untuk rakyat”,
bertolak belakang dengan apa yang
terjadi sesungguhnya di masyarakat.
Negara Orde Baru telah memberi
peluang besar bagi pelanggaran
berbagai bentuk hak asasi manusia,
termasuk kekerasan terhadap
perempuan. Karena itu, pemerintah
Orde Baru harus bertanggungjawab
atas terjadinya berbagai bentuk
pelanggaran hak asasi manusia dalam
skala yang mencengangkan tersebut.
9

Lahirnya kekuasaan Suharto sendiri
bersimbah darah dengan kematian

9
Julia I Suryakusuma, op.cit.
satu juta manusia tidak bersalah,
termasuk perempuan.
10
Kekerasan
terhadap perempuan telah menjadi
bagian integral dari kontrol negara
terhadap masyarakat. Kekerasan
negara – ancaman, tekanan, terror
sistematis, brutalitas, penculikan,
penyiksaan, pemerkoasaan dan
pembunuhan – merupakan bagian
dari pendekaatan keamanan Orde
Baru yang digunakan untuk
mempertahankan kekuasaannya atas
masyarakat Indonesia. Kasus-kasus,
seperti: Tanjung Periuk,
11
tekanan
militer terhadap kaum separatis,
12

pambunuhan Haur Konang,
13

Lampung,
14
Nipah,
15
Marsinah,
16


10
Baca, Saskia, Eleonora Wieringa. 1999.
Penghancuran Geraakan Perempuan di
Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra.
11
Sejumlah penduduk sipil dibunuh oleh
tentara di daerah pelabuhan Tanjung
Periuk, Jakarta pada bulan Desember
1984, sebagai usaha untuk mengendalikan
massa yang mengamuk ( Ammesti
International, 1994), p. 5.
12
Khususnya di daerah operasi DOM di
Aceh, Timor-Timur, dan Irian Jaya.
13
Empat anggota Haur Konang, sebuah
komunitas religius kecil yang terisolasi,
dibunuh olah tentara pada 29 Juli 1993.
Op.cit., p.60.
14
Setidaknya 40 warga sipil (kemungkinan
mencapai 100 orang) dibunuh pada bulan
Februari 1989, saat ABRI melancarkan
serangan darat dan udara terhadap sebuah
desa di Lampung yang menurutnya telah
menjadi tempat menampungan bagi
kelompok pemperontak muslim.
15
Pada bulan September 1993, empat orang
tewas dan tiga orang terluka saat tentara
menembaki warga yang melakukan
demonstrasi damai terhadap pembangunan

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
penembak misterius (petrus),
17
dan
penculikan aktivis politik, pembu-
nuhan mahasiswa Tri Sakti dan
pembunuhan kerusuhan Mei 1998,
dengan melakukan perkosaan massal
terhadap perempuan etnis Tiohoa,
semuanya merupakan bukti nyata
kekerasan negara.
Setelah lensernya Suharto,
wacana tentang perkosaan, peng-
hilangan paksa, dan bentuk kekerasan
lainnya, terus bermunculan. Sebuah
tim pencari fakta terdiri dari anggota
DPR dan LSM dibentuk. Tim ini
bersama KOMNASHAM, telah
mendokumenkan 761 korban pem-
bunuhan, 163 orang hilang, 368
korban penyiksaan, 102 korban
perkosaan yang terjadi tahun 1985-
1999.
18


