KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
FAKULTAS KEDOKTERAN
Jl. Ir. Sutami 36A, Jebres, Surakarta. Telp. (0271) 655695


MODUL KETERAMPILAN MEDIS
PEMERIKSAAN TINJA PARASITOLOGIS
BLOK 4.2 PENYAKIT GASTROHEPATOINTESTINAL














Nama :
NIM :
Kelompok :
Pembimbing :



TIM PENYUSUN:

Sigit Setyawan, dr., M.Sc
Dra. Sri Haryati, M.Kes
Dra. Sutartinah Sri Handayani, M. Si.
Paramasari Dirgahayu, dr. PhD
Dr. Yulia Sari, S.Si., M.Si
Yusuf Ari Mashuri, dr., M.Sc.
Khesara Sastrin Prasita Negara, drh. M.Sc.


LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
2022

i
MODUL KETERAMPILAN MEDIS
PEMERIKSAAN TINJA
PARASITOLOGIS

BLOK 4.2 PENYAKIT GASTROHEPATOINTESTINAL







TIM PENYUSUN:
Sigit Setyawan, dr., M.Sc
Dra. Sri Haryati, M.Kes
Dra. Sutartinah Sri Handayani, M. Si.
Paramasari Dirgahayu, dr. PhD
Dr. Yulia Sari, S.Si., M.Si
Yusuf Ari Mashuri, dr., M.Sc.
Khesara Sastrin Prasita Negara, drh., M.Sc.






LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
2022

ii
ABSTRAK


Keterampilan klinik pemeriksaan tinja parasitologis merupakan cara
untuk mendeteksi keberadaan parasit dalam tubuh serta mempunyai peran yang
cukup penting sebagai salah satu cara menegakkan diagnosis infeksi oleh
parasit. Keterampilan klinis ini sebagai penunjang pemeriksaan berbagai infeksi
oleh parasit; seperti infeksi protozoa usus, infeksi cacing usus yang meliputi
nematoda usus, trematoda usus, dan cestoda usus. dentifikasi parasit dalam tinja
dan pembuatan preparat tinja sederhana. Beberapa penyakit infeksi oleh parasit
pada organ-organ selain usus, seperti hati, paru serta beberapa sistem vaskuler
dapat dideteksi keberadaannya dengan pemeriksaan tinja.
Kemampuan melakukan pemeriksaan tinja dengan indikasi
parasitologis, merupakan salah satu kompetensi (kompetensi 4) yang harus
dimiliki oleh seorang dokter umum yang merupakan dokter layanan primer.
Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi keberadaan
parasit dalam tinja, seperti: stadium kista dan trofozoit dari protozoa, stadium
telur, larva dan dewasa dari berbagai cacing (Nematoda, Trematoda dan
Cestoda), sehingga dapat menegakkan diagnosis penyakit infeksi parasit.
Kompetensi dasar pembelajaran ini adalah mampu melakukan persiapan
pemeriksaan tinja, pemeriksaan makroskopis tinja, pembuatan sediaan dari
spesimen/tinja, dan melakukan identifikasi.
Kegiatan dalam praktikum ini diawali dengan asistensi dan pretes.
Evaluasi dilaksanakan dalam bentuk penilaian cara pembuatan preparat dan
responsi identifikasi parasit. Kemampuan mengidentifikasi parasit dalam
sediaan diharapkan dapat berarti mampu mendukung penegakan diagnosis
penyakit infeksi

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
bimbingan-Nya, sehingga penyusunan BUKU MODUL KETERAMPILAN
MEDIS PEMERIKSAAN TINJA PARASITOLOGIS Blok 4.2 Penyakit
Gastrohepatointestinal untuk menunjang pelaksanaan pendidikan dokter dengan
kurikulum berbasis kompetensi di Fakultas Kedokteran UNS dapat kami
selesaikan.
Perubahan paradigma pendidikan kedokteran menyebabkan perlunya
dilakukan perubahan kurikulum pendidikan dokter khususnya kedokteran dasar
di Indonesia. Berkembangnya teknologi kedokteran serta meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, dokter umum dituntut terampil
dalam memberikan pelayanan kesehatan termasuk terampil dalam melakukan
pemeriksaan tinja parasitologis untuk menunjang penegakan diagnosis berbagai
penyakit infeksi parasit. Dengan tersusunnya buku ini diharapkan mahasiswa
kedokteran lebih mudah dalam mempelajari dan memahami pemeriksaan tinja
parasitologis sehingga mampu membuat diagnosis dan memberikan terapi
dengan baik dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan buku ini. Sangat disadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan,
sehingga sangat diharapkan saran dan kritik membangun untuk perbaikan buku
ini.
Terima kasih dan selamat belajar.




Surakarta, Februari 2022



Tim Penyusun

iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................... i
Abstrak ............................................................................................................ ii
Kata Pengantar .................................................................................................iii
Daftar Isi ......................................................................................................... iv
Pendahuluan ..................................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Tujuan Pembelajaran ........................................................................................ 1
Dasar Identifikasi Parasit Patogen Dalam Tinja ................................................. 2
A. Hookworm Diseases.................................................................................... 3
B. Strongyloidiasis .......................................................................................... 8
C. Ascariasis .................................................................................................. 10
D. Enterobiasis ............................................................................................... 13
E. Trikuriasis.................................................................................................. 14
F. Taeniasis .................................................................................................... 15
G. Amebiasis.................................................................................................. 18
H. Giardiasis .................................................................................................. 20
I. Balantidiasis................................................................................................ 22
J. Teori Dasar Pemeriksaan Tinja ..................................................................... 24

1

PENDAHULUAN


I. Latar Belakang
Pemeriksaan tinja parasitologis merupakan suatu cara untuk
mendeteksi keberadaan parasit dalam tubuh serta mempunyai peran yang
cukup penting sebagai salah satu cara menegakkan diagnosis infeksi oleh
parasit
Kegunaan pemeriksaan tinja, mempunyai cakupan yang cukup luas
untuk menunjang pemeriksaan berbagai infeksi oleh parasit; seperti infeksi
protozoa usus, infeksi cacing usus yang meliputi nematoda usus, trematoda
usus, dan cestoda usus. Beberapa penyakit infeksi oleh parasit pada organ-
organ selain usus, seperti hati, paru serta beberapa sistem vaskuler dapat
dideteksi keberadaannya dengan pemeriksaan tinja.
Kemampuan melakukan pemeriksaan tinja dengan indikasi
parasitologis, merupakan salah satu kompetensi (kompetensi 4) yang harus
dimiliki oleh seorang dokter umum yang merupakan dokter layanan primer.

II. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa
mempunyai kompetensi untuk melakukan pemeriksaan tinja. Mampu
mengidentifikasi keberadaan parasit dalam tinja, seperti : stadium kista dan
trofozoit dari protozoa, stadium telur, larva dan dewasa dari berbagai
cacing (Nematoda, Trematoda dan Cestoda), sehingga dapat menegakkan
diagnosis penyakit infeksi parasit.

Adapun kompetensi dasar pembelajaran ini adalah :
a. Mampu melakukan persiapan pemeriksaan tinja
b. Mampu melakukan pemeriksaan makroskopis tinja
c. Mampu melakukan pembuatan sediaan dari spesimen/tinja
d. Mampu melakukan pemeriksaan dan identifikasi parasit secara
mikroskopis dalam sediaan dan spesimen tinja.
Kemampuan mengidentifikasi parasit dalam sediaan diharapkan dapat berarti
mampu mendukung penegakan diagnosis penyakit infeksi

2

III. Dasar Identifikasi Parasit Patogen dalam Tinja
A. Parasit yang menimbulkan Hookworm diseases
1. Necator americanus
2. Ancylostoma duodenia
3. Ancylostoma caninum
B. Parasit yang menimbulkan Strongyloidiasis
Strongyloides stercoralis
C. Parasit yang menimbulkan Ascariasis
Ascaris lumbricoides
D. Parasit yang menimbulkan Enterobiasis
Enterobius vermicularis
E. Parasit yang menimbulkan Trikuriasis
Trichuris trichura
F. Parasit yang menimbulkan Taeniasis
1. Taenia solium
2. Taenia saginata
G. Parasit yang menimbulkan Amebiasis
1. Entamoeba histolytica
2. Entamoeba coli
H. Parasit yang menimbulkan Giardiasis
Giardia lamblia
I. Parasit yang menimbulkan Balantidiasis
Balantidium coli

3

A. HOOKWORM DISEASES
1. Necator americanus

Bersama dengan Ancylostoma duodenale, cacing Necator
americanus dikelompokkan sebagai cacing tambang. Meskipun memiliki
beberapa perbedaan dalam distribusi geografis, tetapi keduanya
mempunyai daur hidup yang serupa.
Untuk melacak keberadaan cacing tambang di dalam usus manusia
dapat dilakukan pemeriksaan tinja langsung (seperti pada pemeriksaan
rutin tinja), dengan metoda konsentrasi atau biakan tinja menurut Harada
Mori. Pada pemeriksaan tinja langsung maupun konsentrasi dapat
ditemukan telur atau kadang² dapat ditemukan larva rhabditiformis
walaupun jarang, misalnya pada tinja penderita konstipasi. Pada biakan
tinja dicari larva baik rhabditiformis maupun filariformis, sehingga perlu
dikenali morfologinya dengan baik. Larva, terutama rhabditiformis sukar
dibedakan antara N. americanus dengan A. duodenale, tetapi dapat
dibedakan dari larva S. stercoralis.

