Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
288


REVITALISASI DAN CAPACITY BUILDING POSYANDU
DALAM PENANGANAN STUNTING DI KOTA PEKANBARU


Achmad Hidir
1
, Resdati
2
1
Universitas Riau/[email protected]
2
Universitas Riau/[email protected]


ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru Provinsi Riau dengan tujuan menekan
permasalahan stunting pada masyarakat Pekanbaru dan memberikan model berupa sosialisasi
program kelurahan siaga yang diikuti dengan publikasi di media sosial dengan menampilkan
format video pendek yang bersifat menghibur dan mengedukasi. Diantaranya dengan
perkenalan menu sehat seperti olahan es krim dengan daun kelor yang memiliki gizi tinggi.
Guna mendapatkan data yang akurat menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif
purposvie samping. Mengumpulkan data wawancara mendalam, observasi langsung dan
dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stunting yang cukup
tinggi di Kota Pekanbaru. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru yang
diperoleh melalui e-PPGM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Masyarakat) untuk
Umur 0- 59 Bulan selama tahun 2019 diperoleh sebanyak 1.586 Balita yang mengalami
Stunting. Pencegahan Stunting tentunya melibatkan seluruh elemen masyarakat, namun istilah
Stunting masih belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan
bahwasanya sebagian masyarakat yang masih memiliki tradisi dan nilai-nilai yang kurang
kondusif terhadap perilaku kesehatannya termasuk dalam pemeliharaan anak balitanya.
Padahal, program Posyandu adalah program binaan dari pihak Puskesmas setempat dengan
melibatkan petugas kesehatan dan Kader Posyandu di setiap RW agar terjadi pembauran dan
keterlibatan masyarakat secara rutin dan baik. Untuk mewujudkan revitalisasi Posyandu
dalam kontek penyiapan program kelurahan siaga, maka capacity building bagi mereka
adalah suatu keharusan. Untuk penyiapan ke arah dimaksud langkah awal yang perlu diambil
adalah memetakan permasalahan dan sekaligus mengidentifikasi potensi yang ada melalui
kajian.

Kata kunci: Posyandu; Stunting; Pencegahan; Revitalisasi; Kelurahan Siaga; Capacity
Building


1. PENDAHULUAN

Isu krusial yang seringkali menjadi permasalahan atas kualitas hidup yang begitu rendah
ialah kesehatan. Dimana kesehatan merupakan aset penting bagi masyarakat dan hal tersebut
menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada fenomena yang terjadi beberapa masyarakat masih
belum begitu sadar dan memahami isu-isu kesehatan yang berkembang. Salah satu bentuk
permasalahan yang saat ini berkembang di masyarakat ialah kasus stunting yang belum
diketahui secara lebih dalam oleh masyarakat. Maka dari itu untuk menekan permasalahan
terkait stunting dan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah membentuk

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
289


program posyandu. Program ini merupakan binaan dari puskesmas yang bertujuan untuk
memberikan penanganan terhadap masyarakat yang memiliki balita. Hal ini berguna agar
masyarakat atau orangtua mengetahui penanganan yang tepat kepada balita agar tidak
terdampak masalah stunting dan memahami perkembangan fisik maupun psikis dari balita.
Maka dari itu diperlukan konsistensi dan kesungguhan dari kader posyandu sebagai agen
penanganan masalah stunting di masyarakat secara langsung. Selain itu partisipasi masyarakat
juga ikut mempengaruhi keberlangsungan dari program posyandu yang sudah dilaksanakan.
Untuk meningkatkannya kader posyandu melalui inovasi dan sosialisasi yang masif
memberikan edukasi terkait dengan permasalahan dan pemberian solusi sesuai dengan kasus
stunting yang terjadi. Namun agenda yang sudah direncanakan dan direalisasikan hanya diikuti
oleh beberapa masyarakat. Tentunya hal ini dapat menghambat penyebaran informasi stunting
sebab hanya diikuti oleh sebagian dari partisipan.
Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan atas rendahnya keikutsertaan partisipan
untuk mengetahui isu stunting diperlukan pengembangan capacity building demi membangun
kader posyandu yang aktif dan inovatif serta mengembangkan kelurahan siaga di wilayah yang
terdampak kasus stunting. Dimana capacity building bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan dari kader posyandu dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
Sedangkan kelurahan siaga dapat dimaksudkan sebagai suatu wilayah dimana para
penduduknya sudah dipersiapkan dan dilatih sumber dayanya untuk memahami dan
mengetahui isu kesehatan di lingkungan sekitar. Sehingga dihasilkan masyarakat yang
berkompeten dalam ikut memberikan partisipasi dan edukasi kepada masyarakat lainnya terkait
dengan pencegahan dan bagaimana upaya mengatasi suatu masalah terutama dalam bidang
kesehatan, bencana, dan keadaan darurat yang didasarkan atas kemauan dari diri masing-
masing. Untuk membentuk masyarakat yang aktif dalam membangun revitalisasi posyandu
melalui kelurahan siaga maka capacity building yang menjadi tujuan utama harus menjadi
suatu program yang benar-benar dilaksanakan dengan konsisten.
Perencanaan program dan pengembangan diperlukan guna membangun kader posyandu
yang berkompeten. Dimana, kader posyandu ditunjukkan sebagai agen perubahan masyarakat
untuk lebih peka terhadap isu stunting yang berkembang dan menyerang pertumbuhan
generasi. Padahal generasi merupakan ujung tombak perubahan yang akan membangun bangsa
di masa depan. Apabila mereka disiapkan sejak kecil dengan pola asuh yang baik meliputi
pemberian gizi yang sehat dan pola ajar yang tepat maka dikemudian hari hal ini akan
membawa dampak positif terhadap kelangsungan hidup mereka. Demikian hal ini apabila
dipahami oleh masyarakat bahwa menangani balita sama saja memberikan kesempatan pada
dunia untuk mendapatkan perubahan. Arah perubahan ini tergantung dari generasi seperti apa
yang sudah disiapkan saat ini.
Maka dari itu dirumuskan suatu inovasi terkini berupa edukasi makanan sehat berupa
pengelolaan bahan sederhana yang ada di sekitar lingkungan. Makanan yang ditunjukkan
tentunya merupakan makanan yang disukai anak-anak. dan bahan sederhana yang
dimaksudkan ialah berbagai sayuran, daging, maupun buah-buahan yang ada di sekitar. Salah
satu inovasi yang sedang dikembangkan ialah es krim dari daun kelor. Sebagaimana yang
sudah diketahui bahwasanya menu es krim merupakan salah satu cemilan yang disukai oleh
khalayak, termasuk anak-anak. Daun kelor merupakan tanaman yang biasanya ditanam di
halaman rumah maupun lahan luas. Selain itu, daun kelor juga mudah dijangkau sebab masih
banyak penyebarannya di beberapa wilayah. Nantinya daun kelor ini dihaluskan usia melewati
rangkaian pencucian dan dicampur dengan bahan pembuatan es krim. Sehingga, anak-anak
akan lebih tertarik mencoba sebab penyajiannya dalam bentuk es krim.
Selain itu inovasi melalui media digital juga perlu dikembangkan demi membangun
kesadaran masyarakat yang lebih luas. Sebab di era saat ini masyarakat cenderung dekat
dengan teknologi terutama pada media digital. Maka dari itu untuk membentuk sosialiasi yang

