ISBN: 978-623-97824-4-3 E-ISBN: 978-623-97824-5-0

Dr. Azizul Kholis, SE, M.Si, M.Pd, CMA, CSRS
Dr. Nasirwan, SE, M.Si, Ak, CA
Sulaiman Lubis, SE, MM
Anggriyani, SE, M.Si, Ak, CA











Economic & Business
Publishing

MODEL TRIPLEHELIX DALAM KEGIATAN
COPORATE SOCIAL RESPOBSIBILITY

Penulis : Dr. Azizul Kholis, SE, M.Si, M.Pd, CMA, CSRS
Dr. Nasirwan, SE, M.Si, Ak, CA
Sulaiman Lubis, SE, MM
Anggriyani, SE, M.Si, Ak, CA

Copyright © 2021, Pada Penulis
Hak Cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Penata Letak: Sutrisno, SE
Perancang Sampul: Ariz Muflih Muttaqi

Diterbitkan Oleh:
Economic & Business Publishing
Jalan Willem Iskandar Pasar V
– Kotak Pos No. 1589 Medan
Telp. (061) 6613365
Fax. (061) 6614002, 6613319
Contact Person: 081370294404

ISBN : 978-623-97824-4-3
E-ISBN : 978-623-97824-5-0

Cetakan Pertama: Agustus 2021






Economic & Business
Publishing

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku
“Model Triplehelix dalam kegiatan CSR”. Buku ini menggambarkan
bagaimana bentuk implementasi CSR sesuai dengan model
triplehelix. Ruang lingkup pembahasan Buku ini mencakup Konsep
dasar Triplehelix, peran pemerintah dalam implementasi CSR, Peran
Perusahaan dan Masyarakat, serta dampak implementasi CSR.

Buku ini disajikan dengan bahasa yang sederhana dan
menggambarkan inti dari penerapan CSR, karena itu kehadiran buku
ini dapat membuka wawasan tentang CSR bagi para akadaemisi dan
praktisi yang konsen dibidang ini, buku ini telah direvisi berulang kali
namun penulis masih membuka peluang kritikan demi kesempurnaan
buku ini sehingga menambah kasanah keilmuan dibidang pengelolaan
Corporate Social Responsibility.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan buku ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan buku
ini. Kami
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu proses penyelesain buku
ini.
Medan, Agustus 2021

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................
ii
BAB I KONSEP DASAR TRIPLE HELIX ............................. 1

BAB II PERAN PEMERINTAH ..............................................
11
BAB III PERAN PERUSAHAAN ...........................................
23
BAB IV
PERAN PERGURUAN TINGGI ............................... 31
BAB V HUBUNGAN PEMERINTAH, PERUSAHAAN
DAN MSYARAKAT .................................................
40
BAB VI MPLEMENTASI CSR ...............................................
49
BAB VII KEBIJAKAN CSR DAN RISIKO
KEUANGAN ................................................................ 60
BAB VIII DAMPAK CSR DALAM PEREKONOMIAN .......
71
BAB IX
MENGOPTIMALKAN CSR ..................................... 83
BAB X TANTANGAN BARU YANG MUNCUL
DARI PRAKTIK CSR .............................................
91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 101
APENDIX .................................................................................
102
TENTANG PENULIS

1

BAB I KONSEP DASAR TRIPLE HELIX

1.1. Pengertian Triple Helix
Teori Triple Helix, yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan
Leydersdorff (1995), adalah suatu pendekatan dalam
menciptakan sinergi kerjasama dari tiga aktor yaitu akademik
(A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun ekonomi
berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sinergi
yang terbangun diharapkan dapat muncul sirkulasi pengetahuan
antar aktor yang terlibat untuk melahirkan berbagai inovasi
pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikapitalisasi atau
ditransformasi menjadi produk maupun jasa yang memiliki nilai
ekonomis. Dalam perkembangan empirisnya di berbagai belahan
dunia muncul berbagai aktor-aktor diluar unsur ABG yang
disebutkan tadi yang ikut memberi pengaruh signifikan bagi
dinamika interaksi ketiganya. Dengan adanya aktor-aktor yang
muncul kemudian ini diperlukan suatu model yang merupakan
pengembangan dari model Triple Helix, sebagai pisau analisis
dalam mengembangkan berbagai model kebijakan kerjasama
knowledge-based economy. Leyd ersdorff (2012) berpandangan
bahwa model Triple Helix secara teoretis dapat diekspansi
menjadi model-model quadruple-helix, dan seterusnya hingga n-
tuple helix tanpa ada batasan. Meski demikian juga Leydersdorff
(2012) memberi catatan bahwa atas alasan metodologis
hendaknya pengembangan model Triple Helix dilakukan secara

2

bertahap sesuai kebutuhan agar memberikan daya penjelas. Lucy
Yang Lu (2008) dan Etzkowitz (2008) mengemukakan ada tiga
tahap munculnya model inovasi Triple Helix yaitu:
1)Transformasi internal masing-masing heliks; 2) Pengaruh satu
heliks terhadap yang lain; 3) Penciptaan hamparan baru jaringan
trilateral; 4) Organisasi dari interaksi di antara ketiga heliks
tersebut. Menurut Etzkowitz dan Ranga (2008), proses evolusi
dalam model triple helix melibatkan transisi dari tahap 'statist' di
mana pemerintah mengontrol akademisi dan industri, ke
hubungan negara laissez-faire antara ketiga lingkup institusional;
dan akhirnya ke tahap hibrida di mana setiap lingkup
institusional menyimpan karakteristik khasnya sendiri, dan pada
saat yang sama mengambil peran yang lain.
1.2. Konsep Triple Helix
Keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya
tidak terlepas dari strategi, inovasi, implementasi serta evaluasi
yang berkelanjutan, dibutuhkan sebuah sistem yang mampu
mengakomodir dan mempercepat proses dari strategi yang telah
ditetapkan. Hubungan antar aktor dan akibat dari pola interaksi
yang terjadi dalam sistem akan membentuk suatu pola atau
konsep (pattern), salah satunya adalah konsep triple helix. Dalam
pandangan Etzkowitz (2003), Triple Helix diperlukan untuk
menjelaskan model interaksi universitas, industri, dan
pemerintah. Analisis Triple Helix menyatakan bahwa interaksi
tersebut adalah kunci untuk meningkatkan kondisi bagi inovasi
masyarakat berbasis pengetahuan. Pada Triple Helix, industri

3

beroperasi sebagai lokus dari produksi, pemerintah sebagai
sumber hubungan kontraktual yang menjamin interaksi dan
pertukaran yang stabil, dan universitas sebagai sumber
pengetahuan dan teknologi baru, juga prinsip generatif ekonomi
yang berbasis pengetahuan. Lembaga utama itu bertujuan untuk
memenuhi masyarakat, dan institusi lain bergantung untuk
memenuhi misi mereka. Industri dan pemerintah juga demikian
dalam masyarakat modern. Menurut Mills (1958), universitas
ditingkatkan dengan kesetaraan status dalam masyarakat
berbasis pengetahuan, berbeda dengan konfigurasi kelembagaan
sebelumnya dengan menempati posisi status sekunder.
Triple Helix menunjukkan transformasi dalam hubungan
antara universitas, industri dan pemerintah serta di dalam
lingkaran ini masing-masing. Sebagai institusi yang ―mengambil
peran lain'', kompetisi secara tradisional dari lembaga tidak
berfungsi.
Triple Helix bersaing secara simultan dan lingkup
kelembagaan yang bekerja sama berbeda dari situasi dengan
cakupan dengan industri yang mencakup negara dan universitas
pada era ketika industri dominan dimiliki oleh negara. Ini juga
berbeda dari bidang kelembagaan yang terpisah, setidaknya
secara teori mengikuti prinsip-prinsip laissez-faire. Dari salah
satu titik awal ini, ada gerakan menuju model global baru untuk
analisis inovasi yang dinamis.
Di samping itu, demikian ditegaskan Etzkowitz et al. (2000)
serta Etzkowitz dan Leydesdorff (1999), salah satu model yang

4

dapat menafsirkan perubahan tersebut adalah model Triple
Helix. Triple helix dari hubungan universitas, industri,
pemerintah melampaui model-model sebelumnya dari hubungan
kelembagaan, apakah laissez-faire atau sosialis, dengan aspek
ekonomi atau pemerintahan yang mendominasi, atau dengan
sektor pengetahuan yang memainkan peran tambahan. Model
triple helix berupaya untuk menjelaskan konfigurasi baru
tentang kekuatan institusional yang muncul dalam sistem
inovasi, baik melalui penurunan totalitas pemerintah atau
pembukaan korporasi yang sepihak.
Ketika pengetahuan menjadi bagian yang semakin penting
dari inovasi, universitas sebagai lembaga penghasil dan penyebar
pengetahuan akan memainkan peran yang lebih besar dalam
inovasi industri. Sebelumnya, kegiatan ini sebagian besar sebagai
wujud kelestarian industri atau pemerintah yang tergantung
pada sistem sosial, hal itu merupakan interaksi bilateral antara
kedua bidang kelembagaan ini. Sebelumnya, kebijakan industri
berfokus pada hubungan pemerintah-bisnis, baik dengan
meningkatkan 'iklim usaha' dengan pajak yang lebih rendah, atau
dengan memengaruhi keputusan lokasi melalui subsidi (Jaelani,
2018). Dalam ekonomi berbasis pengetahuan, universitas
menjadi elemen kunci dari sistem inovasi baik sebagai penyedia
modal manusia dan pembentuk perusahaan baru. Tiga bidang
institusional meliputi publik, swasta, dan akademis, yang
sebelumnya beroperasi sebagai kepanjangan tangan dalam
masyarakat laissez-faire, semakin terjalin dengan keterkaitan

5

pola spiral yang muncul pada berbagai tahap proses inovasi dan
pembuatan kebijakan industri.
Dalam pandangan Etzkowitz (2003), ada 10 proposisi pada
tesis Triple Helix. Pertama, pengaturan dan jaringan di antara
lembaga Triple Helix yang secara nasional menyediakan sumber
inovasi daripada sebagai pengelola tunggal. Inisiatif baru muncul
dari jaringan ini menjadi sumber kebijakan inovasi di tingkat
nasional dan supranasional. Inovasi adalah fenomena yang lebih
luas. Penelitian akademik sekarang semakin bersinggungan
dengan kemajuan industri dan kebijakan pembangunan ekonomi
pemerintah. Pemerintah dengan demikian menjadi mitra dalam
proses pembuatan kebijakan sebagai hasil dari interaksi di antara
agen Triple Helix.
Kedua, penemuan inovasi organisasi, pengaturan interaksi
sosial baru, dan interaksi saluran baru yang sama pentingnya
sebagai kreasi perangkat fisik dalam mempercepat tuntutan laju
inovasi. Mekanisme organisasi baru seperti inkubator, taman
sains, dan jaringan di antara mereka menjadi sumber kegiatan
ekonomi, pembentukan komunitas, dan pertukaran
internasional. Mode baru produksi pengetahuan antar disiplin
yang melibatkan mitra Triple Helix, menginspirasi kolaborasi
proyek penelitian dan pembentukan perusahaan.
Ketiga, interaksi antara dinamika linear dan linier terbalik
menghasilkan munculnya model inovasi interaktif. Model linear
dalam transfer pengetahuan ditransformasikan menjadi bantuan
model linier sebagai teknologi yang dihasilkan melalui transfer di

6

dunia akademis oleh kantor lisensi sebagai kekayaan intelektual
dan melalui pembentukan perusahaan pada fasilitas inkubator.
Kebalikannya model linier, mulai dari masalah industri dan
sosial, memberikan titik awal tambahan untuk program
penelitian baru dan pembentukan disiplin. Model interaktif,
terintegrasi penelitian dan praktik, berasal dari AS dengan
pendiri dari Universitas Connecticut pada 1816 sebagai nenek
moyang dari hibah tanah universitas, dengan agen pemerintah
sebagai perantara antara petani dan peneliti.
Keempat, kapitalisasi pengetahuan terjadi bersamaan
dengan pemberian modal. Modal finansial semakin meningkat
dipengaruhi oleh pengetahuan melalui penemuan baru berbagi
risiko dan mekanisme pencarian investasi seperti usaha
perusahaan modal, sehingga memungkinkan modal untuk
mengatasi beberapa kesulitan dan keraguan dalam melakukan
investasi tahap awal. Sama seperti fasilitas inkubator yang dibuat
untuk membantu transformasi pengetahuan menjadi modal,
mekanisme organisasi baru diciptakan dan yang lama, seperti
sistem paten, diperpanjang dari perlindungan kekayaan
intelektual menjadi sumber inovasi baru yang mengubah modal
dan proses penciptaan pengetahuan bersama-sama.
Kelima, pembentukan modal terjadi dalam dimensi baru
sebagai bentuk modal yang diciptakan berbeda dan diubah
menjadi satu sama lain, seperti sosial, budaya, dan intelektual.
Transformasi modal tidak dapat sepenuhnya dipahami dari
perspektif perusahaan individu atau operasi pasar. Bentuk modal

7

baru dibuat berdasarkan interaksi sosial, ―siapa yang kamu
kenal'', dan aktivitas intelektual, ―apa yang kamu ketahui.
Bentuk modal bisa dipertukarkan. Demikian penggalangan modal
finansial didasarkan pada akumulasi intelektual serta modal
sosial. Modal manusia, sosial, dan intelektual didefinisikan ulang
sebagai interaksi universitas yang lebih intensif dengan industri
dan pemerintah.
Keenam, globalisasi menjadi terdesentralisasi dan jaringan
regional terjadi antar universitas serta melalui perusahaan
nasional dan organisasi internasional. Sebagai organisasi inovasi
nasional untuk transfer teknologi berbeda dari satu bagian ke
bagian dunia lainnya, sehingga interaksi lintas wilayah dan
negara dapat memperkuat globalisasi. Saat universitas
mengembangkan interkoneksi, mereka dapat menggabungkan
kepingan diskrit kekayaan intelektual dan bersama-sama
mengeksploitasinya. Konfigurasi baru ini menjadi dasar dari
proses berkelanjutan pembentukan perusahaan, diversifikasi,
dan kolaborasi antar pesaing.
Ketujuh, negara dan wilayah berkembang memiliki
kemungkinan untuk membuat kemajuan pesat dengan
mendasarkan strategi pengembangan pada konstruksi sumber
pengetahuan murni yang didukung oleh ekonomi politik lokal.
Pengaturan politik dan sosial berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan dan transparansi telah meletakkan dasar bekerja untuk
pengembangan cepat di lingkungan yang stabil. Lompatan katak''
untuk melewati beberapa tahap perkembangan dan juga strategi

