63

STRATEGI PENGEMBANGAN KAMPUNG TEMATIK BERBASIS
KLASTERISASI INDUSTRI KREATIF DAN KAMPUNG WISATA

THEMATIC VILLAGE DEVELOPMENT STRATEGY BASED ON CLUSTERING
CREATIVE INDUSTRIES AND TOURISM VILLAGES

Bidang sumber daya alam dan investasi Bappeda kab Bandung
email: [email protected]

Abstract

Bandung Regency encourages the development of rural economy in Bandung Regency through the
Sabilulungan 1000 Kampung Program. So it is necessary to develop thematic village development
strategy based on the clustering of creative industries and tourism villages. Based on these
conditions, efforts are needed to identify potentials and problems currently faced. Therefore, by using
SWOT analysis method Participatory Rural Appraisal Approach (PRA) to re-explore the potential
and problems of the region based on real conditions and the results are expected to be a guide for
the community, private sector, and local government in developing shoe thematic villages in
Cangkuang Kulon Village. The results are based on eleven development strategies and four stages
of development. Phase 1: Strengthening Internal Institutions and Policy Socialization; Phase 2:
Improving The Quality of Human Resources, Innovation, and Entrepreneurship, IT Education; Stage
3: Strengthening Business Infrastructure; Stage 4: Market Expansion and Regional Image.

Keywords: Development Strategy, Thematic Village. Creative industries

Abstrak

Kabupaten Bandung mendorong pengembangan perekonomian perdesaan di Kabupaten Bandung
melalui Program Sabilulungan 1000 Kampung. Maka perlu strategi Pengembangan kampung
tematik dengan berdasarkan klasterisasi industri kreatif dan kampung wisata. Berdasarkan kondisi
tersebut, dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi potensi dan masalah yang saat ini dihadapi.
Maka dengan menggunakan metoda analisis SWOT Pendekatan Participatory Rural Appraisal
(PRA) untuk menggali kembali potensi dan permasalahan wilayah berdasarkan kondisi riil dan
hasilnya diharapkan menjadi panduan bagi masyarakat, swasta, serta pemerintah daerah dalam
mengembangkan kampung tematik sepatu di Desa Cangkuang Kulon. Hasilnya diturunan kedalam
sebelas strategi pengembangan dan empat tahapan pengembangan. Tahap 1: Penguatan
Kelembagaan Internal dan Sosialisasi Kebijakan; Tahap 2: Peningkatan Kualitas SDM, Inovasi, dan
Kewirausahaan, Pendidikan IT; Tahap 3: Pemantapan Prasarana Bisnis; Tahap 4: Perluasan Pasar
dan Citra Kawasan.

Kata kunci: Strategi Pengembangan, Kampung Tematik, Industri Kreatif.


A. PENDAHULUAN

Kabupaten Bandung adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang yang memiliki
banyak sumberdaya, baik di sektor pertanian, peternakan, pariwisata, industri, dan lain
sebagainya. Sumber daya tersebut berlokasi tersebar di berbagai desa dan kecamatan dan
tidak jarang lokasinya berdekatan satu sama lain. Karenanya Pemerintah Kabupaten
Bandung menangkap potensi tersebut kedalam program Sabululungan 1000 Kampung.

64

Pembangunan Sabilulungan Bandung 1000 Kampung berangkat dari keinginan untuk
memperkuat pembangunan dari desa (bottom up planning), harapannya desa yang kuat akan
menjadi pilar untuk pembangunan negara yang kuat. Pengembangan 1000 kampung ini
sejalan dengan arah kebijakan dalam RPJMD Kabupaten Bandung 2016-2021 yang
menyebutkan bahwa pada tahun 2019 ini, Tema Pembangunan Kabupaten Bandung adalah
“Peningkatan Kemandirian dan Daya Saing Melalui Sabilulungan Bandung 1000 Kampung
yang Terintegrasi dan Berbasis Kinerja”. Tema pembangunan ini tertuang dalam mendukung
prioritas pembangunan dan inovasi pembangunan di 2019 sehingga pembangunan
Kabupaten Bandung tahun 2019 akan terintegrasi dengan baik.
Salah satu kampung tematik yang berpotensi untuk di kembangkan di Kabupaten
Bandung adalah Kampung Sepatu di Desa Cangkuang Kulon Kecamatan Dayeukolot
Kabupaten Bandung. Desa Cangkuang Kulon berbagai memiliki potensi industri sepatu yang
berkembang dengan hadirnya ratusan pelaku industi sepatu. Desa ini merupakan salah satu
dari 8 kelurahan/desa yang menjadi bagian dari Sentra Sepatu Cibaduyut. Sentra sepatu
Cibaduyut sejak tahun 1920 dikenal sebagai pusat industri sepatu di Indonesia. Produk
industri Cibaduyut yang utama adalah sepatu kulit yang dibuat handmade oleh pengusaha
lokal. Keunggulan dari produk sepatu Cibaduyut antara lain karena tingginya kreatifitas dan
kualitas bahan yang digunakan sehingga terkesan unik dan awet. Industri sepatu Cibaduyut
memanfaatkan tenaga kerja lokal yang telah menekuni bisnis sepatu secara turun temurun.
Industri sepatu/alas kaki merupakan salah satu industri andalan di Indonesia.
Karakteristik industri alas kaki di yang relatif padat karya mendorong penggunaan tenaga
kerja yang besar di sektor ini. Namun, keberjalanan kegiatan industri sepatu khususnya di
Desa Cangkuang Kulon ini belum maksimal keberjalanannya dikarenakan pengembangan
industri yang masih bersifat parsial antar aktor. Belum ada integrasi pengembangan dalam
satu kesatuan kawasan. Karenanya diperlukan intervensi pemerintah guna mendorong
tercapainya tujuan pembangunan kampung tematik yang diharapkan.
Partisipasi masyarakat dalam keberjalanan program 1000 kampung di Kampung Sepatu
Cangkuang Kulon masih menjadi kendala yang menghambat keberjalanan Program
Sabilalulungan 1000 Kampung. Para pelaku industri masing-masing bergerak secara
individualis, mengakibatkan belum terciptanya kohesi sosial yang kuat untuk mewujudkan
Kampung Tematik yang diharapkan. Maka pendekatan berbasis masyarakat menjadi cara
agar masyarakat lebih dapat terlibat dan sehingga penduduk lokal dapat berpartisipasi aktif
dalam menentukan arah pengembangan kampungnya sendiri. Masyarakat didorong untuk
tidak hanya menjadi objek tetapi juga dipandang sebagai subjek pembangunan. Metode
Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan
merupakan pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama
menganalisis permasalahan diwilayahnya dalam rangka merumuskan perencanaan dan
kebijakan secara nyata. Metode dan pendekatan ini banyak dipakai sebagai landasan
pembangunan di negara-negara berkembang. Dalam paradigma pembangunan
berkelanjutan, manusia ditempatkan sebagai inti dalam proses pembangunan. Manusia
dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai penonton tetapi mereka harus secara aktif
ikut serta dalam perencanaa, pelaksanaan, pengawasan dan menikmati hasil pembangunan.
Metode dan pendekatan yang tampaknya sesuai dengan tuntutan paradigma itu adalah
metode dan pendekatan yang partisipatif.
Disisi lain bagi pemerintah terdapat kesulitan dalam menentukan bentuk program dan
kegiatan yang tepat dikarenakan informasi lapangan mengenai kondisi nyata kegiatan
ekonomi masyarakat di Kampung Sepatu belum optimal didapatkan, sehingga pemerintah
kurang memiliki gambaran intervensi yang perlu dan tepat untuk diberikan. Hal ini yang

65

akan mempegaruhi keberhasilan dan ketepatgunaan program yang dijalankan. Berdasarkan
alasan tersebut, maka perlu dilakukan kajian Pengembangan Kampung Sepatu Desa
Cangkuang Kulon Kecamatan Dayeuhkolot dengan Pendekatan Participatory Rural
Appraisal (PRA) untuk menggali kembali potensi dan permasalahan wilayah berdasarkan
kondisi riil dan hasilnya diharapkan menjadi panduan bagi masyarakat, swasta, serta
pemerintah daerah dalam mengembangkan kampung tematik sepatu di Desa Cangkuang
Kulon sehingga program-program dan kegiatan yang dilaksanakan dapat lebih berdaya guna
dan tepat sasaran dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

