pISSN 2460-6855 Jurnal Gizi KH, Desember 2018, 1(1):52-57

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 52
HUBUNGAN PROTEIN ENERGI RASIO DALAM DIET DENGAN
KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA JAGUNG,
KECAMATAN PAGU, KABUPATEN KEDIRI

(Relationship of Ratio Energy Protein in Diet with Stunting in Children Under Five in
Jagung Village, Pagu District, Kediri Regency)

Cucuk Suprihartini
Program Studi D3 Gizi, Akademi Gizi Karya Husada Kediri, Kabupaten Kediri, Indonesia
Korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

The prevalence of stunting toddlers in Indonesia is still high, which is 29.6% (PSG, 2017). While the
prevalence of stunting in East Java is 26.7%. The stunting data of the Kediri District Health Office as of
February 2018 was 19.79% and Pagu District was 13.38%. This study aims to examine the relationship of
energy protein ratio with the incidence of stunting in the Jagung Village of Pagu District, Kediri Regency.
Data of energy protein ratio by using 24-hour recall, height data measured by microtoice, age data using
questionnaires and KMS. Analyst variable relationship with contingency coefficients. The results showed that
there was no significant relationship between energy protein intake ratio and the incidence of stunting in
Jagung Village, Pagu District, Kediri Regency, with the Contingency Coefficient value of 0.271 greater than
the alpha (α) of 0.05. This is because stunting can be caused by multifactors, including infections, low birth
weight, exclusive breastfeeding and type of protein (animal or plant protein), and consumption of other
macro and micronutrients. The conclusion of this study is that the incidence of stunting is not only
influenced by the protein energy ratio, so it is necessary to assess other factors.
Keywords: toddlers, protein energy rasio, stunting

ABSTRAK

Prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% (PSG, 2017). Sedangkan prevalensi
stunting Jawa Timur 26,7%. Data stunting Dinkes Kabupaten Kediri per Pebruari 2018 sebesar 19,79% dan
Kecamatan Pagu 13,38%. Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan asupan protein energi rasio dengan
kejadian stunting di Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Data asupan energy protein rasio
dengan menggunakan recall 24 jam, data tinggi badan diukur dengan microtoice, data umur menggunakan
kuesioner dan KMS. Untuk mengetahui hubungan kedua variabel digunakan uji contingency coeffisient (α :
0,05). Hasil Penelitian menunjukkan p value sebesar 0,271, tidak ada hubungan yang signifikan antara
asupan protein energi rasio dengan kejadian stunting di Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Konsumsi protein energi rasio bukan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi prevalensi stunting.
Kejadian stunting disebabkan oleh multifactor, diantaranya infeksi, berat badan lahir rendah, ASI eksklusif
dan jenis protein (hewani dan nabati), serta konsumsi makro dan mikronutrien lainnya. Melihat banyaknya
faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting, maka diperlukan penelitian dan pengkajian yang lebih
mendalam untuk menentukan faktor mana yang berhubungan dengan terjadinya stunting.
Kata Kunci : balita, protein energi rasio, stunting

PENDAHULUAN

Stunting adalah kondisi tubuh pendek
dan sangat pendek, yang diukur berdasarkan
tinggi badan menurut umur (Kemenkes,
2010). Keadaan terhambatnya pertumbuhan
anak (pertumbuhan tubuh dan otak) sehingga
anak menjadi lebih pendek dari anak normal
seumurannya dan memiliki daya berpikir yang
lambat yang diakibatkan oleh defisiensi zat
gizi dalam kurun waktu yang lama dinamakan
stunting.
Menurut pemantauan status gizi (PSG)
(2017), Di Indonesia prevalensi balita stunting
sebesar 29,6%, angka tersebut masih tingggi

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 53
apabila dibandingakan dengan batasan yang
ditetapkan WHO yaitu sebesar 20%.
Sedangkan prevalensi stunting Jawa
Timur pada PSG 2017 sebesar 26,7%. Data
stunting Dinkes Kabupaten Kediri per
Pebruari 2018 sebesar 19,79% dan Kecamatan
Pagu 13,38%.
Penyebab stunting sangat komplek dan
multifaktor. Penyebab dasar stunting antara
lain lingkungan, sosial ekonomi dan penyebab
langsung adalah infeksi dan asupan gizi yang
kurang (Sari, E.M., dkk., 2016).
Kuantitas dan kualitas asupan protein
mempengaruhi asupan gizi yang di konsumsi
karena dapat berpengaruh pada level plasma
insulin growth factor I (IGF-I), protein
matriks tulang dan faktor pertumbuhan yang
berperan penting dalam formasi tulang
(Mikhail WZA,et.all, 2013).
Rasio protein energi rasio merupakan
salah satu indeks kualitas makanan (diet).
Rasio kandungan energi protein pada diet
terutama untuk menutupi kebutuhan energi,
termasuk kebutuhan protein protein energi
ratio (P/e). Rekomendasi kecukupan (P/e) dari
WHO sebesar 10 %. (WHO, 1991)
Estimasi kebutuhan protein dan rasio
energi protein bisa menjadi Salah satu
pendekatan aspek gizi yang dapat dilakukan.
Balita dapat mengkonsumsi protein dengan
kuantitas dan kualitas yang mencukupi.
Apabila kebutuhan energi untuk pemeliharaan
proses-proses hidup dan fungsi-fungsi lain
terpenuhi barulah proses pertumbuhan dapat
terjadi.
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian
bagaimana konsumsi protein dan rasio energi
protein dalam diet dengan kejadian stunting
pada balita.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode
observasional analitik, dengan pendekatan
cross sectional. Data protein energy rasio
didapatkan dengan lembar recall 24 jam
selama 3 kali pada hari yang tidak berurutan,
kepada ibu balita. Sampel penelitian 48 anak
balita berusia 12 – 60 bulan. Data kejadian
stunting diperoleh dengan melakukan
pengukuran tinggi badan dan data umur
berdasarkan wawancara dan data KMS.
Hubungan kedua variabel dianalisis dengan
contingency coeffisient dengan α : 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Balita
1. Jenis Kelamin
Data jenis kelamin 48 balita yang
menjadi responden disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin n %
1. Laki-Laki 29 60,42
2. Perempuan 19 39,58
Jumlah 48 100

Berdasarkan Tabel.1, distribusi balita
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa jumlah balita laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan.

2. Kelompok Umur
Data kelompok umur 48 responden
disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasakan
Kelompok Umur
No.
Kelompok
Umur
(Bulan)
N %
1 12 – 24 20 41,67
2 25 - 36 25 31,25
3
4
37 - 48
49 – 60
10
3
20,83
6,25
Jumlah 48 100

Presentase kelompok umur responden
terbesar pada usia 25 – 36 bulan.
Walauppun usia bukanlah parameter
antropometri, akan tetapi usia sangat
berhubungan dengan pertumbuhan tubuh.
Oleh karena itu, faktor usia sangatlah
penting dalam penentuan status gizi. Karena
pertumbuhan tubuh berkaitan erat dengan
bertambahnya usia, serta kecepatan tumbuh
(growth rate) tidak sama sepanjang masa
pertumbuhan maka perhitungan usia

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 54
haruslah dilakukan secara teliti (Holil M.P.,
2014).
Umur merupakan salah satu faktor
yang turut menentukan kebutuhan gizi
seseorang selain itu kemandirian dan juga
menentukan kesukaan pada suatu makanan.
Peningkatan usia akan dapat menyebabkan
penurunan daya kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas sehingga
membutuhkan kecukupan energi yang lebih
besar (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
Balita adalah anak dengan usia
dibawah 5 tahun yang memiliki tingkat
pertumbuhan yang cepat. Pada usia 5 bulan
Berat Badan akan naik dua kali dari berat
badan lahir, dan tiga kali berat badan lahir
pada usia 1 tahun dan menjadi 4 kali berat
badan lahir pada umur 2 tahun. Penurunan
laju Pertumbuhan akan terjadi pada masa pra
sekolah yaitu kenaikan berat badannya
kurang dari 2 kg/tahun. Kemudian
pertumbuhan konstan mulai berakhir
(Soetjiningsih, 2006).

Protein Energi Rasio (P/e)
Data distribusi responden berdasarkan
rata-rata Protein Energi Rasio disajikan
dalam tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan
Protein Energi Rasio
Range (P/e)
Jumlah
n %
8,00-9,99 12 25,00
10,00-11, 99 6 12,50
12,00-13,99 13 27,08
14,00-15, 99 6 12,50
16,00-17, 99 7 14,58
18,00-19, 99 1 2,08
20,00-21,99 2 4,17
22,00-23,99 1 2,08
Jumlah 48 100

Rerata konsumsi Protein Energi Rasio
Responden sebesar 13,24 %. Rasio protein
energi rasio merupakan salah satu indeks
kualitas makanan (diet). Rasio kandungan
energi protein pada diet terutama untuk
menutupi kebutuhan energi, termasuk
kebutuhan protein protein energi ratio (P/e).
Rekomendasi kecukupan (P/e) dari WHO
sebesar 10 % (WHO, 1991). Berdasarkan
Tabel 3 diatas, responden dengan protein
energi rasio yang masih dibawah rekomendasi
WHO sejumlah 12 atau 25 %, dan ada
kecenderungan semakin tinggi protein energi
semakin sedikit jumlah respondennya.
kadar amino esensial akan menentukan
mutu protein. namun dalam praktiknya
sehari–hari umumnya mutu protein dapat
ditentukan dari asal proteinnya. Nilai biologis
protein hewani lebih tinggi dibandingkan
dengan protein nabati. Standar untuk menilai
gizi dari protein biasanya menggunakan
protein dari telur dan susu. Asam amino yang
kurang (asam amino pembatas) biasanya
dijadikan standar nilai gizi protein nabati,
misalnnya protein kacang- kacangan. Nilai
protein dalam makanan orang Indonesia
sehari–hari umunya diperkirakan 60% dari
pada nilai gizi protein telur (Sediaoetama,,
2004).
Selain protein amat penting untuk
pertumbuhan dan perbaikan jaringan, protein
juga turut memelihara serta mengatur proses –
proses yang berlangsung dalam tubuh. Protein
mensuplai 4 kalori per gram, tetapi secara
ekonomis sumber energi yang berasal dari
protein adalah mahal yang dibandingkan
lemak dan karbohidrat. Jadi walaupun protein
dapat digunakan oleh tubuh sebagai bahan
bakar, akan tetapi tidaklah ekonomis jika kita
makan protein secara berlebihan. Selama
energi bisa didapat dari bahan makanan yaitu
yang mengandung karbohidrat dan lemak,
sebab umunya pangan yang akan protein
harganya mahal (Suhardjo, 2005).

Kejadian Stunting
Data distribusi responden berdasarkan
kejadian stunting disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan
Kejadian Stunting
No Kejadian Stunting n %
1 Normal 34 70,83
2 Stunting 14 29,17
Total 48 100

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 55
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden
yang mengalami stunting sebesar 29,17% .
Angka ini mendekati prevalensi Balita
Stunting Indonesia, sebesar 29,6%
sedangkan prevalensi stunting Jawa Timur
pada PSG 2017 sebesar 26,7%. Angka ini
melebihi batas rata-rata WHO sebesar 20%.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh
pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir , akan tetapi kondisi stunting baru
nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely
stunted) adalah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut
umurnya dibandingkan dengan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference
Study) 2006. (TNP2K, 2017)
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua
Tahun) yang mengalami stunting akan
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,
menjadikan anak menjadi lebih rentan
terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat
produktivitas. Hal ini karena kekurangan gizi
pada 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan)
bila terjadi kekurangan gizi akan
mengakibatkan kelainan dan
ketidaksempurnaan pembentukan dan fungsi
beberapa organ yang menghambat tumbuh
kembang (Soekirman, 2017).
Anak yang mengalami stunting
memiliki fisik dan kecerdasarn lebih rendah
dan selanjutnya beresiko akan menghasilkan
produktivitas dan sosialekonomi yang kurang
optimal. Stunting pada anak menjadikan
indikasi bahwa komunitas tersebut mengalami
malnutrisi kronis yang mengganggu
pertumbuhan liniernya (Gibson, 2005).





Hubungan Umur dengan Kejadian
Stunting pada Respoden
Tabulasi silang Umur dan Kejadian
Stunting disajikan pada Tabel 5

Tabel 5. Tabulasi Silang Umur dengan Kejadian
Stunting
Umur Kejadian Stunting
Total
(Bulan) Normal Stunting
n % n % n %
12 - 24 13 65,00 7 35,00 20 100
25 - 36 12 85,71 2 14,29 14 100
37 - 48 6 60,00 4 40,00 10 100
49 - 60 3 75,00 1 25,00 4 100
Total 34 14 48

Berdasarkan Tabel 5. di atas bahwa
kelompok umur yang mengalami stunting
terbesar pada kelompok umur 37 – 48 bulan,
sebesar 40%. Hasil penelitian ini sesuai
dengan Anisa, P., (2012), bahwa kelompok
umur usia 24-59 bulan mempunyai
kecenderungan status gizi kurang lebih besar
dibanding dengan kelompok umur 6-23
bulan. Hal ini karena kebutuhan gizi pada
usia tersebut meningkat sedangkan ASI
sudah tidak mencukupi, disamping makanan
sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup serta adanya infeksi
karena kontaminasi pada makanan.
Balita membutuhkan gizi yang tinggi
dibandingkan ukuran tubuhnya karena
mereka masih menjalani pertumbuhan dan
perkembangan dan aktivitas fisik yang cukup
tinggi . Pola konsumsi rendah lemak dan
tinggi serat kurang sesuai untuk kelompok
umur Balita dan Pra sekolah, karena dapat
menyebabkan merasa kenyang dan dapat
mengurangi asupan energi dan zat gizi (Judy
More, 2013).

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 56
Hubungan Protein Energi Rasio dengan
Kejadian Stunting pada Respoden
Tabulasi silang Protein Energi Rasio
(P/e) dan Kejadian Stunting disajikan pada
Tabel 6.

Tabel 6. Tabulasi silang Protein Energi Rasio
(P/e) dan Kejadian Stunting
Protein Kejadian Stunting
Total
Energi Normal Stunting
Rasio
(P/e)
n % n % n %
Kurang 7 58,33 5 41,67 12 100
Cukup 27 75,00 9 25 36 100
Total 34 14 48

Berdasarkan Tabel 6 diatas presentase
kejadian stunting lebih besar kelompok Balita
dengan P/e kurang daripada responden
dengan P/e cukup. Namun berdasarkan uji
hubungan antara Protein Energi Rasio (P/e)
dengan kejadian stunting yang diuji dengan
uji statistic Contingency Coefficient didapatkan
nilai signifikasi sebesar 0,271, artinya tidak
ada hubungan yang signifikan antara (P/e)
dengan kejadian stunting. Stunting dapat
terjadi karena multifaktor, diantaranya
kekurangan gizi pada ibu hamil, berat badan
bayi lahir rendah (BBLR), cakupan ASI
eksklusif yang kurang, infeksi, serta
kekurangan makro maupun mikro nutrient
yang lain. Seperti hasil penelitian Wiwien
Fitrie W., dkk. 2016, factor terjadinya
stunting secara signifikan karena rendahnya
asupan energy, protein, seng, berat badan
lahir rendah dan paparan pestisida.
asupan makanan tidak adekuat adalah
faktor penyebab langsung terjadinya stunting,
karakteristik balita meliputi usia, jenis
kelamin, berat badan lahir dan panjang badan
lahir serta adanya penyakit infeksi yang
berulang. Sedangkan ketersediaan pangan,
pola asuh, serta jangkauan dan mutu
pelayanan kesehatan masyarakat adalah
Penyebab tidak langsung kejadian stunting
(Shrimpton dalam Retty Anisa D.,dkk, 2016).
Penyakit infeksi diantaranya diare dan
ISPA dapat mengakibatkan berat badan
menurun secara akut dan berpengaruh pada
status gizi balita bila terjadi dalam jangka
waktu yang lama. (Wiwien Fitrie W., dkk.
2016).
Faktor asupan protein ditentukan oleh
mutu protein dan kadar amino esensial. Akan
tetapi dalam praktik sehari–hari umunya
dapat ditentukan dari asalnya. Protein hewani
biasanya mempunyai nilai yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan protein nabati.
Protein telur dan protein susu biasanya
dipakai sebagai standar untuk nilai gizi
protein. Nilai gizi protein nabati ditentukan
oleh asam amino yang kurang (asam amino
pembatas), misalnnya protein kacang-
kacangan. Nilai protein dalam makanan
orang Indonesia sehari–hari umunya
diperkirakan 60% dari pada nilai gizi protein
telur (Sediaoetama, 2008).
Dengan demikian perlu adanya
pengkajian dan intervensi lebih lanjut
mengenai jenis protein dan konsumsi makro
dan mikro nutrient yang berperan dalam
pertumbuhan untuk mencegah terjadinya
stunting pada Balita.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Rata konsumsi Protein Energi Rasio
Responden sebesar 13,24 %, sudah diatas
rekomendasi WHO. Kejadian rata-rata
stunting pada responden sebesar 29,17% .
Angka ini mendekati prevalensi Balita
Stunting Indonesia, sebesar 29,6%
sedangkan prevalensi stunting Jawa Timur
pada PSG 2017 sebesar 26,7%. Tidak ada
hubungan secara signifikan antara Protein
Energi Rasio (P/e) dengan kejadian stunting
yang diuji dengan uji statistic Contingency
Coefficient didapatkan nilai signifikasi sebesar
0,271.
Saran
Perlu dilakukan pengkajian dan
intervensi lebih lanjut terkait hubungan
secara signifikan antara rasio protein hewani
dan nabati , konsumsi mikronutrien dengan
kejadian stunting.

Jurnal Gizi KH, Volume 1, Nomor 1, Desember 2018 57
DAFTAR PUSTAKA

Anisa, Paramitha, (2012), Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kajadian Stunting
pada Balita Usia 25 – 60 Bulan, UI
Press, Jakarta.
Gibson, Rosalind S., (2005), Principles of
Nutritional Assessment, Oxford
University Press, New York.
Holil Muhammad Par’i, (2014), Penilaian
Status Gizi : Dilengkapi Proses Asuhan
Gizi Terstandar, EGC, Jakarta.
Judy More, (2013), Gizi Bayi, Anak dan
Remaja [Terjemahan], Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Kartasapoetra dan Marsetyo, (2008), Ilmu Gizi
Korelasi Gizi dan Produksi Kerja,
Jakarta, Rineka Cipta.
Kemenkes, (2010), Pemantauan Status Gizi
(PSG) 2017, Jakarta.
Mikhail WZA, Sabhy M.H., El-sayed HH.,
Khairy SA., Salem, HYHA, and Samy
MA., (2013), Effect of Nutritional Status
on Growth Pattern of Stunted Preschool
Children in Egypt, Academic Journal of
Nutrition 2(1):01-09.
Sari, E.M., dkk., (2016), Asupan Protein,
Kalsium dan Fosfor Pada Anak Stunting
dan Tidak Stunting Usia 24 – 59 Bulan,
Jurnal Gizi Klinik Indonesia 12(4):152-
159.
Sediaoetama, Achmad Djaeni, (2008), Ilmu
Gizi Cetakan kedelapan, Jakarta, Diana
Rakyat.
Shrimpton dalam Retty Anisa D., dkk, (2016),
Perbedaan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
dan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif
Pada Balita Stunting dan Non Stunting,
Media Gizi Indonesia 2(1):61-69.
Soekirman, (2017), Gizi Pembangunan,
Kumpulan Tulisan Prof. Soekirman 1962
– 2015, KFI, Jakarta.
Soetjiningsih, (2006), Tumbuh Kembang
Anak, Jakarta, EGC.



Suhardjo, (2005), Pemberian Makanan pada
Bayi dan Anak, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas, IPB.
TNP2K, (2017), 100 Kabupaten/Kota
Prioritas untuk intervensi anak Kerdil
(Stunting), Cetakan I, Jakarta.
WHO, (1991), Energy and Protein
Requirements. Report of a Joint FAO/
WHO/ UNU Expert Consultation.
Wiwien Fitrie W., Martha I. Kartasurya., dan
M. Zen Rahfilludin, (2016), Faktor
Risiko Stunting pada Anak Umur 12 – 24
Bulan, Jurnal Gizi Indonesia 5(1):55-61.