8

mengejar ketertinggalan investasi langsung dan transfer ke
dalam teknologi. Universitas dan inkubator jaringan dapat
digunakan keduanya untuk mengadaptasi teknologi canggih
dalam memecahkan masalah lokal dan juga untuk bergerak
mengikuti batas penelitian di bidang khusus dan mentransfer
inovasi lokal ke luar negeri.
Kedelapan, reorganisasi di seluruh bidang kelembagaan,
sektor industri, dan negara
-bangsa diinduksi oleh peluang dalam
teknologi baru yang muncul dari sintesis antar inovasi disiplin
keilmuan yang berkelanjutan. Teknologi inovasi membentuk
kembali lanskap dalam hal pengembangan relung dan kluster,
hubungan antara perusahaan dengan ukuran dan jenis yang
berbeda, dan penciptaan sumber publik dan modal swasta
ventura. Perusahaan dibangun dari elemen semua bidang
kelembagaan yang relevan, bukan hanya dari industri itu sendiri.
Perkembangan sosial berubah tak terduga sebagai teknologi baru
yang memperkuat dinamika pembentukan perusahaan dan
sebaliknya. Pembentukan disiplin keilmuan berlangsung melalui
inter-bagian antara interdisiplin sebelumnya serta pemisahan
dari subdisiplin.
Kesemblan, universitas semakin menjadi pengembangan
akademis sumber ekonomi daerah dan institusi akademik yang
berorientasi ulang atau didirikan untuk tujuan ini. Pertumbuhan
industri di sekitar universitas, didukung oleh pendanaan
penelitian pemerintah, telah menjadi ciri khas wilayah dalam
berwirausaha, seperti elektronik dan semi konduktor oleh

9

industri Silicon Valley. Profil pengembangan ekonomi berbasis
pengetahuan selanjutnya dibesarkan oleh pendiri Genentech dan
perusahaan bioteknologi lainnya oleh akademisi dan modal
venturatalis pada 1980-an. Ada juga inisiatif untuk
mengembangkan situs greenfield lainnya, seperti exurban Long
Island, tempat New York State Universitas di Stony Brook dibuat
industri bioteknologi dari sumber daya penelitian yang tersedia
di kampus kedokteran baru.
Kesepuluh, kemampuan untuk melakukan transisi dari satu
paradigma teknologi keparadigma yang lain sebagai potensi
pengelola sebelumnya menjadi kelelahan adalah ciri khas
wilayah Triple Helix. Keluasan universitas berbasis riset atau
beberapa ilmu yang berinteraksi menghasilkan lembaga, dengan
investasi strategis dalam kemunculan lokasi penelitian dengan
potensi ekonomi, didukung oleh inisiatif pemerintah, dan
menyediakan dasar untuk pergeseran ini. Sebaliknya, terlalu
sempit basis penelitian atau struktur pendukung yang tidak
memadai, terkadang didasarkan pada kepercayaan sempit bahwa
kesuksesan ekosistem ekonomi sebelumnya sematamata
disebabkan oleh bisnis kewirausahaan, menghambat potensi
transisi. Interaksi Triple Helix, dilembagakan dan diperbarui
lintas generasi teknologi, adalah dasar dari jaringan yang
tampaknya terorganisir oleh inovasi sendiri.
Menurut Yuzhuo Cai (2014), model interaksi Triple Helix
antara universitas, industri dan pemerintah dapat dikaji pada
gagasan Etzkowitz dan Leydesdorff (1997, 1995), di samping

10

variasinya seperti Quadruple Helix oleh Carayannis dan Campbell
(2009) dan Triple Helix Twins oleh Etzkowitz dan Zhou (2006),
yang banyak digunakan sebagai kerangka kerja normatif para
peneliti untuk memahami interaksi antara aktor kunci dalam
sistem inovasi. Ini juga telah menjadi strategi umum pemerintah
dalam mengembangkan kebijakan inovasi. Leydesdorff dan
Etzkowitz (1998) dan Etzkowitz dan Leydesdorff (2000)
menyebutkan bahwa salah satu klaim utama dari tesis Triple
Helix adalah keterkaitan antara akademisi, industri dan
pemerintah dalam memberikan kondisi optimal untuk inovasi.
Namun demikian, banyak kritik atas popularitas model
Triple Helix ini, misalnya studi oleh Balzat dan Hanusch (2004)
dan Shinn (2002), mengkritisi bahwa model Triple Helix kurang
memperhatikan konteks nasional, atau menurut Cooke (2005),
kurang memperhatikan pengaturan sosial lainnya. Oleh karena
itu, kata Mowery dan Sampat (2004), model Triple Helix hampir
tidak dapat memberikan alasan yang tepat di mana kriteria dan
indikator yang terstruktur secara sistematis dapat
dikembangkan untuk meneliti, mengukur, dan membandingkan
berbagai kasus empiris, terutama seperti diungkap Eun et al.
(2006), ketika mereka berada dalam konteks nasional dan
budaya yang berbeda.
1.3. Penerapan Triple Helix
Pada masa sekarang ini, konsep Triple Helix telah banyak
digunakan di negara-negara maju dalam rangka pengembangan
sains dan teknologi melalui kerjasama universitas-industri-

11

pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan.
Pola Triple Helix telah banyak diterapkan di Amerika Serikat,
Negara-negara Eropa, India, Jepang dan China, dan telah
membawa kemajuan pesat dan berkesinambungan dalam
membina kapasitas kemampuan di bidang sains dan teknologi
yang diterapkan dalam dunia industri dan tata laksana
pemerintahan.
Bila dikaji lebih mendalam, berkembangnya pola Triple
Helix ini di negara-negara maju didasarkan pada 3 faktor, yakni :
1) Universitas sebagai gudang ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki sumberdaya manusia yang mampu
melahirkan inovasi di berbagai bidang yang dapat
diterapkan dalam dunia industri,
2) Pemerintah sangat mendorong universitas melalui bantuan
dana riset, dan fasilitas lainnya untuk menghasilkan karya
bermutu, dan mengatur perlindungan dan penggunaan hak
cipta, dan
3) Industri memberikan dukungan kepada universitas baik
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan maupun
penggunaan hasil riset secara berkesinambungan.
Dengan melihat fakta ini, perguruan tinggi bukanlah
me­nara gading di tengah arus pem­bangunan, tetapi harus
mam­pu mengembangkan diri sebagai bagian integral dari
pro­ses pembangunan itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan
Etzkowitz (2007) dalam karya ilmiahnya The Triple Helix Model
of Innovation and Action : “university is not only critical to the

12

commercial transformation of knowledge, but also to create
space for knowledge, assembling and innovation”.
Oleh sebab itu, pemerintah, perusahaan (dunia usaha dan
dunia Industri) perguruan tinggi harus membenahi dirinya
masing masing sesuai dengan perannya, sehingga mampu
memberikan pelayanan, pengaturan, melakukan pengembangan
kapasitas ilmu dan teknologi, dan dapat menciptakan strategi
pembangunan yang dipandu universitas.
Beberapa contoh aplikasi Triple Helix di Indonesia yang
pernah dicatat adalah produk padi unggulan hasil kerjasama IPB
dengan Balitbang Departemen Pertanian, produk plat baja tahan
peluru untuk kenderaan militer hasil kerjasama ITB dengan
Dephankam, Disain kapal kargo kerjasama ITS dan PT PAL, dan
lain-lain.

13

BAB II PERAN PEMERINTAH
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat, hal ini
akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan
organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard
Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan
CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar,
keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR,
menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi.
Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR
membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum,
dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil
peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi
hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus
berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR
(Corporate Social Responsibilty).
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan
yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi
penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam
upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses
interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar
terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan
proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang
lain.

14

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang dikenal
dengan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
strategi bisnis perusahaan agar tetap hidup dalam masyarakat.
Sebab, dengan CSR perusahaan berharap akan mendapat
keuntungan investasi di masa mendatang.
Menurut Direktur CSR Universitas Trisakti Maria R Nindita
Radyanti, CSR adalah investasi perusahaan dalam jangka panjang
dan merupakan strategis sesuai bisnis intinya. "Bukan hanya
sekedar alat public relation maupun marketing, tapi sebagai
rangkaian manajemen produksi, sumberdaya hingga
pemasaran," katanya. Prinsipnya kata dia, dalam mengambil
keputusan perusahaan bertujuan mencapai kesejahteraan
internal dulu baru kemudian menyebarkan kesejahteraan di luar.
"Di sini, CSR merupakan kegiatan sukarela (voluntary) kepada
masyarakat di luar perusahaan," tutur Maria.
Di beberapa negara, CSR dilakukan untuk kelancaran bisnis
dan harus dilaporkan sebagai bentuk pengawasan," sembari
menambahkan pengawasan CSR di Indonesia yang lebih ketat
berasal dari lembaga swadaya masyarakat ketimbang
pemerintah.
CSR merupakan strategi perusahaan dalam meningkatkan
penghargaan masyarakat kepada perusahaan, membangun ciri
khas (brand), dan kapasitas produksi yang berkelanjutan.
Penerapan CSR berdasarkan ISO 26.000 yang dipakai sebagai
standar banyak negara. Konsep CSR disusun berbagai pemangku

15

kepentingan berdasarkan hukum yang berlaku sesuai kultur dan
kondisi masyarakat.
Sebelum semua memberlakukan, harus ada studi
keilmiahan dahulu apakah CSR sudah bisa diterapkan atau CSR
dilakukan per sektor ataupun melalui keputusan menteri negara
BUMN.
Steurer (2009) memberikan beberapa alasan kenapa
pemerintah memiliki kepentingan di dalam isu CSR. Pertama hal
tersebut sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan(sustainable development). Motivasi pertama ini
berkaitan dengan politik luar negeri seperti program
pengembangan sumber daya manusia (human development
program).Alasan kedua adalah, kebijakan CSR dianggap
sebagai pelengkap yang menarik dalam peraturan yang lain
misal di Indonesia dalam undang-undang Perseroan Terbatas,
dalam hal ini pemerintah dapat menunjukkan kepeduliaanya
pada isu sosial dan lingkungan meskipun peraturan tentang
tanggung jawab sosial perusahaan ini hanya mendapatkan
porsi yang sangat sedikit didalam undang-undang tersebut.
Ketiga adalah, pelaksanaan CSR masih sebatas pada asas
sukarela (voluntary basis) sehingga pemerintah perlu
memberikan penekanan agar pelaksanaan CSR lebih mendapat
fokus perhatian dari perusahaan. Alasan keempat adalah,
banyak pendekatan dalam pelaksanaan CSR menggunakan
konsep partnership program (program kemitraan) sehingga
akan membuka potensi keterlibatan masyarakat secara

16

luas dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini sangat
berkaitan dengan pengelolaan hubungan dan peran dengan
pemangku kepentingan secara luas misalnya bisnis,
pemerintah dan masyarakat sipil.
Menurut Fox et al. (2002) Bank Dunia telah memberikan
kategori peran pemerintah dalam mensupport CSR ke
dalam lima kategori seperti dalam tabel1. Fox et al (2002)
mendeskripsikan peran sektor publik yang dapat di adopsi oleh
pemerintah dalam isu CSR yaitu mandatory(peran legislasi),
facilitating(missal; petunjuk dalam hal kontenpelaporan CSR),
partnering (proses penguatan dengan multi-stakeholder), dan
endorsing (publikasi dan pemberian penghargaan).
O’Rouke (2004) memberikan penjelasan lebih detail
tentang kategori peran pemerintah diatas. Pertama,
peran mandatingadalah ketika pemerintah secara legal
memeberikanmandat melalui undang-undang atau peraturan
pemerintah. Sehingga pemerintah dapat melakukan
pengawasan dari segi pelaporan CSR baik evaluasi laporan
maupun melakukan cross checkterhadap isi laporan. Kedua
adalah facilitatingketika pemerintah memberikan suatu
rujukan atau guidelinesdalam pelaksanaan maupun pelaporan
CSRdan penyebarluasan informasi CSR. Ketiga
adalahpartneringyang mana pemerintah terlibat dalam proses
promosi inisiatif kerjasama multi-stakeholder atau kerjasama
dengan masing-masing perusahaan. Dengan kata lain pemerintah
dapat menjadi fasilitator dialog antar pemangku kepentingan.

17

Keempat adalah peran endorsing dalam hal pelaporan program
CSR melalui usaha yang positif dalam kerangka transparansi
sebagai contoh adalah pemberian penghargaan CSR.
Pemerintah Indonesia melalui undang-undang
Perseroan Terbatas UU No 40 Tahun 2007 menginsyaratkan
bahwa secara eksplisit peran yang dilakukan pemerintah adalah
pada peran ‘mandating’. Peran mandating yang dilakukan
pemerintah juga tercermin padaperaturan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor Per 05/MBU/2007
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
Menengah (UKM) dan Program Bina Lingkungan (BL). Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil yang disebut
ProgramKemitraan, adalah program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjaditangguh dan
mandiri.Sedangkan Program Bina Lingkunganyang disebut
Program BLadalah programpemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN. Keduanya dilaksanakan melalui
pemanfaatan dana dari bagianlaba BUMNyang secara perturan
menyebutkan bahwa jumlah penyisihan laba untuk
pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari
laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua
persen) dari laba bersih untuk Program Bina
Lingkungan.Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN
meliputi bantuan korban bencana alam, bantuan pendidikan
dan/atau pelatihan, bantuan peningkatan kesehatan, bantuan

18

pengembangan prasarana dan/atau sarana umum, bantuan
sarana ibadahdan bantuan pelestarian alam.

19

BAB III PERAN PERUSAHAAN
Penelitian mengenai peran triple helix untuk memajukan
ekonomi kreatif sudah banyak dilakukan. Penelitian di Inggris
dan Amerika Serikat telah mengidentifikasi pentingnya
perusahaan baru untuk penciptaan lapangan kerja baru. Telah
ditemukan bahwa perusahaan dengan pertumbuhan tinggi
terdapat pada perusahaan yang sudah matang dan melebihi
perusahaan-perusahaan yang didirikan pada penciptaan
lapangan kerja dengan waktu yang lama. Di Amerika Serikat
antara tahun 1997 dan 2005 perusahaan baru berdiri adalah
satu
-satunya sumber bersih kreasi dalam pekerjaan. Di Inggris
diperkirakan bahwa ada 6% hal yang terpenting dari perusahaan
yang menimbulkan pertumbuhan tinggi yang dinamis yang
memberikan kontribusi yang tidak proporsional terhadap
pembangkit perekonomian nasional karena separoh dari
pekerjaan baru yang diciptakan oleh usaha yang ada antara tahun
2002 dan 2008. Oleh karena itu kebijakan Inggris berusaha untuk
memfokuskan sumber daya pada identifikasi dan memelihara
perusahaan pada industri-industri di mana Inggris menikmati
keunggulan kompetitif dengan mengidentifikasi dan
mempercepat sektor industri muncul dan daerah yang
menawarkan janji peluang komersial baru.
Pemeliharaan termasuk mendukung UKM untuk
mengembangkan kemampuan internal mereka untuk
menggunakan pengetahuan dan sumber daya secara efektif
untuk tumbuh. Universitas merupakan bagian dari agenda