Telur:
- Telur Necator americanus tidak dapat dibedakan dari telur Ancylostoma
duodenale.
- Berbentuk oval atau ellipsoidal
- Ukuran panjang 55 – 75 µ, lebar 35 – 42 µ
- Berdinding hialin, transparan, tipis, satu lapis
- Telur yang diambil dari feses yang masih baru mengandung 4 – 8 sel , tapi bila
diambil dari feses yang sudah lama bisa didapatkan telur yang telah
mengandung larva rhabditiformis.


Cacing Dewasa:
Makroskopis :
- Warna putih abu-abu/kemerah-merahan
- Cacing jantan ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai
bursa kopulatrik
- silindris, lebih kecil dan lebih langsing dibanding Ancylostoma duodenale,
bagian ujung anterior menghadap ke arah dorso anterior karena adanya
curvatera cervival, sehingga berbentuk seperti huruf S.
- Cacing betina lebih besar dari pada yang jantan
- Jantan : Panjang 7 – 9 mm, diameter 0,4 mm
- Bursa panjang dan lebar

4

- Betina : Panjang 9 – 11 mm
- Diameter 0,4 mm

Mikroskopis :
- Kapsula bukalis kecil , terdapat :
 1 pasang lempeng pemotong ventral berbentuk ½ lingkaran
 1 pasang lempeng pemotong dorsal
 1 pasang gigi subventral/lateral
 1 pasang gigi dorsal

- Bursa kopulatrik :
 Di ujung posterior cacing jantan dewasa, merupakan alat kopulasi
diperkuat dengan 7 pasang ‘rays’:
 Dorsal ray, bercelah dalam, masing
2
ujung bercabang 2
(=bifida=bipartite).
 Eksternodorsal
 Posterolateral
 Mediolateral
 Eksternolateral
 Lateroventral
 Ventro ventral
 Terdapat sepasang spikula kopulatorius seperti cambuk ; ujungnya
bersatu dan melebar, membentuk kait.


Gambar diagramatik Gambar diagramatik
N. americanus ♀ N. americanus ♂

5


Gambar mikroskopik Gambar diagramatik
mulut Necator americanus mulut Necator americanus

Gambar diagramatik bursa kopulatriks
Necator americanus.

2. Ancylostoma duodenale

Seperti N. americanus, untuk melacak keberadaan cacing ini di
dalam usus manusia dapat dilakukan pemeriksaan tinja langsung, dengan
metoda konsentrasi atau biakan tinja menurut Harada Mori. Pada
pemeriksaan tinja langsung maupun konsentrasi dapat ditemukan telur atau
kadang-kadang dapat ditemukan larva rhabditiformis walaupun jarang,
misalnya pada tinja penderita konstipasi. Pada biakan tinja dicari larva baik
rhabditiformis maupun filariformis.

Larva Rhaditiformis:
- panjang ± 0,25 – 0,5 mm, diameter 17 µm;
- mulut terbuka, kapsula bukalis panjang, sempit;
- esofagus berbentuk seperti botol, panjangnya ± ⅓ panjang tubuh;
- primordium genital kecil, tidak jelas/susah dilihat.

Gambar diagramatik larva rhaditiformis
A. duodenale.

6

Larva Filariformis:
- tubuhnya langsing, panjang 0,5 – 0,6 mm;
- mulut menutup, panjang esofagus pendek, ± ¼ panjang tubuh.



Cacing dewasa:
 Makroskopis :
Gambar diagramatik larva filariformis
A. duodenale.
o Warna putih abu-abu/kemerah-merahan
o Gemuk, bagian anterior agak meruncing, melengkung ke dorsal,
membentuk seperti huruf C
o Cacing jantan ujung posteriornya melengkung ke ventral dan
mempunyai bursa kopulatrik
o Cacing betina lebih besar dari pada yang jantan
o Jantan : Panjang 8 – 11 mm; diameter 0,4 – 0,5 mm
o Betina : Panjang 10 – 13 mm; diameter 0,6 mm

 Mikroskopis:
o Kapsula bukalis lebar, bentuk oval, diameter transversal lebih besar
o Disebelah ventral (‘atas’ pada mikroskop anda), terdapat gigi pemotong
terdiri dari 2 pasang gigi yang menyatu, gigi luar lebih besar daripada
gigi dalam, gigi dalam mempunyai processus medianus yang tak jelas.
o Di sebelah dorsal (‘bawah’ pada mikroskop anda) terdapat lempeng gigi
dengan celah median
o Bursa kopulatrik: ‘dorsal ray’ mempunyai celah dangkal, masing
2
ujung
bercabang 3 (= trifida = tripartite). Terdapat sepasang spikula
kopulatorius seperti cambuk yang ujungnya tetap terpisah atau sejajar.

Gambar mikroskopis kapsula Gambar diagamatik kapsula
bukalis A. duodenale bukalis A. duodenale

7




Gambar mikroskopis Bursa kopulatorius
Ancylostoma duodenale ampak
anteroposterior.
Gambar mikroskopis bursa
kopulatorius Ancylostoma
duodenale tampak lateral

3. Ancylostoma caninum

Meskipun ada laporan cacing ini pernah menginfeksi manusia, namun
umumnya merupakan parasit pada anjing, terutama di belahan bumi utara.
Stadium klarva dapat menimbulkan ‘creeping eruption’ pada manusia. Dalam
praktikum ini ditunjukkan kavum bukalisnya sebagai pembanding dengan
kavum bukalis cacing tambang yang lain.
Cacing Dewasa:
- Kavum bukalis lebar
- Terdapat 3 pasang gigi ventral
- Esofagus sebagai lanjutan kavum bukalis










-
Gambar diagramatik mulut A. caninum.

8



Strongyloides stercoralis (Bavay, 1876) Styles and Hassall, 1902.

Untuk menegakkan diagnosa strongiloidiasis perlu dilakukan pemeriksaan tinja
untuk melacak keberadaan larva (terutama rhabditiformis), baik dengan
pemeriksaan tinja secara langsung maupun dengan biakan Harada Mori. Telur S.
stercoralis sukar/jarang ditemukan karena biasanya sudah menetas menjadi larva
rhabditiformis sewaktu masih didalam rektum (masih didalam mukosa usus).
Larva Rhabditiformis:
- panjang 200 – 400 µ, diameter 16 – 18 µ;
- kavum bukalis pendek, dimeternya kecil, hanya tampak sebagai suatu garis
tipis;
- panjang esofagus dibanding panjang badan larva ± 1 : 3;
- bagian posterior esofagus terdapat penyempitan oleh karena cincin saraf dan
di sebelah anal (posterior) penyempitan esofagus berbentuk sebagai bulbus
→ bulbus esofagus;
- primordium genital relatif jelas, terletak ± di pertengahan usus.

Gambar mikroskopik larva
rhabditiformis S. stercoralis

Larva Filariformis:
- panjang 400 – 700 µ, diameter 12 – 20 µ;
- berbentuk langsing panjang;
Gambar diagramatik larva rhabditiformis
S. stercoralis
- sangat menyerupai larva filariformis cacing tambang, hanya disini esofagus
relatif lebih panjang, ± ½ panjang badan;
- tidak ada bulbus esofagus;
- ujung ekor bertakik.

B. STRONGYLOIDIASIS

9



Gambar mikroskopik larva filariformis
S. stercoralis
Gambar diagramatik larva
filariformis S. stercoralis

Cacing Dewasa yang hidup bebas:
- ♂: mempunyai ukuran panjang 0,7 – 1 mm; diameter 40 – 50 µ, berbentuk
rhabditoid, fusiform lebar; ekor runcing & melengkung ke ventral,
mempunyai sepasang spikula & gubernakulum.





Gambar mikroskopik jantan hidup
bebas S. stercoralis Gambar diagramatik jantan hidup
bebas S. stercoralis

- ♀: berukuran panjang ± 1- 1,7 mm, lebar 50 – 70 µ; badan gemuk,
rhabditoid, terisi penuh dengan telur yang memenuhi sebagian besar tubuh.

10




Gambar mikroskopik betina hidup bebas
S.stercoralis

Gambar diagramatik betina hidup
bebas S. stercoralis






C. ASCARIASIS

Ascaris lumbricoides Linnæus, 1758.