B. METODE PENELITIAN

Bhandari (2003) menyebutkan terdapat 7 jenis teknik utama yang dapat dilakukan,
didalam melakukan PRA yaitu reviu data sekuner, observasi langsung, wawancara semi
terstruktur, pemetaan sosial, dan pemetaan sosial, pencatatan alur sejarah, diagram venn,
dan Focus Group Discussion (FGD). Dalam penelitian PRA di Kampung Sepatu Desa
Cangkuang Kulon Kecamatan Dayeuhkolot, tidak seluruh metolodologi pengumpulan data
tersebut dipergunakan. Metode-metode yang digunakan dalam kajian ini antara lain:
1. Secondary Data Review (SDR) – Review Data Sekunder. Merupakan cara
mengumpulkan sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang belum
disebarkan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data manakah yang telah
ada sehingga tidak perlu lagi dikumpulkan. Data sekunder didapatkan melalui
berbagai institusi pemerintahan terkait yaitu: Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Bandung, BAPPEDA Kabupaten Bandung, Kecamatan Dayeuhkolot dan
Desa Cangkuang Kulon
2. Direct Observation – Observasi Langsung. Direct Observation adalah kegiatan
observasi secara langsung pada obyek masyarakat atau komunitas. Tujuannya adalah
untuk melakukan cross-check terhadap jawaban yang disebutkan oleh masyarakat.
3. Semi-Structured Interviewing (SSI) – Wawancara Semi Terstruktur. Adalah
wawancara yang mempergunakan panduan pertanyaan sistematis yang masih
mungkin untuk berkembang selama interview dilaksanakan, karena pertanyaan
bersifat memberikan umpan bagi responden untuk memberikan jawaban yang lebih
detail. SSI dapat dilakukan kepada beberapa jenis responden yang dianggap mewakili
informasi. Pada penelitian kali ini dilakukan wawancara semi terstruktur kepada
pihak-pihak yang dianggap memahami kegiatan industri di Kampung Sepatu secara
baik diantaranya Kepala Desa Cangkuang Kulon dan beberapa pelaku industri sepatu
4. Focus Group Discussion – Diskusi Kelompok Terfokus. Teknik ini berupa diskusi
antara beberapa orang untuk membicarakan hal-hal bersifat khusus secara mendalam.
Tujuannya untuk memperoleh gambaran terhadap suatu masalah dari misalnya
program tertentu dengan lebih rinci serta melakukan evaluasi terhadap program
tersebut.

Metoda Analisis Data
Pembahasan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi lingkungan internal dan
lingkungan eksternal, diteruskan dengan analisis SWOT dan analisis general electrics (GE)
untuk menentukan strategi pengembangan Industri Kecil Menengah (UKM) sepatu. Batasan
basis unit internal dan eksternal dalam penelitian strategi ini adalah : (1) unit internal adalah
pengusaha dan tenaga kerja industri kecil sepatu di Desa Cangkuang Kulon. Sedangkan (2)

66

unit eksternal adalah pemerintah daerah baik di level kabupaten, provinsi, dan nasional,
konsumen, iklim usaha, dan Industri terkait dari daerah lain.
Dalam menganalisis data dan informasi untuk mendapatkan perencenaan dalam
mengembangkan kegiatan produksi sepatu di Desa Cangkuang Kulon, kegiatan ini
menggunakan metoda analisis SWOT yang merupakan akronim dari Strength (kekuatan),
Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan), dan Threat (Ancaman) (Oreski, 2012).
Analisis ini banyak digunakan sebagai alat untuk membantu merumuskan rencana atau
strategi bagi suatu organisasi atau praktik tertentu secara sistematis. Selain itu, metoda ini
juga dapat mengidentifikasi faktor apa yang paling berpengaruh dan dapat berkontribusi
lebih besar di dalam strategi yang dirumuskan (Khalifipour, Soffianaian, & Fakheran, 2012).
Metoda SWOT merupakan langkah pertama dalam proses perencanaan strategis dengan
tujuan utama mengembangkan dan mengadopsi strategi yang dihasilkan dari hubungan yang
baik antara situasi internal dan eksternal. Oleh karena itu, strategi yang disusun dapat
membangun kekuatan internal, mengurangi kelemahan dan mengekspoitasi kesempatan
yang ada untuk menghadapi ancaman yang sedang atau mungkin dihadapi(Lu, 2010).
Terdapat dua kondisi yang dianalisis dengan metoda ini, yaitu situasi internal dan situasi
eksternal. Dua situasi tersebut di analisis untuk mendapatkan strategi yang dapat merespon
situasi yang ada (Oreski, 2012). Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu keunggulan dari
metoda ini adalah adanya keseimbangaan antara aspek internal dan eksternal sehingga
analisis menjadi lebih komperhensif. Kekuatan dan kelemahan ditentukan oleh elemen atau
faktor-faktor internal sedangkan faktor eksternal menentukan kesempatan dan ancaman.
Kekuatan adalah sumber daya yang dimiliki dan mampu meningkatkan performa. Kekuatan
juga merupakan hal yang masih dapat dikendalikan oleh internal. Selanjutnya, weakness atau
kelemahan adalah hal yang berasal dari sistem internal yang dapat menyebabkan internal
kehilangan daya saing atau efisiensi. Berbeda dengan kekuatan dan kelemahan, kesempatan
dan ancaman merupakan hal yang berada di luar kendali.

C. TINJAUAN LITERATUR

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2014) dalam
Ardhala (2016) menyatakan bahwa Industri kreatif sebagai kegiatan kreatif berbasis
pengetahuan yang menghubungkan produsen, konsumen, dan tempat-tempat dengan
memanfaatkan teknologi, bakat atau keterampilan untuk menghasilkan produk budaya yang
berarti tidak berwujud, konten kreatif dan pengalaman. Turok (2003) dalam Ardhala (2016)
menambahkan bahwa industri kreatif diproduksi oleh industri/usaha kecil yang bergerak
berdasarkan prinsip-prinsip kewirausahaan (enterpreneurship) yang bersifat fleksibel dalam
menghadapi perubahan pasar. Sementara itu, United Nations Coference on Trade and
Development (UNCTAD) (2008) menjelaskan lebih rinci mengenai industri kreatif yaitu:
1. Industri yang siklus kreasi, produksi dan distribusi dari barang dan jasa
menggunakan modal kreatifitas dan intelektual sebagai input utama,
2. Bagian dari serangkaian aktivitas berbasis pengetahuan, berfokus pada seni yang
berpotensi mendatangkan pendapatan dari perdagangan dan hak atas kekayaan
intelektual,
3. Terdiri dari produk-produk yang dapat disentuh dan intelektual yang tidak dapat
disentuh atau jasa-jasa artistik dengan muatan kreatif, nilai ekonomis dan tujuan
pasar,
4. Bersifat lintas sektor antara seni, jasa dan industri dan
5. Bagian dari suatu sektor dinamis dalam dunia perdagangan

67

Terdapat 14 jenis subsektor industri kreatif yang ada di Indonesia yaitu perikalanan,
arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video film dan fotografi, permainan
interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer, televisi
dan radio, serta riset dan pengembangan. Berdasarkan jenis-jenis/subsektor industri kreatif
tersebut, sepatu termasuk kedalam jenis industri kreatif jenis Fesyen dan Kerajinan. Fesyen,
yaitu kegiatan yang berkaitan dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki dan desain
aksesoris mode lainya, selain itu juga terdapat konsultasi lini produk fesyen serta distribusi
produk fesyen. Termasuk dalam subsektor kerajinan karena industri alas kaki dihasilkan oleh
tenaga pengrajin dan diproduksi dalam jumlah relatif kecil.
Ardhala (2016) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya industri
kreatif di Indonesia adalah:
1. Dari segi pemerintah: memberikan arahan edukasi, memberikan penghargaan
insan kreatif dan konservasi serta dengan memberikan insentif bagi pelaku sektor
industri kreatif.
2. Dari sisi bisnis: aspek yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan memberikan
pelatihan mengenai kewirausahaan, business coaching and mentoring; skema
pembiayaan, pemasaran dan busines matching serta adanya komunitas kreatif.
3. Dari segi cendikiawan: aspek yang perlu diperhatikan adalah dengan
memberikan kurikulum berorientasi kreatif dan enterpreneurship, memberikan
kebebesan pers dan akademik, pelaksanakan riset inovatif multidisiplin, serta
lembaga pendidikan dan pelatihan.
Bakhtiar dan Sriyanto (2009) dalam Ardhala (2016), menambahkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan industri kreatif dapat dilihat dari segi pengembangan
kreatifitas yang terbagi kedalam empat aspek sebagai berikut:
1. Creative person. Faktor yang berpengaruh tehadap perkembangan industri kreatif
adalah terkait dengan sumberdaya manusia yang kreatif yang dapat dilihat dari
segi motivasi, kompetensi serta bakat minat.
2. Organization context: kinerja perusahaan, struktur, budaya, kebijakan dan sistem
komunikasi
3. Environtment: pemberdayaan sumber daya eksternal(modal dan kemitraan),
teknologi, persaingan dan peraturan pemerintah
4. Product innovation (dari segi desain, bahan baku, alat atau pemanfaatanan
(limbah).
Yunidiawati (2014) menambahkan bahwa inovasi produk yang dilakukan industri kreatif
dapat berupa mengembangkan atribut produk baru, mengembangkan tingkat mutu dan
mengembangkan model dan ukuran produk.
Selain itu Florida (2002) dalam Ardhala (2016) berpendapat bahwa keberhasilan industri
kreatif ditentukan oleh 3T yaitu Talenta, Toleransi dan Teknologi yang ketiganya dijabarkan
sebagai berikut:
1. Faktor Talenta meliputi aspek pekerja kreatif, aspek budaya dan aspek modal sumber
Daya Manusia. Kreativitas adalah jantung inovasi, maka pekerja kreatif menentukan
kelangsungan industri kreatif. Florida (2002) membagi pekerja ke dalam dua ketegori
utama yaitu pekerja kreatif (creative class) dan pekerja biasa (working class).
Semakin tinggi proporsi pekerja kreatif maka akan semakin tinggi kinerja industri
kreatif dalam sebuah kawasan wisata.
2. Faktor toleransi meliputi aspek sikap, nilai dan ekspresi diri.
3. Faktor terakhir adalah teknologi yang mendukung penciptaan produk kreatif.

68

Klaster Industri
Michael Porter dalam bukunya Clusters and The New Economics of Competition (1998)
: Klaster didefinisikan sebagai “konsentrasi geografis perusahaan yang saling berhubungan,
pemasok, penyedia jasa, perusahaan-perusahaan di industri terkait, dan lembaga-lembaga
terkait (misalnya universitas, lembaga standar dan asosiasi perdagangan) di bidang-bidang
tertentu yang bersaing tetapi juga bekerja sama (Porter 1998). Penumbuhkembangan klaster
mengandung empat faktor penentu atau dikenal dengan nama diamond model yang
mengarah kepada daya saing industri, yaitu: (1) faktor input (input condition factor), (2)
kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan terkait (related and
supporting industries), serta (4) strategi perusahaan dan pesaing (context for firm and
strategy). Kegiatan-kegiatan dalam klaster dihubungan oleh kesamaan dan
kompementaritas. Klaster memberikan nilai tambah kepada pengembangan ekonomi
melalui pembentukan kelompok jejaring bisnis pada sektor spesifik dan meningkatkan
kemampuan bisnis dengan menyediakan dukungan khusus. Klaster juga mampu mendorong
terciptanya spesialisasi ekonomi dari wilayah tertentu.
Berikut manfaat-manfaat yang akan didapatkan dari clustering:
1. Mengurangi resiko, biaya dan batasan terhadap informasi, input, dan produk
komplementer;
2. Mengadaptasi aturan atau standar-standar berdasarkan nilai atau konteks lokal;
3. Terbentuk saluran penjualan bersama sehingga mampu menambah jejaring penjualan
bagi masing-masing perusahaan;
4. Berbagi personil atau tenaga kerja;
5. Meningkatkan daya terika sehingga mampu menarik investasi;
6. Mendorong inovasi.
Klaster terdiri dari empat komponen utama, yaitu bisnis inti, bisnis pendukung, infrastruktur
pendukung yang bersifat hard, dan yang terakhir adalah infrastruktur pendukung yang
bersifat soft (Ministry of Economy, Labour and Entrepreneurship of Croatia, 2013). Bisnis
inti adalah bisnis utama yang ada di dalam klaster dan bisnis-bisnis yang mendapatkan
pendapatannya dari mayoritas konsumen di luar klaster. Bisinis pendukung adalah bisnis
yang baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung bisnis inti di dalam klaster.
Bisnis pendukung ini mencakup kegiatan penyuplai bahan baku, mesin, jasa keuangan atau
modal, pemasaran, desain, dan lainnya yang mendukung bisinis inti. Selanjutnya adalah
infrastruktur pendukung yang bersifat hard atau fisik yang melingkupi, jalan, pelabuhan,
jaringan komunikasi, dan lainnya yang dapat memberikan nilai kompetitif terhadap kawasan
tersebut. Komponen terakhir adalah infrastruktur pendukung yang bersifat soft atau non-
fisik. Infrastruktur ini menekankan kepada kemampuan keterlibatan pelaku industri dan
masyarakat lebih luas baik yang berada di dalam klaster maupun diluar klaster, seperti
institusi pendidikan, profesional, dan lainnya yang mampu berkontribusi terhadap
pengembangan klaster.

69


Gambar Error! No text of specified style in document.. Komponen Klaster
Sumber: Cluster Navigators Ltd, 2002
Klaster mampu berkontribusi kepada peningkatan daya saing ekonomi yang lebih luas
lagi melalui fasilitasi perubahan kebijakan, mendorong dialog antara swasta-publik, dan
menjadi katalis untuk pengembangan inisiasi sekotor swasta yang lebih luas lagi. Di dalam
klaster, terdapat hal yang menjadi faktor penting dalam keberhasilan klaster, yaitu
kewirausahaan (Feldman, Francis, & Bercovitz, 2005). Hal tersebut terjadi karena budaya
atau sifat kewirausahaan mampu mempengaruhi performa wilayah dan dapat memperkuat
proses pembentukan klaster. Selain itu, kewirausahaan merupakan agen penting dalam
inovasi dan klaster yang baik merupakan klaster yang mampu menciptakan lingkungan yang
dapat mendorong kegiatan kewirausahaan.

Gambar 2. Konsep Pengembangan Kawasan Industri Sepatu Berdaya Saing
Sumber: Feldman, Francis, & Bercovitz (2005)
Kesuksesan pengembangan kewirausahaan dalam suatu klaster bergantung dengan
kebijakan pemerintah sebagaimana dapat dilihat pada gambar sebelumnya. Kebijakan dan
program intervensi pemerintah harus mampu menciptakan ekosistem usaha yang baik bagi
inovasi dan kewirausahaan. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai regulator dan
penyedia intensif melalui program-program. Selain pemerintah juga dibutuhkan organisasi
klaster itu sendiri yang memiliki peran sebagai fasilitator, enabler untuk hal-hal yang lebih
operasional seperti akses terhadap pasar, pengembangan kapasitas kewirausahaan,
penciptaan dan difusi pengetahuan. Selain organisasi klaster, terdapat banyak aktor lain
seperti agen pembangunan daerah, inkubator, pusat teknologi, dan institusi pendidikan.

70

Berikut merupakan pihak-pihak beserta perannya yang mampu mendorong kewirausahaan
di dalam klaster (Lämmer-Gamp, Köcker, Köhler, Pflanz, & Iszak, 2016):
Klaster perlu dibangun secara berkelanjutan, Bank Indonesia merumuskan sebuah konsep
klaster berkelanjutan, yang terdiri atas 4 aspek sebagai pilar, yaitu prasarana bisnis, SDM
klaster, kelembagaan klaster dan peran pemerintah.