20

kewirausahaan nasional untuk berkontribusi. Penekanannya
adalah pada aliran ketiga atau kegiatan misi ketiga yaitu
meningkatkan kecepatan dan dampak kegiatan bertualang
berbasis pengetahuan dari entrepreneurial university
(Etkzowitz1983). Memang, komersialisasi penelitian melalui
kegiatan transfer teknologi lainnya telah didukung oleh sumber
daya keuangan publik yang signifikan (Sainsbury 2007, DIUS
2008). Proposisi dalam makalah ini adalah bahwa ekonomi
kreatif adalah salah satu kasus yang berfokus triple helix wilayah
Sumatera Barat dan penelitian terdahulu pernah dilakukan di
Inggris yaitu London sebagai daerah metropolitan (Etkowitz
2008), tidak hanya dalam sistem keuangan dan perdagangan
(Sassen 1991) (industri) tetapi juga dalam konsentrasi penelitian
di 42 universitas dan lainnya lembaga pendidikan tinggi (HEIs)
(universitas) dan akan menjadi sumber pertumbuhan
perusahaan yang tinggi. Namun, Dalam makalah ini melihat peran
triple helix pada UMKM kerajinan sulaman yang ada di Kota
Pariaman karena daerah ini mempunyai banyak jumlah UKM
kerajinan sulaman.
Melihat Faktor dominan dalam triple helix (SIKI, 2008),
yang dapat menumbuhkembangkan kreativitas dalam
masyarakat Indonesia adalah kemampuan menciptakan interaksi
dan komunikasi yang dinamis antara antara ketiga aktor.
Cendekiawan (intellectuals),terkait dengan aktivitas-aktivitas
poenciptaan baru yang memiliki daya tawar kepada pasar serta
pembentukan insane kreatif. Bisnis (Bussiness), keterhubungan

21

dalam rangka pertukaran ekonomi serta transformasi kreativitas
menjadi nilai ekonomi. Pemerintah (Government), mekanisme
pemberian program insentif, kendali iklim usaha yang kondusif,
arahan edukatif serta terhadap masyarakat dan dunia swasta
untuk mendukung pengembangan industry kreatif.Sebelum
menjalankan rencana dalam roadmap menurut kebijakan
industri kreatif indonesia makaterlebih dahulu masing-masing
aktor haruslah tahu dulu mengenai perannya masing-masing
(SIKI, 2008) yaitu Peran cendikiawan, cendikiawan disini
berperan sebagai agen yang menyebarkan dan
mengimplementasikan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi
serta sebagai agen yang membentuk nilai-nilai yang konstruktif
bagi pengembangan industry kreatif dalam masyarakat.
Akademisi yang merupakan bagian dari cendikiawan
dijabarkan dalam 3 bentuk peranan yaitu: Peran pendidikan
ditujukan untuk mendorong lahirnya generasi kreatif Indonesia
dalam pola piker yang mendukung tumbuhnya karsa dan karya
dalam industry kreatif. Peran penelitian dilakukan untuk
memberikan masukan tentang model kebijakan pengembangan
industry kreatif dan instrument yang dibutuhkan, serta
menghasilkan teknologi yang mendukung cara kerja dan
penggunaan sumber daya yang efisien dan menjadikan industry
kreatif nasionalyang kompetitif.Peran pengabdian masyarakat
dilakukan utnuk membentuk masyarakat dnegan
institusi/tatanan social yang mendukung tumbuh suburnya
industry kreatif nasional.

22

Peran Bisnis, aktor bisnis merupakan pelaku usaha,
investor dan pencipta teknologi baru, serta juga merupakan
konsumen industry kreatif. a) Pencipta, sebagai centre of
excellence dari creator produk dan jasa kreatif, pasar baru yang
dapat menyerap produk dan jasa yang dihasilkan, serta pencipta
lapangan pekerjaan bagi individu-individu kreatif ataupun
individu pendukung lainnya. b) Pembentuk komunitas dan
entrepreneur kreatif, yaitu sebagai motor yang membentuk
ruang public tempat terjadinya sharing pemikiran, mentoring
yang dapat mengasah kreatifitas dalam melakukan bisnis dlam
industry kreatif, business coaching atau pelatihan manajemen
pengelolaan usaha di industry kreatif.
Peran Pemerintah, peran utama pemerintah dalam
pengembangan industry kreatif adalah a) Katalisator dan
fasilitator dan advokasi yang memberikan rangsangan, tantangan
dan dorongan, agar ide-ide bisnis bergerak ketingkat kompetensi
yang lebih tinggi. Dukungan itu dapat berupa
komitmenpemerintah untuk menggunakan kekuatan politiknya
dengan proporsional dan dnegan memberikan pelayanan
adminsitrasi public dengan baik disamping dukungan bantuan
financial, insentif ataupun proteksi, b) Regulator, yang
menghasilkan kebijakankebijakan yang berkaitan dengan
people,industry, institusi, intermediasi dan sumber daya dan
teknologi.
Pemerintah dapat mempercepat perkembangan industry
kreatif jika pemerintah mampu membuat kebijakakebijaka yang

23

menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industry kreatif, c)
Konsumen,investor bahkan entrepreneur. Pemerintah sebagai
investor harus dapat memberdayakan asset Negara untuk jadi
produktif dalam lingkup industry kreatif dan bertanggung jawab
terhadap investasi infrastruktur industry, d) Urban planner.
Kreativitas akan tumbuh dengan subur dengan kota-kota
yang memiliki iklim kreatif. Agar pengembangan ekonomi
kreatif berjalan dengan baik maka perlu diciptakan kota-kota
kreatif yang mampu menjadikan magnet yang menarik bagi
individu untuk membuka usaha di Indonesia.

24

BAB IV PERAN PERGURUAN TINGGI
Tridharma Perguruan Tinggi telah menyebutkan bahwa
salah satu kewajiban dosen adalah melakukan penelitian. Dana
yang dialokasikan pemerintah untuk membiayai penelitan
dimaksudkan untuk memotivasi penelitian-penelitian yang
melahirkan inovasi teknologi dan ide kreatif. Namun penelitian
yang telah dilakukan banyak berakhir di ruang laboratorium saja
atau diarsipkan dalam koleksi perpustakaan.
Di dalam triple helix, hasil penelitian akademisi universitas
diharapkan tidak hanya melayani kebutuhan ilmu pengetahuan
semata, namun juga sebagai solusi permasalahan pemerintah di
dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang berkaitan
dengan masyarakat pebisnis.
Pihak pemerintah perlu memberikan stimulus positif yang
dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan investasi
bisnis sekaligus mendorong atmosfer bisnis yang kondusif.
Caranya adalah dengan mengurangi pembatasan-pembatasan
yang menyulitkan perkembangan dan inovasi berbisnis,
melindungi karya-karya inovasi bisnis, dan
mengimplementasikan aturan pemerintah yang berkaitan etika
berbisnis sehingga tercipta persaingan bisnis yang sehat.
Di sisi lain, pihak industri juga mempunyai kewajiban untuk
memberikan kontribusi dalam menciptkan iklim bisnis yang baik,
seperti menerapkan etika berbisnis, berkomitmen pada

25

corporate responsibility, dan menjadi partner pemerintah untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Menyeimbangkan peran dari ketiga pihak yaitu akademisi,
pemerintah dan pebisnis ini bukanlah hal mudah. Diperlukan
upaya yang berkesinambungan dan dinamis, sehingga setiap
pihak diharapkan selalu open-minded dan berusaha melakukan
yang terbaik demi kepentingan bersama. Ketiga pihak tidak dapat
bergerak sendiri, oleh karenanya diperlukan kerjasama yang
sinergis dan seimbang.
Butir ketiga tridharma perguruan tinggi telah menyatakan
dengan jelas peran akademisi perguruan tinggi terhadap
kebutuhan masyarakat umum yang sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitasnya. Sedangkan pada butir pertama dan keduanya,
akademisi perguruan tinggi dituntut tidak hanya untuk
mengajarkan ilmunya pada mahasiswa, namun juga melakukan
penelitian yang mengarah pada penemuan-penemuan inovatif
dan kreatif yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan
secara teoritik maupun praktis.
Perguruan tinggi adalah bagian penting dari model Triple
Helix dalam sistem inovasi regional dan nasional. Perguruan
tinggi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan teknologi (center of
exellent) memiliki posisi strategis dalam menciptakan
masyarakat berbasis pengetahuan, dan transformasi menuju
peradaban modern.

26

Perguruan tinggi dengan segala kemampuannya haruslah
bersinergi dengan industri dan pemerintah, sehingga mampu
meng­­hasilkan inovasi baru, dan menciptakan strategi
pem­bangunan yang dipandu universitas untuk menjawab
tantangan pembangunan di berbagai bidang.
Konsep Triple Helix pertama kali diperkenalkan oleh Henry
Etzkowitz dan Loet Leydesdorff (1995) dalam menganalisis
hubungan antara universitas, industri dan pemerintah. Konsep
ini mengadopsi konsep biologi dari Model Triple Helix DNA yang
berpusat pada integrasi dan sinergi peranan masing-masing
elemen uintuk mengem-bangkan produk berbasis pengetahuan,
ekspansi industrialisasi, dan jasa sebagai pondasi dari sistem
inovasi regional dan nasional.
Konsep Triple Helix ini kemudian dikembangkan oleh
Gibbons et al. (1995) dalam The New Production of Knowledge
dan Nowotny et al. (2001) dalam Re-Thinking Science. Konsep ini
selain digunakan untuk menjelaskan hubungan ketiga elemen
(university, enterprise and government), model ini juga dapat
memberikan gambaran mengenai koordinat dari simbiosis
(irisan) dari masing-masing elemen. Dalam Triple Helix, masing –
masing elemen merupakan entitas yang berdiri sendiri, memiliki
perannya masing-masing tetapi mereka bersinergi dan
mendukung satu dengan yang lainnya.
Peranan perguruan tinggi dalam segitiga inovasi Triple
Helix adalah membawa misi sebagai mesin penggerak dalam
pengembangan budaya, peradaban dan kecerdasan masyarakat.

27

Dengan perkataan lain, peningkatan kapasitas perguruan tinggi
dalam ilmu dan teknologi akan mewujudkan kemampuan
merancang kebijakan dan mengambil keputusan termasuk di
lingkungan korporat dan pemerintahan, menuntut pengetahuan
yang berkembang di atas pondasi dan peradaban maju. Dengan
demikian. per­guruan tinggi menjadi agen peru­bahan yang
siginifikan yang mampu menciptakan strategi pembangunan
yang dipandu universitas (university led development strategy).
Untuk mencapai hal yang demikian, salah satu faktor yang
fundamental adalah pengem­bangan riset di perguruan tinggi
.Lembaga riset atau pusat kajian dan incubator di perguruan
tinggi diharapkan mampu melahirkan inovasi baru berbasis ilmu
pe­ngetahuan dan teknonologi, se­hingga dapat mendorong
per­kembangan industri kreatif untuk kesejahteraan masyarakat.
Oleh sebab itu, Triple Helix adalah motor penggerak
pembangunan ekonomi berbasis sains dan teknologi melalui
pemanfaatan ber­sama sumberdaya dan komunikasi antara
universitas, industri dan pemerintah yang melahirkan inovasi
pembangunan.
Secara fakta kehadiran lem­baga riset di perguruan tinggi
baik di perguruan tinggi nageri (PTN) maupun perguruan tinggi
swasta (PTS) masih didominasi sebatas menghasilkan informasi
dasar dalam berbagai bidang kajian dan sifatnya lebih banyak
mengembangkan fungsi kelem­bagaan perguruan tinggi. Dengan
perkataan lain, out put riset lebih banyak digunakan dalam
rangka pemenuhan angka kredit dan akreditasi program studi

28

dan insitusi dan kerangka penjaminan mutu. Dalam tataran yang
demikian, perguruan memiliki posisi yang lemah dalam konsep
triple helix, dan akibatnya perguruan tinggi belum dapat
dipercayai industri dan pemerintah sebagai pembawa inovasi
pembangunan berbasis ilmu pengetahuan.
Untuk menjadikan posisi per­guruan tinggu sebagai tempat
ber­tanya bagi pemerintah baik dalam perencanaan
pem­ba­ngunan regional dan nasional, maka perguruan tinggi
harus melakukan reformasi pendidikan untuk meningkatkan
kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga output riset
perguruan tinggi meningkat statusnya dari fungsi pengembangan
kelem­bagaan perguruan tinggi menjadi solusi masalah
pembangunan.
Upaya mencapai hal tersebut tidak­lah mudah jika hanya
me­ngan­dalkan kemampuan sendiri, karena adanya
keterbatasan sum­­­berdaya manusia dan pen­danaan riset.
Solusi yang tepat adalah mengembangkan model kerjasama
dengan industri dan pemerintah. Untuk beberapa aspek,
perguruan tinggi sudah banyak menjalin kerjasama dengan
lembaga pemerintah, baik melalui pendanaan riset dan fasilitas
lainnya, namun hasilnya masih didominasi dokumen ilmiah yang
belum dapat dimanfaatkan secara nyata dalam masyarakat.
Demikian halnya dengan dunia industri, hasil-hasil riset
perguruan tinggi belum bisa dimanfaatkan untuk mendorong
industri krea­tif, dan idustri lebih banyak mengggunakan output
riset luar negeri. Tentu kita merasa miris, bila sumberdaya di

29

Indonesia melimpah, tetapi teknologi, modal dan tenaga kerja
terdidiknya berasal dari luar Indonesia.
Kita hanya penyedia sementara yang lain menjadi
pemerahnya. Terdapat 2 faktor penyebab hal demikian, pertama
: pihak industri belum meyakini bahwa perguruan tinggi mampu
menghasilkan produk atau disain berbasis sains dan teknologi
yang dapat diaplikasikan dalam dunia industri, dan kedua : disain
kurikulum perguruan tinggi belum link and match dengan
kebutuhan industri. Dalam kondisi yang demikian, terdapat gap
yang besar antara dunia industri dan perguruan tinggi.
Untuk mengubah situasi yang demikian, perguruan tinggi
sangat perlu menjalin komunikasi dengan dunia industri dengan
hubungan mutualistik, sehingga kebutuhan industri untuk
ekpansi dapat didukung perguruan tinggi melalui produk riset
berbasis sains dan teknologi, dan sebaliknya dunia industri juga
dapat memberikan dukungan dalam pembiayaan riset perguruan
tinggi.