Ascaris lumbricoides bersama-sama dengan cacing tambang, Trichuris
trichiura dan Strongyloides stercoralis secara epidemiologis dikelompokka n
sebagai “cacing-cacing yang ditularkan melalui perantaraan tanah” (‘soil
transmitted helminthiases’). Untuk menjadi stadium infektif cacing-cacing ini
umumnya memerlukan tumbuh di tanah selama beberapa waktu (kecuali
Strongyloides stercoralis yang dapat terjadi siklus langsung, yaitu larva
filariformis terbentuk masih dalam rektum, dan pada keadaan tertentu cacing
tambang, misalnya pada penderita yang mengalami konstipasi, larva filariformis
dapat terbentuk sewaktu masih didalam rektum).
Untuk menegakkan diagnosa askariasis, dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap tinja dalam medium air. Selain itu telur Ascaris juga dapat
tampak dengan jelas pada pemeriksaan rutin tinja untuk melacak protozoa, seperti
pemeriksaan tinja dalam larutan garam fisiologis, Y-KY maupun eosin. Telur
Ascaris, selain dapat ditemukan dari tinja, juga dapat ditemukan dari tanah, air atau
bahan makanan yang tercemar (misal: sayur), dengan metoda konsentrasi.
Selain telur, cacing dewasa Ascaris juga dapat ditemukan keluar melewati
anus, atau pada keadaan tertentu (jarang) seperti ‘erratic migration’ ditemukan
keluar melalui hidung atau mulut, atau ditemukan dalam apendiks. Oleh karena itu
selain mengenal morfologi telur perlu juga dikenal morfologi cacing dewasa.

Telur:

1. Telur Fertil dengan Selubung Protein albuminoid:
- Berbentuk bulat telur, lebar, panjang ± 60 – 75 μm, lebar ± 40 – 50 μm;
- Dinding paling luar terdapat selubung protein/albuminoid dengan
permukaan luar kasar berbenjol-benjol/bergelombang, terwarna oleh
pigmen empedu sehingga berwarna coklat kekuningan sampai coklat
gelap;

11

- disebelah dalamnya terdapat dinding telur yang tebal, transparan, tidak
berwarna (=selubung hialin), di sebelah lebih dalam lagi terdapat
membrana vitelina tipis yang pada sediaan sukar dilihat.
- didalam telur terdapat sel germinativum berbentuk bulat, dan karena ruang
yang terbentuk oleh dinding telur berbentuk lonjong sedang isinya, sel
germinativum berbentuk bulat maka terbentuk rongga berbentuk bulan
sabit (celah semilunaris) di kedua ujungnya.

2. Telur Fertil tanpa Selubung Protein:
seperti telur fertil dengan selubung protein, hanya kehilangan/tanpa
selubung protein, sehingga permukaan luar telur terlihat halus.

3. Telur Infertil:
- berbentuk ellipsoid panjang, lebih besar dan lebih memanjang dibanding
telur fertil, ukuran lebih bervariasi, panjang ± 60 – 90 μ, lebar ± 40 – 60
μ.
- dinding telur tipis, berkelok-kelok, tipis, permukaan berbenjol-benjol
(bandingkan dengan dinding telur fertil), bisa tertutup atau tidak tertutup
selubung protein
- berisi massa yang disorganisasi berupa granula yang sangat refraktil
dengan bermacam-macam ukuran.


Telur fertil dengan selubung protein Telur fertil tanpa selubung protein


Telur infertil

Cacing Dewasa:
- cacing ini merupakan parasit Nematoda terbesar pada manusia.
- berbentuk silindris, berwarna putih atau kuning kemerahan, ujung anterior
tumpul sedang ujung posterior lebih meruncing
- pada tiap-tiap sisi terdapat garis-garis longitudinal (‘lateral lines’)
berwarna putih sepanjang badan cacing;

12

- tubuhnya ditutupi kutikula bergaris-garis melintang;
- pada ujung anterior terdapat 3 buah labia/bibir, satu di mediodorsal, sepasang
di ventrolateral, dan di tengah, di antara ketiga bibir terdapat kavum bukalis
kecil berbentuk segitiga.
- cacing jantan berukuran panjang ± 10 – 31 cm; diameter ± 2 – 4 mm, ujung
posterior melengkung ke ventral dengan sepasang spikula kopulatorius
silindris dan bentuknya sederhana yang terletak dalam kantong;
- cacing betina: lebih besar dari cacing jantan, berukuran panjang 20 – 35 cm,
Ø 3 – 6 mm, vulva terletak di ventral tengah, ± di sepertiga anterior tubuh.



Cacing Jantan satu di tengah, cacing Betina mengelilingi cacing jantan



Ujung anterior Ujung posterior (SP=spikula kopulatorius)

13



♂ lateral ♀ lateral ♀ ventral
Ujung posterior



Enterobius vermicularis (Linnæus, 1758) Leach 1853.

Telur cacing ini dikeluarkan dari cacing betina di sekitar anus terutama
malam hari sehingga telur cacing ini hanya ditemukan pada pemeriksaan dengan
‘anal swab’ atau dengan pemeriksaan dengan menggunakan ‘cellophan tape’.
Cacing dewasa betina kadang dapat ditemukan juga di perianal.

Telur:
- berbentuk ellipsoid, salah satu sisi mendatar, sisi lain melengkung;
- panjang 50 – 60 μm, lebar 20 – 30 μm;
- berdinding hialin, transparan;
- biasanya ditemukan sudah mengandung embrio dalam stadium ‘tadpole’
(kecebong).


Cacing Dewasa:
- berbentuk silindris
- pada ujung anterior terdapat 3 labia dan sepasang alae berupa pelebaran
kutikula ke arah dorsal & ventral, disebut ‘cephalic alae’.
- bulbus esofagus ganda.
- ♂: panjang: 2 – 5 mm; diameter: 0,1 – 0,2 mm; ujung posterior sangat me-
lengkung ke ventral dengan spikula kopulatorius yang jelas; tidak ada
guberna-kulum; mempunyai bursa yang kecil yang tampak sebagai alae
kaudal.
- ♀: panjang 8 – 13 mm, diameter: 0,35 – 0,5 mm; bagian ekor meruncing;
vulva terletak kira-kira ½ bagian anterior

D. ENTEROBIASIS

14




Atas cacing dewasa betina, bawah cacing dewasa jantan





Trichuris trichiura (Linnæus, 1758) Leach 1853.

Infeksi cacing ini sering terjadi di daerah panas, sering terlihat bersama-sama
dengan Ascaris.


Telur:
 Manusia mendapatkan infeksi dengan menelan telur yang mengkontaminasi
tanah
 Telur-telur menetas di usus kecil dan akhirnya melekat pada mukosa
usus besar.
 Cacing dewasa menjadi matur dalam waktu sekitar 3 bulan dan mulai
memperoduksi telurnya.
 Telur berwarna tengguli, berbentuk tong dengan tombol yang transparan
 Ukuran panjang 50x54 µm dan lebar 22x23 µm.
 Telur dikeluarkan pada stadium belum membelah dan menjadi matang
setelah 14 hari kemudian.
 Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya yang khas dalam tinja.


E. TRIKURIASIS

15




Dewasa:
 Ukuran jauh lebih besar dari cacing kremi.
 Ukuran: panjang 35-50mm (betina) dan 30-45mm (jantan)
 Cacing jantan bagian kaudalnya melingkar 360 derajat
 Cacing dewasa jarang ditemukan dalam tinja karena melekat pada dinding
usus.
 Ujung posterior yang besar dilukiskan sebagai gagang cambuk sedang
bagian ujung anterior yang tipis sebagai cambuknya, sehingga dinamakan
’Cacing Cambuk’.




F.1 Taenia Solium

Cacing ini hidup dalam rongga usus manusia. Telur dikeluarkan bersama
tinja. Kadang, pada kondisi tertentu, proglotid dapat keluar melalui anus. Untuk
mengetahui spesies yang menginfeksi penderita hanya dapat dilakukan dengan
memeriksa proglotid atau skoleks, tetapi karena skoleks ini kecil, sukar ditemukan,
dan baru dikeluarkan dari usus setelah pengobatan, maka identifikasi spesies lebih
banyak dilakukan dengan memeriksa proglotid GRAVID. Sedang pemeriksaan
skoleks digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan.
Bentuk infektif terhadap manusia adalah sistiserkus selulosa dan telur. Bila
manusia terinfeksi oleh sistiserkus selulose yang terdapat pada daging babi akan
menderita taeniasis solium, sedang bila oleh karena berbagai sebab terinfeksi oleh
telur akan menderita sistiserkosis selulosa.


F. TAENIASIS

16

:
Telur
- Telur Taenia solium dan T. saginata sulit dibedakan.
- Bentuk membulat, berukuran 30 – 43 x 29 – 38 µ; dinding telur (embriofor)
terdiri atas hialin yang bergaris-garis radier; berisi onkosfer (embrio
heksakan ) yang memiliki 3 pasang kait kecil (‘hooklets’).






