PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Volume 5 Nomor 1, Juni 2022


Roosemarina Anggraini Rambe ()
Universitas Bengkulu
Email : [email protected]


DETERMINAN KEMISKINAN DI JAWA DAN SUMATERA,
INDONESIA
Roosemarina Anggraini Rambe

Abstract The research objective is to analyze the role of government expenditure, the
interaction between the previous government expenditure and poverty rate, economic
growth, and local government location on poverty alleviation in Java and Sumatra,
Indonesia. The analytical method used is multiple linear regression. The result shows
that government expenditure and economic growth have a significant negative impact
on the poverty rate. Conversely, the interaction of government expenditure and poverty
rate in the previous year has a significant positive impact on the poverty rate of the
current year. For the location variable, the poverty rate in Java is significantly lower
than Sumatra. Therefore, it is recommended for the government to shift its focus to
poverty, aside from their typical feeding program. Besides, the government is also
advised to make appropriate regulations so that economic growth can be utilized better
to alleviate the poverty rate.

Keywords: dummy of location, economic growth; government expenditure; poverty
rate; the interaction of previous expenditure and poverty rate

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.

PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari beberapa pulau besar seperti Kalimantan, Papua, Sumatera,
Sulawesi dan Jawa. Dari lima pulau besar tersebut, pulau dengan jumlah pemerintah
daerah terbanyak adalah Sumatera, yang diikuti oleh Jawa. Namun demikian, dilihat
dari pengeluaran pemerintah daerah yang dimiliki, ternyata total pengeluaran
pemerintah terbesar berada di Jawa. Total pengeluaran pemerintah daerah di Sumatera
lebih sedikit daripada pengeluaran pemerintah daerah di Jawa. Salah satu penyebabnya
adalah jumlah penduduk terbanyak berada di Jawa. Untuk itu diperlukan pengeluaran
pemerintah daerah yang lebih besar di Jawa untuk memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat dengan jumlah penduduk terbanyak. Pengeluaran pemerintah
daerah ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Salah satu indikator kesejahteraan rakyat adalah tingkat kemiskinan yang rendah.
Oleh karena itu, dengan jumlah penduduk terbesar berada di Jawa dan Sumatera, maka
pengeluaran pemerintah yang dibutuhkan juga lebih besar dalam upaya mengentaskan
kemiskinan di dua wilayah tersebut. Bahkan pengeluaran pemerintah di tahun
sebelumnya diyakini masih dapat menurunkan kemiskinan di tahun sekarang, misalnya
pengeluaran sektor pendididkan, kesehatan dan infrastruktur untuk masyarakat
menengah ke bawah.
Namun sayangnya tingkat kemiskinan di Jawa dan Sumatera masih lebih tinggi
dari Kalimantan (6,17% di tahun 2017), padahal pengeluaran pemerintah daerah di
Kalimantan lebih rendah dari Jawa dan Sumatera. Kondisi ini mengindikasikan kinerja

Roosemarina Anggraini Rambe, Determinan Kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Indonesia
Page | 144

