BENUA AFRIKA DALAM PERGO
LAKAN*
* Saduran karangan Basil Davidson, ”A Continent in Turmoil”, dalam Africa Guide 1979
(Saffron Walden, 1978), hal. 11-14, oleh B. WIROGUNO
Sejarah baru Afrika penuh dengan sengketa perbatasan dan pemberontak­
an separatis. Organisasi Persatuan Afrika (OPA) kerapkali tidak mampu
menyelesaikannya. Negara-negara asing melibatkan pasukan-pasukan dan
penasihat-penasihat militer mereka, dan kadang-kadang kemerdekaan benua
itu sendiri rupanya dalam taruhan. Tulisan ini membahas asal mula sementara
masalah yang-paling sulit di Afrika dewasa ini, dan menggariskan apa yang ki­
ranya dapat dilakukan untuk menyelesaikannya.
Suatu peralihan yang mudah menuju suatu masyarakat post-kolonial yang
merdeka, mantap, dan mampu untuk berkembang secara swadaya tidaklah
mungkin bagi negara-negara baru Afrika. Mengingat adanya masalah-
masalah struktur dan kebudayaan yang diwarisi dari masa lampau, baik
pra-kolonial maupun kolonial, yang mengherankan ialah perdamaian relatif
yang berlangsung sejak proses menuju terbentuknya negara modern mulai me­
nanjak pada pertengahan 1950-an. Peperangan dan tembak-menembak me­
mang terjadi sejak itu, tetapi hampir seluruhnya tidaklah berarti jika diban­
dingkan dengan perang kemerdekaan yang berkobar di Madagaskar, Aljazair,
Kenya dan lain-lain negara. Banyak kecaman dapat dilontarkan ke arah OPA
yang dibentuk pada 1963, yang dalam kenyataan sering berfungsi sebagai
suatu organisasi perpecahan; namun daftar perselisihan yang berhasil disele­
saikannya adalah panjang. Adalah suatu kenyataan, biarpun kurang diketa­
hui sejauh ini, bahwa sejarah Afrika itu, kalau dibandingkan dengan sejarah
j aman _ kolonial, dengan sedikit kekecualian adalah sejarah toleransi dan pe­
rundingan.

984 ANALISA 1980 - 11
Dapatkah keadaan itu berlangsung terus? Sejarah itu lebih impresif dalam
arti bahwa masalah-masalah yang diwarisi adalah justru masalah-masalah
yang menurut pengalaman Eropa dan Asia seharusnya mendatangkan akibat-
akibat buruk, seperti terungkap dalam soal perbatasan. Beratus-ratus negara
dan masyarakat otonom pra-kolonial dihimpun menjadi beberapa berdasar­
kan persetujuan-persetujuan antar negara Eropa dalam periode 20 tahunan
(sampai 1901). Perbatasan mereka ditetapkan secara sewenang-wenang dan
untung-untungan sesuai dengan selera negara-negara Eropa atau kompromi
antara mereka; dan dalam kebanyakan hal sulit dibayangkan suatu cara yang
lebih tidak masuk akal untuk menghimpun beratus-ratus satuan menjadi lima
puluhan. Sedikit di antara perbatasan-perbatasan baru itu mempunyai arti
dalam perspektif pembangunan Afrika yang berlainan dengan perspektif per­
kembangan Eropa.
Apakah «kaum nasionalis dua puluh tahun yang lalu tidak seharusnya
mengubah peta benua mereka menjadi suatu rencana yang masuk akal? Tidak­
kah seharusnya mereka menciptakan satuan-satuan dengan pasaran domestik
yang memadai dan menghapus klaim-klaim irredentis yang diajukan oleh rak­
yat perbatasan yang dipecah menjadi dua? Tidakkah mereka seharusnya
memperjuangkan pembentukan konfederasi satuan-satuan serupa itu atau pa­
ling tidak satuan-satuan yang mereka terima? Kini mungkin mudah untuk ber­
pikir demikian. Pemimpin-pemimpin nasionalis yang paling bijaksana ber­
pikir demikian pada waktu itu dan berusaha mencapai kemajuan ke arah itu.
