Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

169
HAK WARIS ANAK DI LUAR PERKAWINAN SAH
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NMOR 46/PUU-VIII-2010
1

Oleh: Stevi Loho
2


ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaturan hak Waris
anak luar kawin setelah keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
dan bagaimana proses pembagian waris bagi
anak luar kawinsetelah keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010. Dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, maka disimpulkan:
1. Hak Waris Anak Luar Kawin Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Hak Waris
(Keperdataan) merupakan sesuatu yang di
jamin oleh hukum. Setiap manusia memiiki hak
yang sama di depan hukum (equality before the
law) termasuk anak luar kawin yang juga
merupakan subjek hukum dan harus dilindungi
oleh negara. Sebelum keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU -
VIII/2010, kedudukan anak luar kawin dalam
hukum nasional mengalami degradasisetelah di
undangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Setelah keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas,
maka pengaturan hukum dan kedudukan anak
luar kawin saat ini sudah terakomodir dengan
cukup baik, karena hal tersebut merupakan
jaminan yang diberikan oleh Konstitusi. 2.
Pembagian Waris Anak Luar Kawin Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pada dasarnya tidak
ada yang membedakan porsi atau pembagian
harta warisan antara anak luar kawin dengan
anak yang lahir dari perkawinan yang sah
apabila ditinjau dari Hukum Perdata Barat dan
Hukum Waris Adat untuk daerah tertentu
(misalnya di Minahasa). Dalam Hukum Waris
Islam kedudukan anak luar kawin untuk
mendapatkan pembagian waris sudah tertutup
karena adanya pengaruh dari beberapa ajaran
(doktrin) para ulama terkemuka. Setelah
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka porsi waris

1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Merry E. Kalalo, SH,
MH; Elko L. Mamesah, SH, M.Hum
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071101681
bagi anak luar kawin yang tunduk pada Hukum
Perdata Barat dan mereka yang masih terikat
dengan adat istiadat leluhur menjadi terbuka
khususnya untuk mewaris dari harta
peninggalan ayah biologis dan keluargnya.
Tetapi porsinya tidak sama dengan anak yang
lahir dari perkawinan sah, karena Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut hanya
memberikan kepastian hubungan nasab anak
luar kawin dengan ayah biologisnya.
Kata kunci: Hak Waris Anak, Di Luar Perkawinan
Sah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nmor
46/PUU-VIII-2010

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak luar kawin selain anak zinah dan anak
sumbang akan memiliki hubungan perdata (hak
waris) dengan ayah dan ibunya melalui
pengakuan sebagaimana disebutkan dalam KUH
Perdata. Pengakuan anak tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan
akta otentik sebelum perkawinan, bersamaan
pada waktu melaksanakan perkawinan, dibuat
oleh pegawai catatan sipil yang didaftarkan
dalam daftar kelahiran.
3

Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan
menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam
ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam
peraturan pemerintah tersendiri, namun
sampai saat ini pemerintah belum juga
mengeluarkan peraturan pemerintah tentang
kedudukan anak luar kawin sedangkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan tidak mengatur
tentang kedudukan anak luar kawin sehingga
sampai sekarang persoalan tentang anak luar
kawin pengaturannya masih terkatung-katung
karena Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanya
menyebutkan tentang hubungan
keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-
haknya yang harus dilindungi sebagai seorang
manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas
dan terperinci.
4



3
Republik Indonesia.Undang-UndangTentangPerkawinan.UU
Nomor 1 Tahun 1974. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1975 Nomor 12. TambahanLembaran Negara Nomor
3050.
4
Ibid, hal. 145

