Agus Salim
92 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
PERAN DAN FUNGSI DAI DALAM PERSPEKTIF
PSIKOLOGI DAKWAH

Agus Salim
Institut Agama Islam Negeri Langsa
Email: [email protected]

Abstrak
Tulisan ini membahas tentang peran dan fungsi dai dalam perspektif psikologi
dakwah. Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai dai tentu saja kita ingin
mencapai kesuksesan dalam mencapai tugas dakwah. Salah satu bentuk keberhasilan dalam
dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang. Psikologi dakwah mempedomani
kegiatan dakwah, maka tujuan psikologi dakwah dalam peran dan fungsi dai memberikan
pandangan tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental
psikologis sasaran dakwah sesuai dengan pola kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran
agama yang didakwahkan oleh aparat dakwah/dai. Peran dan fungsi dai sebagai juru
dakwah adalah salah satu faktor dalam kegiatan dakwah yang menempati posisi sangat
penting dalam berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah. Dai professional yang
mengkhususkan diri di bidang dakwah, seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk
menunjang keberhasilan dakwah baik yang bersifat rohani atau yang bersifat fisik. Hasil
yang ingin diperoleh dengan pengetahuan tentang tulisan ini, diharapkan kita dapat
melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan sehingga hal yang diharapkan
peran dan fungsi seorang dai benar-benar dapat dipahami oleh seorang dai sebagai mubalig
dan kondisi objek dakwah sebagai mad‘ū.

Kata Kunci: Peran, Fungsi, Dai, Psikologi Dakwah

A. Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah dengan membawa tugas dan amanah yang
sangat berat. Salah satu tugas manusia di bumi ini adalah sebagai khalīfah fi al-
ardl. Setiap manusia memiliki tugas sebagai pemimpin. Di mana seorang
pemimpin itu harus mampu menciptakan ketentraman, kedamaian, keadilan dan
kesejahteraan. Membenarkan atau mengarahkan segala sesuatu yang dirasa
belum baik dan tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah selaku
Sang Khalik. Manusia memiliki tugas untuk menyeru kepada manusia yang lain
yang belum sesuai dengan yang diperintahkan Allah Swt., dan manusia memiliki
kewajiban beramar makruf nahi munkar.
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai dai tentu saja kita
ingin mencapai kesuksesan dalam mencapai tugas dakwah. Salah satu bentuk
keberhasilan dalam dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang. Dari
tidak cinta Islam menjadi cinta, dari tidak mau beramal saleh menjadi giat
melakukannya, dari cinta kemaksiatan menjadi benci dan tertanam dalam
jiwanya rasa senang terhadap kebenaran ajaran Islam, begitulah seterusnya.
Karena dakwah bermaksud mengubah sikap kejiwaan seorang mad‘ū,
maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat

Agus Salim
93 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
penting. Dengan pengetahuan tentang psikologi dakwah ini, diharapkan kita
dapat melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan sehingga hal
yang diharapkan peran dan fungsi seorang dai benar-benar dapat dipahami oleh
seorang dai sebagai mubalig dan kondisi objek dakwah sebagai mad‘ū.
Sebagaimana Rasul Saw. dalam dakwahnya memang sangat memperhatikan
tingkat kesiapan jiwa orang yang didakwahinya dalam menerima pesan-pesan
dakwah.
Saat ini banyak sekali fenomena-fenomena negatif yang terjadi di sekitar
kita, dalam artian, banyak sekali umat manusia yang jauh dari apa yang Allah
perintahkan kepada manusia itu sendiri. Tugas lain dari manusia adalah
beribadah kepada Allah, bukan hanya manusia saja, melainkan jin juga malaikat.
Tapi masih banyak sekali manusia yang belum menjalankan tugasnya, maka di
sinilah juga tugas kita manusia dan para dai untuk meluruskan hal-hal yang
seperti itu dan mengajak mereka yang belum menjalankan perintah Allah untuk
melaksanakannya. Sebagian besar mereka mungkin memang mengaku sebagai
seorang muslim, tapi apakah mereka sudah benar-benar melakukan tugasnya
sebagai seorang muslim.

B. Pengertian Psikologi Dakwah
1. Pengertian Psikologi
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, psikologi merupakan salah satu
pengetahuan yang tergolong dalam “empirical science” yaitu ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada pengalaman manusia. Walaupun pada perkembangannya
bersumber pada filsafat yang bersifat spekulatif.
Psikologi menurut bahasa berasal dari kata Yunani yang terdiri dari dua
kata: Psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu, jadi psikologi secara
bahasa dapat berarti “Ilmu Jiwa”. Namun pengertian ilmu jiwa itu sendiri masih
kabur dan belum jelas. Hal ini disebabkan karena para sarjana belum mempunyai
kesepakatan tentang jiwa itu sendiri. Menurut Sarlito (2000: 3), tidak ada seorang
pun seseorang yang tahu dengan seseungguhnya apa yang dimaksud dengan jiwa
itu sendiri, karena jiwa adalah suatu kekuatan yang abstrak yang tidak tampak
oleh pancaindra wujud dan zatnya, melainkan yang tampak hanya gejala-
gejalanya saja.
Beberapa sarjana modern mencoba mengemukakan beberapa definisi
psikologi di antaranya Wilhem Wundt, (dalam Arifin, 1976: 19) mendefinisikan
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menyelidiki pengalaman yang
timbul dalam diri manusia, seperti pengalaman pancaindra, merasakan sesuatu,
berpikir, berkehendak, dan bukan mempelajari pengalaman yang diluar diri
manusia, karena pengalaman yang demikian menjadi objek kajian ilmu
pengetahuan alam. Jhon C. Ruch (1984: 4) mendefinisikan psikologi sebagai
ilmu tentang aktivitas perilaku dan mental. Ernest Hilgert (1962: 2) mengatakan,
“Psychology is the science that studies the behavior of men and other animals” (Ilmu jiwa
dapat diberikan batasan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah
laku dari manusia dan manusia lainnya).

