P-ISSN: 2541-6960; E-ISSN: 2549-8754
Yupa: Historical Studies Journal
Vol. 3 No. 1, 2019 (8-17)
http://jurnal.fkip.unmul.ac.id/index.php/yupa

Studi Petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan Nguntoronadi
Magetan dalam Tinjauan Geografi Sejarah

Yulian Widya Saputra


1Universitas Mulawarman, Jl. Muara Pahu, Indonesia
[email protected]


Received
04/06/2020
Accepted
25/06/2020
Published
30/06/2020


Abstract The relics of the Hindu-Buddhist kingdom in the form of petirtaan became historical
buildings. This study aims to describe the relationship between nature and human activities (man
and land relation) in the review of Historical Geography. This research uses descriptive qualitative
method with literature studies both concepts, theories and relevant previous research results. The
sample of this research study used a regional sampling technique where the entire area of Simbatan
Village with an area of 2.71 km2 was the research area. Data analysis using descriptive data analysis
with the help of interpretation of satellite images processed through ArcGIS 10.0. The results
illustrate that Petirtaan Dewi Sri is part of the volcanic landscape of the eastern slope of Lawu
Volcano. From this research study it can be concluded that the volcanic landscape is specifically
located on the slopes of fluvial-volcanic which form a slope notch (break of slope) which is used as
the location of the Petirtaan Dewi Sri heritage from the end of the ancient Mataram kingdom.

Keywords: Petirtaan Dewi Sri, slope notch, History Geography


Abstrak Bangunan peninggalan masa kerajaan Hindu-Budha berupa petirtaan menjadi
bangunan yang bernilai sejarah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterkaitan
antara alam dengan aktivitas manusia (man and land relation) dalam tinjauan Geografi Sejarah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan studi literatur baik konsep, teori
dan hasil penelitian terdahulu yang relevan. Sampel studi penelitian ini menggunakan teknik
sampel wilayah dimana keseluruhan wilayah Desa Simbatan dengan luas 2,71 km2 menjadi area
penelitian. Analisis data menggunakan analisis data deskriptif dengan bantuan interpretasi citra
satelit yang diolah melalui ArcGIS 10.0. Hasil penelitian menggambarkan bahwa Petirtaan Dewi
Sri merupakan bagian dari bentang lahan vulkanik dari lereng Gunungapi Lawu sebelah timur.
Dari studi penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentang lahan vulkanik tersebut secara khusus
berada pada lereng fluvio vulkanik yang membentuk takik lereng (break of slope) dimana
digunakan sebagai lokasi berdirinya Petirtaan Dewi Sri peninggalan masa akhir kerajaan
Mataram Kuno.