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

170
Sebagai akibat dari hubungan perdata
dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak
tersebut hanya akan mendapatkan hak waris
dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk
segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu
dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya.
Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung
ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena
untuk membenihkan anak tersebut dalam
rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki
sebagai ayah biologisnya. Karena si ayah tidak
mengakui atau tidak kawin dengan si
perempuan itu, maka hubungan
keperdataannya menjadi terputus dengan si
ayah, padahal hubungan hukum tersebut
sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa
menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti
halnya anak-anak yang lain pada umumnya.
Syarat seorang anak luar kawin untuk bisa
mendapatkan hak waris dari orang tua
biologisnya menurut hukum perdata barat
sebagaimana diatur dalam Pasal 872 KUH
Perdata adalah jika ia telah diakui oleh orang
tua biologisnya karena KUH Perdata menganut
prinsip bahwa hanya mereka yang mempunyai
hubungan keperdataan dengan si pewaris saja
yang berhak Waris. Hubungan hukum antara
anak luar kawin dengan ayah atau ibunya
timbul setelah adanya pengakuan dari ayah dan
ibunya tersebut.
5
Dalam terminologi hukum
adat, hukum islam maupun hukum barat
sekalipun, anak-anak yang lahir dari orang tua
yang meninggalkan warisan merupakan
golongan ahli waris yang terpenting dan paling
utama, karena anak-anak pada hakekatnya
merupakan satu-satunya golongan ahli waris
karena dengan keberadaannya anak akan
menutup golongan ahli waris yang lainnya.
Anak luar kawin dalam hukum administrasi
kependudukan juga berhak untuk mendapatkan
akta kelahiran sebagaimana anak-anak sah
pada umumnya, namun oleh karena adanya
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Jo.
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan bahwa anak luar kawinhanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya, maka hal itu berimplikasi
pada cara dan mekanisme pencatatan akta
kelahiran bagi anak luar kawin. Pada akta
kelahiran anak luar kawin hanya akan

5
Ibid, hal.146
disebutkan nama ibunya saja sedangkan nama
ayahnya tidak akan dicatat dalam akta
kelahiran si anak.Terputusnya hubungan hukum
antara si anak dengan ayah biologisnya
mengakibatkan si ayah tidak memiliki
kewajiban apa-apa terhadap anaknya, dan
sebaliknya si anak tidak berhak menuntut apa-
apa dari si ayah yang berhubungan dengan hak-
hak keperdataan.
Kedudukan anak merupakan persoalan
hukum keluarga yang tidak hanya menyangkut
persoalan antara suami dan isteri, namun juga
menyangkut status keperdataan anak yang
dilahirkan dari suatu hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Pengaturan anak luar kawin
dalam UU Perkawinan termasuk agak rancu
karena statusnya sebagai anak luar kawin, maka
sesungguhnya disitu tidak ada tindakan
perkawinan yang mendahului kelahiran anak
tersebut.
Pengaturan tentang anak luar kawin
seharusnya diatur tersendiri baik dalam
undang-undang secara khusus atau dalam
peraturan pemerintah, namun sebenarnya
bukan berarti bahwa diantara keduanya sama
sekali tidak mengandung pertautan, karena
undang-undang perkawinan juga bukan hanya
mengatur tentang perkawinan yang sah dan
segala akibat hukumnya tapi juga mengatur
tentang akibat hukum dan perkawinan yang
tidak sah yang pada akhirnya akan berdampak
pada status dan kedudukan anak yang
dilahirkannya.
6

Dengan berlakunya UU Perkawinan, maka
beberapa peraturan perundang-undangan
dinyatakan tidak berlaku ketentuan yang
menyatakan beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang perkawinan
tidak berlaku adalah sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Hal
ini berdampak sangat besar pada hak waris
anak luar kawin, jika tetap berpegang pada
ketentuan UU Perkawinan (sebelum diuji
materill), maka sudah dipastikan hal ini akan
mengakibatkan putusnya hubungan perdata si
anak luar kawin tersebut dengan ayah
biologisnya. Padahal jika mengacu pada
Konstitusi ( Pasal 28D Ayat (1) UUD NKRI 1945)
persamaan di depan hukum setiap warga

6
Ibid, hal. 136

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

171
negara telah dijamin, untuk itu sudah
sepantasnya kedudukan anak luar kawin dalam
hal Waris disetarakan dengan anak yang sah.
Karena berangkat dari kesimpulan, bahwa
setiap anak yang lahir ke dunia ini tidak pernah
meminta dirinya untuk dilahirkan, melainkan
hal itu karena kehendak kedua orang tuanya.
Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk
mengangkat judul “Hak Waris Anak Diluar
Perkawinan Sah Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010” karena setelah keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut telah membawa
perubahan besar pada kedudukan anak luar
kawin terutama dalam lapangan hukum waris
Indonesia.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hak Waris anak luar
kawin setelah keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?
2. Bagaimana proses pembagian waris bagi
anak luar kawinsetelah keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010?

C. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam
penulisan hukum ini adalah penelitian Yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier dari masing-masing hukum normatif.

PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hak Waris Anak Luar Kawin
Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Berikut uraian tiga macam pengaturan
hukum waris di Indonesia sebelum keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010.
1. Pewarisan Menurut KUH Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) terutama Pasal 528
tentang hak mewaris diidentikkan dengan hak
kebendaan, sedangkan ketentuan dari Pasal
584 KUH Perdata menyangkutkan hak waris
sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak
kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam
buku Ke II KUH Perdata (tentang benda).
Menurut Staatblaad 1925 Nomor 415 jo 447
yang telah diubah ditambah dan sebagainya
terakhir dengan S.1929 No 221 Pasal 131 jo
Pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam
KUH Perdata diberlakukan bagi orang-orang
Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan
orang-orang Eropa tersebut. Dengan
Staatblaad 1917 Nomor 129 jo Staatblaad 1924
Nomor 557 hukum kewarisan dalam KUH
Perdata diberlakukan bagi orang-orang Timur
Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatblaad
1917 Nomor 12, tentang penundukan diri
terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang
Indonesia dimungkinkan pula menggunakan
hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH
Perdata.
7

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu ahli waris menurut
ketentuan undang-undang dan karena ditunjuk
dalam surat wasiat (testamen). Cara yang
pertama dinamakan mewarisi menurut undang-
undang atau “ab intestato”, sedangkan cara
yang kedua dinamakan mewarisi secara
“testamentair”.
8
Menurut Prof. Ali Afandi
mewaris dengan cara ab intestato (tanpa
wasiat) disebut juga hukum waris “by ver sterf”
(berhubung dengan meninggalnya seseorang).
9

Artiya waris terjadi demi hukum karena
undang-undang menentukan.

2. Pewarisan Menurut Hukum Islam
Waris dalam islam disebut dengan istilah
“faraid”, yang merupakan bentuk jamak dari
faridah yang berasal dari kata fardu yang
berarti ketetapan, pemberian (sedekah).
10

Sedangkan secara definitif ilmu faraid adalah
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi
ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan mengenai hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur pemindahan hak
kepemilikkan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siap yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
11


7
M.Idris Ramulyo. 2000. Perbandingan Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta:Sinar
Grafika, hal 72
8
Ibid,hal. 73
9
Afandi, Op.Cit, hal. 14
10
Sulistiani, Op.Cit, hal. 23
11
Ibid

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

172
Kedudukan harta dalam islam memegang
peranan penting karena terkait erat dengan
kesejahteraan dan perekonomian. Islam
memberikan prinsip-prinsip dasar atau general
principles of law sebagai berikut:
1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan
kenikmatan jika berada di tangan orang-
orang saleh.
2. Harta adalah milik Allah, sedangkan
manusia hanyalah mendapatkan
pinjaman-Nya.
3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja
yang baik adalah bagian dari ibadah dan
jihad.
4. Cara kerja yang kotor diharamkan.
5. Hak milik pribadi dan perlindungan yang
diakui.
6. Seseorang dilarang menguasai benda-
benda yang sangat diperlukan oleh
masyarakat dan menyangkut hajat hidup
orang banyak.
7. Larangan kepemilikkan harta yang
membahayakan orang lain.
8. Pengembangan harta tidak boleh
menimbulkan kerusakkan ahklak dan
mengorbankan kepentingan umum.
9. Kemandirian (eksistensi) umat harus
diwujudkan.
10. Adil dalam berinfak.
11. Takaful di antara anggota masyarakat
harus ditegakkan.
12


3. Pewarisan Menurut Hukum Adat
Hukum adat waris bersendi atas prinsip-
prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran
komunal dan konkret dari bangsa Indonesia.
13

Hukum adat waris di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang
berlaku pada masyarakat yang bersangkutan,
yang mungkin merupakan prinsip patrilineal
murni, patrilineal beralih-alih (alternerend)
matrilineal ataupun bilateral (walaupun sukar
ditegaskan di mana berlakunya di Indonesia),
ada pula prinsip unilateral berganda atau
(dubbel-unilateral).
14