Agus Salim
94 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
Di sisi lain secara sederhana psikologi juga sering disebut sebagai ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya.
Sedangkan pengertian atau definisi yang lebih terperinci menyebutkan bahwa
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku lahiriah
manusia dengan menggunakan metode observasi secara obyektif, seperti
terhadap rangsang (stimulus) dan jawaban (respon) yang menimbulkan tingkah
laku.
Definisi tersebut di atas mengesankan bahwa kegunaan psikologi
terbatas hanya untuk menguraikan atau mengungkap apa yang ada di balik
tingkah laku manusia. Dalam keadaan tertentu, kebutuhan seseorang memang
dapat saja terbatas hanya ingin mengetahui faktor kejiwaan apa yang
menyebabkan tingkah laku tertentu orang lain, tapi di saat yang lain, misalnya
bagi seorang yang sedang merencanakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak
orang di mana banyak kemungkinan bisa terjadi, maka psikologi dapat
membantunya meramalkann kira-kira tingkah laku apa yang bakal dilakukan oleh
sebagian atau keseluruhan dari orang-orang yang diamatinya.

2. Pengertian Dakwah
Dalam bahasa Arab, da‘wah atau da‘watun biasa digunakan untuk arti-arti:
Undangan, ajakan dan seruan yang kesemua menunjukkan adanya komunikasi
antara dua pihak dan upaya mempengaruhi pihak lain. ukuran keberhasilan
undangan, ajakan atau seruan adalah manakala pihak kedua yakni yang diundang
atau diajak memberikan respon positif yaitu mau datang dan memenuhi
undangan itu. Jadi kalimat dakwah mengandung muatan makna aktif dan
menantang, berbeda dengan kalimat tablig yang artinya menyampaikan. Ukuran
keberhasilan seorang dai sebagai mubaligh adalah manakala ia berhasil
menyampaikan pesan Islam dan pesannya sampai (wamā ‘alainā illā al-balāgh),
sedangkan bagaimana respon masyarakat tidak menjadi tanggung jawabnya. Dari
sini kita juga dapat menyebutkan apa sebenarnya tujuan dari dakwah itu sendiri?
Adapun tujuan dari dakwah adalah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran,
penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang dibawakan oleh aparat
dakwah/dai.
Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa dakwah ialah usaha
mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa
yang didakwahkan oleh dai. Setiap dai agama pun pasti berusaha mempengaruhi
orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan agama
mereka. Dengan demikian pengertian dakwah islam adalah upaya mempengaruhi
orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku islami (memeluk agama
Islam).
Sebagai perbuatan atau aktifitas, dakwah adalah peristiwa komunikasi di
mana dai menyampaikan pesan melalui lambang-lambang kepada mad‘ū, dan
mad‘ū menerima pesan itu, mengolahnya dan kemudian meresponnya. Jadi,
proses saling mempengaruhi antara dai dan mad‘ū adalah merupakan peristiwa
mental. Dengan mengacu pada pengertian psikologi, maka dapat dirumuskan
bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan

Agus Salim
95 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah.
Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku
manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan
itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.

3. Pengertian Psikologi Dakwah
Secara harfiah, psikologi artinya “ilmu jiwa” berasal dari kata yunani psyce
“jiwa” dan logos “ilmu”. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai gambaran
dari keadaan jiwanya. Adapun dakwah merupakan usaha mengajak manusia agar
beriman kepada Allah Swt. dan tunduk kepada-Nya dalam kehidupan di dunia
ini, dimanapun ia berada dan bagaimana pun situasi serta kondisinya.
Dengan demikian, psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia yang merupakan gambaran dari kejiwaannya guna
diarahkan kepada iman takwa kepada Allah Swt. Bila disederhanakan bisa juga
dengan pengertian, dakwah dengan pendekatan kejiwaan.
Pengertian dari Psikologi Dakwah yaitu psikologi dan ilmu dakwah.
Pengetahuan tentang Ilmu Jiwa atau Psikologi diperlukan karena Psikologi Dakwah
memang merupakan bagian dari Psikologi, yakni Psikologi Terapan. Ilmu Dakwah
juga sangat relevan karena Psikologi Dakwah ini adalah ilmu bantu bagi kegiatan
dakwah. Boleh jadi pengguna ilmu ini adalah dai yang psikolog yang suka
berdakwah.
Berdasarkan definisi-definisi dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa psikologi dakwah didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat
dalam proses kegiatan dakwah.
Psikologi dakwah dapat juga diberi batasan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup
kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran Islam demi
kesejahteraan hidup manusia dunia dan akhirat (Mubarok, 2006: 8)

C. Dai dalam Perspektif Psikologi Dakwah
1. Pengertian Dai
Kata dai berasal dari bahasa Arab bentuk mudzakar (laki-laki) yang berarti
orang yang mengajak, kalau mu’annas (perempuan) disebut daiyah (AS dan
Aliyudin, 2009: 73). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dai adalah
orang yang pekerjaannya berdakwah, pendakwah: melalui kegiatan dakwah para
dai menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan kata lain, dai adalah orang yang
mengajak kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, melalui
lisan, tulisan, atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau
menyebarluaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang
lebih baik menurut Islam.
Dai dapat diibaratkan sebagai seorang guide atau pemandu terhadap
orang-orang yang ingin mendapat keselamatan hidup dunia dan akhirat. Dalam
hal ini dai adalah seorang petunjuk jalan yang harus mengerti dan memahami

Agus Salim
96 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
terlebih dahulu mana jalan yang boleh dilalui dan yang tidak boleh dilalui oleh
seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan kepada orang lain. Ini yang
menyebabkan kedudukan seorang dai di tengah masyarakat menempati posisi
penting, ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu diteladani oleh
masyarakat di sekitarnya.
Segala perbuatan dan tingkah laku dari seorang dai akan dijadikan tolak
ukur oleh masyarakatnya. Dai akan berperan sebagai seorang pemimpin di
tengah masyarakat walau tidak pernah dinobatkan secara resmi sebagai
pemimpin. Kemunculan dai sebagai pemimpin adalah kemunculan atas
pengakuan masyarakat yang tumbuh secara bertahap. Oleh karena itu, seorang
dai harus selalu sadar bahwa segala tingkah lakunya selalu dijadikkan tolak ukur
oleh masyarakatnya sehingga ia harus memiliki kepribadian yang baik.

2. Peran Dai dan Kepribadiannya
Peran dai sebagai juru dakwah (dai) adalah salah satu faktor dalam
kegiatan dakwah yang menempati posisi sangat penting dalam berhasil atau
tidaknya kegiatan dakwah. Dai professional yang mengkhususkan diri di bidang
dakwah. Seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang
keberhasilan dakwah baik yang bersifat rohani atau yang bersifat fisik.
Sosok dai yang memiliki kepribadian tinggi dan tak pernah kering adalah
pribadi Rasulullah Saw. serta kesaksian sahabat yang selalu mendampinginya.
Diisyaratkan dalam surat al-Ahzāb ayat 21 yang berbunyi:
               

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (yaitu)
bagi orang yang mengharapkan (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir dan dia
banyak menyebut Allah”.
Menurut Enjang AS dan Aliyudin (2009) dai dalam prespektif ilmu
komunikasi dapat dikategorikan sebagai komunikator yang bertugas
menyebarkan dan menyampaikan informasi-informasi dari sumber (source)
melalui saluran yang sesuai (chanel) pada komunikan (receiver). Untuk menjadi
komunikator yang baik dituntut adanya kredibilitas yang tinggi yaitu suatu
tingkat kepercayaan yang tinggi padanya dari komunikannya. Komunikator yang
baik adalah komunikator yanag mampu menyampaikan informasi atau pesan
(message) kepada komunikan sesuai dengan yang diinginkan.
Adapun kredibilitas yang dimilki dai tidaklah tumbuh dengan sendirinya,
melainkan harus dibina dan terus dikembangkan. Seorang dai yang
berkredibilitas tinggi adalah seorang yang mempunyai kompetensi di bidang
yang ingin ia sebarkan, mempunyai jiwa yang tulus dalam beraktifitas, senang
terhadap pesan-pesan yang ia miliki, berbudi luhur serta mempunyai status yang
cukup walau tidak harus tinggi. Dari sana berarti seorang dai yang ingin memiliki
kredibilitas tinggi harus berupaya membentuk dirinya dengan sungguh-sungguh
(Muhaemin, 1994:68). Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa di antara

Agus Salim
97 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
aspek yang mampu membangun kredibilitas adalah aspek yang berkaitan dengan
kepribadian, sebuah sifat hakiki pada seorang dai (AS dan Aliyudin, 2009: 76).
Kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang dai terbagi menjadi dua
yaitu kepribadian yang bersifat rohaniah dan jasmaniah. Adapun penjabarannya
adalah sebagai berikut:

2.1. Kepribadian yang Bersifat Rohani
Kriteria kepribadian yang baik sangat menentukan keberhasilan dakwah,
karena pada hakikatnya berdakwah tidak hanya menyampaikan teori, tapi juga
harus memberikan teladan bagi umat yang diseru. Keteladanan jauh lebih besar
pengaruhnya daripada kata-kata, hal ini sejalan dengan ungkapan hikmah
“kenyataan itu lebih menjelaskan dari ucapan”. Klasifikasi kepribadian dai yang
bersifat rohaniah mencangkup sifat, sikap, dan kemampuan diri pribadi dai.
Ketiga masalah tersebut mencangkup keseluruhan kepribadian yang harus
dimiliki (Faizah dan Effendi, 2009: 90).

a. Sifat-Sifat Dai
1). Beriman dan Bertakwa kepada Allah
Takwa dengan sebenar-benarnya takwa, mengimani dan mengikuti
aturan-aturan-Nya, melaksanakan segala perinta-Nya dan menjauhi segala yang
dilarang-Nya. Sifat dasar dai ini dijelaskan Allah Swt. dalam Alquran:
          
“Apakah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan padahal kamu lupa terhadap dirimu
sendiri sedangkan kamu sendiri membaca kitab Tuhan. Apakah kamu tidak berpikir.”
(QS. Al-Baqarah/2 : 44)

2). Ahli Taubat
Sifat taubat dalam diri dai, berarti ia harus mampu untuk lebih menjaga
atau takut untuk berbuat maksiat atau dosa dibandingkan orang-orang yang
menjadi mad‘ū-nya. Jika ia merasa telah melakukan dosa atau maksiat hendaklah
ia bergegas untuk bertaubat dan menyesali atas perbuatannya dengan mengikuti
panggilan Ilahi.

3). Ahli Ibadah
Seorang dai adalah mereka yang selalu beribadah kepada Allah dalam
setiap gerakan, perbuatan atau perkataan di mana pun dan kapan pun. Dan
segala ibadahnya ditujukan dan diperuntukkan hanya kepada Allah, dan bukan
karena manusia (riya’).

4). Amanah dan Shiddīq
Amanah (terpercaya) dan Shidq (jujur) adalah sifat utama yang harus
dimiliki seorang dai sebelum sifat-sifat yang lain, karena ia merupakan sifat yang
dimiliki oleh seluruh para nabi dan rasul. Amanah dan shidq adalah dua sifat
yang selalu ada bersama, karena amanah selalu bersamaan dengan shidq

Agus Salim
98 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
(kejujuran), maka tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya, dan tidak ada
manusia terpercaya yang tidak jujur. Amanah dan shidq merupakan hiasan para
nabi dan orang-orang saleh, dan mestinya juga menjadi hiasan dalam pribadi dai
karena apabila seorang dai memiliki sifat dapat dipercaya dan jujur maka mad‘ū
akan cepat percaya dan menerima ajakan dakwahnya.

5). Pandai Bersyukur
Orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang merasakan
karunia Allah dalam dirinya, sehingga perbuatan dan ungkapannya merupakan
realisasi dari rasa kesyukuran tersebut. Syukur dengan perbuatan berarti
melakukan kebaikan, syukur dengan lisan berarti selalu mengucapkan ungkapan-
ungkapan yang baik (kalimāt thayyibāt). Syukur juga mempunyai dua dimensi,
syukur kepada Allah dan syukur kepada manusia. Seorang dai yang baik adalah
dai yang mampu menghargai nikmat-nikmat Allah dan menghargai kebaikan
orang lain.

6). Tulus Ikhlas dan Tidak Mementingkan Pribadi
Apa yang dilakukan seorang dai merupakan bagian dari perhatiannya
kepada umat, ia menginginkan umat beriman dan selamat dunia akhirat.

7). Ramah dan Penuh Pengertian
Yaitu menunjukkan sikap hormat dan menghargai kepada siapapun.

8). Tawaduk (Rendah Hati)
Rendah hati bukanlah rendah diri (merasa terhina dibanding derajat dan
martabat orang lain), tawaduk (rendah hati) dalam hal ini adalah sopan dalam
pergaulan, tidak sombong, tidak suka menghina, dan mencela orang lain. Dai
yang mempunyai sifat tawaduk akan selalu disenangi dan dihormati orang
karena tidak sombong dan berbangga diri yang dapat menyakiti perasaan orang
lain.

9). Sederhana dan Jujur
Kesederhanaan adalah merupakan pangkal keberhasilan dakwah, dalam
kehidupan sehari-hari selalu ekonomis dalam memenuhi kebutuhan. Sederhana
di sini adalah tidak bermegah-megahan, angkuh dan sebagainya, sehingga dengan
sifat sederhana seseorang tidak merasa segan dan takut kepadanya.

10). Tidak memiliki Sifat Egois
Ego adalah suatu watak yang menonjolkan keakuan, angkuh dalam
pergaulan, merasa diri paling hebat, terhormat, dan lain-lain. Sifat ini benar-
benar harus dijauhi oleh dai. Orang yang mempunyai sifat ego hanya akan
mementingkan dirinya sendiri, maka bagaimana mungkin seorang dai akan dapat
bergaul dan memengaruhi orang lain jika ia sendiri tidak peduli dengan orang
lain.

Agus Salim
99 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
11). Sabar dan Tawakal
Yaitu sikap pasrah dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah
berusaha secara maksimal.

12). Memiliki Jiwa Toleran
Toleransi dapat dipahami sebagai suatu sikap pengertian dan dapat
mengadaptasi diri secara positif (menguntungkan bagi diri sendiri maupun orang
lain) bukan toleransi dalam arti mengikuti jejak lingkungan. Salah satu contoh
ayat yang menunjukkan sifat toleransi dalam Alquran ialah pada surat al-Kāfirūn
ayat 6:
   
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

13). Sifat Terbuka (Demokratis)
Seorang dai adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari salah dan
lupa. Karena itu agar dakwah dapat berhasil, dai diharuskan memiliki sifat
terbuka dalam arti bila ada kritikan dan saran hendaklah diterima dengan
gembira, bila ia mendapat kesulitan sanggup bermusyawarah dan tidak
berpegang teguh pada pendapat (ide) nya yang kurang baik.

14). Tidak memiliki Penyakit Hati
Sombong, dengki, ujub, dan iri harus disingkirkan dari sanubari seorang
dai. Tanpa membersihkan sanubari dari sifat-sifat tersebut, tidak mungkin tujuan
dakwah akan tercapai. Salah satu contoh penyakit hati bila seseorang merasa iri
bila temannya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat, sifat tersebut membuat
seseorang tidak mungkin mengajak kepada kebaikan bila dirinya sendiri iri
melihat sasaran dakwah mendapat kebahagiaan.

15). Istikamah
Sebuah sikap yang konsisten atau teguh pendirian dalam menegakkan
kebenaran. Sifat istikamah dibangun dengan memiliki sikap komitmen atas tugas
seorang dai.


16). Rajā’ dan Hubb
Yaitu penuh pengharapan dan optimisme kepada rahmat Allah, yang
melahirkan sikap percaya diri dan jauh dari perasaan putus asa. Hubb adalah
mencintai Allah di atas segala-galanya. Apa yang dilakukannya atas dasar
kecintaan kepada Allah.

17). Sifat Antusias
Sikap semangat dan positif dengan apa yang dilakukannya. Memiliki
semangat dan ghirah dalam melaksanakan dakwah Islam.

Agus Salim
100 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
b. Sikap Seorang Dai
Sikap dan tingkah laku dai merupakan salah satu faktor penunjang
keberhasilan dakwah, masyarakat sebagai suatu komunitas sosial lebih cenderung
menilai karakter dan tabiat seseorang dari pola tingkah laku keseharian yang
dapat dilihat dan didengar. Memang benar ungkapan para ulama bahwa
“Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa (orang) yang
mengatakan”, namun alangkah baiknya jika tingkah laku dan sikap dai juga
merupakan cerminan dari perkataannya (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi,
2006: 97). Menurut Faizah dan Lalu Muchsin Effendi di antara sikap-sikap ideal
yang harus dimilki oleh para dai adalah:

1). Berakhlak Mulia
Dalam kata lain, memiliki budi pekerti yang mulia dalam seluruh
perkataan dan perbuatannya. Rasulullah Saw. sendiri diutus tidak lain untuk
memperbaiki moralitas umat manusia, beliau bersabda,
ﺎَ
ﱠﳕِإ
ِ
قَﻼ
ْ
ﺧَْﻷا
َ

ِ
ﻟﺎ
َ

َ
ﻢﱢَﲤُ
ِ

ُ
ﺖْﺜ
ِ

ُ

Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus oleh Allah SWT ke dunia ini tak lain hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti).

2). Ing Nganso Sung Tuladho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
Menjadi teladan atau figur, kreatif inovatif, dan memotivasi secara
positif.

3). Disiplin dan Bijaksana
Menepati seluruh norma agama dan masyarakat dan melakukan sesuatu
penuh pemikiran dan pertimbangan yang matang.

4). Warak dan Berwibawa
Sikap warak adalah menjauhkan perbuatan-perbuatan yang kurang
berguna dan mengindahkan amal saleh, sikap ini dapat menimbulkan
kewibawaan seorang dai. Sebab kewibawaan merupakan faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk percaya menerima suatu ajakan.

5). Berpandangan Luas
Artinya berwawasan luas dan menghindari sikap picik.

6). Berpengetahuan yang Cukup
Dalam arti memiliki pengetahuan yang memadai mengenai segala hal
yang berhubungan dengan dakwahnya. Untuk menjadikan pesan dakwah sampai
secara tepat kepada mad‘ū, seorang dai juga harus memiliki pengetahuan yang
memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan mad‘ū baik bahasa,
tradisi, psikologis, budaya, dan temperamen (emosional) mad‘ū.
a. Kepribadian yang bersifat jasmani
b. Sehat jasmani

Agus Salim
101 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
Segala aktifitas yang dilakukan manusia sudah barang tentu akan optimal
bila dikerjakan dalam keadaan sehat, termasuk aktifitas dakwah.

2.2. Kepribadian yang Bersifat Jasmani
a. Sehat Jasmani
Seorang dai yang professional berdakwah dengan Jumlah sasaran yang
banyak maka sehat jasmani mutlak diperlukan. Kondisi badan yang tidak
memungkinkan sedikit banyak dapat mengurangi kegairahan dai dalam
melakukan aktivitas dakwah.

b. Berpakaian Sopan dan Rapi
Menurut Mansur (2000: 47) bagi seorang dai masalah pakaian yang
digunakan harus mendapat perhatian serius, sebab pakaian yang digunakan
menunjukkan kepribadiannya. Yaitu pakaian yang sesuai dengan tempat, suasana
dan keadaan tubuh.
Dalam psikologi dakwah, Achmad Mubarok (1999: 101) menambahkan
bahwa seorang dai juga harus memiliki beberapa kemampuan di antaranya:

1). Kemampuan Berkomunikasi
Dakwah adalah mengomunikasikan pesan kepada mad‘ū. Komunikasi
dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan, dengan kata-kata atau
dengan bahasa perbuatan. Komunikasi dapat berhasil manakala pesan dakwah
itu dipahami oleh mad‘ū dan pesan dakwah tersebut mudah dipahami bila
disampaikan sesuai dengan cara berpikir dan merasa mad‘ū.

2). Pemberani
Dalam tingkatan tertentu seorang dai adalah pemimpin masyarakat.
Kapasitas kepemimpinan seorang dai boleh sekurang-kurangnya hanya dalam
bidang keagamaan tapi tidak menutup kemungkinan untuk menjalankan fungsi-
fungsi kepemimpinan dalam bidang sosial, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
ekonomi, bahkan mungkin militer. Daya tarik kepemimpinan seseorang antara
lain terletak pada keberaniannya. Keberanian diperlukan dai untuk menyuarakan
kebenaran manakala ia dihadapkan pada berbagai tantangan.

3. Mad‘ū (Objek Dakwah) dan Kondisinya
Pendekatan sistem (system approach) adalah pendekatan yang digunakan
dalam aktivitas dakwah. Artinya aktvitas dakwah tidak akan sukses tanpa adanya
suatu unsur atau faktor tertentu.
Salah satu unsur dakwah atau mad‘ū yakni manusia yang merupakan
individu atau bagian dari komunitas tertentu. Mempelajari tentang unsur ini
merupakan suatu keniscayaan dalam keberhasilan suatu dakwah (Faizah dan
Lalu Muchsin Effendi, 2006: 70).
Manusia sebagai objek psikologi dakwah memiliki sikap dan tingkah laku
yang berada satu dengan yang lain. Masing-masing inividu memiliki karakteristik
tersendiri yang dipengaruhi oleh hereditas (pewarisan) dan lingkungannya.

Agus Salim
102 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
Karakteristik manusia yang dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan
merupakan karakteristik manusia apa adanya.

a. Manusia Sebagai Individu
Dalam membentuk kepribadian manusia, faktor intern (bawaan) dan
faktor ekstern (lingkaran) saling mempengaruhi sebagai objek dakwah manusia
dibedakan oleh berbagai aspek:
1) Sifat-sifat kepribadian seperti, penakut, pemarah, suka bergaul, peramah,
sombong dan sebagainya.
2) Intelegensi: aspek kecerdasan seseorang mencakup kewaspadaan,
kemampuan belajar, kecepatan berfikir dan kemampuan mengambil
kesimpulan.
3) Pengetahuan (knowledge).
4) Ketrampilan (skill).
5) Nilai-nilai (values).
6) Peranan (roles).

b. Manusia Sebagai Anggota Masyarakat (Kelompok)
Manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial, sejak lahir ia
memerlukan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Masyarakat
sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting
dalam sistem dakwah yang lain.
Masyarakat merupakan sasaran dakwah (objek dakwah) tersebut meliputi
masyarakat dari berbagai segi: segi sosiologis berupa masyarakat terasing, desa
atau kota marginal atau kota besar: segi structural berupa masyarakat pemerintah
dan keluarga. Segi sosio structural berupa golongan priyai dan santri. Segi tingkat
usia, golongan anak-anak, remaja dan orang tua. Segi okupasional (profesi atau
pekerjaan) petani, pedagang dan pegawai dan sebagainya. Segi sosial-ekonomis
berupa orang kaya dan orang miskin, segi jenis kelamin, pria dan wanita segi
masyarakat khusus berupa; tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana dan
sebagainya.
Masyarakat dalam perkembangannya di pengaruhi oleh berbagai hal
diantaranya:
a. Pengaruh Budaya
Secara umum, kebudayaan meliputi segala sesuatu yang dihasilkan dari
cipta rasa dan karsa manusia yang bersifat materi (pakaian, Rumah, mobil dan
sebagainya) maupun yang bersifat non materil seperti norma-norma, nilai-nilai,
kepercayaan dan lain-lain.
Kebudayaan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain:
1) Faktor Geografis: tempat tinggal suatu masyarakat seperti pendesaan,
pegunungan, perkotaan dan sebagainya.
2) Faktor Keturunan: masyarakat keturunan adam dan hawa berkembang
menjadi miliaran manusia dengan ciri khas yang berbeda.

Agus Salim
103 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
3) Pengaruh dari dunia luar: perpindahan bangsa ke bangsa lain
mengakibatkan budaya asli luntur dan bercampur.

b. Organisasi Sosial
Organisasi sosial memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
manusia sebagai contoh sebuah organisasi keagamaan yang merupakan sumber
nilai, kebiasaan dan kepercayaan dalam lingkup yang lebih besar Negara dapat
dikatakan sebagai organisasi sosial dimana ia merupakan sumber dari norma-
norma dan nilai bagaimana warganya bersikap dan berperilaku.

D. Pusat Perhatian Psikologi Dakwah
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pusat perhatian
psikologi terhadap proses dan objek dakwah sekurang-kurangnya meliputi
empat hal:
1) Analisa terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam proses dakwah
kepada dai, psikologi dakwah melacak sifat-sifatnya dan mempertanyakan;
mengapa dai A berhasil mempengaruhi orang-orang yang didakwahi
sedang dai B kok tidak. Tentang (mad‘ū dan juga dai) sebagai manusia,
sifat-sifatnya dan faktor-faktor apa (internal dan eksternal) yang
mempengaruhi perilaku komunikasinya.
2) Bagaimana pesan dakwah menjadi stimulus yang menimbulkan respon
mad‘ū.
3) Bagaimana proses penerimaan pesan dakwah oleh mad‘ū, faktor-faktor apa
(personal dan situasional) yang mempengaruhinya.
4) Bagaimana dakwah dapat dilakukan secara persuasif, yaitu proses
mempengaruhi dan mengendalikan perilaku mad‘ū dengan pendekatan
psikologis atau dengan menggunakan cara berpikir dan cara merasa mad‘ū.