Gambar 3. Komponen Klaster yang Berkembang dan Berkelanjutan
Sumber: Bank Indonesia, Buku Kajian Identifikasi Sukses Klaster
Klaster berkembang dan berkelanjutan berarti klaster berlangsung terus menerus dalam
memanfaatkan berbagai sumber daya, dan memberikan dampak positif yang semakin luas
dari waktu ke waktu, baik dalam peningkatan ekonomi, perbaikan kondisi/kehidupan sosial,
dan perbaikan lingkungan fisik.
Klaster sebagai sebuah platform dirancang sebagai pendekatan dalam pengembangan
ekonomi menuju daya saing. Oleh karena itu terjadinya interaksi bisnis antar entitas menjadi
prioritas penguatan dalam mengembangkan klaster. Bisnis merupakan usaha untuk
mendapatkan nilai tambah melalui proses-proses tertentu. Dalam proses tersebut dibutuhkan
segala sesuatu sebagai penunjang utama untuk mendapatkan tujuan bisnisnya. Tujuh faktor
keberhasilan pengembangan klaster, yaitu :
1. Akses pasar
2. Akses informasi Pasar
3. Akses jasa spesialis
4. Kedekatan dengan pemasok
5. Akses pada jasa pendukung bisnis
6. Akses pada sumber keuangan

71

7. Terdapat perusahaan besar
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan penggerak klaster dan pembangun sistem
nilai bisnis dalam bentuk kelembagaan. SDM bukan sekedar sumber daya belaka, melainkan
juga merupakan modal atau aset bagi institusi atau organisasi, termasuk organisasi klaster.
Sebagai aset bahkan SDM sangat bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan, dan
juga bukan sebagai beban biaya. Dalam hal ini SDM berkualitas akan menyokong
pertumbuhan kelembagaan klaster tidak hanya sebagai pengelola, namun juga sebagai
entitas bisnis yang berpeluang membangun kekuatan kolektif karena kemampuan terpadu
dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu pada aspek
ini terdapat 2 dari 16 faktor keberhasilan klaster yang melekat pada karakter SDM, yaitu :
1. Kompetensi dan keahlian yang kuat
2. Basis inovasi yang kuat
Kelembagaan klaster tidak sekedar dimaknai sebuah organisasi yang mengelola
bagaimana klaster beroperasi, tetapi juga bermakna bagaimana pranata dan sistem terbangun
antar pelaku di dalam klaster untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan hidup
secara bersama-sama. Kelembagaan klaster yang kuat akan menjadi daya tarik SDM sebagai
asset untuk meningkatkan utilitasnya dalam klaster. Namun demikian sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, kualitas SDM jugalah yang akan membangun sistem yang telah
melembaga di dalam klaster tersebut. Terdapat hubungan timbal balik antara aspek SDM
dengan kelembagaan klaster. Kelembagaan klaster akan mempengaruhi sejauh mana
prasarana bisnis dapat diakses dan tumbuh. Faktor-faktor penentu keberhasilan klaster pada
aspek ini adalah :
1. Modal sosial yang kuat
2. Kemitraan dan networking
3. Kepemimpinan dan visi bersama
4. Budaya kewirausahaan yang kuat
5. Persaingan
6. Spesialisasi

Kampung Wisata
Menurut Undang-undang no 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pariwisata adalah
"Berbagai macam kegiatan wisata dan didukung fasilitas serta layanan yang disediakan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha".
Menurut WTO atau World Tourism Organization, Pariwisata adalah kegiatan manusia yang
melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya.
Pariwisata dalam UU No 10 Tahun 2009, terbentuk atas empat komponen, yaitu destinasi,
kelembagaan, pemasaran, dan industri pariwisata.
Salah satu bentuk dari destinasi wisata yang berkembang saat ini adalah hadirnya
Kampung Wisata. Kampung wisata merupakan bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi,
dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat di mana
terdapat sekelompok wisatawan yang dapat tinggal atau berdekatan dengan lingkungan
tradisional tersebut untuk belajar mengenai kehidupan masyarakatnya.
Pendapat Silas (1996), menyatakan bahwa terdapat kriteria umum yang lebih dahulu
dipenuhi bagi calon kampung wisata yakni, letaknya yang tidak terlalu sulit untuk ditemukan
dan dicapai oleh pengunjung, terdapat kekhasan fisik dan non fisik serta ada hasil tertentu
dari penduduk yang dapat dijual sebagai cenderamata atau buah tangan. Selain itu
Sastrayuda (2010) menyatakan bahwa beberapa kriteria penting yang harus dimiliki oleh
kampung wisata agar menarik perhatian pengunjung adalah:

72

1. Keunikan, keaslian dan sifat khas;
2. Letaknya berdekatan dengan daerah alam yang luar biasa;
3. Berkaitan dengan kelompok masyarakat berbudaya yang secara hakiki
menarik minat pengunjung serta
4. Memiliki peluang berkembang baik dari segi prasarana dasar maupun lainnya

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Cangkuang Kulon adalah salah satu desa yang menjadi bagian dari sentra Sepatu
Cibaduyut. Dikutip dari Miftahuddin (2011), sentra sepatu Cibaduyut sudah terbentuk sejak
tahun 1920. Menurut sejarahnya, sentra sepatu ini dirintis oleh beberapa orang warga
setempat yang kesehariannya bekerja pada sebuah pabrik sepatu di Kota Bandung. Berbekal
keterampilan dari pabrik sepatu tempat bekerja, para pengrajin tersebut memberanikan diri
membuka usaha pembuatan sepatu secara kecil-kecilan di rumah masing-masing dengan
bantuan anggota keluarga. Ternyata sepatu yang diproduksi cukup laku sehingga para
pengrajin mulai merekrut pekerja dari warga sekitar. Akhirnya keterampilan membuat
sepatu tersebut menyebar di daerah Cibaduyut dan berlanjut secara turun temurun sampai
sekarang.
Secara geografis, sentra sepatu Cibaduyut terletak 5 Km dari pusat kota Bandung kearah
selatan dengan luas areal mencapai 14 Km
2
yang meliputi 5 (lima) kelurahan di wilayah
administratf Kota Bandung dan 3 (tiga) desa di wilayah administratif Kabupaten Bandung.
Tabel 1. Sentra Sepatu Cibaduyut
Kota Bandung
Kecamatan Bojongloa Kidul
Kabupaten Bandung
Kecamatan Dayeuh Kolot
1. Kelurahan Kebon Lega
2. Kelurahan Cibaduyut
3. Kelurahan Cibaduyut Wetan
4. Kelurahan Cibaduyut Kidul
5. Kelurahan Mekar Wangi
6. Desa Cangkuang Kulon
7. Desa Cangkuan Wetan
8. Desa Suka Menak
Sumber: Miftahuddin (2011)
Industri kecil yang ada di Desa Cangkuang Kulon berdasarkan data Dinas Perindustrian
dan Perdagangan tahun 2017 khusus untuk komoditas sepatu yaitu terdapat 32 industri kecil
dan 1 industri menengah. Total nilai investasi industri sepatu di Desa Cangkuang Kulon
sebesar Rp 1.929.500.000. Adapun jenis-jenis produk yang diproduksi antara lain: aksesoris
sepatu, industri sepatu TNI, les/percetakan sepatu, pembuatan sol sepatu, dan pengrajin
sepatu.

73


Gambar 4. Proses pembuatan sepatu di sentra Cibuduyut
Sumber : dikutip dari Miftahuddin (2011), yaitu:
1. Memilih bahan baku kulit untuk pembuatan sepatu dengan cara mengatur
kualitas dari kulit yang akan di pakai (Quality Control).
2. Pembuatan pola
3. Pemotongan kulit sesuai dengan pola
4. Proses seset untuk mengurangi ketebalan kulit.
5. Penyetelan sepatu dan memeriksa kembali kualitas potongan kulit.
6. Pembuatan Upper (potongan kulit atasan)
7. Melakukan lopen manual (pengeleman) menggunakan lem kentang.
8. Penjahitan rosel
9. Persiapan outsol
10. Proses pres dan frinding.
11. Pengecekan produksi sol
12. Penyempotran (spraying)


Gambar 5. Proses Pembuatan Sepatu
Sumber: Hasil Observasi, 2019
1.
Memilihbahanbaku
kulit(Quality Control).
2.
Pembuatan pola
3.
Pemotongan kulit
sesuai dengan pola
4.
Proses seset untuk
mengurangi ketebalan
kulit.
5.
Penyetelan sepatu dan
memeriksa kembali
kualitas potongan kulit.
6.
Pembuatan Upper
(potongan kulit atasan)
7.
Melakukan lopen
manual (pengeleman)
menggunakan lem
kentang.
8.
Penjahitan rosel
9.
Persiapan outsol
10.
Proses pres dan
frinding.
11.
Pengecekan produksi
sol
12.
Penyempotran
(spraying)

74

Rencana pembangunan Kabupaten Bandung akan lebih diarahkan ke dalam lima
tematik pembangunan unggulan meliputi tematik pariwisata, tematik investasi, tematik
cluster pendidikan, tematik kemiskinan, dan tematik Bandung sehat. Penetapan lima tematik
pembangunan ini sejalan dalam mendukung optimalisasi pengembangan kapasitas
masyarakat lokal, serta optimalisasi pengembangan potensi wilayah. Dengan demikian
dengan mendorong implementasi lima tematik pembangunan ini diharapkan mampu
mendorong pengembangan wilayah, khususnya kawasan perdesaan. Pembangunan tematik
Kabupaten Bandung memiliki pengertian sebagai pembangunan terpadu yang mengkaitkan
beberapa tema pembangunan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang lebih
terintegrasi, serta agar memiliki kesamaan tujuan antar sektor pembangunan. Pemilihan
konsep tematik didasarkan pada persoalan eksisting, yang mana sektor-sektor pembangunan
cenderung berfokus pada pembangunan sektor masingmasing dengan mengabaikan
keterkaitannya dengan sektor lain. Terkotak-kotakannya sektor pembangunan seringkali
mengakibatkan adanya ketidaksinkronan pembangunan antar sektor yang dapat
menghambat pembangunan wilayah. Melalui pengembangan tematik diharapkan akan
tercipta sinergi yang memperkuat pembangunan wilayah. Dengan kata lain, pengintegrasian
sektor pembangunan akan menjadi katalisator bagi pembangunan.