Cacing Dewasa
Telur Taenia yang masih baru keluar dari
uterus, terlihat selubung luar.
- Cacing dewasa, panjang 2 – 4 m dapat sampai 7 m
- Skoleks globuler, diameter ± 1 mm, dilengkapi 4 batil penghisap (‘suckers’),
rostelum dilengkapi 2 baris kait dan terdiri dari kait-kait besar dan kecil.
- Leher pendek , lebarnya ± ½ diameter kepala (skoleks), bagian posterior
sebagai area proliferasi dan bersambung dengan rangkaian proglotid
(strobila) imatur, matur dan gravid.
- Segmen (proglotid) imatur pendek-pendek, alat kelamin belum sempurna.
- Segmen matur hampir bujur sangkar, alat kelamin sudah berkembang
sempurna, kantong sirus komedial melebihi saluran ekskresi
lateral/longitudinal, uterus seperti gada, ovarium dua buah (bilobi) ditambah
satu lobus kecil sehingga bisa disebut trilobi.
- Segmen gravid panjang, mirip empat persegi panjang .
- Uterus seperti batang, tiap sisi memiliki 7 – 12 percabangan lateral (rata- rata
9), penuh berisi telur; bila ditemukan pada tinja yang masih baru non motil.
- Jumlah total segmen kurang dari 1000.
Batil isap


kait









Skoleks Taenia solium
Rostelumm

17




Proglotid gravid T. solium.


F.2 Taenia Saginata

Seperti T. solium, cacing ini juga hidup dalam rongga usus manusia. Telur
dikeluarkan bersama tinja. Proglotid cacing ini dapat bergerak aktif sehingga
sering keluar melalui anus. pemeriksaan proglotid di[perlukan apabila diinginka n
identifikasi spesies. Seperti T. solium, pemeriksaan skoleks digunakan untuk
mengetahui keberhasilan pengobatan.

Cacing Dewasa:
- Cacing dewasa panjang 3,5 – 4,5 m, dapat sampai 25 m, strobila terdiri atas
proglotid (segmen) yang jumlahnya sampai 2000
- Skoleks piriform, diameter 1,5 – 2 mm, dilengkapi 4 batil penghisap, tidak
punya rostelum, bagian terminal berupa diskus berpigmen.
- Leher, lebar kurang dari separo diameter kepala, bagian posterior sebagai
area proliferasi yang berhubungan langsung dengan segmen imatur
- Segmen imatur pendek-pendek, alat kelamin belum sempurna.
- Segmen matur berbentuk hampir bujur sangkar, kantong sirus komedial tidak
melebihi saluran ekskresi lateral/longitudinal ovarium bilobi, uterus seperti
gada, porus genitalis monolateral bergantian.
- Segmen gravid panjang, tiap sisi uterus memiliki 15 – 30 cabang lateral ,
penuh berisi telur.
- Bila ditemukan pada tinja baru segmen gravid bisa bergerak (motil).

18


Skoleks T. saginata. Proglotid gravid T. saginata.

G. AMEBIASIS
G.1 Entamoeba histolytica
Entamoeba histolytica mempunyai 2 stadium/bentuk, yaitu trofozoit yang biasanya ditemukan pada tinja encer dan kista
yang dapat ditemukan pada tinja padat. Pada pemeriksaan mikroskopik sampel feses sulit dibedakan dengan Entamoeba
dispar (non patogenik), sehingga perlu pemeriksaan lanjutan seperti PCR dan antibodi monoklonal untuk dapat
membedakan keduanya.

Trofozoit :
 Ukurannya bervariasi antara 12–60 µm, pada faeces cair dan baru, dapat
ditemukan trofozoit yang besar.
 Ektoplasma jernih, tebal, kadang–kadang bisa tampak pseudopodi yang
berbentuk seperti jari.
 Endoplasma granulair, di dalamnya terdapat vakuola makanan yang sering
kali berisi eritrosit.
 Nukleus berbentuk sferis, diameternya sekitar 1/5–1/6 dari diameter amoeba
seluruhnya, berisi kariosoma kecil yang terletak sentral dan dihubungkan
dengan membrana nukleus oleh fibril akromatik halus tersusun radier,
dinding sebelah dalam dari nukleus terdapat penimbunan granula kromatin
yang reguler halus.


Kista :
 Bentuknya biasanya sferis, subsferis atau ovoid, dindingnya tipis.
 Diameter bervariasi antara 10 – 20 µm.
 Kista yang masak mempunyai 4 nukleus yang dengan pengecatan Iod
kariosomanya terlihat sebagai titik kuning muda berkilauan dikelilingi
nukleoplasma coklat kekuningan agak gelap.
 Kista muda di dalam sitoplasmanya terdapat benda – benda kromatoid berupa
batang – batang seperti sosis dengan ujung membulat, refraktif, tercat galau,
tapi pada kistanya yang masak benda – benda kromatoid menjadi kabur atau
bahkan tidak tampak sama sekali; juga vakuola glikogen dapat terlihat pada
kista muda, sedang pada kista masak jarang ditemukan.

19



Gb. Trofozoit Gb. Kista





Gb.Skematis Entamoeba histolytica

Keterangan Gambar :
A. Trofozoit; B. Prekista; C. Kista muda satu inti;
D. Kista dua inti; E. Kista matur empat inti.
c. Badan kromatoid; ect. Ektoplasma; end. Endoplasma; g. vakuola glikogen; k. kariosoma;
n. nukleus; rbc. sel-sel darah merah.

G.2 Entamoeba coli
Entamoeba coli hidup komensal dengan protozoa usus lainnya didalam
rongga usus besar / kolon.
Bentuk trofozoitnya juga ukurannya mirip dengan Entamoeba histolytica. Oleh
karena itu meskipun tidak bersifat patogen, perlu dipelajari morfologinya untuk
membedakannya dari Entamoeba histolytica.

Trofozoit :
 Ukurannya bervariasi antara 15 – 50 m.
 Sitoplasma granuler, ektoplasmanya sukar dibedakan dari endoplasma,
dengan pengecatan iron – hematoksilin, ektoplasma relatif non – regulair
dibanding endoplasmanya, pseudopodi pendek dan lebar.
 Nukleus berbentuk sferis, membran nuklei relatif tebal dengan granula
kromatin yang kasar ireguler dengan kariosoma yang cukup besar dan
terletak eksentrik.
 Vakuola makanan berisi bakteri, tidak mengandung sel darah.

20

Kista :
 Berbentuk sferis atau subsferis, berdinding tipis, diameternya bervariasi
antara 10 – 35 m.
 Pada kista yang belum masak terdapat benda – benda kromatoid berujung
runcing, massa ireguler dan massa glikogen yang agak padat dengan tepi
yang kabur; tapi pada kista yang masak massa glikogen dan benda – benda
kromatoid ini menjadi kurang padat atau hilang sama sekali.
 Kista yang masak mempunyai 8 nukleus kadang 16 atau lebih.







B


A. trofozoit ; B. kista masak;


Keterangan gambar skematis Entamoeba coli : A. trofozoit; B. prekista; C. kista 1 inti;
D. kista 4 inti; E. kista masak dengan 8 inti .
c. badan kromatoid; ect.ektoplasma; end.endoplasma; f. vakuola makanan; g. massa glikogen;
k.kariosoma; n.nukleus

Giardia lamblia/G. intestinalis/G. duodenalis
Giardia lamblia merupakan protozoa usus yang jarang didiagnosa.
Spesimen dari tersangka giardiasis yang dianjurkan untuk dikirim ke
lab.Parasitologi adalah :
 Tinja :dilakukan pemeriksaan tinja sediaan basah dan sediaan
apus permanen.
 Isi duodenum : dilakukan bilas duodenum.


H. GIARDIASIS

21

 Entero test : mengambil bahan dari isi duodenum dengan cara
sederhana sehingga tidak dibutuhkan lagi intubasi intestinal.
 Biopsi :biasanya dikirim ke Lab.PA untuk pemeriksaan
histopatologi rutin.
Catatan prosedur :
1. Meski tidak dilakukan pemeriksaan dari 3 spesimen tinja dengan teliti,
organismenya mungkin saja tidak ditemukan.
2. Motilitas parasit di dalam sediaan basah mungkin sulit dilihat karena
parasitnya terjebak dalam mukus.
3. Setiap pemeriksaan parasit dalam tinja harus dimulai dengan pulasan
permanen, walaupun pada tinja padat.
4. Drainase duodenum dan/atau penggunaan kapsul “Entero-test” sangat
membantu menemukan parasit ini.
Parasit ini juga mempunyai 2 stadium/ bentuk, yaitu: trofozoit dan kista.

Trofozoit :
Trofozoit berbentuk pyriform (buah pir), ujungnya anterior membulat, ujung
posterior meruncing, ukuran bagian yang terpanjang 10–20µm , terlebar 5–
15µm, tebal 2–4 µm.
Permukaan dorsal cembung sedang separo permukaan ventral, bagian anterior
agak cekung (= ‘sucking disc’).
Nukleus sepasang, di kanan–kiri linea mediana, berbentuk ovoid berisi
kariosoma berupa massa kromatin padat yang terletak sentral atau berupa
granula kromatin yang tersebar di seluruh nukleoplasma, membrana nukleus
tipis dan tidak ada penimbunan kromatin.
Mempunyai 1 pasang flagela yang berpangkal pada organela superfisial, 2
pasang flagella lateral, sepasang flagela ventral, sepasang flagela posterior.
Benda parabasal yang berbentuk pisang/sosis sedikit melengkung terletak
melintang atau miring tepat di belakang sucking disc.
Kista :
Berbentuk ovoid (oval), panjang 8–19µm, rata2 11–14µm , lebar 7–10µm.
Ektoplasma padat, granulair.
Mempunyai dinding kista tipis, jernih
Flagella ditarik masuk ke dalam aksonema sehingga memberikan gambaran
sebagai 4 pasang sikat yang melengkung ( gambaran serutan kayu ).
Kista yang masak mempunyai 4 nukleus, pada preparat yang tidak dipulas
tidak terlihat jelas.

trofozoit kista

22


fl 1




bp

fl 2









Keterangan gambar skematis G.lamblia
A. Trofozoit nampak dari atas.
B. Trofozoit nampak dari samping.
C. Kista
an.,aksonema; b.,blefaroplast; dp.,benda parabasal; dk.,dinding kista; dv.,discus ventralis; fl
1.,flagella lateral 1; fl 2.,flagella lateral 2; fp.,flagella posterior; fv.,flagella ventral;
k.,kariosoma; n.,nukleus.


Balantidium coli
Giardia lamblia merupakan protozoa usus yang jarang didiagnosa.
Tropozoit hidup dalam mukosa dan sub mukosa usus besar, terutama di daerah
sekum bagian terminal dari pada illeum. Bergerak ritmis dengan perantaraan cilia.
Tropozoit tidak dapat lama hidup di luar badan, tetapi kista tetap hidup selama
beberapa minggu. Kista yang dapat hidup di luar badan adalah bentuk infektif. Bila
tertelan oleh hospes baru, maka dinding kista hancur dan trofozoit yang dilepaskan
masuk dinding usus, dan memperbanyak diri.

Kista berbentuk bulat atau sedikit oval, berdiameter 40 hingga 60 μm. Oral
apparatus terletak di ujung anterior yang meruncing, dan cytopyge berada di ujung
posterior. Sebuah makronukleus berbentuk sosis dan mikronukleus bulat terletak
di sitoplasma
Trofozoit
Tropozoit berbentuk lonjong, ukuran 60-70 x 40-50 µm.
Tubuh tertutup silia pendek, kecuali di daerah mulut silia lebih panjang (adoral
cilia).
Bagian anterior terdapat cekungan dinamakan peristom dan terdapat mulut
(sitostom), tidak memiliki usus namun dibagian posterior memiliki anus
(cy;cytoyge).
n
b k
dv
dk
fv
an
fp

I. BALANTIDIASIS

23

Terdapat 2 inti yang terdiri dari makronukleus (berbentuk ginjal) dan
mikronukleus (berbentuk bintik kecil) yang terdapat pada cekungan
makronukleus.
Terdapat vakuole makanan (berisi sisa makanan; bakteri, leukosit, eritrosit, dll)
dan vakuole kontraktil

Kista
Kista berbentuk bulat, ukuran 50-60 µm, dinding dua lapis, sitoplasma
bergranul, terdapat makro & mikronukleus serta sebuah badan refraktil.

Tropozoit Kista




Gambar skematis Balantidium coli

24

J. Teori Dasar Pemeriksaan
Tinja SPESIMEN TINJA
Spesimen tinja diperiksa untuk mengetahui adanya protozoa dan larva atau
telur cacing. Stadium dari protozoa yang ditemukan pada tinja adalah kista dan
trofozoit. Stadium dari cacing yang biasanya ditemukan pada tinja adalah telur dan
larva, walaupun secara keseluruhan cacing dewasa atau bagian dari cacing dapat
juga dilihat. Cacing dewasa dan bagian dari cacing pita biasanya dapat dilihat
dengan mata telanjang, tapi untuk telur, larva, trofozoit dan kista hanya dapat
dilihat melalui mikroskop. Untuk mengetahui struktur ini, material tinja harus
benar-benar dipersiapkan dan diperiksa.
Pengumpulan Spesimen Tinja
Pengumpulan tinja yang baik perlu memperhatikan :
1. Tempat spesimen
• Wadah dari gelas atau plastik tertutup rapat atau kotak
yang berlapis lilin bagian dalamnya dan tertutup rapat
• Tempat spesimen harus diberi label dengan jelas, berisi informasi :
• Nama pasien atau nomor pasien
• Tanggal pengumpulan
• Jam saat tinja dikeluarkan dari tubuh pasien (saat BAB)
2. Penyimpanan dan Pengiriman
Beberapa organisme terutama trofozoit amuba, mudah hancur atau
berubah dalam waktu singkat setelah dikeluarkan bersama tinja sehingga
menjadi tidak dikenali. Suhu yang hangat juga akan mempercepat
perubahan ini. Oleh karena itu spesimen harus sampai ke laboratorium
secepatnya ( tidak lebih dari 1,5 jam) setelah tinja dikeluarkan dari tubuh
dan hindari suhu hangat. Jika tidak memungkinkan sampai dalam waktu
1,5 jam, maka spesimen harus diberi pengawet (preservasi). Di
laboratorium, tempat berisi spesimen disimpan di tempat yang tergelap
atau terdingin, kalau perlu dalam lemari es. Spesimen tidak boleh disimpan
di tempat yang hangat dan jangan ditinggalkan di tempat yang terkena sinar
matahari.

25

3. Volume Spesimen
Volume spesimen harus cukup besar untuk pemeriksaan yang
adekuat. Volume/ jumlah yang dianjurkan lebih kurang sebesar telur
merpati. Spesimen tinja juga harus bebas dari urine, kotoran dan tanah.
Urine dapat merusak trofozoit amuba, sedangkan kotoran atau tanah akan
mempengaruhi pemeriksaan

PEMERIKSAAN
I. Pemeriksaan Makroskopik Tinja
1. Segera setelah spesimen diterima di laboratorium, amati/periksa :
a. Konsistensi : padat/ keras
lunak/ lembek
cair
b. Warna : hijau, coklat, kuning, pucat
c. Lendir : ada/ tidak (positif / negatif)
d. Darah : ada/ tidak (positif / negatif)
e. Makanan tak tercerna
f. Cacing
2. Spesimen yang mengandung darah dan lendir, harus diperiksa lebih dahulu
(prioritas I), kemudian diikuti spesimen cair. Spesimen tersebut sering
mengandung trofozoit amuba (yang cepat mati setelah tinja dikeluarkan)
jadi harus diperiksa dalam waktu tidak lebih dari 1 jam setelah tinja
dikeluarkan oleh pasien. Spesimen yang padat / keras dapat diperiksa
kapanpun pada hari pertama tinja dikeluarkan namun tidak boleh lebih dari
24 jam (semalam) karena kista akan rusak.

II. Pemeriksaan Mikroskopis pada Sediaan Basah
Sediaan basah adalah teknik yang paling mudah dan simpel untuk
pemeriksaan tinja dan metode ini bisa dilakukan di semua laboratorium pada
daerah perifer. Sediaan basah dapat disiapkan secara langsung dari material
tinja atau dari spesimen konsentrat. Metode dasar dari sediaan basah yang
dapat dilakukan untuk pemeriksaan tinja adalah saline, iodine, dan buffer
methylene blue

26

- Sediaan basah saline digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik
pendahuluan untuk tinja. Ini dikerjakan untuk menunjukkan telur cacing,
larva, trofozoit protozoa dan kista. Bentuk sediaan ini juga dapat
menampilkan adanya sel darah merah dan sel darah putih.
- Sediaan basah iodine terutama digunakan untuk pengecatan glikogen dan
nukleus/inti sel kista, jika tampak. Kista dapat diidentifikasi secara spesifik
pada sediaan ini
- Sediaan basah Buffered Methylene Blue (BMB) harus disiapkan setiap saat
ketika trofozoit amuba tampak pada sediaan basah saline atau ketika ada
suspek trofozoit amuba. BMB dapat mengecat trofozoit amuba, tapi tidak
dapat mengecat kista amuba, trofozoit atau kista flagellata. Pengecatan
BMB berguna hanya pada spesimen segar yang belum diawetkan.
Pengecatan ini tidak bisa digunakan pada spesimen yang sudah diawetkan
dimana organisme sudah terbunuh.

Bahan dan Reagen
1. Cover slip/ deck glass
2. Botol yang berisi : larutan saline, isotonik
iodine Lugol (larutan 1%)
Buffered Methylene Blue
3. Gelas obyek (object glass)
4. Pena atau marker untuk memberi label
5. Kawat melingkar (atau stik aplikator, batang korek api, atau tusuk gigi)


Sediaan Langsung Saline dan Iodine
1. Dengan sebuah pensil/marker, tulislah nama atau nomor pasien dan tanggal
pada ujung sisi kanan dari slide








2. Tempatkan 1 tetes saline di tengah dari sisi sebelah kiri dan tempatkan 1
tetes larutan iodine di tengah sisi sebelah kanan dari slide. Catatan : jika

27

diduga ada trofozoit amuba, maka gunakan larutan saline yang hangat (37°)



3. Dengan menggunakan stik aplikator (korek api atau tusuk gigi), ambil
sedikit spesimen (seukuran dengan pentol korek api) dan campur bersama
setetes saline. Catatan :
Tinja keras : ambil tinja dari satu titik area yang meliputi sisi luar maupun
dalam dari spesimen
Tinja dengan lendir : jika terdapat lendir pada tinja, berilah label pada sisi
slide kedua dengan nama pasien atau nomor pasien. Taruh satu tetes saline
pada slide, ambil sedikit lendir dan campurkan dengan saline tersebut.
Trofozoit, jika terlihat, kadang-kadang lebih mudah ditemukan pada lendir
daripada di tinja.
Tinja yang cair : jika tidak ada lendir, ambil sedikit tinja (dari bagian
manapun) dan campurkan dengan saline.


4. Sama dengan diatas, ambil sebagian kecil dari tinja dan campur dengan
setetes larutan iodine untuk menyiapkan sediaan iodine. Jika menggunakan
kawat, bakar kawat tersebut setelah membuat sediaan. Jika menggunakan
stik aplikator, maka buang setelah digunakan.
5. Tutup saline dan iodine yang sudah dicampur dengan coverslip. Tahan
coverslip pada sudut tertentu, sentuhkan salah satu ujungnya dengan
tetesan dan turunkan coverslip dengan perlahan. Hal ini akan mengurangi
terbentuknya gelembung udara pada sediaan. Lakukan langkah 1-5 untuk
”sediaan langsung saline dan iodine”, tapi tempatkan 1 tetes besar BMB

28

di tempat saline dan iodine. Tunggu 5-10 menit sebelum diperiksa agar
cat dapat masuk ke dalam trofozoit. BMB akan overstain trofozoit setelah
30 menit. Oleh karena itu, slide harus diperiksa sebelum 30 menit setelah
disiapkan.

Cara Pemeriksaan
1. Tempatkan slide sediaan pada mikroskop dan gunakan fokus 10x
2. Atur cahaya agar mengarah pada sediaan. Anda harus dapat melihat objek
pada lapang pandang dengan jelas. Terlalu banyak atau sedikit cahaya akan
kurang baik.
3. Periksa seluruh lapang pandang sediaan dengan perbesaran 10x. Awali dari
pojok kiri atas kemudian gerakkan slide secara sistematis ke kanan sampai
perifer kanan kemudian ke bawah, gerakkan slide ke kiri sampai perifer
kiri (zig-zag)

4. Ketika terlihat organisme atau materi yang dicurigai, ganti fokus dan
perbesarannya dan tingkatkan pencahayaan agar dapat melihat
morfologinya dengan lebih jelas.
Ini adalah pemeriksaan sistematis. Jika sediaan diperiksa dengan cara ini,
semua parasit yang ada biasanya akan ditemukan. Jika sediaan tidak
diperiksa secara sistematis, parasit kadang akan terlewatkan. Periksa setiap
lapang pandang mikroskop dengan hati-hati, fokuskan ke atas dan bawah
sebelum bergerak ke lapang pandang selanjutnya.

29

IDENTIFIKASI PARASIT
Telur Cacing dan Larva Cacing pada Sediaan Saline
Telur dapat dengan mudah ditemukan dan diidentifikasi pada sediaan
saline. Biasanya tidak dicat /diwarnai (pengecatan bisa mengganggu
identifikasi) sebagian besar telur cukup besar untuk diidentifikasi dengan
perbesaran rendah (obyektif 10x), tapi beberapa telur yang kecil
memerlukan perbesaran yang cukup kuat (obyektif 40x).
Pada sediaan saline, larva Strongyloides stercoralis kadang terlihat. Larva
cacing tambang biasanya tidak terlihat pada sediaan yang segar, tapi cukup
penting untuk membedakan antara 2 jenis spesies ini jika sediaan yang
lama yang digunakan.

TEKNIK PEMERIKSAAN BERDASARKAN TINGKAT
LABORATORIUM

Laboratorium Pusat Kesehatan


Spesimen Tinja sediaan basah langsung saline dan BMB
(jika trofozoit amuba terlihat)
apus tipis cellophane
iodine


Semua sampel konsentrasi formalin/ether saline
iodine


Rumah Sakit Daerah
Spesimen Tinja Tanpa Preservasi


Sediaan basah langsung saline dan BMB
(Jika tidak keras dan (jika trofozoit amuba terlihat)
tidak ada lendir dan darah) apus tipis cellophane
iodine
Semua sampel konsentrasi formalin/ether saline
iodine

30


Spesimen Tinja dengan Preservasi


Terfiksasi formalin konsentrasi formalin/ether saline
iodine
Tidak semua cacing didapatkan pada setiap area di dunia. Beberapa
mempunyai distribusi geografi tersendiri. Anda harus membuat daftar
spesies yang ada di daerah Anda.




SEDIAAN BASAH PROTOZOA


Sediaan Basah Saline
Pada sediaan saline.trofozoit dan kista amuba dan flagelata bisa terlihat.
Kista akan tampak bulat atau oval, berstruktur refraktil. Trofozoit amuba akan
tampak bundar atau irregular. Trofozoit flagelata biasanya tampak piriform
(memanjang, pear-shape (seperti buah pir)). Pada tinja yang baru saja dikeluarkan
(tinja tidak lebih dar 1 jam), trofozoit yang motil/bergerak masih bisa terlihat.
Motilitas akan sangat membantu dalam mengidentifikasi spesies, terutama pada
flagellata.
Organisme dapat teridentifikasi pada perbesaran rendah (obyektif 10x),
namun pada perbesaran kuat dapat untuk mengidentifikasi struktur kista atau
trofozoit yang reliabel. Dengan perbesaran tinggi dan kering, anda dapat melihat
motilitas, badan inklusi sepert eritrosit dan yeast pada trofozoit amuba, badan
kromatin pada kista amuba dan beberapa bentuk dan struktur detail (sucking
disc, spiral grooves or filament) pada trofozoit dan kista flagelata. Anda tidak akan
bisa melihat detail dari nukleus pada sediaan saline. Bagaimanapun juga sangat
perlu untuk mengatur pencahayaan mikroskop agar objek dapat jelas teramati.
Terlalu banyak maupun sedikit cahaya akan mempengaruhi pengamatan. Jangan
lupa mengatur fokus dari lensa untuk melihat tiap lapisan dari spesimen. Ingatlah
untuk memeriksa dengan sistematis setiap area yang ada untuk menghindari
hilangnya organisme dari pengamatan.

31

Sediaan Buffered Methylene Blue
Jika anda melihat trofozoit amuba, atau struktur yang mengarah pada
trofozoit amuba, sebaiknya menyiapkan dan memeriksa dengan sediaan BMB.
Setelah 5-10 menit pewarnaan, trofozoit kadang-kadang menjadi motil, tetapi
seringnya trofozoit akan berkerut pada preparasi BMB (jangan bingung antara
trofozoit yang berkerut dengan kista, jangan mewarnai kista dengan BMB). Pada
trofozoit, nukleus dan inklusi (eritrosit, yeast) akan tercat biru tua, sitoplasmanya
akan tercat biru muda. Terkadang, beberapa trofozoit tidak akan terwarnai, jadi
Anda harus mencari organisme yang tercat dengan baik. Carilah granula perifer
nukleus (granula yang berada disekeliling nukleus), jika tampak, maka itu adalah
trofozoit dari spesies Entamoeba, dan Anda sebaiknya mengidentifikasi
spesiesnya. Jika tidak ada granula perifer nukleus, trofozoit tersebut bukan dari
spesies Entamoeba.

Sediaan Basah Iodine
Sediaan basah iodine digunakan untuk memeriksa kista amuba dan
flagelata. Mereka dapat dideteksi dengan perbesaran 10x. tetapi mereka tak tampak
serefraktil pada sediaan saline. Perbesaran tinggi dan kering harus dilakukan untuk
melihat karakteristik dari kista dan harus diukur untuk memastikan identifikasi
secara benar.
Pada sediaan iodine, sitoplasma akan berwarna kuning atau coklat muda
dan nukleus akan berwarna coklat tua. Pada kista Entamoeba dengan pewarnaan
iodine, susunan dari kromatin perifer dan kariosome akan dapat terlihat. (jika tidak
tampak kromatin perifer, maka bukan kista dari Entamoeba). Kromatin ini akan
berwarna kuning muda dan mungkin tidak begitu jelas. Kadang-kadang kista
muda mengandung glikogen, ini akan terwarnai coklat tua dengan iodine. Pada
kista flagelata dengan pewarnaan iodine, benang fibril (filament) dapat terlihat.
Identifikasi spesifik pada kista amuba dan flagelata biasanya dapat dibuat dari
sediaan basah iodine. Bagaimanapun juga, pada situasi tertentu identifikasi secara
pasti tidak dapat dibuat dan diperlukan pewarnaan permanen.