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.
pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan di Jawa dan Sumatera belum efektif;
ada indikasi pengeluaran pemerintah daerah tidak memiliki pro-poor program; program
dan aktivitas pemerintah tidak mendukung pengentasan kemiskinan. Dengan
keterbatasan dana negara Indonesia, seharusnya pemerintah daerah mampu membuat
program dan menciptakan aktivitas yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan (pro-
poor program) di pulau Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih
mendalam peran pengeluaran pemerintah untuk menurunkan kemiskinan di pulau Jawa
dan Sumatera.
Bahkan, pengeluaran pemerintah di tahun sebelumnya seharusnya juga berperan
dalam mengentaskan kemiskinan karena ada beberapa program dan kegiatan pemerintah
daerah yang dampaknya tidak dapat dirasakan di tahun yang sama, misalnya pelatihan
untuk masyarakat UKM, diperlukan waktu bagi pelaku UKM untuk mengadaptasi dan
meningkatkan skill sehingga dampak peningkatan pada pendapatan UKM baru dapat
dirasakan di tahun berikutnya, sehingga ada proses interaksi antara pengeluaran dengan
penduduk miskin. Variable pengeluaran tahun lalu diinteraksikan dengan kemiskinan
tahun lalu menjadi kontribusi penelitian ini untuk melihat pengaruhnya dalam
menurunkan tingkat kemiskinan tahun ini.
Tentu saja pengeluaran pemerintah bukan satu-satunya faktor yang berperan
sebagai determinan kemiskinan. pertumbuhan ekonomi sering dianggap sebagai syarat
keharusan dalam pengentasan kemiskinan. Melalui pertumbuhan ekonomi, PDB
meningkat, dapat menurunkan tingkat kemiskinan di daerah (Chen et al., 2016).
Perekonomian di Jawa dan Sumatera terus tumbuh. Tapi, dikaitkan antara pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan di dua wilayah ini, hubungan keduanya tidak terlihat jelas.
Walaupun perekonomian terus tumbuh, yang ditandai dengan PDRB terus meningkat,
ternyata beberapa kabupaten/kota masih mengalami kemiskinan yang tinggi di dua
wilayah ini. Untuk itu, perlu diteliti bagaimana pengaruh PDRB terhadap kemiskinan.
Selain itu, secara umum, tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Jawa lebih rendah
daripada Sumatera. Dengan demikian, ada indikasi lokasi menjadi determinan
kemiskinan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh pengeluaran pemerintah, interaksi pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya
dengan kemiskinan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi, dan dummy pulau
terhadap kemiskinan di Jawa dan Sumatera.

LANDASAN TEORI

Kemiskinan merupakan kondisi sosial dan ekonomi seseorang yang menyebabkan
dia tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal hidupnya (Subekan dan Hartoyo,
2012). Indikator kemiskinan yang umum digunakan adalah garis kemiskinan.
Masyarakat yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan akan
dikelompokkan sebagai masyarakat miskin. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin
dipengaruhi oleh garis kemiskinan, sehingga, semakin tinggi garis kemiskinan, semakin
banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin.
Kemiskinan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pengeluaran
pemerintah. Peran pengeluaran pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan telah
banyak diteliti. Beberapa peneliti menemukan adanya pengaruh negatif pengeluaran
pemerintah terhadap peningkatan kemiskinan (Arham & Naue, 2015; Celikay &

PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Volume 5 Nomor 2, Juni 2022

Page | 145
©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.