Lebih jauh, terdapat berbagai faktor
yang melanggengkan kekerasan

waduk Nipah, Madura. Dalam pemba-
ngunan waduk tersebut, empat buah desa
yang menjadi tempat tinggal mereka
ditenggelamkan
16
Marsinah (25) tahun adalah seorang buruh
pabrik di Jawa Timur yang “menghilang”
kemudian ditemukan tewas pada awal Mei
1993 setelah disiksa dan diperkosa akibat
peranannya sebagai aktivis buruh.
17
Antara 1983-1986, pasukan algojo
pemerintah yang dikenal sebagai “petrus”
(penembak misterius) telah mengeksekusi
sekitar 5000 kriminal dalam berbagai kota
di Indonesia. op.cit., p. 64.
18
Galuh Wandita, “Air Mata Telah Terkuras,
Kekerasan Belum Berakhir” dalam Negara
dan Kekerasan Terhadap Perempuan,
(YPI-The Asia Foundation, 2000), p. 121.
terhadap masyarakat terutama
perempuan, antara lain; ideologi,
agama, sosial, ekonomi dan politik.
Secara ideologi, pendefinisian
perempuan yang sempit oleh negara
sebagai makhluk yang lemah dan
rendah daripada laki-laki, memberi
peluang bagi perempuan untuk
didominasi secara patriakis. Budaya
paternalistik yang berorientasi ke atas
dan sistem komandonya, juga telah
membuka peluang untuk kese-
wenang-wenangan yang bermuara
kepada kekerasan. Penafsiran yang
keliru tentang teks-teks agama,
budaya feodalistik, sistem ekonomi
yang kapitalistik, dan sistem politik
korporatis, semuanya telah menyatu
satu sama lain dalam lingkaran yang
sangat patriakhis, sehingga memu-
luskan jalan untuk terjadinya berbagai
bentuk kekerasan di masyarakat,
khususnya terhadap perempuan.
Budaya patriakhis yang diwa-
riskan dari jaman kolonial, kemudian
telah menyatu dan mengakar dalam
budaya Jawa, sangat mendominasi
budaya nasional. Meskipun Indonesia
terdiri dari berbagai etnis, model
kekuasaan yang paternalistik dan
budaya patriakhis Jawa telah
merupakan bagian yang integral dari
budaya bangsa Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dalam berbagai realitas
kehidupan masyarakat Indonesia.,
baik dalam sistem pemerintahan,
maupun dalam kebiasaan kehidupan
masyarakat sehari-hari. Banyak
sekali kajian-kajian yang telah

Perempuan dan Kekerasan…. 99
menjelaskan hubungan simbiosis
antara budaya Jawa dengan budaya
nasional dan bentuk kekuasaan Jawa
dengan sistem kekuasaan nasional.
19

Bahkan ada diantara para ahli yang
berpendapat bahwa sistem peme-
rintahan Orde Baru mengadopsi
model pemerintahan Jawa pada masa
Mataram Hindu, yang sangat
feodalistik.
Dengan demikian praktek-praktek
kekerasan terhadap perempuan sudah
lama terjadi dalam masyarakat Jawa,
baik dalam struktur kekuasaan Jawa
maupun dalam kehidupan keagamaan
di pesantren-pesantren tradisional
Jawa. Pola perkawinan poliyandri
yang memberi peluang kekerasan
terhadap perempuan, misalnya, meru-
pakan bagian yang sangat direstui
dalam masyarakat Jawa.
20


V. KASUS MEI 1998 SEBAGAI PUN-
CAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan fenomena yang unversal
di dunia. Kekerasan yang berbasis
gender, pemerkosaan, kekerasan
domestik, mutilasi, pelecehan seksual,

19
Para ahli tersebut antara lain adalah,
Soemarsaid Moertono, G. Mudjanto, Djoko
Suryo, Koentiwidjoyo, Sartono Karto-
dirdjo, Onghokham dan ahli-ahli budaya
lainnya.
20
Linda Christanty. 2002. “Nyai dan
Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”
dalam Perempuan dan Wacana Politik
Orde Baru. Jakarta:LP3S, 2002.
dan pembunuhan merupakan perso-
alan yang serius dihadapi perempuan
di dunia. Kekerasan terhadap perem-
puan mungkin merupakan tantangan
terbesar terhadap kehidupan perem-
puan. Sejak terjadinya peristiwa
pemerkosaan massal terhadap etnis
Cina pada bulan Mei 1998, masalah
ini telah menjadi pusat perhatian
organisasi-organisasi perempuan di
Indonesia. Peristiwa tersebut juga
telah menimbulkan kontraversi sosial
politik, kecemasan bagi negara, dan
mengundang kutukan dari dunia
internasional. Meskipun demikian,
Kekerasan Terhadap Perempuan
(KTP) baru belakangan ini diakui
sebagai salah satu masalah HAM
oleh PBB dan beberapa negara.
21