Suatu sejarah politik nasionalisme pada bagian akhir dasawarsa 1950-an dan
awal 1960-an penuh bukti usaha-usaha mereka: misalnya untuk membentuk
suatu konfederasi di Afrika Timur bekas jajahan Inggeris atau di Afrika Barat
bekas jajahan Perancis.
Semua usaha itu gagal karena dua alasan. Pertama, kaum nasionalis mene­
rima, dan oleh keadaan mereka terpaksa menerima, segala asumsi negara-
bangsa Eropa yang menjadi model negara-negara baru mereka. Di antaranya
ialah kesucian perbatasan-perbatasan. Ini dinyatakan secara singkat oleh Pre­
siden Kenya Kenyatta pada tahun 1963 ketika dia mengukuhkan bahwa Kenya
’’tidak akan membiarkan sesenti atau, menyerahkan satu incipun dari negara
kita”. Kedua, setelah menimbulkan intransigensi ’’negara saya benar atau
salah”, negara-negara yang mundur itu tidak berbuat sesuatupun untuk mem­
permudah masalah-masalah kemerdekaan dengan meniadakan sumber-
sumber sengketa perbatasan yang paling buruk. Misalnya Inggeris tidak mau
menyerahkan Distrik Perbatasan Utara Kenya yang didiami orang-orang
Somali kepada Somalia, biarpun Sekretaris Koloni dan Persemakmuran
waktu itu, Duncan Sandys, dapat berdiri dalam parlemen dua puluh hari sebe­
lum kemerdekaan dan berkata: ’’Kita semua dalam parlemen mengakui
bahwa masalah Somali apabila lama tidak dipecahkan, dapat menimbulkan

AFRIKA DALAM PERGOLAKAN 985
kesulitan serius dan menciptakan suatu situasi yang sangat eksplosif di bagian
Afrika ini.”
Dibebani dengan perbatasan-perbatasan itu, apakah yang dapat dilakukan
oleh negara-negara baru sehubungan dengan sengketa-sengketa wilayah yang
pasti akan menyusul? Mereka dapat menjadi penengah dalam perselisihah-
perselisihan kecil, dan berusaha inenganggap sepi sengketa-sengketa pentingi
Mereka merasa tidak dapat mengubah perbatasan karena sekali diijinkan
suatu perubahan betapa banyak lagi tidak akan dituntut? Sesuai dengan itu
pada sidangnya di Kairo tahun 1964 OPA menerima sebuah resolusi yang me­
nyatakan bahwa ’’semua negara anggota berjanji akan menghormati perba­
tasan-perbatasan yang ada pada waktu mencapai kemerdekaan”. Masuk akal
sejauh mengijinkan kekecualian-kekecualian, hal itu menjadi ’’peraturan
emas” OPA. Tetapi dia tidak mengijinkan kekecualian apapun, dan orang-
orang Somali yang meramalkannya langsung menyatakan bahwa mereka
tidak akan menerima resolusi itu berlaku bagi perselisihan mereka dengan
Ethiopia dan Kenya mengenai pemasukan wilayah yang didiami orang-orang
Somali. Seperti dapat diramalkan perdebatan mengenai persoalan itu berlang­
sung terus tetapi tanpa mencapai kemajuan. Dan ledakan serius yang
diramalkan Sekretaris Sandys, telah mulai dengan empat tahun perang geril­
ya di Distrik Timur Laut Kenya antara 1963-1967, terjadi antara Somalia dan
Ethiopia pada tahun 1976. Bahkan tidak dalam kasus-kasus luar biasa, dari
sebelum ’’peraturan emas” muncul. OPA mampu atau bersedia menerima
suatu penyesuaian perbatasan.
