Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216

208

KETAHANAN PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN

(The Food Security of The Family Participant in
Community Empowerment Program At Rural Area)

Tin Herawati
1
*, Basita Ginting S
2
, Pang S. Asngari
2
, Djoko Susanto
2
, dan Herien Puspitawati
1

1
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor
16680
2
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
* Alamat korespondensi : Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor, Bogor 16680. Email: [email protected]

ABSTRACT

The research objectives were to analyzed the family food security and its factors of
the participants in the community empowerment program at rural area. The research design
was crossectional study and the data collection technique used a survey method toward 300
families, and their specification were 140 families from the National Program of Community
Empowerment (PNPM), 107 families from The Keluarga Harapan Program (PKH), 31 families
from the Raksa Desa Program and 22 families from The Business Development Program of
Rural Agribusiness (PUAP). The highest percentage (52.0%) of the family categorized into food
vulnerable and as many as 37.3 percent was insecure category. It was found 10.7 percent
families categorized into secure category. Base on the program, more than a half families of
PKH group (50.5%) and PUAP (63.6%) are insecure category. Food vulnerable category is in
PNPM group (60.0%) and Raksa Desa group (61. 3%). The highest percentage (15.0%) thar
categorized into secure category is in PNPM group. The factors which influence significantly
toward the family food security are the income per capita, the family size and the asset.
Key words: food security, community empowerment program, rural area

PENDAHULUAN

Pada saat ini Indonesia masih dihadap-
kan pada berbagai permasalahan diantaranya
status gizi kurang dan buruk pada anak balita
serta kematian bayi dan ibu yang masih tinggi.
Pada tahun 2006, jumlah anak balita yang me-
miliki status gizi kurang dan buruk adalah 4.28
juta anak, dan 944246 orang di antaranya be-
risiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah
anak balita bergizi kurang dan buruk menurun
menjadi 4.13 juta anak, dan 755397 orang
diantaranya tergolong risiko gizi buruk
(Bappenas 2008). Menurut Dinas Kesehatan
Jawa Barat, pada tahun 2009 terdapat 1. 01
persen anak balita menderita gizi buruk dari
3536981 anak balita dan anak yang menderita
gizi kurang mencapai 380673 (Cahyadi 2009).
Angka kematian bayi di Indonesia pada tahun
2006 yaitu 35 per seribu kelahiran hidup dan
angka kematian ibu sebesar 307 per seratus
ribu kelahiran hidup. Laporan BPS menyebut-
kan angka kematian ibu pada tahun 2007 me-
nurun menjadi 228 per seratus ribu kelahiran,
sedangkan kematian bayi masih tetap yaitu 35
per seribu kelahiran hidup (Supari 2008).
Meskipun terjadi pe- nurunan angka kematian
ibu dan bayi, tetapi jumlah tersebut masih
tertinggi di negara ASEAN.
Permasalahan gizi dan kesehatan di
Indonesia erat kaitannya dengan kemiskinan.
Permasalahan kesehatan dan gizi sering dia-
lami oleh anak-anak usia dini yang berasal dari
keluarga tidak mampu dan tinggal di wilayah
perdesaan (Cahyadi 2009). Pada tahun 2009,
sebanyak 63.41 persen penduduk miskin ber-
ada di pedesaan, sedangkan pada tahun 2010
jumlah tersebut bertambah menjadi 64.23
persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
kemiskinan masih menjadi potret dominan di
pedesaan (BPS 2010). Kemiskinan menyebab-
kan banyak keluarga mengalami kesulitan da-
lam menjalani kehidupan yang layak, sehingga
pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan
dan pangan menjadi tidak memadai dan se-
bagai akibatnya pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas menjadi tidak
optimal.
Status gizi selain merupakan prediktor
yang baik untuk mortalitas dan morbiditas,
juga merupakan refleksi dari situasi pangan
maupun situasi ekonomi (Sudiman 2008).
Berbagai kajian membutktikan bahwa status

Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216 Jurnal Gizi dan Pangan, 201 1, 6(3): 208-216

209

gizi yang baik sangat ditentukan oleh jumlah
asupan pangan yang bermutu. Rendahnya pen-
dapatan menyebabkan rendahnya daya beli
keluarga terhadap kebutuhan pangan sehari-
hari, sehingga terbatasnya kualitas dan kuan-
titas pangan yang dikonsumsi (Cahyadi 2009).
Adanya keterkaitan yang erat antara status gizi
dan situasi pangan, maka memunculkan suatu
pertanyaan bagaimana kondisi ketahanan pa-
ngan keluarga, terutama keluarga di pedesaan
yang menjadi potret kemiskinan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan
program penanggulangan masalah kemiskinan
dan menjadi salah satu program prioritas
pembangunan. Program pemberdayaan masya-
rakat banyak dibentuk sebagai upaya peme-
rintah mengatasi masalah krisis ekonomi yang
dimulai tahun 1997. Adanya pemberdayaan
masyarakat miskin di perdesaan, diharapkan
dapat memenuhi kesejahteraan hidup keluar-
ga, khususnya balita, baik itu berupa pangan,
kesehatan, dan pendidikan. Dengan terpe-
nuhinya kesejahteraan hidup, maka kehilangan
generasi penerus bangsa (loss generation)
dapat dihindari.
Tujuan umum penelitian adalah meng-
analisis ketahanan pangan keluarga peserta
program pemberdayaan masyarakat di perde-
saan. Tujuan khusus (1) mengetahui karakter-
istik keluarga; (2) menganalisis ketahanan pa-
ngan keluarga; (3) menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan
keluarga.