32



1. Trofozoit dan kista protozoa usus
2. Telur dan larva cacing
3. Sel darah merah : yang menunjukkan adanya ulserasi atau masalah
perdarahan lainnya.
4. Sel darah putih ( polimorfonuklear netrofil (PMN)) : yang menunjukkan
adanya peradangan.
5. Sel darah putih ( eosinofil ) : yang biasanya menunjukkan adanya respons
imun ( yang mungkin berhubungan dengan infeksi parasit)
6. Makrofag : yang mungkin ada pada infeksi bakteri maupun parasit.
7. Kristal Charcot – Leyden : yang dapat ditemukan bila terjadi disintegrasi
eosinofil (dapat / tidak berhubungan dengan infeksi parasit).
8. Jamur : Candida spp. dan jamur seperti ragi (“yeast like fungi”) atau ragi.
9. Sel-sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur : yang dapat
menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa.
10. Serat-serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang : yang dapat
menyerupai larva cacing.


ELEMEN – ELEMEN DALAM PEMERIKSAAN
MIKROSKOPIK TINJA

33

34


PMN Entamoeba histolytica (kista)
1. Ukuran rata-rata 14 µm, pada sediaan
permanen yang dipulas 10 – 12 µm.
2. Perbandingan inti dengan sitoplasma
1/1.
3. Inti : 2 - 4 segmen dihubungkan dengan
benang kromatin yang pendek dan
sempit. Segmen dapat terlihat sebagai
inti yang terpisah mirip dengan kista
E.histolytica-fokuskan dengan hati-hati
untuk melihat benang kromatinnya
4. Sitoplasma granular

5. Ciri-ciri khas pada pulasan trikrom sama
seperti pada E. histolytica
1. Ukuran rata-rata 20 µm, ukurannya lebih
kecil pada sediaan pulasan permanen.
2. Perbandingan inti dengan sitoplasma 1/10 -
1/12 (trof.), ½ - 1/3 (kista).
3. Inti : bulat dengan kariosoma sentral dan
kromatin perifer.





4. Sitoplasma agranular, uniform – dapat berisi
sel darah merah (SDM).

5. Trikrom : sitoplasma hijau, inti merah gelap.



Makrofag Entamoeba histolytica (trofozoit)
1. 30 – 60 µm, mungkin 5 – 10 µm (lebih
kecil pada sediaan pulasan permanen)
2. Perbandingan inti dengan sitoplasma ¼
- 1/6
3. Satu inti yang besar yang bentuknya
mungkin tidak teratur (seperti inti
monosit)
4. Biasanya berisi debris yang
dimakannya, PMN dan SDM
5. Dapat mengandung benda bulat
berwarna merah dan inti mungkin tidak
ada.
6. Ciri-ciri khas pada pulasan trikrom
sama seperti E. histolytica
1. 12 – 60 µm ; rata-rata 20 µm (lebih kecil pada
sediaan pulasan permanen)
2. Perbandingan inti dengan sitoplasma 1/10 –
1/12
3. Satu inti , bulat dengan kariosoma sentral dan
kromatin perifer

4. Dapat mengandung SDM, sedikit debris;
tanpa PMN
5. Selalu terdapat inti



6. Trikrom ; sitoplasma hijau, inti merah gelap.

35

PEMERIKSAAN DARAH SAMAR


Tes terhadap darah samar penting sekali untuk mengetahui adanya perdarahan
kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopis atau mikroskopis. Ada
berbagai jenis tes untuk memeriksa darah samar yaitu pada praktikum ini kita
akan menggunakan tes darah samar dengan metode Combur test. Metode ini
merupakan modifikasi dari metode benzidine. Pada stik Combur test mengadung
zat-zat sebagai berikut :
1. 3,3’,5,5’-tetramethylbenzidine 52.8 μg
2. 2,5-dimethyl-2,5-dihydroperoxyhexane 297.2 μg


Alat :
1. Tabung reaksi
2. Pipet
3. Aplikator/ lidi pengaduk
4. Stik Combur test


Bahan :
1. Air/ larutan garam ±10 ml
2. Tinja


Cara pemeriksaan :
1. Buatlah emulsi tinja dengan air atau dengan larutan garam kira-kira ±10
ml pada tabung reaksi
2. Masukkan ujung stik Combur test ke dalam larutan
3. Baca hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah disediakan.
Pembacaan hasil dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 10 menit.

Kunci pemeriksaan :
(-) : kuning
1+ : kuning sedikit berbintik hijau (ca.5-10 ery/μL)
2+ : kuning berbintik hijau (ca. 25 ery/μL)
3+ : kuning kehijauan berbintik hijau (ca.50 ery/μL)
4+ : hijau (ca.250 ery/μL)

36

CHECKLIST PENILAIAN MAHASISWA


NO VARIABEL 0 1 2
1 Membaca permintaan, pelabelan (sample dan
spesimen, object glass)

2 Mengamati makroskopis spesimen dan mencatat hasil
pengamatan

3 Membersihkan gelas objek, meneteskan larutan/media
pemeriksaan (NaCl fisiologis, lugol) diatas gelas objek

4 Mengambil spesimen dengan lidi, kemudian dicampur
ke dalam larutan / media diatas gelas objek sampai
homogen

5 Buang lidi bekas ke tempat / keranjang sampah,
menutup spesimen di atas gelas objek dengan kaca
penutup / deck glass dengan benar ( sehingga tidak ada
udara)

6 Memeriksa sediaan sample spesimen dibawah
mikroskop dengan objektif 10x, kemudian 40x

7 Pemeriksaan sediaan dilakukan dari satu ujung ke
ujung lain yang berlawanan dengan alur/ zig-zag

8 Mencatat hasil pemeriksaan (catatan : tunjukkan jari
apabila menemukan parasit, telur, larva, tropozoid,
kista urut. Dibuktikan/ cek kebenarannya oleh
instruktur)

9 Masukkan gelas objek sediaan sample yang telah
diperiksa ke dalam tempat aseptik yang tersedia

10 Kemampuan identifikasi

Skor 0 : tidak dilakukan
Skor 1 : dilakukan, tidak benar
Skor 2 : dilakukan, lengkap dan benar
% capaian keterampilan : total skor / 20 x 100% = ……%


Surakarta, ............................
Observer



(...................................)

DAFTAR PUSTAKA


Beaver PC, Jung RC and Cupp EW. Clinical Parasitology, 9
th

Edition, Lea & Febiger, Philadelphia, 1984.

Chiodini, P.L., Rogers C., Nolder D., Tucker J, Britten D,
Accessable Version Diagnostic Laboratory Parasitology
Laboratory User Handbook 2020. Faculty of Infectious and
Tropical Diseases, London School of Hygiene and Tropical
Medicine. London. 2020.

Chiodini, P.L., Godbole G., Polley SD, Lowe P, Watson J.
Clinical Parasitology User Manual. Health Services
Laboratories. Version 1. 12 July 2018.

Garcia LS. Diagnostic Medical Parasitology, 4
th
Edition, LSG &
Associates, ASM Press, Santa Monica – California – Washington,
D.C., 2001.

Garcia LS and Bruckner DA. Diagnostik Parasitologi
Kedokteran, Cetakan I, Terjemahan oleh Dr. Leshmana
Padmasutra, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996.

Loker E.S., and Hofkin BV. Parasitology A Conceptual
Approach. Garland Science, Taylor & Francis Group, LLC.
2015.

Markell EK, Voge M and John DT. Medical Parasitology, 6
th

Edition, W.B. Saunders Co., Philadelphia – London – Toronto –
Mexico city – Rio de Janeiro – Sidney – Tokyo – Hongkong,
1986.

Neva FA and Brown HW. Basic Clinical Parasitology, 6
th

Edition, Prentice-Hall International Inc., London – Sidney –
Toronto – Mexico – New Delhi – Tokyo – Rio de Janeiro – New
Jersey, 1994.

Panniker, CKJ, Ghosh S and Chander J. Panniker’s Textbook
of Medical Parasitology. 8th edition. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. Haryana. New Delhi, London, Panama.
2018.

Strickland GT. Hunter’s Tropical Medicine, 7
th
Edition, W.B.
Saunders Co., Philadelphia – London – Toronto – Montreal –
Sidney – Tokyo, 1991.

Upton, S.J. Human Parasitology Laboratory. Biology 546.
Division of Biology, Kansas State University. 2007.