12
Ade Maman Suherman. 2004.Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum (civil law, common law, hukum islam),
Jakarta:Raja Grafindo Persada, hal 192
13
Soepomo, Op.Cit, hal. 83
14
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.260
Hukum adat waris mengenal adanya tiga
sistem kewarisan yaitu, Sistem kewarisan
individual yang merupakan sistem kewarisan di
mana para ahli waris mewarisi secara
perseorangan seperti yang terdapat di Batak,
Jawa, Sulawesi. Kemudian Sistem kewarisan
kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif
(bersama-sama) mewarisi harta peninggalan
yang tidak dapat di bagi-bagi kepemilikannya
kepada masing-masing ahli waris seperti di
Minangkabau. Dan Sistem kewarisan Mayorat
yang terbagi dua yaitu Mayorat laki-laki apabila
anak laki-laki tertua pada saat pewaris
meninggal atau anak laki-laki sulung (atau
keturunan laki-laki) merupakan ahli waris
tunggal seperti di Lampung dan Mayorat
Perempuan, yaitu apabila anak perempuan
tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli
waris tunggal, misalnya pada masyarakat di
Tanah Semendo.
15


B. Proses Pembagian Waris Anak Luar Kawin
Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Cara menghitung besar bagian mutlak harus
memperhatikan ketentuan Pasal 916 a KUH
Perdata. Menurut ketentuan Pasal tersebut,
dalam hal ada ahli waris mutlak dan ahli waris
tidak mutlak, penghibaan harus tidak
melanggar bagian mutlak yang ditentukan.
Penentuan bagian mutlak itu tanpa
memperhitungkan adannya ahli waris tidak
mutlak. Anak luar kawin masuk kategori ahli
waris mutlak berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 selama
anak luar kawin tersebut mendapatkan
pengakuan dari ayah biologisnya atau telah
melewati upaya hukum di pengadilan. Dan
apabila penghibaan itu melebihi jumlah bagian
mutlak yang ditentukan tanpa
memperhitungkan ahli waris tidak mutlak,
kelebihannya dapat dituntut kembali oleh ahli
waris mutlak.
Menurut penjelasan Prof. Ali Afandi, maksud
ketentuan Pasal 916 a KUH Perdata adalah
supaya ahli waris tidak mutlak mendapat
perlindungan dari ahli waris mutlak. Di samping
itu, bagian warisan ahli waris mutlak tidak
dirugikan oleh penghibaan yang dilakukan oleh
pewaris. Dengan tidak memperhitungkan ahli

15
Ibid.

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

173
waris tidak mutlak, maka bagian ahli waris
mutlak atas warisan menjadi besar karena
jumlah ahli waris menjadi berkurang, karena
bagian mutlak itu dihitung berdasar pada
bagian seorang ahli waris.
16
Jumlah bagian
mutlak juga menjadi besar.
Makin besarnya bagian mutlak berarti makin
mempersempit kemungkinan adanya hibah.
Dengan cara seperti ini, bagian mutlak yang
tidak dapat dikurangi itu cukup untuk di bagi-
bagi antara para ahli waris mutlak dan ahli
waris tidak mutlak karena dalam
memperhitungkan bagian tersebut di pakai
dasar adanya ahli waris yang sesungguhnya.
Cara menghitung besarnya hak mutlak
dalam hal ada wasiat terhadap harta warisan,
misalnya adalah Pewaris meninggalkan seorang
anak dan seorang isteri. Anak adalah ahli waris
mutlak (termasuk anak luar kawin Pasca
putusan Mahkamah Konstitusi) dan isteri
adalah ahli waris tidak mutlak. Bagian anak dan
ibu sama, bagian anak seperdua warisan.
17

Bagian mutlak anak tersebut adalah seperdua
kali seperdua warisan, sama dengan
seperempat warisan.
18
Dengan demikian,
warisan yang dapat dihibahkan adalah semua
warisan dikurangi seperempat warisan, sama
dengan tiga perempat warisan.Berdasarkan
pada perhitungan ini jelas bahwa isteri tidak
memperoleh bagian apa-apa sebab harta
warisan setelah dikurangi hak mutlak
(seperempat warisan) dapat dihibahkan semua
(tiga perempat warisan). Dengan adanya
ketentuan Pasal 916 a KUH Perdata keadaan
menjadi lain. Berdasar pada pasal ini, isteri
karena bukan ahli waris mutlak tidak dihitung
dulu sebagai ahli waris. Yang di hitung hanya
anak (sah maupun luar kawin) sebagai ahliwaris
mutlak. Dengan mengesampingkan isteri tadi,
anak memperoleh seluruh warisan.
Dengan demikian, hak mutlak anak adalah
seperdua dari semua warisan. Yang dapat
dihibahkan adalah seperdua harta warisan
sisanya, bukan tiga perempat warisan seperti
perhitungan pertama. Karena yang dapat
dihibahkan sekarang hanya seperdua warisan,
masih terdapat seperdua warisan untuk para

16
Muhammad, Op.Cit, hal.224
17
Republik Indonesia. 2015. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Kumpulan kitab Undang -Undang
Hukum). Wacana Intelektual
18
Ibid,
ahli waris, baik mutlak maupun tidak mutlak.
Seperdua warisan itu dibagi antara anak dan
isteri.
19
Menurut Pasal 852 a KUH Perdata,
bagian isteri sama dengan bagian anak, dengan
demiikian isteri mendapat seperempat warisan
dan anak mendapat seperempat warisan.
Dalam hukum adat, Soepomo berpendapat
bahwa proses meneruskan dan mengalihkan
barang-barang harta peninggalan (harta
keluarga) kepada anak-anak, kepada turunan
keluarga itu, telah mulai selagi orang tua masih
hidup.
20
Apabila pendapat Soepomo tersebut
dijadikan suatu patokan yang sementara
sifatnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa saat terjadinya pengalihan harta waris,
pada waktu harta tersebut diberikan kepada
ahli waris, yang mungkin terjadi pada saat
pewaris masih hidup. Akan tetapi proses
semacam itu, sangat cenderung terjadi pada
masyarakat-masyarakat yang menganut sistem
kewarisan individual, dan frekuensinya pun
kadang-kadang sering terjadi, oleh karena hal
itu tergantung kepentingan masing-masing
pihak.
21
Pada masyarakat-masyarakat dengan
sistem kewarisan mayorat, maka beralihnya
harta waris kepada ahli waris terjadi pada saat
pewaris meninggal dunia. Proses semacam itu
juga mungkin terjadi pada masyarakat yang
menganut sistem kewarisan individual yang
terbatas, seperti misalnya di Bali.
22

Proses kewarisan adat semasa masih hidup
atau pada saat pewaris meninggal dunia,
berbeda dengan proses pewarisan secara hibah
wasiat. Kadang-kadang seorang pewaris
dihadapan para ahli warisnya menyatakan
bahwa bagian tertentu dari harta peninggalan
itu diperuntukkan bagi ahli waris tertentu
(dapat juga dihadiahkan kepada seorang
tertentu). Di Jawa misalnya, hibah wasiat yang
demikian ini disebut wekasan (welingen), di
minangkabau disebut umanat, ditempat lain
disebut dengan istilahnya sendiri-sendiri.
23

Sejalan dengan itu, dalam lapangan hukum
kewarisan adat Mahkamah Agung dalam
mengadili perkara nomor 182 K/Sip/1970
tanggal 10 Maret 1971 telah memberikan
penegasan bahwa “tentang pelaksanaan

19
Muhammad, Op.Cit, hal.225
20
Soepomo, Op.Cit, hal. 86
21
Soekanto, Op.Cit, hal. 270
22
Ibid, hal.271
23
Ibid

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

174
pembagian harta warisan yang belum terbagi,
hukum adat yang harus digunakan adalah
hukum adat yang berlaku pada saat pembagian
tersebut dilaksanakan, jadi hukum adat yang
berlaku dewasa ini”.
24
Apabila semua ahli waris
mampu bertindak sendiri dan semua berada di
tempat atau dapat hadir sendiri, pembagian
harta warisan diserahkan pada pemufakatan
mereka sendiri. Jadi, tidak ada suatu cara
tertentu yang lain. Akan tetapi, jika di antara
para ahli waris ada yang masih dibawah umur
atau ditaruh dibawah perwalian (curatele),
pembagian harta warisan harus dilakukan
dengan akta notaris dan di hadapan Balai Harta
peninggalan (weeskamer).
25

Apabila pewaris menunjuk pelaksana wasiat
untuk melakukan pembagian warisan setelah
pewaris meninggal dunia, menurut Pasal 1005
KUH Perdata penunjukan tersebut dilakukan
dengan surat wasiat, akta dibawah tangan
(codicil), atau dengan akta notaris khusus.
Pewaris dapat menunjuk atau seorang atau
beberapa orang pelaksana wasiat (eksecuteur
testamentair). Jika yang seorang berhalangan,
tugasnya dapat digantikan oleh yang lainnya.
Dalam ketentuan KUH Perdata, anak luar kawin
yang telah diakui memilliki hak untuk mewaris
terhadap orang tua biologisnya. Dalam Pasal
865 KUH Perdata si anak luar kawin akan
menerima penuh dari harta peninggalan si
pewaris jika si pewaris tidak meninggalkan ahli
waris lainnya selain dari anak luar kawin
tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
seoramg anak luar kawin akan benar-benar
menempati kedudukan yang sama dengan anak
sah dalam hal pewarisan, jika si pewaris hanya
meninggalkan ahli waris anak luar kawin saja.
26