METODE

Desain dan Lokasi
Desain penelitian adalah crossectional
study dan teknik pengumpulan data dilakukan
dengan metode survei. Lokasi penelitian di
Kecamatan Dramaga, Leuwisadeng, dan Pami-
jahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dila-
kukan secara purposive, dengan pertimbangan
(1) Kabupaten Bogor masih menempati jumlah
penduduk miskin tertinggi di Jawa Barat sela-
ma priode 2006- 2009; (2) Tingkat kemiskinan
di Kabupaten Bogor yang terus meningkat sela-
ma periode 2007-2009; dan (3) Kabupaten
Bogor terdapat beberapa program pemberda -
yaan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak
yaitu pemerintah, swasta dan perguruan ting-
gi. Pemilihan kecamatan dilakukan secara pur-
posif dengan kriteria tingkat kemiskinan yang
cukup tinggi (lebih dari 40 persen) dan terda-
pat lebih dari satu program kegiatan pem-
berdayaan. Waktu penelitian dilaksanakan
selama delapan bulan, terhitung mulai bulan
Februari-Oktober 2010.

Cara Pemilihan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh kelu-
arga peserta pemberdayaan masyarakat di tiga
kecamatan. Sampel penelitian adalah keluarga
peserta program pemberdayaan masyarakat
dan telah menjadi peserta program minimal
satu tahun. Teknik pengambilan sampel adalah
stratified propotional random sampling. Jum-
lah sampel yang diambil yaitu 300 keluarga ,
dengan rincian 140 kelu arga dari program
Program Nasional Pembedayaan Masyarakat
(PNPM), 107 ke -luarga dari Program Keluarga
Harapan (PKH), 31 keluarga dari Program
Raksa Desa dan 22 dari program Pengembang-
an Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari
data primer dan sekunder. Data primer dikum-
pulkan melalui wawancara menggunakan kue-
sioner, terdiri dari (1) karakteristik keluarga;
dan (2) ketahanan pangan keluarga. Indikator
dan skala data dari masing-masing peubah
dapat dilihat pada Tabel 1. Data sekunder
diperoleh dari kantor kelurahan setempat,
Badan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan
(BPMD) Kabupaten Bogor dan sekretariat prog-
ram pemberdayaan di masing-masing kecamat-
an. Data sekunder yang diambil dalam pene-
litian tingkat kemiskinan dan jumlah penerima
manfaat program pemberdayaan.
Pengukuran ketahanan pangan keluarga
pada penelitian ini mengacu FAO (1996) dan
Purwantini et al. (2001). Indikator ketahanan
pangan yang digunakan adalah ketersediaan
pangan pokok, stabilitas ketersediaan pangan,
kualitas pangan dan tingkat konsumsi energi
keluarga.

Ketersediaan Pangan Pokok
Menurut Pusat Penelitian Kependudukan
(PPK) LIPI (2004) ketersediaan pangan di ru-
mah tangga mengacu pada pangan yang cukup
dan tersedia dalam jumlah yang dapat me -
menuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Hasil penelitian Varendra (2007) menunjukkan
bahwa pembelian pangan pokok bersifat harian
sangat rentan dengan perubahan harga. Meng-
acu pada pendapatan tersebut maka pem -
belian pangan pokok bersifat harian tidak
menjamin ketersediaannya, terutama pada
keluarga miskin, dibandingkan mingguan dan
bulanan. Oleh karena itu pengukuran keter-

Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216

210

sediaan pangan pokok keluarga didekati de-
ngan kebiasaan membeli pangan pokok (hari-
an, mingguan atau bulanan).

Tabel 1. Peubah, Indikator dan Skala Data
yang Digunakan dalam Penelitian
Peubah Indikator Skala Data
Karakteristik
Keluarga
Pendidikan suami dan
istri (thn)
Rasio
Pekerjaan suami dan
istri
Nominal
Umur suami (thn) Rasio
Jumlah Anggota
keluarga (orang)
Rasio
Pendapatan (Rp) Rasio

Ketahanan Pangan
Ketersediaan kecukupan pangan
Ordinal
Stabilitas ketersediaan
pangan
Ordinal
Kualitas pangan Ordinal
Tingkat konsumsi energi
keluarga
Rasio

Stabilitas Ketersediaan Pangan
Salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur stabilitas ketersediaan pangan
di tingkat rumah tangga adalah frekuensi
makan anggota rumah tangga dalam sehari
(PPK-LIPI 2004). Berdasarkan hal tersebut ma-
ka stabilitas ketersediaan pangan diukur ber-
dasarkan frekunsi makan (1 kali, 2 kali atau 3
kali).