Gambar 6. Konsep 1000 Kampung
Sumber: RPJMD Kab. Bandung 2016-2021
Pemilihan lima tematik pembangunan 1000 Kampung didasarkan pada potensi eksisting
serta prediksi prospek kedepan. Dengan pengembangan lima tematik pembangunan ini
diharapkan akan menjadi pendorong percepatan pencapaian visi pembangunan Kabupaten
Bandung dalam memantapkan pembangunan Kabupaten Bandung yang maju, mandiri dan
berdaya saing pada tahun 2021. Adapun yang menjadi kegiatan pembangunan unggulan
setiap tematik pembangunan tersebut adalah sebagai berikut:

75

Tematik Pariwisata
Kabupaten Badung memiliki banyak potensi pariwisata, baik yang itu untuk objek-objek
wisata yang sudah dikembangkan maupun yang belum dikembangkan. Konsep
pengembangan tematik pariwisata di Kabupaten Bandung bertujuan untuk menggabungkan
sektor-sektor diluar sektor pariwisata untuk mendukung pembangunan pariwisata
Kabupaten Bandung.

Tematik Investasi
Pemerintah kabupaten Bandung memandang penting investasi sebagai salah satu
determinan untuk menggerakan perekonomian wilayah. Pengembangan investasi di
Kabupaten Bandung menjadi inovatif sebab diarahkan pada pengembangan UKM kreatif
melalui pemberian insentif dan disinsentif kepada para pelaku UKM. Insentif yang diberikan
antara lain berupa kemudahan pengurusan perizinan UKM, fasilitasi pembuatan desain
kemasan, serta pemberian pelatihan wirausahawan kepada para pelaku UKM-UKM yang
memiliki kontribusi besar terhadap pengembangan komunitas. Disisi lain, komunitas lokasi
UKM akan dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan yang diharapkan akan menjadi
magnet bagi potensi investasi yang lebih besar. Melalui implementasi kebijakan tematik
investasi ini diharapkan dapat menjadi katalisator dalam mendukung terwujudnya
pembangunan 1000 kampung. Tematik investasi dalam implementasinya akan melibatkan
beberapa stakeholder, mulai dari perangkat daerah, masyarakat dan dunia usaha.

Tematik Pendidikan
Penetapan tematik pendidikan dilatarbelakangi oleh adanya potensi strategis wilayah,
antara lain kawasan SOR Soroja sebagai cluster olah raga terpadu, kawasan sekitar puseur
budaya dan Gedong Budaya Sabilulungan sebagai cluster seni budaya, serta kawasan
pendidikan tinggi, diantaranya Telkom University sebagai cluster teknopolis.
Pengembangan cluster tematik pendidikan dengan tematema pendidikan yang bervariasi
(olahraga, agrikultur, seni budaya, teknologi) akan mampu menciptakan sumber daya
manusia Kabupaten Bandung yang unggul. Lebih daripada itu, pembangunan cluster
pendidikan disamping akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, juga akan
mendukung dalam percepatan pembangunan Kabupaten Bandung.

Tematik Kemiskinan
Salah satu inovasi yang diusung bagi penanggulangan kemiskinan di kabupaten
Bandung yaitu melalui pengembangan rasta (beras sejahtera). Disamping itu
penanggulangan kemiskinan juga akan diarahkan melalui penekanan tingkat pengangguran
yang terintegrasi dengan pengembangan investasi di sektor UKM yang telah dipaparkan
sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, upaya penanggulangan kemiskinan ini akan bersifat
lintas sektor. Disamping Dinas Sosial sebagai leading sector penanggulangan kemiskinan,
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bandung akan bersifat lintas perangkat daerah
dengan turut melibatkan Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas
Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas pertanian, serta Dinas
Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.

Tematik Bandung Sehat
Penetapan sembilan tatanan Bandung Sehat akan membantu perkuatan seluruh sektor
pembangunan di Kabupaten Bandung, mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi,

76

infrastruktur serta sektor keamanan dan ketertiban wilayah. Kesembilan tatanan dalam
perwujudan Bandung Sehat adalah:
1. Kawasan permukiman, sarana, dan prasarana umum
2. Kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi
3. Kawasan pertambangan sehat
4. Kawasan hutan sehat
5. Kawasan industri perkantoran sehat
6. Kawasan pariwisata sehat
7. Kawasan pangan dan gizi
8. Kehidupan masyarakat sehat yang mandiri
9. Kehidupan sosial yang sehat
Berdasarkan karakteristik tersebut, Kampung Sepatu di Desa Cangkuang Kulon
memenuhi kriteria sebagai salah satu kampung tematik investasi. Dimana kehadiran
kampung tematik menjadi pendorong kehadiran UKM-UKM dan industri sepatu baik dari
produksi hulu hingga hilir.

Isu Strategis Pengembangan Industri Kreatif
Isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam
perencanaan pembangunan karena dampaknya yang signifikan bagi entitas
(daerah/masyarakat) di masa datang. Berdasarkan kondisi pada masing-masing komponen
SWOT, diketahui bahwa perkembangan industri sepatu di Desa Cangkuang Kulon
menghadapi kondisi-kondisi tertentu dilihat ringkasan dari faktor-faktor pada masing-
masing komponen dan dengan membenturkan komponen-komponen SWOT (SO, ST, WO,
dan WT) sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. SWOT yang Dimiliki Kampung Sepatu Cangkuang Kulon
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
S1 Produk sepatu Cibaduyut
berkualitas baik
S2 Bahan baku mudah
didapatkan
S3 Tenaga kerja terampil dan
berpengalaman (dapat membuat
berbagai macam desain dan model)
S4 Harga produk yang
terjangkau
S5 Dibuat secara handmade
S6 Sudah ada beberapa merk-
merk lokal yang coba
dikembangkan pengusaha lokal
S7 Lokasi industri yang sudah
teraglomerasi (berkumpul)

W1 Keterbatasan modal akibat
harga bahan baku yang semakin
tinggi
W2 Makin berkurangnya
tenaga kerja yang terampil akibat
rendahnya daya saing pendapatan
W3 Masih rendahnya akses
pelaku industri terhadap legalitas
merek sepatu lokal
W4 Maraknya pembuatan
sepatu berjenis tiruan
W5 Minimnya pemahaman
pelaku industri dalam
memanfaatkan informasi dan
teknologi sebagai sarana
pemasaran sepatu
W6 Belum terkoordinasinya
asosiasi pengerajin sepatu secara
menyeluruh.

77

W7 Kohesi sosial antar pelaku
industri rendah
W8 Lemahnya daya tawar
pelaku industri sepatu lokal dalam
menentukan harga pasar
W9 Keterbatasan akses
terhadap mesin sepatu terkini
W10 Infrastruktur pendukung
kampung wisata belum memadai
Peluang (O) Tantangan (T)
O1 Permintaan sepatu selalu
ada dan menjadi bagian dari
kebutuhan manusia
O2 Citra Cibaduyut sudah
dikenal sebagai salah satu sentra
industri sepatu di Indonesia yang
berkualitas baik
O3 Hadirnya kulit sintetis
mengurangi biaya produksi
O4 Kerjasama dengan merk-
merk sepatu terkenal/distributior
besar
O5 E-commerce sudah
semakin berkembang
O6 Dapat dikembangkan
menjadi kawasan wisata belanja.
O7 Sudah ada kerjasama
pelatihan IT dengan akademisi
T1 Kekosongan bahan baku
saat permintaan tinggi (menjelang
puasa)
T2 Persaingan dengan sepatu
impor buatan China
T3 Harga bahan baku selalu
meningkat terpengaruh oleh nilai
tukar rupiah
T4 Permintaan besar untuk
sepatu tiruan merk terkenal
T5 Minimnya sarana informasi
bantuan permodalan
T6 Ketergantungan terhadap
distributor besar
Sumber: Hasil Analisis, 2019


Tabel 2. komponen-komponen SWOT (SO, ST, WO, dan WT)

No Komponen Kondisi yang Dihadapi
1 Kekuatan (S)-Peluang
(O)
Sepatu hasil produksi pelaku industri di Desa
Cangkuang Kulon memiliki potensi untuk
berkembang karena memiliki kekuatan dari segi
kualitas, keterampilan SDM, maupun harga yang
terjangkau dengan didukung oleh kuatnya citra
Desa Cangkuang Kulon sebagai salah satu desa
penghasil sepatu di kawasan Cibaduyut membuat
daerah ini tepat untuk dikembangkan menjadi
Kampung Sepatu. Lebih jauh kampung sepatu ini
dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata

78

No Komponen Kondisi yang Dihadapi
belanja dan kreatif melihat potensi yang
dimilikinya.
2 Kekuatan (S)-
Ancaman (T)
Meskipun memiliki potensi untuk berkembang
dan berdaya saing di pasaran, namun terdapat
kendala eksternal yang dihadapi oleh para pelaku
industri sepatu seperti kekosongan bahan baku
terutama saat permintaan tinggi, ketergantungan
dengan bahan baku kulit sintetis asal China,
permintaan yang besar akan sepatu KW, serta
minimnya sarana informasi bantuan permodalan
menghambat produktivitas para pelaku industri
sepatu.
3 Kelemahan (W)-
Peluang (O)
Kelemahan dari industri sepatu Desa Cangkuang
Kulon dari segi permodalan yang terbatas,
branding sepatu loakl yang belum kuat dipasaran,
kelembagaan antar pelaku industri yang belum
terbentuk, rendahnya kerjasama antar pelaku, dan
ketergantuan terhadap distributor besar
menghambat pemanfaatan peluang dalam
pengembangan industri sepatu secara lebih luas.
Dari segi pengembangan pariwisata, belum
terbentuk pasar wisatawan kreatif yang
mengunjungi Desa Cangkuang Kulon sebagai
destinasi wisata.
4 Kelemahan (W)-
Ancaman (T)
Kelemahan industri sepatu Desa Cangkuang
Kulon dari segi aspek produksi, pemasaran,
kelembagaan, dan minimnya infrastruktur
penunjang membuat menyulitkan masyarakat
untuk menghadapi tantangan akan pembuatan
sepatu tiruan yang melaggar hukum. Minimnya
kohesi sosial antar pelaku usaha menyebabkan
potensi konflik yang terjadi antar pelaku industri
terutama mengenai pembagian bantuan oleh
pemerintah.
Sumber: Hasil Analisis, 2019

Berdasarkan hasil sintesa di atas, terdapat 4 aspek utama yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan kampung sepatu ini antara lain aspek kelembagaan, pemasaran, produksi,
dan infrastruktur. Kelemahan pada keempat aspek tersebut menyebabkan rendahnya daya
saing dan kemampuan para pelaku industri untuk meningkatkan kesejahteraan mereka
melalui industri sepatu. Oleh karena itu, isu strategis dalam pengembangan kampung sepatu
adalah: rendahnya daya saing sepatu produksi pengerajin Desa Cangkuang Kulon akibat
lemahnya aspek kelembagaan, pemasaran, produksi, dan infrastruktur yang mendukung
keberjalanan industri.

79

Dalam memilih konsep pengembangan ini perlu memperhatikan kondisi eksisting dan
juga kondisi yang diharapkan sebagaimana disebutkan dalam tujuan dan sasaran. Dalam
mencapai tujuan pengembangan sebagaimana telah dijelaskan, dicanangkan konsep yang
mampu memberikan kerangka kontekstual, fungsional, serta sosial yang mampu mendorong
terjadinya aktivitas-aktivitas produksi Sepatu Cangkuang Kulon yang berdaya saing dan
kegiatan lainnya yang berkaitan agar dapat menggerakan perekonomian baik lokal Desa
Cangkuang Kulon maupun perekonomian Kabupaten Bandung secafa lebih luas.
Konsep pengembangan industri sepatu Desa Cangkuang Kulon, mengkombinasikan
konsep klaster industri kreatif dan kampung wisata. Berikut ini adalah diagram alir
konsep pengembangan Kampung Sepatu Desa Cangkuang Kulon:

Gambar 7. Konsep Pengembangan Kampung Sepatu Desa Cangkuang Kulon
Sumber: Hasil Analisis, 2019

Dari bagan di atas, dapat dijelaskan, bahwa berangkat dari potensi yang dimili oleh Desa
Cangkuang Kulon yaitu industri kreatif berbasis fesyen dan kerajinan. Potensi ini di
manfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung untuk menjadikan Cangkuang Kulon
sebagai peluang dalam pengembangan ekonomi lokal dalam bentuk kampung tematik.
Dalam pengembangan kampung tematik ini terdapat dua konsep yang berbeda yaitu Klaster
Industri dan Kampung Wisata.

80

Klaster Industri Kreatif Fesyen dan Kerajinan Sepatu
Seperti yang telah dibahas dalam tinjauan literatur, klaster merupakan suatu konsep
yang menawarkan kerangka baik fungsional maupun spasial pada suatu kawasan. Empat
komponen penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Klaster Sepatu Cangkuang
Kulon sebagaimana digambarkan pada gambar dan penjelasan berikut:

















Gambar . 8 Konsep Klaster dalam Pengembangan Klaster Industri
Kreatif Sepatu Cangkuang Kulon

1. Kelembagaan
Aspek kelembagaan yang perlu terbangun didalam klaster antara lain terdapatnya
modal sosial, kemitraan dan networking, kepemimpinan dan visi bersama, budaya
kewirausahaan yang kuat, persaingan dan spesialisasi industri di dalam kawasan
Kampung Sepatu.

2. Prasarana Bisnis
Prasarana bisnis yang perlu terbangun didalam klaster antara lain terdapatnya akses
pasar, akses informasi pasar, akses jasa spesialis, kedekatan dengan pemasok, akses
pada jasa pendukung bisnis, akses pada sumber keuangan.



3. SDM Klaster
SDM Klaster yang perlu terbangun didalam klaster antara lain terbentuknya
kompetensi dan keahlian yang kuat serdta basis inovasi yang kuat.

4. Dukungan Pemerintah
Klaster juga memperlukan tata kelola yang mendukung. Untuk mewujudkan tata
kelola yang mendukung Klaster, dibutuhkan peran pemerintah berbagai level dan
sektor. Peran utama pemerintah dalam hal ini adalah sebagai berikut:

81

a. Kebijakan-kebijakan yang mendorong dukungan terhadap kawasan
Kampung Sepatu
b. Strategi yang mampu mengaktifkan dukungan berbagai pihan (akademisi,
pengusaha, pemerintah baik di level kabupaten, provinsi, dan nasional, serta
masyarakat)
c. Pihak yang memberikan (deliver) dukungan
d. Kemauan politik untuk mencapai hal yang diinginkan
Berikut merupakan contoh-contoh kebijakan pemerintah dalam mendukung
keberadaan klaster:
a. Membuat fondasi pendukung melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti
pendidikan untuk masyarakat yang tinggal di kasawan tersebut, jalan,
publik transportasi, air, infrastruktur pengelola limbah, sanitasi, pelayanan
kesehatan, dan lainnya.
b. Mendorong kebijakan yang mendukung dan mendorong bukan
menghambat
c. Kolaborasi dan kerjasama antar berbagai level dalam pengembangan
klaster indutsri
d. Menciptakan dan mendukung jaringan komunikasi antar pihak
e. Menciptakan pendukung kewirausahaan dan jejaring pembelajaran
f. Menciptakan tenaga kerja dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan
g. Merangsang inovasi dan kewirausahaan
h. Menyediakaan pendanaan atau mencarikan alternatif pendanaan lainnya
i. Mendorong program pembiayaan yang kompetitif
j. Investasi berbasis Research & Development

Kampung Wisata Belanja dan Kreatif
Kampung Sepatu sebagai daya tarik wisata tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Daerah Tahun 2018-2025. Kampung termasuk dalam Daya Tarik Wisata Pendukung
Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD) wisata alam, budaya, dan sejarah
Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang. Kampung Sepatu ini mendukung DTW
unggulan disekitarnya yaitu Makam Bupai Ulama, Tugu M.Tha, Situ Sipatahunan, dan
Danau Retensi Cieunteung.
Pengembangan Desa Cangkuang Kulon dengan konsep kampung wisata belanja dan
kreatif menjadi tahap lanjutan setelah terbentuknya klaster industri yang kuat. Aspek-aspek
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kampung Wisata terdiri atas 3 hal, yaitu
pengembangan daya tarik, sarana dan prasarana, dan kemudahan aksesibilitas
Gambar 9. Konsep Pengembangan Kampung Wisata Industri Sepatu Cangkuang Kulon

82



1. Pengembangan Daya Tarik
Suatu kawasan wisata harus memiliki daya tarik/ciri khas yang membuat wisatawan
ingin datang ke kampung sepatu Cangkuang Kulon. Sehingga pembentukan ciri
khas/citra kawasan yang menarik diperlukan dalam pengembangan kampung wisata.
Daya Tarik juga dapat dibentuk dengan pengembangan aktivitas di dalam kawasan.
Aktivitas yang dapat ditawarkan terkait dengan keunggulan kampung tersebut.
Sepatu dapat menjadi daya tarik wisata belanja maupun wisata kreatif, dimana
wisatawan dapat melihat dan mempelajari proses pembuatan sepatu kepada para
pengerajin di Kampung Sepatu.

2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana yang perlu terbangun didalam kampung wisata khususnya
keberadaan gerai/showroom untuk wisata belanja serta bengkel/workshop untuk
wisata kreatif beserta instrukturnya. Selain itu, keberadaan sarana dan prasarana
amenitas kepariwisataan lainnya yang mendukung pembentukan wisata kreatif
seperti homestay/rumah makan menjadi hal yang penting untuk menciptakan
kenyamanan bagi wisatawan.

3. Kemudahan Aksesibilitas
Untuk menuju tempa wisata, wisatawan memerlukan aksesibilitas yang baik untuk
menuju destinasi wisata yang diinginkan. Sehingga jika direncanakan Desa
Cangkuang Kulon menjadi daya tarik wisata maka kemudahaan transportasi
contohnya keberadaan angkutan umum yang dapat diandalkan, sarana parkir,
maupun jalan yang baik harus terwujud.

4. Dukungan Pemerintah
Pengembangan kampung wisata memperlukan tata kelola pemerintah yang
mendukung. Untuk mewujudkan tata kelola yang mendukung kampung wisata,
dibutuhkan peran pemerintah berbagai level dan sektor. Peran utama pemerintah
dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan-kebijakan yang mendorong dukungan terhadap kampung wisata di
Kampung Sepatu Cangkuang Kulon
b. Strategi yang mampu mengaktifkan dukungan berbagai pihak (akademisi,
pengusaha, pemerintah baik di level kabupaten, provinsi, dan nasional, serta
masyarakat)
c. Pihak yang memberikan (deliver) dukungan
d. Kemauan politik untuk mencapai hal yang diinginkan
Berikut merupakan contoh-contoh kebijakan pemerintah dalam mendukung
keberadaan kampung wisata:
a. Penguatan SDM dan sadar wisata masyarakat Cangkuang Kulon.
b. Pembangunan infrastruktur jalan, publik transportasi, dan lainnya yang
mendukung kemudahan wisatawan menuju Kampung Sepatu
c. Pembangunan sarana dan prasarana amenitas di area kampung wisata.
d. Mendorong kebijakan yang mendukung dan mendorong bukan menghambat
e. Kolaborasi dan kerjasama antar berbagai level dalam pengembangan
kampung wisata

83

f. Menciptakan dan mendukung jaringan komunikasi antar pihak
g. Meningkatkan Sapta Pesona di area Kampung Sepatu bekerja sama dengan
masyarakat setempat
h. Mempromosikan Kampung Wisata sepatu Cangkuang Kulon kepada pihak
luas
i. Menyediakaan pendanaan atau mencarikan alternatif pendanaan lainnya
j. Mendorong program pembiayaan yang kompetitif
k. Investasi berbasis Research & Development

Dalam pengembangan kawasan sentra sepatu Cangkuang Kulon, dikembangkan empat
tahap utama dimana masing-masing tahapan memiliki kondisi yang diharapkan untuk
dicapai sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:








Gambar 10. Tahap Pengembangan Kampung Sepatu Cangkuang Kulon
Sumber: Hasil Sintesis, 2019
Pada setiap tahapan terdapat kondisi yang diharapkan terjadi, pengembangan ini bersifat
sekuensial, artinya kondisi pada tahap tertentu dapat terwujud bila kondisi pada tahapan
pengembangan sebelumnya telah tercapai. Kondisi yang diharapkan pada setiap tahap
pengembangan antara lain:
Tahap pertama merupakan tahap penguatan kelembagaan internal dan sosialisasi
kebijakan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada BAB 4,5, dan 6 diketahui bahwa
kelembagaan Kampung Sepatu masih terbilang lemah, belum terdapat asosiasi/lembaga
berbadan hukum yang menaungi keberjalanan dan kegiatan pengembangan kampung sepatu
secara menyeluruh. juga sifat individualistis yang masih kuat antar pelaku industri.
Pembentukan lembaga hukum ini akan mempermudah pengorganisasian masyarakat pada
internal maupun eksternal kawasan, tanpa adanya organisasi, tidak akan ada sistem
manajerial yang menaungi keberjalanan Kampung Sepatu. Bukan hanya pembentukan
lembaga hukum, kohesi sosial atau kedekatan antar pelaku industri didalam pun harus
diperkuat, karena modal sosial yang kuat menjadi kunci keberhasilan pengembangan klaster
industri. Masyarakat perlu memiliki cita-cita, visi, misi, serta tujuan bersama yang ingin
dicapai, semangat pembangunan perlu muncul dari dalam agar tercipta keberlanjutan dari
pencetusan ide kampung sepatu oleh pemerintah. Terkait dengan peran Pemerintah Daerah
Kabupaten, pada tahap ini perlu dibentuk kesepahaman bersama antara pemerintah dan
masyarakat dalam bentuk sosialisasi kebijakan, program, dan kegiatan yang mendukung
keberhasilan Kampung Sepatu, agar apa yang diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat
berjalan secara bersinergi.
Tahap kedua adalah tahap peningkatan kualitas SDM, inovasi dan kewirausahaan,
serta pendidikan IT . Pada tahap ini diharapkan para pelaku industri mendapatkan berbagai
pengetahuan yang dibutuhkan dalam pengembangan bisnis sepatu. Pemahaman dan
informasi diberikan melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, maupun workshop agar
bisnis para pelaku industri tidak stagnan pada penyediaan sepatu sesuai permintaan pasar

84

yang sudah berjalan saja melainkan termotivasi untuk mengembangkan bisnis mereka,
dengan berbagai inovasi produk yang disertai jiwa kewirausahaan. Pemahaman informasi
dan teknologi khusnya dalam penggunaan media informasi dan teknologi harus
disebarluaskan kepada para pelaku industri agar peluang pemasaran melalui e-commerce
yang sudah semakin diminati oleh konsumen di Indonesia dapat dimanfaatkan dengan
maksimal. Di tahap ini, peran akademisi, pegiat bisnis, dan social entrepreneur sangatlah
penting sebagai pihak yang dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada para
pelaku industri.
Tahap ketiga adalah tahap pemantapan prasarana bisnis. Apabila kondisi yang
diharapkan pada tahap satu dan dua telah tecapai, maka saatnya bagi pemerintah untuk
mendorong, mefasilitasi, serta memudahkan terpenuhinya kebutuhan faktor produksi seperti
akses terhadap keuangan/modal, bahan baku, dan mesin. Dengan peningkatan kualitas SDM
yang telah diberikan pada Tahap 2 sebelumnya, diharapkan faktor produksi dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pelaku industri sehingga tidak menimbulkan
kesia-siaan. Selain itu kebutuhan akan infrastruktur yang memadai juga diwujudkan pada
tahap ini seperti jalan yang layak, IPAL, drainase, persampahan dan sebagainya.
Tahap keempat adalah perluasan pasar dan citra kawasan. Pada tahap ini, diharpakan
produk sepatu Desa Cangkuang Kulon dapat dikenal luas, dan kampung sepatu menjadi
sentra sepatu yang menjadi daya tarik wisata. Program dan kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini antara lain, promosi produk dengan berbagai cara baik itu melalui event, media
cetak dan elektornik, maupun pelibatan tokoh-tokoh masyarakat. Dilakukan pula lapenataan
kawasan kampung sepatu agar menarik dan nyaman dikunjungi, serta pemantapan
infrastruktur yang dapat menguatkan citra Desa Cangkuang Kulon sebagai Kampung Sepatu.
Agar dapat mencapai tujuan, masing-masing tahapan terdapat pengawasan dari berbagai
stakeholders dan evaluasi berkala yang melibatkan tidak hanya pemerintah daerah saja tetapi
juga masyarakat, pelaku industri serta usaha, swasta, dan akademisi.

E. PENUTUP
Kesimpulan
Tujuan pengembangan dari Pembentukan Desa Cangkuang Kulon sebagai Kampung
Sepatu adalah meningkatkan daya saing sepatu produksi pengerajin industri rumahan di
Desa Cangkuang Kulon dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan, pemasaran,
produksi dan infrastruktur. Untuk mencapai tujuan tersebut konsep klaster industri dan
kampung wisata digunakan karena beberapa keunggulannya sebagaimana telah dibahas pada
bab sebelumnya. Konsep tersebut diturunan kedalam sebelas strategi pengembangan antara
lain (1) meningkatkan kemudahan akses terhadap legalitas perusahaan dan produk, (2)
meningkatkan kemudahan akses terhadap pengadaan faktor produksi, (3) meningkatkan
kualitas faktor produksi, (4) membuat lembaga antar pelaku industri sepatu yang menyeluruh
dan berbadan hukum, (5) meningkatkan kohesi sosial antar pelaku industri, (6)
meningkatkan jiwa kewirausahaan masyarakat, (7) memperkuat branding merek sepatu lokal
yang diproduksi oleh masyarakat asli Desa Cangkuang Kulon, (8) memperluas jangkauan
pemasaran sepatu Cangkuang Kulon, (9) menciptakan Desa Cangkuang Kulon menjadi
kawasan wisata sepatu disamping Kawasan Cibaduyut Kota Bandung yang telah ada, (10)
memantapkan infrastruktur pendukung klaster industri, dan (11) memantapkan infrastruktur
pendukung kampung wisata.
Guna mencapai tujuan pengembangan Kampung Sepatu yang diharapkan, dirumuskan
empat tahap pengembangan dimana masing-masing tahap memiliki kondisi yang ingin

85

dicapai. Tahapan pengembangan tersebut terdiri atas Tahap 1: Penguatan Kelembagaan
Internal dan Sosialisasi Kebijakan; Tahap 2: Peningkatan Kualitas SDM, Inovasi, dan
Kewirausahaan, Pendidikan IT; Tahap 3: Pemantapan Prasarana Bisnis; Tahap 4: Perluasan
Pasar dan Citra Kawasan. Di dalam kajian ini, pada Tabel Indikasi Program dan Kegiatan
dapat dilihat mengenai program dan kegiatan apa saja yang diprioritaskan pada setiap tahap
agar mampu mencapai kondisi yang diharapkan. Indikasi program dan kegiatan yang telah
disusun tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan Pemerintah
Kabupaten Bandung untuk mewujudkan Kampung Sepatu Cangkuang Kulon.

REFERENSI

Adisasmita, R. (2005). Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Aiginger, K., & Rossi-Hansberg, E. (2006). Specialization and concentration: A note on
theory and evidence. Empirica, 33(4), 255–266.
Benneworth, P. (2004). In what sense ‘regional development?’: Entrepreneurship,
underdevelopment and strong tradition in the periphery. Entrepreneurship & Regional
Development, 16(6), 439– 458.
Chambers, R. (1994). Participatory rural appraisal (PRA): Challenges, potentials and
paradigm. World Development, 22(10), 1437–1454.
Feldman, M., Francis, J., & Bercovitz, J. (2005). Creating a cluster while building a firm:
Entrepreneurs and the formation of industrial clusters. Regional Studies, 39(1), 129–
141.
Gunawan, A. S., & Marwan, A. (1982). Anggaran perusahaan. BPFE, (Jilid I).
Hindle, K. (2010). How community context affects entrepreneurial process: A
diagnostic framework.
Entrepreneurship and Regional Development , 22(7–8), 599–647.
Iammarino, S., & McCann, P. (2006). The structure and evolution of industrial clusters:
Transactions,
technology and knowledge spillovers. Research Policy, 35(7), 1018–1036.
Khalifipour, H., Soffianaian, A., & Fakheran, S. (2012). Application of SWOT Analysis in
Strategic Environmental Planning: A Case Study of Isfahan/Iran. International
Conference on Applied Life Sciences. IntechOpen.
Kotler, P. (2004). A three-part plan for upgrading your marketing department for new
challenges. Strategy & Leadership, 32(5), 4–9.
Lämmer-Gamp, T., Köcker, G. M. zu, Köhler, T., Pflanz, K., & Iszak, scö. (2016). Clusters
and Entrepreneurship in Emerging Industries. uropean Commission’s Directorate-
General for Internal Market, Industry, Entrepreneurship and SMEs.
Lestari, M. D. A. B., & Siagian, M. C. A. (2018). Perancangan Sarung Majalaya Untuk
Busana Ready To Wear. EProceedings of Art & Design, 5(3).
Lu, W. (2010). Improved SWOT approach for conducting strategic planning in the
construction industry. Journal of Construction Engineering and Management, 136(12),
1317–1328.
Maier, N. (1965). Psychology in industry (3rd ed.). Boston: Houghton Mifflin.
Malmberg, A., Sölvell, Ö., & Zander, I. (1996). Spatial clustering, local accumulation
of knowledge and
firm competitiveness. Geografiska Annaler: Series B, Human Geography, 78(2), 85–97.
Marshall, A. (2009). Principles of economics: Unabridged eighth edition. Cosimo, Inc.

86

Ministry of Economy, Labour and Entrepreneurship of Croatia. (2013). Guidelines for
Cluster Development A Handbook for Practitioners.
Mubaranto, H., & Baga, L. M. (2018). STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL
TAHU DI KABUPATEN TEGAL. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah, 8(1).
Oktaviani, E., Sachari, A., & Setiawan, P. (2017). Identifikasi Motif Lokal Sarung Majalaya
Generasi Pertama. Arena Tekstil, 31(2).
Oreski, D. (2012). Strategy development by using SWOT–AHP. Tem Journal, 1(4), 283–
291. Partnership for Action on Green Economy. (2017). Green Industrial Policy;
Concept, Policy, Country
Experiences. UN ENVIRONMENT.
Pike, A., Rodríguez-Pose, A., & Tomaney, J. (2010). Handbook of local and regional
development. Routledge.
Porter, M. E. (2000). Location, competition, and economic development: Local clusters in a
global economy. Economic Development Quarterly, 14(1), 15–34.
Rangkuti, F. (2013). Strategi promosi yang kreatif dan analisis kasus. Gramedia Pustaka
Utama. Rosenfeld, S. (2005). Industry clusters: Business choice, policy outcome, or
branding strategy. Journal
of New Business Ideas and Trends , 3(2), 4–13.
SETIADI, S. (2009). Pengaruh Upah dan Jaminan Sosial terhadap Produktivitas Kerja
Karyawan di PT
Semarang Makmur Semarang (PhD Thesis). Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.
Soegoto, E. S. (2013). Entrepreneurship Menjadi Pebisnis Ulung. Elex Media Komputindo.
Stimson, Robert J., Stough, R. R., & Roberts, B. H. (2006). Regional economic development:
Analysis and planning strategy. Springer Science & Business Media.
Stimson, Robert John, Stough, R., & Salazar, M. (2009). Leadership and institutions in
regional endogenous development. Edward Elgar Publishing.
Trettin, L., & Welter, F. (2011). Challenges for spatially oriented entrepreneurship research.
Entrepreneurship & Regional Development, 23(7–8), 575–602.