Kata kunci: Petirtaan Dewi Sri, takik lereng, Geografi Sejarah

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

9


PENDAHULUAN
Salah satu bangunan peninggalan masa kerajaan Hindu-Budha adalah petirtaan.
Bangunan pertirtaan atau masyarakat umum disebut dengan pemandian merupakan salah satu
dari tipe peninggalan bangunan masa Hindu Budha. Menururt Agus Arismunandar (dalam
Rahadian dan Fery, 2015: 31) Pertirtaan berasal dari kata patirthan (pa + tirtha + an)
mempunyai kata dasar tirtha atau tirta yang artinya air, dalam hal keagamaan air yang
dimaksudkan adalah air suci yang dapat membuat suci seseorang. Air suci demikian layak disebut
dengan tirtha nirmala atau tirtha amerta yang dipercaya mempunyai khasiat banyak selain
berkhasiat membersihkan dosa-dosa, menyembuhkan berbagai penyakit, juga dipandang sebagai
air keabadian.
Agus Arismunandar (dalam Rahadian dan Fery, 2015: 31) mengklasifikasikan bentuk
petirthaan menjadi 3 macam, yaitu petirtaan alami, petirtaan alami yang mendapat tambahan,
dan petirtaan sepenuhnya buatan. Pertama, Petirthaan alami, berupa badan air berupa mata air,
kolam, danau, sungai yang dianggap keramat dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya.
Petirthaan alami ini tidak mendapat tambahan pengerjaan apapun, tetap seperti apa adanya.
Contohnya Telaga Pengilon di Dieng, kolam Kasurangganan di Malang utara, dan Sungai Brantas
dalam masa Jawa Kuno.
Kedua, Sumber air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut secara
artifisial. Misalnya membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air, memperkeras
tepian kolam dengan balok-balok batu, menambahkan arca-arca dewata dan lainnya lagi.
Misalnya Petirthaan Bhima Lukar di Dieng, Candi Umbul di Magelang, Jalatunda dan Belahan di
Gunung Penanggungan, dan petirthan Watu Gede di Malang. Ketiga, Petirthaan yang merupakan
bangunan buatan sepenuhnya, artinya di tempat tersebut tidak ada sumber air atau badan air
apapun, namun kemudian dirancang suatu bentuk bangunan baru yang difungsikan sebagai
tempat untuk mengambil air suci (Munandar 2003: 15). Air dapat dialirkan ke bangunan
petirthaan seperti halnya Candi Tikus di Trowulan. Selain itu didukung oleh penelitian Sari
(2019:33) yang mengungkapkan bahwa masyarakat sekitar mempercayai air yang keluar dari
pancuran Kolam Candi Tikus ini bisa mengusir hama tikus di sawah.
Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya
mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan
ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan,
yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa
ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisional, khusunya bagi masyarakat Mojokerto
Bangunan peninggalan masa kerajaan Hindu-Budha berupa petirtaan menjadi bangunan
yang bernilai sejarah. Hal ini disebabkan sejarah menjadi bagian penting dari bangsa Indonesia

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

10


dimana menyimpan nilai-nilai luhur dan peninggalan yang mengandung kearifan lokal
masyarakat terhadap kondisi alam. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian dari Izza (2016: 1)
yang menyatakan bahwa bangunan suci yang berada di Gunung Penanggungan dan Gunung
Wajak memiliki karakteristik tersendiri yang berhubungan dengan faktor alam dan karakter
masyarakat pembuatnya. Unsur religi dapat dilihat melalui perbandingan berbagai unsur antara
lain unsur latar keagamaan, lingkungan sekitar bangunan suci, masyarakat pengguna bangunan,
dan hubungannya dengan tokoh sejarah.
Kondisi alam (fisik) suatu wilayah sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat
khususnya pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pembangunan peninggalan kerajaan berupa candi,
petirtaan dan kedaton secara khusus memanfaatkan kondisi alam, baik berupa lereng
pegunungan, dataran tinggi, aliran sungai atau tepi pantai. Hal ini nampak pada pemilihan lokasi
bagunan petirtaan seperti Petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan. Noviana dalam Izza (2016:2)
mendukung pernyataan ini bahwa pendirian bangunan suci di gunung bukanlah monopoli dari
masyarakat Hindu dan Buddha di Pulau Jawa namun fenomena yang sama juga terjadi di belahan
dunia lainnya, antara lain adanya kuil-kuil yang berada di Gunung Wuchen (Cina), Gunung
Kanchinjunga (Tibet), Gunung Hara di Persia Kuno, Gunung Olympus di Yunani, dan Gunung-
gunung di Jepang. Namun, khusus bagi umat Hindu gunung sebagai hulu dan tepi laut sebagai hilir
diyakini menjadi sumber kemakmuran
Pemilihan lokasi dalam ilmu geografi menjadi faktor penting dalam pembangunan
petirtaan. Tirta berarti air dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut (Rahadhian dan Fery,
2015:22) air dalam pembangunan di lokasi percandian merupakan hal yang penting. Lokasi
berdirinya candi tidak lepas dari unsur air. Namun demikian di sisi lain adapula candi yang
memang bertipe kolam atau petirtaan, bukan sekedar sungai atau danau.
Pemilihan lokasi petirtaan ini selanjutnya sesuai dengan tradisi yang ada dalam geografi.
Salah satu tradisi yang berkenaan dengan penelitian ini adalah tradisi man and land relation.
Butlin (1993) menyatakan bahwa tradisi ini lebih berkenaan pada kajian geografi banyak
mempelajari faktor penyebab dan dampak dari keterkaitan manusia-lingkungan. Pada awalnya
fokus kajiannya terletak pada pengaruh lingkungan terhadap aktivitas manusia (enviromental
determinism) yang mana banyak memperkenalkan istilah ”control”, “influence”, “human
response”, dan “environmental factor”. Tradisi geografi mand and land relation ini sejalan dengan
Sachau (2012:272), Setyani (2011:136-143) juga Izza (2016:2) yang dapat dirangkum ketiga
penelitian tersebut menyebutkan pendirian bangunan suci di Pulau Jawa dapat ditelusuri
berdasarkan konsep keagamaan Hindu dan Buddha dimana secara kosmologi Gunung Meru
adalah gunung tertinggi dengan puncak yang menjulang dan di gunung itulah tinggal para dewa.

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

11


Sebagai tambahan teks Tantu Panggelaran yang memberikan informasi tentang pandangan
istimewa terhadap gunung-gunung di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada pendirian bangunan
di gunung-gunung Pulau Jawa memiliki hubungan dengan latar keagamaan dianut masyarakat
Jawa Kuno.
Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan keterkaitan antara alam dengan aktivitas
manusia yang terwujud dengan adanya situs sejarah Petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan. Lebih
lanjut penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lokasi Petirtaan Dewi Sri dengan ilmu geografi
yakni tradisi mand and land relation dimana keberadaan situs ini mencerminkan aktivitas
masyarakat di sekitarnya pada masa lalu. Melalui analisis tradisi man and land relation
diharapkan tergambarkan situasi dimana alasan masyarakat pada masa lalu memilih lokasi
petirtaan di desa Simbatan Nguntoronadi Kapupaten Magetan.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan dari
studi literatur baik konsep, teori ilmu bantu geografi, ilmu geomorfologi dan hasil penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian petirtaan ini. Langkah selanjutnya melakukan
pengolahan data keruangan dari citra satelit Desa Simbatan dengan menggunakan alat bantu
ArcGIS 10.0 dan disederhanakan dengan gambar hasil interpretasi berupa peta lokasi. Dengan
penggambaran menggunakan peta ini akan nampak jelas lokasi petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan
yang mengandung tradisi geografi man and land relation. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan sampel area dimana keseluruhan wilayah Desa Simbatan dipetakan.
Luas Desa Simbatan yang akan dipetakan di penelitian ini yakni seluas 2.71 km2 Selanjutnya hasil
perekaman citra satelit tersebut diinterpretasikan melalui analisis data deskriptif.

RESULT AND DISCUSSION / HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dari konsep dideskripsikan tentang konsep petirtaan. Petirtaan yang
dimaksud dalam studi ini adalah petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan Wetan. Petirtaan Dewi Sri
terletak di Dusun Simbatan Wetan, Desa Simbatan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten
Magetan, Provinsi Jawa Timur. Bangunan ini digunakan untuk tempat pemandian keluarga raja
atau bangsawan pada masa-masa akhir Kerajaan Mataram Kuno. Hal ini sejalan dengan tulisan
Rahadhian (2015:35) dan Jatmiko (2016:1) meyebutkan bahwa bentuk candi ini menunjukkan
adanya penggunaan elemen air dalam arsitektur yang didayagunakan untuk ritual melalui
pancuran-pancuran dan kolam. Candi golongan tua atau dibangun pada masa Mataram Kuno
akhir atau periodisasi Sindok yang lebih identik dengan candi Tikus adalah candi Simbatan

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

12


Sebagai tambahan berdasarkan fungsinya patirthãn Dewi Sri zaman klasik digunakan untuk
upacara penghapusan noda dan dosa-dosa sehingga bersih jiwanya dan mencapai moksa atau
bisa kembali ke surga. Lokasi dari situs Petirtaan Dewi Sri dapat diamati dalam Gambar 1 yang
telah diolah menggunakan citra satelit di bawah ini.

Gambar 1. Citra Satelit Petirtaan Dewi Sri
Petirtaan Dewi Sri ini memiliki bentuk bangunan kolam. Bangunan kolam ini secara rinci
terbagi menjadi beberapa bagian. BPCB Mojokerto (2015) menyebutkan bahwa bagunan ini
sesuai fungsinya sebagai petirtaan maka terdapat elemen-elemen yang berfungsi sebagai
pelengkap sebuah petirtaan, mislanya kolam utama, bilik, pancuran (Jaladwara), saluran air, arca,
dan mata air.
Situs ini secara geografi memiliki batas batas arah mata angin. Batas arah mata angin
yakni sebelah barat berbatasan dengan rumah penduduk, sebelah selatan jalan desa, sebelah
timur adalah persawahan, dan sebelah utara merupakan kebun penduduk yang berlereng. Data
dari BPCB Jawa TImur (2015) menyebutkan bahwa batas utara adalah kebun dengan kemiringan
lereng antara 150 hingga 250.
Hasil penelitian selanjutnya dilihat berdasarkan aspek geografi. Aspek geografi dalam
studi penelitian ini ditinjau dalam ilmu bantu geografi. Ilmu bantu geografi adalah geomorfologi.

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

13


Secara khusus studi ini mendeskripsikan bentuk lahan geomorfologi vulkanik. Hasil penelitian
melalui studi dari citra satelit sesuai gambar 1 menunjukkan bahwa lokasi dari Petirtaan Dewi
Sri merupakan bagian dari bentang lahan vulkanik. Bentang lahan vulkanik ini bagian dari
vulkan/gunungapi Lawu 3265 mdpl. Gunungapi Lawu yang menjadi objek studi adalah lereng
sebelah timur dari gunungapi tersebut.
Secara geografis lokasi petirtaan Dewi Sri berada di lereng Gunungapi Lawu sebelah
timur. Gunungapi Lawu yang mempunyai kerucut muda dan tersusun atas materi yang terletak
di atas substruktur lebih tua. Substruktur muda terdapat pada lereng gunung tersebut. Bagian
timur kaki Gunung Lawu terdapat kerucut gunung api yang relatif kecil. Kerucut gunung api yang
relatif kecil merupakan anak dari Gunung Lawu (Taryana, 2019: 23), sehingga kondisi
geomorfologi daerah penelitian merupakan perbukitan hingga dataran rendah.
Lokasi Petirtaan Dewi Sri secara khusus berada di lereng sebelah timur Gunungapi lawu.
Gunungapi Lawu sebelah timur ini membentuk lereng dengan formasi batuan dominan material
abu vulkanik dan material klastik lainnya. Kedua material vulkanik ini dibentuk dengan curah
hujan mengendapkan material vulkanik membentuk bentangan lahan fluvio vulkanik.
Konsep petirtaan dari studi beberapa literatur dan kamus mengandung makna tempat
yang menampung air. Keberadaan air tersebut merupakan faktor penting. Air yang menjadi
sumber petirtaan secara umum berasal dari mata air. Hal ini seperti penelitian sebelumnya dari
Sukandar, ECP., Widodo, Amien., dan Warnana, DD (2018) menyebutkan bahwa pengetahuan
akan sistem hidrogeologi akan membantu melestarikan dan menjaga suplai air di situs petirtaan.
Keberadaan air di situs Petirtaan Dewi Sri ini berasal dari mata air yang memancar dari
dasar kolam. Mata air ini disebabkan lokasi Petirtaan Dewi Sri berada pada bagian dari lereng
fluvio vulkanik Gunungapi Lawu. Secara khusus lereng fluvio vulkanik ini membentuk daerah
takik lereng (break of slope). Proses munculnya mata air di Petirtaan Dewi Sri ini sejalan dengan
penelitian Santosa, Langgeng Wahyu (2006) yang menyatakan bahwa pemunculan mata air di
daerah penelitian terjadi secara menyebar, terutama pada daerah yang mempunyai perubahan
lereng yang tajam, karena pada bagian ini permukaan topografi memotong muka air tanah (tekuk
lereng), sehingga muncul sebagai mata air topografik (topographic spring).
Proses pemunculan mata air ini menyebabkan masyarakat pada masa dahulu
membangun suatu kompleks petirtaan. Peristiwa sejarah ini sesuai dengan konsep geografi yang
menggambarkan tradisi man and land relation. Tradisi man and land relation ini didukung oleh
artikel dari Wibowo, Prasetyo Mukti (2015) yang menuliskan bahwa situs Petirtaan Dewi Sri ini
berdasarkan inskripsi yang terdapat pada atap miniatur rumah, tertulis angka tahun 905 Saka

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

14


(983 Masehi) dan 917 Saka(995 Masehi). Berdasarkan inskripsi lain yang terdapat pada atap
miniatur lumbung,berupa angka tahun 906 Saka (984 Masehi) dan 917 Saka atau (995 Masehi).
Diperkirakan situs ini merupakan jejak peninggalan Kerajaan Mataram Hindu atau
Mataram kuno. Sementara itu, pahatan sangkha (siput) bersayap pada atap miniatur lumbung
merupakan tanda resmi pemerintahan Mpu Sindok pada abad 10 Masehi. Selain itu tradisi man
and land relation ini nampak juga pada pembuatan Candi Kraton Boko. Menurut Soetarno
(1991:75), pegunungan dekat Candi Kraton Boko merupakan sebuah tempat-tempat
pengambilan batu yang dipergunakan untuk pembuatan candi-candi di dataran Prambanan. batu
tersebut tergolong batu zandsteen (batuan beku besar). Kedua tulisan ilmiah ini membuktikan
bahwa masyarakat kuno pada masa Hindu -Budha memanfaatkan kondisi alam untuk
aktivitasnya.
Kondisi geografis Petirtaan Dewi Sri berdasarkan interpretasi citra satelit seperti pada
gambar 1 menunjukkan garis-garis takik lereng yang memunculkan sejumlah mata air. Salah satu
mata air tersebut digunakan menjadi sumber air dari Petirtan Dewi Sri. Kenampakan garis takik
lereng (break of slope) ini sesuai dengan sketsa dari Verstappen (2014) yang menyatakan bahwa
kenampakan lereng cekung dari kerucut vulkanik / gunungapi yang ramping terdiri dari tiga
sektor yang berbeda oleh dua garis takik lereng pada gunungapi strato. Hal ini didukung Ashari
(2019) dan Taryana (2015) yang menyatakan bahwa bentuklahan vulkanik biasanya dicirikan
oleh munculnya sabuk mata air di sepanjang tekuk lereng (break of slope) yang berada pada
satuan bentuklahan lereng dan kaki vulkanik.
Kenampakan dari takik lereng (break of slope) ini dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2 Tiga karakteristik sektor lereng pada gunungapi strato di Indonesia

Gambar 2 di atas terdapat tiga titik yakni A-B-C dimana karakteristik sektor lereng yang
mendeskripsikan skema dari bentukan lahan vulkanik serta kenampakan lereng fluvio vulkanik
pada gunungapi tipe strato di Indonesia. Skema ini sesuai dengan kondisi lokasi penelitian dari
lereng gunungapi Lawu sebelah timur.
Lereng gunungapi Lawu sebelah timur sesuai skema gambar diatas dapat diterjemahkan
menjadi empat bagian. Lereng T-A merupakan bagian dari puncak gunungapi Lawu 3265 mdpl,
lereng A-B merupakan lereng terjal, lereng B-C dengan ciri terdapat takik lereng (break of slope)

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

15


dengan jumlah lebih banyak dari lereng yang lain, lereng, lereng C-D merupakan wilayah dengan
endapan vulkanik sangat luas dan cenderung landai. Sriyono (2014) mempertegas bahwa lereng
gunungapi pada kurun waktu lama akan berubah menjadi dataran endapan vulkanik fluvio
volcanic foot plain
Keberadaan lereng vulkanik ini memberikan alasan bahwa pemilihan lokasi bangunan
petirtaan berada di tekik lereng. Oleh karena itu, kontur morfologi wilayah yang miring seperti
terlihat pada penafsiran citra satelit gambar 1 dan skema pada gambar 2 maka bangunan
petirtaan Dewi Sri berbentuk seperti ceruk kebawah. Bentuk bangunan ini terlihat seperti teras-
teras bertingkat dengan bilik-bilik ruangan yang dibangun dari batuan beku dan batu bata merah.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rahadhian (2015:66-67) wujud kolam candi ini mirip dengan
bentuk kolam Candi Tikus yang berbentuk ceruk ke bawah. Candi ini memiliki tiga ruang/bilik.
Bilik Utama terletak di tengah sedangkan lainnya terletak di kanan dan kiri belakang bilik utama.
Pada bilik utama di tengah didapatkan arca patung Dewa Hindu yang oleh masyarakat awam
disebut dengan Dewi Sri. Kenampakan dari Petirtaan Dewi Sri dapat diamati pada gambar 3 di
bawah ini.












Skema pada paragraf sebelumnya mendeskripsikan kondisi lereng timur Gunungapi
Lawu. Lereng bagian B-C menunjukkan ciri lereng dimana lokasi dari Petirtaan Dewi Sri.
Keberadaan dari petirtaan ini memanfaatkan sumber mata air atau sabuk mata air yang berada
pada lereng fluvio vulkanik. Dampak dari pembangunan petirtaan ini adalah pengaliran sumber
air melalui pancuran yang berada di tengah kolam petirtaan. Hal ini diperkuat oleh penelitian
Ashari (2019:1) menyimpulkan bahwa karakteristik bentang lahan pada suatu wilayah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi spasial mata air. Selain itu Sukandar

Foto 1



Foto 2
Gambar 3. Kenampakan foto 1 dan 2 Petirtaan Dewi Sri yang berbentuk ceruk berteras-teras
dengan beberapa bilik (Dokumentasi Pribadi 2019)

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

16


(2018:42) menyatakan kondisi bawah permukaan yang berhubungan dengan daerah jenuh air
sebagai indikasi dari daerah aliran air serta sistem hidrogeologinya, serta mobilitasnya yang
tinggi dikarenakan wilayah penelitian berada pada daerah pegunungan yang cukup terjal. Kedua
tulisan penelitian ini juga ditemui di lokasi petirtaan Dewi Sri dimana secara morfologi memiliki
derajat kemiringan kemiringan lereng antara 150 hingga 250 seprti nampak pada gambar 3 foto
1 yang menunjukkan sisi lereng perbukitan disebelah utara situs. Selanjutnya dengan
pengukuran melalui altimeter diketahui bahwa lokasi studi penelitian ini memiliki ketinggian
tempat dari penghitungan garis kontur. Lokasi Petirtaan Dewi Sri ini memiliki ketinggian tempat
berada ± 78,50 meter di atas permukaan air laut.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil studi, penelitian dan pembahasan didapatkan kesimpulan bahwa
peninggalan situs candi Petirtaan Dewi Sri Desa Simbatan ini berlokasi di bentang lahan vulkanik.
Lokasi ini ditinjau dari ilmu bantu geografi yakni geomorfologi. Bentang lahan vulkanik tersebut
secara khusus berada pada lereng fluvio vulkanik Gunungapi Lawu sebelah timur. Keberadaan
bangunan ini berhubungan erat dengan bentuk lereng dan sumber mata air pada bentang lahan
vulkanik. Lereng fluvio vulkanik tersebut membentuk takik lereng (break of slope) dimana
digunakan sebagai lokasi berdirinya Petirtaan Dewi Sri.

REFERENSI
Ashari, Arif. 2019. Hidrogeomorfologi dan Potensi Mata Air Lereng Barat Daya Gunung Merbabu.
Majalah Geografi Indonesia Vol. 33, No.1, Maret 2019 48 -56, (Online)
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi/article/download/35570/24120 diakses 4 Juni 2020
BPCB Jawa Timur. 2015. Laporan Pemugaran Petirtaan Dewi Sri . (Online)
https://kebudayaan.kemendikbud.go.id/bpcbjatim/petirtaan-dewi-sri/ diakses tanggal
5 Juli 2019
Butlin, R.A. 1993. Historical geography: through gates of space and time. Arnold Publisher: London
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. (Online)
https://kbbi.web.id/ diakses tanggal 5 Juli 2019
Ferry W, Rahadian, 2015 Kajian Arsitektur Percandian Petirtaan di Jawa (identifikasi). Laporan
Penelitian. Tidak diterbitkan. LP2M Universitas Katolik Parahyangan, (online)
http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/download/1358/1315 diakses
20 Juni 2020
Jatmiko, AP. 2016. TRADISI UPACARA BERSIH DESA SITUS PATIRTHĀN DEWI SRI DI DESA
SIMBATAN WETAN, KECAMATAN NGUNTORONADI, KABUPATEN MAGETAN (KAJIAN
TENTANG KESEJARAHAN DAN FUNGSI UPACARA. AVATARA,e -Journal Pendidikan

Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2019: 8-17

17


Sejarah Volume 4, No. 2, (online) https://adoc.tips/queue/avatara-e-journal-pendidikan-
sejarah-volume-4-no-2-juli-20160af114ec91a1e1adac8355835d8522f873437.html
Izza, Nainunis Aulia. 2016. KARAKTERISTIK BANGUNAN SUCI BERCORAK HINDUBUDDHA DI
GUNUNG PENANGGUNGAN DAN GUNUNG WAJAK: Sebuah Tinjauan Perbandingan. Jurnal
Kapata Arkeologi, 12(1), 1 -14, (online) http://kapata-
arkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/kapata/article/download/302/251 diakses 20
Juni 2020
Santosa, Langgeng Wahyu. 2006. Study of Spring Hidrogeomorphology on Part of West Slope in
Lawu Vulcano. Forum Geografi, Vol. 20, No. 1, Juli 2006: 68 – 85. (Online)
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/252/Langgeng%20Wahyu
%20Santosa.pdf?sequence=1&isAllowed=y diakses 6 Juli 2019
Sari, Icha F. 2019. Legenda Kolam Petirtaan di Kabupaten Mojokerto: Kajian Sosiologi Sastra
Lisan. S U L U K: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Volume 1 Nomor 1 Maret 2019,
(online)
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1277127&val=16959&title
=Legenda%20Kolam%20Petirtaan%20di%20Kabupaten%20M ojokerto%20Kajian%20
Sosiologi%20Sastra%20Lisan diakses 20 Juni 2020
Sachau (ed). (2012). Alberuni's India: An Account of the Religion, Philosophy, Literature,
Geography, Chronology, Astronomy, Customs, Laws and Astrology of India about A.D.
1030, Volume 1. London: K. Paul, Trench, Trubner & Co., ltd. (online)
https://openlibrary.org/books/OL23270588M/Alberuni's_India. diakses 20 Juni 2020
Setyani, T. I. (2011). Meniti Sinkretisme Teks Tantu Panggělaran. Jurnal Kawistara 1(2), 103-112.
(online) https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3914 diakses 20 Juni 2020
Soetarno, R. 1991. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Semarang: Dahara Prize
Sriyono. 2014. Geologi dan Geomorfologi Indonesia. Yogyakarta: PT Ombak
Sukandar, ECP., Widodo, Amien., dan Warnana, DD. 2018. Identifikasi Hidrogeologi Situs Candi
Dan Petirtaan Jolotundo menggunakan Inversi Metode VLF-EM. Jurnal Geosaintek, Vol. 4
/ 2 2018. 43 -50, (Online)
https://iptek.its.ac.id/index.php/geosaintek/article/download/4294/3076 diakses 6
Juli 2019
Taryana, D. 2015. Pengaruh Formasi Geologi Terhadap Potensi Mata Air di Kota Batu. JURNAL
PENDIDIKAN GEOGRAFI, Th. 20, No.2, Jun 2015 hal 9-19, (Online)
http://journal.um.ac.id/index.php/pendidikangeografi/article/download/5063/181
diakses tanggal 4 Juni 2020
Taryana, D. 2019. Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Malang: Proyek OPF IKIP Malang
Verstappen, H.T. 1983. Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Terjemahan Sutikno. 2014.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press