JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
66

Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Dakwah di Era Komunikasi Digital

Oleh:
Nila Noer Karisna
STAI Darul Ulum, Banyuwangi, Indonesia
[email protected]
ABSTRACT
The development of the era of globalization is forcing people to be technology
literate. Coupled with the Covid-19 pandemic, forcing people to carry out digital
communication for daily needs, including spiritual needs. This is what underlies the
da'i to be able to transform da'wah into the digital realm. But before that, it is
necessary for the da'i to explore the philosophy of da'wah in order to create valuable
content in communicating in the digital realm. This paper aims to find out more
deeply about ontology epistemology and axiology in order to better know the benefits
of da'wah. This paper uses a qualitative approach with a literature study method
(library review), namely the technique of collecting writings, readings and other
literature, both physical and digital specifically, and then analyzing the content of the
study based on the focus of the problems discussed. The results showed 1) ontology
in the form of the essence of the existence of da'wah in communication between da'i
and mad'u. 2) epistemology in Islamic da'wah, namely bayani epistemology, in the
form of sources used in preaching on social media, irfani epistemology, in the form of
intuition from da'i and burhani epistemology, in the form of intellectual activity. 3) In
understanding axiology, the preacher must first master his knowledge. While mad'u
must be selective in choosing their da'i, Da'i and mad'u both must realize that digital
users are very diverse. When the da'i does da'wah, he must be ready to face all kinds
of mad'u. for that it is necessary to create a dialogue space in digital.
Keywords: ontology, epistemology, axiology, philosophical of da’wah, digital
communication

A. PENDAHULUAN
Komunikasi melalui dunia digital merupakan hal yang tidak bisa dinafikan di
era society 5.0. Ditambah lagi dengan pandemic covid-19 yang mengharuskan
masyarakat harus tinggal di rumah dan berkomunikasi dalam dunia digital. Sehingga
era komunikasi sekarang lebih tepat disebut sebagai era komunikasi digital.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
67

Komunikasi digital berpengaruh pada segala aspek kehidupan manusia, salah
satu yang mendasar adalah dakwah dalam agama. Komunikasi da’i dan mad’unya
yang awalnya tatap muka mau tak mau berubah menjadi komunikasi digital.
Kebutuhan dasar manusia dalam hal religius mengharuskan mereka mencari agama
melalui digital berupa media sosial atau internet. Itulah yang mendasari bagaimana
filsafat dakwah berkembang dalam era komunikasi digital ini.
Berbicara mengenai filsafat ilmu dakwah pasti tidak akan terlepas dari
pembahasan ontologi, epistemologi dan aksiologi yang ketiganya adalah cabang dari
filsafat. Ontologi membicarakan pengetahuan juga membicarakan apa sebenarnya
dari sesuatu. Epistemologi membicarakan cara memperoleh sesutau pengetahuan.
juga bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan aksiologi nilai yang
membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita
ketahui hakikat dan cara memperolehnya. Eksistensi ilmu atau pengetahuan mestinya
tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan
untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya
(Fasadena, 2018, hal. 19).
Filsafat ilmu dakwah merupakan kegiatan berfikir secara kritis, radikal
universal, dan sistematis tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah-masalah
mendasar dalam dakwah, meliputi hakikat kenyataan dakwah, kedudukan dakwah
sebagai ilmu pengetahuan, dan tujuan atau manfaat dalam mempelajari pengetahuan
dakwah (Asror, 2018, hal. 172). Melalui pengetahuan tersebut, proses selanjutnya
yang tak kalah penting adalah proses komunikasi. Berdakwah tanpa berkomunikasi
mustahil rasanya.
Dari pernyataan tersebut tulisan ini bertujuan mengetahui lebih mendalam
tentang ontologi agar dapat mengetahui apa sebenarnya dari ilmu dakwah sehingga
kita dapat melanjutkan ke tahap yang selanjutnya yaitu cara memperoleh pengetahuan
tentang dakwah yang biasa disebut dengan epistemologi dakwah dan kita belajar
lebih mendalam tentang aksiologi agar dapat lebih mengetahui manfaat dari ilmu
dakwah tersebut. Oleh sebab itu penulisan ini akan membahas tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi dalam filsafat ilmu dakwah di era komunikasi digital.
B. METODE
Tulisan ini menggunakan pendekan kualitatif dengan metode studi literatur
(kajian pustaka), yaitu teknik mengumpulkan tulisan, bacaan dan literatur lain baik
fisik maupun digital secara spesifik lalu kemudian menganalisis isi kajian