E. Hakikat dan Fungsi Psikologi Dakwah
a. Hakikat Psikologi Dakwah
Pada hakikatnya psikologi dakwah sebagai ilmu pengetahuan bertugas
mempelajari/membahas tentang gejala-gejala hidup kejiwaan, baik dari dai
maupun mad‘ū yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Tugas psikologi dakwah adalah memberikan landasan dan pedoman
kepada metodologi dakwah, karena metodologi baru dapat efektif dalam
penerapan kerja bila mana didasarkan atas kebutuhan hidup manusia
sebagaimana ditunjukkan kemungkinan pemuasnya efek psikologi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor perkembangan psikologis beserta
ciri-cirinya, maka pesan dakwah yang disampaikan oleh juru dakwah akan dapat
meresap dan diterima dalam pribadi sasarannya dan kemudian diamalkannya
kepada perasaan yang tulus tanpa adanya ganjalan karena hal tersebut dapat
menyentuh dan memuaskan kehidupan rohaninya. Disinilah letak titik berat
strategi-strategi dakwah yang sebenarnya yaitu menerima pesan dakwah dengan
ikhlas sekaligus mempraktekkannya (Al-Mubarok, 1998: 50).

Agus Salim
104 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
b. Fungsi Psikologi Dakwah
Ukuran keberhasilan suatu penyampaian adalah apabila pesan dakwah
yang disampaikan oleh dai sampai kepada mad‘ū dalam keadaan utuh, sedangkan
ukuran keberhasilan dakwah dalam arti ajakan adalah manakala mad‘ū memenuhi
ajakan dai. Pengalaman mengajar bahwa tidak semua ajakan baik diterima
sebagai ajakan baik.
Tidak jarang seorang dai yang telah bekerja keras menyampaikan dan
mengajak masyarakat kearah kebaikan demi kebahagian mereka justru salah
dipahami, konsep kebaikan pada fikiran dan hati dai tidak terkomunikasikan
sehingga mad‘ū tidak dapat menangkapnya atau bahkan ditangkap dengan
pemahaman sebaliknya.
Dakwah yang semacam ini dapat disebut sebagai dakwah yang tidak
komunikatif dan dakwah yang tidak komunikatif pasti tidak efektif, contohnya
senyum ramah ibu tiri belum tentu dipahami oleh anak tirinya. Jadi, suatu pesan
baru yang dianggap komunikatif manakala dipahami oleh penerima pesan itu
dan untuk menjadikan pesan itu dipahami, komunikator harus memahami
kondisi psikologi orang yang menjadi komunikan.
Begitupula para dai manakala ingin agar pesan dakwahnya dipahami maka
dakwahnya itu harus disampaikan dengan pendekatan psikologis yakni sesuai
dengan tindakan dan kebutuhan jiwa mad‘ū sesuai dengan cara berfikir dan cara
merasa mad‘ū, dakwa seperti itulah yang disebut dakwah persuasif.
Ungkapan Nabi yang sudah popular dalam hal ini adalah “Berbicaralah
kepada orang sesuai dengan kadar akal mereka“, kadar akal dapat dipahami
sebagai tingkatan intelektual biasa juga dipahami sebagai cara berfikir, cara
merasa dan kecendrungan kejiwaan lainnya. Akan tetapi melalui komunikasi
dakwah yang terus menerus betapapun hasilnya dai dan mad‘ū sekurang-
kurangnya dapat memetik tiga hal yaitu:
1) Menemukan dirinya atau mengerti siapa dirinya dan menempatkan dirinya
pada posisi yang tepat.
2) Mengembangkan konsep diri, konsep diri adalah pandangan dan perasaan
seseorang tentang diri sendiri.
3) Menetapkan hubungan dengan dunia sekitar.

F. Pendekatan Psikologi Dakwah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sebagai kegiatan dakwah adalah
peristiwa komunikasi. Komunikasi menarik perhatian banyak disiplin ilmu,
dengan pendekatan yang berbeda-beda. Sosiologi misalnya, mempelajari
komunikasi dalam konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan
kelompok. Dalam pandangan sosiolog, komunikasi adalah proses megubah
kelompok manusia menjadi kelompok manusia yang berfungsi.
Menurut teori komunikasi, (Fisher, 1978: 136-142), proses dakwah dapat
dilihat sebagai kegiatan psikologis yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, diterimanya stimuli (rangsang) oleh organ-organ penginderaan,
berupa orang, pesan, warna atau aroma.

Agus Salim
105 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
Kedua, rangsang yang diterima mad‘ū berupa-rupa, warna, suara, aroma
dan pesan dakwah yang disampaikan dai-dai itu kemudian diolah di dalam benak
mad‘ū (hadirin), dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa lalu masing-
masing dan disimpulkan juga oleh masing-masing. Meskipun pesan dakwah oleh
dai itu dimaksudkan A, tapi kesimpulan mad‘ū boleh jadi B, C, atau D.
Ketiga, untuk merespon terhadap ceramah atau seruan ajakan dai
(misalnya tepuk tangan, berteriak, mengantuk atau karena bosan kemudian
meninggalkan ruangan), pikiran hadirin bekerja, mengingat-ingat apa yang
pernah terjadi di masa lalu. Dari memori itu para hadirin kemudian meramalkan
bahwa jika hadirin melakukan tindakan X, maka dai akan melakukan tindakan Y,
jika X maka Y.
Keempat, setelah itu barulah hadirin akan merespon terhadap ajakan dai,
dan respon dari hadirin itu merupakan umpan balik bagi dai.