PROSEDUR OPERASI STANDAR PRAKTIKUM LURING MASA PANDEMI
COVID-19 LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

A. Tahap Persiapan Praktikum:
1 Praktikan yang akan mengikuti praktikum secara luring WAJIB memenuhi beberapa
persyaratan:
a. Telah mengisi google form dan memperoleh persetujuan dari orang tua
b. HARUS telah mendapatkan vaksin COVID-19 ke-1 dan/atau ke-2
c. Bersedia mematuhi protokol kesehatan selama praktikum luring berlangsung
2 Praktikan WAJIB mengenakan Gown (biru Logo UNS), cap (optional), Masker ganda, dan
Gloves non medis sebelum praktikum luring berlangsung
3 Praktikan yang akan mengikuti praktikum TIDAK WAJIB mencetak/print Buku Petunjuk
Praktikum dan Buku Laporan Praktikum
4 Praktikan WAJIB mengikuti asistensi dan Pretes sebelum pelaksanaan praktikum dimulai

B. Tahap Pelaksanaan Praktikum


1. Praktikan WAJIB hadir tepat waktu yaitu 15 menit sebelum praktikum dimulai untuk persiapan
menggunakan gown.

2. Praktikan yang telah melengkapi diri dengan menggunakan Gown (biru Logo UNS), cap
(optional), Masker ganda, dan Gloves non medis diperkenankan memasuki laboratorium.
3. Sebelum memasuki laboratorium, praktikan WAJIB mencuci tangan dan mengecek suhu tubuh
menggunakan alat yang disediakan, sebelum pintu masuk laboratorium Parasitologi yang
didampingi oleh asisten. Praktikan dengan suhu tubuh lebih dari 37,5
o
C tidak diperkenankan
masuk ke dalam laboratorium
4. Praktikan WAJIB mengisi Presensi kehadiran melalui OCW dan link gform yang telah disediakan
5. Praktikan WAJIB menempati tempat duduk yang telah disediakan dan sesuai dengan kelompok
masing-masing
6. Praktikan yang terlambat lebih dari 15 menit, tidak diperkenankan mengikuti praktikum, kecuali
dengan izin koordinator praktikum yang sedang dilaksanakan (Sigit Setyawan, dr. M.Sc).
7. Selama praktikum berlangsung praktikan boleh berdiskusi dengan tetap menjaga jarak/tidak
berkerumun.
8. Selama praktikum berlangsung, praktikan tidak diperkenankan makan, minum dan melakukan
kegiatan di luar kegiatan praktikum,
9. Selama praktikum berlangsung praktikan harap memperhatikan penjelasan dan pengantar
praktikum.

10. Selama praktikum berlangsung praktikan berupaya memahami penggunaan mikroskop dengan
benar, memahami preparat yang disajikan dengan benar.
Jika ada kesulitan, silahkan mengangkat tangan (tdk beranjak dari tempatnya) dan Dosen/AsDos
akan membantu menjelaskan.
11 Praktikan WAJIB mengikuti Posttest yang dilaksanakan asisten ataupun Dosen
12 Praktikan WAJIB mengikuti responsi, apabila nilai responsi tidak kompeten praktikan
mempunyai kesempatan 1 kali remidi
13 Nilai Akhir Praktikum merupakan gabungan nilai pretes dan nilai responsi
(1 x Nilai Pretes) +(2 x Nilai Responsi)
Nilai Praktikum = 3

C. Tahap Pasca Praktikum


1. Setelah selesai melakukan praktikum, praktikan diwajibkan membersihkan alat-alat yang dipakai
dan disimpan kembali pada tempat semula dalam keadaan bersih.
2. Sampah harus dibuang di tempat sampah dan praktikan wajib menjaga kebersihan laboratorium.
Pada 10 menit terakhir, setelah praktikum praktikan WAJIB membersihkan mikroskop dan meja
kerja menggunakan disinfektan dan tissue lensa mikroskop. Instruksi dan petunjuk pembersihan dan
diinfektan akan diberikan oleh koordinator praktikum atau asisten pada hari penyelenggaraan
praktikum
3. Setelah praktikum selesai dilaksanakan, praktikan melewati pintu keluar sebelah kanan dan
dilarang berinteraksi dengan praktikan pada kelompok shift setelahnya.
4. Bagi praktikan yang akan melanjutkan aktivitas di lantai lebih tinggi dapat menggunakan
lift, sedangkan jika akan melakukan aktivitas pada lantai di bawahnya dapat menggunakan
tangga

PROSEDUR OPERASI STANDAR PRAKTIKUM DAN SKILLS LAB
DARING PADA MASA PANDEMI COVID-19
LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Praktikan/ Mahasiswa diwajibkan:
a. join zoom pada link yang telah disediakan paling lambat 5 menit sebelum Praktikum dimulai
b. mengisi presensi lewat OCW dan link gform yang telah disediakan
c. menyalakan video dari awal hingga pelaksanaan praktikum.
d. join pada breakout room yang telah disediakan dan akan dibimbing oleh asisten dan
Dosen
e. memperhatikan dan mengikuti seluruh kegiatan praktikum secara daring dari awal
hingga akhir
f. secara aktif bertanya dan menanggapi materi yang telah disampaikan oleh Dosen
dan asisten.
g. mengikuti Responsi secara daring dengan persyaratan mengikuti seluruh kegiatan
praktikum

PROSEDUR OPERASI STANDAR
SKILLS LAB LURING MASA PANDEMI COVID -19
LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

A. Tahap Persiapan Skills Lab:
1 Mahasiswa yang akan mengikuti Skills Lab secara luring WAJIB memenuhi beberapa
persyaratan:
a. Telah mengisi google form dan memperoleh persetujuan dari orang tua
b. HARUS telah mendapatkan vaksin COVID-19 ke-1 dan/atau ke-2
c. Bersedia mematuhi protokol kesehatan selama Skills Lab luring berlangsung
2 Mahasiswa WAJIB mempersiapkan Gown (biru Logo UNS), cap (optional), Masker
ganda, dan Gloves non medis sebelum Skills Lab luring berlangsung
3 Mahasiswa yang akan mengikuti Skills Lab dapat (tidak wajib) mencetak sendiri
Buku Panduan Skills Lab Pemeriksaan penunjang jamur dan parasit pada penyakit
kulit
4 Mahasiswa WAJIB mengikuti asistensi dan Pretes sebelum pelaksanaan Skills Lab
dimulai

B. Tahap Pelaksanaan Skills Lab


1. Mahasiswa WAJIB hadir tepat waktu yaitu 15 menit sebelum Skills Lab dimulai untuk
bersiap memakai kelengkapan gown.
2 Mahasiswa TIDAK WAJIB membawa Buku Panduan Skills Lab
3. Mahasiswa yang telah melengkapi diri dengan menggunakan Gown (biru Logo UNS),
cap (optional), Masker ganda, dan Gloves non medis diperkenankan memasuki
laboratorium.
4. Sebelum memasuki laboratorium, mahasiswa WAJIB mencuci tangan dan mengecek
suhu tubuh menggunakan alat yang disediakan, sebelum pintu masuk Laboratorium
Parasitologi (pintu masuk sisi kiri). Mahasiswa dengan suhu tubuh lebih dari 37,5
o
C tidak
diperkenankan masuk ke dalam laboratorium
5. Mahasiswa WAJIB mengisi presensi kehadiran melalui OCW dan link gform yang
telah disediakan
6. Mahasiwa WAJIB menempati tempat duduk berdasarkan kelompok masing-masing
dan menggunakan mikroskop masing-masing.
7. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 15 menit, tidak diperkenankan mengikuti
praktikum, kecuali dengan izin koordinator skills lab yang sedang dilaksanakan (Sigit
Setyawan, dr. M.Sc).
8. Selama skills lab berlangsung mahasiswa boleh berdiskusi dengan tetap menjaga
jarak/tidak berkerumun.
9. Selama skills lab berlangsung, praktikan tidak diperkenankan makan, minum dan
melakukan kegiatan di luar kegiatan skills lab,

42

10. Selama skills lab berlangsung praktikan harap memperhatikan penjelasan dan pengantar
skills lab.
11. Selama skills lab berlangsung mahasiswa berupaya memahami penggunaan mikroskop
dengan benar, memahami preparat yang disajikan dengan benar.
Jika ada kesulitan, silahkan mengangkat tangan (tdk beranjak dari tempatnya) dan
Dosen/AsDos akan membantu menjelaskan.
12 Mahasiswa WAJIB mengikuti Posttest yang dilaksanakan asisten ataupun Dosen
13 Nilai Skills Lab setiap mahasiswa sesuai dengan instrumen penilaian pada Buku
Panduan Skills Lab

C. Tahap Pasca Skills Lab
1. Setelah selesai melakukan skills lab, mahasiswa diwajibkan membersihkan alat-alat
yang dipakai dan disimpan kembali pada tempat semula dalam keadaan bersih.
2. Sampah harus dibuang di tempat sampah dan praktikan wajib menjaga kebersihan
laboratorium.
Pada 10 menit terakhir, setelah skills lab, mahasiswa WAJIB membersihkan mikroskop
dan meja kerja menggunakan disinfektan dan tissue lensa mikroskop. Instruksi dan petunjuk
pembersihan dan disinfektan akan diberikan oleh koordinator praktikum dan Skills Lab
atau asisten pada hari penyelenggaraan skills lab.
3. Setelah skills lab selesai dilaksanakan, mahasiswa melewati pintu keluar sebelah kanan
dan dilarang berinteraksi dengan praktikan pada kelompok shift setelahnya.
4. Bagi mahasiswa yang akan melajutkan aktivitas di lantai lebih tinggi dapat menggunakan
lift, sedangkan jika akan melakukan aktivitas pada lantai di bawahnya dapat
menggunakan tangga

Surakarta, 17 Februari 2022


Mengetahui,
Kepala Lab Parasitologi
Fakultas Kedokteran
UNS

Dra. Sri Haryati,M.Kes
NIP. 196101201986012001