Puncak kebiadaban pemerko-
saan terhadap perempuan di Indo-
nesia terjadi pada tanggal 13, 14, dan
15 Mei 1998, dengan korbannya
terutama dari kalangan perempuan
Tionghoa. Catatan dari Tim Relawan
untuk kemanusiaan memperlihatkan
bahwa jumlah total korban perkosaan

21
Pasal 1 dari Deklerasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan manya-
takan bahwa kekerasan terhadap
perempuan meliputi: “semua kekerasan
berbasis gender yang mengakibatkan, atau
dapat mengakibatkan kerugian dan
penderitaan fisik, seksualitas atau
psikhologi bagi wanita, termasuk ancaman
atas tindakan-tindakan tersebut, pemak-
saan atau perampasan kekuasaan, dalam
kehidupan pribadi maupun publik.
(Economic and Social Concil, 1992.
Decralasi ini baru diresmikan oleh Sidang
Umum PBB pada tahun 1993.

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
dan pelecehan seksual massal yang
melapor sampai 3 Juli 1998 adalah
168 orang (152 orang dari Jakarta dan
sekitarnya, 16 orang dari Solo,
Medan, Palembang, dan Surabaya).
22

Selanjutnya, menurut laporan tersebut
20 orang meninggal dunia. Sedangkan
yang lainnya berada dalam kondisi
fisik dan psikologis yang sangat
menderita. Ada yang bunuh diri dan
ada yang terbaring di rumah sakit
pada saat itu. Korban berusia antara
10 sampai 50 tahun, mayoritas
berumur 20-30 tahun.
23

Dalam salah satu wawancara di
Media Massa, Romo Ignatius
Sandyawan, salah satu motor
pendirian posko tim relawan,
menuturkan kebiadaban yang terjadi
pada saat kerusuhan.
“Tapi, yang paling parah etnis
Cina. Mereka menjadi korban
pelecehan dan perkosaan.
Kalau mendengarkan ceritanya
mengerikan sekali. Ada satu
keluarga dengan tiga orang
anak perempuan. Kakaknya
dan adiknya lebih dulu
diperkosa pada saat kobaran
api. Kejadian itu di depan mata
keluarganya. Lalu, gantian
kakaknya diperkosa”.
24


22
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, “Perko-
saan Massal dalam Rentetan Kerusuhan:
Puncak Kebiadaban dalam Kehidupan
Bangsa”, Jakarta, 1998.
23
Ibid.,
24
Wawancara dalam majalah D&R, no.
46/XXIX/4 Juli 1998, p. 50. Lihat juga
Gadis Arivia. 2000. “Logika Kekerasan
Ada beberapa pendapat yang
mengemuka kenapa pemerkoasaan
massal pada bulan Mei 1998 tersebut
ditujukan kepada etnis Cina.
Diantaranya menyatakan bahwa
faktor sosial ekonomi lah yang telah
memicu kecemburuan sosial terhadap
etnis Cina. Pendapat lain menye-
butkan bahwa faktor politis sebagai
penyebab kekerasan terorganisir oleh
negara dengan mentargetkan perem-
puan sebagai obyek sasarannya
melalui cara yang sudah klasik yaitu
pemerkosaan, dengan target
keturunan Tionghoa sebagai kelom-
pok yang dikorbankan.
Terlepas dari berbagai pendapat
mengenai faktor manakah yang
paling benar dan dominan,
kenyataannya aparat keamanan
(militer dan polisi), yang
membiarkan kerusuhan dan
pemerkoasaan terjadi, tanpa ada
satupun aparat negara yang bertugas
untuk melindungi warganya ketika
itu, sudah jelas merupakan bukti
tentang adanya pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Negara atau
pemerintah dianggap gagal
memberikan perlindungan terhadap
warganya. Meskipun sampai saat ini
belum mampu membuktikan bahwa
negara/pemerintah sebagai dalang di
belakangnya, namun dari fakta yang
terdapat ada kecenderungan bahwa

Negara terhadap Perempuan”, dalam
Negara dan Kekerasan Terhadap
Perempuan, Yayasan Journal Perempuan
dan the Asia Foundation, 2000.