Apakah OPA harus disalahkan? Tidak dalam arti realistis. Seperti in­
duknya PBB, OPA tidak bisa lebih daripada suatu majelis anggota-anggota­
nya, seperti dia juga tidak bisa lebih buruk. Anggota-anggotanya itu bukan
partai-partai politik dan gerakan-gerakan demokratis; melainkan pemerintah-
pemerintah (atau kerapkali hanya presiden-presiden administrasi birokratis)
yang pertama-tama berkepentingan, seperti anggota-anggota PBB, untuk
menjamin sifat-sifat negara berdaulat masing-masing yang mereka wakili,
atau seperti dikemukakan oleh para kritisi, untuk memanfaatkan kedaulatan
yang mereka miliki. Pengurangan kedaulatan, lewat konfederasi atau sarana-
sarana struktural lain, harus mewajibkan suatu pengurangan kekuasaan untuk
memeras dan tiada pemerintah atau presiden kecuali sejumlah kecil yang pa­
ling kecil sejauh ini menunjukkan kecenderungan ke arah itu.
Dalam situasi ini, dengan situasi sejalan di Eropa dan Asia, terus berlang­
sungnya intransigensi nasionalis rupanya akan mendatangkan konflik yang
lebih buruk. Suatu kasus yang jelas sekarang ini, yaitu Ethiopia, boleh jadi ha­
nya merupakan tanda suatu kondisi umum. Kasusnya mungkin luar biasa

986 ANALISA 1980- 11
karena Ethiopia adalah suatu negara merdeka dan bukan koloni Eropa. Teta­
pi
hakikat luar biasa
Ethiopia itu menjadi berkurang akibat kenyataan bahwa
sebagian besar perbatasan Ethiopia dibentuk dengan pengepungan imperialis.
Kaisar Menelik mendapatkan wilayah Somali Ogaden berdasarkan persetu­
juan pembagian dengan Itali dan Inggeris, seperti Kaisar Haile Selassie
menambahkan Eritrea kepada dominionnya pada tahun 1962. Itu adalah
tindakan-tindakan ekspansi kolonial. Kalau peraturan-peraturan yang sama
diterapkan pada koloni-koloni Ethiopia seperti pada koloni-kploni Eropa,
maka perbatasan-perbatasan Ethiopia juga harus menjadi sasaran dekolonisa­
si. Kiranya dapat diperkirakan bahwa tiada perdamaian di kawasan itu
sebelum dilangsungkan dekolonisasi.
Intervensi asing kadang-kadang dikemukakan sebagai suatu alasan penting
mengapa konflik-konflik serupa itu tidak dapat disingkirkan dengan pemin­
dahan kedaulatan antar Afrika atau dengan peleburan konfederal kedaulatan-
kedaulatan. Tidak diragukan hal itu ada benarnya karena adalah jelas bahwa
hanya intervensi asing telah mempertahankan aneksasi Ethiopia itu (berupa
bantuan militer Amerika Serikat sampai 1976 atau bantuan Soviet dan Kuba
sesudah itu). Namun dalam kenyataan intervensi asing tidak akan dapat men­
cegah penyesuaian perbatasan-perbatasan warisan kolonial yang progresif
kalau negara-negara Afrika yang bersangkutan bersedia atau bertekad untuk
melakukannya. Suatu kecenderungan untuk menyalahkan orang-orang asing
adalah inheren dalam kodrat kita, tetapi jarang merupakan suatu keterangan
cukup untuk menolak apa yang menurut keadilan dan akal sehat adalah bi­
jaksana.
Bentuk-bentuk intervensi asing lain lebih meyakinkan. Teknologi tinggi
senjata-senjata modern memppnyai imperialismenya sendiri. Intervensi-inter­
vensi relatif kecil bisa mempunyai akibat-akibat luas seperti berulang kali ter­
bukti tahun-tahun belakangan ini dalam operasi militer Perancis di Chad,
Zaire dan tempat-tempat lain. Akan tetapi petualangan-petualangan serupa
itu tidak akan mungkin kecuali atas undangan pemerintah-pemerintah lokal.