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
68

berdasarkan fokus permasalahan yang dibahas. Kajian ini dilaksanakan antara bulan
Maret sampai dengan bulan Agustus 2022.
Sumber primer dalam Tulisan ini adalah buku-buku tentang filsafat dakwah,
selanjutnya sumber sekundernya adalah komunikasi digital. Teknik analisis
menggunakan reduksi data, penyajian data, klasifikasi data, dan analisis data (Miles
dan Huberman, 1994)
C. KAJIAN TEORI
Unsur-unsur dalam Filsafat Ilmu Dakwah
1. Ontologi dalam Perspektif Filsafat Ilmu Dakwah
Kata ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu: ontos yang berarti “ada”,
dan logos yang artinya “ilmu”. Jadi, ontologi ialah ilmu tentang yang
ada. Ontologi sendiri adalah teori tentang ada dan realitas. Meninjau persoalan
secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi
ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat dan digunakan
sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Ontologi meliputi permasalahan
apahakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inbern dengan
pengetahuan yang tidak terlepas dari persepsi kita tentang apa dan bagaimana ilmu
itu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007), ontologi membahas apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah
berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian
ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad (1997) berpendapat, obyek material ilmu dakwah
adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), hasil ijtihad serta
realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi,
pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek
formalnya yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada
fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
The Liang Gie membuat struktur pengetahuan filsafat yang terbagi ke
dalam tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus dan filsafat keilmuan.
Sebagian dari filsafat sistematis adalah metafisika. Dan ontologi sendiri
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara-cara yang

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
69

berbeda dalam entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (seperti objek
fisis, hal universal, abstraksi, bilangan dan lain-lain) dapat dikatakan ada. Dalam
kerangka tradisonal, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip
umum mengenai hal “ada”, sedangkan dalam pemakaiannya pada akhir-akhir ini
ontologi dipandang sebagai teori mengenai “apa yang ada”. Ontologi berusaha
mengungkapkan makna eksistensi, tidak termasuk mengenai persoalan asal mula
perkembangan dan struktur kosmos (atau alam semesta) yang merupakan titik
perhatian dari kosmologi (Hadi, 2011, hal. 99).
Filsafat dakwah menurut sistematika filsafat yang dibuat The Liang Gie
termasuk dalam filsafat khusus, yaitu filsafat agama. Namun dalam kaitannya
dengan filsafat keilmuan, seperti yang diadaptasikan oleh Buhtanuddin Agus,
masalah ontologi dari filsafat dakwah berkaitan dengan pandangan tentang hakikat
ilmu atau pengetahuan ilmiah di sekitar persoalan dakwah (Saputra, 2011, hal 59-
60).
2. Epistemologis dalam Perspektif Filsafat Ilmu Dakwah
Epistemologi adalah teori pengetahuan (episteme = pengetahuan, logos
= teori, keduanya berasal dari bahasa Yunani), menyelidiki keaslian pengetahuan,
struktur, metode dan validitas pengetahuan. Epistemology adalah cabang dari
filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaimana cara seseorang memperoleh
pengetahuan merupakan bagian dari filsafat tentang refleksi manusia atas
kenyataanyang menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian
manusia. Mengenai epistemologi dakwah secara keilmuan (Nasution, 1973, hal
.10).
Menyangkut yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas
keilmuannya termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang
dapat diuji. Yang menjadi batasan tegas mainstream dasar dalam keilmuan dakwah
disini adalah dakwah sebagai kebenaran ilmu. Dalam bidang epistemologi terdapat
tiga persoalan pokok sebagai berikut:
1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang
benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di
luar pikiran kita. Jika ada, apakah kita dapat mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat
memebedakan yang benar dari yang salah.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
70