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
290


inovatif dalam rangka pendekatan terhadap masyarakat diperlukan peranan media digital dalam
melakukan sosialisasi tersebut. Dalam hal ini media yang digunakan ialah media sosial sebagai
agen penyebar informasi meliputi tiktok, facebook, whatsaap, dan instagram. Untuk menarik
partisipasi masyarakat dalam mengikuti program posyandu dan sadar akan isu stunting yang
benar-benar berdampak bagi kelangsungan generasi maka diperlukan konten yang
mendeskripsikan secara jelas namun menarik perhartian publik untuk menyimak konten hingga
akhir.
Adapun subjek yang ditunjukkan dari penelitian ialah masyarakat terkhusus kaum
perempuan yang sudah menikah atau perempuan yang sudah memiliki anak. Dimana mereka
berdomisili di setiap RW dan kecamatan yang diambil sampelnya menggunakan teknik
proporsional random sampling. Sedangkan sample yang diambil dari kader posyandu diambil
secara sensus kemudian dikombinasikan dengan pihak puskesmas secara insidentil yang terkait
dengan tupoksi mereka.


2. METODE

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Mencakup kecamatan Sapta Taruna,
kecamatan Langsat dan kecamatan Senapelan. Dari 3 lokasi itu akan dipilih beberapa
kecamatan berdasarkan hasil prasurvei dan diskusi dengan Dinas Kesehatan setempat.

2.2. Cara Penentuan Ukuran Sampel

Populasi yang dipilih adalah masyarakat (kaum ibu) pemilik anak balita yang berdomisili
di setiap RW dalam kecamatan sampel dengan teknik proporsional random sampling. Untuk
kader Posyandu diambil secara sensus dikombinasikan dengan pihak Puskesmas secara
insidentil terkait dengan tupoksi mereka.

2.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan untuk penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh secara langsung dari responden, sedangkan data sekunder akan dicari dan
dilacak melalui Kantor dan Dinas terkait, seperti Puskesmas, Kantor Kecamatan dan dari
laporan RW/Kader Posyandu yang ada.

2.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan menggunakan 3 teknik, yaitu:
a. Wawancara Terpimpin, dengan melakukan wawancara dengan para responden dengan
menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. Teknik ini
digunakan untuk mengantisipasi kesibukan para kader dan rendahnya pendidikan
masyarakat, sehingga memudahkan mereka untuk memahami pertanyaan yang
diajukan dengan negosiasi dari peneliti.
b. Wawancara bebas, dilakukan untuk mengantisipasi berbagai pertanyaan yang tidak
tercakup dalam pedoman wawancara. Teknik ini juga nantinya digunakan dengan
mewawancarai pihak Puskesmas, Dinas Kesehatan, BKKBN dan dinas terkait lainnya.
c. Dokumentasi, yaitu dengan mengkopi dan mencatat data-data sekunder yang relevan
dengan penelitian, data ini diambil dari Puskesmas dan Laporan Kader Posyandu.

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
291



2.5. Teknik Analsisi Data

Analisa data menggunakan metode kualitatif dengan menganalisis data lapangan
berdasarkan temuan lapangan dipadukan dengan pemahaman teoretis dari peneliti. Selanjutnya
dibuat interpretasi dan disajikan secara deskriptif. Data yang terwujud kata-kata dari hasil
penelitian akan dianalisis secara kualitatif, dimana data yang diperoleh dari lapangan seperti
wawancara dan observasi akan diolah kemudian disajikan dalam bentuk tulisan (Husaini dan
purnomo, 2009):
a. Reduksi data (data reduction)
Reduksi data merangkum, memilih hal pokok memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya. Pada tahapan ini peneliti memilih data sesuai dengan
data yang diperlukan.
b. Penyajian data (data Display)
Pada tahap ini data yang sudah dipilih selanjutnya disajikan agar mempermudah
peneliti untuk memhami apa yang terjadi dan selanjutnya merencanakan kerja
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Peneliti melakukan pengumpulan data
yang telah dilakukan melalui reduksi untuk menggambar kejadian yang terjadi pada
saat dilapangan, catatan-catatan dilapangan, kemudian disajikan dalam bentuk uraian
singkat untuk mempermudah pembaca memahami secara praktis.
c. Verifikasi data (verification)
Tahap ini merupakan tahap akir dalam analisis data, data yang telah disusun
selanjutnya melalui proses penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal
yang dikemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-
bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Dengan
demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan
masalah yng dirumuskan sejak awal.
Jadi analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman dilakukan secara interaktif
melalui proses data reduction, data display dan verification. (Sugiyono, 2018; 294)


3. TEMUAN STUDI DAN DISKUSI

Ada tiga hal yang memfaktori terjadinya permasalahan pada gizi anak. UNICEF
menjelaskan bahwa tiga hal ini ialah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi, kemudian di
faktor kedua adanya kekurangan dalam mencukupi pangan sehari-hari, pola asuh yang tidak
tepat dan memadai, serta sanitasi dan pelayanan dari kesehatan yang tidak memadai. Di faktor
ketiga adanya permasalahan pada krisis ekonomi, politik, dan sosial serta bencana alam.
Dimana faktor-faktor tersebut dapat memicu permasalahan secara tidak langsung. Adapun
permasalahan gizi pada anak dapat timbul karena kurangnya kepekaan orangtua dalam
mengimplementasikan pola asuh yang benar, sanitasi dan kepiawaian mereka dalam merawat
dan mengurus anak. Kurangnya perhatian orangtua dalam membagi waktu dalam mengawasi
anak juga dapat mempengaruhi kelangsungan pertumbuhan mereka. Sehingga diperlukan
kesadaran orangtua untuk meningkatkan keterampilan dan wawasan dalam memperhatikan
pola gizi anak sehingga kasus stunting dapat diminalisir.
Kementerian kesehatan menjelaskan bahwa dampak stunting terhadap balita memiliki
risiko yang besar seperti kematian. Dan risiko ini dapat meningkat lebih tajam dibandingkan
pada anak-anak yang tumbuh secara normal. Sebab ketika anak-anak sudah terdampak stunting
maka pertumbuhan fisik dan mental dapat terganggu. Selain itu hal ini akan berdampak pada

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
292


perkembangan kognitif dan psikologis yang tidak optimal. Ketika anak-anak yang terdampak
stunting sudah menginjak usia dewasa maka risiko yang dapat dialami ialah obesitas,
hipertensi, dan diabetes. Tim percepatan dan penanggulangan kemiskinan turut menjabarkan
bahwa dampak jangka panjang resiko stunting dapat menurunkan produktivitas kerja, sehingga
dikhawatirkan generasi yang mengalami stunting akan menemui permasalahan seperti
kesenjangan pendapatan yang disebabkan karena daya kerja dan pikir yang tidak maksimal.
Dalam sistemnya dijelaskan bahwa stunting memiliki resiko jangka panjang dan resiko
jangka pendek. Dimana resiko pendek yang biasanya dialami oleh anak-anak ini menyerang
fungsi kognitif. Sehingga penderitanya dapat mengalami penurunan fungsi dari kekebalan
tubuh dan berefek pada bagaimana anak-anak berpikir dan menalarkan sesuatu. Tidak sampai
disini, sistem dari pembakaran mereka juga ikut terganggu. Dalam resiko jangka panjang
apabila tidak cepat ditangani maka akan berefek pada munculnya penyakit degenaratif seperti
diabetes melitus, jantung koroner, hipertensi, dan juga obesitas.
Melihat dampak stunting yang cukup serius maka Pemerintah Provinsi Riau berusaha
untuk mengupayakan menekan perkembangan stunting yang dialami oleh masyarakat Riau.
Agar kelak generasi di masa mendatang dapat menjadi generasi yang memiliki pertumbuhan
dan perkembangan yang normal baik dari segi fisik maupun pola pikir yang tersistematis dan
rasional. Data Riau.go.id menerangkan apabila prevelensi stunting di Riau di tahun 2013
mencapai 36,8% dan menurun hingga 27,4% di tahun 2018.
Data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru menghimpun melalui e-PPGM (Elektronik
Pencatatan dan Pelaporan Gizi Masyarakat) bahwa anak-anak balita yang mengalami stunting
berada di Kecamatan Lima Puluh Kota Pekanbaru dengan persentase 20% yang
mengindikasikan bahwa kasus di wilayah tersebut cukup tinggi sebab telah melewati batas
ambang minimal yang ditetapkan dari WHO. (Rahayu, 2022) Sedangkan di tahun 2019 Kepala
Dinas Kesehatan (Kadiskes) Provinsi Riau menyampaikan bahwasanya stunting yang dialami
masyarakat Riau terhimpun 10,9 % dengan spesifikasi tinggi badan yang tidak sesuai usia
mencapai 16.275 orang. Hingga di tahun 2021 kasus stunting di Riau meningkat persentasenya
menjadi 17,531 dengan spesifikasi tinggi badan yang sangat pendek mencapai 6,256. Dari data
itu didapati prevalensi menyentuh angka 6.0% dengan jumlah balita sebanyak 394,324.
Berdasarkan data yang sudah maka ini menjadi acuan bagi Pemerintah Riau terkhusus
untuk secepatnya melakukan pengendalian dan menyusun kerangka kegiatan agar menekan
kasus stunting. Pada dasarnya Pemerintah Riau telah merumuskan kegiatan itu dalam
Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RJPN) yang ditunjukkan dari tahun 2005-
2025. Bentuk dari RJPN yang telah disusun ini ialah adanya program Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat (Germas). Dimana masyarakat diajak untuk mengubah pola hidup dengan
makanan dengan gizi yang seimbang dan olahraga yang cukup. Adapun program ini dibawah
dari pengawasan Kementerian Kesehatan yang belakangan ini aktif mensosialisasikan
bagaimana mengatur pola makanan yang kemudian diunggah di media sosial seperti instagram
dan tiktok. Selanjutnya ialah Program Keluarga Harapan (PKH) yang diawasi secara langsung
oleh Kementerian Sosial. Melalui PKH masyarakat dibantu secara finansial agar masyarakat
yang tidak mampu untuk memenuhi pangan dan sandang dapat mempergunakan uang dari
pemerintah sebagai dasar mereka memenuhi gizi keluarga dan membangun kehidupan yang
lebih layak. Selanjutnya ialah Program Akses Universal Air Minum dan Sanitasi di tahun 2019.
Program ini memberikan masyarakat untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat dengan
lingkungan yang bersih dan adanya penyediaan air minum diiringi dengan sanitasi. Sebab salah
pemicu stunting ialah sanitasi yang tidak memadai.
Menurut L. Blum dalam (Duarsa, 2009) faktor kunci yang menentukan kesehatan
penduduk yang digunakan sebagai derajat kesehatan dapat mencakup faktor perilaku, faktor
pelayanan kesehatan, faktor genetik, dan faktor lingkungan. Faktor pertama adalah perilaku.
Perilaku manusia memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan yang baik. Hal ini

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
293


karena persepsi kepribadian merupakan hal pertama yang harus dibangkitkan dalam penelitian
ini untuk mencapai pola hidup bersih dan sehat agar terhindar dari penyakit, atau stunting.
Pencegahan stunting memang mempengaruhi semua lapisan masyarakat, namun istilah
stunting sebagian besar masih belum diketahui oleh masyarakat umum. Kutipan studi formatif
Dalam studi formatif yang melibatkan lebih dari 330 ibu dengan anak di bawah usia 5 tahun di
banyak negara bagian, hanya 32,9% responden yang mendengar, membaca, atau mengetahui
istilah “pendek.” Ternyata (MCAI, 2015 (Liem, dkk, 2019)).
Hasil survei terus menegaskan ketidakpedulian responden terhadap tinggi badan anak di
bawah usia lima tahun. Ini adalah salah satu faktor stunting yang harus dipahami oleh setiap
keluarga dengan anak kecil. Salah satu faktor lain yang menyebabkan masalah stunting ini
adalah kurangnya pengetahuan tentang status gizi anak dan tinggi dan kedalaman anak oleh
ibu dan keluarga. Peran ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi bayi. Secara khusus, peran
ibu, yang dikenal sebagai pra-kehamilan, pasca-kelahiran, atau 1000 hari setelah kelahiran,
mempengaruhi kehidupan anak dalam waktu singkat. Dan jangka panjang.
Program Posyandu sebenarnya merupakan pembaruan dari program Upaya Peningkatan
Gizi Keluarga (UPGK) yang telah diperkenalkan kepada masyarakat beberapa tahun lalu.
Padahal, menurut Suhardjo, program tersebut sudah dibuka untuk umum sejak tahun 1963
(Suhardjo, 1989; 197). Program Posyandu tidak hanya memantau tumbuh kembang anak usia
dini, tetapi juga memberikan pendidikan kesehatan serta memberikan imunisasi dan vitamin
dengan biaya murah. Dengan demikian, Posyandu berperan sebagai agen perubahan
pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, menurut Ratna Kirana dari Dit. Bin Kesga
Kementerian Kesehatan, program ini belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kesehatan anak
di bawah usia lima tahun, terutama di pedesaan (1994; 19). Pada kenyataannya, program
tersebut mengalami pasang surut dan tidak dapat sepenuhnya mengatasi masalah yang
diakibatkan oleh kemiskinan sosial. dan ketika kita berbicara tentang kualitas hidup yang buruk
dan masalah kesehatan masyarakat, mundur lebih jauh, itu bukan hanya krisis mata uang.
Bahkan sebelum krisis mata uang, dilaporkan secara luas oleh beberapa temuan dan liputan
media arus utama bahwa gejala seperti itu tidak sepenuhnya diselesaikan oleh pemerintah kita.
Selain itu, sebagian masyarakat masih memiliki tradisi dan nilai-nilai yang kurang
mengedepankan perilaku sehat, seperti saat mengasuh anak di bawah usia lima tahun. Padahal,
program Posyandu adalah program yang dipimpin oleh Puskesmas setempat, dengan
partisipasi tenaga kesehatan dan pelaksana Posyandu di setiap RW, memungkinkan terjadinya
percampuran dan partisipasi masyarakat yang teratur dan baik (Warta Posyandu, 1998).
Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam
kegiatan kesehatan masyarakat secara umum. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Ratna
Kirana di atas, kenyataannya masyarakat masih kurang memanfaatkan Posyandu bulanan yang
diadakan di setiap Posiandu yang ada. Selain itu, peran Posiandu semakin menurun. Menurut
Budiharja (Direktur Pembinaan Kesehatan Masyarakat RI, Kementerian Kesehatan), peran
Posyandu sudah terlihat sejak krisis melanda Indonesia.
a. Pertambahan penduduk miskin berdampak pada penurunan penggunaan fasilitas
kesehatan.
b. Cakupan anak di bawah usia 5 tahun yang datang ke Posyandu turun dari 60%
menjadi sekitar 43%. Posyandu dilaporkan berkinerja buruk.
c. Ada peningkatan laporan gizi buruk.
d. Peningkatan rasa sakit.
e. Perubahan penggunaan metode kontrasepsi (Budihardja, 2009).
Pernyataan tersebut memperjelas bahwa Posiandu dan jajarannya bingung dan perlu
ditingkatkan. Dalam hal ini, pelibatan pengurus Posiandu di masing-masing daerah/kerlahan

