DESKOVI : Art and Design Journal ISSN 2655-464X online
Volume 1, Nomor 1, Desember 2018, 29-34 ISSN 2654-5381 print


29
INTEGRITAS KEARIFAN LOKAL BUDAYA
MASYARAKATACEH DALAM
TRADISI PEUSIJUK

Nana Noviana


Universitas Syiahkuala Banda Aceh
e-mail : [email protected]

Diterima: 15 Agustus 2018. Disetujui : 10 November 2018. Dipublikasikan : 1 Desember 2018

©2018 – DESKOVI Universitas Maarif Hasyim Latif. Ini adalah artikel dengan akses terbuka di
bawah lisensi CC BY 4.0 (https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/)


ABSTRAK

Budaya merupakan suatu proses yang dinamis serta memiliki nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku
dalam tata cara pergaulan masyarakat tertentu. Dari budaya tersebut maka terciptalah ragam kebiasaan masyarakat,
diantaranya bahasa daerah, kesenian tari, musik, dan upacara adat, semua ini adalah hasil dari bagian budaya.
Penelitian ini berjudul Integritas kearifan lokal budaya masyarakat Aceh dalam tradisi peusijuek . Peusijuek
mengandung nilai-nilai agama yang sangat filosofis sehingga peusijuek dianggap sangat sakral dan mesti
dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang diyakini perlu adanya peusijuek. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui tradisi peusijuek dalam budaya masyarakat Aceh Barat. Penelitian ini menggunakan metode sejarah
sebagai metode penelitian yang umum digunakan untuk hal-hal sejarah yaitu berupa studi kepustakaan dan
pengalaman empiris. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder dan teknik observasi partisipan.
Teknik analisis data adalah verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini adalah tradisi Peusijuek
merupakan salah satu tradisi adat masyarakat Aceh yang telah berasimilasi dengan ajaran Islam, sehingga masih
dipertahankan sampai saat ini. Di antara unsur yang telah diubah adalah mantra-mantra yang digunakan dalam
prosesi peusijuek telah diganti dengan doa-doa yang berbahasa Arab. Dalam pelaksanaan peusijuk ini ada tiga hal
yang paling penting yaitu, perangkat alat serta bahan peusijuek, gerakan atau langkah-langkah dan do’a.

Kata kunci: adat istiadat, integritas, peusijuk
ABSTRACT

Culture is a dynamic process and has the values and norms of life that apply in certain social relations procedures.
From this culture, a variety of community habits are created, including regional languages, dance, music, and
traditional ceremonies, all of these are the result of the cultural part. This research is titled The integrity of the
local wisdom of the culture of Aceh people in the tradition of Peusijuek. Peusijuek contains very philosophical
religious values so that the peusijuek is considered very sacred and must be carried out in activities that are
believed to peusijuek. The purpose of this study was to find out the tradition of peusijuek in the culture of West
Aceh society. This study uses historical methods as a research method that is commonly used for historical matters
in literature studies and empirical experience. The technique of collecting data uses secondary data and
participant observation techniques. Data analysis techniques are verification and conclusion. The results of this
study are that the Peusijuek tradition is one of the traditional traditions of the Aceh people who have been
assimilated with Islamic teachings, so that it is still maintained today. Among the elements that have been changed
are the mantras used in the peusijuek procession have been replaced with Arabic-language prayers. In the
implementation of this peusijuk there are three most important things, namely, the device and the material for
peusijuek, movements or steps and prayers.
Keywords: culture, integrity, peusijuk

PENDAHULUAN

Budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang
dan bergerak menuju titik tertentu.penelitian budaya
bersifat dinamis artinya harus senantiasa mengikuti riak
kebudayaan itu sendiri yang sangat labil. Sifat dialektis,
maksudnya dalam meneliti budaya perlu
memperhatikan aspek-aspek lokatif atau kedaerahan
yang masing-masing lokasi sering berbeda satu sama
lain. (Endraswara, 2007)
Budaya merupakan suatu kebiasaan atau
prilaku masyarakat di daerah tertentu, budaya juga