Kualitas Pangan
Ukuran kualitas pangan dilihat dari kera-
gaman dan kualitas pangan yang dikonsumsi
(PPK-LIPI 2004). Pada penelitian ini, data
diperoleh dengan metode recall 1x24 jam.
Berdasarkan hal tersebut maka kualitas pangan
keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
(1) Kualitas pangan yang tidak baik atau tidak
beragam jika makanan yang dikonsumsi
terdiri dari pangan pokok dan protein
hewani saja atau nabati saja, atau pangan
pokok dan sayur saja.
(2) Kualitas pangan yang kurang baik atau
kurang beragam jika makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga kurang beragam
yang terdiri dari pangan pokok, protein
hewani (berupa ikan asin) saja atau nabati
saja (tahu atau tempe) dan sayur.
(3) Kualitas pangan baik atau beragam jika
makanan yang dikonsumsi oleh keluarga
beragam yang terdiri dari pangan pokok,
protein hewani (ikan segar atau pindang,
telur, ayam, daging sapi), protein nabati
(tahu atau tempe), sayur, dan buah atau
tanpa buah.

Tingkat Konsumsi Gizi Keluarga
Pada penelitian ini indikator yang digu-
nakan untuk mengukur tingkat konsumsi gizi
keluarga dihitung berdasarkan asupan energi
perkapita dibandingkan dengan angka kecu-
kupan energi (AKE). Selanjutnya tingkat kon-
sumsi energi dikategorikan menjadi tiga ke-
lompok yaitu baik/cukup (≥100% AKE), kurang
(70-99% AKE) , dan sangat kurang (<70% AKE).

Pengolahan dan Analisis Data
Data penelitian diolah secara statistik
deskriptif dan statistik inferensia. Data diana -
lisis secara deskriptif untuk menggambarkan
karakteristik keluarga, dan ketahanan pangan
keluarga. Analisis regresi linier berganda di-
gunakan untuk melihat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap ketahanan pangan
keluarga.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Keluarga
Secara keseluruhan rata-rata umur istri
adalah 37.49 tahun dan umur suami 43.75
tahun. Rata-rata umur istri dan suami masih
termasuk usia produktif, sedangkan menurut
Hurlock (1980) rata-rata usia istri termasuk
dewasa muda dan suami termasuk dewasa
madya. Hasil uji statistik menunjukkan tidak
terdapat perbedaan signifikan umur istri dian-
tara kelompok pemberdayaan (p<0.05) dan
adanya perbedaan yang signifikan antara umur
suami pada kelompok PNPM dan PKH (p<0.05).
Rata-rata jumlah anggota keluarga 5
orang, menurut BKKBN (1996) jumlah tersebut
termasuk kategori sedang. Hasil uji statistik
menunjukkan adanya perbedaan yang signi-
fikan antara rata- rata jumlah anggota keluarga
pada kelompok PKH dengan kelompok PNPM
dan PUAP (p<0.05). Rata-rata lama pendidikan
istri 5.8 tahun dan suami 6.3 tahun. Hal
tersebut menunjukkan tingkat pendidikan istri
maupun suami termasuk rendah.
Jika dibandingkan dengan indikator garis
kemiskinan Kabupaten Bogor tahun 2009 maka
41.3 persen keluarga termasuk kategori ke-
luarga miskin. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antar rata-
rata lama pendidikan suami dan istri serta
pendapatan perkapita pada kelompok PKH
dengan kelompok PNPM, Raksa Desa dan PUAP
(p<0.05). Persentase tertinggi (35.7%) suami
bekerja sebagai buruh dan istri (38.0%) sebagai
pedagang (Tabel 2).

Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216 Jurnal Gizi dan Pangan, 201 1, 6(3): 208-216

211

Tabel 2. Karakteristik Keluarga berdasarkan Kelompok Program Pemberdayaan
Peubah PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total 1. Umur Istri (thn) 36.79±8.69 37.71±9.41 37.81±8.68 40.45±12.99 37.49±9.62
2. Umur suami (thn) 42.31±8.53 45.59±11.27 43.13±7.71 44.86±13.57 43.75±10.00
3. Jumlah anggota keluarga (orang) 4.99±1.56 5.81±1.72 5.32±10.90 5.00±1.45 5.32±1.68
4. Pendidikan istri (thn) 6.85±3.02 4.39±2.22 6.06±2.77 6.00±4.42 5.83±3.06
5. Pendidikan suami (thn) 6.85±3.23 4.61±2.62 8.39±3.02 8.05±3.95 6.30±3.34
6. Pendapatan perkapita
< Rp 178 835 (miskin) 18.6% 83.2% 6.5% 31.8% 41.3%
> Rp 178 835 (tidak miskin) 81.4% 16.8% 93.5% 68.2% 58.7%
Rata- rata±std (Rp/Kap/bulan) 580 588.7±
456 215.9
125 028.6±
94 756.5
476 278.1±
386 26.5
512 795.1±
547 693.6
402 355.3±
424 117.0
7. Pekerjaan istri
Tidak bekerja (IRT) 20.0% 58.9% 38.7 % 45.5% 37.7%
Petani 0.7% 1.9% 0.0% 4.5% 1.3%
Pedagang 62.1% 8.4% 38.7% 27.3% 38.0%
PNS 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Buruh 3.6% 28.0% 12.9% 4.5% 13.3%
Karyawan 0.0% 0.0% 3.2% 0.0% 0.3%
Sopir 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Wiraswasta 10.7% 0.0% 3.2% 13.6% 6.3%
Lainnya 2.9% 2.8% 3.2% 4.5% 3.0%
8. Pekerjaan suami
Tidak bekerja 8.6% 12.1% 3.2% 13.6% 9.7%
Petani 2.9% 2.8% 3.2% 18.2% 4.0%
Pedagang 32.1% 18.7% 48.4% 22.7% 28.3%
PNS 1.4% 0.0% 6.5% 0.0% 1.3%
Buruh 25.0% 59.8% 16.1% 13.6% 35.7%
Karyawan 8.6% 0.9% 3.2% 13.6% 5.7%
Sopir 7.1% 2.8% 9.7% 9.1% 6.0%
Wiraswasta 10.7% 0.9% 6.5% 9.1% 6.7%
Lainnya 3.6% 1.9% 3.2% 0.0% 2.7%

Ketahanan Pangan Keluarga
Indikator ketahanan pangan yang digu-
nakan adalah ketersediaan pangan, stabilitas
ketersediaan pangan, kualitas pangan dan
tingkat konsumsi gizi keluarga.

Ketersediaan Pangan Pokok
Menurut Pusat Penelitian Kependudukan
(PPK) LIPI (2004) ketersediaan pangan di ru-
mah tangga mengacu pada pangan yang cukup
dan tersedia dalam jumlah yang dapat me-
menuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
LIPI menggunakan indikator ketersediaan pa-
ngan wilayah berdasarkan hitungan hari yaitu
jika suatu wilayah memiliki ketersediaan pa-
ngan lebih dari 240 hari maka ketersediaan
pangan dikatakan cukup, dan jika memiliki
ketersediaan pangan antara 1-239 maka dika-
takan kurang.
Ketersediaan pangan pokok keluarga
pada penelitian ini dilihat dari jangka waktu
pembelian pangan pokok bagi keluarga yang
terdiri dari harian, mingguan, atau bulanan.
Lebih dari setengah (63.7%) keluarga memiliki
kebiasaan membeli pangan pokok harian
(Tabel 3). Pola yang sama juga ditemukan di
semua kelompok pemberdayaan. Pada kelom-
pok PKH jumlah keluarga yang membeli pa-
ngan pokok harian sebanyak 79.4 persen dan
pada kelompok PUAP 91.0 persen. Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
keluarga memiliki ketersediaan pangan pokok
harian sehingga dapat dikatakan bahwa keter-
sediaan pangan pokok pada sebagian besar
keluarga masih kurang terjamin. Hasil pene-
litian Varendra (2007) menunjukkan bahwa ada
kecenderungan masyarakat di desa yang se-
bagian besar bekerja di sektor pertanian tidak
menyimpan pangan pokok. Mereka cenderung
membeli beras bersifat harian, sehingga sangat
rentan terhadap perubahan harga pangan. Ma-
sih banyaknya petani yang tidak menyimpan
bahan pangan bukan semata-mata hasil panen
yang rendah, tetapi karena keinginan untuk
mendapatkan uang tunai segera setelah panen
untuk berbagai keperluan yang mendesak.

Tabel 3. Sebaran Keluarga b erdasarkan Kebiasaan Membeli Pangan Pokok
Kebiasaan Membeli Pangan Pokok
PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total
n % n % n % n % n %
Harian (Ketersediaan tidak terjamin) 74 52.9 85 79.4 12 38.7 20 91.0 191 63.7
Mingguan (Ketersediaan kurang terjamin) 52 37.1 18 16.8 11 35.5 1 4.5 82 27.3
Bulanan (Ketersediaan terjamin) 14 10.0 4 3.8 8 25.8 1 4.5 27 9.0
Total 140 100.0 107 100.0 31 100.0 22 100.0 300 100.0

Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216

214


Walaupun demikian ditemukan juga yang
membeli pangan pokok secara mingguan dan
paling banyak ditemukan pada kelompok PNPM
(37.1%), sedangkan secara bulanan paling
banyak ditemukan di kelompok Raksa Desa
(25.8%).

Stabilitas Ketersediaan Pangan
Frekuensi makan sebenarnya dapat
menggambarkan keberlanjutan ketersediaan
pangan dalam rumah tangga. Dalam satu
rumah tangga, salah satu cara untuk memper-
tahankan ketersediaan pangan dalam jangka
waktu tertentu adalah dengan mengurangi fre-
kuensi makan. Penelitian yang dilakukan LIPI
di beberapa daerah di Jawa Barat juga me-
nemukan bahwa mengurangi frekuensi makan
merupakan salah satu strategi rumah tangga
untuk memperpanjang ketahanan pangan me-
reka. Penelitian tersebut juga menemukan
bahwa rumah tangga yang memiliki persediaan
makanan pokok pada umumnya makan se ba-
nyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah
tangga di satu desa, misalnya, hanya makan
dua kali per hari, kondisi ini semata-mata
merupakan suatu strategi rumah tangga agar
persediaan makanan pokok mereka tidak se-
gera habis, karena dengan frekuensi makan
tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga ti-
dak bisa bertahan untuk tetap memiliki per-
sediaan makanan pokok hingga panen beri-
kutnya (PPK-LIPI 2004).
Mengacu pada penelitian tersebut maka
stabilitas ketersediaan pangan pada penelitian
ini diukur berdasarkan frekuensi makan keluar -
ga per hari. Secara keseluruhan persentase
tertinggi (58.0%) keluarga memiliki kebiasaan
makan dalam keluarganya dua kali per hari
(Tabel 4). Pola yang sama juga ditemukan di
semua kelompok pemberdayaan. Kebiasaan
makan dua kali per hari lebih banyak ditemu-
kan pada kelompok PKH dan PUAP, masing-
masing sebanyak 63.6 persen. Sedangkan kebi-
asaan makan tiga kali per hari lebih banyak
ditemukan pada kelompok PNPM (46.4%) dan
Raksa Desa (41.9%). Kondisi tersebut menun-
jukkan bahwa ketersediaan pangan yang ku-
rang stabil lebih banyak ditemukan pada ke-
lompok PKH dan Raksa Desa, sedangkan ke-
tersediaan yang stabil lebih banyak ditemukan
di kelompok PNPM dan Raksa Desa. Hal ini di-
sebabkan karena secara ekonomi kelompok
PNPM dan Raksa Desa lebih tinggi dibandingkan
dengan PKH dan PUAP. Menurut Tabor et al.
(2000) determinan dari ketahanan pangan ru-
mah tangga adalah daya beli atau pendapatan
untuk memenuhi biaya hidup. Semakin tinggi
daya beli atau pendapatan suatu rumah tangga
maka ketahanan pangannya semakin baik.

Kualitas Pangan
Persentase tertinggi (48.6%) keluarga
mengonsumsi kualitas pangan yang baik (Tabel
5). Hal ini berarti keragaman dan jenis pangan
yang dikonsumsi oleh keluarga relatif baik.
Walaupun demikian masih ditemukan keluarga
yang mengkonsumsi pangan yang kurang baik
(25.4%) dan tidak baik (26.0%) yang menyebar
di seluruh kelompok pemberdayaan.
Jika dilihat berdasarkan kelompok pem-
berdayaan maka kelompok PNPM dan Raksa
Desa memiliki kualitas pangan yang dikonsumsi
lebih baik dibandingkan PKH dan PUAP. Kuali-
tas konsumsi pangan keluarga yang tidak baik
lebih banyak ditemukan pada kelompok PKH
(33.6%) dan PUAP (31.8%). Menurut Ariani dan
Purawantini (2005) walaupun secara kuantitas
terpenuhi namun pangan yang dikonsumsi ku-
rang beraneka ragam dapat berdampak negatif
terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan
manusia. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Soekirman (2000) bahwa kekurangan terhadap

Tabel 4. Sebaran Keluarga berdasarkan Frekuensi Makan per Hari

Frekuensi makan/hari
PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total
n % n % n % n % n %
1 kali (tidak stabil) 1 0.7 1 0.9 0 0.0 0 0.0 2 0.7
2 kali (kurang stabil) 74 52.9 68 63.6 18 58.1 14 63.6 174 58.0
3 kali (stabil) 65 46.4 38 35.5 13 41.9 8 36.4 124 41.3
Total 140 100.0 107 100.0 31 100.0 22 100 300 100.0

Tabel 5. Sebaran Keluar ga berdasarkan Kualitas Pangan yang Dikonsumsi
Kualitas pangan
PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total
n % n % n % n % n %
Tidak baik (tidak beragam) 31 22.1 36 33.6 4 12.9 7 31.8 78 26.0
Kurang baik (kurang beragam) 22 15.7 42 39.3 7 22.6 5 22.7 76 25.4
Baik (beragam) 87 62.2 29 27.1 20 64.5 10 45.5 146 48.6
Total 140 100.0 107 100.0 31 100.0 22 100.0 300 100.0

212

Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216 Jurnal Gizi dan Pangan, 201 1, 6(3): 208-216

39

satu atau beberapa jenis pangan akan meng-
akibatkan kekurangan zat-zat gizi tertentu,
sedangkan konsumsi pangan yang berimbang
akan menghindari kekurangan atau kelebihan
gizi serta penyakit yang menyertainya.

Tingkat Konsumsi Energi Keluarga
Menurut Dewan Ketahanan Pangan
(2006) jika rumah tangga mengkonsumsi ku-
rang dari 70 persen dari angka kecukupan
energi dikategorikan sangat rawan pangan.
Berdasarkan hal tersebut maka kategori ting-
kat konsumsi energi dikategorikan menjadi
tiga kelompok yaitu baik/cukup (≥100% dari
AKE), kurang (70-99% dari AKE) dan sangat
kurang (<70% dari AKE).
Persentase tertinggi (42.0%) keluarga
memiliki tingkat konsumsi energi perkapita an-
tara 70-99 persen dari angka kecukupan energi
yang dianjurkan, yang berarti tergolong ting-
kat konsumsi energi per kapita masih kurang
(Tabel 6). Selain itu juga masih ditemukan se-
banyak 28.7 persen yang termasuk sangat ku-
rang dan 29.3 persen memiliki tingkat kon-
sumsi energi yang cukup (Tabel 6).
Hampir di seluruh kelompok pemberda-
yaan, tingkat konsumsi energi perkapitanya
termasuk kurang. Hal yang berbeda dengan
kelompok Raksa Desa, persentase tertinggi
keluarga memiliki tingkat konsumsi energi per
kapita yang sangat kurang. Tingkat konsumsi
energi perkapita yang termasuk kategori cukup
paling banyak ditemukan pada kelompok PKH
yaitu 34.3 persen dan terendah di kelompok
PUAP (9.1%). Hasil penelitian Ariani dan
Purawantini (2005) menunjukkan bahwa di pe-
desaan dengan tingkat pendapatan lebih ren-
dah dibandingkan perkotaan memiliki tingkat
konsumsi energi lebih tinggi dibandingkan per-
kotaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa
pada pendapatan yang lebih rendah, keluarga
akan memprioritaskan pada pangan yang har-
ganya murah, seperti pangan sumber energi,
kemudian dengan semakin meningkatnya pen-
dapatan akan terjadi perubahan konsumsi ya-
itu dari pangan yang harga murah beralih ke
harga pangan mahal, yaitu sumber protein.
Mengacu pada hasil penelitian Ariani dan
Purawanti (2005) maka lebih banyaknya ting-
kat konsumsi energi yang cukup pada kelom-
pok PKH disebabkan sebagian besar (83.2%)
keluarga kelompok PKH tergolong keluarga
miskin dan tentunya memprioritaskan pangan
yang murah yaitu sumber energi seperti beras.
Berdasarkan indikator ketahanan pangan
secara keseluruhan maka persentase tertinggi
(52.0%) ketahanan pangan keluarga termasuk
kategori rentan dan ditemukan sebanyak 37.3
persen kategori kurang pangan (Tabel 7). Ke-
tahanan pangan keluarga dengan kategori ta-
han hanya dicapai oleh 10.7 persen keluarga.
Berdasarkan kelompok pemberdayaan maka
lebih dari setengah keluarga pada kelompok
PKH (50.5%) dan PUAP (63.6%) memiliki keta-
hanan pangan keluarga kategori kurang pa-
ngan. Jumlah tersebut jauh lebih banyak di-
bandingkan kelompok PNPM (25.0%) dan Raksa
Desa (29.0%). Rentan pangan lebih banyak di
temukan pada kelompok PNPM (60 .0%) dan
Raksa Desa (61.3%). Persentase tertinggi kelu-
arga yang memiliki kategori tahan pangan di-
temukan pada kelompok PNPM (15.0%).
Hasil penelitian Purwantini et al. (2001)
yang termasuk kelompok rentan pangan adalah
kelompok yang secara ekonomi kurang sejah-
tera, namun dari sisi konsumsi energi meme -
nuhi kecukupan. Kelompok tersebut memiliki
kebiasaan makan sumber karbohidrat yang
relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok
lainnya. Sedangkan kelompok kurang pangan
adalah kelompok yang secara ekonomi mampu
mengkonsumsi pangan, tapi dari sisi konsumsi
energi kurang memenuhi kecukupan.
Tabel 6. Sebaran Keluarga b erdasarkan Tingkat Konsumsi Energi p er Kapita
Kategori Tingkat Konsumsi
Energi per Kapita
PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total
n % N % n % n % n %
< 70% (sangat kurang) 40 28.6 22 20.6 14 45.2 10 45.4 86 28.7
70-99% (kurang) 60 42.8 45 42.1 11 35.4 10 45.5 126 42.0
≥ 100% (cukup) 40 28.6 40 34.3 6 19.4 2 9.1 88 29.3
Total 140 100.0 107 100.0 31 100.0 22 100.0 300 100.0

Tabel 7 . Sebaran Keluarga berdasarkan Kategori Ketahanan Pangan Keluarga
Kategori
PNPM PKH Raksa Desa PUAP Total
n % n % n % n % n %
Kurang pangan (skor 5-7) 35 25.0 54 50.5 9 29.0 14 63.6 112 37.3
Rentan pangan (skor 8-10) 84 60.0 45 42.1 19 61.3 8 36.4 156 52.0
Tahan pangan (skor 11-13) 21 15.0 8 7.5 3 9.7 0 0.0 32 10.7
Total 140 100.0 107 100.0 31 100.0 22 100.0 300 100.0
213

Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216

216


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahan-
an Pangan Keluarga
Hasil analisis regresi berganda menun-
jukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata
terhadap ketahanan pangan keluarga adalah
pendapatan perkapita, jumlah anggota kelu-
arga dan jumlah aset yang dimiliki (Tabel 8),
dengan nilai adjusted R square 0.108. Hal ini
berarti 10.8 persen peubah-peubah bebas ter-
sebut mempengaruhi ketahanan keluarga, dan
sisanya (89.2%) dipengaruhi faktor lain yang
tidak diteliti dalam penelitian ini.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pen-
dapatan perkapita berpengaruh positif dan sa-
ngat nyata terhadap ketahanan pangan kelu-
arga (α<0.01). Setiap kenaikan satu poin ting-
kat pendapatan maka akan menaikkan keta-
hanan pangan 0.453 poin (Tabel 8). Hal ini se -
suai dengan pendapat Boius dan Hunt (1999)
bahwa resiko tidak memiliki akses terhadap
pangan berkaitan dengan pandapatan rumah
tangga. Rose (1999) menyatakan bahwa penda-
patan rumah tangga merupakan determinan
penting terhadap ketidaktahanan pangan ru-
mah tangga. Hal yang sama diungkapkan oleh
Braun et al. (1992); Lorenza dan Sanjur (1999)
bahwa akses terhadap pangan pada tingkat
rumah tangga ditentukan oleh tingkat penda-
patan rumah tangga, di mana pendapatan ru-
mah tangga ini merupakan proxy untuk daya
beli rumah tangga. Menurut Smith (2002), FAO
(1996) bahwa ketidak-tahanan pangan banyak
terjadi pada negara-negara sedang berkem -
bang, dan pada umumnya disebabkan oleh
kemiskinan, yang menyebabkan ketidakmam-
puan penduduk untuk meningkatkan akses ter-
hadap pangan. Oleh karena itu, Suhardjo
(1996) menyatakan bahwa pendapatan rumah
tangga dapat dijadikan indikator bagi keta-
hanan pangan rumah tangga, karena penda -
patan merupakan salah satu kunci utama bagi
rumah tangga untuk mengakses pangan.
Jumlah anggota keluarga berpengaruh
negatif dan nyata terhadap ketahanan pangan
keluarga (α<0.01). Setiap kenaikan satu poin
jumlah anggota keluarga maka akan menu-
runkan ketahanan keluarga sebanyak 0.120
poin. Menurut Suhardjo (1989) pada keluarga
miskin, jumlah anggota keluarga yang terlalu
besar seringkali mempunyai masalah dalam hal
pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehing-
ga kondisi ini akan memperbesar tingkat stres
keluarga. Hasil penelitian Purwantini et al.
(2001) menemukan bahwa rumah tangga rawan
pangan dicirikan oleh pendidikan suami dan
istri yang rendah, dan jumlah anggota keluarga
yang tinggi. Menurut Rose (1999) ukuran rumah
tangga merupakan salah satu faktor yang me-
nentukan tingkat ketahanan pangan. Ukuran
rumah tangga yang lebih besar memerlukan
konsumsi pangan lebih banyak, oleh karena itu
diperlukan kebutuhan pangan yang lebih besar.
Jumlah aset yang dimiliki keluarga ber-
pengaruh positif dan nyata terhadap keta-
hanan keluarga (α<0.01). Setiap kenaikan satu
poin jumlah aset yang dimiliki maka akan
menaikkan ketahanan keluarga sebanyak 0.294
poin. Menurut Bryant (1990), keluarga yang
memiliki aset banyak cenderung lebih sejah-
tera dibandingkan dengan keluarga yang me-
miliki aset terbatas. Rothwel (2011) menya-
takan bahwa aset merupakan hal yang penting
karena aset dapat membantu seseorang men-
jadi lebih maju dan sebaliknya keterbatasan
aset yang dimiliki akan berdampak pada ke-
sulitan ekonomi. Berdasarkan pernyataan-
pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
keluarga yang memiliki jumlah aset cenderung
tidak mengalami kesulitan ekonomi dan lebih
sejahtera, dengan demikian ketahanan pangan
menjadi lebih terjamin.

Tabel 8. Analisis Regresi Faktor- faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Keluarga
No Peubah bebas
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig
B Beta
Constant 6.878
1 Pendapatan/kapita 0.453 0.236 3.515 0.001**
2 Jumlah anggota keluarga -0.120 -0.119 -1.983 0.048*
3 Pendidikan kepala keluarga -0.020 -0.039 -0.641 0.522
4 Umur kepala keluarga 0.010 0.059 1.017 0.310
5 Jumlah aset 0.294 0.138 2.153 0.032*
6 Dukungan sosial keluarga 0.138 0.028 0.490 0.625
Adjusted R Square = 0.108 * Nyata pada taraf p<0.05 ** Nyata pada taraf p<0.01


214

Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216

216


KESIMPULAN

Rata-rata umur istri dan suami masih
termasuk usia produktif dengan jumlah anggo-
ta termasuk kategori sedang. Tingkat pendi-
dikan istri maupun suami termasuk rendah (Ta-
mat SD). Sebanyak 41.3 persen keluarga ter-
masuk kategori keluarga miskin. Persentase
tertinggi (35.7%) suami bekerja sebagai buruh
dan istri (38.0%) sebagai pedagang.
Persentase tertinggi (52.0%) ketahanan
pangan keluarga termasuk kategori rentan dan
ditemukan sebanyak 37.3 persen kategori ku-
rang pangan. Ketahanan pangan keluarga de-
ngan kategori tahan ditemukan sebanyak 10.7
persen keluarga. Berdasarkan kelompok pem-
berdayaan maka lebih dari setengah keluarga
pada kelompok PKH (50.5%) dan PUAP (63.6%)
memiliki ketahanan pangan keluarga kategori
kurang pangan. Rentan pangan lebih banyak di
temukan pada kelompok PNPM (60%) dan Raksa
Desa (61.3%). Persentase tertinggi (15%) kelu-
arga yang memiliki kategori tahan pangan di-
temukan pada kelompok PNPM. Faktor yang
berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan
keluarga adalah pendapatan perkapita, jumlah
anggota keluarga dan jumlah aset yang
dimiliki.
Saran yang dapat diberikan adalah perlu
adanya pelatihan kewirausahaan bagi anggota
keluarga untuk meningkatkan produktivitas
anggota keluarga dalam meningkatkan penda-
patan Hal ini perlu dilakukan terkait tingkat
pendapatan berpengaruh nyata terhadap keta-
hanan pangan dan sumberdaya alam setempat
yang cukup mendukung karena dominan wila-
yah pertanian.
Selain itu, perlu dilakukan penyuluhan
tentang pengetahuan gizi dan keragaman kon-
sumsi pangan untuk mendukung peningkatan
ketahanan pangan keluarga. Serta perlu dila -
kukan pelatihan pengolahan pangan berbasis
lokal untuk meningkatkan nilai ekonomi pro-
duk lokal dan keanakaragaman pengolahan
produk lokal sehingga dapat mendukung pe-
ningkatan ketahanan pangan


DAFTAR PUSTAKA

Ariani M & Purwantini TB. 2005. Analisis
Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca
Krisis Ekonomi di Propinsi Jawa Barat.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.

Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi
Statistik: Profil Kemiskinan di Indonesia
Maret 2010.

BKKBN. 1996. Opini Pengembangan Keluarga
Sejahtera. Jakarta. BKKBN

Bouis dan Hunt. 1999. Link ing Food and
Nutrition Security: past lesson and
future opprtunities. Asian Development
Review 17 (12).

Braun, JV Von, Bouis H, Kumar S, & Pandya-
Lorch R. 1992. Improving Food Security
of The Poor: concept, policy and prog-
ram. International Food Policy Research
Institute, Washington DC.

Bryant WK. 1990. The Economic Organization
of The Household. University Press,
Cambridge.

Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan
Umum Ketahanan Pangan 2006 -2009.
Departemen Pertanian, Jakarta.

Cahyadi W. 2009. Gizi buruk dan kemiskinan.
www.pikiran-rakyat.com [18 Okt 2010] .

[FAO]. 1996. World Food Summit 13- 17
November 1996. Food and Agriculture
Organization of The United Nations,
Rome.

Hurlock EB. 1980. Development Psychology : A
Life Span Approach. McGraw-Hill, New
York.

Lorenza P & Sanjur D. 1999. Abbreviated
Measures of Food Sufficiency Validly
Estimate the Food Security Level of Poor
Household: Measuring household food
security. Community and International
Nutrition American Society for Nutri-
tional Sceineces.

Purwantini TB, R. Handewi PS, & Marisa Y.
2001. Analisis Ketahanan Pangan Re-
gional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi
Kasus di Propinsi Sulawesi Utara). Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) LIPI.
2004. Ketahanan Pangan Rumah Tangga
di Pedesaan: Konsep dan Ukuran. LIPI,
Jakarta.

215

Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216 Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216

Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216 Jurnal Gizi dan Pangan, 201 1, 6(3): 208-216

217

Rose D. 1999. Economic Determinants and
Dietary Consequences of Food Insecurity
in The United States. Community and
International Nutrition American Society
for Nutritional Sceineces.

Rothwel D. 2011. Exploring Asset and Family
Stress. Centre for Research Children and
Family. McGill School of Social Work.
Smith LC. 2002. The Use of Household
Expenditure Surveys for The Assesment
of Food Security. Dalam International
Secientific Symposium on Measurement
and Assesment of Food Deprivation and
Under Nutrition. FAO, Rome.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional ,
Jakarta.

Sudiman H. 2008. Tantangan Litbang Lintas
Disiplin dalam Penanggulangan Masalah
Kemiskinan, Kelaparan dan Gizi Kurang di Indonesia. Dalam
Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Suhardjo. 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi.
Petunjuk Laboratorium. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir
Ketahanan Pangan Rumah Tangga.
Dalam Makalah Lokakarya Ketahanan
Pangan Rumah T angga. Yogyakarta.

Supari SF. 2008. Selamatkan Ibu dan Anak
Indonesia. Dalam Rakerkesnas. Depkes
RI, Jakarta.

Suryana A. 2004. Ketahanan Pangan di
Indonesia. Dalam Makalah pada
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII, Jakarta.

Tabor S, Sukirman, & Martianto D. 2000.
Keterkaitan Antara Krisis Ekonomi,
Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi.
Dalam Prosiding Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi. LIPI , Jakarta.

Varendra MD. 2007. Dampak krisis ekonomi
terhadap ketahanan pangan. www.umm.
ac.id [6 Jun 2011].

216
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011 , 6(3): 208-216 Journal of Nutrition and Food, 2011 , 6(3): 208-216