Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


1
EFEKTIFITAS EKSEKUSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BERDASARKAN UNDANG -UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009

Oleh: Soeleman D. Baranyanan

ABSTRACT

The enforcement of justice and the limitation of the use of violence are two of the many
conditions and values or the upholding of democracy. One of the institutions for the
implementation of democratic values is the existence of a free judicial system to guarantee
human rights and to maintain justice. The urgency of the existence of administrative justice in
realizing the rule of law encourages the government to establish a legal system in the
administrative court. Namely through the establishment of Act No. 5 of 1986 on the State
Administrative Court, which is the foundation for the establishment of the State
Administrative Court in Indonesia. In the explanation of Law Number 5 Year 1986 mentioned
that the State Administrative Court was held in order to provide protection to the people of
the court of justice, who felt themselves harmed by a Decision of State Administration. In
principle, a country is expected to provide protection to the human rights of its citizens. What
is done through the separation or distribution of state power, because the centralization of
state power absolutely in one hand alone makes authoritarian government. While the
government based on the law is expected to guarantee the protection of the human rights of
its citizens.
Keywords: Implementation of Decision, State Administrative Court.

Keyword:


A. PENDAHULUAN .
Pelaksanaan terhadap putusan hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara sering
menimbulkan kesulitan, terutama
disebabkan tidak adanya lembaga
eksekutorial yang secara khusus berfungsi
melaksanakan putusan hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara. Pelaksanaan putusan
hakim Tata Usaha Negara sepenuhnya
diserahkan kepada kesadaran Badan /Pejabat
Tata Usaha Negara, sehingga dalam
implementasinya banyak menimbulkan
persoalan dan bahkan tidak jarang
menimbulkan kesan sikap arogansi dari
Badan /Pejabat Tata Usaha Negara. Karena
itu Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara mengeluarkan perintah kepada
pejabat-pejabat di pusat dan di daerah agar
melaksanakan semua penetapan atau
putusan Hakim Tata Usaha Negara, juga
hendak memberikan teguran kepada
bawahannya apabila tidak mematuhi putusan
Hakim Tata Usaha Negara yang

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


2
bersangkutan.
1

Walaupun demikian perintahnya
akan menjadi masalah jika bawahan tidak
mau melaksanakan putusan Hakim Tata
Usaha Negara itu, sebab hal ini berkaitan
dengan asas setiap tindakan pemerintah
berdasarkan hukum (rechtmatigheid van
bestuur), sehingga konsekuensinya setiap
tindakan Badan /Pejabat Tata Usaha Negara
dilakukan sesuai asas kewenangan.
Akhirnya pejabat atasan tidak boleh
mengeluarkan keputusan yang bukan
merupakan kewenangannya apabila itu
merupakan kewenangan bawahan.
2

Kalau di tinjau dari segi yuridisnya,
memang hukum yang memberikan peluang
untuk Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara untuk tidak melakukan
kewajibannya sebagai pihak tergugat karena
adanya sanksi yang tegas mengenai hal
tersebut. Kekuasaan Hakim tidak dapat
untuk memaksa atau melakukan upaya
paksa kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara untuk melaksanakan putusan Hakim
Pengadilan. Pasal 116 Ayat (4) dan (5)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
memuat jika tergugat dalam hal ini adalah
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
melaksanakan putusan hakim, Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada
instansi atasannya menurut jenjang jabatan
sampai kepada Presiden. Hal tersebut sudah
menjadi fenomena yang kontroversial dalam
penegakan supremasi hukum pada saat ini.
Seperti diketahui pengadilan adalah tempat
untuk mencari keadilan dan setiap keputusan
hakim pengadilan tersebut harus
dilaksanakan akan tetapi lain halnya dalam
perkara tata usaha negara dimana sangat
dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara untuk tidak melaksanakan

1 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII
Press, 2003, Yogyakarta, hlm. 264

2 Ibid., hlm. 25

putusan hakim yang akhirnya dapat
menimbulkan kerugian dipihak penggugat.
Sebenarnya otoritas Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam hal ini sebagai tempat pencari
keadilan bagi rakyat yang membutuhkan
perlindungan hukum.
3

Perlu dilakukan evaluasi untuk
menilai masalah pelaksanaan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara khususnya
keputusan yang substansinya memberikan
pembebanan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara (pasal 97 Ayat (8), Ayat (9),
Ayat (10) dan Ayat (11) UU No. 5 Tahun
1986). Pasal 97 Ayat (8) mengatakan bahwa
dalam hal gugatan dikabulkan maka dalam
putusan pengadilan tersebut ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
Negara, kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (8) berupa:
a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan; atau
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru;
atau
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara
dalam hal gugatan yang didasarkan pada
putusan dalam musyawarah majelis yang
merupakan hasil pemufakatan bulat,
putusan diambil suara terbanyak (Ayat 9).
Kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan diatas dapat disertai
pembebanan ganti rugi. Mengenai
pembebanan ganti rugi diatur dalam Pasal
97 Ayat (10). Dalam hal putusan pengadilan
menyangkut kepegawaian, maka disamping
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 Ayat (9) dan Ayat (10) dapat

3 T. Boestomi, Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara Dalam Teori dan
Praktek, Alumni, Bandung, 1984,

hlm. 86

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


3
disertai pemberian rehabilitasi (Pasal 97
Ayat (11) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986). Dalam hal tergugat ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat
(9) huruf b, harus melaksanakan kewajiban
yaitu pencabutan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru
dan setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakannya, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada
ketua pengadilan, agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan dan jika tergugat masih
tetap tidak mau melaksanakannya, ketua
pengadilan mengajukan hal ini kepada
instansi atasannya menurut jenjang jabatan
dan instansi atasan sebagaimana dimaksud
diatas, dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan dari ketua
pengadilan harus sudah memerintahkan
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Dengan adanya sengketa yang diselesaikan
Pengadilan Tata Usaha Negara, sebenarnya
tidak ada penghukuman terhadap pejabat
administrasinya, melainkan bahwa
keputusannya ada kemungkinan dibatalkan.
Pasal 16 Ayat (4) Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 9
Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
berbunyi :
“ Dalam hal tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/
atau sanksi administratif”.
Dalam hal tersebut diatas sudah
terdapat kewenangan hakim secara mutlak
untuk melakukan upaya paksa terhadap
pelaksanaan putusan pengadilan itu
dilaksanakan. Memang dalam hal upaya
paksa, sudah dapat timbul dibenak kita
secara teori bahwa akan ada jaminan
kepastian hukum, paling tidak karena
adanya upaya paksa tersebut, akan tetapi
yang menjadi masalah apakah dengan hal
sedemikian itu jaminan tentang kepastian
hukum itu akan benar-benar akan tercapai
atau dalam kata lain apakah dengan
demikian Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara akan menjalankan putusan Hakim?
Objek putusan hanya menyangkut
aspek legalitas suatu keputusan (beschikking)
Pejabat Tata Usaha Negara, bukan
menyangkut pada diri atau personal Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Lahirnya Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia, bukan hanya gejala
perkembangan hukum tetapi juga sebagai
gejala perkembangan kebijakan publik
(Public Policy) dalam rangka perkembangan
filosofis berdasarkan tuntutan keadilan
sosial menurut Pancasila dan secara yuridis
berdasarkan pada Undang- Undang Dasar
Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
4

Dalam konsep Negara Hukum yang
umumnya dianut bahwa adanya Peradilan
Tata Usaha Negara dan terjaminnya hak
asasi merupakan syarat mutlak, meskipun isi
dan jiwa konsep Negara Hukum maupun
konsep Peradilan Tata Usaha Negara serta
perlindungan hak asasi mungkin berbeda
diberbagai negara.
Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan suatu senjata
masyarakat untuk mempertahankan atau
memulihkan hak-haknya dari kemungkinan
perkosaan dari aparatur pemerintah melalui
keputusan yang melanggar hokum atau
detuornement de pouvoir.
5

Di negara-negara yang menganut

4 M. Solly Lubis, ”PTUN dalam Perspektif HAM”, Artikel Radar No. 30
Maret-April. 1988, hlm. 3

5

Baharudin Lopa, Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1988,
hlm. 67

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


4
prinsip demokrasi dan kebulatan rakyat, dua
prinsip tersebut merupakan cerminan dari
kedaulatan rakyat, artinya kelemahan
jaminan dan perlindungan dari hak-hak asasi
dan kurang lengkapnya Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan pertanda kurang
tegaknya demokrasi sebagai asas kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
6

Tegaknya keadilan dan dibatasinya
pemakaian kekerasan adalah dua dari
sekian banyak syarat dan nilai-nilai untuk
tegaknya demokrasi. Salah satu diantara
lembaga (institusi) untuk terlaksananya
nilai-nilai penunjang demokrasi adalah
adanya sistem peradilan yang bebas untuk
menjamin hak asasi dan mempertahankan
keadilan.
Masalah Hak Asasi dan Peradilan
Tata Usaha Negara, memiliki tiga dimensi
sekaligus yakni :
a. Dimensi Filosofis
b. Dimensi Yuridis
c. Dimensi Politik
Karena itu, adalah tidak cukup untuk
menganalisis konsep tersebut, hanya dilihat
dari aspek yuridisnya saja secara terbatas,
karena saran yuridis tidak lain hanyalah
produk kebijakan publik yang dilatar
belakangi oleh nilai-nilai filisofi tertentu.
7

Fungsi Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah untuk menyelesaikan atau
memutuskan sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang dianggap melanggar hak orang
atau badan hukum perdata. Kemungkinan
timbulnya sengketa tersebut berkaitan
dengan peran positif aktif dari pemerintah
dalam kehidupan masyarakat dalam suatu

6 M. Solly Lubis, op. citI, hlm.

4

7 Ibid, hlm. 4

modern rechstaats sebagi implikasi
dianutnya model welfare state.
8

Sengketa Tata Usaha Negara
menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 adalah sengkata yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di daerah maupun di pusat
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
Tata Usaha Negara termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dari penjelasan Pasal 1 Ayat (4)
tersebut disebutkan bahwa istilah sengketa
tersebut memiliki arti khusus sesuai dengan
fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu
menilai perbedaan pendapat mengenai
penerapan hukum. Dengan demikian
sengketa Tata Usaha Negara dalam konsepsi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
adalah perselisihan menyangkut masalah
penerapan hukum yang selanjutnya akan
dinilai secara yuridis (menetapkan aspek
rechtsmatigheid legality) oleh hakim
administrasi melalui mekanisme pengujian
di Pengadilan Tata Usaha Negara.
9

Mengacu pada rumusan pengertiaan
istilah sengketa Tata Usaha Negara Pasal 1
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 ialah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah seba gai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur Sengketa Tata Usaha Negara
terdiri dari:

8

Sri Pudyatmoko, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi
Kontrol Pemerintah, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1996, hlm. 73

9 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 42-43

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


5
a. Subjek yang bersengketa adalah orang
atau badan hukum privat di satu pihak dan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lain pihak.
b. Objek sengketa adalah keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Sesuai dengan keputusan Pasal 1
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, menyebutkan hanya orang atau badan
hukum perdata yang berkedudukan sebagai
subjek hukum saja yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat Keputusan Tata Usaha
Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Orang atau badan hukum perdata
yang dapat tampil sebagai penggugat
hanyalah orang atau badan hukum perdata
yang kepentingannya terkena oleh akibat
hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan karenanya yang merasa
dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan
Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tidak menganut prinsip actio popularis
yaitu suatu prinsip yang memberikan hak
menggugat kepada setiap orang atau setiap
penduduk.
Mengenai orang (natuurlijke persoon)
yang dapat menjadi penggugat (Subjek
Sengketa Tata Usaha Negara)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
belum mengatur hal tersebut maka apa yang
berlaku dalam hukum acara perdata dapat
diterapkan disini. Untuk dapat maju sendiri
ke Pengadilan Tata Usaha Negara orang
haruslah dewasa, tidak sedang dibawah
penggampunan, dan tidak dalam keadaan
pailit. Orang-orang yang tidak memenuhi
kriteria tersebut, perlu diwakili oleh
wakil-wakilnya yang sah. Dengan demikian
tidak semua orang dapat maju sendiri
dengan mengajukan suatu gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
10

Moral demokrasi sangat
mempengaruhi hukum dan perubahan
hukum, bahkan mempengaruhi pelaksanaan
hukum dan penegakan hukum. Seluruh
lapisan hukum, seperti Hukum Pidana,
Hukum Pedata, Hukum Perburuhan, Hukum
Tanah /Agraria, Hukum Tata Negara,
Hukum Administrasi Negara, Hukum Acara
dan lain-lainnya dibidang hukum
terpengaruh oleh moral demokrasi.
11

Berhasil tidaknya suatu penegakan
hukum secara praktek sangat dipengaruhi
oleh “dapat tidaknya dilaksanakan” setiap
putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum tetap (pasti). Hal inilah yang menjadi
tolak ukur “apakah hukum itu benar-benar
ada dan dapat ditegakkan secara konsisten
dan murni didalam Negara hukum”.
12

Secara prosedural, putusan
pengadilan dalam Peradilan Tata Usaha
Negara diatur pada bagian ke 5 dari pasal
115 sampai pasal 119 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Istilah penetapan terutama menunjuk
pada isi bukan kepada bentuk formalnya.
Sebab persyaratan tertulis itu diharuskan

10 Ibid., hlm. 43

11 Ichtijanto., op. cit., hlm. 73

12 Basah Sjachran, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm 97

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


6
untuk kemudahan dalam segi pembuktian.
Oleh karena itu memo atau nota yang
merupakan keputusan dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dapat memenuhi
persyaratan tertulis dan dapat dijadikan
objek sengketa. Agar sebuah memo atau
nota dapat disebut sebagai suatu Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
apabila:
a. Badan atau Pajabat Tata Usaha Negara
mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan
itu;
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa
yang ditetapkan didalamnya;
d. Menimbulkan akibat hukum bagi seorang
atau badan hukum perdata.
Apabila unsur tertulis itu
dihubung-hubungkan dengan ketentuan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, yang menentukan bahwa apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan suatu keputusan yang
dimohonkan, sedang hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan keputusan Tata Usaha Negara. Jadi
jika waktu telah lewat sebagaimana
ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan atau setelah lewat
waktunya empat bulan sejak diterimanya
permohonan, tetapi Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara itu tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohonkan, maka Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Sikap pasif Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang tidak mengeluarkan
keputusan itu, dapat disamakan dengan
keputusan tertulis yang berisi penolakan
meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian
disebut keputusan fiktif-negatif.
13
Fiktif

13 Indroharto, op. cit., hlm. 105

artinya tidak mengeluarkan keputusan
tertulis, tetapi dianggap telah mengeluarkan
keputusan tertulis, sedangkan negatif berarti
karena keputusan itu berupa penolakan
terhadap suatu permohonan. Dengan
demikian keharusan suatu keputusan tertulis
sebagai kompetensi absolute peradilan
administrasi menjadi tidak lagi mutlak.
14

Karena tidak adanya upaya paksa
sehingga banyak penyelesaian Sengketa Tata
Usaha Negara yang harus dibawa ketingkat
Presiden agar dilaksanakan, beliau
menunjukkan betapa mahalnya harga yantg
harus dibayar penggugat demi mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan hukum yang
sudah menjadi haknya itu. Yang idealnya
sebagaimana dinyatakan Paulus Efendi
Lotulung
15
,bahwa penyelesaian masalah
eksekusi sebaiknya ditingkat lebih rendah
tanpa harus membawanya ke tingkat
presiden yang tentunya beliau sudah sangat
sibuk dengan masalah-masalah kenegaraan
yang lebih penting.
Akan timbul efek yang tidak sehat
bagi kehidupan Hukum Administrasi Negara
jika penuntasan penyelesaian putusan
Peradilan Tata Usaha Negara harus berakhir
ditangan Presiden, antara lain “tidak
berwibawanya lagi lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara dimata tereksekusi”. Kalau
dalam pelaksanaan Putusan Peradilan Tata
Usaha Negara itu terlalu sering Presiden
dilibatkan, hal ini sedikit banyaknya akan
mengurangi wibawa lembaga Presiden, tidak
saja sebagai kepala Pemerintahan melainkan
sebagai kepala Negara dan Mandataris
MPR”.
16

Apabila pihak yang dikalahkan tidak
mau secara suka rela memenuhi isi putusan

14 S. F. Marbun., op. cit., hlm. 110

15 Paulus Efendi Lotulung, Kapita Selekta Hukum, Galia Indonesia, Jakarta,
1995, hlm. 271

16 Rozali Abdullah, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali, Jakarta,
1992, hlm. 84

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


7
yang dijatuhkan, maka pihak yang
dimenangkan dapat mengajukan
permohonan pelaksanaan putusan kepada
pengadilan yang menjatuhkan putusan itu
dalam tingkat pertama (Pasal 116 UU PTUN,
Pasal 196 dan 197 HIR).
17

Dari prosedur penyelesaian masalah
eksekusi ini, tampak bahwa proses
pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara akan dapat memakan waktu yang
cukup pangjang, kalau seandainya tidak
didukung oleh kewibawaan Peradilan Tata
Usaha Negara dan kesadaran Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri,
sehingga tidak sesuai lagi dengan asas
penyelesaian perkara dipengadilan secara
“cepat, murah dan sederhana” (Pasal 4 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman).
Meskipun tahap akhir pelaksanaan
putusan berada ditangan Presiden tetapi
ironisnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tidak menegaskan dan mengatur
tentang adanya keharusan bagi Presiden
untuk mentaati pemberitahuan dari
pengadilan yang mengadili perkara
dipengadilan tingkat pertama, apabila
instansi atasan dari tergugat tetap tidak mau
mematuhi putusan pengadilan.
18
Oleh
karena itu ada kemungkinan pihak tergugat
tetap tidak mau mematuhi putusan
pengadilan.
Apabila kasus seperti ini terjadi
maka sudah tidak ada lagi upaya yang dapat
digunakan penggugat untuk memaksa
tergugat sehingga terjadi “eksekusi
mengapung” (hooting execution). Upaya
hukum yang ditempuh penggugat adalah
mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Negeri sepanjang penggugat

17

Zairin Hararap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetak III
(Revisi), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 196

18 Indroharto, op. cit., hlm. 249

mencamtumkan gugatan ganti rugi dalam
petitumnya dan dikabulkan gugatan tersebut
dalam putusan pengadilan.
Hukum tidak memiliki arti apapun
apabila tidak disertai “sanksi” untuk
mendukung penegakannya.
19
Hukum dan
Adat/ kebiasaan merupakan sistem kaedah
yang sifatnya saling bertentangan.
Kebiasaan atau adat bersifat otonom dan
spontan, sedangkan hukum merupakan
produk dari kekuasaan yang terorganisir
yang disebut “Negara”. Kebiasaan tidak
diberi sanksi oleh sesuatu kekuasaan politik
yang terorganisir, sebaliknya sanksi sangat
penting bagi pelaksanaan hukum.
20

Eksekusi riil berupa paksaan
nampaknya tidak mungkin atau bahkan
mustahil dilaksanakan terhadap pemerintah.
Paling-paling yang dapat dilasanakan adalah
paksaan secara tidak langsung, yaitu
pembebanan berupa uang paksa,
sebagaimana yang dikenal dalam sistem
hukum di Prancis.
21
Mengenai uang paksa
(dwangsom) ini, Irfan Fachruddin
mengatakan : bahwa hakim dapat memaksa
pihak pemerintah untuk mematuhi putusan
dengan menetapkan sejumlah uang yang
harus dibayar. Di Prancis, dikenal dengan
astreinte, dimana pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan administrasi atau kepada
pengadilan banding administrasi, agar
diputuskan suatu uang paksa, apabila dalam
tenggang waktu tertentu pemerintah tidak
melaksanakan eksekusi.
22

Masalahnya sekarang adalah,
bagaimana menerapkan sistem uang paksa

19 Unisia, No. 22, 1994, hlm. 42

20 Sumaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, hlm. 12

21 Amrullah Salim, The System of Administration Juridichiobs In France,
Alumni, Jakarta, 1987, hlm. 12

22 Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengadilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung, 2003,

hlm. 315-316

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


8
tersebut agar dapat terlaksana secara efektif
dalam sistem hukum kita? Dalam peraturan
tentang disiplin pegawai negeri sipil, hanya
memuat sanksi-sanksi pelanggarannya, yaitu
berupa hukuman disiplin dari tingkat
tegoran hingga tegoran keras, skorsing
sampai pemecatan. Belum termasuk sanksi
administrasi tentang mematuhi putusan
pengadilan atau pembayaran sejumlah uang
berupa denda sbagai akibat tidak
dipatuhinya putusan tersebut (Pasal 116 Ayat
(4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004).
Pencantuman disiplin yang demikian
sebagai sanksi administrasi. Perlu mendapat
perhatian untuk masa yang akan datang.
Lancarnya pelaksanaan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara akan sangat
tergantung kepada kesadaran sukarela, serta
sikap dan perilaku dari seluruh jajaran
pemerintahan itu sendiri, yang bertanggung
jawab akan kelangsungan kehidupan Negara
sebagai negasa hukum. Dalam praktek, pada
umumnya putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dipatuhi bukan karena Peradilan Tata
Usaha Negara itu sendiri, melainkan setelah
ada paksaan-paksaan secara tidak langsung,
melalui pemberitaan-pemberitaan dimedia
masa (Pasal 116 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004)

B. PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.
Mengenai Pelaksanaan Putusan Tata
Usaha Negara sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 di
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.
Dari tahun 1998 sejak didirikannya
Pengadilan Tata Usaha Negara di
Yogyakarta sampai dengan Tahun 2003 telah
tercatat 73 (tujuh puluh tiga) kasus yang
ditangani yang berupa sengketa pertahanan,
kepegawaian, prijinan, lelang, akta kelahiran
perburuhan, tender, yayasan dan lain-lain,
semuanya diadili dan diputuskan Pengadilan
Tata Usaha Negara, ada beberapa yang
dicabut dan beberapa yang diputuskan oleh
pengadilan
Dalam penelitian ini, penulis
menemui Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara Semarang yaitu Maftuh Efendi, SH,
MH, dan beliau mengungkapkan bahwa
dalam menjalankan putusan Pengadilan,
Pengadilan tetap mengacu pada
Undang-Undang Tata Usaha Negara yang
berlaku walau ada beberapa substansi yang
cenderung membingungkan dan tidak ada
ketegasan, seperti yang terkandung dalam
Pasal 116 walaupun Undang -Undang
tersebut telah diamandemen.
Selanjutnya beliau mengatakan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, hanya putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang dapat dilaksanakan. Salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirim kepada para pihak
dengan surat tercatat oleh panitera
Pengadilan setempat atau perintah Ketua
Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari. Jika dalam tenggang
waktu 4 Bulan setelah putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikirim, tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya yaitu mencabut Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan
tersebut, maka Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajibannya yang berupa
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dan menerbitkan
keputusan yang baru atau penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara yang

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


9
sebelumnya tidak ada atau melaksanakan
kewajibannya membayar ganti rugi atau
rehabilitasi, kemudian setelah tenggang
waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakannya, maka
tindakan yang dilakukan oleh penggugat
ialah mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat
pertama agar Pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan Putusan Pengadilan
tersebut. setelah menerima permohonan dari
penggugat tersebut, kemudian Ketua
Pengadilan akan mengeluarkan penetapan
yang isinya memerintahkan kepada tergugat
agar segera melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut. Hal ini selaras dengan Surat
Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 115/M/PAN/4/2003 dan
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor
SE/24/M.PAN/8/2004 tanggal 24 Agustus
2004, YANG ISINYA menyatakan kepada
instansi pemerintah yang digugat agar
melaksanakan putusan maupun penetapan
Pengadilan Tata Usaha Negara; Jika tergugat
tetap tidak mau melaksanakan kewajiban
tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal
ini kepada instansi atasannya menurut
jenjang jabatan (tergugat) tersebut yang
isinya memberitahukan kepada atasan
tergugat untuk memerintahkan kepada
tergugat agar melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut. Apabila instansi atasan
juga tidak memperhatikan perintah
Pengadilan untuk melaksanakan putusan,
Ketua Pengadilan mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan tergugat melaksanakan
Putusan Pengadilan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tidak menegaskan bahwa
Presiden harus mentaati pemberitahuan atau
putusan dari Pengadilan tersebut, demikian
juga dengan tidak diaturnya mengenai upaya
paksa yang berupa pembayaran sejumlah
uang paksa atau sanksi administratif. Jadi
ada kemungkinan pihak tergugat tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan tersebut,
apabila hal ini sudah terjadi, yang jelas
sudah tidak ada upaya lagi yang dilakukan
untuk memaksa pihak tergugat. Jalan lain
yang dapat ditempuh oleh penggugat
mengajukan gugatan pembayaran ganti
kerugian ini kepada Pengadilan Negeri
(Pengadilan Umum).
Dalam Pasal 17 Peraturan
Pemerintah 43/1991 jo Pasal 5 Ayat (1)
Keputusan Menteri Keuangan 1129/1991,
walau mengatur mengenai sanksi
administrasi terhadap Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang tidak melaksanakan
keputusan pengadilan tersebut, tetapi
penjatuhan sanksi administrasi tersebut
limitatif hanya berkaitan dengan kelalaian
yang mengakibatkan negara membayar ganti
rugi kerugian. Jadi tidak ada kaitannya
dengan perbuatan yang tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal kewajiban yang
dibebankan kepada pihak tergugat tidak
dilaksanakan sama sekali atau dilaksanakan
akan tetapi tidak sempurna adalah
semata-mata kesengajaan pihak tergugat,
melainkan karena keadaan yang berubah
setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Sehubungan dengan permasalahan
tersebut diatas dari berbagai kasus yang
ditangani Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta sejak Tahun 1998 sampai Tahun
2004 (sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004),
yang berupa kasus Pertanahan,
Kepegawaian, Perizinan, Lelang, Tender,
Catatan sipil, Yayasan, KTP, Lurah/Kades
dan lain-lain, tidak terdapat kasus dimana
tergugat atau Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang tidak melaksanakan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara.

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


10
2. Pelaksanaan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara berdasarkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004.
Dalam Pasal 115 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa
hanya putusan Pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan. Putusan pengadilan yang
belum memperoleh kekuatan hukum tetap
tidak memiliki kekuatan eksekusi atau
dengan kata lain putusan pengadilan yang
masih mempunyai upaya hukum tidak dapat
dieksekusi.
Seperti sudah dijelaskan,
pelaksanaan putusan menurut ketentuan
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 dan menurut Pasal 116
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
memiliki persamaan dan perbedaan.
Perbedaan tersebut sudah jelas implikasi
hukumnya masing-masing. adanya
amandemen dari pasal 116 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 lebih dikarenakan
adanya anggapan bahwa Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah macan ompong,
dikarenakan sanksinya hanya berupa sanksi
administratif saja, sedangkan terhadap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak mau melaksanakan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan tidak dikenai sanksi
apapun juga. hal inilah yang menjadi salah
satu alasan dimasukkannya sanksi berupa
pembayaran uang paksa (dwangsom), serta
adanya pengumuman dimedia massa cetak,
yang dimaksudkan sebagai sanksi moral
bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Tersebut.

3. Kendala-Kendala Dalam Pelak -
sanaan Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Dalam hal ini, dari ketentuan Pasal
116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan
antara ketentuan Pasal 116 tersebut adalah
pada ayat (4) dan ayat (5). Jadi apabila
diperhatikan maka ketentuan ayat (4) dan
ayat (5) tidak mengandung pelaksanaan
putusan yang secara hirarkis atau jika
tergugat tidak mau melaksanakan Keputusan
Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada
instansi atasannya menurut jenjang jabatan
sampai kepada Presiden sebagai kepala
Negara, melainkan dalam hal tergugat tidak
bersedia melaksanakan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, terhadap Pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif ayat (4) sementara
dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “Pejabat yang
bersangkutan dikenakan uang paksa” dalam
ketentuan ini adalah pembebanan berupa
pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan
oleh hakim karena jabatannya yang
dicantumkan dalam amar putusan pada saat
memutuskan mengabulkan gugatan
penggugat. Namun dalam hal ini tidak
dijelaskan mengenai bagaimana cara
pedoman atau prosedur yang digunakan oleh
hakim untuk menentukan besarnya uang
paksa tersebut atau belum ada peraturan
pelaksanaannya jadi bentuk uang paksa
tersebut seperti apa, kemudian apakah akan
disidang ulang atau seperti apa, karena uang
paksa tersebut diberikan apabila tergugat
tidak melaksanakan putusan pengadilan
tersebut, kemudian siapa yang harus
membayar uang paksa tersebut apakah
Pejabat sebagai tergugat atau dibebankan
kepada Negara karena apabila putusan
pengadilan itu tidak dilaksanakan, maka
sanksi administratif itu akan mengacu
kepada Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
secara individu sementara Pejabat tersebut
adalah Pejabat Tata Usaha Negara, dan
bagaimana pula kalau besarnya uang paksa
yang ditetapkan oleh hakim tidak sebanding
dengan nilai tuntutan pokok dari gugatan
yang diajukan, disamping itu digantinya

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


11
tuntutan pokok yaitu tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh tergugat tidak sah atau
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang dimohon oleh penggugat dikabulkan
oleh tergugat, dengan sejumlah uang paksa
sebagaimana yang disebutkan Pasal 116
Ayat (4) tersebut tidak masuk akal dan
cenderung tidak menyelesaikan masalah,
karena yang menjadi Objek Sengketa adalah
Keputusan Tata Usaha Negara bukan
tuntutan ganti kerugian. Sementara itu, yang
berkaitan dengan penjatuhan sanksi
administratif sebagaimana juga disebut
dalam Ayat (4) tidak jelas apa bentuknya
bagaimana implementasinya, dan siapa yang
berwenang menjatuhkan sanksi tersebut,
apakah pengadilan atau pejabat atasan,
karena apabila pengadilan yang
menjatuhkan sanksi itu tidak mungkin dan
apabila atasan pejabat, itu berarti kembali
lagi pada pokok permasalahan sebelumnya
yaitu bahwa permasalahan itu akan kembali
kepada instansi atasan menurut jenjang
jabatan, akan menjadi pertanyaan juga
apakah pejabat atasan tersebut mau untuk
menjatuhkan sanksi administratif tersebut?
Demikian juga dengan ketentuan
Ayat (5) yang menyebutkan apabila tergugat
tidak mampu membayar sejumlah uang
tersebut bagaimana yang dimaksud dalam
Ayat (4), maka akan diumumkan pada media
massa cetak setempat oleh panitera. Dalam
hal ini pengumuman dimedia Massa cetak
ini yang sangat dimungkinkan karena ada
unsur moral yang terkandung didalamnya.
Ternyata sanksi yang tercantum dalam Ayat
(5) ini juga tidak begitu baik dimana
kelemahan utamanya yang akan muncul
dalam penerapan sanksi ini adalah bahwa
tujuan utama dari penggugat untuk
menggugat dan menuntut menjadi tetap saja
tidak tercapai sebagaimana mestinya,
disamping itu tidak jelas apa tujuannya dari
pengumuman tersebut terutama dalam
kaitannya dalam pemenuhan kepentingan
dari penggugat yang menjadi pertanyaan
juga siapa yang menanggung biaya
pembuatan pengumuman dimedia massa
cetak tersebut apakah tergugat atau
penggugat atau malah pengadilan. Oleh
karena itu perubahan terhadap ketentuan
Pasal 116 tersebut belum dapat menjamin
kepastian hukum atau dapat memberikan
perlindungan yang semestinya menjadi hak
penggugat.
Oleh karena belum adanya peraturan
yang jelas tentang pelaksanaan sanksi baik
yang berupa uang paksa maupun sanksi
administrasi serta pengumuman dimedia
massa cetak, maka apabila ada gugatan yang
didalamnya mencantumkan tentang hal
tersebut, majelis hakim pada waktu
pemeriksaan persiapan memberitahukan
kepada penggugat tentang hal tersebut.
Apabila penggugat tetap berkeinginan untuk
mencantumkan tuntutan (petitum) tentang
uang paksa maupun pengumuman dimedia
massa cetak, maka dalam putusannya akan
dipertimbangkan bahwa majelis hakim pada
waktu pemeriksaan persiapan sudah
memberitahukan tentang hal tersebut. Akan
tetapi ada juga penggugat yang setelah
mendengar keterangan dari majelis hakim
mengenai hal tersebut akhirnya memutuskan
untuk tidak mencantumkan tuntutan
mengenai uang paksa tersebut dalam
gugatannya, dikarenakan belum adanya
kejelasan dalam peraturannya.
Mengenai ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 39 A Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 mengenai Juru Sita yang
mengatakan bahwa pada setiap Pengadilan
Tata Usaha Negara ditetapkan adanya Juru
Sita pada dasarnya merupakan suatu langkah
yang baik dalam penbagian tugas penyita
atau eksekutor dimana dalam
Undang-Undang sebelumnya tidak mengatur
mengenai hal ini. Mengenai Pasal ini Juru
Sita mempunyai permasalahan tersendiri,
walau Undang-Undang telah memuat
mengenai Juru Sita akan tetapi dalam Pasal
lain seperti Pasal 116, salinan Putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


12
hukum tetap, dikirim kepada para pihak
dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.
Jadi disini terjadi aturan yang dualisme
dimana disatu pihak memakai surat tercatat
dan dipihak lain memakai Juru Sita, jadi
seolah Juru Sita ini hanya sebagai pelengkap
padahal perannya sangat penting sebagai
lembaga eksekutorial. Akan tetapi sangat
disayangkan karena tidak ada aturan atau
ketentuan yang jelas mengenai kewenangan
dari Juru Sita baik tugas maupun
kewenangannya, karena secara struktural
atau organisasi peranan Juru Sita tersebut
sangat penting, pada dasarnya Juru Sita
adalah salah satu lembaga eksekutorial. Dan
ini juga merupakan suatu kelemahan atau
ketidak jelasan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dipandang dari pembagian
mengenai tugas dan peranan aparat penegak
keadilan dalam lingkup Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Dan dalam hal tergugat yang kalah,
belum ada permasalahan mengenai putusan
pengadilan itu tidak dilaksanakan oleh
tergugat, hanya saja ada beberapa putusan
pengadilan yang tidak dapat dilakukan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
bukan hanya karena perubahan waktu akan
tetapi ada beberapa Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang sengaja menunda-nunda
pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara tersebut.

C. P E N U T U P
Dari keseluruhan data dan analisis
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
menyangkut pelaksanaan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku
maka Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata
Usaha Negara setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
dapat dilakukan dengan adanya kajian
terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yaitu mengkaji mengenai
kualitas perlindungan hukum terhadap
rakyat yang membutuhkan perlindungan
hukum dari kemungkinan terjadinya
penggunaan wewenang pemerintah yang
melanggar hak-hak rakyat yang memiliki
kedudukan yang berbeda. Sesuai dengan
fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah
untuk menyelesaikan atau memutuskan
sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap
melanggar hak-hak orang atau badan hukum
perdata tersebut baik yang ada di pusat
maupun di daerah dan tujuan pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri
yang termuat dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yakni memberi perlindungan hukum
terhadap hak-hak rakyat yang bersumber
dari hak individu dan memberi perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari
individu yang hidup dalam masyarakat
tertentu.
Akan tetapi tujuan dari pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara tersebut belum
sepenuhnya dapat menjamin atau dapat
memberi perlindungan hukum terhadap
rakyat, karena dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada ketegasan
mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan
oleh tergugat yakni Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Dari fungsi peradilan
tersebut juga dalam pelaksanaan terhadap
putusan hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara sering menimbulkan kesulitan yang
ditimbulkan tidak adanya lembaga
eksekutorial yang secara khusus
melaksanakan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


13
Nomor 9 Tahun 2004 tersebut kesannya
belum sempurna dan cenderung
membingungkan. Sadar akan kelemahan
tersebut maka dibentuk Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sehingga dapat meningkatkan kualitas
pelaksanaan putusan pengadilan Tata Usaha
Negara dapat berjalan dengan baik dan
benar serta dapat dilakukan dengan secara
efektif.
Memandang pentingnya
permasalahan tersebut diatas maka
dipandang penting untuk mengkaji evaluasi
terhadap Undang-Undang tersebut
khususnya mengenai pelaksanaan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang
subtansinya memberikan pembebanan
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara sesuai dengan Pasal 97
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, dan
menemukan solusi dan melakukan
penyerasian secara teknis yuridis sesuai
dengan asas keadilan. Sehingga dalam
melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut dapat berjalan secara efektif
serta dapat memberikan kepastian hukum
dan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

.Amrullah Salim, The System of
Administration Juridichions In
France, Alumni, Jakarta, 1987
Baharudin Lopa, Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
1988
Ichtijanto, Pembangunan Hukum Dalam
Perspektif Moral, Alumni,
Bandung, 1998
Indroharto, Usaha Memahami
Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,
cetakan IX, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2004
________, Usaha Memahami
Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1993
Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengadilan
Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, 2003
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Gajah
Mada Universitas Prees,
Yogyakarta, 1994
Paulus Efendi Lotulung, SH., Kapita Selekta
Hukum, Galia Indonesia,
Jakarta, 1995
Ridwan Tjandra.w., Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Revisi II,
2002
Rozali Abdullah, Hukum Peradilan Tata
Usaha Negara, Rajawali,
Jakarta, 1992
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan
Upaya Administrasi ,
Yogyakarta: UII Press, 2003
Sri Pudyatmoko, Peradilan Tata Usaha
Negara Sebagai Salah Satu
Fungsi Kontrol Pemerintah,
Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1996
Sumaryati Hartono, Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991
Sumaryono dan Anna Eliyana, Tuntutan
Praktek Beracara di
Pengadilan Tata Usaha Negara,

Soeleman D. Baranyanan, Efektifitas Eksekusi Peradilan ………………….
Jurnal Sasi Vol. 23 No. 1 Bulan Januari - Juni 2017


14
Prima Media Gramedia, Jakarta,
1999
T. Boestomi, Hukum Perdata dan Hukum
Tata Usaha Negara Dalam
Teori dan Praktek, Alumni,
Bandung, 1984
Zairin Hararap, Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, Cetak III
(Revisi), Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997
M. Solly Lubis, ”PTUN dalam Perspektif
HAM”, Artikel Radar No. 30,
edisi Maret-April. 1988.