Nana Noviana / DESKOVI : Art and Design Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2018, 29-34
30
merupakan suatu proses yang dinamis serta memiliki
nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku
dalam tata cara pergaulan masyarakat tertentu. Dari
budaya tersebut maka terciptalah ragam kebiasaan
masyarakat, diantaranya bahasa daerah, kesenian tari,
musik, dan upacara adat, semua ini adalah hasil dari
bagian budaya. (Setyobudi 2007:1).
Kesenian tradisi merupakan salah satu identitas
suatu kelompok masyarakat yang dihasilkan dengan
keahlian khusus sifat serta bentuk perwujudan beraneka
ragam, sesuai dengan tempat kelahiran kesenian itu.
Setiap kesenian sebagai unsur kebudayaan, lahir dari
masyarakat sehingga ia menggambarkan karakter yang
diyakini dan dianut oleh masyarakat pendukung.
Aceh selain terkenal dengan pesona alamnya
yang indah dan kekayaan akan budayanya, Aceh juga
begitu terkenal dengan mempercayai beberapa mitos
yang memang sangat identik dengan negara Indonesia.
Mitos yang berkembang terus dipercayai hingga hari
ini. Tidak terdapat sejarah pasti akan beragam mitos
yang ada di dalam kehidupan masayarakat Aceh yang
terkenal begitu ramah dan saling mendukung satu sama
lainnya.
Kearifan lokal merupakan gagasan setempat
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.
Kearifan lokal dipengaruhi oleh kebudayaan dari
masing-masing daerah. Kearifan lokal terlahir dari
nilai-nilai dan perilaku dalam tatanan kehidupan
masyarakat dalam proses yang tidak singkat dan
keberlangsungannya secara turun temurun.
Sartini dalam jurnalnya menggali kearifan
lokal nusantara sebuah kajian filsafat (Sartini, 2004)
mengemukakan bahwa kearifan lokal berfungsi sebagai
konservasi dan pelestarian sumberdaya alam,
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, sebagai petuah,
kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna sosial,
bermakna etika dan moral dan bermakna politik.
Pada masyarakat Aceh adat istiadat telah
memberikan tempat yang istimewa dalam perilaku
sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan
ungkapan “Hukom ngon Adat Hanjeut Cre Lagee zat
Ngon Sifeut”. Artinya adat dengan hukum syariat Islam
tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat
dengan sifatnya, sehingga kaidah Islam sudah
merupakan bagian dari pada adat. Akan tetapi adat
istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya
banyak terdapat pengaruh Hindu. Hal ini terlukiskan
pada zaman dahulu Aceh sebagai tempat persinggahan
lalu lintas pelayaran internasional, dalam rangka
hubungan perdagangan bahkan ada yang sampai
menetap di Aceh. Masuknya pengaruh Hindu ke dalam
kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena
pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh
dan India pada masa lampau. Sehingga ada beberapa
kepercayaan dari masyarakat Aceh salah satunya
seperti peusijuek (Tepung Tawar).
Menurut Marzuki dalam jurnalnya Tradisi
peusijuk dalam masyarakat Aceh : Integritas Nilai-
Nilai Agama dan Budaya (Marzuki, 2011), bahwa
Peusijuek (bahasa Aceh) atau menepung tawari adalah
salah satu tradisi masyarakat Aceh yang masih
dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek dikenal
sebagai bagian dari adat masyarakat Aceh. Peusijuek
secara bahasa berasal dari kata sijuek (bahasa Aceh
yang berarti dingin), kemudian ditambah awalan peu
(membuat sesuatu menjadi), berarti menjadikan sesuatu
agar dingin, atau mendinginkan (Dhuhri, 2009, p. 642).
Peusijuek adalah prosesi adat yang dilakukan
pada kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan
masyarakat Aceh, seperti peusijuek pada upacara
perkawinan, upacara tinggal di rumah baru, upacara
hendak merantau, pergi/naik haji, peusijuek
keureubeuen (kurban), peusijuek perempuan diceraikan
suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu yang luar
biasa (harimau, terjatuh dari pohon, kena tabrakan
kendaraan yang mengucurkan darah berat),
perkelahian, permusuhan, sehingga didamaikan
(Ismail, 2003, pp. 161–162).
Di samping itu peusijuek juga dilakukan oleh
anggota masyarakat terhadap seseorang yang
memperoleh keberuntungan, misalnya berhasil lulus
sarjana, memperoleh kedudukan tinggi dalam
pemerintahan dan masyarakat, mempe roleh
penghargaan anugerah bintang penghargaan tertinggi,
peusijuek kendaraan baru, dan peusijuek-peusijuek
lainnya (Dhuhri, 2009, p. 162).
Prosesi peusijuek sudah menjadi budaya yang
terus dipertahankan, peusijuek mengandung nilai-nilai
agama yang sangat filosofis sehingga peusijuek
dianggap sangat sakral dan mesti dilakukan pada
kegiatan-kegiatan yang diyakini perlu adanya
peusijuek. Bahkan sampai kepada yang sangat ekstrim,
peusijuek dianggap amalan agama yang tidak boleh
ditinggalkan.
Fenomena yang terjadi saat ini dimasyarakat
Aceh adalah krisis kridebilitas dan erosi kepercayaan
sehingga sedikit demi sedikit mulai meninggalkan
kebiasaan tradisi ke-Acehan yang ikut terseret dalam
arus erosi tersebut. Sebagian kecil Masyarakat Aceh
beranggapan dengan munculnya argumen bahwa
peusijuk tersebut bukan merupakan budaya islam.
Namun, segala argumen yang dicetuskan tidak
memiliki dalil, bukti bahkan sumber yang kuat untuk
menyatakan bahwa Adat Aceh mengandung nilai
kesyirikan.
Dalam bukunya Identitas Aceh dalam
perspektif Syariat dan Adat (Ali, 2013, pp. 15–18)
menjelaskan bahwa nilai ke-Acehan tentunya dilihat
dari segi perilaku orang Aceh yang tertuang dalam
pemahaman dan sikap beragama, adat istiadat, hukum,
akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya.
Penerapan adat istiadat di Aceh punya landasan
tersendiri yaitu dari ijtihadi Ulama dan tokoh
masyarakat Aceh pada zaman dahulu. Hal ini tentunya
bukan karna mengikuti agama dan budaya orang lain.
Syariat Islam yang universal sudah pasti terjadinya
persamaan-persamaan dalam pelaksanaannya dengan
agama, budaya atau kepercayaan orang lain. Terjadinya

Nana Noviana / DESKOVI : Art and Design Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2018, 29-34
31
persamaan dalam praktek ajaran bukan berarti syariat
Islam mengikuti ajaran agama lain. Di Aceh
pelaksanaan nilai-nilai syariat Islam terbungkus dalam
pelaksanaan adat istiadat yang sebahagiannya terjadi
persamaan dalam praktek dengan pelaksanaan yang
dilakukan oleh penganut agama lain.
Atas dasar latar belakang tersebutlah penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah integritas kearifan lokal budaya masyarakat
Aceh dalam tradisi peusijuk.

Perkembangan Peusijuk
Tradisi peusijuek menurut sejarahnya, ini
merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Hindu.
Kebudayaan Hindu di Aceh sendiri disebabkan karena
hubungan antara Aceh dan India di masa lampau,
sehingga secara tidak langsung budaya Hindu yang
dibawanya mulai mempengaruhi kebudayaan
masyarakat Aceh. Salah satunya adalah dengan adaya
Tradisi Peusijuek ini. Dilihat dari gerakan-gerakan
pada saat prosesi peusijuek sangat unik, gerakan-
gerakan ini hampir menyerupai gerakan pada saat
pemujaan-pemujaan dalam agama Hindu. Tetapi,
gerakan ini terjadi hanya mengikuti arah memercikkan
air dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri dan sesekali
disilang.
Banyak para Tengku (Ulama/ Majelis adat)
berpendapat bahwa adanya kesamaan ritual peusijuek
dengan praktik pemujaan dalam agama Hindu bukan
berarti bahwa peusijuek tersebut adalah ritual agama
Hindu. Karena ritual itu sendiri sangat berbeda baik
dari segi tujuan, cara, dan isi dari peusijuek tersebut. Di
antara unsur yang telah diubah yaitu mantra-mantra
yang digunakan dalam prosesi peusijuek telah diganti
dengan do’a - do’a yang dibaca merupakan doa-doa
keselamatan, baik dalam Bahasa Arab maupun
berbahasa Aceh. Doa-doa biasanya disesuaikan dengan
momen dari peusijuek. Doa-doa tersebut meminta
keselamatan, kedamaian dan kemudahan rizki dari
Allah.
Tradisi peusijuk belum bisa diketahui
kebenarannya bahwa tradisi tersebut adalah
peninggalan budaya Hindu yang masih dianut oleh
umat islam khususnya masyarakat Aceh. Walaupun ada
beberapa orang menganggap tradisi peusijuk ini hampir
mirip dengan tradisi agama Hindu, namun dalam segi
cara, isi dan tujuannya sangat berbeda berbeda.
Masyarakat Aceh percaya, bahwa tradisi
Peusijuek ini merupakan hasil kearifan budaya lokal
yang diajarkan nenek moyang. Dimana budaya dan
agama harus dijalankan secara berdampingan dengan
segala kebaikan yang ada di dalamnya. Sehingga ia
harus hormati dan dijaga keberadaannya.
Membicarakan sejarah peusijuek tidak
terlepas dari sejarah Islamisasi Aceh. Islam masuk ke
Aceh secara damai dibawa oleh para pedagang dari
Arab sekitar abad ke-7 M. Para sejarawan sepakat
bahwa Islam masuk ke Aceh secara damai, bukan
dengan pedang atau penaklukan. Sehingga proses
islamisasi di Aceh membutuhkan waktu yang panjang,
menuju kesempurnaan ajaran Islam dalam masyarakat.
Menurut sebagian sejarawan, islamisasi sudah
mencapai kesempurnaan baru sejak masa Iskandar
Muda, terutama masa Nuruddin ar Raniry, sebagian
yang lain juga berpendapat bahwa islamisasi baru
mencapai kesempurnaan jauh sebelum masa Sulthan
Iskandar Muda, yaitu pada masa kerajaan Pasee,
samudra Pasai (Dhuhri, 2009, p. 635).
Sebagian kebiasaan atau adat masyarakat
Aceh yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam
masih dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama
pada zaman awal Islam di Aceh. Sebagian praktik-
praktik animisme dan ajaran Hindu juga masih
diizinkan untuk dipraktikkan dengan mengubah ritual-
ritual tersebut sesuai dengan ajaran Islam.
Ini merupakan bukti bahwa Islam masuk ke
Aceh dan Indonesia pada umumnya secara damai,
bukan dengan pedang. Ini juga membuktikan bahwa
ajaran Islam sangat elastis dan dapat membaur dengan
berbagai peradaban dan budaya di dunia. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila kita mendapatkan adanya
sebutan Islam Maroko, Islam Jawa, dan lain-lain,
karena memang Islam dapat menerima dan menghargai
budaya dan peradaban manusia dimanapun, sesuai
dengan misinya Islam rahmatan lil’alamin.
Islam di Indonesia bukan semata replika dari
Islam Timur Tengah atau Asia Selatan, lebih dari itu ia
merupakan tradisi intelektual dan spritual dari dunia
muslim yang paling dinamis dan kreatif (Woodword,
2006, p. 365). Berdasarkan penelitiannya di
Yogyakarta, peneliti Amerika, Woodword menilai
bahwa Islam di Jawa pada dasarnya juga Islam bukan
Hindu atau Hindu-Budha, sebagaimana dituduhkan
kalangan muslim puritan dan banyak sejarawan
antropolog (kolonial), Islam Jawa bukan merupakan
penyimpangan dari Islam. Kemungkinan hal ini juga
terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia seperti
Aceh. Sehingga tesis Woodword ini berlaku untuk
beberapa wilayah di Indonesia yang masih
mempertahankan tradisi Islam.
Peusijuek merupakan salah satu tradisi adat
masyarakat Aceh yang telah berasimilasi dengan ajaran
Islam, sehingga masih dipertahankan sampai saat ini.
Di antara unsur yang telah diubah adalah mantra-
mantra yang digunakan dalam prosesi peusijuek telah
diganti dengan doa-doa yang berbahasa Arab.
Pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah, beliau
mengundang 70 orang ulama besar terkemuka untuk
menyusun qanun Syara‟ al asyi guna menjadi pedoman
dan pegangan bagi kalangan kerajaan, tentang
kedudukan adat dalam syariat, di sinilah terjadi
perubahan mantra-mantra menjadi doa-doa dalam
peusijuek (Dhuhri, 2009, p. 640).
Perjalanan panjang peusijuek ini diwarnai
berbagai hambatan, kaum reformis melalui organisasi
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun
1939, yang dibentuk oleh Abu Daud Beureueh
mengeluarkan maklumat yang berisikan ajakan kepada
umat Islam di Aceh untuk meninggalkan amalan-
amalan yang dianggap syirik dan tidak ada dasarnya

Nana Noviana / DESKOVI : Art and Design Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2018, 29-34
32
dalam al Quran dan Hadist (Dhuhri, 2009, p. 641).
Perselisihan ini terus berlanjut antar kaum reformis dan
tradisionalis. Hingga pada tahun 1965, melalui sebuah
badan yang dibentuk oleh pemerintah pada saat itu,
yaitu MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama),
dikeluarkanlah suatu fatwa tentang larangan membahas
masalah-masalah khilafiah (perbedaan pendapat) di
tempat-tempat umum, di khotbah-khotbah, serta
memberikan kebebasan menjalani pemahaman agama
menurut keyakinan masing-masing (Dhuhri, 2009, p.
642).
Dalam bukunya identitas Aceh dalam
perspektif syariat dan adat (Ali, 2013, pp. 44–53)
mengatakan bahwa Rasulullah SAW juga pernah
melakukan peusijuek yang mungkin cara dan peralatan
atau bahan-bahan yang digunakan berbeda dengan
dilakukan di Aceh. Dalil-dalil hadis yang
membolehkan peusijuek; Hadis Rasulullah pada saat
Rasulullah menikahkan Siti Fatimah dengan Saidina
Ali. Rasulullah mengambil air dengan tangan kanannya
lalu memercikkan ke dada keduanya dan
menggosokkan ke kuduk Saidina Ali dan Fatimah .
(kitab al-Ma’jam Kabir karangan Imam Thabrany).
namun, kini sudah tidak menggunakan telapak tangan
tetapi dengan daun-daun kayu/sisijuek.
Hingga sampai saat ini, peusijuek masih terus
bertahan dan dilestarikan keberadaannya oleh
masyarakat Aceh, sebagai sebuah budaya Islam.
Peusijuek masih dilakukan baik oleh perorangan
maupun kelompok.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Jenis Penelitian
Studi pustaka adalah kajian teoritis, referensi
serta literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan
budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi
sosial yang diteliti. (Sugiono, 2012). Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan menggunakan metode
sejarah (historis) sebagai metode yang lazim digunakan
untuk hal-hal yang berkaitan dengan sejarah.
Namun disamping studi kepustakaan, peneliti juga
menggunakan pengalaman empiris sebagai sumber yang
didasarkan pada observasi yang mendalam. Empiris
merupakan suatu gagasan yang bersifat rasional yang
dibentuk oleh individu melalui pengalamannya. (Izzatur,
2015).

Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan sebagai berikut :
1. Data Sekunder ( Studi kepustakaan )
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah
ada (peneliti sebagai tenaga kedua). Data sekunder
dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Metode
library research (penelitian kepustakaan), penelitian
terapan ini tidak dilepaskan dari teori-teori terutama
pada landasan berfikir (kerangka teori). Untuk
keperluan ini, diperlukan berbagai literature yang
mengharuskan dilakukannya studi pustaka, apalagi
pada penelitian yang bersifat kualitatif, maka
penggunaan literature cukup dominan.

2. Observasi partisipan
Observasi partisipan marupakan
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan
dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat
dalam keseharian responden.

Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dapat diperoleh
berdasarkan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan yang bersifat
naratif yaitu dengan menarik kesimpulan/verifikasi
dengan melakukan pengorganisasian untuk
membentuk mana data yang relevan dengan tujuan
penulisan dan mana yang tidak.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Peusijuk
Dalam pelaksanaan peusijuek ini ada tiga hal
yang paling penting yaitu, perangkat alat serta bahan
peusijuek, gerakan/langkah-langkah dan do’a. Untuk
perangkat dan bahan peusijuek biasanya terdiri dari
talam, bu leukat (keutan), u mirah (kelapa merah),
breueh padee (beras), teupong taweue (tepung yang
dicampur air), on sisijuek (sejenis daun cocor bebek),
manek manoe (jenis daun-daunan), naleueng sambo
(sejenis rumput), glok (tempat cuci tangan) dan sangee
(tudung saji). Namun untuk tempat peletakannya juga
biasanya digunakan dalong sebagai tempat meletakkan
bahan-bahan perangkat peusijuk tadi. Bagi masyarakat
Aceh setiap bahan peusijuk ini memiliki filosofi dan
arti khusus didalamnya.
Tata cara pelaksanaan peusijuek dilakukan
dengan urutan, pertama menaburkan beras padi (breuh
padee), kedua, menaburkan air tepung tawar, ketiga
menyunting nasi ketan (bu leukat) pada telinga sebelah
kanan dan terakhir adalah pemberian uang (teumutuek)
(Dhuhri, 2009, p. 161).
Tara cara ini umumnya hampir sama dalam
setiap prosesi peusijuek, tetapi juga kadang-kadang
terdapat beberapa perbedaan menurut kegiatan yang
diadakan peusijuek tersebut. Biasanya perlengkapan
peusijuek terdiri dari: talam satu buah, breuh padee
(beras) satu mangkok, bu leukat (ketan) satu piring
besar bersama tumpoe (penganan berupa kue yang
dibuat dari tepung dan pisang) atau kelapa merah,
teupong taweu (tepung) dan air, oun sineujuek (daun
yang khusus digunakan untuk prosesi peusijuek), on
manek mano (jenis daun-daunan), on naleung samboo
(sejenis rerumputan yang memiliki akar yang kuat),
glok ie (tempat cuci tangan), dan sangee (tudung saji).
Tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas
kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak
didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut
disuntingkan (peusunténg) ketan kuning di belakang

Nana Noviana / DESKOVI : Art and Design Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2018, 29-34
33
daun telinganya atau boleh juga disuap untuk dimakan.

Pada tingkat masyarakat biasa, peusijuek
hanya merupakan kegiatan rutinitas adat biasa walau
diyakini mesti dilaksakan. Kebanyakan masyarakat
tidak memahami isi atau makna dari prosesi peusijuek
tersebut. Biasanya prosesi peusijuek dilakukan oleh
orang yang sudah tua atau dipandang memiliki
kelebihan dalam masyarakat, seperti seorang Tengku
(ustadz), atau Umi Chik. (Ustadzah), wanita yang sudah
tua yang menguasai ilmu agama). Hanya orang-orang
yang melakukan peusijuek tersebut biasanya yang
memahami tujuan dan doa-doa yang dibacakan pada
peusijuek. Tidak ada pengkaderan orang yang
melakukan peusijuek tersebut, dan semakin hari
semakin sulit dicari orang yang paham betul cara
peusijuek dan mengetahui makna-makna simbolis dari
peusijuek.
Terdapat tiga unsur penting dari peusijuek,
pertama bahan yang digunakan, dari dedaunan,
rerumputan, padi, tepung, air, nasi ketan dan tumpoe.
Kedua gerakan yang dilakukan pada saat dipeusijuek,
ketiga, doa yang dibacakan menurut acara peusijuek,
dan keempat teumutuek (pemberian uang).
Bahan-bahan yang digunakan dalam peusijuek
berbeda-beda menurut kegiatan yang dilakukan
peusijuek. bahan yang sering digunakan antara lain: (1)
Dedaunan dan rerumputan, melambangkan
keharmonisan, keindahan, dan kerukunan dan diikat
menjadi satu sebagai lambang dari kekuatan. (2) beras
dan padi, melambangkan kesuburan kemakmuran, dan
semangat. (3) air dan tepung melambangkan kesabaran
dan ketenangan. (4) nasi ketan, sebagai pelekat,
lambang persaudaraan (Kurdi, 2011).
Gerakan-gerakan pada saat prosesi peusijuek
sangat unik, gerakan-gerakan ini hampir menyerupai
gerakan pada saat pemujaan-pemujaan dalam agama
Hindu. Tetapi, gerakan ini terjadi hanya mengikuti arah
memercikkan air dari kiri ke kanan dan dari kanan ke
kiri dan sesekali disilang. Banyak para Tengku
berpendapat bahwa adanya kesamaan ritual peusijuek
dengan praktik pemujaan dalam agama Hindu bukan
berarti bahwa peusijuek tersebut adalah ritual agama
Hindu. Karena ritual itu sendiri sangat berbeda baik
dari segi tujuan, cara, dan isi dari peusijuek tersebut.
Doa-doa yang dibacakan pada saat peusijuek
merupakan doa-doa keselamatan, baik dalam Bahasa
Arab maupun berbahasa Aceh. Doa-doa biasanya
disesuaikan dengan momen dari peusijuek. Doa-doa
tersebut meminta keselamatan, kedamaian dan
kemudahan rizki dari Allah.
Teumetuek (pemeberian uang) dilakukan
setelah semua prosesi peusijuek. biasanya yang
melakukan peusijuek memberikan amplop berisi uang,
dan diikuti kerabat-kerabat juga memberikan uang
kepada yang dipeusijuek. Ini biasanya terjadi pada
peusijuek perkawinan, calon jamaah haji dan khitanan.
Peusijuek merupakan salah satu contoh
asimilasi Islam dan budaya lokal di Indonesia.
Peusijuek merupakan produk budaya atau Islam budaya
yang bagi sebagian masyarakat telah menganggap dan
menjadikannya bagian dari Islam.
Meskipun demikian ulama di Aceh
membolehkan dan masih tetap mempertahankan
peusijuek tersebut. Ada yang membolehkan dengan
mengungkapkan dalil-dalil dari kitab kuning,
berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW. Diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW pernah memercikkan air ketika
Ali dan Fatimah menikah. Riwayat lain juga dikatakan
bahwa Rasulullah pernah mendoakan cucu beliau
Hasan dan Husen dengan percikan air (informasi dari
Tengku-Tengku dalam pengajian).
Menurut Marzuki, ia belum menemukan dalil
tertulis dari pernyataan-pernyataan untuk alasan
pembolehan atau dasar peusijuek tersebut. Sebagian
yang lain juga memberikan alasan dibolehkan karena
perbuatan peusijuek tersebut intinya adalah berdoa dan
tidak ada unsur-unsur syirik dengan bahan-bahan yang
digunakan dalam upacara peusijuek tersebut. Karena
semua doa dan harapan hanya ditujukan kepada Allah
SWT. Dengan bahan-bahan yang digunakan dalam
peusijuek seperti dedaunan, padi,beras, dan air
merupakan lambang atau simbol yang digunakan untuk
sebuah harapan dari bentuk dan sifat dari masing-
masing benda yang dipilih untuk digunakan, sehingga
yang dipeusijuek mengikuti sifat dari bahan tersebut.
Menurut Wibowo (Wibowo, 2013), makna
dari penyelenggaraan peusijuek adalah :
1. Talam mengandung makna bahwa orang yang
dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan
keluarga yang ditinggalkan.
2. Clok (calok) mengandung makna bahwa orang
yang dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan
keluarga yang di lingkungan keluarga (persatuan)
dan berhemat.
3. Tudung saji (sangee) mengandung makna
diharapkan untuk mendapatkan perlindungan dari
Allah swt dari segala tipu daya yang menyesatkan.
4. Beras padi mengandung makna bahwa orang
dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga
merupakan makan pokok atau benih untuk
menghasilkan.
5. Tepung tawar mengandung makna bahwa tepung
berwarna putih merupakan perlambang kebersihan
dan kesejukan jiwa bagi orang yang dipeusijuek.
6. On manek-mano mengandung makna bahwa sesuai
dengan deretan bunga diharapkan digalang
persatuan dan kesatuan serta keteraturan.
7. On sijuek mengandung makna obat penawar/
kesejukan meresap kalbu.
8. Naleung Samboe mengandung makna dengan
sifatnya yang kokoh sulit untuk dicabut, pelambang
sebagai kekokohan pendirian dan etika, baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun agama.
9. Bu leukat mengandung makna zat perekat,
pelambang sebagai daya tarik untuk tetap meresap
dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan
nasihat ke jalan yang diridhai oleh Allah swt.

Nana Noviana / DESKOVI : Art and Design Journal, Vol. 1, No.1, Desember 2018, 29-34
34

Gambar 1. Alat dan Bahan Peusijuek
Sumber. Dokumentasi pribadi T.Dadek

Fungsi dan Makna Peusijuk
Tradisi Peusijuek pada dasarnya difungsikan
untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan
kebahagiaan dalam kehidupan. Namun fungsi
peusijeuk juga dibagi menjadi beberapa jenis di
antaranya seperti, pada upacara perkawinan, upacara
tinggal di rumah baru, upacara hendak merantau,
pergi/naik haji, peusijuek keureubeuen (kurban),
peusijuek orang terkejut dari sesuatu yang luar biasa
(terjatuh dari pohon, kena tabrakan kendaraan yang
menyucurkan darah berat), perkelahian, permusuhan,
sehingga didamaikan (Ismail, 2003, pp. 161–162).
Di samping itu peusijuek juga dilakukan oleh
anggota masyarakat terhadap seseorang yang
memperoleh keberuntungan, misalnya berhasil lulus
sarjana, memperoleh kedudukan tinggi dalam
pemerintahan dan masyarakat, memperoleh
penghargaan anugerah bintang penghargaan tertinggi,
peusijuek kendaraan baru, dan peusijuek-peusijuek
lainnya (Dhuhri, 2009, p. 162).
Dalam bukunya identitas Aceh dalam
perspektif syariat dan adat (Ali, 2013) mengemukakan
bahwa makna dari tahap-tahap yang digunakan dalam
peusijuek adalah pertama setelah membaca basmallah
kemudian kedua menaburkan beras dan padi, sifat padi
itu semakin berisi semakin merunduk, maka
diharapkan bagi yang di peusijuek supaya tidak
sombong bila mendapat keberhasilan serta mengharap
agar mendapatkan kesuburan, kemakmuran, dan
semangat seperti taburan beras padi yang begitu
semarak berjatuhan. Kemudian ketiga menyuapi nasi
ketan (bu leukat) dan menyuntingnya pada telinga
sebelah kanan, dipilih nasi ketan karena mengandung
zat perekat, sehingga jiwa raga yang di peusijuek tetap
berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok
masyarakatnya. Lalu yang terakhir adalah pemberian
uang (teumutuep) secara filosofi teumeutuep memiliki
makna sedekah, sedangkan sedekah salah satu pilar
dalam mencapai kemakmuran dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Dalam pelaksanaan peusijuek ini ada tiga hal
yang paling penting yaitu, perangkat alat serta bahan
peusijuek, gerakan/langkah-langkah dan do’a. Untuk
perangkat dan bahan peusijuek biasanya terdiri dari
talam, bu leukat (keutan), u mirah (kelapa merah),
breueh padee (beras), teupong taweue (tepung yang
dicampur air), on sisijuek (sejenis daun cocor bebek),
manek manoe (jenis daun-daunan), naleueng sambo
(sejenis rumput), glok (tempat cuci tangan) dan sangee
(tudung saji).
Rasulullah SAW juga pernah melakukan
peusijuek, Dalil-dalil hadis yang membolehkan
peusijuek; Hadis Rasulullah pada saat Rasulullah
menikahkan Siti Fatimah dengan Saidina Ali.
Rasulullah mengambil air dengan tangan kanannya lalu
memercikkan ke dada keduanya dan menggosokkan ke
kuduk Saidina Ali dan Fatimah . (kitab al-Ma’jam
Kabir karangan Imam Thabrany). Namun, kini sudah
tidak menggunakan telapak tangan tetapi dengan daun-
daun kayu/sisijuek.
Masyarakat Aceh percaya, bahwa tradisi
Peusijuek ini merupakan hasil kearifan budaya lokal
yang diajarkan nenek moyang. Dimana budaya dan
agama harus dijalankan secara berdampingan dengan
segala kebaikan yang ada di dalamnya. Sehingga ia
harus hormati dan dijaga keberadaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, F. (2013). Identitas Aceh Dalam Perspektif
Syariat dan Adat. Banda Aceh: Badan Arsip
Perpustakaan Aceh.
Dhuhri, S. (2009). Peusjuek: sebuah Tradisi Ritual
sosial Masyarakat Pasee dalam Perspektif
Tradisionalis dan Reformis. In International:
The 3rd Internationsal Conference On
Development of Aceh (ICDA-) (pp. 636–638).
Lhokseumawe: Unimal Press.
Endraswara, S. (2007). Metodologi Penelitian
Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ismail, B. (2003). Mesjid dan Adat Meunasah sebagai
Sumber Energi Budaya Aceh, Jurnal
diterbitkan. Banda Aceh: Gua Hira.
Izzatur, R. (2015). Pengertian Empiris dan Contohnya.
Retrieved from
www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-
empiris-dan-contohnya
Kurdi, M. (2011). Filosofi Peusijuek dalam
Masyarakat Aceh. Retrieved from
http://muliadikurdi.com
Marzuki. (2011). Tradisi Peusijuk dalam Masyarakat
Aceh : Integritas Nilai-Nilai Agama dan
Budaya. Jurnal El-Harakah UIN Malang.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara
Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat, 111–
120.
Sugiono. (2012). Pengertian Empiris Dan Contohnya.
Retrieved from
www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-
empiris-dan-contohnya
Wibowo, A. B. (2013). Peusijuek dalam Masyarakat
Aceh. Retrieved from
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2
013/12/19/peusijuek-dalam-masyarakat-
aceh/#respond