Perempuan dan Kekerasan…. 99
negara berada di belakang itu semua.
Akan tetapi, yang paling penting
adalah bahwa negara Orde Baru harus
bertanggung jawab atas pelanggaran
HAM pada saat itu. Peristiwa tersebut
telah merupakan lembaran hitam
dalam sejarah Hak Asasi Manusia di
Indonesia.

VI. SIMPULAN
Negara dan pemerintahan Orde Baru
telah dibangun dengan berbagai
nuansa kekerasan. Mulai dari awal
berdirinya pemerintahan Suharto
sampai di akhir pemerintahannya
Orde Baru telah mengorbankan
berjuta-juta masyarakat, terutama
kaum perempuan yang tidak bersalah
dan tidak mengerti apa-apa. Budaya
kekerasan yang dipelopori oleh
militer sebagai tiang penyangga
pemerintahan Orde Baru sudah
merupakan bagian yang terintegral
dalam budaya bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan sejarah HAM
di Indonesia, pemerintah Suharto
merupakan pemerintahan yang paling
banyak melakukan pelanggaran
terhadap HAM. Sedangkan
kelompok yang paling menderita
adalah perempuan. Perlakuan-
perlakuan di luar perikemanusian
yang dialami perempuan oleh
kelompok militer pada masa Orde
Baru, seperti di Aceh, Irian Jaya,
Timor-Timur, Jakarta dan wilayah
lainnya di Indonesia, menunjukkan
bahwa pemerintahan Orde Baru
adalah sebuah pemerintahan yang
dikemas dengan budaya kekerasan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adriana Vennya. 2003. “Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan” YJP dan
the Japan Foundation, 2003, p.18, table III.
Gadis Arivia. 2000. “Logika Kekerasan Negara terhadap Perempuan”, dalam
Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan Journal
Perempuan dan the Asia Foundation, 2000.
Galuh Wandita. 2000. “Air Mata Telah Terkuras, Kekerasan Belum Berakhir”
dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. YPI-The Asia
Foundation, 2000, p. 121.
Julia I Suryakusuma. 2000. “Militerisme dan kekerasan terhadap perempuan”.
Makalah. Dipresentasikan untuk Program Kampanye Hari Internasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, diselenggarakan oleh Yayasan
Journal Perempuan di Pusat Studi Jepang, Uviversitas Indonesia, 25
November 2000.
Linda Christanty. 2002. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda” dalam
Perempuan dan Wacana Politik Orde Baru. Jakarta: LP3S, 2002.

DEMOKRASI Vol. VI No. 2 Th. 2007 100
Saskia, Eleonora Wieringa. 1999. Penghancuran Geraakan Perempuan di
Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra.
Scruton. 1982. A Dictionary of Political Thought Pan Reference. London.
Silfiana Sanggenafa. 2000. “Pelanggaran HAM, perempuan, dan Aparat Militer di
Irian Jaya” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. YJP dan
The Asia Foundation, 2000, p. 184.
Siti Fatimah. 2002. “Negara dan Perempuan: Studi Kasus Dharma Wanita 1974-
1999”. Tesis. S2 Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia. Jakarta.
Siti Fatimah. 2004. “Negara dan Perempuan: Fujinkai 1943-1945 dan Dharma
Wanita 1974-1999”. Disertasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. Perkosaan Massal dalam Rentetan
Kerusuhan: Puncak Kebiadaban dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta.