TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 170

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
Hubungan Psikologi, Tasawuf dan Pendidikan Agama Islam

Siti Mutholingah
1)
, A. Qomarudin
2)

1,2
Program Studi Pendidikan Agama Islam, STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang, Indonesia
email: [email protected]


Abstract: The purpose of this study is to examine the relationship between psychology, Sufism and Islamic
Education. This study uses a literature review or referred to as a literature study. The result of this study is that
Islamic Education as an effort to develop the entire human element, namely physical, psychological (soul) and
reason, requires other disciplines, namely psychology and Sufism as disciplines that examine the psychological
(psychological) aspects of humans in depth. The findings of this study are Islamic teachings are taught in PAI
which consist of an exoteric dimension (outside) and an esoteric dimension (inside), where in teaching the esoteric
dimension to students, Islamic Education requires psychology and Sufism. In practice, psychology and sufism can
be used as the basis for character based Islamic education development. Thus, it can be concluded that the
relationship between psychology, Sufism and Islamic Education is that in the learning process PAI is very closely
related to the disciplines of psychology and Sufism, especially in terms of teaching the esoteric dimension of Islamic
teachings (the spirit of Islamic teachings) because this esoteric dimension can only be understood by students. the
psychic (psychological) aspect of humans.

Keywords: psychology, sufism, Islamic education, exoteric and esoteric dimension

Abstrak:. Tujuan dari studi ini yaitu untuk mengkaji hubungan antara psikologi, tasawuf dan
Pendidikan Agama Islam (PAI). Studi ini menggunakan kajian literatur atau disebut dengan
studi pustaka. Hasil dari studi ini yaitu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu upaya
mengembangkan keseluruhan unsur manusia yakni fisik, psikis (jiwa) dan akal, memerlukan
disiplin ilmu yang lain, yakni psikologi dan tasawuf sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang
aspek psikis (kejiwaan) manusia secara mendalam. Adapun temuan dari studi ini yaitu dalam
PAI diajarkan ajaran Islam yang terdiri dari dimensi eksoterik (luar) dan dimensi esoterik (dalam),
di mana dalam mengajarkan dimensi esoterik kepada sisiwa maka PAI memerlukan psikologi dan
tasawuf. Dalam praktiknya psikologi dan tasawuf dapat dijadikan landasan dalam
pengembangan PAI berbasis karakter. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara psikologi, tasawuf dan PAI adalah dalam proses pembelajaran PAI sangat berkaitan erat
dengan displin ilmu psikologi dan tasawuf, terutama dalam hal mengajarkan dimensi esoterik
dari ajaran Islam (ruh ajaran Islam) karena dimensi esoterik ini hanya bisa dipahami oleh aspek
psikis (kejiwaan) manusia.

Kata kunci: psikologi, tasawuf, pendidikan Agama Islam, dimensi eksoterik dan esoterik

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna karena manusia memiliki
unsur jasmani, ruhani, maupun akal sebagai pembeda dengan makhluk lain.
1
Manusia memiliki
bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena
kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Manusia selalu membutuhkan
pegangan hidup yang disebut agama, sehingga keseimbangan manusia dilandasi kepercayaan
beragama.

1
Meta Malihatul Maslahat, “Manusia Holistik Dalam Perspektif Psikologi dan Tasawuf”, Syifa al-Qulub: Jurnal Studi
Psikoterapi Sufistik, Vol. 4, No. 1 (2019), abstract.

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 171

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
Dalam memandang hakikat manusia (konsep, struktur, motivasi dalam berperilaku) baik
dalam psikologi barat maupun psikologi Islam, sama-sama mengkaji tentang aktivitas kejiwaan
manusia serta hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas kejiwaan itu dalam rangka mencapai
kebahagiaan fisik dan psikis. Begitu juga dengan tasawuf, ilmu ini juga mengkaji manusia dengan
berbagai bentuk aktivitas kejiwaannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga
kedua ilmu ini erat kaitannya satu sama lain.
Kemudian, hubungan keilmuan itu tidak hanya terbatas dengan kedua ilmu tersebut,
kedua ilmu tersebut juga erat kaitannya dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam
(PAI). Mengapa? Karena PAI sebagai suatu ilmu yang mengerjakan ajaran Islam tidak hanya
sekedar dimensi eksoterik saja melainkan juga dimensi esoterik.
2
Selain itu, PAI juga bertujuan
untuk menjadikan manusia secara utuh (fisik maupun psikis) sebagai obyek yang dikaji juga dalam
rangka menjadikan manusia itu sebagai makhluk yang paling sempurna dan dalam rangka
menjalankan perannya sebagai khalifah fil ardhi.
Sudah menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan, khususnya pendidikan
Islam mempunyai kaitan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia, yakni pendidikan merupakan sebuah proses untuk mengaktualisasikan
potensi manusia secara keseluruhan, sehingga manusia itu benar-benar menjadi manusia yang
sesungguhnya. Kemudian dalam proses aktualisasi potensi tersebut perlu ada pengetahuan
tentang keberadaan potensi itu sendiri serta situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk
mengaktualisasikan potensi tersebut, dan ini merupakan kajian dari psikologi.
3

Dengan mempelajari psikologi dan juga tasawuf, yang keduanya menekankan pada aspek
jiwa seseorang, maka seorang guru khususnya guru PAI dapat memberikan pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan perkembangan anak didiknya. Artinya psikologi dan tasawuf dapat
digunakan untuk pedoman dalam memberikan materi pendidikan dan pengajaran PAI sehingga
yang menjadi tujuan dalam pendidikan dan pengajaran PAI, baik mencakup ranah kognitif, afektif
maupun psikomotor akan mudah tercapai.

Metode
Studi ini menggunakan jenis penelitian pustaka atau studi pustaka. Dikarenakan studi
pustaka maka yang menjadi sumber data utama dalam penelitian ini adalah literatur-literatur baik
berupa buku maupun artikel ilmiah yang terkait dengan hubungan psikologi, tasawuf dan
pendidikan Agama Islam. Adapun teknik analisis data dalam studi ini yaitu menggunakan teknik
analisis wacana (content analysis). Teknik analisis wacana ini penulis lakukan melalui analisis secara
mendalam terhadap literatur-litaretur, kemudian meneliti melakukan kros cek terhadap isi antar
literatur tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka memastikan bahwa data yang penulis peroleh
bisa dipastikan kebenarannya.


Hasil dan Pembahasan

A. Konsep Manusia dalam Psikologi (Barat) dan Psikologi Islam

2
Kunawi Basyir, “Makna Eksoteris dan Esoteris Agama dalam Sikap Keberagamaan Eksklusif dan Inklusif”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8 No. 1 (2018), hlm. 235.
3
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. v-vi

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 172

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai konsep manusia,
dalam hal ini psikologi (barat) melahirkan 3 teori utama tentang manusia, yaitu:
1. Psikoanalisis, yaitu aliran yang menganggap manusia sebagai makhluk yang selalu responsif
terhadap kebutuhan. Ia digerakkan oleh keinginan-keinginan dari dalam yang merupakan
libido atau dorongan seks;
2. Behaviorisme, yaitu aliran yang menganggap manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh
lingkungan;
3. Psikologi humanistik, yaitu aliran yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam
merumuskan strategi transaksional dalam lingkungannya.
4
Artinya manusia mempunyai
kualitas insani berupa kemampuan berpikir, abstraksi, imajinasi, perasaan, dan lain-lain.
5

Dari keempat aliran tersebut pada umumnya memandang manusia sebagai makhluk yang
punya keinginan dan potensi baik dari dalam diri sendiri maupun yang dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, lingkungan yang dalam hal ini bisa berupa pendidikan
yang diterima oleh manusia mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk manusia
menjadi manusia yang seutuhnya.
Menurut Hanna, Psikologi Islam memandang manusia memiliki unsur al-ruh yang berasal
dari Tuhan dan membentuk persenyawaan dalam kepribadian manusia. Oleh karena itu manusia
tetap merindukan Tuhan, karena unsur psikisnya berasal dari Tuhan. Inilah yang tidak ditemukan
dalam psikologi barat, sehingga mereka tidak dapat memahami mengapa orang beragama.
6

Dalam psikologi Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang paling sempurna dalam
aspek fisik dan psikisnyanya. Dan aspek kejiwaan manusia itu ada stratifikasinya
7
yang mebentuk
hierarki dari atas ke bawah atau sebaliknya. Menurut Baharuddin, stratifikasi jiwa (psikis) dalam
psikologi Islami adalah sebagai berikut:
1. Al Jism sebagai elemen struktur fisik manusia;
2. Al-Nafs sebagai elemen dasar psikis manusia, maksudnya al- nafs sebagai satu dimensi jiwa
yang memiliki fungsi dasar dalam susuan organisasi jiwa manusia, yakni mampu mewadahi
dan menampung dimensi-dimensi lain.
3. Al-’Aql dan Qalb sebagai dimensi isaniyah psikis manusia, akal mampu menemukan,
mengembangkan, mengkonstruksi hukum alam menjadi teori ilmu pengetahuan, dan inilah
yang
4. Al-Ruh sebagai dimensi spiritual psikis manusia dimana ruh ini merupakan aspek jiwa yang
sesungguhnya
5. Al-Fitrah sebagai identitas esensial psikis manusia, fitrah ini disebut juga potensi dasar
manusia.
8


4
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental. (Jakarta: Al Husna, 1986), hlm. 310-311
5
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 10
6
Hanna Djumhana Bastama, Kedudukan Ruh dalam Sturktur Kepribadian Manusia Menujun Psikologi Islami, dalam Fuad
Nashori. (ed). Membangun paradigma Psikologi Islami. (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hlm. 124
7
Stratifikasi dalam konteks kejiwaan adalah sistem kesadaran jiwa yang meliputi aspek-aspek jiwa yang mengatur
tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Jiwa itu adalah keseluruhan, integritas, dan tidak
terbagi-bagi, namun dalam wujudnya sebagai kesadaran muncul dalam bentik yang bermacam-macam dan berbeda-
beda.
8
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 65-113

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 173

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
B. Konsep Jiwa Manusia dalam Tasawuf
Menurut At Tirmidzi (dalam Amir An Najar), tasawuf memandang jenis jiwa manusia
itu terdiri dari, yaitu:
9

1. An Nafs bermakna nafas yang dapat memberikan hidup, di mana nafas itu terpancar dari
ruh, seperti meluapnya sesuatu dari atas ke bawah;
2. An Nafs bermakna Gharizah yakni insting yang dihiasi oleh setan dengan segala tipu daya,
yang bertujuan untuk menang dan merusak, dalam posisi ini jiwa sangat lemah di hadapan
setan;
3. An Nafs sebagai penolong setan dan ikut serta dalam kejahatan.
Sedangkan menurut Al Ghazali, sebagaimana dirumuskan oleh Baharuddin, bahwa
struktur jiwa manusia dalam tasawuf adalah sebagai berikut:
10

1. Al ‘Aql (jiwa manusia), bermakna bahwa jiwa manusia itu merupakan penangkap ilmu dan
penentu keinginan;
2. Jund Al Qalb, bermakna jiwa manusia itu sebagai penyerap segala sesuatu yang dihasilkan
indera, pendorong atau syahwat , dan penggerak keinginan;
3. An Nafs An Nabatiah, bermakna jiwa sebagai daya tumbuh, daya reproduksi, dan pemberi
kekuatan.
Jadi, berdasarkan konsep tasawuf tersebut, maka jiwa dipandang sebagai sesuatu yang
aktif yang dapat mendorong manusia untuk berperilaku serta mempertahankan kehidupannya di
dunia ini, bahkan sebagai daya untuk bisa mencapai ma’rifat kepada Tuhan. Sehingga, badan
(jasmani) tidak mempunyai daya apapun jika disandingkan dengan jiwa. Oleh karena itu
keberadaan unsur jiwa atau ruhani sangat menentukan bagi kehidupan manusia itu sendiri.

C. Hubungan Psikologi, Tasawuf dan Pendidikan Agama Islam
Ajaran Islam terdiri dari dua aspek, yaitu aspek eksoterik (lahiriah) dan aspek esoterik
(batiniah). Syari’at sebagai pengetahuan tentang syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan suatu
ibadah itu disebut aspek eksoterik. Sedangkan makna maupun hikmah dari ibadah itu sendiri
merupakan aspek esoterik. Aspek esoterik dalam Islam inilah yang disebut denga tasawuf. Sebagai
aspek esoterik, tasawuf juga menghendaki pelaksanaan syari’at yang benar. Sebab, antara tasawuf
dan syari’at adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, orang Islam
yang bersyari’at harus mengamalkan tasawuf, dan sebaliknya orang yang bertasawuf harus pula
melaksanakan syari’at.
11



Sebagaimana para ahli fiqih (sebagaimana dikutip oleh Solihin, dkk.)
12
mengatakan sebagai
berikut:
َدْنَزَت ْدَقف َهّقَفَت َلََف ّفَّوَصَت ْنَمَو ,َقَّسَفَت ْدَقف ّفَّوَصَت َلََف َهّقَفَت ْنَم َقَّقَحَت ْدَقَف اَمِهْيِف ْلَمْعَي ْنَمَو ,َق

9
Amir An Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, terj. Hasan Abrori (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hlm. 39. , lihat juga Ali
Imron, “Tasawuf dan Problem Psikologi Modern”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman , Vol.29, No. 1 (2018), hlm
24.
10
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam..............................., hlm. 226
11
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 173-187
12
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia, 2014), cet. Ke-3, hlm. 102

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 174

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
“Barang siapa mendalami fiqih tetapi tidak bertasawuf maka sesungguhnya ia adalah fasik, dan barang siapa
bertasawuf tetapi tidak mendalami fiqih maka ia adalah zindiq, dan barang siapa menjalankan keduanya
maka ia sesungguhnya yang malakukan kebenaran.”
Oleh karena itu menurut Nurkholis Majid, tasawuf wajib diajarkan kepada siswa sejak
madrasah ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Apaun jurusannya di perguruan tinggi maka harus
diajarkan tasawuf. Hal ini dikarenakan Pendidikan Agama Islam mengandung unsure tasawuf
dalam segala aspeknya.
13

Proses penyadaran dan perubahan untuk meningkatkan nilai jiwa keagamaan pun akan
mudah di kembangkan. Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan
pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan
dalam mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan
Islam, tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak usia dini melalui Pendidikan Agama Islam (PAI).
Hubungan psikologi agama dan pendidikan Islam sangat terkait dengan tujuan
pendidikan yakni menanamkan nilai kebaikan dan keadilan dalam diri seseorang. menurut
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia secara
pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya,
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang
lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an, untuk bertaqwa kepada -Nya.
14

Pendidikan Islam sangat erat kaitannya dengan psikologi agama, bahkan psikologi agama
digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Perkembangan
agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga,
disekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama
(sesuai dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan dan caranya
menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
15

Jadi, secara mudahnya psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia
yang di mana manusia itu mempunyai fitrah beragama dan pengalaman spiritual, yang kemudian
ini dikaji oleh tasawuf sebagai bagian dari psikologi transpersonal. Kemudian PAI sebagai usaha
sadar untuk mengembangkan potensi manusia yang berlandaskan kondisi jiwa manusia ini
memerlukan psikologi dan tasawuf untuk melakukan proses pembelajarannya, sehingga dapat
tercapai tujuan pendidikan Islam yang utama yakni membentuk pribadi muslim yang sempurna
secara jasmani maupun rohani.

Adapun fungsi psikologi dan tasawuf dalam PAI dapat digambarkan sebagai berikut:

13
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 174
14
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 9-11, lihat juga Kunawi
Basyir, “Makna Eksoteris dan Esoteris Agama dalam Sikap Keberagamaan Eksklusif dan Inklusif”, Teosofi: Jurnal
Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8 No. 1 (2018), hlm. 237.
15
Mutholingah, Siti. “Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah Al-Nafs) dan Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam”,
Jurnal Talimuna, Vol. 10, No. 01, Maret 2021, hlm. 78.

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 175

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)


Dalam proses mengaplikasikan tasawuf dan psikologi dalam PAI, maka langkah yang
harus dilakukan oleh guru PAI adalah sebagai berikut:
1. Guru PAI harus mampu menta’dib (penanaman adab/akhlak) peserta didik agar mempunyai
akhlaq yaitu perbuatan yang dilakukan secara mudah tanpa harus berpikir dan bersifat terus
menerus atau istiqamah. Akhlak di sini baik akhlak yang terkait dengan peran peserta didik
sebagai abdullah (individu) maupun sebagai khalifatullah (sosial). Dalam proses penanaman
akhlaq ini bisa dilakukan dengan cara takhalli (menghilangkan sifat-sifat tercela) dan tahalli
(menanamkan sifat-sifat terpuji) kepada peserta didik.
2. Guru PAI harus mampu menjadi psikolog yang memahami jiwa peserta didik, sekaligus
sebagai mursyid yang mentazkiyah qalb peserta didik. Sehingga semakin ditazkiyah maka daya al-
qalb, daya al-ruh, daya al-sirr peserta didik akan terpancar. Dengan demikian peserta didik akan
lebih mudah pendapatkan, arahan, petunjuk, bimbingan dari guru PAI dalam menanamkan
ajaran Islam;
3. Guru PAI harus mampu memahami, membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk
menapaki tahap-tahap dalam kehidupan agar bisa memperoleh petunjuk sebagai bentuk kasyf
Allah secara luas, yang dalam hal ini didibaratkan seorang sufi yang hendak menapaki
maqamat-maqamat untuk mencapai kasyf dalam arti sufi (tersingkapnya tabir sehingga
mampu melihat Allah dengan al-sirr).
Contoh bimbingan yang bisa dilakukan oleh guru PAI dalam mengaplikasikan tasawuf
dan psikologi di sekolah misalnya dengan beberapa kegiatan berikut ini:
1) Melatih dan membiasakan peserta didik bertaubat dengan cara meminta maaf kepada Allah
maupun sesama teman ketika mempunyai kesalahan, serta berjanji tidak mengulangi
kesalahan itu;
2) Melaksanakan kegiatan-kegiatan istighasah maupun dzikir di sekolah sebagai upaya melatih
peserta didik untuk senantiasa berdzikir di manapun dan kapan pun;
3) Melatih dan membiasakan peserta didik untuk berperilaku jujur (perkataan maupun
perbuatan), misalnya jujur ketika mengerjakan ulangan dengan memberikan pemahaman
karena sesungguhnya Allah selalu dekat dengan hambaNya sekaligus sebagai bentuk khauf
kita kepada azab Allah;
Struktur manusia
1. Struktur fisik
2. Struktur psikis (jiwa)yang
bersumber dari qalb
3. Motivasi berperilaku
4. fitrah beragama
Psikologi
(mempelajari struktur
psikis/jiwa dilihat dari
motivasi berperilaku)
Tasawuf
(mempelajari jiwa yang
bersumber dari qalb manusia
dan perilaku (akhlaq manusia)
sehingga mampu mencapai
mahabbatullah dan
ma'rifatullah
PAI
Bertujuan mengembangkan seluruh
potensi manusia (fisik, psikis,
motivasi, fitrah) sehingga menjadi
khalifatullah dan abdullah yang
ma'rifatullah dan mahabballah

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 176

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
4) Melatih dan membiasakan peserta didik untuk hidup sederhana sebagai bentuk perilaku
zuhud, misalnya uang saku secukupnya, perlengkapan (sepatu, tas, pakaian, dan lain
sebagainya) sekolah tidak perlu yang mahal-mahal atau bermerek;
5) Melatih dan membiasakan peserta didik mensyukuri segala nikmat Allah; dengan
pemahaman barang siapa bersyukur maka akan ditambah nikmatnya oleh Allah. Sebagai
bentuk rasa syukur itu dengan cara bersedekah semampunya;
6) Melatih dan membiasakan peserta didik untuk selalu berdoa sebelum dan sesudah memulai
pekerjaan apapun (sebelum dan sesudah belajar), sebagai bentuk raja’ kita kepada Allah;
7) Melatih dan membiasakan peserta didik untuk selalu bertawakkal atas semua hasil belajar,
apaun hasilnya itu yang terbaik;
8) Membiasakan peserta didik untuk senantiasa ridla atas segala yang ditakdirkan Allah, karena
sesungguhnya petunjuk yang diberikan Allah kepada kita adalah salah satu bentuk kasyf Allah
kepada hamba-Nya.
Jadi, PAI sebagai aplikasi dari tasawuf dan psikologi berusaha menjadikan psikologi dan
tasawuf sebagai acuan dalam proses pengembangan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan
yakni membentuk peserta didik yang beriman, bertawa, dan beraklhak mulia sebagai abdullah
maupun khalifatullah.
Adapun dalam prosesnya, secara skematis aplikasi psikologi dan tasawuf dalam PAI dapat
digambarkan sebagai berikut:

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 177

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)























Ridla
Tawakkal
Taqwa
Tawadlu'
Faqr
Sabar
Zuhud
Taubat
Daya Qalb
Daya Ruh
Daya Sirr
Manusia
mempunyai
(jiwa/qalb)

Tasawuf
Akhlaqi
Tasawuf falsafati
(Hullul, ittihad, wahdatul
wujud)

Tasawuf Irfani
Ma’rifat dan Mahabbah

Allah
SWT

Dimensi Psikologi
•Hubungan
sesame manusia
baik
•Menjaga dan
memanfaatkan
lingkungan alam
dengan baik
Dimensi Tasawuf
sebagai dimensi
(esoterik) dalam
Islam bisa
dipraktikkan dalam
proses pembelajaran
PAI di sekolah
melalui pembiasaan
ibadah maupun
akhlak di sekolah
Riyadhah, Mujahadah,
Tazkiyah, Dzikir

Obyek
Proses
Tujuan Khalifatullah
PAI
Tujuan
Abdullah

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 178

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
Kesimpulan

Hubungan psikologi dan tasawuf dalam PAI yaitu dalam ajaran Islam ada dimensi
eksoterik (luar) dan dimensi esoterik (dalam). Dimensi eksoterik maksudnya ibadah dari segi syarat
dan rukunnya saja, sedangkan dimensi esoterik merupakan ruh dari ibadah itu sendiri. PAI
bertugas mengajarkan ajaran Islam baik eksoterik maupun esoterik. Dalam mengajarkan dimensi
esoterik memerlukan psikologi dan tasawuf, karena kedua ilmu tersebut menjadikan jiwa sebagai
obyeknya. Dengan psikologi, seorang guru bisa memahami kondisi kejiwaan peserta didik
sehingga lebih mudah untuk membimbing peserta didik sekaligus menanamkan akhlak pada
peserta didik. Selanjutnya tasawuf mempelajari aspek kejiwaan manusia serta bagaimana
membersihkan jiwa ini sehingga mampu mencapai tingkatan ma’rifatullah dan mahabbatullah
sehingga ketersingkapan (kasyf) dapat dicapai untuk melihat Allah dengan hati nurani, dan (kasyf
dalam arti luas untuk orang awam, yakni petunjuk Allah atas apapun yang akan ditempuh oleh seseorang
awam). Kemudian PAI sebagai praktiknya adalah usaha sadar seorang guru untuk
mengembangkan potensi peserta didik yang berlandaskan kondisi jiwa manusia ini memerlukan
psikologi dan tasawuf untuk melakukan proses pembelajarannya, sehingga dapat tercapai tujuan
pendidikan Islam yang utama yakni membentuk pribadi muslim yang sempurna secara jasmani
maupun rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia sebagai khalifatullah dan abdullah yang
ma’rifatullah dan mahabballah. Dalam praktiknya psikologi dan tasawuf dapat dijadikan landasan
dalam pengembangan PAI berbasis karakter.


Daftar Pustaka
Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastama, Hanna Djumhana. 1994. Kedudukan Ruh dalam Sturktur Kepribadian Manusia Menujun
Psikologi Islami, dalam Fuad Nashori. (ed). Membangun paradigma Psikologi Islami.
Yogyakarta: SIPRESS.
Basyir, Kunawi “Makna Eksoteris dan Esoteris Agama dalam Sikap Keberagamaan Eksklusif dan
Inklusif”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8 No. 1 (2018), hlm. 237.
El-Fiky, Ibrahim. 10 Kesys To Ultimate Sucsses, Terj Bagus Dewanto, (Jakarta: Tugu Publisher,
2011), Hal 11,12,13 Dengan Sedikit Perubahan. Ibrahim El-Fiki adalah seorang
Motivator Muslim dunia yang berasal dari Canada.
Hadiyan, Hubungan Tasawuf, Ilmu Kalam, dan Filsafat, disampaikan pada Perkuliahan Tatap Muka
Ke-4 Ilmu Tasawuf 8 November 2008, (online) .
Hawi, Akmal. 2014. Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Imron, Ali “Tasawuf dan Problem Psikologi Modern”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman ,
Vol.29, No. 1 (2018), hlm 24.
Maslahat, Meta Malihatul “Manusia Holistik Dalam Perspektif Psikologi dan Tasawuf”, Syifa al-
Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik, Vol. 4, No. 1 (2019), abstract.
Mukhtar. 2003. Desain Pembelajaran PAI. (Jakarta: Misaka Galiza.
Mutholingah, Siti. “Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah Al-Nafs) dan Implikasinya Bagi
Pendidikan Agama Islam”, Jurnal Talimuna, Vol. 10, No. 01, Maret 2021, hlm. 78.

TA’LIMUNA
Vol. 11, No. 02, September 2022, Hal. 170-179


PSIKOLOGI, TASAWUF, PAI 179

ISSN 2085-2875 (Print)
E-ISSN 2622-9889 (Online)
Ocha, Nining. Faktor -faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran,
http://ningningocha.wordpress.com/2011/06/10/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-belajar-dan pembelajaran/, diakses 27 September 2017.
Solihin dan Rosihon Anwar, 2014. Ilmu Tasawuf. Cet. Ke-3. Bandung: Pustaka Setia.
Solihin. 2001. Sejarah dan pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN Press.
Tebba, Sudirman. 2003. Tasawuf Positif. Bogor: Kencana.