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
294


dimaksudkan sebagai jembatan sosialisasi nilai-nilai kesehatan. Membawa animo masyarakat
untuk bangun ke posyandu.
Hal tersebut sebenarnya disebabkan oleh masih banyaknya keluarga miskin yang miskin
materi, pendidikan dan pengetahuan, sehingga 4.444 adalah kinerja gizi dan kualitas hidup,
kemampuan pelaksana dan posyandu, akses dan pemahaman yang minim. ke. Itu masih sangat
lemah.
Idealnya, Posyandu yang ada akan bekerja secara rutin setiap bulan. Paket kegiatan
Posyandu minimal terdiri dari:
1. Perbaikan gizi, berupa pemantauan status gizi, dan penyuluhan gizi
2. Kesehatan Ibu dan Anak
3. Keluarga Berencana
4. Imunisasi
5. Eliminasi diare dan infeksi saluran pernapasan akut. (Warta Posyandu, 1998; 2).
Pentingnya penguatan peran Posiandu yang diperintahkan Presiden Republik Indonesia
(Susilo Bambang Yudhoyono) adalah perlunya revitalisasi peran Posiandu. Program Posyandu
yang sudah ada nampaknya perlu dilaksanakan dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat
khususnya ibu-ibu yang memiliki anak balita. Uraian Posyandu tentang tantangan yang
disebut-sebut sebagai upaya pemantauan dan edukasi gizi masyarakat tampaknya belum
terlaksana. Selain itu, dilansir dari Pekanbaru Pos (2008) di wilayah Kabupaten Kampar. Sejak
krisis keuangan, sebagian besar CEP terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di wilayah
Pekanbaru. Anak-anak di bawah usia lima tahun lebih jarang mengunjungi Posyandu karena
rendahnya pengetahuan umum mereka tentang nilai-nilai kesehatan masyarakat modern dan
kurangnya kelangsungan sosialisasi yang dilakukan oleh Posyandu.
Dalam rangka merevitalisasi Posyandu sesuai misi Presiden Republik Indonesia dan peran
Posyandu, diperlukan peningkatan kapasitas pelaksana Posyandu terkait penyiapan desa siap
pakai. Kecamatan Waspada adalah desa dengan jumlah penduduk 4.444 sumber daya dan
keterampilan serta 4.444 siap siaga secara mandiri mencegah dan mengatasi 4.444 masalah
kesehatan, bencana dan keadaan darurat (Budihardja, 2009). Peningkatan kapasitas sangat
penting bagi mereka untuk mencapai kebangkitan Posiandu dalam rangka penyusunan Program
Kelurahan Siaga.


4. TEORI RELEVAN

Memahami peran secara umum merupakan aspek dinamis dari status. Juga, menurut Paul
B. Horton dan Chester L. Hunt (1996; 118), peran adalah perilaku yang diharapkan dari
individu atau sekelompok orang dengan status tertentu. Selain itu, menurut Yanto Subiyanto
Sugiharto (1980; 18), peran setidaknya mencakup tiga.
a. Peran/peranan meliputi norma-norma yang berkaitan dengan kedudukan atau lokasi
individu dalam masyarakat
b. Roles/peran adalah konsep tentang apa yang dapat dilakukan seorang individu dalam
masyarakat sebagai sebuah organisasi.
c. Dapat dikatakan bahwa peran merupakan perilaku individu yang paling penting dalam
struktur sosial.
Oleh karena itu, Paul B. Houghton dan Chester L. Hunt terus mengatakan setiap orang
dapat memiliki banyak statistik dan diharapkan memainkan banyak peran yang sesuai dengan
statusnya. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari fenomena yang sama.
Status adalah seperangkat hak dan kewajiban, dan peran adalah peran dari hak dan kewajiban