G. Interaksi Psikologi Dai dan Mad‘ū
Adapun dalam proses psikologi dakwah, dalam arti interaksi sosial antara
dai dan mad‘ū sekurang-kurangnya terkandung tiga makna:
1) Bahwa, baik dai maupun mad‘ū sebenarnya terlibat dalam proses belajar,
baik dari segi berpikir maupun dari sudut merasa. Mad‘ū belajar kepada
dai, tapi dai juga belajar kepada umpan balik yang disampaikan oleh mad‘ū.
2) Antara dai dan mad‘ū terjadi proses penyampaian dan penerimaan
lambang-lambang dalam berkomunikasi (tepuk tangan lambang suka,
gaduh dan ngantuk lambang penolakan).
3) Adanya mekanisme penyesuaian diri antara dai dan mad‘ū. Bentuk
penyesuaian diri itu bisa permainan peranan, identifikasi, atau agresi. Jika
hadirin ramai-ramai meninggalkan tempat acara atau berbicara sendiri atau
mengantuk semua, padahal mubalighnya masih pidato di atas mimbar,
maka apa yang dilakukan hadirin menurut pandangan psikologi
sebenarnya merupakan penyesuaian diri dari ceramah yang tidak
komunikatif.
Proses dakwah dikatakan berhasil dan efektif ketika tujuan dari dakwah
itu sendiri telah tercapai. Tercapainya tujuan dakwah ada beberapa tahap, antara
lain:
a. Tahap kognitif, adalah ketika seorang mad‘ū mampu menangkap, mengerti
dan memahami apa yang disampaikan oleh seorang dai.
b. Tahap afeksi, adalah tahap berikutnya setelah tahap kognitif. Pada tahap
ini, seorang mad‘ū diharapkan mampu merasakan dan merenungkan secara
lebih mendalam apa yang telah disampaikan oleh dai, tidak hanya sekedar
memikirkan saja.
c. Tahap psikomotor, adalah tahap di mana seorang mad‘ū telah mampu
mengaplikasikan atau menjalankan apa yang sebelumnya telah
disampaikan oleh seorang dai, dan setelah mad‘ū melakukan perenungan
secara mendalam. Sehingga kesadaran benar-benar muncul dalam diri
seorang mad‘ū tentang apa sesungguhnya kewajibannya terhadap
Tuhannya, apa sesungguhnya tugas dan kewajibannya di dunia ini agar

Agus Salim
106 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
pada saat menjalankan tugas dan amanahnya, seorang mad‘ū benar-benar
melakukan dengan berdasarkan kesadarannya sendiri.

H. Penutup
Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa peran dan fungsi dai
erat sekali hubungannya dengan perspektif psikologi dakwah. Karena ketika
seseorang berdakwah (dai) maka ia perlu bahkan harus mengetahui kondisi
psikologis obyek yang didakwahi (mad‘ū) agar apa yang disampaikan nantinya
dapat tersampaikan dengan baik. Karena dakwah itu sendiri merupakan suatu
kegiatan yang mempengaruhi orang lain agar mau merubah tingkah lakunya dan
mengikuti sesuai dengan yang disyariatkan oleh agama (Islam). Tidak hanya itu,
dalam hal ini seorang dai juga diharapkan dapat melaksanakan tugas dakwah
dengan pendekatan kejiwaan sehingga hal yang diharapkan peran dan fungsi
seorang dai benar-benar dapat dipahami oleh seorang dai itu sendiri sebagai
mubaligh dan kondisi objek dakwah sebagai mad‘ū.
Dalam mempengaruhi orang lain agar orang lain dapat mengikuti apa
yang kita inginkan maka kita harus melakukan beberapa pendekatan, dan bisa
dibilang pendekatan psikologis adalah pendekatan yang paling penting dan yang
paling berpengaruh apakah nantinya orang lain (mad‘ū) itu dapat menerima apa
yang disampaikan oleh dai dan menjalankannya. Dan perlu kita ketahui juga
bahwasannya tujuan utama dari dakwah adalah bagaimana nantinya seorang dai
dapat memahami peran dan fungsinya sebagai pendakwah secara psikologi
dakwah, dan kepada seorang mad‘ū dapat atau mau menjalankan apa yang
disampaikan oleh seorang dai, bukan hanya sekedar dipahami, direnungkan dan
dirasakan saja tapi bagaimana agar seorang mad‘ū benar-benar menjalankan apa
yang disampaikan oleh dai dengan penuh kesadaran dari dirinya sendiri.

Agus Salim
107 Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14 Jan s/d Juni 2017
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abda, Slamet Muhaemin. Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya: Al-Ikhlas,
1994.
Al-Mubarok. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Asy-Syifa, 1998.
Arifin, H.M. Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia. Jakarta:
Bulan Bintang, 1976.
AS, Enjang dan Aliyudin. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis Dan
Praktis. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah. Cet. I. Jakarta: Kencana,
2006.
Fisher. Perspektives on Human Communication. New York: Washington Square
Press, 1978.
Hasjmy, Dustur Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hilgard, Ernest R. Introduction to Psychology. USA: Brace and World Inc, 1962.
Mansur, Mustafa. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Al-I’tishom, 2000.
Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Ruch, Jhon C. Psychology, The Personal Science. California: Wod Wodworth
Publishing Company, 1984.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi Jakarta: Bulan Bintang,
2000.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: CV Gaya Media Pratama, 1997.