Untuk mengimplementasikan hal ini maka peranan
pemerintah sangat penting melalui regulasi yang memungkinkan
perguruan tinggi memiliki akses awal masuk ke dunia industri,
sehingga isolasi yang sering terjadi antara industri dan perguruan
tinggi di Indonesia dapat diruntuhkan dan membangun pola
kemitraan yang saling mengun-tungkan. Disisi lain, perguruan
tinggi sebagai agen transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi
juga harus mereformasi diri dengan mengembangkan

30

kemampuan dan kapasitasnya yang pantas dilirik oleh dunia
industri.
Pengembangan kapasitas tersebut haruslah berorientasi
pada permintaan pasar (orientation to market demands), melihat
pada scoop yang lebih besar (seeing a global pictures), mengikuti
kecenderungan/tren (following trends), dan memiliki inisiatif
menciptakan konsep baru (initiating new concepts).
Terciptanya hubungan yang sinergi antara perguruan tinggi
dan industri sebagaimana sudah banyak dilakukan di negara-
negara maju, akan menghasilkan output yang langsung dapat
dimanfaatkan industri, maupun masyarakat. Itulah posisi dan
peran ideal perguruan tinggi dalam model triple helix sistem
inovasi regional dan nasional.
Dalam kondisi faktual se­karang ini, perguruan tinggi
ban­yak disibukkan dengan urusan administrasi birokatif yang
tidak terlepas dari sistem pendidikan nasional saat ini.
Sumberdaya yang banyak terpakai untuk hal itu menyebabkan
perguruan tinggi tidak mudah mengembangkan kapasitasnya
dalam sains dan teknologi.
Dapat kita bayangkan bagaimana banyaknya SDM
per­guruan tinggi yang digunakan untuk urusan administrasi
birokratif ini, sehingga apsek pengembangan sains dan teknologi
melalui kegiatan pendidikan dan penelitian menjadi tertinggal.
Dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran
pendidikan sampai 20 % APBN sesungguhnya memberikan
peluang bagi insan akademis perguruan tinggi untuk melakukan

31

riset dan menghasilkan inovasi berbasis IPTEK. Namun secara
faktual budaya meneliti masih lemah karena mindset para
akademisi sudah terperangkap pola pragmatisme.
Jika selama ini pemenuhan share knowledge dan penelitian
inovatif dan kreatif hanya terjadi di dalam kalangan pendidikan,
antara dosen dengan mahasiswa, maka dengan triple helix
diharapkan pihak akademisi juga memegang peran penting dan
bertanggung jawab dalam permasalahan social masyarakat.
Berbicara tentang industri kreatif berarti berbicara tentang
teknologi, inovasi, dan kreativitas. Beberapa kelemahan yang
dihadapi oleh para pebisnis, terutama pihak UMKM adalah
kurangnya pengetahuan dan implementasi teknologi, dan
kurangnya motivasi untuk melakukan perbaikan dan kreativitas.
Dukungan pemerintah terhadap pemberdayaan dan
pengembangan industri kecil dan menengah untuk ikut
mengambil bagian dalam industri kreatif telah diwujudkan
pengangkatan tema industri kreatif Indonesia 2009. Hal ini
berarti peluang para UMKM untuk menjadi pelaku industri
kreatif sangat terbuka lebar. Namun tentu saja hal ini tidak dapat
serta merta dilakukan. Pihak UMKM perlu mendapatkan stimulus
berupa transfer ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian yang
mengandung kemajuan teknologi, inovasi dan kreativitas. Dalam
hal ini, telah jelas begitu pentingnya andil akademisi perguruan
tinggi untuk memberikan kontribusinya pada pengembangan
industri kreatif.

32

Akademisi unversitas memainkan peran kunci dalam
pengembangan inovasi pengetahuan dan teknologi yang akan
ditransferkan pada pihak pelaku bisnis industri kreatif. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara (Kadiman, 2006):
1. Melakukan penelitian pendahuluan untuk menguji inovasi
dan teknologi tepat guna sebelum sosialisasi pada pelaku
bisnis industri kreatif.
2. Menciptakan dan mengembangkan teknologi-teknologi baru
untuk mendukung penciptaan industri kreatif.
3. Melakukan edukasi, pelatihan dan pendampingan pada
industri kreatif secara berkelanjutan.
4. Mengembangkan teknologi home industri sebagai upaya
penciptaan inkubator industri kreatif yang baru.
Beberapa contoh peranan akademisi universitas dalam
melakuan transfer teknologi, inovasi hasil penelitian dan ilmu
pengetahuan pada pengembangan industri kreatif adalah antara
lain melalui program Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) yang
bekerjasama dengan pemerintah setempat dengan melibatkan
industri yang tepat sasaran.
Contoh lain adalah kerjasama dengan pihak LIPI dalam
program Iptekda yang mempunyai misi mengangkat
perekonomian daerah melalui pemberdayaan UMKM kreatif.
Dengan keterlibatan penuh dari pihak akademisi, diharapkan
penciptaan industri kreatif dapat lebih berhasil. Hal ini secara
tidak langsung dapat menjawab permasalahan pemerintah untuk

33

menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif
di Indonesia.

34

BAB V HUBUNGAN PEMERINTAH, PERUSAHAAN
DAN PERGURUAN TINGGI

Meskipun konsep CSR terus berjalan dan mengalami
perkembangan bukan berarti bahwa konsep tersebut dapat
diterima dan dipraktikkan begitu saja. Harapan di antara
berbagai pihak yang terlibat dalam CSR untuk dapat bersinergi
dan bekerja sama dalam praktiknya tidak selalu dapat
diwujudkan. Tidak jarang yang terjadi justru munculnya rasa
saling mencurigai, saling mengedepankan ego dan kepentingan
masing-masing, sehingga terjadi resistensi di antara berbagai
pihak yang seharusnya terlibat dan bersinergi dalam
memujudkan CSR. Dengan sendirinya, hal itu tidak akan
memberikan konstribusi bagi keberhasilan pelaksanaan CSR dan
lebih jauh bagi kesejahteraan sosial masyarakat di lingkungan
perusahaan.
Lalu, bagaimana seharusnya memaknai CSR? Apakah CSR
seharusnya dipahami secara etika berdasarkan atas tuntutan dan
kepentingan para pemangku kepentingan seperti pemerintah
dan perguruan tinggi? Jika tidak demikian, apakah diserahkan
pada penafsiran masing-masing pemangku kepentingan atau
diarahkan pada tujuan pembangunan masyarakat untuk
kemakmuran dan keadilan sosial.
Dalam menjalin kemitraan idealnya berbagai pemangku
kepentingan dapat bekerja sama dan memberikan kontribusi
dalam pembangunan. Masing-masing berkontribusi untuk

35

mewujudkan kesejahteraan sesuai kapasitas dan perannya dalam
masyarakat.

Gambar 1. Pola Kemitraan Pemerintah, Perusahaan dan
Perguruan Tinggi untuk Masyarakat
Dari skema tersebut terlihat masing-masing pihak yang
terlibat dalam pola kemitraan mempunyai kompetensi yang
saling berkolaborasi. Perusahaan sebagai entitas bisnis memiliki
sumber daya keuangan yang besar dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat dalam bentuk program CSR yang tepat
sasaran. Kemudian ada pemerintah yang berperan untuk
penyediaan kebijakan win-win solution bagi pola kemitraan ini.
Selanjutnya, pemerintah juga mempunyai program-program
kemasyarakatan yang bisa disinergikan dengan program CSR
perusahaan. Selain itu pemerintah memegang kunci dalam
mengatur APBD yang berguna untuk pelaksanaan program kerja.

36

Selanjutnnya, lembaga pendidikan yang dalam hal ini PT
jelas memiliki sumber daya manusia dalam bidang riset
partisipatoris untuk memberikan rekomendasi dan terlibat
langsung dalam aksi program pemberdayaan yang berkelanjutan.
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan
Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat SDM dari perguruan tinggi yang
memiliki keahlian dan pengalaman dapat dijadikan rujukan
dalam pembangunan sosial dan kesejahteraan.
Salah satu bidang kerja sama yang dapat dijalankan
perguruan tinggi dan perusahaan adalah tentang pemetaan sosial
(social mapping) dengan merujuk pada Peraturan Kementerian
Lingkungan Hidup No 6 tahun 2013 tentang program penilaian
peringkat kinerja perusahaan (Proper) pada Bab IV. Hasil
pemetaan sosial dapat dijadikan rujukan utama perusahaan
dalam merumuskan program pemberdayaan yang sesuai dengan
kebutuhan dan potensi masyarakat.
Dalam konteks hubungan kemitraan antara perusahaan dan
perguruan tinggi, perusahaan mengharapkan agar program CSR
bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti
masalah pengangguran dan kemiskinan. Terdapat beberapa
faktor pendukung dalam melaksanakan program antara
perusahaan dengan perguruan tinggi dan pemerintah.
Perusahaan memiliki komitmen dalam mengurangi angka
kemiskinan dan penggangguran. Perusahaan memandang bahwa
kerja sama dengan perguruan tinggi dan pemerintah untuk

37

menggulirkan program CSR mendatangkan kemanfaatan dan
keuntungan.
Misalnya program menjadi tepat sasaran dan benar-benar
berguna bagi penerimanya, terbentuknya citra positif
perusahaan karena dinilai peduli oleh masyarakat yang
menerima manfaat program CSR tersebut. Praktik pola kemitraan
dapat dilakukan perusahaan dengan perguruan tinggi sebagai
mitra. Perusahaan dapat memilih perguruan tinggi yang memiliki
program serupa dengan program CSR yang sedang dijalankan,
atau program yang sevisi dengan corporate branding yang
sedang diusung, ataupun program yang sesuai dengan anggaran
yang dimiliki perusahaan. Sebaliknya, perguruan tinggi sebagai
pelaksana teknis di lapangan harus mampu menginternalisasikan
visi perusahaan dalam setiap tahap yang dilakukan.
Pada pemerintahan baru kabinet kerja Jokowi-JK
dibentuklah kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi.
Menurut penulis, lebih tepatnya disebut kementerian perguruan
tinggi, riset, dan teknologi. Sebab, perguruan tinggi merupakan
institusi yang memproduksi pengetahuan. Adapun riset
merupakan salah satu tridharma perguruan tinggi dan aktivitas
ilmiah untuk menemukan pengetahuan baru, dan teknologi
merupakan manifestasi pengetahuan yang konkret. Tujuan
pembentukan kementerian ini menurut Jokowi untuk
mensinergikan lembaga pendidikan tinggi, riset, dan dunia usaha.
Selama ini industri menikmati lulusan perguruan tinggi untuk
bekerja di perusahaannya, tetapi belum begitu besar

38

dukungannya dengan memberikan beasiswa, peluang magang,
atau kursus singkat kepada mahasiswa yang sedang studi di
kampus.
Di termin lain, dosen, peneliti, dan mahasiswa yang
melakukan aktivitas riset sering kali kekurangan dana karena
minimnya anggaran dana penelitian dari pemerintah. Oleh sebab
itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan agar jangan hanya
menampung alumni terbaik universitas dan memanfaatkan hasil
risetnya saja, tetapi juga memasok dana yang besar untuk
kepentingan penelitian dan studi para dosen dan mahasiswa
sehingga terciptalah hubungan “simbiosis mutualisme” antar
ketiganya.
Pada sisi lain, ada opini dibaginya urusan pendidikan
menjadi dua kementerian, dianggap terlalu menyederhanakan
persoalan pendidikan, karena mengelola setiap jenjang
pendidikan secara parsial dan tidak integral.Seyogianya jenjang
dasar, menengah, atas, sampai pendidikan tinggi membutuhkan
koordinasi yang terpadukarena setiap kebijakan berkaitan erat
satu sama lain. Sebagai contoh, kebijakan menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2013 menetapkan wajib belajar 12 tahun
sampai SMA, dan Ujian Nasional (UN) digunakan sebagaipenentu
kelulusan dan sekaligus menjadi “paspor” untuk masuk ke
perguruan tinggi.
Argumentasi penolakan lainnya adalah untuk membuka
akses pendidikan tinggi bagi peserta didik yang tidak mampu,
pemerintah mengeluarkanbeasiswa bidik misi. Dirjen Dikti tentu

39

membutukan data dari dirjen Mendikdasmen untuk mengetahui
berapa kuota peserta didik yang akan menerima beasiswa bidik
misi dan sebaliknya. Menurut Badan Pembangunan Nasional
(Bappenas) jumlah penduduk yang menikmati bangku kuliah
baru sekitar 6-7 persen dari total populasi, sedangkan untuk
bangku SMA/SMK baru sekitar 20 persen. Dileburnya
kementerian yang mengelola pendidikan menjadi dua ini
ditakutkan akan merenggangkan pola koordinasi yang selama ini
telah terjalin rapi. Kontinuitas akses atau naiknya angka
partisipasi kasar dari SMA/SMK ke PT juga akan sulit terkontrol
karena kantor dan fokus garapan juga berbeda. Begitupun
dengan para pendidik, ada kementerian yang mendidik para
calon guru yaitu kementerian riset, teknologi, dan perguruan
tinggi, tetapi setelah menjadi guru, mereka dikelola oleh
kementerian lain yaitu kementerian pendidikan dasar dan
menengah. Selayaknya kaderisasi pendidik dilakukan oleh satu
kementerian yang fokus merancang kurikulum dan melakukan
pembinaan dan pelatihan berkelanjutan ketika calon pendidik
lulus pendidikan S1.
Pembentukan kementerian riset, teknologi, dan pendidikan
tinggi, juga tidak menjamin dalam sekejap mampu meningkatkan
hasil atau produk penelitian. Sebab, dana yang dikeluarkan
pemerintah masih sedikit dan fasilitas tak banyak mendukung
para peneliti. Justru yang perlu dilakukan ialah kampus harus
menumbuhkan tradisi ilmiah seperti membaca, menulis,
berdiskusi dengan dukungan ruang akademik yang memadai

40

seperti perpustakaan, laboratorium, dan ruang terbuka untuk
berdiskusi dan akses jurnal domestik dan internasional melalui
internet untuk memantik budaya meneliti. Faktanya sampai saat
ini baru beberapa kampus besar saja yang telah berlangganan
jurnal internasional.
Untuk mendorong tradisi riset S2 dan S3, Mendikbud
mengeluarkan Permendikbud No.49/2004 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi. Peraturan ini berisi ke depan
program magister dan doktor ada 72 SKS (Sistem Kredit
Semester), menyesuaikan dengan capaian pembelajaran (CP).
Salah satu komponen CP program magister yaitu kemampuan
menulis karya ilmiah dalam jurnal terakreditasi dan bertaraf
internasional. Adapun program doktor CP yaitu mampu menulis
karya ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi dan jurnal
internasional terindeks. Pada rincian 72 SKS tersebut, porsi
penelitian dan penulisan tesis memiliki porsi yang sangat besar
20 SKS, penulisan karya ilmiah 10 SKS dan 30 SKS untuk
penelitian dan penulisan disertasi, serta 20 SKS untuk karya
ilmiah internasional yang didistribusikan sejak semester
pertama. Bukan tidak mungkin standar nasional pendidikan
tinggi juga akan dibuat untuk program sarjana khususnya bagi
kampus yang bervisi world class research university dengan
banyaknya hasil riset sebagai parameternya. Permendikbud di
atas bisa jadi merupakan aturan turunan dari UU Pendidikan
Tinggi pasal 48 ayat 4 yang menyatakan “pemerintah
memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi

41

dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia
industri dalam bidang penelitian.”
Semakin eratnya pola relasi antara perguruan tinggi,
pemerintah, dan industri membuat Leydesdorff dan Etzkowitz
(2001), menyebutnya sebagai Triple Helix model. Awal mula
terbentuknya model ini karena universitas mengalami dua kali
revolusi. Revolusi pertama terjadi ketika perguruan tinggi yang
selama ini hanya berperan sebagai institusi pendidikan atau
pengajaran (teaching university), berubah dengan mengambil
peran baru melakukan penelitian (research university). Faktor
pendorong kegiatan riset ini karena perguruan tinggi ingin
menjadikan kegiatan penelitian sebagai medium untuk
menemukan kebenaran ‘ilmiah’ dari berbagai pengetahuan yang
diproduksi oleh mahasiswa dan pengajarnya. Universitas mulai
mengambil peran penelitian pada paruh kedua abad ke 19 atau
kisaran tahun 1850. Revolusi kedua perguruan tinggi mulai
mengambil peran baru yaitu sebagai kontributor perkembangan
ekonomi (enterpreuneural university) pada paruh kedua abad ke
20 atau 1950 an.
Menurut Leydesdorff dan Etzkowitz (2001), munculnya
Triple Helix model disebabkan beberapa perkembangan dunia
yang terjadi secara bersamaan. Pertama, interkoneksi yang
semakin kuat antara institusi penghasil pengetahuan dan para
pengguna pengetahuan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
para industriawan dan ilmuwan bekerja sama melakukan
prioritas penelitian yang akan dilakukan. Sehingga terjadilah

42

transfer pengetahuan dan teknologi sebagai hasil produksi
pengetahuan dari para ilmuwan yang bekerja di perguruan tinggi
ke industri. Kedua, semakin masifnya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi seperti internet, metamorfosa
komputer kotak ke komputer jinjing (laptop) dan telphone
genggam ke handphone, membuat pengetahuan mudah
diperoleh dari sumber manapun. Ketiga, cepatnya tumbuh
kembang teknologi informasi dan komunikasi memiliki
konsekuensi logisnya terjadinya perubahan bentuk koordinasi
antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri dari vertikal ke
lateral yang memangkas rumitnya birokrasi, sehingga seiring
waktu ketiganya semakin padu.
Bergesernya peran perguruan tinggi untuk meningkatkan
daya saing nasional dan mengembangkan ekonomi negara sangat
tergantung dengan inovasi. Inovasi industri yang berguna dan
bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi
riset-riset rutin perguruan tinggi. Menurut Djoko Santoso (2008),
universitas adalah lembaga riset, dengan demikian dalam siklus
industri (membuat produk sesuai kebutuhan pasar), universitas
dapat memerankan dirinya sebagai komponen yang melakukan
riset dan pengembangan (produk tersebut). Sebab untuk
membuat lembaga riset memerlukan biaya yang mahal,
sementara hampir semua industri di Indonesia tidak dilengkapi
lembaga riset, maka universitas harus menempatkan dirinya
sebagai lembaga riset industri. Di Indonesia kita mengenal
kebijakan RAPID (Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri).

43

Pada konteks kasus di Indonesia, analisa Bagyo Y.
Moeliodihardjo dkk (2012) menyimpulkan, tidak adanya
kebijakan pemerintah yang koheren dalam relasi perguruan
tinggi, pemerintah, dan industri membuat pola kemitraan
universitas dan industri sebagian besar dikembangkan oleh para
profesor secara individu. Berbagai kegiatan pun dilakukan
kampus untuk mengeksplorasi pilihan dalam menjalin hubungan
dengan industri seperti:

1) Sejumlah perguruan tinggi telah meningkatkan kontrak
kerja sama dan layanan lainnya dengan berbagai
pemerintah daerah dan klien industri. Keinginan untuk
menghasilkan pendapatan lebih menjadi faktor pendukung
kerja sama ini.
2) Banyak perguruan tinggi yang mulai mengurus hak paten
dengan dukungan pemerintah. Hal ini sangat berbeda
dengan masa lalu, di mana setiap akademisi kampus secara
individu memberikan hak cipta temuannya khusus kepada
mitra industri saja.
3) Pada konteks penelitian kolaboratif dan
pengembangan,banyak akademisi merasa kesulitan
menemukan mitra industri untuk menjalin kerja sama dan
meningkatkan dukungan finansial dari industri untuk
penelitian di perguruan tinggi.
4) Minimnya jaringan akademisi kampus dengan pelaku usaha
merupakan masalah penting yang harus dipecahkan.

44

Merespon persoalan ini beberapa kampus memilih untuk
mengadakan pertemuan antara akademisi perguruan
tinggi, pengusaha, dan pemerintah di beberapa daerah
untuk membuka peluang kerja sama.
5) Kolaborasi peran industri untuk pendidikan pun dilakukan
seperti meminta pelaku usaha untuk mengajar mata kuliah
kewirausahaan dan perguruan tinggi pun dapat
mengirimkan staf pengajarnya untuk belajar di lingkungan
industri.
Di Indonesia berbagai upaya untuk mempererat hubungan
antara perguruan tinggi dan industri telah dilakukan
sebagaimana dicontohkan di atas. Tetapi ikhtiar ini tidak
selamanya mulus karena ada beberapa anggapan di balik layar
yang berkembang yang bisa menghambat integrasi ketiganya,
sebagaimana disebutkan Bagyo Y. Moeliodihardjo dkk (2012)
yaitu, kurangnya pengertian dan kepercayaan antara perguruan
tinggi dan industri. Akademisi tidak selalu respek pada industri
karena terlalu berorientasi duit, kurang idealis, dan terlalu
praktis. Industri pun menganggap perguruan tinggi kini menjadi
menara gading, terlalu birokratis, bekerja lambat, dan banyak
penelitian yang malah difokuskan pada penelitian akademik.
Industri pun menganggap banyak akademisi yang tidak mengerti
masalah yang dihadapi industri. Jika problem ini terus menerus
dibiarkan akan membuat relasi perguruan tinggi dan industri
akan terganggu dan dampaknya perkembangan ekonomi dan
daya saing nasional pun dapat tersendat.

45

Pada titik ini pemerintah harus mengambil sikap untuk
menjembatani kesalahpahaman ini, dengan membuat pertemuan
intensif antara perguruan tinggi dan industri guna menemukan
kerangka berfikir yang sejalan sebelum membicarakan program
kemitraan jangka panjang. Apabila permasalahan konsepis ini
sudah terpecahkan, relasi antara perguruan tinggi, pemerintah,
dan industri tak ada aral rintang, sehingga pembangunan sumber
daya manusia dan pengembangan ekonomi nasional pun
tertunaikan. Semoga.

46

BAB VI MPLEMENTASI CSR

1.1.
Pelaksanaan CSR
Di dalam prakteknya, penerapan CSR disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan CSR sangat beragam. Hal
ini bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela
didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya
melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan
perundang-undangan.
Grindle, (1980) menjelaskan bahwa implementasi
kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan
realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai
dengan pandangan (Grindle, 1980) mengatakan bahwa tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan
tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi
pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stakeholders).
Menurut Lane dalam (Akip, 2015) menyatakan
implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian.
Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome).
Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang
terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil
dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi
dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor,

47

Initiator, Time) . Penekanan utama kedua fungsi ini adalah
kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan
dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu
(Sabatier, 1986).
Grindle, (1980) menjelaskan dari beberapa definisi tersebut
diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut tiga hal, yaitu : 1) adanya tujuan atau sasaran
kebijakan; 2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan;
dan 3) adanya hasil kegiatan. Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk
mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah
yaitu, langsung mengimplementasikan dalam bentuk program
atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari
kebijakan publik tersebut.
Untuk menindaklanjuti pelaksanaan CSR maka perusahaan
melakukan berbagai upaya dalam pengelolaan lingkungan.
Penelitian ini menitikberatkan kepada beberapa bentuk CSR
sebagai wujud tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup yang
dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat, perusahaan
merupakan bagian dari masyarakat atau warga negara. Dengan
menjadi bagian dari warga negara suatu bangsa (corporate
citizenship), maka perusahaan juga mempunyai kewajiban dalam
pembangunan. Beberapa bentuk CSR yang telah dilakukan oleh
perusahaan dalam rangka pemenuhan tanggung jawab sosial dan
lingkungan hidup.

48

Implementasi CSR ini seyogyanya memberikan manfaat
yang sebesarbesarnya baik bagi internal maupun eksternal
perusahaan, sehingga filosofi pemberian CSR itu sendiri tercapai.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, terkait dengan tujuan atau
manfaat pelaksanaan CSR menyatakan, pelaksanaan CSR telah
meningkatkan reputasi perusahaan, reputasi yang baik itu
memudahkan perusahaan untuk dapat melakukan rekrutmen
pegawai yang berkualitas dan bereputasi baik, para pegawai lebih
betah untuk bekerja di perusahaan yang melaksanakan CSR
sehingga perusahaan dapat mengurangi biaya yang timbul
karena harus melakukan rekrutmen baru dan melakukan
pelatihan bagi pegawai pegawai baru itu dan sebagainya.
1.2. Metode Implementasi CSR
Implementasi CSR perusahaan merupakan tahap aplikasi
program corporate social responsibility yang telah direncanakan
sebelumnya. Upaya yang dilakukan perusahaan dalam rangka
menjamin ketercapaian tujuan tanggung jawab sosial dilakukan
dengan berbagai strategi. Implementasi CSR pada dasarnya
dilaksanakan berdasarkan beberapa alasan dan tututan.
Grindle, (1980) menjelaskan bahwa implementasi
kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan
realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai
dengan pandangan (Grindle, 1980) mengatakan bahwa tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan
tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi

49

pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stakeholders).
Di dalam prakteknya, penerapan CSR disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan CSR sangat beragam. Hal
ini bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela
didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya
melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan
perundang-undangan.
Pola perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program
CSR dilaksanakan secara partisipatif. Melalui pendekatan
partisipatif, maka kegiatan CSR sekaligus dapat menjadi
saranapemberdayaan masyarakat, terbangunnya kepercayaan
masyarakat, dan melibatkan banyak pihak. Disamping itu melalui
pendekatan partisipatif masyarakat akan mempunyai rasa
memiliki yang tinggi terhadap program CSR tersebut, sehingga
dapat menjamin efektivitas, keberhasilan dan keberlanjutan
program.
Metode yang banyak digunakan dalam pendekatan
parisipatif antara lain adalah metode PRA (Participatory Rural
Appraisal) yang dapat digunakan pada saaat need assessment
untuk menjaring apa yang dibutuhkan masyarakat pada saat
perencanaan program dan monitoring-evaluasi program.
Pendekatan partisipatif dalam implementasi program
CSR dapat menghasilkan program yang efisien dan membumi.

50

Pendekatan partisipatif dalam perencanaan program CSR
memiliki karakteristik program, yaitu:
1) Bebasis masyarakat
2) Berbasis sumberdaya dan potensi lokal
3) Berkelanjutan
4) Sejalan dengan program pemerintah darah setempat
5) Diarahkan pada pengembangan kapasitas dan kemandirian
Pelaksanaan program CSR memerlukan prosedur
tertentu nagar dapat terlaksanan secara efektif dan terukur.,
serta mencapai sasaran. Untuk itu prosedur penyusunan
program secara umum dapat digambarkan dalam gambar berikut
ini.

51


Gambar 2. Prosedur penyusunan Program CSR Perusahaan

Hasil Kajian dan Need Asseement
Diselenggarakan secara partisipatif sesuai peran masing-masing
stakeholder
Persiapan Internal
Keterkaitan rencana program dengan visi, misi & kebijakan CSR
perusahaan
Persiapan Sumberdaya (SDM dan Dana)
Kelembagaan Internal (Sistem Koordinasi, Mekanisme Kontrol,
Orientasi tugas pelaporan

Analisis dan Penetapan Program
Pengkajian dan penilaian kelayakan program
Identifikasi lokasi dan kelompok sasaran
Menentukan skala prioritas program dan indikator capaian program

Persiapan Sosial dan Kelembagaan
Sosialisasi program dan penyiapan organisasi pelaksana
Fasilitas dalam penguatan kapasitas kelompok sasaran
Fasilitas Kesepatakan aturan/mekanisme program dalam
kelompok, termasuk pembagian tugas dan wewenang.

Implementasi Program
Monitoring dan Evaluasi Program
Pelaporan dan Dokumentasi

52

1.3. Tahapan Penerapan CSR
Dalam penerapan Corporate Social Responsibility ada
beberapa tahapan yang perlu diperhatikan, yaitu.
1. Perancangan CSR
CSR butuh perumusan yang jelas, baik materi, strategi,
sasaran, penelitian pemangku kepentingan, maupun anggaran
yang dibutuhkan.Untuk itu, butuh kajian mendalam dan
berkelanjutan, khususnya dalam menentukan isi dan sasaran
agar memiliki daya dukung dalam pembangunan berkelanjutan
dalam rangka meningkatkan pemberdayaan pada para
pemangku kepentingan. Kualitas perancangan praktik
tanggungjawab sosial perusahaan/CSR tergantung pada analisis
perusahaan terhadap lingkungan dan sosial.
Program menjadi penting karena dapat dijadikan arah
unuk melaksanakan (implementasi) pelaksanaan program. Di
samping itu, perencanaan juga menentukan strategi yang lebih
efektif dapat dilaksanakan.
2. Menetapkan Tujuan
Penentuan tujuan penting dalam banyak aktivitas
meskipun belum dilakukan, mengingat penentuan tujuan secara
akurat dapat menjadi bingkai (frame) segala tindakan yang akan
dilakukan, dan sekaligus dapat dijadikan standar ketercapaian
satu aktivitas. Tujuan, merumuskan apa yang akan diselesaikan
oleh perusahaan dalam keberpihakan terhadap para pemangku

53

kepentingan, dan kapan akan diselesaikan, serta mengukur
secara akurat kegiatan dilakukan.
3. Menetapkan Target
Target penting ditetapkan, karena menjadi bagian
pengawasan pelaksanaan dan evaluasi secara melekat dari
serentetean tindakan jangka waktu yang lebih lama.Melalui
penetapan target, para pelaksana tanggungjawab sosial, memiliki
patokan dalam melaksanakan program bersangkutan.
Kebijakan merupakan pedoman umum sebagai acuan
pelaksanaan program tanggungjawab sosial
perusahaan/CSR.Kebijakan, merupakan arah dasar yang diambil
pimpinan dan menjadi warna orientasi satu program. Yusuf
Wibisono (2007 : 154)menyatakan berbagai bentuk kebijakan
yang dilakukan oleh perusahaan dalam memnjalankan aktivitas
CSR, seperti:
a. Corporate Social Responsibility didudukkan sebagai
investasi sosial perusahaan
b. Corporate Social Responsibility didudukkan sebagai strategi
bisnis
c. Corporate Social Responsibility didudukkan sebagaiupaya
untuk memperoleh licence to operate perusahaan dari
masyarakat
d. Corporate Social Responsibility didudukkan sebagai bagian
dari risk management.
4. Menetapkan Strategi

54

Menetapkan strategi implementasi CSR memiliki
ketergantungan arah mana kebijakan CSR harus dilakukan.
Strategi di sini merupakan sarana untuk menjabarkan visi, misi,
dan kebijakan CSR yang akan dipraktikkan. Pada banyak kasus,
CSR perusahaan dilakukan dengan mengacu pada strategi, antara
lain:
1) Public Relation
Strategi ini ditujukan untuk ketercapaian tujuan CSR dalam
kerangka membangun dan menanamkan persepsi masyarakat
tentang perusahaan.
2) Strategi Defensif
Usaha dilakukan untuk menagkis atau mengubah anggapan
negatif yang telah tertanam pada diri komunitas terhadap
perusahaan.Strategi ini umumnya digunakan setelah komplain
para pemangku kepentingan terjadi kepada perusahaan.
3) Community Development
Melakukan program atau kegiatan untuk komunitas sekitar
perusahaan atau melakukan kegiatan perusahaan yang berbeda
dari hasil kegiatan pokok perusahaan. Program pengembangan
masyarakat dapat dibedakan menjadi:
a. Community Relation
Strategi ini dilakukan dengan menggunakan kegiatan-
kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman

55

melalui komunikasi dan informasi kedapa para pihak yang
berkepentingan (stakeholder).CSR diarahkan pada kegiatan
kedermaan (charity), berjangka pendek, habis pakai, dan
kegiatan sosial lain yang bersifat insidental. Bantuan bencana
alam, operasi bibir sumbing, operasi katarak, khitanan
massal, PMI, bantuan sembako dan sejenisnya, merupakan
salah satu jenis kegiatan ini.
b. Community Service
Merupakan strategi implementasi CSR yang menitik beratkan
pada pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum.Strategi ini bercirikan
untuk memberikan kebutuhan yang ada di masyarakat dan
pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri,
sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari
pemecahan masalah tersebut.
c. Community Empowering
Merupakan strategi pelaksanaan CSR perusahaan yang
memberikan akses lebih luas kepada masyarakat untuk
menunjang kemandiriannya.Strategi ini mendudukkan
masyarakat sebagai mitra, dan memberikan
penguatan.Program kemitraan terhadap UKM sebagaimana
anjuran pemerintah sebagaimana termuat dalam UU. No. 40
Tahun 2007 merupakan satu bentuk strategi community
development.

56

5. Pelaksanaan CSR
Ditinjau dari empat konsep yang dikemukakan oleh Garriga
& Mele, El
-Corp merupakan korporasi bisnis yanglahir dengan
prinsip-prinsip agama Islam. Dalam ajarannya, bisnis selain
sebagai alat untuk mencari keuntungan juga dianggap sebagai
cara untuk menyejahterakan ummat. Dengan kata lain, dibalik
keuntungan yang didapatkan oleh para stakeholderperusahaan
dari berdirinya suatu bisnis, terdapat hak atau kepentingan
ummat didalamnya. Dengan begitu, konsep CSR Garriga & Mele
yang tepat untuk menjelaskan latar belakang pelaksanaan CSR
oleh El-Corps adalah konsep political theories.
Sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya
diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:
1) Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program
CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri
kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat
tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah
perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat
seniornya, seperti corporate secretary atau public affair
manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public
relation.
2) Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah
perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari
model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di

57

negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal,
dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara
teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang
didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola
Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan),
Yayasan DharmamBhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE
Fund.
3) Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan
CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi
non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah,
universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana
maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
Beberapalembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan
perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah
Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas,
Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa
(DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung
suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.
Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi
pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu
yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang

58

mendukungnya secarapro aktif mencari mitra kerjasama dari
kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan
program yang disepakati bersama (Saidi& Abidin2004:64-65)

59

BAB VII KEBIJAKAN CSR DAN RISIKO
KEUANGAN
7.1. Konsep Kebijakan
Kebijakan di sektor pemerintah disebut kebijakan publik.
Kraft & Furlong (2004:4) mengemukakan bahwa kebijakan
publik dapat didefinisikan dalam beragam cara, tetapi pada
dasarnya adalah suatu cara tindakan pemerintah (atau tidak
bertindaknya pemerintah) yang diambil sebagai respons
terhadap masalah-masalah sosial. Masalah sosial adalah kondisi-
kondisi yang dipahami secara umum oleh publik sebagai sesuatu
yang tidak dapat diterimadan karenaitu memerlukan intervensi.
Easton dalam Mulyadi (2015) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh
masyarakat secara keseluruhan. Sementara Mulyadi (2015)
menyebutkan bahwa kebijakan publik merupakan rumusan
keputusan pemerintah yang menjadi pedoman guna mengatasi
masalah publik yang mempuyai tujuan, rencana dan program
yang aka dilaksanakan secara jelas. Kesimpulannya : (1).
Kebijakan publik adalah tentang pilihan: pilihan atas tujuan-
tujuan; pilihan atas alasan untuk dan di dalam bertindak; pilihan
atas instrumen-instrumen; pilihan tentang bagaimana merespon
konsekuensi-konsekuensi dari outputs kebijakan (2) Kebijakan
pubik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksudkan
untuk mengatasi kesalahan, tertentu melakukan kegiatan
tertentu atau untuk mecapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh
institusi yang berwenang dalam rangka penyelenggraaan tugas

60

pemerintahan negara dan pembangunan, berlangsung dalam
suatu kebijakan tertentu.
Wilson (2006:12) menyatakan bahwa elemen yang lazim
dalam definisi kebijakan publik adalah ”suatu proses atau
rangkaian atau pola dari aktivitas atau keputusan-keputusan
pemerintahan yang didesain untuk memecahkan sejumlah
masalah publik. Kebijakan publik merefleksikan maksud, tujuan-
tujuan, dan nilai-nilai dari pemerintah. ICAEW (2012:10)
menyatakan bahwa kepentingan publik adalah segala sesuatu
yang dipentingkan bagi publik. Masalahnya, hal-hal yang
bermanfaat bagi publik tidak selalu persis sama dengan apa yang
mereka anggap penting. Labih lanjut menyatakan bahwa
kepentingan publik dapat didefinisikan dari tiga perspektif.
Pandangan rasionalis mengatakan bahwa kepentingan publik
adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
Pandangan idealis mengatakan bahwa kepentingan publik itu
adalah hal yang luhur sehingga tidak boleh direka-reka oleh
manusia. Pandangan realis mengatakan bahwa kepentingan
publik itu adalah hasil kompromi daribertarungan berbagai
kelompok kepentingan.
7.2. Kinerja Keuangan
Pencapaian tujuan utama perusahaan akan lebih efisien
dengan memperhatikan kebutuhan stakeholder. Akan tetapi pada
kenyaataannya terdapat perusahaan yang mengeluarkan banyak
biaya untuk bertanggungjawab secara sosial dan etis tidak
menyebabkan trade-off (pertukarannya) menjadi negatif dan

61

tetap bisa menampilkan kinerja yang sama baiknya dengan
perusahaan lain yang tidak mengimplementasikan CSR.
Titisari (dalam Yaparto et al., 2013) menjelaskan bahwa
tidak berpengaruhnya CSR terhadap kinerja keuangan dapat
dikarenakan oleh isu mengenai CSR yang cenderung merupakan
sesuatu hal yang baru di Indonesia dan adanya ajang ISRA belum
banyak diketahui oleh perusahaan di Indonesia.
Investor mempunyai presepsi yang rendah terhadap
pengungkapan CSR karena CSR yang dilakukan perusahaan
umumnya merupakan bagian dari iklan dan perusahaan
menghindari memberikan informasi yang relevan. Oleh karena
itu, tidak jarang apabila perusahaan akan mengungkapkan hal-
hal yang baik dan menutupi hal yang tidak menguntungkan bagi
perusahaan pada laporan tahunan yang dapat mendorong
kualitas pengungkapan CSR masih dipertimbangkan oleh
investor. Hal itu mengakibatkan kurangnya ketertarikan investor
untuk menanamkan modal kepada perusahaan sehingga
menyebabkan tidak signifikannya ROE perusahaan (Yaparto et
al., 2013). Atau dapat dikatakan bahwa perusahaan gagal
memberikan informasi yang lebih kepada investor serta besar
kecilnya tingkat pengungkapan CSR tidak ada pengaruh dengan
tingkat pengembalian investasi (Pratiwi, 2013).
7.3. Manajemen Resiko
Berbagai aktivitas yang dilakukan membuat Perusahaan
menghadapi berbagai macam risiko keuangan, termasuk dampak
perubahan harga komoditas dan nilai tukar mata uang asing.

62

Manajemen risiko dijalankan oleh Direksi. Direksi bertugas
melakukan identifikasi, evaluasi dan meliindung nilai yang tepat
terhadap risiko-risiko keuangan jika diperlukan. Direksi
menentukan prinsip manajemen risiko secara keseluruhan,
sekaligus juga menetapkan kebijakan-kebijakan yang mencakup
risiko-risiko dalam bidang tertentu, seperti risiko tingkat kredit,
risiko likuiditas, risiko mata uang, dan risiko harga
komoditas.Beberapa risiko yang di hadapi oleh Perusahaan
adalah sebagai berikut :
7.3.1. Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan risiko yang muncul dikarenakan
debitur tidak membayar semua atau sebagian piutang atau tidak
membayar secara tepat waktu dan akan menyebabkan kerugian
Perusahaan.
Risiko kredit Perusahaan terutama melekat pada penagihan
penjualan. Perusahaan mengendalikan eksposur risiko kredit
dengan menetapkan kebijakan dimana persetujuan atau
penolakan kontrak penjualan dan kepatuhan atas kebijakan
tersebut dipantau oleh direksi. Sebagai bagian dari proses
persetujuan atau penolakan tersebut, reputasi dan catatan
historis pelanggan menjadi bahan pertimbangan. Selain
pengungkapan dibawah ini, Perusahaan tidak memiliki
konsentrasi risiko kredit.
1) Kas dan Bank
Risiko kredit atas penempatan rekening Koran dikelola
oleh manajemen sesuai dengan kebijakan Perusahaan.

63

Penempatan dana dan hanya dilakukan bank dengan reputasi
dan kredibilitas yang baik. Kebijakan ini dievaluasi setiap tahun
oleh Direksi untuk meminimalkan risiko konsentrasi kredit
sehingga mengurangi kemungkinan kerugian akibat
kebangkrutan bank-bank tersebut.
2) Piutang Usaha
Risiko kredit atas penjualan kredit kepada pelanggan
adalah risiko bahwa Perusahaan akan mengalami kerugian yang
timbul dari pelanggan yang gagal memenuhi kewajiban
kontraktual mereka. Perusahaan mengelola dan mengendalikan
risiko kredit dengan menetapkan kebijakan atas persetujuan atau
penolakan kontrak kredit baru. Kepatuhan atas kebijakan
tersebut dipantau oleh Direksi. Sebagai bagian dari proses
persetujuan atau penolakan tersebut, reputasi dan rekam jejak
pelanggan menjadi bahan pertimbangan. Perusahaan melakukan
hubungan usaha hanya dengan pihak ketiga yang diakui dan
kredibel. Manajemen menerapkan peninjauan mingguan dan
bulanan pada umur piutang dan penagihan untuk membatasi
risiko kredit. Sesuai dengan kebijakan manajemen, pelanggan
yang tagihannya telah melewati batas jatuh tempo akan
dikenakan status hold. Saat ini tidak ada risiko kredit terpusat
secara signifikan.
Pada tanggal pelaporan, eksposur maksimum Perusahaan
terhadap risiko kredit adalah sebesar nilai tercatat masing-
masing kategori asset keuangan yang disajikan pada laporan
posisi keuangan.

64


3) Kualitas Kredit Aset Keuangan
Perusahaan mengelola risiko kredit yang terkait dengan
rekening bank dan piutang dengan memonitor reputasi,
peringkat kredit, dan membatasi risiko agregat dari masing-
masing pihak dalam kontrak. Untuk bank, hanya pihak-pihak
independen dengan predikat baik yang diterima.
Kualitas kredit dari aset keuangan baik yang belum jatuh
tempo atau tidak mengalami penurunan nilai dapat dinilai
dengan mengacu pada peringkat kredit eksternal (jika tersedia)
atau mengacu pada informasi historis mengenai tingkat gagal
bayar debitur.
7.3.2. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah suatu risiko yang dapat terjadi
dimana pendapatan jangka pendek tidak dapat menutupi
pengeluaran jangka pendek.Pada saat ini Perusahaan berharap
dapat membayar semua liabilitas pada saat jatuh tempo. Untuk
memenuhi komitmen kas, Perusahaan berharap kegiatan
operasinya dapat menghasilkan arus kas masuk yang cukup.
Perusahaan memelihara rekening bank yang cukup memadai
untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
7.3.3. Risiko Mata Uang Asing
Risiko mata uang merupakan risiko fluktuasi nilai
instrumen keuangan yang disebabkan perubahan nilai tukar
mata uang asing. Perusahaan secara signifikan terekpos risiko
mata uang asing karena sebagian transaksi Perusahaan dalam

65

mata uang asing. Untuk meminimalkan risiko ini, Perusahaan
selalu berusaha menjaga aliran kas dengan mengatur waktu
pembayaran dengan mempertimbangkan kurs yang berlaku pada
saat akan dilakukan pembayaran, serta merencanakan secara
cermat alokasi penempatan dana dalam mata uang asing, untuk
mengantisipasi perubahan kurs yang signifikan pada sisi liabilitas
serta menghindari spekulasi ambil keuntungan atas penempatan
dana dalam mata uang asing.
7.3.4. Risiko Tingkat Suku Bunga
Risiko suku bunga terdiri dari risiko suku bunga atas nilai
wajar, yaitu risiko fluktuasi nilai instrumen keuangan yang
disebabkan perubahan suku bunga pasar, dan risiko suku bunga
atas arus kas, yaitu risiko arus kas di masa datang akan
berfluktuasi karena perubahan suku bunga pasar.
7.3.5. Risiko Harga
Risiko harga adalah risiko fluktuasi nilai instrument
keuangan sebagai akibat perubahan harga harga pasar, terlepas
dari apakah perubahan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor
spesifik dari instrumen individual atau penerbitnya atau
faktorfaktor yang mempengaruhi seluruh instrument yang
diperdagangkan di pasar Perusahaan terkena dampak risiko
harga yang terutama diakibatkan oleh pembelian tetes tebu yang
merupakan bahan baku utama. Harga tetes tebu tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain permintaan dan
pasokan. Dampak risiko harga tersebut mengakibatkan kenaikan
biaya produksi. Dampak yang terjadi terhadap instrumen

66

keuangan adalah penyediaan kebutuhan dana yang cukup besar
untuk pembelian bahan baku.Kebijakan Perusahaan untuk
meminimalkan resiko yang berasal dari fluktuasi harga tetes tebu
adalah antara lain dengan mengadakan kontrak pembelian yang
berjangka waktu 12 bulan atau kurang dan pembelian kepada
pemasok agar mendapatkan harga dan kuantitas yang memadai.

67

BAB VIII DAMPAK CSR DALAM PEREKONOMIAN

Setiap kegiatan dalam perusahaan selalu menimbulkan
dampak positifi maupun dampak negatif kepada perusahaan
maupun kepada masyarakat sekitar. CSR sangat penting untuk
dilakukan karena membangun emosionali antara masyarakat
dengan perusahaan, sehingga citra perusahaan dapat terjaga
ketika banyak stakeholdersi yang memiliki keterikatan emosi
yang positif dengan perusahaan. Dampak-dampak yang terjadi
oleh penerapan CSR. Ketiga aspek (sosial, ekonomi, dan
lingkungan) dalam program CSR dapat membentuk opini,
pendapat, penilaian dan tanggapan masyarakat pada perusahaan
yang menjalankan program CSR tersebut dilingkungan sekitar
tempat perusahaan berdiri. Opini, pendapat, penilai dan
tanggapan yang dibentuk oleh masyarakat dapat mempengaruhi
citra perusahaan.
Carroll (2010) percaya bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan adalah harapan sosial bagi perusahaan pada waktu
tertentu, termasuk tanggung jawab ekonomi, dan tanggung jawab
lingkungan. Tanggung jawab ekonomi adalah bahwa perusahaan
harus secara efektif memanfaatkan sumber daya dan
menyediakan produk atau jasa dengan harga yang wajar, menjaga
ketertiban persaingan industri yang adil dan stabil, dan
memenuhi kepentingan dan kebutuhan pihak yang
berkepentingan, dalam rangka menciptakan lapangan kerja,
keuntungan, dan pertumbuhan; ini adalah tanggung jawab yang

68

paling mendasar dari perusahaan (Retno, 2012). Tanggung jawab
lingkungan adalah bahwa nilai-nilai inti perusahaan dan cita-cita
harus sesuai dengan norma-norma moral dalam masyarakat,
sesuai dengan harapan sosial atau larangan untuk melindungi
hak-hak dan kepentingan publik dari pihak yang berkepentingan
(Carroll, 2010).
8.1. Dampak Kehidupan Sosial
Yenti (2013) menunjukan bahwa aspek sosial memiliki
pengaruh pada citra perusahaan, hal ini menunjukan bahwa
dengan adanya bantuan dana yag bergulir dari perusahaan pada
masyarakat sekitar lingkungan perusahaan dapat membatu
masyarakat sekitar dalam meningkatkan kesejahteraan.
Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya dan Husni (2015)
menunjuka hasil yang serupa yaitu aspek sosial memiliki
pengaruh pada citra perusahaan, hal ini menunjukan bahwa
dukungan aktif yang diberikan oleh perusahaan dalam kegiatan
sosial memberikan pengaruh positif pada masyarakat lingkungan
sekitar perusahaan, oleh karena itu masyarakat memiliki opini
positif pada citra perusahaan.
Dampak sosial yang diakibatkan adanya CSR perusahaan
pada masyarakat sekitar adalah sebagai berikut :
1. Pihak perusahaan memberikan perhatian penuh kepada
keluarga penerima beasiswa dengan memenuhi kebutuhan
sekolah;

69

2. Menjalin hubungan yang baik dengan kedua keluarga
penerima beasiswa serta memberikan wawasan tentang
perusahaan;
3. Pihak perusahaan memberikan fasilitas computer untuk
anak asuhnya, agar anak asuhnya memahami tentang
teknologi;
4. Adanya kegiatan bermanfaat yang menjadikan masyarakat
bergotong royong;
5. Kegiatan donor darah sebagai wadah untuk mereka yang
ingin mendonorkan darahnya. Sehingga dapat
memberikan sumbangan darah kepada PMI untuk
disalurkan kepada yang membutuhkan;
6. Beasiswa yang diberikan kepada dua anak asuh hanya
berlangsung selama satu tahun, dan sampai saat ini belum
ada kepastian dari pihak management perusahaan apakah
beasiswa tersebut akan berlanjut atau diberhentikan;
7. Pihak perusahaan hanya memberikan bantuan kepada
masyarakat yang berdomisili asli Surabaya, padahal
banyak sekali masyarakat pendatang yang tinggal di
wilayah perusahaan dan sekitarnya yang membutuhkan
bantuan;
8.2. Dampak Ekonomi
Menurut Chahal dan Sharma (2006) aspek ekonomi dari
corporate social responsibility (CSR) meliputi dampak ekonomi
dari kegiatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan. Aspek
ini sering kali disalah artikan sebagai masalah keuangan

70

perusahaan sehingga aspek ini diasumsikan lebih mudah untuk
diimplementasikan daripada dua aspek lainnya, yaitu aspek
sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi tidak sesederhana
melaporkan keuangan/neraca perusahaan saja, tetapi juga
meliputi dampak ekonomi baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap operasional perusahaan di komunitas lokal
dan di pihak-pihak yang berpengaruh terhadap perusahaan
lainnya. Kunci sukses dari aspek ekonomi adalah economic
performance/kinerja keuangan perusahaan. Hadi (2011:16)
menyatakan bahwa keberadaan perusahaan yang ditujukan
untuk meningkatkan nilai bagi shareholders, seperti
meningkatkan keuntungan, harga saham, pembayaran deviden,
dan lainnya.
Menurut Rizal dalam Sidarta (2002: 36), komponen-
komponen dan fungsi sistem ekonomi untuk mengetahui
besarnya dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan perlu
memperhatikan :
b. Sistem ekonomi tersusun atas hubungan timbal balik dari
para pelaku ekonomi dan organisasi.
c. Sistem ekonomi mengatur perubahan persediaan bahan
mentah menjadi barang jadi.
d. Sistem ekonomi menentukam ditsribusi dari barang dan jasal
yang diperlukan.
e. Sistem ekonomi mempengaruhi presepsi ruang mengenai
barang dan jasa yang dibutuhkan.
CSR merupakan komitmen perusahaan untuk melakukan
kontribusi dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan untuk
bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk meningkatkan

71

kualitas kehidupan dengan cara meningkatkan perekonomian
masyarakat yang ada di sekitar Perusahaan. Keberadaan
Perusahaan seharusnya mampu memberdayakan masyarakati
untuk diajak bekerjasama dalam aktivitas bisnsis perusahaan
agar perekonomian masyarakat sekitar mengalami peningkatan.
8.3. Dampak Lingkungan
Mardikanto (2014:149) mendefinisikan aspek lingkungan
merupakan kewajiban perusahaan terhadap dampak lingkungan
yang dihasilkan dari operasi dan produk, menghilangkan emisi
dan limbah, mencapai efisiensi maksimum dan produktivitas
tergantung pada sumber daya yang tersedia, dan penurunan
praktik yang dapat berdampak negatif terhadap negara dan
ketersediaan sumberdaya generasi berikutnya. Perusahaan
harus menyadari semua aspek lingkungan langsung dan tidak
langsung yang berhubungan dengan kinerja usahanya,
penyerahan jasa, dan manufaktur produk.
Aspek lingkungan atau environment dimension ini
mencerminkan dimana perusahaan memiliki kewajiban terhadap
dampak yang dihasilkan pada lingkungan dari operasional
perusahaan (Mardikanto, 2014:149). Menciptakan lingkungan
yang sehat dan aman, mengelola limbah dengan baik dan
menciptakan produk-produk yang ramah lingkungan merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan (Ulum, 2014).

72

BAB IX MENGOPTIMALKAN CSR
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana diketahui
telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan,
antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan ada beberapa peraturan lainnya seperti bidang lingkungan,
energi dan kehutanan.
Peraturan-peraturan di atas mengatur CSR secara umum
atau dengan kata lain CSR sendiri hanya bagian kecil dari
peraturan tersebut. Secara khusus CSR diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Walaupun PP 47 mengatur secara khusus mengenai CSR
tetapi jika dikaji seksama substansi PP tersebut setidaknnya
belum merinci dengan jelas mengenai jumlah dan peruntukan
CSR yang menjadi kewajiban dari perusahaan.
Kekurangan tersebut tidak hanya pada peraturan pelaksana
saja bahkan undang-undang yang mendelegasikannya tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai hal tersebut kecuali
peraturan lain terkait untuk BUMN.
Karena tidak ditentukan tersebut maka hal ini dapat
membuka peluang bagi “perusahaan yang kurang peduli” untuk
tidak berlaku semestinya dalam pelaksanaan dan pelaporannya.

73

Untuk menutupi kekurangan serta memaksimalkan
peraturan yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung CSR
telah ditetapkan oleh Gubernur melalui Peraturan Daerah Nomor
7 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan.
Sangat jelas dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah
tersebut menyebutkan bahwa dalam anggaran perusahaan
mengalokasikan dari keuntungan bersih setelah dikurangi pajak
atau dialokasikan dari mata anggaran lain yang ditentukan
perusahaan sebesar 1% sampai dengan 2%.
Dengan adanya penetapan besaran alokasi dana untuk
pelaksanaan CSR tersebut maka menjadi kewajiban moral pihak
perusahaan untuk melaksanakannya, karena jika melanggar
ketentuan norma perda tersebut terdapat konsekuensi sanksi
yang bisa diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan peruntukan CSR juga sangat jelas diatur dalam
Pasal 11 ayat (1) yang kemudian dirinci dalam pasal-pasal
selanjutnya sehingga penggunaan CSR diharapkan dapat
memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan
masyarakat setempat.
Selain pembebanan terhadap perusahaan Peraturan Daerah
tersebut juga mengatur mengenai pemberian penghargaan bagi
perusahaan yang telah bersungguh-sungguh melaksanakan CSR,
yang ditindaklanjuti dengan menetapkan Peraturan Gubernur
Nomor 58 tahun 2017 tentang Pemberian Penghargaan

74

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini bermaksud peraturan yang
dibentuk tidak hanya untuk membebani perusahaan tetapi juga
memberikan reward apabila perusahaan telah melaksanakan
CSR secara baik.
Walaupun peraturan yang menaungi CSR sudah lengkap
dan jelas bukan berarti tidak ada celah pelanggaran atau
kelalaian baik sengaja ataupun tidak sengaja dari pihak
perusahaan dalam pelaksanaan CSR. Oleh karena itu untuk
memaksimalkan peran perusahaan dalam pelaksanaan CSR
tersebut perlu adanya peran serta masyarakat secara aktif.
Peran aktif tersebut antara lain misalnya membuat sejenis
perjanjian atau kesepakatan dari masyarakat setempat dengan
perusahaan yang difasilitasi oleh pemerintah mengenai apa yang
harus dilaksanakan melalui CSR tersebut dengan tetap berpegang
prinsip bahwa CSR dilaksanakan semata-mata untuk
mensejahterakan masyarakat setempat sehingga poin-poin yang
tercantum dalam naskah perjanjian atau kesepakatan tersebut
merupakan keinginan dari masyarakat setempat yang tidak
keluar dari substansi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun perjanjian atau kesepakatan tersebut dapat
diprakarsai oleh pemerintah desa setempat dengan perusahaan.
Hal ini dimungkinkan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 96 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Kerjasama Desa di Bidang Pemerintahan Desa.

75

Untuk memperkuat perjanjian atau kesepakatan tersebut
perlu ada komitmen pemerintah daerah mengenai sanksi yang
diterapkan apabila ternyata perusahaan melanggar perjanjian
atau kesepakatan tersebut di kemudian hari dengan tetap
mengacu pada peraturan perundang-undangan. Karena tanpa
komitmen, masyarakat tidak dapat berbuat banyak apabila
terjadi pelanggaran sehingga yang menjadi korban atau pihak
yang dirugikan adalah masyarakat setempat.
Dengan adanya sinergitas antara peran aktif masyarakat,
dukungan pemerintah daerah dan komitmen perusahaan dalam
menjalankan CSR maka diharapkan implementasi pengelolaan
CSR khususnya di provinsi kepulauan bangka belitung dapat
berjalan secara terarah sehingga dapat mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta kelestarian
lingkungan hidup.
Strategi Korporat
Strategi yang dirumuskan untuk mencapai tujuan korporat
atau bisnis secara keseluruhan mencakup bagaimana
mengintegrasikan dan mengelola semua bisnis (New Business,
New Divisions, Merger, Acquisition). Korporat bertanggung
jawab membangun “value” dalam bisnisnya. Korporat
bertanggung jawab pada portofolio bisnis, memastikan bahwa
bisnis akan beroprasi dalam jangka panjang, dan memastikan
setiap bisnis yang dimilikinya kompatibel satu sama lain.
Strategi korporat merupakan game plan keseluruhan dari
perusahaan diversifikasi. Strategi ini menjadi payung atau

76

pedoman strategi bagi seluruh unit bisnis yang dimiliki
perusahaan diversifikasi.
Strategi Unit Bisnis
Strategi level unit bisnis ini bisa berupa strategi di level
anak perusahaan, divisi, lini produk, atau profit centre lain yang
memiliki otonomi pengelolaan bisnisnya sendiri. Isu dalam
strategi bisnis adalah bagaimana mengkoordinasikan fungsi-
fungsi bisnis/manajemen untuk mencapai keunggulan
kompetitif.
Di level bisnis strategi yang diformulasikan akan berkaitan
dengan posisi bisnis terhadap pesaing, bagaimana
mengakomodasi perubahan tren pasar dan teknologi, dan upaya-
upaya mempengaruhi persaingan melalui tindakan-tindakan
strategis seperti integrasi vertikal, atau tindakan politis seperti
lobi.
Strategi Fungsional
Strategi yang diformulasikan dan diimplementasikan di
level fungsi manajemen dari tiap bisnis, seperti fungsi SDM,
keuangan, operasional, dan pemasaran. Level ini menjadi pusat
informasi manajemen strategi di level lebih atas yaitu bisnis dan
korporat. Setiap unit fungsional diharuskan mengembangkan
strategi bisnis agar dapat memberikan kontribusi pada
kesuksesan strategi bisnis secara keseluruhan.
Strategi Operasional
Strategi yang diformulasikan dan diimplementasikan di
unit-unit operasional seperti penjualan, distribusi, penyimpanan,

77

promosi, persediaan, penggajian dll. Keberhasilan manager pada
jajaran ini akan menentukan kelancaran proses dan kesuksesan
organisasi secara keseluruhan.

78

BAB X TANTANGAN BARU YANG MUNCUL
DARI PRAKTIK CSR
Corporate Social Responsibility menjadi isu yang seringkali
diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Salah satu isu yang
seringkali diperdebatkan khususnya di Indonesia adalah
perdebatan definisi dan praktik ideal CSR. Bahkan perdebatan ini
pun sudah masuk keranah kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR
masuk dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan
Terbatas. Hal ini pun disinggung secara tegas dalam Rencana
Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Namun
sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada
pewajiban, sanksi, porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis.
Tidak tersinggung sama sekali soal makna, nilai, dan cita-cita
pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihak
perusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan dengan
alasan klasik yaitu masalah dana. Jika pemerintah melihat CSR
sebagai peluang memeroleh dana di luar pajak dan kewajiban
regulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan
suara menyatakan bahwa pewajiban CSR hanyalah tambahan
pengeluaran anggaran.
Selanjutnya, CSR merupakan usaha insiatif yang
diformulasikan sendiri oleh sektor bisnis itu sendiri melalui self
regulation nya. Konsekuensinya tidaklah mengherankan apabila
skema CSR yang lazim diadopsi oleh kalangan korporasi
seringkali hanyalah merupakan rangkaian pernyataan atau
prinsip yang bersifat kabur yang tak mampu menjadi panduan
dalam situasi konkret. Mereka juga dalam kebanyakan kasus
tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian berbagai
masalah sosial dan lingkungan yang mencuat sebagai dampak
kinerja bisnis. Situasi semacam inilah yang menjadi landasan
kritik bahwa CSR tidaklah lebih daripada aktivitas public
relations pihak korporasi tanpa disertai suatu perubahan yang
substansial sifatnya.
CSR dalam pengertian nya merupakan suatu komitmen
berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan

79

memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi dari
komunitas setempat atau masyarakat luas, bersamaan dengan
peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarga nya ( Wibisono,
2007:7). Dengan kata lain, CSR dipahami sebagai cara sebuah
perusahaan dalam mencapai keseimbangan atau integrasi dari
ekonomi, environment atau lingkungan dan persoalan-persoalan
sosial dalam waktu yang sama bisa memenuhi harapan dari
shareholders maupun stakeholders. Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa CSR harus menyasar pada tiga hal yaitu profit,
people dan plannet (tripple bottom lines dalam CSR) (Edi
Suharto, 2006:5).
Dalam perjalanan nya, CSR setidaknya menyisakan dua
persoalan pokok. Pertama, masih belum jelasnya kewajiban
pelaksanaan CSR. Hal ini berkaitan dengan siapakah yang
melaksanakan CSR “ apakah perusahaan yang menjalankan usaha
dan berkaitan langsung dengan sumber daya alam ataukah
perusahaan yang tidak mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam tetapi kegiatan nya memiliki dampak terhadap sumber
daya alam”. Kedua, berkaitan dengan manfaat CSR. Perusahaan
mengklaim bahwa mereka sudah melaksanakan program CSR
kepada stakeholder namun sebaliknya stakeholder belum
merasakan manfaat dari program tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari program CSR yang telah dilakukan oleh banyak perusahaan
di Indonesia. Contoh nya program CSR yang dilakukan oleh PT.
Freeport Indonesia yang menyediakan layanan medis bagi
masyarakat Papua melalui penyediaan klinik-klinik dan rumah
sakit modern di Banti dan Timika. Selain itu, perusahaan ini juga
menyediakan bantuan dana pendidikan bagi pelajar Papua dan
melakukan pengembangan program wirausaha seperti di
Komoro dan Timika. Namun, dari sekian banyak nya program
CSR yang telah dilakukan tersebut, PT Freeport masih belum
mengalami nasib “baik”. Betapa tidak, PT.Freeport Indonesia
yang telah beroperasi sejak tahun 1969, sampai saat ini tidak
lepas dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal, baik
berkaitan dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun
kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi.

80

Salah satu hal yang mungkin menyebabkan ini terjadi
adalah program yang diusung oleh perusahaan belum didasarkan
pada penilaian (assessment) kebutuhan dari masyarakat lokal.
Selain itu, hal yang seringkali mengusik adalah pembangunan
fisik yang dilakukan oleh berbagai perusahaan yang diklaim
sebagai program CSR dalam kenyataan bukan ditujukan untuk
masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri.
Contohnya pembangunan transpostasi berupa jalan, pada tingkat
tertentu bertujuan untuk mempercepat jalannya proses
produksi. Dengan demikian, walaupun jalan tersebut bermanfaat
bagi masyarakat lokal, hal tersebut merupakan externality yang
menguntungkan masyarakat lokal.
Selain persoalan diatas, program CSR masih menyimpan
banyak polemik di dua Kementrian yaitu di Kementrian Hukum
dan HAM dan Kementrian Perindustrian. Kemenkum dan HAM
berusaha mewajibkan program CSR bagi seluruh perusahaan
sedangkan kementrian Perindustrian tidak mewajibkan
perusahaan memiliki program CSR. Hal ini merupakan Full
Anomali (terbalik-balik). Kementrian Hukum dan HAM yang
seharusnya mendukung pengusaha karena asas kebebasan malah
mendukung program CSR, akan tetapi Kementrian Perindustrian
yang seharusnya mewajibkan CSR justru memberikan kebebasan
dari tuntutan kewajiban CSR.
Pada dasarnya perusahaan di Indonesia melaksanakan
program CSR atas dasar memenuhi kewajiban kontraktual dalam
artian mengikuti peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Namun terlepas dari semua itu,
seharusnya perusahaan sudah memikirkan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada akhirnya, semua persoalan tersebut harus
diselesaikan oleh berbagai pihak baik pihak perusahaan,
pemerintah, masyarakat dan pihak lain yang terkait untuk
membuat regulasi yang baik mengenai program CSR. Program
CSR yang dilaksanakan oleh setiap perusahaan haruslah
menyasar pada “kebutuhan” masyarakat bukan hanya sebatas
program asal-asalan yang dilakukan oleh perusahaan untuk

81

menunjang reputasi dan image perusahaan. Tanpa adanya motif
melayani keinginan masyarakat dan manajemen yang tidak
transparan akan mengakibatkan program CSR berjalan ekslusif
dan tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat.
Tantangan Implementasi CSR oleh Perusahaan
Tantangan dimaknai sebagai faktor-faktor yang dapat
menghambat terwujudnya implementasi CSR oleh perusahaan.
Sebagaimana peluang, penghambat dapat juga berasal dari dunia
usaha maupun dari pemerintah dalam bentuk masih lemahnya
pengaturan terkait reward and punishment dalam implementasi
CSR. Paling tidak terdapat dua faktor penghambat yang datang
dari dunia usaha yaitu adanya pendapat bahwa CSR secara teknis
dan filosofis bersifat sukarela, dan penerapan CSR merupakan
cost centre bagi operasi perusahaan (Anonim, 2009).
(1) Bagi sebagian pihak yang penganut prinsip ini,
implementasi CSR sepenuhnya bersifat sukarela sesuai
kemampuan sumber daya (termasuk finansial)
perusahaan. Di dunia barat, Eropa dan Amerika, prinsip
CSR yang bersifat sukarela dapat berjalan baik karena
etika bisnis telah terinternalisasi dengan baik sehingga
CSR telah menjadi kebutuhan. Di negara berkembang
seperti Indonesia, hal tersebut masih belum
dimungkinkan mengingat belum berkembangnya etika
bisnis sebagaimana yang berkembang di negara barat.
Dalam hal ini, implementasi CSR di Indonesia masih tetap
membutuhkan adanya campur tangan pemerintah sebagai
regulator untuk memastikan berjalannya keharmonisan
antara dunia usaha dengan tuntuan sosial dan ekologis.
(2) Prinsip lain yang menjadi penghambat yang datang dari
dunia usaha adalah adanya anggapan bahwa CSR lebih
merupakan Cost centre yang tidak memberikan dampak
positif terhadap operasi maupun eksistensi perusahaan
dalam jangka panjang. Prinsip ini didukung oleh pendapat

82

Milton Friedman seorang pemenang Nobel Ekonomi tahun
60-an- (Manne, 2007) bahwa tugas utama perusahaan
adalah memupuk keuntungan sebesar-besarnya,
sedangkan tugas-tugas peningkatan kesejahteraan sosial
adalah tugas pemerintah karena perusahaan telah
membayar berbagai pajak kepada pemerintah sehingga
seyogyanya urusan di luar tugas utama perusahaan (motif
memupuk keuntungan/profit seeking motive) harus
dilakukan oleh pemerintah.
Dari sisi pemerintah, walau telah ada peraturan perundang-
undangan yang secara eksplisit maupun implisit mewajibkan
pelaksanaan CSR namun masih ada beberapa hal yang menjadi
faktor penghambat dalam implementasinya. Faktor-faktor
penghambat tersebut adalah belum ada kebijakan reward dan
punishment yang memadai.

83


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Daniri, Mas. 2006. Good Corporate Governance: Konsep
dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Ray
Indonesia.
Anggusti, Martono. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Bandung: Books Terrace & Library.
Bagyo Y. Moeliodihardjo. (2012). University, Industry, and
Government partnership:
Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket, Pentingnya Sebuah Perbedaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Budi Untung, Hendrik. 2008. Corporate Social Responsbility.
Jakarta : Sinar Grafika.
Budimanta, Arif. Adi Prasetijo, dan Bambang Rudito. 2005.
Corporate Social Responsibility, Jawaban bagi Model
Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia
Center for Sustainable Development.
Chandra, Robby I. 1995. Etika Dunia Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Djoko Santoso. (2008). Makalah “Universitas dalam Industri”
disampaikan pada Raker Perindustrian Jawa Timur,
Surabaya, 12 Maret 2008
Ermawan, Emi R. 2007. Business Ethics : Etika Bisnis. Bandung :
CV. Alfabeta.
Etzkowitz, Henry, José Manoel Carvalho de Mello, and Mariza
Almeida. "Towards ―meta-innovation‖ in Brazil: The
evolution of the incubator and the emergence of a triple
helix." Research policy 34, no. 4 (2005): 411-424.
Etzkowitz, Henry. "Innovation in innovation: The triple helix of
university-industry-government relations." Social science
information 42, no. 3 (2003): 293-337.

84

Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Hakim, Lukman. 2011. Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga
Daerah. Malang: Setara Press.
Horton, Paul B. dan C. Hunt dalam Ridwan Effendy dan Elly
Malihah. 2007.
Huijbers, Heo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.
Yogyakarta: Kanisius.
its present and future challenges in Indonesia. Journal Procedia -
Social and Behavioral Sciences
Jaelani, A. "Sistem Anggaran Berbasis Kinerja pada APBN di
Indonesia Perspektif Ekonomi Islam." Al-Amwal: Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syari'ah 10, no.1 (2018): 128-145.
Jaelani, A. ―Masa Depan IAIN Syekh Nurjati Cirebon: Strategi
Kampus Entrepreuner Berbasis Lokal.‖ Holistik 15, no. 2
(2014). Jencks, Christopher, and David Riesman. "The
academic revolution." (1968).
Joko, Rizkie W. “Masalah Dasar Pengelolaan Corporate Social
Responsibility (CSR) di Indonesia”
http://repository.ut.ac.id/1436/1/Artikel%20Joko%20Riz
kie%20Widokarti.pdf di unduh 24 Januari 2018
Kansil,Christine S. T. 2004. Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility Transformasi
Konsep Sustainability Management dan Implementasi Di
Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility, Transformasi
Konsep Sustainability Management dan Implementasi di
Indonesia. Malang :Refika
Aditama.
Kraft, Michael E., Scott R. Furlong, 2004. Public Policy: Politics,
Analysis,and Alternatives. Washington: CQ Press.
Krisdyatmiko. Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat Dalam
Bingkai Forum Multi Stakeholders Corporate Social
Responbility (MSH-CSR) dalam

85

Leydesdorff dan Etzkowitz. (2001). The Transformation
University-Industry-and Government Relations. Electronic
Journal of Sosiology
Midgley, James (ed.). 2009. The Handbook of Social Policy.
London: Sage Publication.
Mulyadi, D. 2015. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik :
Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik dan
Pelayanan Publik. Bandung: Alfa Beta.
Muthuri N. Judy, Gilbert Victoria. 2010. An Institutional Analysis
Of Corporate Social Responsibility In Kenya. Journal Of
Business Ethic.
Nurhayati IS dan Widiawati Y. 2017. Emisi Gas Rumah Kaca dari
Peternakan di Pulau Jawa yang Dihitung dengan Metode
Tier-1 IPCC, Bogor: Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Diakses melalui
DOI:http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2017-
p.292-300
Pendidikan Lingkungan Sosial, Budaya, dan Teknologi. Bandung:
CV. Yasindo Multi Aspek.
Permendikbud No.49/2004 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi. Permendikbud No.49/2004 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi.
Poerwanto. 2010. Corporate Social Responsibility, Menjinakkan
Gejolak Sosial Di Era Pornografi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rahmatullah dan Kurniati, Trianita. 2011. Panduan Praktis
Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility).
Yogyakarta: Samudra Biru.
Sambutan Menteri Riset dan Teknologi, Pengukuhan Gelar
Perekayasa Utama Kehormatan 2014, 20 Agustus 2014.
Diakses pada 5-1-2015 pukul 02.06.
http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/
id/14879/print

86

Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 1992. Ekonomi Edisi
Keduabelas Jilid 1 Terjemahan Drs. A. Jaka Wasana M. MSM.
Jakarta: Erlangga.
Saputra, Imam dan Amin Widjaja. 2002. Membangun Good
Corporate Governance (GCG), Jakarta: Havarindo.
Shaw, HW. 2009. Marxism, Business Ethics, and Corporate Social
Responsibility. Journal Of Business Ethics, 84:565-578.
Suharto, Edi (2005). Membangun Masyarakat, Memberdayakan
Rakyat. Bandung, Refika Aditama.
Sulistiyani, Ambar. 2004. Kemitraan dan Model-Model
Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media.
Susetiawan. 2012. Corporate Social Responsibility Komitmen
Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Azzagrafika.
Susetiawan. 2012. Corporate Social Responsibility Komitmen
Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Azzagrafika.
Tjager, Nyoman I dkk, 2003. Dalam Dr. St. Mahendra Soni Indriyo,
SH., M.Hum. Dalam Tim Editor Joni Emirzon dkk, 2007,
Perspektif Hukum Bisnis Indonesia Pada Era Globalisasi
Ekonomi, Yogyakarta: Genta Press.
Tsamara, Y.N, Raharjo, S.T, Resnawaty, R, 2018, Strategi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) PT Pertamina
Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam
Pertamina Sehati, Vol. 8, No.2, Hal. 219-224, Social Work
Journal Universitas Padjajaran: Bandung. Diakses melalui
DOI: https://doi.org/10.24198/share.v8i2.20083 pada
tanggal 21 Januari 2020.
Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 6 tahun
2013 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wibisono, Yusuf (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR.
Gresik. Fascho Publishing.
Wilson, Charter A., 2006. Public Policy: Continuity and Change.
New York: McGraw-Hill.

87

Kim, Younghwan, Wonjoon Kim, and Taeyong Yang. "The effect of
the triple helix system and habitat on regional
entrepreneurship: Empirical Evidence from the US."
Research Policy 41, no. 1 (2012): 154-166.
Lee, Soo Jeung, and Thanh Ha Ngo. "Riccardo Viale and Henry
Etzkowitz (eds): The capitalization of knowledge: a triple
helix of university-industry-government." (2012): 161-163.
Leydesdorff, Loet, and Yuan Sun. "National and international
dimensions of the Triple Helix in Japan: University–
industry–
government versus international co-authorship
relations." Journal of the American Society for Information
Science and Technology 60, no. 4 (2009): 778-788.
Leydesdorff, Loet. "The Triple Helix of University-Industry-
Government Relations (February 2012)." Encyclopedia of
Creativity, Innovation, and Entrepreneurship, New York:
Springer (2012).
Leydesdorff, Loet. Triple Helix of university-industry-
government relations. Springer New York, 2013.
Matlay, Harry, and Jay Mitra. "Entrepreneurship and learning: the
double act in the triple helix." The International Journal of
Entrepreneurship and Innovation 3, no. 1 (2002): 7-16.
Meyer, Martin, Tatiana Siniläinen, and Jan Utecht. "Towards
hybrid Triple Helix indicators: A study of university-related
patents and a survey of academic inventors."
Scientometrics58, no. 2 (2003): 321-350.
Meyer, Martin. "Academic entrepreneurs or entrepreneurial
academics? Research–
based ventures and public support
mechanisms." R&D Management 33, no. 2 (2003): 107-115.
Meyer, Siniläinen, dan Utecht. "Towards hybrid Triple Helix
indicators: A study of university-related patents and a
survey of academic inventors." Scientometrics58, no. 2
(2003): 321-350.

Dr. Azizul Kholis, SE, M.Si, M.Pd, CMA,
CSRS, Gelar Datuk Bentara Setia Indra.
Lahir di Tanah Merah, Indrapura,
Kabupaten Batubara Lahir pada tanggal
27 Februari 1975. Lulus Sekolah
Menengah Ekonomi Atas (SMEA) pada
tahun 1993. Melanjutkan studi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di
Jurusan Akuntansi. Menyelesaikan pendidikan Strata dua pada
program pascasarjana Universitas Diponegoro, Ilmu Akuntansi
pada tahun 2000. Dan menyelesaikan Program Doktor (S3) pada
Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun
2017. Serta menyelesaikan pendidikan Strata dua (S2) Program
Pascasarjana Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Medan,
lulus pada tahun 2020.
Sejak 2002 Menjadi dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas
Negeri Medan. Penulis telah nbanyak melakukan berbagai
penelitian, bai yang didanai, kementerian, perguruan tinggi,
pemerintah daerah maupun mandiri. Penulis juga aktif sebagai
staff Ahli dari barbagai OPD di pemerintahan Provinsi Sumatera
Utara.
TENTANG PENULIS