Gumus, 2017; Hidalgo-Hidalgo & Iturbe-Ormaetxe, 2018; Madzinová, 2017; Sasana &
Kusuma, 2018; Sasmal & Sasmal, 2016).
Proksi yang digunakan sebagai variabel pengeluaran pemerintah bervariasi.
Sasana dan Kusuma (2018) dan Madzinová (2017) menggunakan total pengeluaran
pemerintah sebagai proksi pengeluaran pemerintah. Sementara itu beberapa penelitian
menyebutkan pengeluaran pada bidang tertentu seperti pengeluaran infrastruktur
(Sasmal dan Sasmal, 2016), sosial (Celikay dan Gumus, 2017), dan pendidikan
(Hidalgo-Hidalgo dan Iturbe-Ormaetxe, 2018). Sementara itu penelitian lain
menggunakan pengeluaran beberapa bidang, seperti pengeluaran di bidang pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur (Arham dan Naue, 2015).
Dari penjelasan penelitian terdahulu tersebut, terlihat belum ada penelitian
mengenai bagaimana variabel interaksi pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya (time
lag) dengan kemiskinan tahun sebelumnya dapat mempengaruhi kemiskinan. Padahal
variabel tersebut penting diteliti. Karena ada beberapa jenis pengeluaran yang
digunakan namun tidak dapat menurunkan kemiskinan dalam tahun yang sama. Dalam
penelitian ini, proksi pengeluaran yang digunakan adalah total pengeluaran pemerintah.
Variabel pengeluaran tahun sebelumnya yang digunakan untuk mengurangi kemiskinan
tahun sebelumnya (interaksi pengeluaran pemerintah time lag t-1 dengan kemiskinan
time lag t-1) juga menjadi variabel yang akan diteliti.
Variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi diyakini memiliki pengaruh untuk menurunkan kemiskinan.
Beberapa penelitian mengungkapkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif
terhadap tingkat kemiskinan (Affandi & Astuti, 2014; Chen et al., 2016; Ebunoluwa &
Yusuf, 2018; Ginting & Dewi, 2013; Hidalgo-Hidalgo & Iturbe-Ormaetxe, 2018; Jayadi
& Bata, 2016; Moore & Donaldson, 2016; Perera & Lee, 2013; Sasmal & Sasmal,
2016).
Hasil penelitian lain menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan berbentuk U (Chambers, et al., 2008). Penelitian ini mengungkapkan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan di awal pembangunan,
tapi semakin besar pertumbuhan ekonomi ternyata menimbulkan menambah
kemiskinan yang ada. Namun demikian, dalam jangka panjang, Nyasha, Gwenhure,
Odhiambo (2017) mengungkapkan adanya pengaruh negatif pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan.
Proksi pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian terdahulu
bervariasi. ada penelitian yang menggunakan GDP sebagai proksi pertumbuhan
ekonomi (Nakabashi, 2018). Proksi lain yang dipakai sebagai pertumbuhan ekonomi
adalah PDRB per kapita (Sasana dan Kusuma, 2018), PDRB per sektor (Jayadi dan
Bata, 2016). Ada juga penelitian yang menggunakan proksi GDP per capita (Affandi
dan Astuti, 2013; Hidalgo-Hidalgo dan Iturbe-Ormaetxe, 2018), GDP riil per kapita
(Chambers et al., 2008; Nyasha et al., 2017), net domestic product per capita (Sasmal
dan Sasmal, 2016). Dari penjelasan tersebut, maka PDRB sebagai proksi pertumbuhan
ekonomi diterapkan dalam penelitian ini.
Posisi lokasi pulau, yaitu pulau Jawa dan pulau Sumatera, diyakini memiliki
pengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Walaupun belum ada penelitian terdahulu, hal
ini dinilai penting untuk diteliti karena fakta menunjukkan tingkat kemiskinan
kabupaten/kota di pulau Jawa lebih rendah daripada tingkat kemiskinan di pulau
Sumatera. Variabel ini juga menjadi novelty penelitian ini selain variabel interaksi
pengeluaran dengan kemiskinan tahun sebelumnya yang telah dijelaskan sebelumnya.

Roosemarina Anggraini Rambe, Determinan Kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Indonesia
Page | 146

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.


Hipotesis penelitian:
1. Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan
2. Interaksi pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya (time lag t-1) dengan
kemiskinan tahun sebelumnya (time lag t-1) berpengaruh negatif terhadap
kemiskinan.
3. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
4. Lokasi pulau (Dummy variable) berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
METODOLOGI

Desain penelitian ini adalah explanatory research. Penelitian ini akan mengkaji
peran pengeluaran pemerintah, variabel interaksi antara pengeluaran pemerintah tahun
sebelumnya dengan tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi, dan
variabel dummy lokasi kabupaten/kota (Jawa) terhadap tingkat kemiskinan di Jawa dan
Sumatera, Indonesia tahun 2018. Khusus untuk variabel interaksi akan digunakan data
tahun sebelumnya (tenggat waktu dengan t-1). Jumlah kabupaten dan kota di kedua
pulau ini adalah 268. Sumber data adalah BPK dan BPS, Indonesia.
Untuk menjawab tujuan penelitian ini digunakan metode regresi linier berganda.
Model penelitian adalah sebagai berikut:

TK = α - β1 lnPP - β2 ln PP t-1 * TK t-1 - β3 lnPE – β4 D + e …………. (1)
Keterangan: TK adalah tingkat kemiskinan tahun 2019, TK t-1 adalah tingkat kemiskinan
tahun sebelumnya (2018), PP adalah pengeluaran pemerintah tahun 2019, PPt-1 adalah
pengeluaran pemerintah tahun 2018, PE adalah pertumbuhan ekonomi (dengan proksi
PDRB) tahun 2019, D adalah variabel dummy dari lokasi kabupaten/kota; yaitu D = 1
untuk pulau Jawa; D = 0 untuk pulau lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di Sumatera, 10 provinsi terdiri dari 154 kabupaten dan kota. Di Pulau Jawa
terdapat 6 provinsi dengan 114 kabupaten dan kota. Total data penelitian adalah
268 kabupaten dan kota. Variabel digambarkan dengan nilai rata-rata provinsi
untuk setiap pulau.

Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan tahun 2019 dan 2018 di Jawa dan Sumatera dijelaskan pada
Diagram 1a dan 1b. Di Sumatera, provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah ada di
Bangka Belitung. Sebaliknya, provinsi termiskin adalah NAD. Rata-rata kemiskinan di
Sumatera tahun 2019 adalah 9,44%. Sementara itu, di Pulau Jawa, rata-rata angka
kemiskinan provinsi tertinggi di Provinsi Yogyakarta, dengan terendah di Jakarta.
Kabupaten/kota di semua provinsi di Jawa berhasil menurunkan angka kemiskinan.
Secara rata-rata tingkat kemiskinan di Jawa lebih rendah daripada Sumatera yaitu 7,9%.

PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Volume 5 Nomor 2, Juni 2022

Page | 147
©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.



Gambar 1. Tingkat Kemiskinan Rata-rata Kabupaten/kota Setiap Provinsi di Jawa dan
Sumatera 2018 dan 2019



a. Sumatra b. Jawa

Sumber: BPS. Data diolah

Dengan membandingkan Gambar 1a dan 1b, dapat dikatakan bahwa rata-rata
angka kemiskinan di Jawa lebih rendah daripada di Sumatera. Bahkan keberhasilan
provinsi-provinsi di Jawa dalam mengurangi kemiskinan juga lebih baik daripada di
Sumatera. Rata-rata angka kemiskinan di Jawa mengalami penurunan sebesar 0,41%
pada tahun 2019, dibandingkan dengan Sumatera yang hanya turun sebesar 0,36%.

Pengeluaran pemerintah
Dalam mendeskripsikan data pengeluaran pemerintah di satu provinsi, studi ini
merangkum pengeluaran pemerintah dari semua pemerintah daerah di satu provinsi.
Misalnya, untuk Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota,
pengeluaran pemerintah di Bengkulu merupakan penjumlahan pengeluaran dari 10
pemerintah daerah di Bengkulu. Informasi total pengeluaran pemerintah daerah dalam
satu provinsi ditunjukkan pada Gambar 2a (Sumatera) dan 2b (Jawa).
Di Sumatera, provinsi dengan pengeluaran pemerintah terendah adalah Bangka
Belitung, yang terdiri dari 7 kabupaten dan kota. sebaliknya, provinsi dengan
pengeluaran pemerintah tertinggi adalah Sumatera Utara yang terdiri dari 32 kabupaten
dan kota.
Di Jawa, Provinsi Yogyakarta memiliki pengeluaran pemerintah yang paling
rendah. Hal ini dikarenakan Yogyakarta hanya memiliki 5 kabupaten dan kota.
Sebaliknya, provinsi dengan kabupaten dan kota terbesar, seperti Jawa Timur, memiliki
total pengeluaran pemerintah yang sangat besar. Meski Jawa Timur merupakan provinsi
dengan jumlah pemerintahan terbanyak, ternyata total pengeluaran terbesar di Jawa ada
di Jawa Barat, yang merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi. Dengan
membandingkan Gambar 2a dan 2b, terlihat bahwa rata-rata pengeluaran provinsi di
Jawa lebih besar dari Sumatera; Bahkan rata-rata pengeluaran di Pulau Jawa lebih
banyak dibandingkan di Sumatera, baik pada tahun 2018 maupun 2019.

Roosemarina Anggraini Rambe, Determinan Kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Indonesia
Page | 148

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.


Gambar 2. Total Pengeluaran Pemerintah Daerah setiap Provinsi di Jawa dan Sumatera
Tahun 2019 dan 2018 (Triliun rupiah)



a. Sumatra b. Jawa

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Data diolah

Pertumbuhan Ekonomi
Variabel bebas berikutnya adalah pertumbuhan ekonomi dengan proksi PDRB,
yang dijelaskan pada Gambar 3a dan 3b. Di Sumatera, PDRB tertinggi terdapat di
Provinsi Sumatera Utara, sedangkan PDRB terendah dimiliki oleh Provinsi Bengkulu
(Gambar 3a). Sementara itu, di Jawa PDRB tertinggi terdapat di DKI Jakarta,
sedangkan PDRB terendah berada di Provinsi DIY (Gambar 3b).

Gambar 3. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi 2019 (Triliun Rupiah)


a. Sumatra b. Jawa

Sumber: BPS. Data diolah

Dengan membandingkan dua pulau pada Gambar 3a dan 3b, diketahui bahwa
PDRB provinsi di Jawa jauh lebih tinggi daripada di Sumatera. Bahkan, PDRB provinsi
di Jawa 4x lipat PDRB provinsi di Sumatera. Informasi ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Jawa jauh lebih cepat daripada di Sumatera.
Setelah mendeskripsikan deskripsi data penelitian, selanjutnya akan dijelaskan
hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis penelitian (Tabel 1), dilanjutkan dengan
penjelasan model regresi yang digunakan dalam penelitian ini.

PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Volume 5 Nomor 2, Juni 2022

Page | 149
©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.


Tabel 1. Model Regresi
C Ln PP lnPP t-1 *TK t-1 Ln PDRB Dummy
lokasi

Koefisien 10.52748

-0,322105

0,073798

-0,092307

-0,154083

T statistik 6.38070

-5.573080

200.7330 -1.83022

-2.312241
Signifikansi *** *** *** ** **
R
2
0,993677
F Statistik 10332.91
Probabilitas 0,0000
Catatan: ***, **, * menunjukkan tingkat signifikan pada α = 1%. 5%, 10%.
Sumber: Hasil penelitian

Pengujian asumsi klasik dilakukan, dan dapat dikatakan bahwa asumsi klasik
tidak dilanggar. Dengan demikian, dilanjutkan pengujian hipotesis. Pengujian pertama
yang dilakukan adalah uji F, yaitu untuk menguji keseluruhan variabel independen
secara bersama-sama mempengaruhi tingkat kemiskinan. Uji F dalam Tabel 1
menunjukkan bahwa H0 ditolak pada = 5%. Ini berarti semua variabel bebas secara
bersama-sama mempengaruhi tingkat kemiskinan. Demikian pula koefisien determinan
sebesar 0,9936 memperkuat besarnya kemampuan (99,36%) keempat variabel bebas
dalam menjelaskan variasi angka kemiskinan di Jawa dan Sumatera.
Bagian selanjutnya adalah mendeskripsikan pengujian secara parsial untuk
pengaruh variabel independen. Tabel 1 juga menyajikan informasi uji parsial dengan
uji-t. Pada tabel tersebut, pada uji parsial, H0 ditolak untuk variabel pengeluaran
pemerintah yang artinya pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan pada = 5%. H0 juga ditolak untuk variabel PDRB pada =
10%, sehingga dapat disimpulkan bahwa PDRB berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan. Demikian juga H0 ditolak untuk variabel dummy lokasi
pemerintah daerah (Jawa) Artinya tingkat kemiskinan di Jawa lebih rendah
dibandingkan di Sumatera.
Berbeda dengan ketiga variabel bebas yang dijelaskan sebelumnya, H0 ditolak
untuk variabel interaksi antara pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya dan tingkat
kemiskinan tahun sebelumnya, tetapi dengan arah pengaruh yang berlawanan. Variabel
interaksi antara pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya dengan tingkat kemiskinan
tahun sebelumnya berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Dengan
kata lain, semakin besar pengeluaran pemerintah terkait dengan tingkat kemiskinan
pada tahun sebelumnya, semakin besar tingkat kemiskinan saat ini.
Setelah dilakukan uji F dan uji t yang menunjukkan bahwa variabel bebas mampu
menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, kecuali variabel interaksi yang
meningkatkan angka kemiskinan, maka variabel bebas dievaluasi untuk menentukan
variabel mana yang paling signifikan. berdampak pada angka kemiskinan. Berdasarkan
koefisien regresi masing-masing variabel, terlihat bahwa variabel dengan koefisien
terbesar adalah pengeluaran pemerintah, disusul dengan variabel dummy Jawa.

Roosemarina Anggraini Rambe, Determinan Kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Indonesia
Page | 150

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.
Sebaliknya, variabel interaksi paling kecil pengaruhnya terhadap peningkatan angka
kemiskinan.

PEMBAHASAN

Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh negatif pada kemiskinan. Hasil
penelitian ini parallel dengan penelitian terdahulu (Affandi & Astuti, 2014; Celikay &
Gumus, 2017; Chambers et al., 2008; Fan & Zhang, 2012; Hidalgo-Hidalgo & Iturbe-
Ormaetxe, 2018; Madzinová, 2017; Sasmal & Sasmal, 2016). Semakin besar
pengeluaran pemerintah, semakin besar kemungkinan angka kemiskinan di Jawa dan
Sumatera dapat ditekan. Dari keempat variabel bebas tersebut, pengeluaran pemerintah
paling berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan. Dengan koefisien regresi
sebesar 0,32, peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1% dapat menurunkan
tingkat kemiskinan sebesar 0,32%, menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Jawa dan
Sumatera telah berhasil menyelenggarakan program dan kegiatan untuk masyarakat
miskin karena banyaknya penduduk miskin di daerah mengalami penurunan pada tahun
tersebut. Beberapa program dan kegiatan yang berpihak pada masyarakat miskin di
Indonesia, termasuk Jawa dan Sumatera, adalah program pemberdayaan UKM, program
bantuan sosial berbasis keluarga, serta program pemberdayaan masyarakat (PNPM).
Tentang variabel interaksi antara pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya dan
kemiskinan tahun sebelumnya yang berpengaruh positif terhadap angka kemiskinan,
dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah belum berhasil mengentaskan
kemiskinan. Program pro-poor di Jawa dan Sumatera masih terfokus pada program
bansos berbasis keluarga, khususnya program pemberian makanan (seperti bantuan
beras untuk fakir miskin dan bantuan pangan nontunai) yang dijalankan di seluruh
wilayah di Indonesia. Program-program ini membantu mengurangi tingkat kemiskinan
pada tahun itu.
Meski demikian, pengeluaran pemerintah (khususnya program pemberian makan)
tidak dapat menurunkan angka kemiskinan untuk tahun berikutnya. Hal ini dibuktikan
dengan koefisien regresi negatif dari variabel interaksi antara pengeluaran pemerintah
tahun sebelumnya dengan tingkat kemiskinan tahun sebelumnya. Pengeluaran
pemerintah, terutama program pemberian makanan, ternyata menimbulkan kemalasan
dan penurunan produktivitas pada orang miskin. Sedangkan koefisien regresi variabel
interaksi (0,034) merupakan yang terkecil dari keempat variabel bebas, variabel
interaksi masih akan meningkatkan angka kemiskinan pada tahun berikutnya. Oleh
karena itu, pemerintah daerah harus mulai fokus mengembangkan program-program
pro-poor lainnya seperti program pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan UKM,
sehingga penanggulangan kemiskinan dapat berlangsung dalam jangka panjang.
Variabel selanjutnya adalah PDRB. PDRB memiliki pengaruh negatif terhadap
kemiskinan secara signifikan. Hasil penelitian ini mendukung teori yang ada, yang
menyatakan bahwa jika ekonomi tumbuh maka pendapatan masyarakat akan meningkat,
sehingga kemiskinan akan berkurang. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
(Affandi & Astuti, 2014; Chambers et al., 2008; Ginting & Dewi, 2013; Hidalgo-
Hidalgo & Iturbe-Ormaetxe, 2018; Jayadi & Bata, 2016; Perera & Lee, 2013; Sasmal &
Sasmal, 2016).
PDRB meningkat sebesar 1% dapat menurunkan angka kemiskinan sebesar
0,092%. Kemampuan pertumbuhan ekonomi, yang ditunjukkan dari adanya
peningkatan PDRB, untuk mengurangi kemiskinan lebih rendah dibandingkan dengan

PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Volume 5 Nomor 2, Juni 2022

Page | 151
©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.

kemampuan pengeluaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang menggerakkan perekonomian di Jawa dan Sumatera tidak banyak
bersentuhan dengan masyarakat kecil, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi yang
dihasilkan oleh usaha non padat karya. Dengan demikian, dengan pertumbuhan
ekonomi 1% yang hanya sedikit bersentuhan dengan kelas menengah ke bawah, tidak
banyak yang terselamatkan dari kemiskinan, karena jumlahnya hanya 0,092%. Dengan
kata lain, pertumbuhan ekonomi berpotensi menimbulkan ketimpangan pendapatan,
dimana orang yang bermodal akan semakin kaya, tetapi yang miskin akan tetap miskin.
Variabel terakhir yang dianalisis adalah variabel dummy lokasi pemerintah daerah
(Jawa). Nilai dummy = 1 untuk Jawa, sedangkan dummy = 0 untuk sebaliknya
(Sumatera). Variabel dummy ini berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat
kemiskinan. Dengan koefisien regresi variabel dummy sebesar -0,154 dapat
disimpulkan bahwa angka kemiskinan di Jawa rata-rata lebih rendah 0,154%
dibandingkan angka kemiskinan di Sumatera. Persentase yang lebih rendah dari rata-
rata tingkat kemiskinan di Jawa adalah wajar karena kabupaten dan kota di Jawa lebih
maju daripada di Sumatera. Infrastruktur, pusat pemerintahan, industri, dan pusat bisnis
di Jawa telah menjadi mercusuar bagi para pekerja terampil untuk berkumpul dan
bekerja di Jawa. Perekonomian yang lebih maju menghasilkan pendapatan yang lebih
baik bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini belum terjadi di Sumatera. Oleh karena itu,
wajar saja jika angka kemiskinan di Jawa lebih rendah dari Sumatera.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengeluaran
pemerintah dapat mengurangi kemiskinan. Namun, penentuan program yang tepat
dilakukan oleh pemerintah akan memperkuat dampak pengeluaran pemerintah di masa
depan, yang ditunjukkan oleh variabel interaksi antara pengeluaran pemerintah tahun
sebelumnya dan tingkat kemiskinan tahun sebelumnya dalam penelitian ini. Jika
pemerintah fokus pada program pemberian makan, maka tingkat kemiskinan akan turun
untuk sementara, namun kemiskinan tersebut meningkat pada tahun berikutnya. Oleh
karena itu, pemerintah disarankan untuk bijak dalam mengalokasikan pengeluaran
pemerintahnya agar berhasil mengentaskan kemiskinan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Hal yang sama berlaku untuk pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus bisa
membuat regulasi yang tepat agar pertumbuhan ekonomi terus meningkat tanpa
menimbulkan kesenjangan pendapatan yang lebih tinggi di masa mendatang.
Pertumbuhan ekonomi seharusnya berdampak positif tidak hanya bagi si kaya tetapi
juga si miskin sehingga angka kemiskinan dapat dientaskan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A., & Astuti, D. P. (2014). Dynamic model of Ibn Khaldun theory on poverty:
Empirical analysis on poverty in majority and minority Muslim populations after
the financial crisis. Humanomics, 30(2), 136–161. https://doi.org/10.1108/H-05-
2012-0010
Arham, M. ., & Naue, T. . (2015). Public Expenditures and Poverty: Evaluation of the
Government: Priority Programs in Gorontalo Province. Economic Journal of

Roosemarina Anggraini Rambe, Determinan Kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Indonesia
Page | 152

©2022 Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH.
Emerging Markets, 7(2), 1070119.
Celikay, F., & Gumus, E. (2017). The effect of social spending on reducing poverty.
International Journal of Social Economics , 44(5), 620–632.
https://doi.org/10.1108/IJSE-10-2015-0274
Chambers, D., Wu, Y., & Yao, H. (2008). The impact of past growth on poverty in
Chinese provinces. Journal of Asian Economics, 19(4), 348–357.
https://doi.org/10.1016/j.asieco.2008.04.004
Chen, J., Wang, Y., Wen, J., Fang, F., & Song, M. (2016). The influences of aging
population and economic growth on Chinese rural poverty. Journal of Rural
Studies, 47, 665–676. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2015.11.002
Ebunoluwa, Oyegoke O., and Yusuf, Wasiu A. (2018). Effects of Economic Growth on
Poverty Reduction In Nigeria. IOSR Journal of Economics and Finance 9 (5), 25-29.
www.iosrjournals.org
Fan, S., & Zhang, X. (2012). Public expenditure, growth, and poverty reduction in rural
Uganda. Public Expenditures for Agricultural and Rural Development in Africa,
178–201. https://doi.org/10.4324/9780203124529
Ginting, A. M., & Dewi, G. P. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan
Pertumbuhan Sektor Keuangan Terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia.
Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 4(2), 117–130.
Hidalgo-Hidalgo, M., & Iturbe-Ormaetxe, I. (2018). Long-run effects of public
expenditure on poverty. Journal of Economic Inequality, 16(1).
https://doi.org/10.1007/s10888-017-9360-z
Jayadi, D. ., & Bata, A. (2016). Peran Pertumbuhan Ekonomi dalam menurunkan
Kemiskinan di TIngkat Provinsi di Indonesia Tahun 2004-2012. Modus, 28(1),
87099.
Madzinová, R. (2017). Impact of Government Spending on Income Inequality. The
Annals of the University of Oradea. Economic Sciences, XXVI(2), 1–9.
Moore, Joel D., Donaldson, John A. (2016). .Human-Scale Economics: Economic
Growth and Poverty Reduction in Northeastern Thailand. World Development. 85,
1–15. http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.04.004
Nakabashi, L. (2018). Poverty and economic development: Evidence for the Brazilian
states. EconomiA, 19(3), 445–458. https://doi.org/10.1016/j.econ.2018.11.002
Nyasha, S., Gwenhure, Y., & Odhiambo, N. M. (2017). Poverty and Economic Growth
in Ethiopia: A Multivariate Causal Linkage. The Journal of Developing Areas,
51(1), 343–359. https://doi.org/10.1353/jda.2017.0019
Perera, L. D. H., & Lee, G. H. Y. (2013). Have economic growth and institutional
quality contributed to poverty and inequality reduction in Asia? Journal of Asian
Economics, 27, 71–86. https://doi.org/10.1016/j.asieco.2013.06.002
Sasana, H., & Kusuma, P. (2018). Government Expenditure and Poverty in Indonesia.
KnE Social Sciences, 3(10), 142. https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3125
Sasmal, R., & Sasmal, J. (2016). Public Expenditure, Economic Growth and Poverty
Alleviation. International Journal of Social Economics, 43(6), 604–618.
http://doi.org/10.1108/IJSE-08-2014-0161