Perbedaan antara epistemologi, metodologi dan logika terletak pada
cakupan pengertiannya. Epistemologi berkaitan dengan teori pengetahuan pada
umumnya, sehingga ia memiliki pengertian yang paling luas. Tercakup dalam
pengertian itu adalah metodologi. Metodologi tak lebih dari kajian mengenai tata
cara dan teknik-teknik ilmiah untuk memperoleh sebuah jenis pengetahuan, yaitu
pengetahuan ilmiah sebagian dari tata cara itu adalah logika, yaitu salah satu jenis
dari metode ilmiah yang terdiri dari asas-asas dan aturan-aturan penyimpulan yang
sah (Saputra, 2011, hal. 99-100).
Jadi, yang dimaksud dengan epistemologi adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan.
Epistemology meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Menurut Prof. Kunto, akal (verstand), akal
budi (vernun) pengamalan, atau kombinasi antara akal dan pengalaman,
merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemology seperti rasionalisme,
empirisme, kritisisme, positivisme, fenomenalogi dengan berbagai variasinya.
Dalam tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk
epistemology yang berkembang, yakni: epistemologi bayani, epistemologi irfani,
dan epistemologi burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan,
pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti
pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad.


3. Aksiologis dalam Perspektif Filsafat Ilmu Dakwah
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda
dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di
satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi objektif di pihak lain. Aksiologi
adalah perluasan dari cabang etika tradisional. Etika memusatkan perhatiannya
pada nilai-nilai moral, aksiologi memperluas diri dengan memusatkan
perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika radisional diartikan sama
dengan baik dan jahat, sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas
lagi meliputi baik dan buruk/jahat (dalam pengertian etika), indah dan jelek (dalam
pengertian estetika), serta benar atau salah (dalam pengertian logika). Aksiologi
adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya (Hadi, 2011,
hal 100).

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
71

Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, aksiologi dapat dipahami
sebagai bidang telaah terhadap ilmu yang mempertanyakan tujuan ilmu: apakah
teori ilmu itu hanya merupakan penjelasan objektif terhadap realitas atau teori
ilmu merupakan pengetahuan untuk mengatasi berbagai masalah yang relevan
dengan realitas bidang kajian ilmu yang bersangkutan. Tujuan dasar ilmu menurut
beberapa ahli tidak selalu sama, seperti dikutip, Fred Kerlinger berpendapat bahwa
tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi
Bronowsky tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario
Bunge tujuan ilmu adalah lebih dari sekedar menemukan kebenaran. Akan tetapi,
juga mendapatkan kesejahteraan dan kekuasaan. Menurut Mahdi Ghulsani (1986)
tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan ilmu dakwah
dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Quran yang relevan, adalah untuk
menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran (QS. Fushilat: 53),
mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran (QS. Al-Dzariyat: 56), dan
merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam/Rahmatan lil Alamin (QS. Al-
Anbiya: 107) (Saputra, 2011, hal 130).
Aksiologis berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu
Dakwah yang secara etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami
kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan
aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat
ditemukan pada argumen yang dapat menjawab sejauh mana dakwah memiliki
kriteria sebagai ilmu. Kriteria tersebut mencakup: pertama, sejauh mana dakwah
memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilmu yang menyampaikan dan
mengajak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu (Hadi, 2011, hal
130).
Kejelasan struktur menjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak
disampaikan oleh Ilmu Dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran
transendental yang sering “tidak terjangkau” oleh sudut pandang ilmiah yang
secara mayoritas dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan
Ilmu Dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara sistematik. Ketiga,
menyangkut pertanggungjawaban metodelogis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu
pengetahuan disamping harus dapat menjelaskan apa yang menjadi obyek
kajiannya atau obyek materialnya, juga harus dapat mempertanggungjawabkan
sudut pandang atau obyek formal yang dipakai memahami obyek kajiannya.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
72

Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat mempertanggungjawabkan
produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas keterkaitan antara
premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi
landasan aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologis yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam
realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi “rahmatan
lil alamin”.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
1. Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam
menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
2. Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
3. Membangun dan mengembalikan tujuan hidup manusia, meneguhkan fungsi
khilafah manusia menurut Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah
dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa
depan umat dan peradaban Islam.
Dakwah di Era Komunikasi Digital
Komunikasi berkembang dari masa ke masa. sejarah komunikasi diperkirakan
dimulai sejak sekitar 35.000 tahun sebelum Masehi (SM). Pada zaman ini, yang
disebut sebagai zaman Cro-Magnon, bahasa sebagai alat berkomunikasi sudah
dikenal (Efendi, 2021, hal. 242). Dari situ komunikasi terus berevolusi. Menurut
Ahmad Sultra Rustan dan Nurhakki Hakki (2017) komunikasi berevolusi dalam
beberapa era, yaitu:
1. Era komunikasi tertulis (sejak 4000 SM), dimulai dari ditemukannya tulisan
bangsa sumeria pada tahun 4000 SM
2. Era komunikasi tercetak (sejak 1456 M), dimulai sejak kitab suci dicetak dengan
cetakan besi oleh Gutenberg pada tahun 1456
3. Era telekomunikasi (sejak 1844 M), dimulai sejak Samuel Morse mengirim
telegram untuk pertama kalinya pada tahun 1944
4. Era Komunikasi Interaksi (sejak 1946 M), dimulai sejak komputer ENIAC
dengan 18.000 tabung dibuat di Universitas Pensylvania.
Berdasarkan keterangan tersebut, bisa kita simpulkan bahwa era sekarang,
keempat komunikasi tersebut dilakukan secara bersamaan. Melalui keempat era

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
73

tersebut, cara penyampaian pesan dalam berdakwah mengalami banyak variasi.
Namun secara garis besar, dari segi cara menyampaikan pesan, menurut Kamaludin
(2020) ada tiga, yaitu:
a. Dakwah Bil-Hal (Komunikasi Non-Verbal), yaitu komunikasi dakwah yang
disampaikan melalui sikap, perilaku dan perbuatan, baik berbentuk gerak tubuh,
mimik dan bahasa isyarat yang tampak dalam amal-amal shaleh dan keteladanan.
Dengan demikian Dakwah bil-hal tidak menggunakan kata-kata dalam
menyampaikan pesan. Di era komunikasi digital, dakwah non-verbal adalah
mengamati perilaku-perilaku tokoh nyata melalui media sosial seperti youtube
atau mengambil hikmah dari tokoh fiktif seperti film melalui layanan streaming.

Gambar 2. Dakwah bil hal melalui film atau serial via streaming vidio
b. Dakwah bil- lisan (Komunikasi Lisan), komunikasi Dakwah bil- lisan adalah
dakwah yang disampaikan melalui kata-kata seperti ceramah, pidato, khuthbah,
khutbah dan diskusi. Komunikasi lisan dapat melalui ungkapan kata-kata dan juga
melalui tulisan. Dalam ilmu komunikasi, dakwah yang menggunakan lisan
(langsung) disebut dengan komunikasi verbal. Di era komunikasi digital, Dakwah
bil- lisan bisa dilakukan melaui youtube, zoom meeting, google meet, atau melalui
whatshap video conference.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
74


Gambar 2. Dakwah dalam era digital dengan jutaan penonton
c. Dakwah bil- Kitabah (Komunikasi Tulis), da’wah bil- kitabah adalah dakwah yang
di sampaikan dengan kata-kata yang dituliskan. Oleh karena itu bentuk dakwah ini
termasuk komunikasi verbal yang disampaikan melalui tulisan. Bentuk ini telah
dipergunakan nabi Muhammad SAW. untuk mengajak raja – raja dari beberapa
negara supaya masuk Islam. Sedikitnya ada delapan surat yang dikirimkan nabi
kepada kepala negara yang isinya mengajak mereka supaya masuk Islam.
Komunikasi dengan tulisan dikembangkan dengan bantuan teori Jurnalistik.
Dakwah bil-kitabah dapat berbentuk tulisan-tulisan ilmiah, sastera atau bunga
rampai yang dimuat dalam Jurnal, buku, majalah, brosur, surat kabar dan buletin.
Salah satu kelebihan dakwah bil- kitabah ialah jangkauan tulisan yang luas dan
kurun waktu yang relatif lama. Di era komunikasi digital, Dakwah bil- lisan bisa
dilakukan melalui facebook, Instagram, telegram, dan lainnya.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
75


Gambar 3. Contoh dakwah bil kitabah di Instagram



D. PEMBAHASAN
Ontologi dalam Filsafat Dakwah di Era Komunikasi Digital
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup wujud yang
menjadi objek penelaahan (objek formal pengetahuan) serta penafsiran tentang
hakikat realitas dari objek formal tersebut. Objek formal ilmu kauniyyah ada dua:
alam semesta dan manusia. Objek yang terakhir dapat dilihat dari dimensi individual,
komanual, dan temporal. Masing-masing objek, lingkup penelaahan keilmuannya
dibatasi pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia, baik

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
76

secara empiris (QS. An-Nahl: 78) maupun secara hermeneutis (QS. Al-Hajj: 46).
Hakikat realitas dari masing-masing objek formal ditafsirkan sebagaimana adanya.
Ontologi dalam dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang
wujud hakikat dakwah islam dalam mengkaji problem ontologis dakwah yang juga
menjadi perhatian filsafat dakwah selain ilmu-ilmu lainnya. Landasan ontologi adalah
menelaah apa yang hendak diketahui melalui penelaahan itu, dengan kata lain apa
ynag menjadi bidang-bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka
ilmu dakwah mengatasi dirinya kepada masalah-masalah yang empirik dan pemikiran
yang tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, agama, pemikiran
budaya, estetika dan lainnya yang akan diuji. Berdasarkan objek yang ditelaah, maka
ilmu dakwah daapt disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empiric
maupun pemikiran (Hadi, 2011, hal. 101).
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai
ilmu pengetahuan yang sifatnya empirik maupun pemikiran, dimana obyek-obyek di
luar jangkauan manusia tidak termasuk di dalam bidang kajian atau telaah ilmu
tersebut. Secara garis besar ilmu dakwah mempunyai tiga asumsi mengenai
obyeknya yaitu asumsi pertama oyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu
sama lain, asumsi yang kedua bahwa kegiatan ilmu dakwah disamping
menyampaikan ajaran Islam juga mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam suatu
kegiatan tertentu. Asumsi ketiga bahwa suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian
yang bersifat kebetulan. Disamping asumsi tersebut dakwah memiliki dua aspek
pokok yaitu aspek fenomental dan aspek struktural. Aspek fenomental menunjukkan
ilmu dakwah mengejawantah dalam bentuk masyarakat, proses dan bentuk. Dalam
aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu dakwah disebut sebagai ilmu pengetahuan
apabila di dalamnya terdapat unsur-unsur :
1) Sasaran yang dijadikan obyek untuk diketahui.
2) Obyek sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara tanpa mengenal
titik henti.
3) Ada alasan mengapa obyek itu terus menerus dipertanyakan.
4) Jawaban yang diperoleh kemudian disusun menjadi suatu kesatuan sistem (Hadi,
2011, hal. 102-103).
Berdasarkan keempat unsur tersebut, di era komunikasi digital, ontologi
berupa hakikat tentang keberadaan dakwah dalam komunikasi da’i dengan mad’unya.

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
77

Misal dakwah melalui youtube. Jika kita uraikan maka ontologi yang kita temukan
sebagai berkut:
1) Sasaran yang dijadikan obyek adalah dakwah youtube. Maka kita harus tahu
dulu hakikat dari dakwah juga hakikat dari youtube.
2) Setelah mengetahui obyeknya, maka kita terus mempertanyakan mengenai
obyek itu tanpa henti, misalnya apa itu dakwah youtube, bagaiman cara
mengoperasikan youtube, apa saja syarat untuk berdakwah di youtube,
mengapa harus melalui youtube, mengapa harus berupa dakwah, apa saja jenis-
jenisnya, dan sebagainya.
3) Terdapat alasan mengapa obyek itu terus dipertanyakan, yaitu untuk
mengetahui hakikat dari dakwah di youtube.
4) Seluruh jawaban-jawaban tersebut kemudian dirangkai sehingga menjadi satu
kesatuan, yaitu filsafat mengenai dakwah di youtube.
Epistimologi dalam Filsafat Dakwah di Era Komunikasi Digital
Epistemologi bayani secara etimologis mempunyai pengertian atau
penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis bayani berarti
pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad. Dalam dakwah islam, teks
atau nash Al-Qur’an khususnya yang merupakan sumber utama sebagai tolak ukur
dan titik tolak dari seluruh kegiatan dakwah islam yang dilakukan oleh para juru
dakwah islam. Oleh karena itu secara origin, maka epistemologi bayani merupakan
bentuk dari sumber pengetahuan ilmu dakwah itu sendiri (Hadi, 2011, hal 113).
Irfani pola pikirnya berpangkal pada dzat, qalb atau intuisi. Pada dataran
ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap
sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan
perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional. (Hadi,
2011, hal 119).
Epistemologi burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk
menetapkan kebenaran proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara
mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik.
Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan
puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan
analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
78

burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah
epistemologi bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash
(Al-Qur’an dan As-Sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara
keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih
tetap, mutlak, dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari
realitas, termasuk didalamnya ilmu sosial, alam, dan kemanusiaan. Pada dataran
ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki
karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah
berdasarkan paradigma dakwah itu sendiri (Supena, 2008, hal.125-126).
Berdasarkan ketiga epistimologi tersebut, dalam era komunikasi digital,
epistomologi tersebut di diaplikasikan sebagai berikut:
1. Epistimologi bayani, berupa sumber yang digunakan dalam berdakwah di
media sosial. Sumbernya tentu saja berdasarkan al-Quran dan hadits
2. Epistimologi irfani, berupa intuisi dari da’i. dalam hal ini para da’i harus bisa
mentransformasikan diri dalam menyampaikan isi al-quran dan hadits ke
dalam ruangan dengan sedikit atau tanpa penonton, namun pada hakikatnya,
mad’u bisa menyaksikannya di rumah masing-masing.
3. Epistimologi burhani, berupa aktifitas intelektual. Di mana da’i bisa berhasil
mempengaruhi mad’u untuk melakukan aktifitas agama atau mempraktikan
ajaran agama yang disampaikan melalui ranah digital.
Aksiologi dalam Filsaafat Dakwah di Era Komunikasi Digital
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan
ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda:
1. Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan
atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah aktivitas konkrit. Sebagai ilmu,
kriteria keilmuan seperti struktur yang jelas, sistematika, metodologi serta alur
pikir yang “maton” terargumentasikan. Sebagai objek kajian harus jelas pula sudut
tinjauan maupun disipilin keilmuan yang dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai
praktik yang harus dimiliki persyaratan tertentu dalam pelaksanaannya.
2. Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
79

a. Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu
tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan
kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b. Di dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan komunitas Islam yang
“bersaing”. Sunni, Syi’i dan Khariji yang masing-masing mengklaim
monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam pendekatan dakwah adalah
dilakukan dialog terus menerus dengan menjernihkan mana masalah yang
bersifat substansial. Sehingga dakwah berarti mencegah terjadinya
perselesihan besar di kalangan umat atau al-fitnah al-kubra.
c. Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab,
orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau
diperangi tergantung kondisi yang ada.
3. Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan
monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan
beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya
menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya pada pengertian dakwah
sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu pengetahuan.
Aksiologi merupakan nilai. Jadi, berdasarkan ketiga hal tersebut, dalam
era komunikasi digital nilai-nilai dakwah bisa kita implementasikan sebagai
berikut:
1) Da’i wajib menguasai dulu ilmunya. Sedangkan mad’u harus selektif dalam
memilih da’inya. Era komunikasi digital rawan akan fenomena ustadz
instan, yaitu pakar agama yang pintar dalam berkomunikasi namun dangkal
ilmu agamanya disebabkan ilmu yang dia dapat bukan melalui pesantren
dalam waktu yang lama. Sehingga perlu dipertanyakan sanad keilmuannya.
2) Da’i dan mad’u sama-sama harus menyadari bahwa pengguna digital itu
sangat beragam, jadi tidak bisa memaksakan kepercayaan satu ke
kepercaaan lainnya.
3) Da’i dan mad’u keduanya harus sama-sama menyadari bahwa hakikat
dakwah adalah ajakan. Saat da’i melakukan dakwah, maka harus siap
menghadapi macam-macam mad’u. untuk itu perlu membuat ruang dialog
dalam digital. Misal dakwah di youtube, da’i harus bisa merespon beragam
komentar atau pertanyaan dari para mad’u yang bermacam-macam.
E. KESIMPULAN

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
80

Filsafat Ilmu dakwah dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan meliputi tiga
landasan yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi.
Dengan landasan ontology dapat disimpulkan bahwa ilmu dakwah menelaah tentang
obyek manusia yang berkaitan dengan penyebaran dan ajaran agama islam bagi
kehidupan.
Sedangkan pemahaman dakwah tanpa epistemologi maka akan menyebabkan
pemahaman dakwah islam menjadi dangkal dan bahkan penganutnya terjebak dalam
formalismme dan dan fanatisme sempit, sebaliknya jika pemahaman dakwah dengan
epistemology maka akan mengantarkan dakwah pada pemahaman yang bersifat
essensial dan mendalam, sehingga terhindar dari konflik yang diakibatkan oleh
banyak aliran yang berkembang.
Setelah meliputi dari ontologi dan epistemologi dalam memahami ilmu
dakwah maka yang terakhir adalah landasan aksiologi, dengan landasan aksiologi kita
dapat mengetahui nilai, makna dan fungsi dari ilmu dakwah tersebut
Daftar Pustaka
Ahmad, Amrullah (1996) Dakwah Islam Sebagai Kajian Epitimologi dan struktur
Keilmuan Dakwah. Medan: Fakultas Dakwah IAIN Sumatra Utara.
Asror, Ahidul. (2018) Paradigma Dakwah Konsepsi dan Pengembangan Ilmu.
Yogyakarta: LKIS.
Efendi, Bukran. (2017). “Dinamika Komunikasi (Telaah atas Sejarah, Perkembangan
dan Pengaruhnya terhadap Teknologi Kontemporer)” EL-HIKAM: Jurnal
Pendidikan dan Kajian Keislaman 14(2):236-264.
Fasadena, N. S. (2018). “Kritik Filsafat Ilmu Terhadap Komunikasi Pengetahuan
Modern.” IJIC: Indonesian Journal of Islamic Communication, 1(2), 1-21.
https://doi.org/https://doi.org/10.35719/ijic.v1i2.150
Hadi, Sofyan. (2011). Ilmu Dakwah dari Konsep Paradigma Hingga Metodologi.
Jember: CSS.
Kamaluddin. (2020). “Bentuk-Bentuk Komunikasi dalam Perspektif Dakwah Islam.”
Tadbir Jurnal Manajemen Dakwah 2(2): 255-268.
Nasution, Harun. (1973). Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Rustan, Ahmad Sultra dan Hakki, Nurhakki. (2017) Pengantar Ilmu Komunikasi.
Sleman: Penerbit Deepublish

JISAB
The Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Vol. 2 No. 1 Agustus 2022
81

Saputra, Wahidin. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Supena, Iyas. (2008). Desain Ilmu-Ilmu Keislam an. Semarang: Walisongo Press.
Suriasumantri, Jujun S. (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan