SKRIPSI
DAMPAK SKRINING DISFAGIA TERHADAP STATU SNUTRISI PASIEN
GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI MAKASSAR
Diajukan Untuk MemperolehGelar Sarjana Keperawatan dalam
Program Studi Ilmu Keperawatan PadaSekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIK) Stella Maris
Makassar
OLEH :
BRIGITA FEBRIANY
(C 12 14201 066)
FRANSISKA YULIA RIANDI
(C 12 14201 074)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STELLA MARIS MAKASSAR
2016

SKRIPSI
DAMPAK SKRINING DISFAGIA TERHADAP STATU SNUTRISI PASIEN
GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI MAKASSAR
PENELITIAN-EXPERIMENTAL
OLEH:
BRIGITA FEBRIANY
(C 12 14201 066)
FRANSISKA YULIA RIANDI
(C 12 14201 074)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STELLA MARIS MAKASSAR
2016

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Brigita Febriany (C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi (C 12 14201 074)

Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi ini merupakan hasil karya
saya sendiri dan bukan duplikasi ataupun plagisia (jiplakan) dari hasil penelitian
orang lain.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.


Makassar, 21 April 2016
Yang menyatakan,


Brigita Febriany
(C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi
(C 12 14201 074)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

DAMPAK SKRINING DISFAGIA TERHADAP STATUS NUTRISI
PASIEN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI MAKASSAR



Diajukan Oleh:



Brigita Febriany
(C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi
(C 12 14201 074)



Disetujui Oleh:


Bagian Akademik
Pembimbing dan Kemahasiswaan





(Fransiska Anita, Ns, M.Kep, Sp.KMB) (Sr.Anita Sampe, JMJ., S.Kep, Ns., MAN)
NIDN: 0913098201 NIDN: 0917107402

v

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

DAMPAK SKRINING DISFAGIA TERHADAP STATUS NUTRISI
PASIEN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI MAKASSAR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Brigita Febriany
(C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi
(C 12 14201 074)

Telah dibimbing dan disetujui oleh:
Fransiska A, Ns., M.Kep., Sp.KMB
NIDN: 09130982021

Telah Diuji Dan Dipertahankan
Dihadapan Dewan Penguji Pada Tanggal 21 April 2015
Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Susunan Dewan Penguji

Penguji I Penguji II


Fransiska A,Ns.,M.Kep.,Sp.KMB
NIDN. 09130982021
Siprianus A, S.Kep.,Ns.,M.Kes
NIDN. 0906097002

Penguji III


Mery Sambo, S.Kep.,Ns., M.Kep
NIDN: 0930058102

Makassar, 21 April 2016
Program S1 Keperawatan dan Ners
STIK Stella Maris Makassar.

Ketua STIK Stella Maris Makassar


Henny Pongantung, S.Kep., Ns., MSN
NIDN: 0912106501

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI


Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Brigita Febriany (C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi (C 12 14201 074)

Menyatakan menyetujui dan memberikan kewenangan kepada Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Stella Maris Makassar untuk menyimpan, mengalih -
media/formatkan, merawat dan mempublikasikan skripsi ini untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.


Makassar, 21 April 2016
Yang menyatakan,



Brigita Febriany
(C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi
(C 12 14201 074)

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi
Pasien Gangguan Persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar”.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini sebagai wujud ketidaksempurnaan manusia dalam berbagai hal
disebabkan keterbatasan pengetahuan dan ilmu yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis sangat harapkan saran dan kritik yang membangun demi
penyempurnaan skripsi ini.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Henny Pongantung, S.Kep., Ns., MSN selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Stella Maris Makassar
2. Sr. Anita Sampe, JMJ., S.Kep., Ns., MAN selaku kepala bagian Akademik
dan Kemahasiswaan.
3. Fransiska Anita, S.Kep.Ns., M.Kep., Sp.KMB selaku Ketua Program Studi
S1 dan selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi
serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
4. Segenap dosen dan staf pegawai STIK Stella Maris Makassar yang telah
membimbing, mendidik, dan memberi pengarahan selama penulis
mengikuti penelitian.
5. Magdalena Rieuwpassa, SKM,S.Kep., Ns., M.Kes, sebagai Kepala Bagian
Pendidikan Dan Penelitian Rumah Sakit Labuang Baji Makassar yang telah
memberi ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
6. Teristimewa kepada keluarga yang tercinta : Bapak mama, om dan tante
serta adek-adekku yang senantiasa mendoakan, mengarahkan dan
memberikan semangat, dorongan, nasehat dan yang paling utama kasih

vii
sayangnya serta bantuan berupa materi sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
7. Seluruh rekan-rekan seperjuangan kami yang tercinta Mahasiswa/i STIK
Stella Maris Makassar, angkatan VI program S1 keperawatan 2012, selalu
memberikan dorongan dan dukungan dalam penyelesaian karya tulis ini.
8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan
skripsi ini.
Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan untuk melengkapi kekurangan yang ada dalam karya tulis
ilmiah ini.




Makassar, 18 April 2016

Penulis

viii

ABSTRAK

DAMPAK SKRINING DISFAGIA TERHADAP STATUS NUTRISI
PASIEN GANGGUAN PERSARAFAN DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI MAKASSAR
(Dibimbing oleh Fransiska Anita)

BRIGITA FEBRIANY
FRANSISKA YULIA RIANDI
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN NERS
STIK STELLA MARIS MAKASSAR
XV +71 halaman + 23 daftar pustaka +13 tabel +1 gambar + 8 lampiran

Pasien yang mengalami gangguan neurologis pada umumnya mengalami
disfagia yang berakibat pada status nutrisi yang buruk / malnutrisi tetap menjadi
masalah, dimana pasien Stroke yang masuk dengan status nutrisi baik yang
dilihat dari IMT pada hari pertama perawatan, setelah 6 hari perawatan pasien
jatuh ke status malnutrisi. Resiko malnutrisi dan malnutrisi dapat dicegah jika
perawat dan ahli gizi melakukan asuhan keperawatan secara holistik. Salah satu
tindakan keperawatan yang dapat mencegah kejadian malnutrisi adalah
melakukan skrining disfagia dengan menggunakan formulir GUSS (Gugging
Swallowing Screen) dan penilaian antropometri gizi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pasien Gangguan
Persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Desain penelitian yang
digunakan adalah Quasi Eksperiment dengan metode Pre-test and post-test non
equivalent control group. Jumlah sampel 30 responden dengan teknik sampling
convinience sampling/ accidental sampling. Variabel Independen Skrining
Disfagia sedangkan Variabel dependent adalah Status Nutrisi Pasien Gangguan
Persarafan. Penelitian ini menggunakan uji statistic wicolxon dan Uji Mann-
whitney. Hasil analisa menunjukkan bahwa ada perbedaan IMT yang bermakna
sebelum dan sesudah diberikan skrining disfagia pada pasien gangguan
persarafan kelompok intervensi dengan hasil uji wicolxon p = 0.003 (p < α). Hasil
uji Mann-Whitney p = 0.027 (p < α), hal ini menunjukkan ada perbedaan rerata
IMT pada kelompok intervensi dan kontrol setelah pemberian intervensi skrining
disfagia pada pasien gangguan persarafan. Kesimpulan: Skrining disfagia
dengan menggunakan Formulir GUSS (Gugging Swallowing Screen) digunakan
untuk mendeteksi gangguan menelan secara dini dan penilaian antropometri gizi
sangat penting dilakukan pada pasien gangguan persarafan di Rumah Sakit,
karena akan menghasilkan ketetapan dalam pemasangan NGT atau asupan
nutrisi per oral untuk kebutuhan nutrisi sehingga dapat mencegah malnutrisi
pasien gangguan persarafan di Rumah sakit.
Kata kunci : Malnutrisi, Skrining Disfagia, Pasien gangguan persarafan
Kepustakaan : 24 (2007-2014)

ix

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL……………. …………………………………... i
HALAMAN JUDUL ......................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI ................ vi
KATA PENGANTAR ...................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH .............. xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
1. Tujuan Umum .................................................................. 5
2. Tujuan Khusus ................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6
1. Bagi Peneliti Sendiri ........................................................ 6
2. Bagi Rumah Sakit ........................................................... 6
3. Bagi Profesi Keperawatan .............................................. 6
4. Bagi Peneliti Lain............................................................. 6

x

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 7
A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Saraf ................................. 7
1. Fungsi Sistem Saraf ......................................................... 7
2. Klasifikasi................. ........................................................ 8
3. Gangguan Fungsi Saraf ................................................... 8
B. Tinjauan Umum Tentang Disfagia ................................... …. 12
1. Pengertian........................................................................ 12
2. Etiologi Disfagia ............................................................... 12
3. Klasifikasi Disfagia ........................................................... 13
4. Anatomi Patologi .............................................................. 15
5. Patofisiologi...................................................................... 16
6. Penanganan Disfagia ....................................................... 16
C. Tinjauan Umum Tentang Status Nutrisi……………………... 18
1. Nutrisi........................................................................... ….. 18
2. Penilaian Status Nutrisi Secara Langsung................. ....... 19
3. Penilaian Status Nutrisi Secara Tidak Langsung.... .......... 25
4. Pengertian Malnutrisi................... ..................................... 26
5. Penelitian Mengenai Prevalensi dari Malnutrisi.. .............. 27
D. Tinjauan Umum Tentang Skrining Disfagia........................... 28
1. Pengertian............... ......................................................... 28
2. Tujuan Skrining... ............................................................. 29
3. Cara Melakukan Skrining..... ............................................ 36
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ........................... ……………………………….. 37
A. Kerangka Konseptual ........................................................... 37
B. Hipotesis Penelitian .............................................................. 38
C. Defenisi Operasional ............................................................ 38

xi

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 40
A. Jenis Penelitian .................................................................... 40
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 41
C. Populasi dan Sampel ........................................................... 41
D. Instrument Penelitian ........................................................... 42
E. Pengumpulan Data .............................................................. 42
F. Pengolahan Data ................................................................. 46
G. Analisa Data…………………………………………………… 46
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN ..................... 48
A. Hasil Penelitian………………………………………………… 48
1. Pengantar ....................................................................... 48
2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................ 49
3. Penyajian Karakteristik Data Umum ................................ 50
a. Berdasarkan Usia ...................................................... 50
b. Berdasarkan Jenis Kelamin ....................................... 51
c. Berdasarkan Diagnosa Penyakit ................................ 51
d. Berdasarkan Kelompok ............................................. 52
4. Hasil Analisis Variabel Yang Diteliti ................................. 52
a. Analisa Univariat........................................................ 53
b. Analisa Bivariat .......................................................... 56
B. Pembahasan ........................................................................ 60
BAB VI PENUTUP ......................................................................... 70
A. Kesimpulan .......................................................................... 70
B. Saran ................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii

DAFTAR TABEL


Halaman
Tabel 3.1 : Defenisi Operasional .................................................. 38
Tabel 4.1 : Kerangka Penelitian ................................................... 40
Tabel 5.1 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia....................... 50
Tabel 5.2 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ........ 51
Tabel 5.3 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Diagnosa Penyakit. 51
Tabel 5.4 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok .............. 52
Tabel 5.5 : Skrining Gizi Responden Pada Kelompok
Intervensi (Pre) .......................................................... 53
Tabel 5.6 : Skrining Gizi Responden Pada Kelompok
Intervensi (Post) ......................................................... 54
Tabel 5.7 : Skrining Gizi Responden Pada Kelompok
Kontrol (Pre) ............................................................... 55
Tabel 5.8 : Skrining Gizi Responden Pada Kelompok
Kontrol (Post) ............................................................. 56
Tabel 5.9 : Analisis Perbedaan Skrining Gizi Pre & Post
Pada Kelompok Intervensi ......................................... 57
Tabel 5.10 :Analisis Perbedaan Skrining Gizi Pre & Post
Pada Kelompok Kontrol .............................................. 58
Tabel 5.11 :Analisis Perbedaan Rerata Skrining Gizi Pada
Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol .............. 59

xiii

DAFTAR GAMBAR


Halaman
Gambar 3.1: Kerangka Konseptual ................................................. 38

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran 1. Rencana Jadwal Kegiatan
Lampiran 2. Surat Ijin Pengambilan Data Awal
Lampiran 3. Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 5. Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 6. Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 7. Formulir GUSS (Gugging Swallowing Screen)
Lampiran 8. Master Tabel
Lampiran 9. Hasil Analisis Uji Wicoxon dan Uji Mann-Whitney
Lampiran 10.Lembar Konsul

xv

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH


Kg = Kilogram
BB = Berat Badan
GUSS = Gugging Swallowing Screen
GCS = Glasgow Coma Scale
ODA = Optimal Daily Allowance
PAGT = Proses Asuhan Gizi Terstandar
LILA = Lingkar Lingan Atas
IMT = Indeks Massa Tubuh
TB = Tinggi Badan
ADL = Activity of Daily Living
NGT = Nasogastrik Tube
NHS = Non Hemoragic Stroke
HS = Hemoragic Stroke

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem saraf manusia merupakan jaringan jalinan saraf yang saling
berhubungan, sangat khusus dan kompleks. Sistem saraf ini
mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang
individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini juga
mengatur aktivitas sebagian sistem tubuh lainnya. Tubuh mampu berfungsi
sebagai satu kesatuan yang harmonis karena pengaturan hubungan saraf di
antara berbagai sistem. Fenomena mengenai kesadaran, daya pikir, daya
ingat, bahasa, sensasi dan gerakan semuanya berasal dari sistem ini. Oleh
karena itu, kemampuan untuk memahami, belajar dan berespon terhadap
rangsangan merupakan hasil dari integrasi fungsi sistem saraf, yang
memuncak dalam kepribadian dan perilaku seseorang. Kemampuan untuk
menerima, menyampaikan dan meneruskan pesan – pesan neural
disebabkan oleh sifat khusus membran sel neuron yang mudah dirangsang
dan dapat menghantarkan pesan elektrokimia. Sistem saraf mempunyai
struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling
mempengaruhi dan mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi
otot atau peristiwa visceral yang berubah dengan cepat. Dalam hal ini, terjadi
gangguan sistem saraf pada manusia yang sangat beragam tergantung pada
jenis penyebabnya. Penyakit yang dapat mempengaruhi otak dan sistem
saraf biasanya di diagnosis dengan pemeriksaan neurologis. Gangguan
neurologis utama meliputi bell’s palsy, gangguan bicara dan bahasa, tumor
otak, dan gangguan gerakan seperti penyakit Parkinson dan penyakit
Huntington (Farley et al, 2014).
Pasien dengan disfungsi neurologis/ gangguan sistem saraf
mempunyai resiko pada gangguan nutrisi. Gangguan nutrisi biasa terjadi

2

pada pasien yang rawat inap lama di rumah sakit yang mengalami anoreksia,
disfagia, dan depresi. Kondisi depresi pada pasien gangguan neurologis,
dapat menekan nafsu makan. Otot -otot dan saraf yang membantu
memindahkan makanan melalui tenggorokan dan kerongkongan tidak
bekerja dengan baik. Hal ini dapat terjadi karena mengalami stroke, cedera
otak atau tulang belakang, masalah dengan sistem saraf, seperti sindrom
post-polio, multiple sclerosis, distrofi otot, atau juga penyakit parkinson. Bisa
juga disebabkan setelah kerongkongan kejang yang berarti otot-otot
kerongkongan tiba-tiba menekan. Kadang-kadang hal ini dapat mencegah
makanan untuk mencapai lambung. Selain itu, terjadinya scleroderma di
mana jaringan kerongkongan menjadi keras dan sempit. Scleroderma juga
bisa membuat otot kerongkongan bawah menjadi lemah, yang dapat
menyebabkan makanan dan asam lambung naik kembali ke tenggorokan
dan mulut sehingga asupan makanan atau nutrisi yang tidak memadai (Efran
Syah, 2012).
Asupan makanan yang tidak memadai pada pasien merupakan salah
satu penyebab masalah status gizi, karena pada pasien dengan disfungsi
sistem neurologi atau sistem persyarafan asupan makanan tidak cukup
dapat disebabkan oleh nafsu makan menurun dan kondisi disfagia/ sulit
menelan. Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala
kelainan atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini akan timbul
bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan
transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung (Widianto, 2015).
Kesulitan menelan hanya terjadi pada bolus yang padat karena adanya
disfagia mekanik dengan lumen yang mengalami penyempitan yang tidak
terlalu berat. Bila obstruksi telah makin berat, disfagia terjadi baik pada saat
menelan bolus yang padat maupun yang cair. Sebaliknya, disfagia motorik
akibat akalasia atau spasme esofagus yang terjadi baik akibat bolus padat
maupun cair sejak awal terjadi gangguan (Dharma, 2011).
Apabila kondisi ini berlangsung lama, seseorang akan beresiko
mengalami malnutrisi atau kekurangan nutrisi. Malnutrisi, kurangnya

3

makanan dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh adalah masalah serius utama
dari kehilangan nafsu makan jika berlangsung selama lebih dari beberapa
minggu. Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi
sebagai bantalan di antara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit.
Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan
dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh. Oleh karena itu
efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Hanan & Scheele, 1991
dalam Potter & Perry, 2005). Intake makanan yang kurang menyebabkan
penderita kehilangan berat badan yang signifikan atau kurus yang pada
akhirnya membuat derajat malnutrisi berlanjut sehingga terjadi perlamaan
periode rawat inap (dan peningkatan biaya inap) yang memperburuk
malnutrisi. Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat
badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Malnutrisi yang terjadi
pada pasien di rumah sakit sebetulnya dapat ditanggulangi bahkan dihindari
dengan dukungan nutrisi optimal dan tepat. Hal ini bisa diwujudkan bila pada
pasien tersebut sejak awal masuk rumah sakit diberlakukan penilaian status
gizi terhadapnya, dan status gizi ini terus dipantau. Beberapa parameter
yang amat berguna untuk menilai status gizi mencakup berat dan tinggi
badan, tebal lemak bawah kulit triseps, lingkar lengan atas, serta hasil
laboratoris; hitung limfosit, hematokrit, albumin dan prealbumin serum,
transferin, kreatinin, dan balans nitrogen. Hasil penilaian ini bermanfaat untuk
mengidentifikasi individu yang secara emergensi memerlukan dukungan zat
gizi, mencegah agar seseorang yang status nutrisinya baik tidak menderita
permasalahan gizi, serta menghindari komplikasi lebih lanjut jika seseorang
telah menderita masalah gizi (Hastuti et al, 2013). Pasien yang mengalami
malnutrisi mengalami defisiensi protein dan ketidakseimbangan nitrogen
negatif dan tidak adekuat asupan vitamin c (Shekleton & Litwack, 1991
dalam Potter & Perry, 2005).
Untuk mencegah kejadian malnutrisi, diperlukan skrining disfagia.
Skrining adalah suatu penerapan uji / test terhadap orang yang tidak

4

menunjukkan gejala dengan tujuan mengelompokkan mereka ke dalam
kelompok yang mungkin menderita penyakit tertentu. Skrining merupakan
deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. Bila hasil skrining
positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya
penyakit. Tujuan skrining untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam
keadaan dini untuk memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan
sebelum penyakit mempunyai manifestasi klinis (Wahyudin, 2008).
Skrining disfagia merupakan skrining sederhana yang digunakan
untuk menentukan tingkat keparahan disfagia dengan mengevaluasi nutrisi
cairan dan non-cairan. Tujuan skrining untuk mengurangi morbiditas atau
mortilitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus – kasus yang
ditemukan (Webb, 2005). Sebagai akibat dari malnutrisi, individu-individu
terpapar pada resiko morbiditas dan mortalitas yang meningkat dari
perubahan pada fungsi organ akhir (Lyrawati, 2009).
Berdasarkan pengamatan peneliti di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar, pasien dengan gangguan si stem persyarafan mengalami
penurunan BB pada hari ke 7. Dari 30 pasien gangguan sistem saraf, 5
diantaranya terjadi penurunan pada hari ke 7 dengan penurunan BB
sebanyak 5 kg. Hal ini terjadi pada asupan nutrisi yang tidak memadai
karena gangguan aktivitas menelan atau yang disebut disfagia. Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui ”Dampak
Skrining Disfagia terhadap Status Nutrisi pada pasien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, studi kasus ini dilakukan pada
pasien gangguan sistem persarafan umumnya mengalami disfagia. Kondisi
disfagia dapat menyebabkan status nutrisi seseorang buruk yang
berdampak pada malnutrisi sehingga mengakibatkan proses rawat inap yang
lama. untuk meningkatkan status nutrisi pada pasien yang mengalami
disfagia dengan gangguan sistem persyarafan maka diperlukan skrining

5

disfagia untuk melihat adanya gangguan menelan supaya segera
ditindaklanjuti dengan pemasangan NGT, parenteral sehingga status
nutrisinya tetap stabil. Maka dari itu, peneliti berminat untuk meneliti “
Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi pada Pasien Gangguan
Sistem Persarafan Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar”.
Dengan demikian dapat dirumuskan pertanyaan penelitian “Apakah Ada
Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Persyarafan?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dampak skrining disfagia terhadap status nutrisi
pada pasien dengan gangguan sistem persyarafan di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi perubahan IMT (Indeks Massa Tubuh) sebelum dan
sesudah dilakukan skrining disfagia pada kelompok kontrol pada pasien
gangguan sistem persarafan
b. Mengidentifikasi perubahan IMT (Indeks Massa Tubuh) sebelum dan
sesudah dilakukan skrining disfagia pada kelompok intervensi pada
pasien gangguan sistem persarafan
c. Menganalisis dampak skrining disfagia terhadap status nutrisi pada
kelompok kontrol dan intervensi pada pasien gangguan sistem
persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

6

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti Sendiri
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
peneliti untuk mengetahui dampak skrining disfagia terhadap status nutrisi
pada pasien dengan gangguan sistem persyarafan
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai institusi yang bergerak dibidang kesehatan, Rs. Labuang Baji
bisa menjadikan penelitian ini sebagai bahan masukan bahwa untuk
meningkatkan status nutrisi pada pasien yang mengalami disfagia dengan
gangguan sistem persyarafan seperti stroke maka diperlukan skrining
disfagia untuk melihat adanya gangguan menelan supaya segera ditindak
lanjuti dengan pemasangan NGT, parenteral sehingga status nutrisinya
tetap stabil.
3. Bagi Profesi Keperawatan
Dapat digunakan untuk bahan masukan untuk menambah literatur dalam
keperawatan, memberikan pengembangan sumber daya manusia
keperawatan, baik dalam pendidikan maupun di tempat pelayanan
kesehatan dan sebagai pertimbangan dan pengambilan kebijakan
terutama dalam proses skrining disfagia terhadap status nutrisi pada
sistem persyarafan.
4. Bagi Peneliti Lain
Dapat sebagai bahan masukan, pertimbangan, acuan bagi peneliti
lainnya, dapat mengembangkan penelitian ini lebih baik lagi dan
digunakan sebagai data awal untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya.

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Saraf
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf
merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan
merespon perubahan yang terjadi di dalam dan di luar tubuh atau
lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem persepsi,
perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all,
2014). Kemampuan untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon
suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persyarafan
yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku
individu (Batticaca, 2008).
1. Fungsi sistem saraf
Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktivitas
tubuh manusia mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat
komunikasi, pengendali atau pengatur kerja dan pusat pengendali
tanggapan.
a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh.
Hal ini dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga,
lidah, dan kulit. Karena ada indera, dengan mudah kita dapat
mengetahui yang terjadi di luar tubuh kita.
b. Saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga
dapat berkerja sama sesuai dengan fungsi masing – masing. Saraf
sebagai pusat pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap
perubahan keadaan di sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali

8

kerja alat tubuh maka jaringan saraf terdapat pada seluruh alat tubuh
(Syaifuddin, 2011).


2. Klasifikasi
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan
saraf perifer. Susunan saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak
kecil, dan batang otak) dan medulla spinalis. Susunan saraf perifer
terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf simpatis dan saraf
parasimpatis).

3. Gangguan fungsi saraf
a. Infeksi dan Inflamasi Sistem Saraf Pusat
1). Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang
mengelilingi otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus,
bakteri atau organ – organ jamur. Gejala meningitis diakibatkan
dari infeksi dan peningkatan tekanan intracranial, sakit kepala dan
demam, perubahan pada tingkat kesadaran, iritasi meningen,
kejang, adanya ruam dan infeksi fulminating (Smeltzer & Bare,
2002).
2). Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh onset waktu akut dari gejala – gejala yang
mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saraf perifer dan
cranial (Batticaca, 2008).

9

3). Bell’s Palsy
Bell’s Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat
proses non supuratif, non neoplasmatik, non degenerative primer
namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari
foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun
kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vascular, penyakit
virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun atau
kombinasi semua faktor (Batticaca, 2008).
b. Trauma Sistem Saraf Pusat
1). Cedera kepala
Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang
diakibatkan oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan
tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh
pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak
dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang
terbatas pada kompartemen yang kaku. Cedera kepala dapat
disebabkan oleh kecelakaan di jalan raya, olahraga, menyelam
pada air yang dangkal dan luka. (Price & Wilson,1995).
2). Cedera medulla spinalis
Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara
mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari
medulla spinalis dengan quadriplegia. Cedera tulang belakang
selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh

10

nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung
(Batticaca, 2008).
c. Gangguan Degeneratif Sistem Persyarafan
1). Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurologi progresif
yang mengenai pusat otak yang bertanggung jawab untuk
mengontrol dan mengatur gerakan. Manifestasi utama penyakit
Parkinson adalah gangguan gerakan, kaku otot, tremor
menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya reflex postural.
Pasien mempunyai kesukaran dalam memulai, mempertahankan
dan membentuk aktivitas motorik dan pengalaman lambat dalam
menghasilkan aktivitas normal (Smeltzer & Bare, 2002).
2). Penyakit alzhaimer
Penyakit alzhaimer atau demensia senile dari tipe
alzhaimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan
gangguan degenerative otak dan diketahui mempengaruhi
memori, kognitif, dan kemampuan untuk merawat diri. Penyakit
ini merupakan salah satu yang paling ditakutkan pada masa
modern karena penyakit ini merupakan bencana besar yang
terjadi pada pasien dan keluarga di mana pengalaman pasien
yang mengalaminya merupakan akhir yang tak habis – habisnya
sampai kematian tiba.
3). Sklerosis multiple
Sklerosis multiple (SM) merupakan keadaan kronis,
penyakit sistem saraf pusat degenerative dikarakteristikkan oleh
adanya bercak kecil demielinasi pada otak medulla spinalis.
Tanda dan gejala SM bervariasi dan banyak, gejala primer paling
banyak dilaporkan berupa kelelahan, lemah, kebas, kesukaran

11

koordinasi dan kehilangan keseimbangan. Gangguan penglihatan
akibat adanya lesi pada saraf optic atau penghubungnya dapat
mencakup penglihatan kabur, diplopia, kebutaan parsial dan
kebutaan total (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Gangguan Keganasan
1). Tumor otak
Tumor otak merupakan lesi yang terletak pada intracranial
yang menempati ruang di dalam tengkorak. Tumor otak
menunjukkan manifestasi klinis yang tersebar bila tumor ini
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial serta tanda dan
gejala lokal sebagai akibat dari tumor yang mengganggu bagian
spesifik dari otak. Gejala – gejala yang biasanya banyak terjadi
akibat tekanan ini adalah sakit kepala, muntah, pepiledema,
perubahan kepribadian dan adanya variasi penurunan fokal
motorik, sensori dan disfungsi saraf cranial (Smeltzer & Bare,
2002).
e. Gangguan Aliran Darah Otak
1). Aneurisma intracranial
Aneurisma intracranial (serebral) adalah dilatasi dinding
arteri serebral yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan
dinding arteri. Pecahnya aneurisma selalu terjadi tiba – tiba, tidak
selalu disertai dengan sakit kepala yang berat dan sering
kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Mungkin
ada nyeri dan kaku leher bagian belakang dan medulla spinalis
akibat adanya iritasi meningen (Smeltzer & Bare, 2002).
2). Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi
gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya
kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang

12

menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008). Disfagia
terjadi pada 55% penderita stroke akut, dengan terjadinya
aspirasi, sebagaimana telah dibuktikan dengan video fluoroscopic
swallow study (VSS), pada penderita tersebut sebanyak 40%.
Dengan adanya kejadian aspirasi dapat terjadi peningkatan risiko
terjadinya pneumonia aspirasi dan peningkatan lama perawatan
di RS. Sebanyak 7% penderita stroke terjadi disfagia 6 bulan
setelah onset stroke, dan 19% dari penderita stroke yang disfagia
tersebut dilakukan pemasangan gastrostomi tube. Hal ini
menunjukkan bahwa disfagia umum terjadi pada penderita
setelah mengalami stroke, sehingga hal ini meningkatkan
morbiditas dan dapat menetap pada beberapa pasien.

B. Tinjauan Umum Tentang Disfagia
1. Pengertian
Dysphagia didefinisikan sebagai kesulitan menelan. Dysphagia
adalah perkataan yang berasal dari bahasa Yunani dys yang berarti
kesulitan atau gangguan, dan phagia berarti makan. Disfagia
berhubungan dengan kesulitan makan akibat gangguan dalam proses
menelan. Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia,
akibat dari kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan kondisi medis
tertentu. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan atau makanan
yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan
(Wemer, 2005).

2. Etiologi Disfagia
Disfagia berhubungan dengan kesulitan makan akibat gangguan
dalam proses menelan. Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua
kelompok usia, akibat dari kelainan esophagus, kerusakan struktur,

13

dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam menelan merupakan
keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut,dan insiden
disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut dan pasien stroke. Kurang
lebih 51-73% pasien stroke menderita disfagia. Penyebab lain dari
disfagia termasuk keganasan kepala-leher, penyakit esophagus
progresif seperti penyakit Parkinson, multiple sclerosis, atau
amyotrophic lateral sclerosis, scleroderma, achalasia, spasme esofagus
difus, lower esophageal (Schatzki) ring, striktur sophagus, dan
keganasan esophagus. Disfagia merupakan gejala dari berbagai
penyebab yang berbeda, yang biasanya dapat ditegakkan diagnosanya
dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, di antaranya pemeriksaan radiologi dengan barium,CT scan,
dan MRI (soetikno, 2007).

3. Klasifikasi disfagia
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu
disfagia orofaring (transfer disfagia) dan disfagia esophagus. Disfagia
orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esophagus,
dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,
xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik
(keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian
atas, radioterapi, infeksi dan obat – obatan (sedative, anti kejang,
antihistamin).
Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk
ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran meletakkan
makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan
dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan
tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas

14

penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang,
perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal. Setelah pemeriksaan
dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural, swallowing
maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensori
awareness technique, vitalstim therapy, dan pembedahan. Bila tidak
diobati, disfagia dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutisi atau
dehidrasi.
Disfagia esophagus timbul dari kelainan di korpus esophagus,
sfingter esophagus bagian bawah atau kardia gaster. Biasanya
disebabkan oleh striktur esophagus, keganasan esophagus, esophageal
rings and webs, akhalasia, scleroderma, kelainan motilitas spastic
termasuk spasme esophagus difus dan kelainan motilitas esophagus
nonspesifik. Makanan biasa bertahan beberapa saat setelah ditelan,
dan akan berada setinggi suprasternal notch atau dibelakang sternum
sebagai lokasi obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan
kebiasaan makan, dan pneumonia berulang. Bila terdapat disfagia
makanan padat dan cair, kemungkinan besar merupakan suatu masalah
motilitas.
Bila pada awalnya pasien mengalami disfagia makanan padat,
tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan
besar merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat dibedakan
antara masalah motilitas dan obtruksi mekanik, penting untuk
memperhatikan apakah disfagianya sementara atau progresif. Disfagia
motilitas sementara dapat disebabkan spasme esophagus difus atau
kelainan motilitas esophagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif
dapat disebabkan scleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di
daerah ulu hati yang kronis, regurgitasi, masalah respirasi atau
penurunan berat badan.

15

Disfagia mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring.
dan disfagia mekanik progresif dapat disebabkan oleh striktur
esophagus atau keganasan esophagus. Jadi sudah dapat disimpulkan
bahwa kelainannya adalah disfagia esophagus, maka langkah
selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan barium atau endoskopi
bagian atas. Pemeriksaan barium harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum endoskopi untuk menghindari perforasi. Bila dicurigai adanya
akhalasia pada pemeriksaan barium, selanjutnya dilakukan manometri
untuk menegakkan diagnosa akhalasia. Bila dicurigai adanya striktur
esophagus, maka dilakukan endoskopi. Bila tidak dicurigai adanya
kelainan – kelainan seperti di atas, maka endoskopi dapat dilakukan
terlebih dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi yang normal,
harus dilanjutkan dengan manometri; dan bila manometri juga normal,
maka diagnosanya adalah disfagia fungsional. Foto thorax merupakan
pemeriksaan sederhana untuk pneumonia. CT scan dan MRI
memberikan gambaran yang baik mengenai adanya kelainan struktural,
terutama bila digunakan untuk mengevaluasi pasien disfagia yang
sebabnya dicurigai karena kelainan saraf pusat. Setelah diketahui
diagnosanya, biasanya dikirim ke bagian THT, gastrointestinal, paru
atau onkologi, tergantung penyebabnya. Konsultasi dengan bagian gizi
juga diperlukan, karena kebanyakan pasien memerlukan modifikasi diet.
(soetikno, 2007). Proses menelan merupakan suatu sistem kerja
neurologi yang sinkron, berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis,
unik dan spesifik bagi setiap individu (Smithard, 2002).
Proses menelan memerlukan beberapa elemen yang meliputi :
input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik
sebagai umpan balik. Proses menelan sendiri terdiri atas 3 fase yaitu :
fase oral, fase farigeal, dan fase esofageal. Pada pasien stroke yang
sering mengalami gangguan adalah fase oral, fase faringeal atau

16

keduanya. Fungsi menelan ini dapat dinilai melalui pemeriksaan digital
videofluoroscopy, yang mampu mencatat lewatnya bolus melalui mulut
(oral transit time), faring dan sfingter esophagus atas.

4. Anatomi Patologi
 Fase Oral
Fase oral meliputi menggigit dan mengunyah makanan
sehingga membentuk bolus. Pada fase ini diperlukan koordinasi
antara bibir, lidah, dan mandibula. Di mulut, makanan dicerna dengan
bantuan saliva yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva.
Rasa, suhu dan sensasi proprioseptif dibutuhkan agar terbentuk
bolus yang tepat. Bolus makanan bergerak ke atas dan kebelakang
menyentuh palatum durum. Ketika bolus mencapai arkus faring
anterior pola reflek menelan dimulai secara otomatis.
 Faringeal
Fase faringeal pada fase ini proses menelan berlangsung
secara reflek. Dimulai dengan tersentuhnya arkus faring anterior oleh
bolus, lidah elevasi dan tertarik serta velum juga tertarik, laring
elevasi dan menutup untuk melindungi jalan nafas. Selanjutnya bolus
terdorong ke arah sphincter krikofaring oleh muskulus kontriktor
faring.
 Esofageal
Fase esofageal dimulai saat bolus melewati spincter
esophagus atas dan relaksasi dan masuk ke dalam lumen
esophagus. Setelah melewati esophagus bolus masuk ke lambung
melalui sphincter kardia yang relaksasi ( Rasyid, 2007;
Lumbantobing, 2007).

17

5. Patofisiologi
Normalnya orang menelan makanan padat atau minum cairan
dan menelan saliva atau mukus yang dihasilkan tubuh beratus-ratus kali
setiap hari. Proses menelan ini mempunyai empat tahap: tahap pertama
persiapan di mulut, di mana makanan atau zat padat digerakkan/
dimanipulasi dan dikunyah dalam persiapan untuk ditelan. Selama
tahap oral, lidah mendorong makanan atau zat padat ke bagian
belakang mulut, dan mulailah respon menelan. Tahap pharyngeal mulai
segera setelah makanan atau liquid melewati pharynx (saluran yang
menghubungkan mulut dengan esofagus) ke dalam esofagus atau
saluran pencernaan. Tahap terakhir adalah tahap esophageal, makanan
atau liquid melewati esophagus ke dalam lambung. Meskipun tahap
pertama dan kedua mempunyai beberapa kontrol voluntair, tahap tiga
dan empat terjadi dengan sendirinya tanpa disadari. Apabila proses
menelan terhenti karena berbagai sebab, akan mengakibatkan kesulitan
menelan (Goyal, 2001).

6. Penanganan disfagia
Proses menelan merupakan kegiatan yang memerlukan
koordinasi sejumlah otot dan saraf kranial. Oleh karenanya meskipun
para klinikus berusaha melihat otot apa yang terganggu, namun tetap
saja harus dipahami bahwa proses menelan merupakan suatu kegiatan
yang membutuhkan kerjasama berbagai otot sehingga dapat
berlangsung dengan baik. Sangat mengherankan bahwa meskipun
gangguan proses menelan banyak terjadi pada penderita stroke,
parkinson dan cerebral palsy, namun penelitian yang memuat bukti
klinis yang terkait dengan penatalaksanaan gangguan menelan masih
sedikit jumlahnya. Ada sejumlah cara latihan atau manuver yang
berguna untuk melatih fungsi motorik otot-otot yang bertugas dalam

18

proses menelan dan seringkali para klinikus menambahkan juga
sejumlah cara-cara kompensasi dalam menangani penderita dengan
kasus disfagia. Bahkan sesungguhnya gabungan yang seimbang antara
kedua cara tersebut, pelatihan fungsi motorik dan kompensasi,akan
meningkatkan fungsi menelan penderita disfagia.

Tabel 2.1 Bermacam terapi disfagia
Latihan/terapi otot atau
kelompok otot
Terapi gabungan (meliputi
latihan dan cara kompensasi
Latihan motorik oral Modifikasi diet dan latihan
Manuver masako Stimulasi suhu + menelan
supraglotik
Latihan angkat kepala Latihan mendorong bolus
Manuver Mendelsohn Modifikasi diet + latihan +
konseling
Manuver menelan paksa

Mosifikasi diet + latihan
motorik oral + tehnik menelan
dan penempatan posisi

C. Tinjauan Umum Tentang Status nutrisi
1. Nutrisi
Masalah nutrisi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan
masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya
masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan
penanggulangan harus melibatkan berbagai sektor yang terkait
(Almatsier, 2005).

19

Status nutrisi adalah suatu keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dan dibedakan atas status gizi
buruk, kurang, baik, dan lebih. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan
baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi
normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh
akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Ada 3 fungsi
zat gizi dalam tubuh yaitu: memberi energi, pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh, mengatur proses tubuh (Almatsier, 2005).
Berikut ini ada beberapa istilah yang berhubungan status gizi, antara
lain:
a. Nutrition
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari org an-organ serta
menghasilkan energi (Supariasa, 2002.)
b. Nutrition Status
Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara
relative maupun absolute satu atau lebih zat gizi. Ada empat bentuk
malnutisi yaitu:
1). Under nutrition : kekurangan konsumsi pangan secara relative
atau absolute untuk periode tertentu.
2). Specific defisiensy: kekurangan zat besi tertentu, misalnya
kekurangan vitamin A, yodium Fe, dan lainnya.
3). Over nutrition : kelebihan konsumsi pangan untuk periode
tertentu
4). Imbalance : karena disproporsi zat gizi, misalnya kolestrol terjadi
karena tidak seimbangnya LDL, HDL dan VLDL.

20

c. Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang energi protein (KEP) adalah seseorang yang kurang
gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit tertentu. Pada
umumnya KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah
(Supariasa, 2002).

2. Penilaian Status Nutrisi Secara Langsung
a. Antropometri
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan
ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan beberapa parameter
seperti ukuran tunggal dari tubuh manusia antara lain : umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada,
lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit (Supariasa, 2002).
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penilaian
status gizi dengan antropometri banyak digunakan dalam berbagai
penelitian atau survey, baik survey secara luas dalam skala nasional
maupun survey untuk wilayah terbatas (Sup ariasa, 2002).
Berdasarkan ukuran baku tersebut, penggolongan status nutrisi
menurut indeks antropometri adalah seperti tercantum dalam tabel
2.2 berikut ini:

21

Table 2.2 Penggolongan keadaan gizi menurut indeks antropometri
Status Gizi Ambang batas baku untuk keadaan gizi berdasarkan
indeks
BB/U TB/U BB/TB LLA/U LLA/TB
Gizi baik 80% 85 % 90 % 85 % 85 %
Gizi
kurang
61-80 % 71-85 % 81-90 % 71-85 % 76-85 %
Gizi buruk ≤ 60 % ≤ 70 % ≤ 80 % ≤ 70 % ≤ 75 %

 Underweight, jika IMT < 20
 Normal, jika IMT 20-25
 Overweight (> 10% BB Ideal, jika IMT 25,1-30)
 Obesitas (> 20 % BB Ideal, jika IMT > 30)
Sumber : (Supariasa, 2002).
Beberapa indeks antropometri antara lain :
1. Berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan, dan menurunnya jumlah
makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter
antropometri yang sangat labil.

2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan bertambahnya umur.

22

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relative
kurang sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang
pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan
Nampak dalam waktu yang relative lama.
3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi
badan. Dalam keadaan nomal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
tertentu. Indeks TB/BB merupakan indikator yang baik untuk
menilai status gizi saat ini, dan merupakan indeks yang
independen terhadap umur.
4. Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U)
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang
keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. LLA
berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan
atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana
dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan professional.
Lingkar lengan atas banyak digunakan dengan tujuan screening
individu, tetapi dapat juga digunakan untuk pengukuran status
nutrisi.
5. Tebal lemak dibawah kulit menurut umur.
Pengukuran lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan
lemak dibawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian
tubuh, misalnya pada bagian lengan atas (trisep dan bisep),
lengan bawah (forearm), tulang belikat (subcapular), ditengah
garis ketiak (midaxilaris), sisi dada (pectord), perut (abdomen), dan
pertengahan tungkai bawah (medial calf).

23

6. Indeks massa tubuh (IMT)
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa
merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko
penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas
kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu
dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah
dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal
(Supariasa, 2002).
Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan
berat badan normal orang dewasa belum jelas mengacu pada
patokan tertentu (Supariasa, 2002). Di Indonesia diartikan sebagai
indeks massa tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa.
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :
IMT = Berat badan (kg)
Tinggi badan (m) x tinggi badan (m)

Tabel 2.3 kategori Ambang Batas IMT
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 - 18,5
Normal 18,5 - 25
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,0 - 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat 27,0
Sumber (Supariasa, 2002).

24

b. Klinis
Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara tepat tanda -
tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign),
dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, 2002).
Pemeriksaan klinis (assesement clinik) secara umum terdiri dari dua
bagian, yaitu medical history, yaitu catatan mengenai perkembangan
panyakit dan pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala
gangguan gizi baik sign (gejala yang dapat diamati) maupun
symptom (Supariasa, 2002).
Pada pemeriksaan fisik, kita melakukan pengamatan terhadap
perubahan fisik, yaitu semua perubahan yang ada kaitannya dengan
kekurangan gizi. Perubahan - perubahan tersebut dapat dilihat dari :
a) Rambut. Berhubungan dengan kurang gizi dapat dijumpai dengan
kondisi rambut yang kurang bercahaya, kusam, kering, tipis dan
jarang, rambut kurang kuat / mudah putus.
b) Wajah. Pada wajah dapat dijumpai adanya penurunan pigmentasi
yang tersebar secara berlebih apabila disertai anemia, wajah
seperti bulan, pengeringan selaput mata.
c) Mata. Dijumpai selaput mata pucat, keratomalasia keadaan
permukaan halus / lembut dari keseluruhan bagian tebal atau
keseluruhan kornea, pengeringan kornea.
d) Bibir. Pada bibir dapat dijumpai adanya angular stomatitis (celahan
pada sudut mulut) dan depigmentasi kronis pada bibir bawah.
e) Lidah. Terjadi edema pada lidah, atrofi papilla serta papilla
berwarna merah atau merah muda, atau berg ranula, serta
ditemukan keadaan pecah - pecah pada permukaan lidah. Serta
kadang ditemukan adanya pigmented tongue.

25

f) Gigi. Pada gigi keadaan yang mungkin dijumpai berhubungan
dengan kekurangan gizi adalah adanya mottled enamel, (bintik
putih dan kecoklatan dengan atau tanpa erosi pada enamel),
pengikisan dapat terjadi pada tepi gigi seri dan taring akibat dari
mengkonsumsi makanan yang keras yang membutuhkan
pengunyahan relative lama.
g) Gusi. Kekurangan gizi dapat dilihat dari dengan ditemukannya
spongy, bleeding gums (bunga karang keunguan atau merah yang
membengkak pada tepi gusi yang mudah berdarah), dan dapat
ditemui infeksi tepi gusi serta adanya kerusakan dan atrofi gusi
yang menampakkan akar - akar gigi.
h) Kelenjar. Pada keadaan kurang gizi dapat dijumpai adanya
pembesaran tiroid dapat dilihat adanya perabaan.
i) Kulit. Xerosis (keadaan kulit yang mengaami kekeringan tanpa
mengandung air), Ptechiae (bintik haemorragic kecil pada kulit
atau membran berlendir yang sulit dilihat pada kulit gelap),
dermatosis (lesi kulit yang khas, dimana kulit menjadi merah,
bengkak, gatal dan rasa terbakar).
j) Kuku. Dapat dijumpai adanya koilonychias yaitu suatu keadaan
kuku berbentuk sendok pada kuku orang dewasa atau karena
kurang zat besi.
k) Jaringan bawah kulit. Keadaan yang berhubungan dengan
kekurangan gizi dapat ditemukan bilateral edema (pada kaki,
wajah dan tangan). (Supariasa, 2002).

c. Metode Biokimia
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia

26

dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi
yang lebih spesifik. Ada beberapa indikator laboratorium untuk
menentukan status besi yaitu : hemoglobin, hematokrit, besi serum,
ferittin serum (Sf), transferin saturation (TS), free erytrosytes
prothophoyrin (FEP) (Supariasa, 2002).
Didalam darah ada 3 faktor praksi protein, yaitu : albumin, globulin,
fibrinogen. Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi
dalam 2 bagian yaitu : somatic protein (terdapat diotot skeletal) dan
visceral protein (terdapat didalam organ tubuh seperti hati, ginjal,
pancreas, jantung, dll) (Supariasa, 2002).
d. Biofisik
Penilaian status gizi dengan biofisik termasuk penilaian status
gizi secara langsung, penilaian ini adalah melihat dari kemampuan
fungsi jaringan dan perubahan struktur. Test kemampuan fungsi
jaringan meliputi kemampuan kerja dan energi ekspenditure serta
adaptasi sikap. Penilaian secara biofisik dapat dilakukan melalui 3
cara yaitu uji radiologis, test fungsi fisik, dan sitologi (Supariasa,
2002).

3. Penilaian Status Nutrisi Secara Tidak Langsung
a. Survey konsumsi makanan
Survey penilaian konsumsi makanan adalah salah satu
metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan
atau kelompok. Banyak metode yang digunakan untuk melakukan
pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang
diperoleh antara lain : metode kuantitatif, metode kualitatif, tingkat
rumah tangga, tingkat nasional, tingkat individu atau perorangan
(Supariasa, 2002).

27

b. Statistik vital
Salah satu cara untuk mengetahui gambaran keadaan gizi
suatu wilayah adalah dengan cara menganalisis statistik kesehatan.
Beberapa statistik vital yang berhubungan dengan keadaan
kesehatan gizi antara lain angka kesakitan, angka kematian,
pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi yang berhubungan dengan
gizi (Supariasa, 2002).
c. Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil yang
saling mempengaruhi (multiple overlapping) dan interaksi beberapa
faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan
zat - zat gizi yang tersedia bergantung pada keadaan lingkungan
seperti iklim, tanah irigasi, penyimpanan, transportasi, dan tingkat
ekonomi penduduk (Supariasa, 2002).
Secara rasional, program yang bersifat preventif sebaiknya diarahkan
pada semua faktor yang terlibat dalam kesehatan masyarakat disuatu
daerah tertentu. Faktor ekologi yang berhubungan dengan penyebab
malnutrisi dibagi dalam enam kelompok yaitu keadaan infeksi,
konsumsi makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi, produksi
pangan serta kesehatan dan pendidikan (Supariasa, 2002).

4. Pengertian Malnutrisi
Malnutrisi adalah suatu keadaan tidak terpenuhinya energi,
protein atau keduanya dari asupan makanan. Malnutrisi pada pasien
bisa terjadi karena dua hal yaitu 1) proses penyakit yang dideritanya
yang bisa mempengaruhi asupan makanan, meningkatkan kebutuhan,
merubah metabolisme dan bisa terjadi malabsorpsi; 2) tidak adekuatnya
asupan kalori makanan yang dikonsumsi oleh pasien. Umumnya kedua
hal ini secara bersama-sama menyebabkan malnutrisi pada pasien

28

selama dirawat di Rumah Sakit. Malnutrisi merupakan masalah yang
sering terjadi pada pasien selama dirawat di Rumah Sakit serta menjadi
suatu masalah kesehatan karena angka prevalensinya cukup tinggi
tidak hanya di negara berkembang tetapi juga negara maju.

5. Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi dari malnutrisi.
Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan prevalensi
malnutrisi mencapai 40%, Swedia 17%-47%, Denmark 28% dan
Amerika 40%-50%. Penelitian di Amerika tahun 2006 didapatkan 69%
dari pasien rawat inap di Rumah Sakit mengalami malnutrisi sejak 10
hari setelah dirawat. Penelitian di Jakarta menunjukkan sekitar 20%-
60% pasien rawat inap di Rumah Sakit umum dalam kondisi malnutrisi
saat masuk perawatan dan 69% cenderung menurun status gizinya
selama rawat inap di rumah sakit. Pen elitian di Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo Jakarta tahun 2009 mencatat prevalensi malnutrisi
sebesar 45,9% pasien di bagian bedah digestif menderita malnutrisi, di
bagian penyakit dalam RSPAD Gatot Subroto Jakarta tahun 2001
sebanyak 47,76% pasien yang diraw at menderita gizi kurang
sedangkan di bagian penyakit dalam RSHS Bandung menunjukkan
pasien malnutrisi sebanyak 71,8% dan malnutrisi berat 28,9%.
Malnutrisi yang terjadi pada pasien di Rumah Sakit adalah hal
yang dapat diatasi dengan pemberian dukungan terapi gizi optimal dan
tepat bagi pasien. Pada pasien tersebut sejak awal masuk Rumah Sakit
hendaknya dilakukan penilaian dan pemantauan status gizi selama
perawatan. Hal ini ditujukan untuk mengidentifikasi individu-individu
yang membutuhkan terapi gizi segera, mencegah agar seseorang yang
masih sehat tidak menderita masalah gizi, serta menghindari komplikasi
lebih lanjut jika seseorang telah menderita masalah gizi. Penilaian
status gizi ini jarang sekali dilakukan di Rumah Sakit. Studi di Canada

29

(Singh H dkk, 2006) bahwa hanya sebagian kecil staf Rumah Sakit yang
dapat mengidentifikasi keadaan malnutrisi pada pasien yang dirawat.
Hal ini disebabkan kurangnya komunikasi antara tenaga medis (dokter,
perawat dan ahli gizi), ketidakmampuan dalam mengetahui manifestasi
malnutrisi, ketidakjelasan tanggung jawab perawatan, kesimpangsiuran
waktu pemeriksaan medis yang menyebabkan kelalaian jadwal makan
pasien serta ketidaktersediaan alat uji laboratoris untuk menilai status
gizi. Malnutrisi pada pasien terjadi selama periode rawat inap serta
berkaitan dengan penyakit yang mendasari yang mencetuskan
anoreksia, disfagia, gangguan pencernaan dan hiperkatabolik
(Nurparida, 2012).

D. Tinjauan Umum Tentang Skrining disfagia
1. Pengertian
Skrining untuk pengendalian penyakit adalah pemeriksaan orang
– orang asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam
kategori yang diperkirakan mengidap atau diperkirakan tidak mengidap
penyakit yang menjadi objek skrining.
Contoh uji skrining antara lain yaitu pemeriksaan rontgen, pemeriksaan
sitologi, dan pemeriksaan tekanan darah. Uji skrining tidaklah
diagnostik. Orang – orang dengan temuan positif atau mencurigakan
harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan pengobatannya.
2. Tujuan Skrining
Tujuan skrining untuk mengurangi morbiditas atau mortilitas dari
penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus – kasus yang
ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu
diarahkan kepada penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes
mellitus, glaucoma dan lain – lain. Semua skrining dengan sasaran
pengobatan dini ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang – orang

30

asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius.
Dalam konteks ini, penyakit adalah setiap karakteristik anatomi
(misalnya kanker atau ateriosklerosis), fisiologi (misalnya hipertensi atau
hiperlipidemia), ataupun perilaku (misalnya kebiasaan merokok) yang
berkaitan dengan gangguan kesehatan yang serius ataupun kematian.

3. Cara Melakukan Skrining
Sebelum melakukan skrining, terlebih dahulu harus ditentukan
penyakit atau kondisi medis apa yang akan dicari pada skrining. Kriteria
untuk menentukan kondisi medis yang akan di cari adalah :
1) Efektivitas pengobatan yang akan diberikan apabila hasil skrining
positif
2) Beban penderitaan yang ditimbulkan oleh kondisi tersebut
3) Akurasi uji skrining
Adapun cara untuk melakukan skrining disfagia untuk pasien
gangguan sistem saraf yaitu dengan pemeriksaan Gugging Swallowing
Screen (GUSS). GUSS merupakan skrining sederhana yang dapat
menentukan tingkat keparahan disfagia dengan mengevaluasi nutrisi
cairan dan noncairan, dimulai dari tekstur noncairan, suatu metode
cepat dan reliabel untuk mengidentifikasi pasien stroke dengan disfagia
dan risiko aspirasi. Tujuan: Mengurangi risiko aspirasi seminimal
mungkin, Mengakses tingkatan keparahan disfagia dan risiko aspirasi,
Merekomendasikan diet yang sesuai.
Prosedur Pemeriksaan Pasien hendaknya duduk di bed setengah
duduk minimal 60ᴼ dan dalam kondisi sadar setidaknya 15 menit.
Pemeriksaan GUSS dibagi 2 bagian: asesmen preliminary (bagian 1,
test menelan tidak langsung) dan test menelan langsung (bagian 2),
yang terdiri dari 3 subtest. Keempat subtest harus dikerjakan secara

31

runtun. Pasien harus dapat menyelesaikan seluruh subtes untuk meraih
5 poin di setiap subtest. Jika nilai subtest < 5 poin, pemeriksaan
dihentikan dan dilanjutkan rekomendasi diet yang sesuai atau
pemeriksaan penunjang berikutnya yaitu videofluoroscopy atau
fiberoptic endoscopy. kemampuan men elan normal tanpa risiko
aspirasi. Nilai tertinggi: 20. Untuk mengetahui lebih jelas tentang GUSS
kita dapat melihat pada format GUSS berikut ini.

32

GUSS
(GUGGING SWALLOWING SCREEN )

Pasien
Tanggal :
Waktu :
Peneliti :
1. Preliminary Investigation / Indirect Swallowing Test (Test
Menelan Tidak Langsung)
Ya Tidak
Vigilance (Kewaspadaan)
(Pasien Sadar Minimal 15
menit)

1

0
Batuk dan atau Berdehem
(batuk yang disengaja atau
pasien berdehem dua kali)

1

0
Menelan Air Ludah
 Menelan dengan baik

 Ngiler
 Perubahan suara
(serak, lemah)

1

0

0

0

1

1
TOTAL 5

33

2. Direct Swallowing Test (Test Menelan Langsung)
(material: Aqua, sendok teh, pengental makanan, roti kering)
In the following order
(dalam urutan
sebagai berikut):

1


2

3
Semisolid
(Setengah
Padat) *
Liquid
(Cair) **
Solid
(Padat) ***
Deglutition (Proses
Menelan):
 Tidak dapat
menelan
 Menelan
tertunda (> 2
detik, bahan
padat > 10
detik)
 Menelan
dengan baik



0


1



2







0


1



2








0


1



2





Batuk (tidak
disengaja):
(sebelum, selama,
setelah sampai 3

34

menit kemudian).
 Ya

 Tidak

0

1



0

1





0

1


Drooling (Ngiler):
 Ya

 Tidak

0

1


0

1


0

1

Perubahan Suara
(suara diperhatikan
sebelum dan
sesudah menelan,
kata “oh”):
 Ya

 Tidak





0

1









0

1







0

1


TOTAL 5 5 5

35


Petunjuk Test Menelan Langsung
* Pertama berikan
1
/3 –
1
/2 sendok teh air aqua dicampur
dengan pengental makanan (konsistensi menjadi seperti
pudding). Bila tidak ada gejala dilanjutkan 3-5 sendok teh.
Assesment dibuat setelah 5 sendok teh penuh
** Subtest menelan cairan diawali dengan 3 ml aqua, jika
menelan berhasil dilanjutkan dengan peningkatan volume 5,
10 dan 20 ml aqua sampai 50 ml. (Daniels et al, 2000;
Gottlieb et al, 1996). Dibuat asesment dan pemeriksaan
dihentikan jika ditemukan salah satu kriteria pada subtest.
*** Klinis : roti kering; FEES: roti kering yang dilarutkan pada
cairan berwarna. Pemeriksaan penunjang fungsional seperti
Videofluoroscopic Evaluation Of Swallowing (VFES),
Fiberoptic Endoscopic Evaluation Of Swallowing (FEES).
Kesimpulan dan Interpretasi
Sum / total test menelan tidak langsung (5)
Sum / total test menelan langsung (15)
Total (20)

36

Jumlah Kriteria
keparahan
disfagia
Rekomendasi
20 Semipadat / cair dan
tekstur padat ditelan
dengan baik
Tidak ada
disfagia /
disfagia ringan
resiko aspirasi
minimal
 Diet normal
 Cairan reguler
 Pertama kali
dibawah
supervisi terapis
dan perawat
stroke yang ahli.
15-19 Tekstur padat dan cair
ditelan dengan baik
dan tekstur padat
gagal
Disfagia ringan
dengan resiko
rendah terjadi
aspirasi
 Diet disfagia
(pure / makanan
lunak)
 Tekstur cairan
diberikan
dengan pelan,
sesekali waktu
 Perlu
pemeriksaan
lebih lanjut:
FEES, VFES
 Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
10-14 Tekstur semipadat
ditelan dengan baik
dan tekstur cair gagal
Disfagia
moderat
dengan resiko
aspirasi
Diet disfagia dimulai
dengan:
 Tekstur
semipadat

37

seperti
makanan bayi
dan tambahan
nutrisi
parenteral
 Semua tekstur
cairan harus
disemipadatkan
 Obat tablet
harus
dihaluskan dan
dicampur
dengan cairan
kental
 Tanpa medikasi
cairan per os
 Pemeriksaan
lebih lanjut
untuk asesment
menelan (FEES,
VFES)
 Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
(Suplementasi dengan
selang nasogastrik /
NGT atau Parenteral)

38

0-9 Test bagian pertama
gagal atau tekstur
semipadat gagal
Disfagia berat
dengan resiko
tinggi aspirasi
 NPO (Non Per
Os/ tidak ada
nutrisi melalui
mulut)
 Pemeriksaan
lebih lanjut
(FEES, VFES)
 Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
(suplementasi dengan
selang nasogastrik /
NGT atau Parenteral)

4. Manfaat Skrining
a. Diharapkan angka mortalitas (kematian) menjadi lebih rendah
b. Penurunan angka morbiditas (kesakitan) dan biaya kesehatan
yang lebih rendah.
c. Meningkatnya harapan hidup sehat dan kualitas hidup,
berkurangnya rasa nyeri, kecemasan dan ketidakmampuan.

37

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual
Status nutrisi merupakan keadaan gizi seseorang yang dilihat pada
IMT/BMI, di mana pada pasien dengan gangguan sistem persarafan
IMT/BMI-nya dapat diukur dari BB & TB. IMT/BMI dapat digunakan untuk
melihat dan memantau tingkat defisiensi energi yang menandakan bahwa
status nutrisi pasien tersebut mengalami penurunan yang drastis. Kondisi ini
dinamakan Malnutrisi. Malnutrisi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti kurangnya nafsu makan (Anoreksia), gangguan pencernaan,
hiperkatabolik dan Disfagia (gangguan menelan). Untuk mengetahui
seseorang mengalami disfagia maka perlu dilakukan skrining disfagia, untuk
mendeteksi gangguan menelan secara dini, sehingga masalah nutrisi cepat
diatasi. Konsep pada penelitian ini, peneliti menyajikan kerangka konsep
untuk mempermudah memahami permasalahan yang sedang diteliti.
Kerangka konsep penelitian digambarkan dalam skema berikut:

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN









STATUS NUTRISI
SKRINING
DISFAGIA
Albumin

38



Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Penghubung Variabel

: Variabel Moderator

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diterima pada penelitian ini adalah ada perbedaan IMT
(Indeks Massa Tubuh) pasien pada kelompok intervensi dan kontrol yang
dilakukan skrining disfagia.

C. Defenisi Operasional
1. Variabel Independen: Skrining Disfagia
Tabel 3.1 Variabel Independen
Defenisi
Operasional
Parameter Cara
Ukur
Skala
Ukur
Skor
Skrining
sederhana yang
digunakan untuk
melihat
gangguan
menelan
dengan
menggunakan
Gugging
Swallowing
Screen (GUSS)
Gugging
Swallowing
Screen
(GUSS)
Kelompok
Intervensi:
kelompok yang
dilakukan skrining
disfagia
Kelompok
Kontrol:
dilakukan terapi
menelan sesuai
kebiasaan rumah
sakit

39



2. Variabel Dependen: Status Nutrisi
Tabel 3.2 Variabel Dependen
Defenisi
Operasional
Parameter Cara
Ukur
Skala
Ukur
Skor
Keadaan gizi
seseorang
yang dilihat
pada IMT/ BMI
BB, TB Antropo
metri
Gizi
Numerik
(rasio)
 Underweight,
jika IMT <
18,5
 Normal jika
IMT 18,5-25
 Overweight
(> 10% BB
Ideal), jika
IMT 25,1-27
 Obesitas (>
20% BB
Ideal), jika
IMT > 27

40

BAB IV
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah yang pada dasarnya
menggunakan metode ilmiah. Pada bagian metode penelitian difokuskan pada
bagaimana penelitian dilaksanakan agar tujuan atau masalah dapat dijawab.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
Quasi eksperimental design dengan menggunakan pendekatan
Nonequivalent Control Group Design (pretest-posttest control group design)
di mana dalam desain ini terdapat dua kelompok yang tidak dipilih secara
random kemudian diberi pretest-posttest untuk mengetahui perbedaan BB
antara kelompok intervensi dan kontrol sebelum dan sesudah dilakukan
skrining disfagia, yang bertujuan untuk mengetahui adanya dampak skrining
disfagia terhadap status nutrisi pasien gangguan sistem persarafan. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah Dampak skrining disfagia sedangkan
variabel dependennya adalah Status nutrisi pada pasien gangguan sistem
persarafan
Tabel 4.1 Kerangka Penelitian










Subjek Pre Perlakuan Post
K-A O I O1-A
K-B O - O1-B

41


Keterangan:
K= Kelompok Subjek
K-A = Kelompok Perlakuan
K-B = Kelompok Tanpa
Perlakuan
O = Observasi
I = Intervensi
O1-A = Observasi akhir
kelompok perlakuan
O1-B = Observasi akhir
kelompok tanpa perlakuan

B. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan februari 2016 sampai selesai.

C. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua
pasien gangguan sistem saraf yang di rawat Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien gangguan sistem
persarafan yang akan dilakukan skrining disfagia yang ada di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar menggunakan teknik non probability
sampling dengan pendekatan convinience sampling/ accidental sampling
yaitu tehnik pengambilan sampel secara kebetulan yaitu siapa saja yang
secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok
sebagai sumber data (Sugiyono, 2013). Penelitian ini menggunakan
kriteria inklusi.

42

a. Kriteria Inklusi
1) Pasien dengan diagnosa mengalami gangguan persarafan
2) Pasien dengan GCS 13-15
3) Dirawat pada hari pertama dan kedua di Rs. Labuang Baji
Makassar
4) Bersedia menjadi responden

D. Instrumen Penelitian
Alat ukur penelitian ini adalah test/ uji skrining disfagia menggunakan
Gugging Swallowing Screen (GUSS) dan penilaian antropometri gizi yang
dilihat dari IMT melalui pengukuran dengan menggunakan timbangan untuk
mengukur Berat Badan (BB) Dan meteran untuk mengukur Tinggi Badan
(TB) dan Lingkar Lengan Atas (LLA). Dalam penelitian ini diberikan
perlakuan skrining disfagia mulai hari pertama perawatan hingga hari ke-6
dan dilakukan pengukuran sebelum dilakukan intervensi maupun setelah
dilakukan intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol,
kemudian dinilai untuk memperoleh data atau informasi mengenai pasien
gangguan sistem persarafan yang mengalami resiko malnutrisi dan
malnutrisi di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

E. Pengumpulan Data
Peneliti ingin menyampaikan langkah kerja penelitian dengan judul
“Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pasien Gangguan
Sistem Persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar”. Adapun tahap-
tahap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Setelah dilakukan penyusunan proposal dan dipertanggung jawabkan
didepan penguji tanggal 01 Februari 2016 dinyatakan siap untuk
melanjutkan judul tersebut ketahap penelitian dan penyusunan skripsi.
Setelah dipertanggung jawabkan didepan penguji , peneliti melakukan
revisi pada tanggal 05-08 Februari 2016 dan disetujui oleh penguji dan
pembimbing untuk lanjut ketahap berikutnya yaitu melakukan penelitian.

43

2. Setelah surat ijin penelitian disetujui oleh Direktur Rumah Sakit Labuang
Baji Makassar tanggal 21 Februari 2016, peneliti mulai melakukan
penelitian dari tanggal 22 Februari 2016 di beberapa ruangan perawatan
di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar yaitu ICU, Baji Pamai 1, Baji
Pamai 2, Baji Dakka dan Instalasi Gizi.
3. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian terlebih dahulu pada
15 responden pasien gangguan persarafan dengan GCS > 13 di ruangan
ICU yang telah diskrining dan diberikan intervensi oleh ahli gizi sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan pasien kemudian setelah 15 responden
kelompok intervensi telah memenuhi kriteria sampel maka dilakukan
penelitian pada 15 responden pada kelompok kontrol.
4. Dalam proses penelitian, sebelum dilakukan penelitian pada pasien
gangguan sistem persarafan yang masuk hari pertama dan kedua
perawatan dengan GCS > 13, peneliti memberikan informed consent
kepada keluarga pasien sebagai tanda persetujuan melakukan penelitian
pada pasien tersebut. Peneliti memberikan penjelasan tentang jalannya
penelitian dan tujuan penelitian kepada keluarga pasien.
5. Setelah disetujui oleh keluarga pasien untuk melakukan penelitian pada
pasien, peneliti melakukan pengukuran IMT sebelum dilakukan skrining
disfagia pada pasien dengan menggunakan penilaian antropometri gizi
dan formulir GUSS (Gugging Swallowing Screen ) kemudian
mengelompokkan pasien mana yang mengalami disfagia, underweight /
malnutrisi, normal / nutrisi baik dan overweight / kelebihan nutrisi.
6. Setelah dilakukan skrining disfagia dan pengelompokan pasien, peneliti
membawa hasil skrining disfagia pasien gangguan sistem persarafan
untuk kelompok intervensi ke instalasi gizi dan ahli gizi memberikan
intervensi yang sesuai dengan hasil skrining pasien. Pasien laki-laki
dengan status malnutrisi dan resiko malnutrisi diberikan nutrisi parenteral
/ enteral sebesar 2000-2500 kkal per hari atau dalam waktu 24 jam
sedangkan pasien perempuan diberikan nutrisi parenteral / enteral
sebesar 1600-1900 kkal. Cara ini akan memasukkan nutrisi dengan

44

kecepatan yang lebih lambat sehingga mengurangi komplikasi seperti
nausea dan diare dan diberikan dalam selang waktu (2-3 jam). Nutrisi
parenteral / enteral yang diberikan mengandung sejumlah kalori dari
unsur protein,lemak dan hidrat arang dalam bentuk tepung susu, minyak
nabati serta glukosa disamping mengandung vitamin dan mineral. Pasien
yang mengalami malnutrisi dengan komplikasi infeksi diberikan
suplemen dengan kandungan tinggi protein untuk mengatasi proses
pemecahan protein jaringan dan selama 6 hari perawatan, peneliti ikut
dalam pemberian makanan dan memperhatikan prose s pemberian
makanan pasien. Setelah 6 hari perawatan, peneliti melakukan post test
pada pasien gangguan persarafan.
7. Setelah kelompok intervensi telah memenuhi jumlah sampel yang telah
ditentukan, peneliti melakukan penelitian pada responden kelompok
kontrol dimana dilakukan skrining gizi dengan menggunakan Formulir
Gugging Swallowing Screen pada pasien baru masuk dan hasil
pengelompokan pasien tidak dibawa ke instalasi gizi dan diberikan
intervensi sesuai kebiasaan Rumah Sakit dan setelah 6 hari dirawat,
peneliti melakukan post test dengan menggunakan formulir penilaian
antropometri gizi untuk mengukur IMT pasien.
8. Setelah jumlah responden memenuhi jumlah sampel yang telah
ditentukan yaitu 30 sampel, 15 sampel kelompok intervensi dan 15
sampel kelompok kontrol maka penelitian berakhir pada tanggal 22
Maret 2016 di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
9. Setelah data-data terkumpul dan dilakukan pengecekan ulang, maka
peneliti membuat master tabel.
Dalam penelitian ini, dipandang perlu adanya rekomendasi dari
pihak institusi kampus STIK Stella Maris Makassar atas pihak lain dan
mengajukan permohonan izin kepada institusi tempat penelitian dalam
hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Setelah mendapat
persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan etika sebagai berikut:

45

a. Etika Penelitian
1) Informed Consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan
diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai jadwal penelitian
dan manfaat penelitian. Bila subyek menolak, maka peneliti tidak
akan memasukkan dan menghormati hak-hak responden.
2) Anomity (Tanpa Nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang
memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian
dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama
responden pada lembar observasi atau alat ukur lainnya dan
hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau
hasil penelitian yang akan di sajikan.
3) Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya
kelompok data tertentu akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
Data yang telah di kumpulkan di simpan dalam disk dan hanya
bisa di akses oleh peneliti dan pembimbing.
b. Data-data yang dikumpulkan
1) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden yang berasal dari lembar pengkajian pasien gangguan
persarafan (Gugging Swallowing Screen ) dan penilaian
antropometri gizi untuk mengetahui resiko malnutrisi dan
malnutrisi pada pasien yang akan menjadi sampel penelitian.
2) Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari data rekam medik pasien yang ada
di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Setelah data tersebut diperoleh, dimasukkan kedalam
pengujian statistic untuk memperoleh kejelasan tentang gambaran
hubungan variabel independen dan variabel dependen.

46

F. Pengolahan Dan Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan, data tersebut kemudian diolah dengan
prosedur pengolahan data yaitu:
1. Editing Data
Editing dilakukan untuk memeriksa ulang jumlah dan meneliti kelengkapan
data diantaranya kelengkapan ketentuan identitas pengisi dan
kelengkapan lembar observasi sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian
dapat dilengkapi dengan segera oleh peneliti.
2. Koding
Koding dilakukan untuk memudahkan pengolahan data dengan cara
memberikan simbol-simbol tertentu setiap kali dilakukan pengamatan atau
observasi.
3. Tabulasi
Dilakukan dengan mengelompokkan data disesuaikan dengan variabel
yang diteliti yaitu skrining disfagia (variabel independent) dan status nutrisi
(variabel dependent). Setelah data terkumpul dan tersusun, selanjutnya
data dikelompokkan dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki
sesuai dengan tujuan penelitian.

G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan frekuensi dan
persentase dari masing-masing kelompok yang diukur yaitu kelompok
intervensi dan kontrol.
2. Analisis Bivariat
a. Uji Wilcoxon
Analisa bivariat pada penelitian ini menggunakan bantuan
perhitungan SPSS versi 20 (Statistical Program for Social Science),
untuk membandingkan pengukuran sebelum diberikan intervensi
(Skrining Disfagia) dan setelah diberikan intervensi baik pada kelompok

47

intervensi maupun pada kelompok kontrol, nilai permaknaan α = 0,05,
dengan interpretasi hasil:
1) Jika p < α, Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada perbedaan IMT
(Indeks Massa Tubuh) yang bermakna sebelum dan setelah
dilakukan skrining disfagia
2) Jika p ≥ α, Ho diterima dan Ha ditolak artinya tidak ada perbedaan
IMT (Indeks Massa Tubuh) yang bermakna sebelum dan sesudah
dilakukan skrining disfagia.

b. Uji Mann-whitney
Uji ini digunakan untuk mengetest signifikansi perbedaan antara
dua populasi khusus untuk dua sampel yang independent.
Pada uji ini kita melihat perbedaan antara kelompok intervensi (Skrining
Disfagia) dan kelompok kontrol (terapi menelan sesuai kebiasaan
rumah sakit), nilai permaknaan α = 0,05, dengan interpretasi hasil:
1) Jika p < α, Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada dampak skrining
disfagia terhadap status nutrisi pada pasien gangguan sistem
persarafan.
2) Jika p ≥ α, Ho diterima dan Ha ditolak artinya tidak ada dampak
skrining disfagia terhadap status nutrisi pada pasien gangguan
sistem persarafan.

48

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Pengantar
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian tentang “Dampak Skrining
Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pada Pasien Gangguan Sistem Persarafan
Di RS. Labuang Baji Makassar” yang telah dilaksanakan pada tanggal 22
Februari sampai 22 Maret 2016. Pengambilan sampel dengan menggunakan
teknik non probability sampling dengan pendekatan convinience sampling/
accidental sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 30 responden yang
terdiri dari 15 kelompok intervensi dan 15 kelompok kontrol, yang memenuhi
kriteria inklusi.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
Quasi-experiment design dengan rancangan penelitian pre-test and post-test
non equivalent control group. Penelitian ini dilakukan dengan cara dilakukan
observasi dan pengukuran sebelum dan sesudah diberikan skrining disfagia
pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol. Sumber data
penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang
berkaitan dengan variabel penelitian yang diperoleh langsung dari responden
sedangkan data sekunder adalah data pendukung penelitian yang dari
catatan rekam medik Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah formulir The
Gugging Swallowing Screen (GUSS) dan pengolahan data menggunakan
computer program SPSS for windows versi 20. Kemudian selanjutnya data
dianalis dengan menggunakan uji Wicolxon dan Man-Withney.

49

2. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji terletak di bagian
selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan Dr. Ratulangi
No. 81 Makassar. Adapun batas - batas geografis RSUD Labuang Baji
adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Landak Lama
b. Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Tupai
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Perumahan Pendeta Ekss
d. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Dr. Ratulangi
Tugas pokok dari RSUD Labuang Baji adalah pelayanan kesehatan dan
penyembuhan penderita serta pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Rumah Sakit
Labuang Baji tidak hanya memberikan kegiatan pelayanan akan tetapi lebih
memetingkan kesehatan jasmani maupun rohani dari setiap orang, oleh
karena itu RS. Labuang Baji berusaha untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang terbaik kepada masyarakat baik yang bersifat penyembuhan,
pemulihan, pencegahan maupun peningkatan serta ditunjang oleh kualitas
sumber daya manusia serta dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan.
Adapun visi dan misi dari RS. Labuang Baji Makassar tersebut adalah:
a. Visi
Rumah Sakit unggulan Sulawesi Selatan
b. Misi
1) Mewujudkan profesionalisme sumber daya manusia
2) Meningkatkan sarana dan prasarana rumah sakit
3) Memberikan pelayanan prima
4) Efisiensi biaya rumah sakit
5) Meningkatkan kesejahteraan karyawan

50

3. Penyajian Karakteristik Data Umum
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Pasien Gangguan
Sistem Persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)
< 48 3 10.0
< 56 4 13.3
< 64 8 26.7
< 72 9 30.0
< 87 6 20.0
Total 30 100.0
Sumber: data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.1 di atas dapat diketahui distribusi frekuensi
responden berdasarkan usia pasien gangguan sistem persarafan di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari 30 pasien diperoleh data jumlah
responden terbanyak berada pada kelompok umur yang berusia < 72 yaitu
usia 64-71 sebanyak 9 (30%) responden, dan jumlah responden terkecil
berada pada kelompok umur yang berusia < 48 yaitu usia 40-47 sebanyak
3 (10%) responden.

51

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Gangguan Sistem Persarafan Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)
Perempuan 20 66.7
Laki-laki 10 33.3
Total 30 100.0
Sumber : Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.2 diatas dapat diketahui distribusi frekuensi
responden berdasarkan jenis kelamin pasien gangguan sistem persarafan
di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari 30 responden diperoleh data
jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 (66.7%)
responden dan jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak
10 (33.3%) responden.

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Diagnosa Penyakit
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Diagnosa Penyakit Pasien
Gangguan Sistem Persarafan Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

Diagnosa Penyakit Frekuensi (f) Persentase (%)
NHS 13 43.3
HS 10 33.3
Trauma Kepala 7 23.3
Total 30 100.0
Sumber : Data primer, 2016

52

Berdasarkan tabel 5.3 diatas dapat diketahui distribusi frekuensi
responden berdasarkan diagnosa penyakit pasien gangguan sistem
persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari 30 responden
diperoleh data jumlah responden yang paling banyak yaitu pasien dengan
diagnosa NHS (Non Hemoragic Stroke) sebanyak 13 (43.3%) responden,
HS (Hemoragic Stroke) sebanyak 10 (33.3%) responden dan Trauma
Kepala sebanyak 7 (23.3%) responden.

d. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Responden Di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

Kelompok Frekuensi (f) Persentase (%)
Intervensi 15 50.0
Kontrol 15 50.0
Total 30 100.0
Sumber : Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.4 diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi
responden berdasarkan kelompok responden di Rumah Sakit Labuang
Baji Makassar, dari 30 responden diperoleh data kelompok intervensi
sebanyak 15 (50.0%) responden dan kelompok kontrol sebanyak 15
(50.0%) responden.

4. Hasil analisis Variabel yang diteliti
Setelah data terkumpul dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan
kemudian data diolah, dengan menyajikan analisa data u nivariat
terhadap setiap variabel dengan menghasilkan distribusi frekuensi dan

53

persentase serta analisa bivariat untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen dan dependen.
a. Analisa Univariat
1) Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum pada kelompok intervensi
sebelum diberikan skrining disfagia.
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Berdasarkan IMT Sebelum Responden Pada
Kelompok Intervensi Sebelum Diberikan Intervensi Skrining Disfagia

IMT Pre Frekuensi (n) Persentase (%)
Underweight 13 86.7
Normal 2 13.3
Total 15 100.0
Sumber: Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.5 diatas, dapat diketahui distribusi
frekuensi berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) sebelum
responden pada kelompok intervensi sebelum diberikan intervensi
skrining disfagia pada pasien gangguan persarafan di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar, dari 15 responden yang termasuk
dalam kelompok intervensi diperoleh distribusi data berdasarkan
hasil IMT Sebelum responden diberikan intervensi skrining disfagia
yaitu responden dengan underweight sebanyak 13 (86,7%)
responden dan responden dengan IMT norm al sebanyak 2
(13,3%) responden.

54

2) Indeks Massa Tubuh (IMT) Sesudah pada Kelompok Intervensi
Sesudah Dilakukan Skrining Disfagia
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Berdasarkan IMT Sesudah Responden Pada
Kelompok Intervensi Sesudah Diberikan Intervensi Skrining
Disfagia

IMT Post Frekuensi (n) Persentase (%)
Underweight 4 26.7
Normal 11 73.3
Total 15 100.0
Sumber: Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.6 diatas, dapat diketahui distribusi
frekuensi berdasarkan IMT Sesudah responden pada kelompok
intervensi sesudah diberikan intervensi skrining disfagia pada
pasien gangguan persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar, dari 15 responden yang termasuk dalam kelompok
intervensi diperoleh distribusi data berdasarkan hasil IMT Sesudah
responden sesudah diberikan intervensi skrining disfagia yaitu
yang mengalami Underweight sebanyak 4 (26,7%) responden dan
yang normal sebanyak 11 (73,3%) responden.

55

3) Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum pada kelompok kontrol
sebelum dilakukan skrining disfagia
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Berdasarkan IMT Sebelum Responden Pada
Kelompok Kontrol Sebelum Dilakukan Skrining Disfagia

IMT Pre Frekuensi (n) Persentase (%)
Underweight 12 80.0
Normal
Overweight
2
1
13.3
6.7
Total 15 100.0
Sumber: Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.7 diatas, dapat diketahui distribusi
frekuensi berdasarkan IMT Sebelum responden pada kelompok
kontrol sebelum diberikan intervensi skrining disfagia pada pasien
gangguan persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari
15 responden yang termasuk dalam kelompok kontrol diperoleh
distribusi data berdasarkan hasil IMT Sebelum responden, sebelum
diberikan intervensi skrining disfagia yaitu responden dengan
underweight sebanyak 12 (80%) responden, responden dengan IMT
normal sebanyak 2 (13,3%) dan responden dengan overweight
sebanyak 1(6,7%).

56

4) Indeks Massa Tubuh (IMT) Sesudah pada Kelompok Kontrol
Sesudah Dilakukan Skrining Disfagia
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi IMT Sesudah Responden Pada Kelompok
Kontrol Sesudah Dilakukan Skrining Disfagia

IMT Post Frekuensi (n) Persentase (%)
Underweight 11 73.3
Normal
Overweight
3
1
20.0
6.7
Total 15 100.0
Sumber: Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.8 diatas, dapat diketahui distribusi
frekuensi berdasarkan IMT Sesudah responden pada kelompok
kontrol sesudah diberikan intervensi skrining disfagia pada pasien
gangguan persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari
15 responden yang termasuk dalam kelompok kontrol diperoleh
distribusi data berdasarkan hasil IMT Sesudah responden, sesudah
diberikan intervensi skrining disfagia yaitu responden dengan
underweight sebanyak 11 (73,3%) responden, responden dengan
IMT normal sebanyak 3 (20%) dan responden dengan overweight
sebanyak 1(6,7%).

b. Analisa Bivariat
Dalam penelitian ini, analisa bivariat dilakukan untuk
mengetahui adanya Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status
Nutrisi Pada Pasien Gangguan Sistem Persarafan Di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar.

57

1) Analisis Perbedaan IMT Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Skrining
Disfagia Pada Kelompok Intervensi
Tabel 5.9
Analisis Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pada
Kelompok Intervensi Pasien Gangguan Sistem Persarafan Di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

IMT n % Z P
IMT Post <
IMT Pre
0 0.0 - 3,0 0,003
IMT Post >
IMT Pre
9 60
IMT Post =
IMT Pre
6 40
Total 15 100
Sumber : Data primer, 2016
Berdasarkan tabel 5.9 diatas, dapat diketahui hasil analisa
dengan menggunakan uji statistic Wilcoxon pada kelompok
intervensi, diperoleh nilai p = 0.003 dengan nilai α = 0.05. Hal ini
berarti bahwa nilai p < α, dengan demikian hipotesis nol (Ho) ditolak
dan hipotesis alternative (Ha) diterima, hal ini menunjukan bahwa
ada perbedaan IMT (Indeks Massa Tubuh) yang bermakna sebelum
dan sesudah diberikan skrining disfagia pada pasien gangguan
persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

58

2) Analisis Perbedaan IMT Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Skrining
Disfagia Pada Kelompok Kontrol
Tabel 5.10
Analisis Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pada
Kelompok Kontrol Pasien Gangguan Sistem Persarafan Di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar

IMT n % Z P
IMT Post <
IMT Pre
1 6.7 - 0,577 0,564
IMT Post >
IMT Pre
2 13.3
IMT Post =
IMT Pre
12 80.0
Total 15 100
Sumber: Data primer 2016
Berdasarkan tabel 5.10 diatas, dapat diketahui hasil analisa
dengan menggunakan uji statistic wicolxon pada kelompok kontrol,
diperoleh nilai p = 0.564 dengan nilai α = 0.05. Hal ini berarti bahwa
nilai p > α, dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan IMT (Indeks Massa Tubuh) yang bermakna sebelum dan
sesudah diberikan skrining disfagia pasien gangguan persarafan
pada kelompok kontrol di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

59

3) Analisis perbedaan rerata IMT responden pada kelompok intervensi
dan kontrol
Tabel 5.11
Analisis Perbedaan Rerata IMT Responden Sesudah Intervensi
Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar

Kelompok n Mean P Value
Intervensi 15 18,63 0,027
Kontrol 15 12,37
Total 30
Sumber: Data primer 2016
Berdasarkan tabel 5.11 diatas, diketahui rerata IMT sesudah
intervensi gizi pada kelompok intervensi adalah 18,63 sementara
rerata IMT sesudah intervensi pada kelompok kontrol 12,37.
Berdasarkan hasil uji Mann-Withney yang dilakukan pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol, setelah diberikan intervensi
skrining disfagia pada kelompok intervensi dan intervensi skrining
disfagia sesuai kebiasaan Rumah Sakit pada kelompok kontrol
didapat nilai p = 0.027 dengan nilai α = 0.05, yang artinya p < α.
Dengan demikian hal ini menunjukkan ada perbedaan rerata IMT
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah pemberian
intervensi skrining disfagia pada pasien gangguan persarafan di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

60

B. Pembahasan
1. Indeks Massa Tubuh (IMT) Pasien Gangguan Persarafan Sebelum dan
Sesudah Dilakukan Skrining Disfagia Pada Kelompok Kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 15 orang
pasien gangguan persarafan yang telah dilakukan skrining disfagia dan
dirawat hari pertama dan kedua perawatan di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar, diperoleh data hasil skrining disfagia responden sebelum diberikan
intervensi pada kelompok kontrol yaitu yang mengalami underweight (gizi
kurang) sebanyak 12 (80%) responden, normal sebanyak 2 (13,3%)
responden dan yang mengalami overweight sebanyak 1 (6,7%), sedangkan
hasil skrining disfagia responden sesudah diberikan intervensi selama 6 hari
perawatan sesuai kebiasaan rumah sakit pada kelompok kontrol, yang
mengalami underweight/ malnutrisi sebanyak 11 (73,3%) responden, yang
mengalami overweight atau kelebihan gizi sebanyak 1 (6,7%) responden dan
yang normal sebanyak 3 (20%). Hasil uji Wicolxon di dapatkan p value 0.564
dengan nilai α = 0.05 (p < α), hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan IMT yang bermakna sebelum dan sesudah diberikan skrining
disfagia pasien gangguan sistem persarafan pada kelompok kontrol selama 6
hari perawatan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Berdasarkan teori yang diungkapkan Nurparida, (2009) dalam
jurnalnya bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi di Rumah
Sakit adalah koordinasi yang kurang antar tim dan tenaga kesehatan, dimana
monitoring, pencatatan berat badan dan tinggi badan yang tidak
dilaksanakan, penyimpangan tanggung jawab petugas gizi dalam tata
laksana gizi, penggunaan parenteral nutrisi yang terlalu lama dan kegagalan
petugas dalam menangani asupan makanan.
Menurut Hafsteindo, dkk (2009) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa
terjadinya perburukan status nutrisi pasien neurologis dalam 6-10 hari
perawatan disebabkan karena kurangnya pengetahuan perawat terhadap

61

status nutrisi pasien dan tidak adanya pemantauan secara khusus terhadap
status nutrisi pasien gangguan persarafan serta kurangnya kerja sama antara
perawat, ahli gizi dan dokter.
Menurut asumsi peneliti, terjadinya kejadian malnutrisi selama hari
perawatan pasien gangguan sistem persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar disebabkan karena kordinasi yang kurang antar tim kesehatan,
dimana monitoring gizi, pengukuran berat badan, tinggi badan pasien baru
masuk dan yang sudah lama dirawat, jarang atau bahkan tidak pernah
dilakukan skrining disfagia sehingga banyak pasien yang masuk Rumah Sakit
dengan status nutrisi baik atau IMT normal dan beberapa hari perawatan
jatuh kekejadian malnutrisi atau mengalami penurunan IMT yang berarti
proses penyembuhan lama sehingga memperpanjang rawat inap dan biaya
rumah sakit meningkat dan berdampak pada komplikasi lain.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang dikemukakan para ahli.
Peneliti menyimpulkan bahwa skrining disfagia, penilaian antropometri gizi
dan dukungan nutrisi sangat penting dilakukan pada pasien gangguan
persarafan untuk meningkatkan kualitas hidup, menurunkan angka kematian
dan mempercepat penyembuhan yang berarti mengurangi biaya Rumah
Sakit secara bermakna pasien gangguan persarafan di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar dan yang ideal, pemberian nutrisi kepada pasien di
Rumah Sakit baik secara enteral maupun parenteral seharusnya disupervisi
oleh suatu tim gizi, kerja sama antara tim gizi dan tenaga kesehatan
sangatlah penting dengan tujuan untuk memudahkan pelaksanaan nutrisi
klinik bagi para staf dibangsal perawatan. Dengan menggunakan pendekatan
multi-disipliner ini, keadaan pasien dapat terus dimonitor dan dibahas
diantara para anggota tim yang dapat menggunakan keahlian masing-masing
untuk memberikan dukungan nutrisi yang optimal kepada pasien.

62

2. Indeks Massa Tubuh Pasien Gangguan Persarafan Sebelum dan Sesudah
Diberikan Intervensi Skrining Disfagia Pada Kelompok Intervensi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 15 orang
pasien gangguan sistem persarafan yang telah dilakukan skrining disfagia
dengan lama perawatan selama 6 hari di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar, diperoleh data hasil IMT responden sebelum diberikan intervensi
skrining disfagia selama 6 hari perawatan pada kelompok intervensi yaitu
yang mengalami Underweight sebanyak 13 (86,7%) responden dan yang
normal sebanyak 2 (13,3%) responden sedangkan hasil skrining disfagia
responden sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi, yang
mengalami Underweight 4 (26,7%) responden dan yang normal 11 (73,3%)
responden. Hasil uji Wicolxon didapatkan p value 0.003 dengan nilai α = 0.05
(p < α), hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan resiko kejadian malnutrisi
yang bermakna sebelum diberikan intervensi skrining disfagia dan sesudah
diberikan intervensi skrining disfagia selama 6 hari perawatan pasien
gangguan persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Perubahan status nutrisi pasien gangguan sistem persarafan di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, dari 15 responden yang dijelaskan
diatas ada 11 responden yang berhasil melakukan intervensi skrining disfagia
dengan baik, dimana ada 9 responden yang saat masuk Rumah Sakit
mengalami status nutrisi buruk atau malnutrisi dan setelah 6 hari perawatan
terjadi perubahan status nutrisi baik atau IMT-nya normal dan 2 responden
lain yang masuk dengan status nutrisi baik atau IMT-nya normal dan setelah
6 hari perawatan tetap mengalami status nutrisi baik atau IMT-nya normal
tapi ada perubahan skoring pada formulir penilaian antropometri gizi.
Menurut Emanuel (2014), dalam teorinya mengatakan bahwa semua
pasien harus diskrining saat masuk ke rumah sakit. Tujuannya adalah untuk
mengelompokkan pasien dalam kelompok-kelompok yang memiliki resiko
nutrisi dan kemudian menentukan pasien mana yang harus dirujuk untuk

63

dilakukan penilaian dan dukungan nutrisi lebih lanjut, yang dapat ditangani
dengan menggunakan rencana nutrisi sebagai bagian dari perawatan biasa
atau perawatan rumah yang rutin, dan yang tidak memiliki resiko malnutrisi,
namun mungkin memerlukan skrining ulang pada interval waktu yang sedikit.
Resiko malnutrisi dan malnutrisi tidak akan terjadi jika nutrisi adekuat
diperoleh oleh pasien selama dalam masa perawatan (Julius, dkk. 2013).
Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk
fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan.
Nutrisi didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh
tubuh. Bukti-bukti medis menunjukkan bahwa akar dari banyak penyakit
kronis adalah stres oksidatif yang disebabkan oleh berlebihnya radikal bebas
didalam tubuh. Penggunaan nutrisi dalam level yang optimal, dikenal dengan
Optimal Daily Allowance (ODA), terbukti dapat mencegah dan menangani
stress oksidatif sehingga membantu pencegahan penyakit kronis. Level
optimal ini dapat dicapai bila jumlah dan komposisi nutrisi yang digunakan
tepat. Dalam penanganan penyakit, penggunaan nutrisi sebagai pengobatan
komplementer dapat membantu efektifitas dari pengobatan dan pada saat
yang bersamaan mengatasi efek samping dari pengobatan. Karena itu,
nutrisi/gizi sangat erat kaitannya dengan kesehatan yang optimal dan
peningkatan kualitas hidup, tapi ketika nutrisi/gizi kurang dari kebutuhan
tubuh atau malnutrisi maka akan menyebabkan terjadinya masalah
kesehatan (Krisnansari, 2010).
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chamimah
(2011), di Rumah Sakit Tugurejo Semarang mengenai gambaran perubahan
berat badan pasien rawat inap, dimana dari 57 pasien yang berpatisipasi
dalam penelitian ini, pasien laki2 sebanyak 27 (47,4%) pasien dan pasien
perempuan sebanyak 30 (52,6%) pasien dan rata-rata pasien dengan
kategori diagnosis penyakit infeksi. Diperoleh data berat badan sampel saat
awal masuk Rumah Sakit berada pada range 33-49 kg (36,8%) pasien, dan

64

setelah 6 hari perawatan terjadi perubahan berat badan berada pada range
48-63 kg (38,6%) pasien. Perubahan berat badan pasien di Rumah Sakit
Tugurejo Semarang disebabkan karena adanya kerja sama antara tim gizi
dan tenaga kesehatan lainnya, dimana dilakukan pengukuran awal saat
pasien masuk Rumah Sakit dan perawat selalu memonitoring keadaan gizi
pasien saat dirawat.
Menurut asumsi peneliti, terjadi perubahan status nutrisi pada pasien
gangguan sistem persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar seperti
yang dijelaskan diatas, karena dilakukannya skrining disfagia dan penilaian
nutrisi pada pasien gangguan sistem persarafan dimana dilakukan
pengukuran awal saat pasien masuk rumah sakit menggunakan GUSS
(Gugging Swallowing Screen) dan penilaian antropometri gizi, kemudian
diberi intervensi skrining disfagia berupa pemberian makanan lewat NGT
atau diet disfagia (pure atau makanan lunak) yang sudah ditetapkan oleh
dokter gizi dan ahli gizi lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keadaan
pasien kemudian diukur kembali menggunakan penilaian antropometri gizi
setelah 6 hari perawatan. Dari 11 pasien yang mengalami perubahan status
nutrisi, ada 9 pasien/ responden yang saat masuk Rumah Sakit memiliki
status malnutrisi/ gizi buruk yang berakibat pada underweight atau IMT
menurun dan setelah 6 hari perawatan, status nutrisinya baik atau IMT-nya
normal, dan 2 responden lainnya lainnya masuk dengan status nutrisi baik
atau IMT-nya normal dan setelah 6 hari perawatan status nutrisinya tetap
stabil tetapi terdapat perubahan pada skoring/ penilaian antropometri gizi
dimana mengalami peningkatan dari sebelumnya. Menurut asumsi peneliti,
status nutrisi kurang / malnutrisi akan berubah menjadi status nutrisi yang
baik jika pemberian intervensi gizi terus diberikan kepada pasien gangguan
persarafan selama pasien di rawat di Rumah Sakit sehingga proses
penyembuhan cepat dan biaya rawat inap di rumah sakit berkurang.

65

Menurut Yuwono (2013), resiko malnutrisi hingga kejadian malnutrisi
dapat dicegah jika perawat melakukan asuhan keperawatan secara holistik.
Salah satu tindakan keperawatan yang dapat mencegah kejadian malnutrisi
adalah melakukan pengkajian gizi/skrining malnutrisi sehingga menghasilkan
ketetapan dalam intervensi gizi pada pasien selama di rawat di Rumah Sakit.
Hal ini juga diungkapkan oleh Hafsteinsdo, dkk (2009) dalam jurnalnya
mengatakan bahwa komunikasi antar displin ilmu sangat diperlukan untuk
memberikan asuhan yang terbaik bagi pasien. Sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan, dietisien harus berkolaborasi dengan dokter, perawat,
farmasi dan tenaga kesehatan lainnya yang terkait dalam memberikan
pelayanan asuhan gizi. Oleh karena itu perlu mengetahui peranan masing-
masing tenaga kesehatan tersebut dalam memberikan pelayanan. Menurut
teori yang dijelaskan Yuwono (2013), ada beberapa peranan yang dilakukan
masing-masing tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan:
a. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
Bertanggung jawab dalam aspek gizi yang terkait dengan keadaan klinis
pasien
1) Menentukan preksripsi diet awal (order diet awal)
2) Bersama dietisien menetapkan preskripsi diet definitive
3) Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai peranan
terapi gizi
4) Merujuk klien/pasien yang membutuhkan asuhan gizi atau konseling gizi
5) Melakukan pemantauan dan evaluasi terkait masalah gizi secara
berkala bersama dietisien, perawat dan tenaga kesehatan lain selama
klien/pasien dalam masa perawatan.
b. Perawat
1) Melakukan skrining gizi pasien pada assesment awal perawatan
2) Merujuk pasien yang berisiko maupun sudah terjadi malnutrisi atau
kondisi khusus ke dietisien.

66

3) Melakukan pengukuran antropometri yaitu penimbangan berat badan,
tinggi badan/panjang badan secara berkala.
4) Melakukan pemantauan, mencatat asupan makanan dan respon klinis
klien/pasien terhadap diet yang diberikan dan menyampaikan informasi
kepada dietisien bila terjadi perubahan kondisi pasien.
5) Memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga terkait pemberian
makanan melalui oral/enteral dan parenteral.
c. Dietisien
1) Mengkaji hasil skrining gizi perawat dan order diet awal dari dokter
2) Melakukan assessment/pengkajian gizi lanjut pada pasien yang berisiko
malnutrisi atau kondisi khusus meliputi pengumpulan, analisa dan
interpretasi data riwayat gizi, riwayat personal, pengukuran
antropometri, hasil laboratorium dan hasil pemeriksaan fisik terkait gizi.
3) Mengidentifikasi masalah/diagnosa gizi berdasarkan hasil assessment
dan menetapkan prioritas diagnosis gizi.
4) Merancang intervensi gizi dengan menetapkan tujuan dan preskripsi
diet yang lebih terperinci untuk penetapan diet definitive serta
merencanakan edukasi/konseling.
5) Koordinasi dengan dokter, perawat, farmasi dan tenaga lain dalam
pelaksanaan intervensi gizi.
6) Melakukan monitoring respon pasien terhadap intervensi gizi
7) Melakukan evaluasi proses maupun dampak asuhan gizi
8) Memberikan penyuluhan, motivasi dan konseling gizi pada klien dan
keluarga
9) Mencatat dan melaporkan hasil asuhan gizi kepada dokter
10) Melakukan assessment gizi ulang (reassessment) apabila tujuan
belum tercapai
d. Farmasi

67

1) Mempersiapkan obat dan zat gizi terkait seperti vitamin, mineral,
elektrolit dan nutrisi parenteral
2) Menentukan kompabilitas zat gizi yang diberikan kepada pasien
3) Membantu mengawasi dan mengevaluasi penggunaan obat dan cairan
parenteral oleh klien/pasien bersama perawat.
4) Berkolaborasi dengan dietisien dalam pemantauan interaksi obat dan
makanan.
5) Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai interaksi
obat dan makanan.
Berdasarkan hasil peneltian di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
dan teori yang dijelaskan para ahli diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
pelayanan asuhan gizi pada pasien gangguan neurologis sangat penting
dilakukan dengan dilakukannya skrining disfagia pada pasien baru masuk
dengan menggunakan instrument GUSS (Gugging Swallowing Screen) dan
penilaian antropometri gizi sehingga menghasilkan ketetapan dalam
intervensi gizi dan mencegah terjadinya malnutrisi di Rumah Sakit. Peneliti
juga menyimpulkan bahwa peran tenaga kesehatan sangat penting dalam
meningkatkan status gizi pasien gangguan persarafan dan tenaga kesehatan
khususnya perawat harus mampu berkolabarasi dengan dokter atau tim gizi
karena yang bertanggung jawab dalam pengukuran awal pasien baru masuk
adalah perawat, dimana terwujud dalam pengkajian nutrisi sebagai bagian
dari pengkajian yang holistik yang digunakan di Rumah Sakit sebagai
langkah awal dalam melakukan asuhan keperawatan.

68

3. Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pada Kelompok Kontrol
dan Kelompok Intervensi
Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney yang dilakukan terhadap kedua
kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan nilai p =
0.027 (p < 0,05), hal ini menunjukkan ada perbedaan rerata IMT pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah pemberian intervensi
skrining disfagia pasien gangguan persarafan di Rumah sakit Labuang Baji
Makassar.
Menurut Indrawaty, dkk (2006) Resiko kejadian malnutrisi hingga
kejadian malnutrisi tidak tergantung pada keadaan waktu masuk rumah sakit.
Malnutrisi yang terjadi pada pasien di Rumah Sakit adalah hal yang dapat
dihindari dan ditanggulangi dengan pemberian dukungan nutrisi optimal dan
tepat bagi pasien. Keadaan gizi pasien yang dirawat inap merupakan faktor
penting dalam penatalaksanaan pengobatan di Rumah Sakit dan pemenuhan
kebutuhan zat gizi yang baik mempunyai peranan penting dalam proses
penyembuhan dan memperpendek masa rawat inap pasien di Rumah Sakit
(Krisnansari, 2010).
Menurut Yuwono (2013), resiko malnutrisi hingga kejadian malnutrisi
dapat dicegah jika perawat melakukan asuhan keperawatan secara holistik.
Salah satu tindakan keperawatan yang dapat mencegah kejadian malnutrisi
adalah melakukan pengkajian gangguan menelan/ skrining disfagia.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chamimah (2011) di
Rumah Sakit Tugerejo Semarang, dimana ada perbedaan rerata berat badan
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 6 hari perawatan,
dengan nilai p = 0.021.
Menurut asumsi peneliti, terjadinya perbedaan rerata IMT pasien
gangguan sistem persarafan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol disebabkan karena pada kelompok
intervensi diberikan intervensi gizi oleh tim gizi sesuai dengan hasil skrining

69

disfagia dan penilaian antropometri yang dilakukan oleh perawat sehingga
pada hari pertama perawatan segera dilakukan pemasangan NGT atau
memberikan diet disfagia pure atau makanan lunak sedangkan pada
kelompok kontrol hasil skrining disfagia tidak dibawa keinstalasi gizi dan
pemberian intervensi gizi tetap sesuai dengan kebiasaan Rumah Sakit.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang dikemukakan para ahli
diatas, peneliti menyimpulkan bahwa skrining disfagia menggunakan GUSS
(Gugging Swallowing Screen) sangat penting dilakukan pada pasien baru
masuk atau yang sudah dirawat 1-2 hari di Rumah Sakit khususnya pasien
gangguan persarafan untuk mengkaji atau mendeteksi gangguan menelan
secara dini pada fase oral atau bagi mereka yang memiliki retensi faringeal
untuk mengunyah makanan padat serta menentukan tingkat keparahan
disfagia dengan mengevaluasi nutrisi cairan dan non cairan dimulai dari
tekstur noncairan; suatu metode cepat dan reliabel untuk mengidentifikasi
pasien stroke dengan disfagia dan risiko aspirasi dengan tujuan mengurangi
risiko aspirasi seminimal mungkin, mengakses tingkatan keparahan disfagia
dan risiko aspirasi, merekomendasikan diet yang sesuai sehingga cepat
diatasi masalah nutrisinya entah melalui pemberian nutrisi melalui NGT atau
diet disfagia (pure atau makanan lunak) agar pemberian nutrisi yang optimal
dan tepat diterima oleh pasien karena pemenuhan kebutuhan zat gizi yang
baik mempunyai peranan penting dalam proses penyembuhan, mencegah
komplikasi dan memperpendek masa rawat inap pasien di Rumah Sakit dan
kerja sama antar tim gizi dan tenaga kesehatan yang lainnya sangat penting
untuk memberikan dukungan nutrisi yang optimal kepada pasien.
.

70

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 30 responden
pada tanggal 22 Februari 2016 sampai tanggal 22 Maret 2016 di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tidak ada perbedaan IMT yang bermakna sebelum dan sesudah diberikan
skrining disfagia pasien gangguan sistem persarafan pada kelompok
kontrol di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar dengan nilai p = 0.564.
2. Ada perbedaan IMT yang bermakna sebelum dan sesudah d iberikan
skrining disfagia pasien gangguan sistem persarafan pada kelompok
intervensi di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar dengan nilai p = 0.003.
3. Ada perbedaan rerata IMT pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol setelah pemberian intervensi skrining disfagia yang dibuktikan
dengan nilai p pada uji Mann-Whitney yaitu = 0.027.

B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka peneliti
dapat memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Keluarga Pasien
Diharapkan kepada keluarga pasien gangguan sistem persarafan
yang mempunyai pasien dengan riwayat stroke yang dirawat dirumah
untuk memperhatikan status nutrisi pasien karena nutrisi sangat penting
untuk pemulihan kesehatan pasien dan meningkatkan kualitas hidup
pasien, terutama saat pasien pulang dari Rumah Sakit
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan bagi perawat, tim/ahli gizi dan tenaga kesehatan lain
untuk bekerjasama dalam memonitoring status gizi pasien gangguan

71

sistem persarafan, baik pasien baru masuk maupun pasien yang sudah
lama dirawat dan perawat harus mampu melakukan skrining disfagia dan
penilaian antropometri gizi pasien yang baru masuk untuk
mengidentifikasi pasien yang mempunyai resiko masalah gizi dan
diulang secara periodik untuk menghasilkan ketetapan dalam
pemasangan NGT atau asupan nutrisi per oral agar kebutuhan nutrisinya
terpenuhi sehingga dapat mencegah malnutrisi di Rumah Sakit dan
mempercepat proses penyembuhan.
3. Bagi Pihak Rumah Sakit
Diharapkan bagi pihak Rumah Sakit untuk meningkatkan kualitas
dan kinerja perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal
pemenuhan nutrisi bagi pasien gangguan persarafan dengan melakukan
skrining disfagia di mana Skrining disfagia sangat penting dilakukan
pada pasien gangguan persarafan yang baru masuk rumah sakit dengan
menggunakan GUSS (Gugging Swallowing Screen) dan penilaian
antropometri gizi untuk mengelompokkan pasien dalam kelompok -
kelompok yang memiliki resiko nutrisi dan kemudian menentukan pasien
mana yang harus dirujuk untuk dilakukan penilaian dan dukungan nutrisi
lebih lanjut, yang dapat ditangani dengan menggunakan rencana nutrisi
sebagai bagian dari perawatan biasa atau perawatan rumah yang rutin,
dan yang tidak memiliki resiko malnutrisi, namun mungkin memerlukan
skrining ulang pada interval waktu yang sedikit dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup, menurunkan angka kematian,
mempercepat penyembuhan, memperpendek lama hari rawat inap dan
mencegah komplikasi pasien gangguan sistem persarafan di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar dan kerja sama antar tim gizi dan tenaga
kesehatan lainnya sangatlah penting agar keadaan pasien dapat terus
dimonitor dan pemberian nutrisi yang optimal kepada pasien dapat
terlaksana dengan baik.

72

4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya menjadikan skripsi ini
sebagai acuan untuk penelitian kedepannya terutama mengenai skrining
disfagia dengan menggunakan parameter GUSS (Gugging Swallowing
Screen) dan penilaian antropometri gizi terhadap pencegahan resiko
malnutrisi dan malnutrisi pada pasien gangguan persarafan di Rumah
Sakit.

DAFTAR PUSTAKA
Barker L., Gout B.S., Crowe T.C. (2011). Hospital Malnutrition: Prevalence,
Identification and Impact on Patients and the Healthcare System.
International Journal of Environmental Research and Public Health ;
diunduh dari http://www.mdpi.com/journal/ijerph.

Blackwell, Z., P, Littlejohns. A Review of the Management of Dysphagia: A
South African Perspective. International journal; vol.42, No. 2, April
(2010)

Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL.
(2002). Dysphagia. Dalam Harrison’s Manual of Medicine 15
th
Edition.
India: McGraw-Hill International.

Chamimah, N. (2011). Description of Changes in Weight Inpatients in Wards In
Hospital Tugurejo Semarang (Thesis) http://digilib.unimus.ac.id Diakses
tanggal 2 oktober 2014.
Cichero, J., Wiley, J., Sons. (2006). Dysphagia: foundation, theory, and
practice. England.

Crary, MA, Mann, GD, Miller, L., Antonius, N., Silliman, S. (2006). Disfagia dan
Status Gizi pada saat Rumah Sakit Penerimaan untuk Stroke iskemik.
Jurnal Stroke dan Penyakit serebrovaskular Vol 15, No.4, p.164 – 171

Dahlan,S.M. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika

G, Norton J. (2012). Difficulty Swallowing: Merck Manual Home Health
Handbook. Http: //www.klik dokter.com/medisaz (diakses 13 september
2011)

Ginsberg, L. (2007). Lecture Notes: Neurology. Edisi ke delapan. Jakarta:
Erlangga

Goyal, RK. (2001). Alteration in Gastrointestinal Function : Dysphagia. Dalam
Harrison’s Principles of Internal Medicine 15
th
Edition. Editor: Braunwald,
E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA:
McGraw-Hill International.

Hafsteinsdottir, T.B. M.M. (2010). Malnutrition In Hospitalised Neurological
Patients Approximately doubles in 10 days of hospitalization
Kamal, R.M, Ward,E., Cornwel, P. (2010). Dysphagia Management Practices
Among Speech-Language Pathologists in Malaysia. International journal
of Environmental Research and Public Health ; diunduh dari
http://www.uq282492-OA.com/journal/ijerph. 2015

Kemenkes RI, (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gisi. Http: //www. Hariyadi.blogspot.co.id (diakses 11 Januari
2013)
Lipoeto, N.I., N.Megasari, dan A.E.Putra. (2006). Malnutrisi dan Asupan Kalori
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Majalah Kedokteran Indonesia, vol.
56 No.11, hal: 3.

Nurparida,S.I.,D,Marhaeni.,N,Arisanti. (2011). Peran Tim Terapi Gizi (Ttg)
Dalam Mengatasi Malnutrisi Pasien Selama Dirawat Di Rumah Sakit :
Suatu Kajian Literatur; diunduh dari http: //www.jurnal malnutrisi.com.
2015
Paik NJ. Dysphagia. [article on the internet]. Emedicine, (2008). [updated 2008
june 25]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/324096-
overview

Santosa, I.Y., dkk. (2010). Gambaran Fiberoptic Endoscopic Examination Of
Swallowing (Fees) Pada Penderita Dengan Disfagia Orofaringeal.
Diunduh dari, http: //www.jurnal kedokteran.com

Sauer, A. Hospital Malnutrition: Assessment and Intervention Methods,
(online),http://anhi.org/abbottnutritionrd/pdfs/hospital%20malnutrition.pdf;
(diakses 7 agustus 2010).

Sugiyono, (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Supariasa, I.D., Bakri, B., Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta:EGC

Syah, E. (2012). Perawatan kesulitan menelan (disfagia). (Article on the
internet). Emedicine, 2012. (updated 2012 may 23). Available from
http://emedicine.medscape.com/article/230512-overview
.
Wijayanti, A., P, Dahlan, H, Astuti. (2011). The Effect Of Disphagia To
Nutritional Status Of Stroke Patient In Ward Room Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta. (Publication Script)

Yuwono, S.R. (2013). Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Bina
Husada.

Lampiran 1

JADWAL KEGIATAN
No Kegiatan November Desember Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 Pengajuan judul
2 ACC judul
3 Menyusun proposal
4 Ujian proposal
5 Perbaikan proposal
6 Pelaksanaan penelitian
7 Pengelolaan dan analisa data
8 Menyusun laporan hasil penelitian
9 Ujian hasil
10 Perbaikan skripsi
11 Pengumpulan

Lampiran 5
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth.
Saudara (i) Calon Responden
Di
Tempat
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama:Brigita Febriany
Fransiska Yulia Riandi
Alamat: Makassar
Adalah mahasiswi STIK Stella Maris Makassar bermaksud akan
mengadakanpenelitian mengenai “DampakSkriningDisfagiaTerhadap
Status NutrisiPasien Gangguan Sistem Persarafan Di Rumah Sakit
Labuang BajiMakassar”. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan
dalam menyelesaikan tugas akhir Program Studi S1 Keperawatan di STIK
Stella Maris Makassar.
Untuk keperluan tersebut, kami meminta kesediaan saudara (i)
untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Identitas pribadidan semua
informasi yang saudara (i)berikan akan dirahasiakan dan ini akan
digunakan untuk keperluan penelitian. Apabila saudara (i)setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, maka kami mohon kesediaan saudara
(i)untuk menandatangani lembaran pernyataan sebagai responden dalam
penelitian ini. (Lembar terlampir)
Atas perhatian dan kesediaan saudari, kami ucapkan terima kasih.
Makassar,Februari 2016
Peneliti

Lampiran 6
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Judul penelitian:Dampak Skrining DisfagiaterhadapStatus Nutrisi
Pasien Gangguan Sistem Persarafan di Rumah Sakit
Labuang BajiMakassar.
Nama peneliti: Brigita Febriany (C. 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi (C. 12 14201 074)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama (inisial) :
Umur :
Jenis Kelamin :
Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan dari peneliti
tentang tujuan dari penelitian, bersedia secara sukarela dan tanpa
paksaan dari siapapun untuk berperan serta dalam penelitian yang
berjudul “DampakSkriningDisfagiaTerhadapStatus NutrisiPasien
Gangguan Sistem Persarafan di Rumah SakitLabuang BajiMakassar”,
yang dilaksanakan olehBrigita Febriany dan Fransiska Yulia Riandi
mahasiswa S1 Keperawatan STIK Stella Maris Makassar.
Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak membahayakan fisik
maupunjiwa saya dan jawaban yang saya berikan terjamin
kerahasiaannya serta berguna untuk pengembangan ilmu keperawatan.
Makassar, Februari2016
Tanda Tangan Responden

Lampiran 7
GUSS
(GUGGING SWALLOWING SCREEN )
Pasien
Tanggal :
Waktu :
Peneliti :
1.Preliminary Investigation / Indirect Swallowing Test (Test
Menelan Tidak Langsung)
Ya Tidak
Vigilance (Kewaspadaan)
(Pasien Sadar Minimal 15
menit)
1 0
Batuk dan atauBerdehem
(batuk yang disengaja atau
pasien berdehem dua kali)
1 0
Menelan Air Ludah
Menelan dengan baik
Ngiler
Perubahan suara
(serak, lemah)
1
0
0
0
1
1
TOTAL 5

Lampiran 7
2.Direct Swallowing Test (Test Menelan Langsung)
(material: Aqua,sendok teh, pengental makanan, roti kering)
In the following order
(dalam urutan sebagai
berikut):
1 2 3
Semisolid
(Setengah
Padat)*
Liquid (Cair)**Solid
(Padat)
***
Deglutition (Proses
Menelan):
Tidak dapat
menelan
Menelan tertunda(>
2 detik, bahan padat
> 10 detik)
Menelan dengan
baik
0
1
2
0
1
2
0
1
2
Batuk (tidak disengaja):
(sebelum, selama,
setelah sampai 3 menit
kemudian).
Ya
Tidak
0
1
0
1
0
1

Lampiran 7
Drooling (Ngiler):
Ya
Tidak
0
1
0
1
0
1
Perubahan Suara(suara
diperhatikan sebelum
dan sesudah menelan,
kata “oh”):
Ya
Tidak
0
1
0
1
0
1
TOTAL 5 5 5

Lampiran 7
GUSS
(Gugging Swallowing Screen)
Petunjuk Test Menelan Langsung
* Pertama berikan
1
/3–
1
/2sendok teh air aqua dicampur
dengan pengental makanan (konsistensi menjadi seperti
pudding). Bila tidak ada gejala dilanjutkan 3-5 sendok teh.
Assesment dibuat setelah 5 sendok teh penuh
** Subtest menelan cairan diawali dengan 3 ml aqua, jika
menelanberhasil dilanjutkan dengan peningkatan volume 5,
10 dan 20 ml aqua sampai 50 ml. (Daniels et al, 2000;
Gottlieb et al, 1996). Dibuat asesment dan pemeriksaan
dihentikan jika ditemukan salah satu kriteria pada subtest.
*** Klinis : roti kering; FEES: rotikering yang dilarutkan pada
cairan berwarna. Pemeriksaan penunjang fungsional seperti
Videofluoroscopic Evaluation Of Swallowing (VFES),
Fiberoptic Endoscopic Evaluation Of Swallowing (FEES).
Kesimpulan dan Interpretasi
Sum / total test menelan tidaklangsung (5)
Sum / total test menelan langsung (15)
Total (20)

Lampiran 7
Jumlah Kriteria
keparahan
disfagia
Rekomendasi
20 Semipadat / cair dan
tekstur padat ditelan
dengan baik
Tidak ada
disfagia /
disfagia ringan
resiko aspirasi
minimal
Diet normal
Cairan reguler
Pertama kali
dibawah
supervisi terapis
dan perawat
stroke yang ahli.
15-
19
Tekstur padat dan
cair ditelan dengan
baik dan tekstur
padat gagal
Disfagia ringan
dengan resiko
rendah terjadi
aspirasi
Diet disfagia
(pure / makanan
lunak)
Teksturcairan
diberikan
dengan pelan,
sesekali waktu
Perlu
pemeriksaan
lebih lanjut:
FEES, VFES
Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
10-
14
Tekstur semipadat
ditelan dengan baik
dan tekstur cair
gagal
Disfagia
moderat
dengan resiko
aspirasi
Diet disfagia dimulai
dengan:
Tekstur
semipadat
seperti
makanan bayi

Lampiran 7
dan tambahan
nutrisi
parenteral
Semua tekstur
cairan harus
disemipadatkan
Obat tablet
harus
dihaluskan dan
dicampur
dengan cairan
kental
Tanpa medikasi
cairan per os
Pemeriksaan
lebih lanjut
untuk asesment
menelan (FEES,
VFES)
Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
(Suplementasi dengan
selang nasogastrik /
NGT atau Parenteral)
0-9Test bagian pertama
gagal atau tekstur
semipadat gagal
Disfagia berat
dengan resiko
tinggi aspirasi
NPO (Non Per
Os/ tidak ada
nutrisi melalui
mulut)
Pemeriksaan

Lampiran 7
lebih lanjut
(FEES, VFES)
Rujuk ke terapis
bahasa dan
bicara
(suplementasi dengan
selang nasogastrik /
NGT atau Parenteral)

BB TB IMT PRE KRITERIA KODE BB TB IMT POST KRITERIA KODE
1 INTERVENSI 1 Ny. E 57 3 P 1 NHS 1 38 152 16.4 UNDERWEIGHT 1 42 152 18.2 UNDERWEIGHT 1
2 INTERVENSI 1 Ny. S 53 2 P 1 TRAUMA KEPALA 3 40 154 17 UNDERWEIGHT 1 44 154 18.6 NORMAL 2
3 INTERVENSI 1 Tn. H 70 4 L 2 HS 2 40 154 16.9 UNDERWEIGHT 1 42 154 17.7 UNDERWEIGHT 1
4 INTERVENSI 1 Ny. E 66 4 P 1 NHS 1 40 150 17.8 UNDERWEIGHT 1 43 150 19.1 NORMAL 2
5 INTERVENSI 1 Ny. N 53 2 P 1 NHS 1 42 155 17.5 UNDERWEIGHT 1 45 155 18.7 NORMAL 2
6 INTERVENSI 1 Ny. S 64 4 P 1 NHS 1 39 149 17.6 UNDERWEIGHT 1 42 149 18.9 NORMAL 2
7 INTERVENSI 1 Ny. A 73 5 P 1 NHS 1 41 149 18.5 NORMAL 2 43 149 19.4 NORMAL 2
8 INTERVENSI 1 Tn. D 68 4 L 2 NHS 1 44 160 17.2 UNDERWEIGHT 1 49 160 19.1 NORMAL 2
9 INTERVENSI 1 Tn. A 62 3 L 2 NHS 1 42 158 17 UNDERWEIGHT 1 46 158 18.5 NORMAL 2
10 INTERVENSI 1 Ny. N 57 3 P 1 TRAUMA KEPALA 3 44 153 19 NORMAL 2 46 153 19.6 NORMAL 2
11 INTERVENSI 1 Ny. R 79 5 P 1 HS 2 40 155 16.7 UNDERWEIGHT 1 45 155 18.7 NORMAL 2
12 INTERVENSI 1 Ny. I 74 5 P 1 HS 2 41 156 16.9 UNDERWEIGHT 1 45 156 18.5 NORMAL 2
13 INTERVENSI 1 Ny. T 69 4 P 1 TRAUMA KEPALA 3 42 156 17.3 UNDERWEIGHT 1 46 156 19 NORMAL 2
14 INTERVENSI 1 Tn. J 71 4 L 2 HS 2 46 162 17.5 UNDERWEIGHT 1 48 162 18.3 UNDERWEIGHT 1
15 INTERVENSI 1 Ny. M 80 5 P 1 TRAUMA KEPALA 3 41 154 17.3 UNDERWEIGHT 1 43 154 18.1 UNDERWEIGHT 1
16 KONTROL 2 Ny. N 40 1 P 1 NHS 1 40 151 17.5 UNDERWEIGHT 1 42 151 18.4 UNDERWEIGHT 1
17 KONTROL 2 Ny. C 72 5 P 1 NHS 1 39 151 17.1 UNDERWEIGHT 1 41 151 17.5 UNDERWEIGHT 1
18 KONTROL 2 Tn. B 72 5 L 2 NHS 1 48 160 18.7 NORMAL 2 46 160 18 UNDERWEIGHT 1
19 KONTROL 2 Tn. R 63 3 L 2 HS 2 46 161 17.8 UNDERWEIGHT 1 47 161 18.1 UNDERWEIGHT 1
20 KONTROL 2 Ny. R 57 3 P 1 HS 2 42 150 18.7 NORMAL 2 44 150 19.5 NORMAL 2
21 KONTROL 2 Tn. I 40 1 L 2 HS 2 50 165 18.4 UNDERWEIGHT 1 48 165 17.6 UNDERWEIGHT 1
22 KONTROL 2 Ny. N 52 2 P 1 NHS 1 40 151 17.5 UNDERWEIGHT 1 43 151 18.8 NORMAL 2
23 KONTROL 2 Tn. F 70 4 L 2 TRAUMA KEPALA 3 50 170 17.3 UNDERWEIGHT 1 52 170 18 UNDERWEIGHT 1
24 KONTROL 2 Ny. S 62 3 P 1 HS 2 60 150 26.7 OVERWEIGHT 3 58 150 25.8 OVERWEIGHT 3
25 KONTROL 2 Ny. H 46 1 P 1 HS 2 42 157 17.1 UNDERWEIGHT 1 44 157 17.9 UNDERWEIGHT 1
26 KONTROL 2 Ny. I 48 2 P 1 TRAUMA KEPALA 3 41 155 17.1 UNDERWEIGHT 1 45 155 18.7 NORMAL 2
27 KONTROL 2 Ny. D 57 3 P 1 HS 2 40 152 17.3 UNDERWEIGHT 1 42 152 18.2 UNDERWEIGHT 1
28 KONTROL 2 Ny. K 60 3 P 1 TRAUMA KEPALA 3 42 156 17.3 UNDERWEIGHT 1 44 156 18.1 UNDERWEIGHT 1
29 KONTROL 2 Tn. K 66 4 L 2 NHS 1 45 164 16.8 UNDERWEIGHT 1 48 164 18 UNDERWEIGHT 1
30 KONTROL 2 Tn. S 68 4 L 2 NHS 1 50 170 17.3 UNDERWEIGHT 1 53 170 18.3 UNDERWEIGHT 1
KODE
SKRINING DISFAGIA
MASTER TABEL
NO KELOMPOK KODE INITIAL UMUR KODE JK KODE DIAGNOSA

Lampiran 9
Frequencies
Statistics
Statistics
UMUR JK DIAGNOSA KELOMPOK
N
Valid 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0
Frequencies Table
UMUR KELOMPOK RESPONDEN
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
< 48 3 10,0 10,0 10,0
< 56 4 13,3 13,3 23,3
<64 8 26,7 26,7 50,0
< 72 9 30,0 30,0 80,0
< 87 6 20,0 20,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
JENIS KELAMIN RESPONDEN
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
PEREMPUAN 20 66,7 66,7 66,7
LAKI-LAKI 10 33,3 33,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
DIAGNOSA PENYAKIT RESPONDEN
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
NHS 13 43,3 43,3 43,3
HS 10 33,3 33,3 76,7
TRAUMA KEPALA 7 23,3 23,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

KELOMPOK
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
INTERVENSI 15 50.0 50.0 50.0
KONTROL 15 50.0 50.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Frequencies
Statistics
Preklpkinterven
si
Postklpkinterve
nsi
N
Valid 15 15
Missing 0 0
Frequency Table
IMT PRE RESPONDEN KELOMPOK INTERVENSI
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
UNDERWEIGHT 13 86,7 86,7 86,7
NORMAL 2 13,3 13,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
IMT POST KELOMPOK INTERVENSI
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
UNDERWEIGHT 4 26,7 26,7 26,7
NORMAL 11 73,3 73,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
Frequencies
Statistics
PreklpkkontrolPostklpkkontrol
N
Valid 15 15
Missing 0 0

Frequency Table
IMT PRE KELOMPOK KONTROL
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
UNDERWEIGHT 12 80,0 80,0 80,0
NORMAL 2 13,3 13,3 93,3
OVERWEIGHT 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
IMT POST KELOMPOK KONTROL
Frequency PercentValid PercentCumulative
Percent
Valid
UNDERWEIGHT 11 73,3 73,3 73,3
NORMAL 3 20,0 20,0 93,3
OVERWEIGHT 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
IMT POST KELOMPOK
INTERVENSI-IMT PRE
KELOMPOK INTERVENSI
Negative Ranks 0
a
,00 ,00
Positive Ranks 9
b
5,00 45,00
Ties 6
c
Total 15
a. IMT POST KELOMPOK INTERVENSI < IMT PRE KELOMPOK INTERVENSI
b. IMT POST KELOMPOK INTERVENSI > IMT PRE KELOMPOK INTERVENSI
c. IMT POST KELOMPOK INTERVENSI = IMT PRE KELOMPOK INTERVENSI
Test Statistics
a
IMT POST
KELOMPOK
INTERVENSI-
IMT PRE
KELOMPOK
INTERVENSI
Z -3,000
b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,003
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.

Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
IMT POST KELOMPOK
KONTROL-IMT PRE
KELOMPOK KONTROL
Negative Ranks 1
a
2,00 2,00
Positive Ranks 2
b
2,00 4,00
Ties 12
c
Total 15
a. IMT POST KELOMPOK KONTROL < IMT PRE KELOMPOK KONTROL
b. IMT POST KELOMPOK KONTROL > IMT PRE KELOMPOK KONTROL
c. IMT POST KELOMPOK KONTROL = IMT PRE KELOMPOK KONTROL
Test Statistics
a
IMT POST
KELOMPOK
KONTROL-
IMT PRE
KELOMPOK
KONTROL
Z -,577
b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,564
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Mann-Whitney Test
Ranks
KELOMPOK
PENGUKURAN
N Mean Rank Sum of Ranks
PERUBAHAN IMT
KELOMPOKINTERVENSI 15 18,63 279,50
KELOMPOK KONTROL 15 12,37 185,50
Total 30
Test Statistics
a
PERUBAHAN
IMT
Mann-Whitney U 65,500
Wilcoxon W 185,500
Z -2,216
Asymp. Sig. (2-tailed) ,027
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,050
b
a. Grouping Variable:KELOMPOK
PENGUKURAN
b. Not corrected for ties.

Lampiran 10
LEMBAR KONSUL
Nama : Brigita Febriany (C 12 14201 066)
Fransiska Yulia Riandi (C 12 14201 074)
Program : Sarjana Keperawatan dan Ners
Judul Skripsi :Dampak Skrining Disfagia Terhadap Status Nutrisi Pasien
Gangguan Sistem Persarafan diRumah Sakit Labuang Baji
Makassar
Pembimbing :Fransiska Anita, Ns.,M.Kep.,Sp.KMB
NO HARI /
TANGGAL
MATERI KONSUL KETERANGAN PARAF
1 Rabu / 18
November
2015
Konsul Judul: Dampak
Skrining Disfagia Terhadap
Status Nutrisi Pasien
Gangguan Sistem
Persarafandi Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar
ACC
2 Rabu / 25
November
2015
Konsul BAB I Perbaikan
tanda
penulisan
dan titik
koma
Perbaikan
latar
belakang
dan tujuan
penelitian
3 Rabu / 02
Desember
2015
Konsul revisi BAB I Lengkapi
sumber
buku
Lanjut
BAB II
4 Selasa / 08
Desember
2015
Konsul revisi BAB I & IILengkapi
materi
tentang
malnutrisi
Lanjut
BAB III

Lampiran 10
5 Selasa / 15
Desember
2015
Konsul revisi BAB I, II, IIILanjut
BAB IV
6 Jum’at / 08
Januari
2016
Konsul revisi BAB I, II
& III.
Konsul Bab IV
Lengkapi Bab I, III &
IV
BAB II ACC
7 Senin / 11
Januari
2016
Konsul revisi Bab I, III & IVACC
8 Rabu / 13
Januari
2016
Konsul keseluruhan:
Cover, daftar isi,
lembar persetujuan,
daftar pustaka
ACC
9 Senin / 04
April 2016
Konsul Master Tabel ACC
10 Rabu / 06
April 2016
Konsul Bab V Revisi
11Jum’at / 08
April 2016
Konsul revisi Bab V RevisiBab V
(Pembahasan),
Lanjut Bab VI
12 Senin / 11
April 2016
Konsul revisi Bab V &
Konsul Bab VI
ACC Bab V &
revisi Bab VI
(saran)
13 Rabu / 13
April2016
Konsul Bab IV,revisi Bab VI
& Abstrak
Revisi Bab IV, VI
&Abstrak
14Jum’at / 15
April 2016
Konsul revisi Bab IV, VI &
abstrak
ACC Bab IV
15 Senin / 18
April 2016
Konsul Bab VI & Abstrak
16Selasa / 19
April 2016
Konsul pengajuan skripsi
utuh