Rupanya juga tiada alasan dalam hukum dan praktek internasional untuk
melarang pemerintah-pemerintah di Afrika untuk minta bantuan asing, seper­
ti pemerintah-pemerintah yang berdaulat di Eropa melakukannya sejak per­
mulaan sejarah. Apa yang berlaku untuk Eropa berlaku pula untuk Afrika;
dan mereka yang mengecam rezim Angola minta bantuan Kuba dengan alasan
yang sama seharusnya juga mengecam rezim-rezim Chad dan Zaire minta ban­
tuan Perancis. Bahwa mereka tidak melakukannya tetapi lebih senang
memandang Angola sebagai suatu ’’kasus khusus” tidak termasuk argumen-
argumen hukum dan praktek internasional tetapi termasuk manuver politik.
Mengingat faktor-faktor konflik itu, baik intern maupun ekstern, apakah

AFRIKA DALAM PERGOLAKAN 987
yang terjadi kalau pengaruh mereka dibiarkan mengembangkan lebih lanjut
potensinya untuk pertarungan dan persaingan? Prospek dalam kasus itu
tidaklah cerah. Karena Afrika sudah bukan ’’area reservasi” atau monopoli
negara atau kelompok negara dari luar ini atau itu, kemungkinan perang men­
jadi sangat banyak. Kalau Perancis bi$a merasa dibenarkan mengirimkan pe­
sawat-pesawat jetnya untuk membom lawan-lawan Sahara Barat dari Mauri­
tania dan Maroko, apa yang akan mencegah negara-negara lain, terutama
superpower-superpower, melakukan operasi-operasi serupa dalam situasi per­
musuhan antar Afrika yang lain? Kalau perang saudara di propinsi Shaba di­
beri status suatu'sengketa internasional, seperti terjadi pada tahun 1977 dan
lagi pada tahun 1978, perang saudara mana yang tidak dapat dimasukkan
pada daftar yang sama? Dan bagaimana perang saudara serupa itu akan dihin­
dari selama terus berkuasanya rezim-rezim militer di banyak negara Afrika ti­
dak memungkinkan suatu pergantian rezim nonmiliter atau bahkan suatu per­
gantian pemerintah? Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, rupanya tiada
sesuatupun yang mencegah Afrika menjadi suatu medan pertempuran yang
cukup umum bagi kepentingan-kepentingan dan aliansi-aliansi yang berla­
wanan.
Aspek lain persoalan yang sama mengembalikan kita pada masalah penye­
suaian Afrika ke arah suatu sistem atau kelompok sistem yang cukup mantap,
merdeka dan dapat berkembang dengan daya sendiri. Kalau mosaik negara-
negara sekarang ini tidak boleh diganti dengan satuan-satuan dengan ke­
kuatan dan potensi ekonomi yang lebih besar dan lebih viabel, apakah yang
terjadi dengan taraf hidup rakyat Afrika? Sekretaris Jenderal Nigeria dari
Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika, Dr. Adebayo Adedeji, tidak mengatakan
sesuatu kontroversial ketika dia berkata pada pertemuan tahunan ECA tahun
1977 bahwa situasi ekonomi benua telah menjadi menakutkan. Dia hanya
mengatakan bahwa semua orang Afrika yang tahu menyadarinya dengan rasa
pahit. Antara 1960 dan 1975, menurut perkiraan ECA, pendapatan per jiwa
naik di sembilan negara Afrika tetapi turun di 14 negara di bawah 100 dollar
Amerika, sedangkan situasinya di negara-negara lain tidak lebih baik. Yang
sebaliknya sangat meningkat ialah hutang luar negeri. Pada 1960 negara-
negara Afrika mempunyai hutang luar negeri sebesar 7 milyar dollar Amerika,
yang pada waktu itu masuk akal. Tetapi pada 1975 hutang mereka sudah 28
milyar dollar Amerika dan harus menggunakan seperlima ekspor mereka un­
tuk membayar servis hutang itu. Siapa dapat menerima ini atau trend sama
yang berlangsung terus? Pada tahun 1973-1975 saja terms of trade rupanya
menjadi lebih buruk sekitar 15%. Dalam konteks ini prospek melunasi hutang
itu bukan saja buruk, tetapi suatu bencana. Perjuangan Tata Ekonomi Inter­
nasional Baru tidak akan mengubahnya.
Faktor-faktor lain ikut bicara. Dengan suatu sistem produksi yang mampu

988 ANALISA 1980 - 11
mengembangkan potensi kekayaan Afrika sepenuhnya, Afrika dewasa ini
masih sedikit penduduknya. Massa tanah terbesar di dunia itu didiami kurang
dari 450 juta orang. Tetapi dengan sistem produksi yang berlaku dan sistem
hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang dan peminjam uang sekarang
ini, laju pertumbuhan penduduknya, antara 2 dan 3% di kebanyakan negara,
hanya dapat berarti menurunnya taraf hidup yang telah rendah. Di samping
itu tiada atau sedikit bukti adanya perubahan struktural dan investasi yang
dapat mengubah perekonomian-perekonomian yang bergantung itu menjadi
satuan-satuan perkembangan ekonomi dan budaya menyeluruh yang ditopang
kekuatannya sendiri. Dalam hubungan ini kasus Ghana adalah sangat instruk­
tif. Ketika merdeka pada tahun 1957 Ghana termasuk koloni yang paling kaya
dan mampu meningkatkan volume produksinya, khususnya kakao, dari tahun
ke tahun dan segera mencapai tingkat-tingkat produksi yang sebelumnya tidak
pernah dibayangkan. Namun hutang Ghana kepada peminjam-peminjam
asing meningkat lebih cepat, dan kini Ghana mengalami kesulitan ekonomi.
Perluasan produksi saja rupanya tidak cukup. Perkembangan sejati memerlu­
kan lebih banyak, sesuatu yang berlainan.
Mengingat sejarahnya sejauh ini, model negara-bangsa Eropa kini rupanya
tidak mampu menghasilkan kemajuan lebih lanjut, baik mengenai penyesuai­
an wilayah maupun sistem politik atau operasi ekonomi. Perubahan-
perubahan atau alternatif-alternatif mana muncul? Ikhtisar di sini berarti
simplifikasi: dua arah rupanya dibayangkan. Yang pertama ialah meneruskan
model yang ada tetapi menyingkirkan sementara kelemahannya yang menon­
jol: dengan perkataan lain pertahankan isi tetapi ubahlah bentuknya. Dalam
hubungan ini contoh yang menarik ialah Ecowas, Masyarakat Ekonomi
Afrika Barat, yang dimaksud sebagai tiruan MEE. Pada pertengahan 1970-an
enam belas negara telah bergabung. Idenya ialah bekerja menuju suatu ja­
ringan konvergen kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di antara negara-
negara ini, dan akhirnya menuju peleburan kedaulatan masing-masing.
Semuanya ini masih pada tahap elementer, tetapi perkembangannya perlu
diikuti dengan seksama.
Orientasi lain berusaha menangani masalah-masalah mengatasi warisan
prakolonial dan kolonial secara lebih serius, dan juga baru pada tahap awal.
Tanda-tandanya hanya dapat dilihat di beberapa negara, khususnya di negara-
negara bekas jajahan Portugis: Angola, Mozambik, Guinea Bissau, Cape
Verde dan Sao Tome. Hal ini justru terjadi di negara-negara itu karena keeng­
ganan Portugal untuk mengijinkan suatu pembaharuan dalam sistemnya me­
maksa kaum nasionalis mencari suatu alternatif yang dalam keadaan mereka
mesti berarti revolusi. Argumen pokoknya di sini ialah bahwa model negara-
bangsa yang diwarisi dari era kolonial tidak dapat dibarui secara yang

AFRIKA DALAM PERGOLAKAN
989
berguna, tetapi harus dihapus dan diganti dengan suatu jenis negara-bangsa
lain: pendek kata tujuannya ialah mengubah baik isi maupun bentuknya.
Masalah esensial penyesuaian dilihat sebagai berakar pada hakikat rezim-
rezim post-kolonial dasawarsa 1960-an. Hakikat ini diulas sebagai elitis, arti­
nya rezim-rezim terdiri atas kelompok-kelompok relatif kecil, sering sangat
kecil, orang yang menunjuk dirinya. Privilesi dan kekuasaan mereka dianggap
sama dengan ’’kepentingan nasional”. Tetapi mayoritas besar rakyat yang
diperintah secara itu tidak mengidentifikasi kepentingan mereka dengan ’’soal
nasional”- kecuali dalam kekecualian periferal-tetapi dengan ’’soal sosial”.
Oleh sebab itu stabilitas dan kemajuan harus menuntut pembangunan kembali
negara dari ’’bawah ke atas”, dari kerja dasar atas ’’soal sosial”, dan tidak se­
perti sekarang terus membangun negara dari ’’atas ke bawah”, dari konsepsi
elitis ’’soal nasional”. Suatu contoh mungkin bisa menjelaskan dalih yang
kompleks ini.
Gerakan nasionalis Frelimo di Mozambik berhasil mendapatkan dukungan
dari kebanyakan kelompok etnis negara itu, biarpun banyak di antaranya sa­
ling mencurigai atau bermusuhan di masa lampau. Inilah sebabnya mengapa
Frelimo mampu mengalahkan orang-orang Portugis. Tetapi mereka tidak da­
pat mencapai persatuan efektif ini dengan himbauan akan ’’kepentingan na­
sional”, karena kebanyakan penduduk tidak melihat kepentingan serupa itu.
Mereka dapat mencapainya dan kemudian menarik semua kelompok lainnya,
termasuk sebagian penduduk kulit putih, dengan suatu program himbauan lo­
kal yang sangat realistis. Mereka mencari kepentingan bersama yang telah dili­
hat oleh penduduk, dan menemukannya dalam kebutuhan akan sekolah, dok­
ter, organisasi bentuk perwakilan demokrasi maupun dihentikannya pungutan
sewenang-wenang orang-orang Portugis. Dengan cara ini, bekerja atas dasar
persepsi kepentingan bersama di bawah, mereka juga mampu menghasilkan
suatu konsensus yang mengesankan atas ’’kepentingan nasional”.
Kalau hal ini mungkin di antara kelompok-kelompok etnis yang dihimpun
seenaknya oleh satu wilayah kolonial, demikian argumentasinya, maka pende­
katan yang sama pada waktunya dapat menimbulkan suatu trend pemersatu di
antara negara-negara bangsa yang secara sewenang-wenang ditetapkan dalam
pembagian kolonial. Mereka yang mendukung dalil ini dan bertolak dari situ
memperlawankan teori nation-building atau ”re-formulasi” dengan teori
’’koagulasi”. Yang kedua, bertolak dari model Eropa, mengandaikan bahwa
suaturezim mengambil semua unsur etnis dan menyatukannya dengan paksa
apakah mereka mau atau tidak, dan menggunakan kekerasan untuk
mengamankan prosesnya di mana perlu. Model alternatifnya mengandaikan
bahwa rezim bekerja untuk ’’merumuskan kembali” masyarakat dengan

990 ANALISA 1980 - 11
BENUA AFRIKA
Diambil
dari
Africa Guide 1980 (Saffron Walden, 1980), hal. 7
membimbing masing-masing unsur etnis - akhirnya masing-masing negara-
bangsa - ke arah suatu pengertian bahwa yang memisahkannya dari tetangga-
tetangganya jauh kurang bermanfaat daripada apa yang dari segi pembangun­
an dapat menyatukannya dengan mereka. Sepuluh atau lima belas tahun men­
datang akan menunjukkan sejauh mana alternatif ini didasarkan secara sehat
atas teori dan praktek.