Jika seorang anak luar kawin telah
meninggal lebih dulu dari pada ayah
biologisnya, maka si ayah juga dapat menjadi
ahli waris bagi si anak jika ia tidak meninggalkan
keturunan dan suami atau isteri, hal ini sebagai
bentuk terbalik dari hak mewaris anak luar
kawin terhadap anak biologisnya, karena
hubungan keperdataan itu menciptakan
hubungan hukum waris secara timbal balik,

24
Hulman Panjaitan. 2014.Kumpulan Khaidah Hukum
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun
1953-2008 Berdasarkan
Penggolonggannya.Jakarta:Prenada Media Grup, hal. 92
25
Muhammad, Op.Cit, hal. 226
26
Witanto, Op.Cit, hal. 277
yaitu hubungan saling mewaris terhadap siapa
yang hidup lebih lama dari yang lain. Dalam
Pasal 870 KUH Perdata dijelaskan bahwa
warisan anak luar kawin yang meninggal tanpa
meninggalkan keturunan dan suami isteri jatuh
ke tangan ayahnya atau ibunya yang telah
memberi pengakuan kepadanya atau kepada
mereka berdua masing-masing separuh bila dia
telah diakui oleh kedua-duanya. Apabila si anak
luar kawin meninggal dunia tanpa
meninggalkan keturunan dan suami atau isteri
sedangkan kedua orang tua yang mengakuinya
telah meninggal lebih dulu maka barang-barang
yang telah diperolehnya dari harta peninggalan
orang tuanya bila masih berwujud harta
peninggalan jatuh kembali ke tangan keturunan
sah ayahnya atau ibunya.
27
Perlindungan hukum
terhadap kedudukan anak luar kawin
khususnya anak luar kawin yang lahir bukan
sebagai akibat dari perkawinan yang sah yang
dilakukan oleh ayah biologisnya yang masih
terikat tali perkawinan sah dengan isterinya,
dimana isterinya tidak pernah menyetujui
suaminya untuk berpoligini secara represif
sangat relevan diterapkan teori keadilan
korektif, yaitu bahwa keadilan bagi anak luar
kawin tersebut juga dapat diakomodir dalam
putusan-putusan pengadilan yang
menyelesaikan atau yang mengadili berbagai
tuntutan hak dari anak luar kawin.
28

Tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut adalah untuk menegaskan bahwa anak
luar kawin pun berhak mendapat perlindungan
hukum. Menurut pertimbangan Mahkamah
Konstitusi, hukum harus memberikan
perlindungan dan kepastian hukum terhadap
status seorang anak yang dilahirkan dan hak-
hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak
yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinan orang tuanya masih
disengketakan.
29

Walaupun pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012 tersebut, hubungan keperdataan
antara orang tua dengan anak, baik anak sah
maupun anak luarkawin, namun hak

27
Ibid, hal.278
28
I Nyoman Sujana, 2015,Kedudukan Hukum Anak Luar
Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Aswaja Pressindo, Yogyakarta,
hal.232
29
Ibid, hal. 233

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

175
keperdataan yang muncul akibat hubungan
keperdataan antara anak sah dengan orang
tuanya di satu sisi dengan hubungan
keperdataan antara anak luarkawin dengan
ibu/keluarga ibu dan antara anak luar kawin
dengan bapak/keluarga bapak tidaklah sama,
terutama berkaitan dengan
pewarisan.
30
Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut tidak merubah status anak luar kawin
menjadi anak sah, sekalipun Putusan
Mahkamah Konstitusi itu menyatakan adanya
hubungan perdata antara anak luar kawin
dengan ibu dan bapaknya serta keluarga ibu
dan bapaknya. Kedudukan anak luar kawin
berbeda dengan anak sah, karena kedudukan
ini akan berimplikasi pada pewarisan yakni
adanya perbedaan bagian pewarisan anak luar
kawin dan anak sah. Terkait dengan pewarisan
ini, di Indonesia belum ada unifikasi di bidang
hukum waris, yakni masih berlaku hukum waris
barat yang diatur dalam KUH Perdata, Hukum
Waris Adat dan Hukum Waris Islam yang
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang
dipakai pedoman pembagian warisan bagi
mereka yang beragama Islam. Pluralisme
hukum ini terjadi karena adanya berbagai garis
kekeluargaan, yakni Patrilineal, Matrilineal, dan
Parental.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hak Waris Anak Luar Kawin Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010. Hak Waris
(Keperdataan) merupakan sesuatu yang di
jamin oleh hukum. Setiap manusia memiiki
hak yang sama di depan hukum (equality
before the law) termasuk anak luar kawin
yang juga merupakan subjek hukum dan
harus dilindungi oleh negara. Sebelum
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan anak
luar kawin dalam hukum nasional
mengalami degradasisetelah di
undangkannya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut diatas, maka pengaturan hukum
dan kedudukan anak luar kawin saat ini
sudah terakomodir dengan cukup baik,