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
295


tersebut. (Paul B Houghton dan Chester L Hunt, 1996; 118). Faktor-faktor yang mendorong
status dan peran/sistem peran suatu komunitas juga dipengaruhi, misalnya oleh berbagai faktor.
1. Perbedaan kemampuan individu (perbedaan kemampuan individu).
2. Perbedaan kesulitan melakukan jenis pekerjaan yang berbeda.
3. Perbedaan kepentingan jenis pekerjaan yang berbeda (perbedaan kepentingan jenis
pekerjaan yang berbeda).
4. Keinginan akan posisi formal sebagai sarana organisasi sosial.
5. Kebutuhan untuk melindungi integritas manusia. (Bernard dari Yanto Subiyanto
Sugiharto, 1980; 40).
Dari beberapa kutipan pada atas, nyatalah bahwa status & kiprah itu sangat terkait, ad
interim itu pada berperannya seorang pada suatu organisasi/gerombolan sosial (termasuk pada
hal ini Posyandu) sangat juga ditentukan sang disparitas individu & taraf kesulitan yg wajib
dihadapi sang si individu yg memerankan suatu kiprahnya menggunakan status yg dimilikinya.
Maka masuk akal pulalah pada kapasitasnya menjadi kader Posyandu, bahwa setiap individu
(pada hal ini kader) perbedean pada kapasitasnya menjadi individu dan mengantisipasi tingkat
dan taraf kesulitan yang dihadapi pada memerankan statusnya menjadi kader Posyandu yg baik.
Sebab bagaimanapun konsepsi kiprah sangat mengandalkan seperangkat harapan. Seseorang
akan dibutuhkan bertindak & berperilaku sinkron menggunakan status & kiprah yg
dimilikinya. Adalah suatu fenomena lain, bahwa hampir semua individu pada rakyat selalu
mempunyai peranan status di masyarakat. Oleh karena itu beliau wajib memainkan peranan.
Karena berdasarkan Karel J. Veeger (1992;60) bahwa masing-masing status mempunyai hak-
hak dan kewajibannya masing-masing, hak dan kewajibannya itulah yang dianggap menjadi
kiprah.
Merujuk sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa setiap orang pada suatu rakyat selalu
mempunyai poly status & pula poly kiprah yg wajib dimainkannya. Maka muncullah kata
seperangkat kiprah (role set) atau multiple roles (Robert Merton pada Veeger,1992;60). Oleh
sebab itu status pula bersifat ganda (Status set) & kiprah-kiprah individu pula bersifat ganda
(role set), yg dimiliki seorang sering berbenturan dan tidak selaras kepentingannnya, hal ini
pulalah yang mengakibatkan pada diri seorang mengalami konflik peranan (role conflict). Dan
apabila seorang itu melakukan kiprah sinkron menggunakan statusnya maka beliau sudah
memainkan perilaku peranan (role behavior).
Dalam studi sosiologi disparitas-disparitas konduite kiprah (role behavior) sangat
ditentukan sang besarnya pengabdian dan kesungguhan individu pada memainkan peranannya
(sense of duty) & taraf pengetahuan menurut seluruh yang termasuk pada suatu role set (Paul
B. Horton & Chester L.Hunt,1996; 201). Oleh karena itu, maka masuk akal apabila konduite
kiprah mungkin akan tidak selaras menurut beberapa orang menggunakan status yang sama
menggunakan beberapa alasan. Sebab sebagamana Veeger (1992;67) berkata bahwa seorang
itu tidaklah mungkin akan semua aktivitiasnya beliau curahkan hanya buat satu peranan saja,
sebab bagaimanapun setiap orang akan terdapat pula menggunakan apa yang dinamakannya
jeda peranan (role distance). Oleh karena itu, seorang mungkin memandang bahwa status dan
kiprah yang dimainkannya itu tidaklah krusial, mungkin bagi yg lain justru kebalikannya kiprah
itu dianggapnya krusial sinkron menggunakan statusnya. Hal inilah yg menyebabkan, pada
rakyat seorang yang berstatus yang sama (katakanlah menjadi kader Psoyandu) tidak juga
memainkan kiprah yg sama. Seperti contohnya pada perkara kader Posyandu, mungkin bagi
beberapa orang pada wilayah lain kader Posyandu relatif memerankan secara aktif semua
aktivitas pengenalan posyandu, tetapi pada wilayah lain tidaklah juga demikian halnya lantaran
dipercaya status menjadi kader Posyandu begitu krusial.
Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996) dalam
kehidupan masyarakat tidak selamanya orang itu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
296


statusnya, Maka peran demikian disebutnya sebagai penyimpangan peran (role deviation).
Penyimpangan peran dalam masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa hal:
1. Inkonsistensi status (inconsistence status)
2. Konflik peran (Role conflict)
3. Peran Transisi (Role transition) (Disarikan dari Paul B. Horton dan Chester L. Hunt;
1996: 117-145).
Tentunya mengacu pada pernyataan di atas, sebuah organisasi bernama Posyandu
diharapkan dapat “bermain” dalam mempromosikan nilai kesehatan keluarga di masyarakat.
Namun pada kenyataannya masih banyak kendala dalam mensosialisasikan nilai-nilai
kesehatan dan melaksanakan berbagai pelayanan. Inkonsistensi status diyakini sebagai
penyebab inkonsistensi peran. Hal ini dapat diamati ketika seseorang secara umum tidak diakui
memiliki posisi dan peran tertentu. Misalnya, pengurus Posyandu miskin dan membutuhkan.
Dengan demikian, peran mereka dalam mensosialisasikan nilai-nilai kesehatan dari orang
lain tidak sesuai dengan gaya hidup para eksekutif sendiri yang tidak mencerminkan nilai-nilai
kesehatan. Dan perilaku sehat. Konflik status/peran seringkali menjadi akar dari penyimpangan
peran. Dalam hal ini, satu peran seringkali berbenturan dengan peran lainnya seperti ibu, istri,
eksekutif, dan anggota masyarakat. Tidak mudah bagi pelaksana Posyandu untuk
mengintegrasikan berbagai peran tersebut ke dalam pelaksanaannya. Demikian pula, peran
transisional yang berubah dari satu peran ke peran lainnya seringkali membuat individu sulit
memainkan perannya. Seringkali seseorang diminta memainkan peran baru, sehingga ia harus
melepaskan peran lamanya dan segala konsekuensinya. Hal ini juga tampaknya membuat
pasukan Posyandu kesulitan memainkan peran barunya. Jika dia perlu memahami dan
sepenuhnya memahami nilai gaya hidup sehat dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, mereka
sendiri tidak sepenuhnya bebas dari belenggu kemiskinan dan kebutuhan hidup keluarga.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996; 71), konsep nilai itu sendiri adalah
gagasan tentang apakah pengalaman itu bermakna atau tidak berarti, tetapi nilai berkaitan erat
dengan budaya, atau aktivitas. Kesehatan juga relatif sepanjang dianggap sehat dan
mencerminkan gaya hidup sehat, karena tidak banyak bergantung pada sistem nilai budaya
masyarakat itu sendiri, apakah suatu tindakan dianggap berharga atau tidak. Oleh budaya. Dari
penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa banyak variabel yang berperan penting dalam
pelaksanaan sosialisasi nilai-nilai kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, mengacu pada pendapat sebelumnya dari Cartono Muhammad (1995; 89),
dikatakan bahwa ada faktor eksternal selain faktor internal, yaitu kondisi kehidupan dan cara
hidup masyarakat, dalam meningkatkan taraf hidup dan kesehatan masyarakat. Dengan kondisi
tersebut, tidak mengherankan jika masih banyak kasus KEP dan rendahnya standar kesehatan
di masyarakat (terutama masyarakat Kerlahan) yang gagal mencapai taraf hidup sehat. Kondisi
ini disebabkan selain masih kuatnya tradisi dan nilai budaya masyarakat terhadap pola
pelayanan kesehatan tradisional, dan sebagian ibu khawatir anaknya akan terserang demam
saat divaksinasi (Kiptiyah,). 1983; 34). Dikatakan pula bahwa sebagian ibu sibuk mencari
nafkah di pagi hari sehingga tidak sempat membawa anaknya ke Posiandu (Musa, 1982: 42).
Diakui pula bahwa peran ibu dalam menjaga kesehatan anak sangat dipengaruhi oleh sikap
dan pengetahuan ibu tentang perawatan kesehatan (Nina Kurniati, 1987; 34). Saat ini
ditetapkan dalam literatur sosiologi kesehatan bahwa perilaku hidup sehat dan gagasan tentang
kesehatan dan penyakit sangat dipengaruhi oleh subjektivitas dan pengalaman mereka sendiri
(Muzaham, 1995: 45). Oleh karena itu, mengkaji perilaku dan sikap masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan merupakan hal yang kompleks dan menarik. Untuk menciptakan dan
mengurangi hal tersebut, maka perlu menghidupkan kembali Posiandu atas perintah Presiden
Republik Indonesia dan menambah jumlah pelaksana Posiandu hingga desa persiapan

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
297


(Budihardja, 2009). Cari tahu bagaimana masalah yang muncul dari pelaksana Posyandu dan
bagaimana meningkatkan sinergi antar pihak untuk meningkatkan kemampuan mereka.

4.1. Kelurahan Siaga

Lingkungan yang sehat merupakan keinginan dari seluruh pihak. Sebab, lingkungan yang
sehat mendukung pertumbuhan dan perkembangan generasi di dalamnya. Bukan hanya
perorangan saja yang harus sadar untuk menciptakan lingkungan yang sehat, melainkan
kelurga, kelompok, dan seluruh elemen masyarakat juga harus ikut berkontribusi di dalamnya.
Dengan demikian dapat terjadi kerjasama yang terjalin tanpa meninggalkan kericuhan yang
mengakibatkan gagalnya perubahan dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Sehat yang
dimaksud ialah masyarakat berkerjasama dalam meningkatkan gizi tiap individu di dalamnya
dan meningkatkan kesadaran dalam isu-isu kesehatan yang ada di masyarakat. Departemen
Kesehatan (2009) pernah melalukan penelitian yang memperlihatkan bahwa fokus utama
dalam melakukan pelayanan kesehatan ialah dengan mencapai target Milenium Development
Goals (MDGs) yakni suatu usaha di Indonesia guna menekan angka kematian ibu menjadi
102/100.000 kelahiran hidup dan menekan angka kematian bayi menjadi 15/1000 kelahiran
hidup. Maka dari itu untuk mencapai keberhasilan dalam memenuhi peningkatan kesadaran
kesehatan dibentuklah suatu program, kelurahan siaga.
Kelurahan siaga diartikan sebagai bagian dari pengembangan desa. Di dalam program ini
masyarakat diberikan akses dengan mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Jadi,
seluruh fasilitas dan layanan kesehatan tidak dibatasi untuk beberapa masyarakat saja,
melainkan seluruh masyarakat dari kalangan ke bawah, menengah, hingga ke atas bebas
mengaksesnya tanpa dipersulit dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam program kelurahan
siaga masyarakat juga dituntut secara aktif demi menyelenggarakan kemandirian masyarakat
terhadap isu-isu kesehatan.
Maka dari itu penyelenggaraan program kelurahan siaga perlu diterapkan di Pekanbaru.
Sebab data yang dihimpun dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota
Pekanbaru memaparkan bahwa terdapat 100.048 keluarga di Kota Pekanbaru beresiko
mengalami stunting, kekurangan gizi kronis yang mengakibatkan pertumbuhan dari anak-anak
terganggu dan berdampak pada tubuh yang menjadi tengkes (kerdil).

4.2. Revitalisasi Menu Sehat dengan Demonstrasi Video Pendek di Media Sosial

Sosialisasi merupakan suatu upaya yang melibatkan proses pemahaman dan
mentransferkan kebiasaan atau nilai dan aturan dari invidu ke individu, individu ke kelompok,
maupun kelompok dengan kelompok masyarakat. Sosialisasi terbagi menjadi dua jenis,
diantaranya sebagai berikut:
a. Sosialisasi Primer
Peter L. Berger dan Luckman memaparkan bahwasanya sosialisasi primer merupakan
sosialisasi pertama dari individu yang didapatkan secara personal dari masa kecil individu yang
kemudian didapatkan dengan pembelajaran di dalam keluarga maupun masyarakat. Jadi, dalam
sosialisasi ini anak-anak mulai memahami peranannya di dalam keluarga dan mengenal
lingkungan keluarga serta dapat membedakan antara dirinya dengan orang-orang sekitar. Jadi,
dari hal ini dapat dipahami bahwasanya peranan dari orang-orang terdekat sangat
mempengaruhi perkembangan anak-anak dari segi fisik maupun psikis. Ini disebabkan jalinan
interaksi yang terjadi secara berkelanjutan sedangkan porsi dari anak-anak terbatas dalam
dominasi interaksi yang terjadi. Jadi, perkembangan seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh
anggota keluarga terdekatnya.

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
298


b. Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi sekunder merupakan proses dari sosialisasi yang memperkenalkan individu
kepada kelompok-kelompok tertentu. Terdapat dua bentuk yang terjadi dalam sosialisasi yaitu
proses resosialisasi dan desosialisasi. Dimana resosialisasi adalah proses seorang individu
memberikan identitas diri yang baru pada seseorang. Sedangkan desosialisasi ialah proses pada
individu yang merubah identitas lamanya.
Penjelasan sosialisasi di atas dapat disimpulkan bahwasanya sosialisasi sudah terjadi sejak
individu dilahirkan. Artinya ada kontribusi keluarga di dalamnya. Maka dari itu setiap keluarga
harus diberikan pemahaman untuk menangani anak sejak lahir hingga ia berkembang menjadi
individu mandiri. Dalam peranan di program kelurahan siaga keluarga diperluka sebagai agen
utama untuk memberantas stunting. Sebab dari keluarga lahir generasi yang akan memimpin
negara di masa depan.
Tidak hanya itu seiring dengan perkembangan teknologi maka proses dari sosialisasi dapat
dilakukan dengan media. Tidak hanya di media besar saja, media sosial sebagai sarana publik
berinteraksi secara online juga dapat dimanfaatkan sebagai agen penyebar informasi. Adapun
media sosial ini berupa tiktok, instagram, dan facebook. Kecenderungan individu dan
kelompok dalam menjalankan hidup secara virtual dapat dijadikan peluang sebagai transfer
pengetahuan terutama mengenai isu kesehatan. Generasi muda juga sudah sepatutnya
mengetahui dampak negatif dari stunting. Sehingga, apabila dikemudian hari mereka
membentuk ikatan dalam sebuah keluarga, generasi yang lahir dari mereka dapat tumbuh dan
berkembang secara normal dengan gizi yang tercukupi.
Gizi yang tercukupi bukan berarti memenuhi bahan makanan dengan harga yang lebih
mahal. Melainkan, dapat membuat menu makanan sehat sebegaimana program dari posyandu
yang diagendakan di tiap bulannya. Maka dari itu partisipasi masyarakat juga perlu
ditingkatkan demi mencapai keberhasilan dalam menekan angka stunting di masyarakat.


5. KESIMPULAN

Tingkat stunting di Kota Pekanbaru tidak bisa dianggap sebagai sebuah permasalahan
kecil. Sebab sebagaimana dampak stunting itu mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak tentunya dapat mempengaruhi kehidupan bagi generasi mendatang
diakibatkan gizi di masa kecil yang tidak tercukupi dan rendahnya pengetahuan orangtua
terkait informasi stunting. Maka revitalisasi dan capacity building Posyandu perlu diupayakan
untuk penanganan stunting di Pekanbaru melalui program kelurahan siaga demi menciptakan
generasi sehat yang tumbuh dengan gizi yang terpenuhi sebagaimana program-program yang
telah dijalankan pemerintah dan sosialisasi yang lebih masif demi menjalin pendekatan
terhadap orangtua dan masyarakat.


REFERENSI

Budihardja. 2009. Revitalisasi Posyandu. (Makalah pada Temu Kader Menuju Pemantapan
Posyandu Jakarta, 28 – 30 Mei 2009).
Duarsa, B. S. 2009. Prospek Pendidikan Program Pasca Sarjana. (Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3(1), 23–27).
Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. JAKARTA; UI Press.
Judith A. Graeff, John P.Elder dan Elizabeth Mills Booth. 1996. Komunikasi : Untuk
Kesehatan dan Perubahan Perilaku. Yogyakarta; UGM Press.

Konferensi Nasional Sosiologi IX APSSI 2022
Balikpapan, 1-3 Juni 2022
299


Karel J.Veeger. 1992. Pengantar Sosiologi : Panduan Mahasiswa. Jakarta; PT.Gramedia.
Dinas Kesehatan Kota Bangkinang. 2000. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota
Bangkinang Tahun Anggaran 1999/2000.
Musa. 1982. Aspek Sosial Budaya Masyarakat dalam Kesehatan. Jakarta; UI Press.
Nina Kurniati. 1987. Peran Ibu dalam Kesehatan Keluarga. Yogyakarta; UGM Press.
Rahayu, K. F. 2022. (JOM FISIP Vol. 7: Edisi I Januari – Juni 2020 Page 1).
Ratna Kirana. 1994. Posyandu dan Pelayanan Kesehatan. (Dit.Bin Kesga Depkes RI, Jakarta).
Suhardjo. 1989. Sosiobudaya Gizi. (Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor).
Warta Demografi. 1999. (LD-UI, Ke 28, No.2, 1999).
Yanto Subiyanto Sugiharto. 1980. Soal-Jawab Sosiologi. Bandung; CV Armico.