30
Ibid, hal. 236
karena hal tersebut merupakan jaminan
yang diberikan oleh Konstitusi.
2. Pembagian Waris Anak Luar Kawin Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pada dasarnya
tidak ada yang membedakan porsi atau
pembagian harta warisan antara anak luar
kawin dengan anak yang lahir dari
perkawinan yang sah apabila ditinjau dari
Hukum Perdata Barat dan Hukum Waris
Adat untuk daerah tertentu (misalnya di
Minahasa). Dalam Hukum Waris Islam
kedudukan anak luar kawin untuk
mendapatkan pembagian waris sudah
tertutup karena adanya pengaruh dari
beberapa ajaran (doktrin) para ulama
terkemuka. Setelah keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010, maka porsi waris bagi anak luar
kawin yang tunduk pada Hukum Perdata
Barat dan mereka yang masih terikat dengan
adat istiadat leluhur menjadi terbuka
khususnya untuk mewaris dari harta
peninggalan ayah biologis dan keluargnya.
Tetapi porsinya tidak sama dengan anak
yang lahir dari perkawinan sah, karena
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
hanya memberikan kepastian hubungan
nasab anak luar kawin dengan ayah
biologisnya.

B. Saran
Sebaiknya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut harus
ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam hal ini
lembaga legislatif untuk melakukan revisi
terhadap peraturan hukum terkait (UU No 1
tahun 1974). Karena khaidah hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut masih multi
tafsir dalam praktik. Artinya masih ada silang
pendapat diantara para pakar dan praktisi
hukum. Untuk itu pemerintah sebaiknya
mengambil langkah cepat guna memperbaiki
keadaan itu.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga
Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka
Cipta, 2004
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan. Mahkamah
Konstitusi; Memahami
Keberadaannya Dalam Sistem

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

176
Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Jakarta, Rineka Cipta, 2006
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern
(Rechtstaat), Bandung, Refika
Aditama, 2009
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia Publishng, 2006
Kamil, Ahmad dan H.M Fauzan. Hukum
Perlindungan Dan Pengangkatan
Anak di Indonesia, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2008
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum,
Jakarta, Kencana Prenada Media
Grup, 2014
Manan, Munafrizal. Penemuan Hukum Oleh
Mahkamah Konstitusi, Bandung,
Mandar Maju, 2012
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata
Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2014
Pandika, Rusli. Hukum Pengangkatan Anak,
Jakarta, Sinar Grafika, 2014
Panjaitan, Hulman. Kumpulan Kaidah Hukum
Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tahun 1953 -2008
Berdasarkan Penggolongannya,
Jakarta, Kencana Prenada Media
Grup, 2014
Prinst, Darwan. Strategi menyusun dan
Menangani Gugatan Perdata ,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002
Ramulyo, M.Idris. Perbandingan Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW) ,
Jakarta, Sinar Grafika, 2000
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012
_______________, Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta, UI-Press, 2006
Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Jakarta, Pradnya Paramita, 2003
Suherman, Ade Maman. Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum; Civil
Law Common Law Hukum Islam ,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
Sujana, I Nyoman. Kedudukan Hukum Anak
Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010, Yogyakarta,
Aswaja Pressindo, 2015
Sulistiani, Siska Lis. Kedudukan Hukum Anak,
Bandung, Refika Aditama, 2015
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian
Hukum, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2011
Witanto, D.Y. Hukum Keluarga; Hak dan
kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Putusan MK Tentang Uji Materiil UU
Perkawinan, Jakarta, Prestasi Pustaka
Publisher, 2012

SUMBER-SUMBER LAIN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam