Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 225 of 244
Peninggalan sejarah tersebut memberikan gambaran tentang warisan budaya dan sejarah daerah
tersebut.
Kata Kunci: bangunan Kolonial; identifikasi; pesisir Timur Aceh


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License.

Pendahuluan
Wilayah Pesisir Timur Aceh memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan dan
transportasi laut antara Aceh dengan negara-negara Asia dan Eropa. Kehadiran Kolonial
Belanda di wilayah ini membawa pengaruh yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur
dan perubahan budaya di daerah tersebut (Daulay & Abdullah, 2017). Sejarah Kolonial
Belanda di Aceh mencakup periode yang signifikan dalam perkembangan Aceh dan
memainkan peran penting dalam membentuk identitas sejarah daerah tersebut. Pada abad ke-
17 hingga ke-19, salah satu wilayah di Indonesia yang pernah diduduki Kolonial Belanda yaitu
Aceh (Anwar, 2020). Selama masa pendudukan tersebut, Belanda membangun dan
meninggalkan banyak jejak sejarah, termasuk bangunan-bangunan peninggalan yang menjadi
saksi bisu perjalanan sejarah Aceh.
Bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh menjadi
bukti fisik dari interaksi antara Belanda dan masyarakat Aceh pada masa itu. Selain itu,
bangunan-bangunan peninggalan ini juga memberikan bukti tentang perubahan budaya yang
terjadi di Aceh selama periode Kolonial. Masyarakat Aceh pada masa itu terlibat dalam
interaksi dengan bangsa asing, dan pengaruh Belanda tercermin dalam seni, budaya, dan adat
istiadat yang berkembang di wilayah tersebut (Prasetyo & Kumalasari, 2021). Simbol
perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masa Kolonial Belanda bisa dilihat dari
peninggalan berupa bangunan-bangunan tersebut.
Bangunan-bangunan peninggalan tersebut memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat
penting. Mereka mencerminkan periode penjajahan dan transformasi sosial yang terjadi di
Aceh. Selain itu, bangunan-bangunan ini sering kali menjadi pusat kegiatan budaya dan
pariwisata, menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara (S. Purnomo et al., 2022).
Dengan mempelajari dan memahami bangunan-bangunan peninggalan tersebut, dapat
diungkapkan cerita sejarah yang berharga dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik
tentang masa lalu Aceh.
Seiring dengan pertumbuhan yang pesat di wilayah pesisir Timur Aceh (Kabupaten Aceh
Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang) saat ini, kita menyaksikan kepadatan
penduduk yang semakin meningkat. Hal ini tercermin dalam kondisi bangunan yang masih
mempertahankan ciri-ciri bangunan tua peninggalan Kolonial. Meskipun bangunan-bangunan
ini mulai tergerus oleh perubahan zaman, penting untuk melindungi dan melestarikannya.
Wilayah ini memiliki nilai sejarah yang signifikan, karena menyimpan peninggalan masa

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 226 of 244
Kolonial yang berharga. Melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah di
wilayah pesisir Timur Aceh bukan hanya penting untuk mempertahankan identitas dan warisan
budaya lokal, tetapi juga dapat menjadi daya tarik wisata yang berpotensi meningkatkan
ekonomi lokal (Dafrina et al., 2022).
Pelestarian dan pengembangan bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda
di Pesisir Timur Aceh menghadapi tantangan dan risiko yang perlu diperhatikan dengan serius.
Tanpa upaya identifikasi dan perawatan yang memadai, bangunan-bangunan ini berisiko
mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat faktor alamiah seperti cuaca ekstrem,
kekikisan, atau bahkan gempa bumi. Cuaca yang keras seperti hujan, angin, dan sinar matahari
yang berkepanjangan dapat merusak material bangunan dan mengikis keindahan dan keaslian
arsitektur Kolonial Belanda (Fauzia et al., 2021).
Selain itu, ancaman terhadap eksistensi bangunan-bangunan bersejarah ini juga datang
dari adanya urbanisasi dan pembangunan modern yang terus berkembang (Hermawan, 2021).
Pertumbuhan populasi dan kebutuhan akan ruang yang meningkat dapat memberikan tekanan
untuk menggantikan bangunan-bangunan bersejarah ini dengan infrastruktur baru seperti
perkantoran, pusat perbelanjaan, atau hunian modern. Dalam beberapa kasus, bangunan
bersejarah bahkan dapat dihancurkan untuk memberi jalan bagi pembangunan yang lebih baru
dan fungsional (Yulia et al., 2022). Kekhawatiran lain adalah kurangnya kesadaran dan
apresiasi terhadap nilai sejarah dan budaya bangunan-bangunan peninggalan Kolonial Belanda
di kalangan masyarakat. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya melestarikan warisan
budaya dapat mengakibatkan penelantaran dan kurangnya dukungan untuk pelestarian
bangunan-bangunan tersebut.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah yang konkret dan
berkelanjutan. Hal pertama yang perlu dilakukan identifikasi yang komprehensif dan pemetaan
yang akurat pada bangunan-bangunan yang menajdi peninggalan masa Kolonial Belanda di
Pesisir Timur Aceh. Menurut Richard and Roosandriantini (2023) definisi identifikasi ialah
penetapan atau penentuan dalam identitas seseorang atau benda. Hal ini akan memungkinkan
pengumpulan data yang lebih lengkap tentang sejarah, arsitektur, dan kondisi aktual bangunan-
bangunan tersebut. Kendala lain dalam pelestarian dan pengembangan bangunan-bangunan
peninggalan ini adalah kurangnya data dan informasi yang komprehensif. Saat ini, masih
terdapat kekurangan dalam penelitian yang mendalam dan identifikasi yang akurat mengenai
bangunan-bangunan ini, termasuk informasi tentang sejarah, arsitektur, dan kondisi aktualnya.
Untuk menjaga keaslian dan kelestariannya, diperlukan upaya lebih lanjut dalam
mengumpulkan data yang komprehensif dan melakukan penelitian yang lebih mendalam.
Seperti identifikasi bangunan sejarah dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2017)
yang berjudul identifikasi bangunan cagar budaya di Kabupaten Wonosobo, yaitu khususnya
identifikasi bangunan cagar budaya menjadi penting dalam konteks peningkatan Kota dengan
peninggalan dari era Hindu-Buddha dan perkembangan Kota Wonosobo pada masa Kolonial
Belanda.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 227 of 244
Peningkatan pariwisata berbasis sejarah dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi
tantangan ini. Pariwisata berbasis sejarah memiliki potensi ekonomi yang signifikan bagi
Masyarakat. Dengan mengidentifikasi dan mengembangkan bangunan-bangunan peninggalan
masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh, dapat diciptakan destinasi wisata yang menarik,
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, serta memberikan dampak positif pada ekonomi
lokal. Selain itu, pengembangan pariwisata berbasis sejarah juga dapat mempromosikan
pemahaman dan apresiasi terhadap warisan budaya Aceh yang kaya.
Pelestarian mengenai peninggalan bangunan masa Kolonial sangat penting dilakukan.
Hal tersebut seperti yang terdapat pada penelitian Simanjuntak (2023) "Pelestarian Cagar
Budaya Arsitektur Konservasi Klenteng Darma Rakita Jamblang" dan penelitian Sagita et al.,
(2022) yang berjudul "Analisis Pelestarian Cagar Budaya Studi Kasus Cagar Budaya Taman
Sari Gunongan" saling terkait dalam konteks pelestarian warisan budaya. Keterkaitan ini dapat
ditemukan dalam perbandingan pendekatan penelitian keduanya. Sementara penelitian pertama
berfokus pada pelestarian klenteng dengan penekanan pada aspek arsitektur dan konservasi,
penelitian kedua mengeksplorasi strategi pelestarian melalui studi kasus Cagar Budaya Taman
Sari Gunongan. Keduanya memiliki tujuan utama untuk menjaga keaslian dan integritas
budaya, tetapi melalui pendekatan yang berbeda.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan identifikasi terhadap bangunan-bangunan
peninggalan sejarah di pesisir Timur Aceh dengan tujuan utama untuk memahami dan
menggambarkan kondisi terkini dari bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda
tersebut. Penelitian ini memiliki urgensi yang sangat penting dalam menjaga dan melestarikan
warisan budaya yang berharga, memperkuat identitas lokal, meningkatkan pendidikan dan
kesadaran masyarakat tentang sejarah daerah, serta menjalankan kajian sejarah dan sosial yang
lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini juga memiliki potensi untuk mengembangkan sektor
pariwisata dengan menciptakan destinasi wisata yang menarik dan memberikan kontribusi
positif pada ekonomi lokal.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah atau
historis. Menurut Wasino & Hartatik Sri Endah (2018), metode sejarah merupakan suatu
pendekatan yang bertujuan untuk mengkaji kembali peristiwa di masa lalu dengan
menggunakan seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis. Metode ini melibatkan
pengumpulan sumber sejarah secara efektif, evaluasi yang kritis terhadap sumber-sumber
tersebut, dan penyajian hasil sintesis dalam bentuk tulisan. Menurut Wasino & Hartatik Sri
Endah (2018), langkah-langkah dalam penelitian sejarah mencakup pengumpulan sumber
(heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi).
Heuristik mengumpulkan sumber-sumber primer seperti dokumen arsip, surat-surat, foto-
foto, dan sumber-sumber sekunder seperti buku, artikel, dan penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh. Kemudian melakukan survei lapangan
untuk mencari dan mengidentifikasi bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda
di area pesisir Timur Aceh.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 228 of 244
Verifikasi sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Sumber data ini mencakup catatan
resmi, dokumen, surat-surat, dan arsip lainnya yang berkaitan dengan masa Kolonial Belanda
di pesisir Timur Aceh. Pada tahapan verifikasi, peneliti melakukan kritik terhadap keabsahan
dan keandalan sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Kemudian melakukan analisis
terhadap potensi bias atau beberapa sudut pandang.
Intrepretasi dengan menggunakan informasi yang dikumpulkan untuk merekonstruksi
sejarah bangunan-bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda di pesisir Timur Aceh.
Kemudian mencoba cari tahu tujuan awal pembangunan, pemiliknya, dan perubahan-perubahan
yang terjadi sejak saat itu. Adapun teori yang digunakan pada tahapan interpretasi ialah teori
poskolonial. Teori ini menyoroti dampak panjang kolonial pada budaya, masyarakat, dan ruang
fisik setelah masa penjajahan berakhir.
Historiografi dengan menulis peristiwa yang terjadi pada masa lalu berdasarkan fakta-
fakta yang sesungguhnya yang kemudian telah dilakukan penafsiran mengenai identifikasi
bangunan-bangunan peninggalan sejarah masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh. Pada
tahapan penulisan peristiwa masa lalu ini diperlukan penggunaan bahasa yang baik dan benar
serta mengikuti kaidah-kaidah penulisan yang logis dan sistematis.
Hasil Penelitian
Sejarah Masuknya Belanda ke Pesisir Timur Aceh
Pada abad ke-18, Langsa didirikan oleh seorang pendatang dari Minangkabau bernama
Datoe Dajang Menangkabauner. Datoe Dajang menjadi pemimpin pada masa itu. Namun, saat
Belanda datang ke Langsa, pemimpin wilayah saat itu adalah Teuku Chik Bentara Blang, yang
menolak kedatangan Belanda. Perselisihan antara uleebalang (pemimpin setempat) dengan
pemerintah Belanda mencapai puncaknya pada 18 Mei 1877 (Rahman & Riyani, 2020).
Kota Langsa, pada periode 1877-1942, pernah dikunjungi oleh Belanda. Kehadiran
Belanda di Langsa, yang saat itu masih bagian dari Aceh Timur, mengakibatkan pembangunan
rel kereta api dan jalan raya guna mempermudah transportasi. Perluasan infrastruktur tersebut
mencapai Sigli pada tahun 1898, melebihi wilayah Aceh Besar. Pada tahun 1903, jaringan
kereta api sudah mencapai Langsa. Selanjutnya, pemerintah menghubungkan jaringan kereta
api Aceh dengan kereta api Deli yang mencapai Pangkalan Brandan di Sumatera Utara (U.
Ibrahim & Ibrahim, 2020).
Saat Belanda memasuki Langsa (dahulu Aceh Timur), mereka mulai membangun
berbagai bangunan, termasuk pusat pemerintahan Belanda yang masih berdiri kokoh hingga
saat ini. Selain pusat pemerintahan, Belanda juga membangun perumahan dan toko di Langsa.
Ketika berada di bawah penjajahan Belanda, Kota Langsa dijadikan sebagai tempat transit dan
pos komando, sehingga banyak pejabat Belanda yang tinggal di sana. Dalam waktu singkat,
Kota Langsa berkembang menjadi Kota yang besar, dengan pembangunan infrastruktur yang
meliputi peninggalan Kolonialisme hingga saat ini (Muliana et al., 2022).
Pada masa pemerintahan Kolonial, Langsa dibangun menjadi ibukota Afdeeling Oostkust
van Atjeh (Afdeeling Aceh Timur) dengan tujuan memenuhi kebutuhan industri perkebunan

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 229 of 244
yang membutuhkan pusat administrasi dan fasilitas yang memadai. Kebijakan modernisasi
yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial pada saat itu juga berdampak pada perubahan
lembaga mukim di daerah tersebut (Zakir, 2018). Sebelum kedatangan Belanda, Aceh Timur
telah memiliki dua pelabuhan yang penting dalam aktivitas ekspor-impor, yaitu pelabuhan Idi
dan pelabuhan Bayeun. Namun, setelah wilayah tersebut dikuasai oleh Belanda, pelabuhan-
pelabuhan ini sempat ditutup untuk sementara waktu. Penutupan ini kemungkinan dilakukan
sebagai upaya pemerintah Kolonial untuk mengendalikan aktivitas perdagangan di daerah
tersebut. Meskipun demikian, pelabuhan-pelabuhan tersebut kemudian dibuka kembali dengan
alasan yang tidak jelas. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kebijakan atau mungkin
pertimbangan politik tertentu yang melibatkan kepentingan Kolonial pada saat itu (Usman et
al., n.d.).
Pembangunan Langsa sebagai ibukota Afdeeling Aceh Timur dan keberadaan pelabuhan-
pelabuhan penting sebelum dan sesudah kedatangan Belanda merupakan bagian dari perubahan
sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Aceh Timur pada masa Kolonial. Langsa sebagai
ibukota dan kehadiran pelabuhan-pelabuhan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap
perkembangan ekonomi dan aktivitas perdagangan di wilayah tersebut. Meskipun motivasi
awal pembangunan dan pengelolaan pelabuhan mungkin berasal dari kepentingan Kolonial,
namun dampaknya pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi setempat tidak dapat
diabaikan (Setyawati, 2016).
Kolonialisasi Belanda meninggalkan banyak peninggalan sejarah, termasuk bangunan-
bangunan bersejarah. Bangunan Kolonial ini menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa, dan
secara intrinsik merupakan bagian dari perkembangan arsitektur Indonesia (H. Purnomo et al.,
2017). Menurut Sumalyo Yulianto (1993) budaya Kolonial Belanda di Indonesia merupakan
hasil percampuran antara budaya pendatang dan kebudayaan Indonesia. Gaya arsitektur
bangunan tersebut juga disesuaikan dengan iklim di wilayah tertentu. Arsitektur Kolonial
tersebar di seluruh Nusantara, dan peninggalan Kolonial Belanda termasuk bangunan dan
benteng dengan arsitektur Kolonial juga dapat ditemukan di Langsa, yang dulunya masih
bagian dari Kabupaten Aceh Timur saat masa penjajahan Belanda.
Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan sejumlah lokasi objek bangunan
peninggalan sejarah yang tersebar di beberapa titik di Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh
Tamiang. Di Aceh Timur, terdapat Pendopo Bupati Aceh Timur dan Waduk Penampung Air
sebagai peninggalan bersejarah. Kota Langsa juga memiliki beberapa bangunan peninggalan
sejarah seperti Balee Juang, SD Negeri 1 Langsa, PDAM, Pendopo, Gedung Satpol PP dan
WH, dan Kantor Pos Langsa. Selain itu, di Kabupaten Aceh Tamiang terdapat gedung pendopo
Bupati dan bangunan industri perkebunan karet Belanda yang menjadi peninggalan sejarah
yang penting.
1. Pendopo Bupati Aceh Timur
Pendopo ini dibangun dalam rentang waktu antara tahun 1903 hingga 1930. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari ayah responden, diketahui bahwa seorang pengawas bernama

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 230 of 244
Schulz pernah tinggal di bangunan pendopo tersebut pada tahun 1920. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa paviliun bupati dibangun antara tahun 1903 hingga 1920. Pada masa
kolonial, gedung ini bernama De Woning Van De Controleur. Secara harfiah, dalam bahasa
Belanda, kata "Woning" berarti "rumah", "controleur" berarti "inspektur", dan "van" berarti
"di". Dengan demikian, terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah "Rumah
Inspektur di Aceh Timur". Bangunan ini dulunya merupakan tempat tinggal inspektur Onder
afdeling Idi pada masa penjajahan Belanda. Regulator Idi di bawah pengawasan Schulz
berperan penting dalam pengembangan infrastruktur di Idi, termasuk kereta api, pusat pos,
layanan telekomunikasi, dan bangunan-bangunan penting lainnya.
Setelah era otonomi, gedung ini terus digunakan dan difungsikan sebagai Kantor Asisten
Wedana. Kantor Asisten Wedana memiliki kedudukan yang serupa dengan regulator, hanya
saja istilah-istilah tersebut telah diubah ke dalam bahasa Indonesia, meskipun struktur otoritas
publik masih belum mengalami perubahan sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda.
Kecamatan menjadi tanggung jawab Pembantu Wedana, sebuah jabatan pemerintahan di bawah
tingkat wedana. Pada tahun 1959, terjadi penyesuaian dalam kerangka kekuasaan umum di
mana Wedana Tangan Kanan digantikan oleh Pejabat Rekanan yang berada di bawah
kekuasaan Pejabat. Hingga tahun 1999, gedung ini digunakan sebagai Kantor Pembantu Bupati.
Pada tahun 1999, Aceh diberikan otonomi daerah, dan jabatan Pembantu Bupati dihapuskan.
Sejak saat itu, kantor Camat Idi Rayeuk pindah ke gedung ini. Setelah wilayah Aceh Timur
dimekarkan pada tahun 2002, Idi Rayeuk menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun
2002, setelah pemekaran tersebut, gedung ini berubah menjadi pusat administrasi Aceh Timur
dan saat ini berfungsi sebagai pusat kegiatan regulasi dan sosial di Daerah Aceh Timur (Sari et
al., 2019).







Gambar 1. Pendopo Bupati Aceh Timur
2. Waduk Penampung Air Belanda
Waduk penampung air Peureulak di Aceh Timur memiliki sejarah yang terkait dengan
pembangunan infrastruktur air pada masa Kolonial Belanda. Waduk ini dibangun dengan tujuan
untuk menyediakan pasokan air bersih dan pengairan untuk daerah sekitarnya. Pembangunan
Waduk penampung air Peureulak diduga dilakukan pada masa awal abad ke-20, sekitar tahun
1920-an atau 1930-an. Bangunan ini menjadi pusat saluran air yang didistribusikan ke gedung-
gedung, perkantoran, dan permukiman pada masa Kolonial Belanda. Fungsinya sebagai sumber

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 231 of 244
air bersih sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendukung
perkembangan daerah tersebut.
Waduk peninggalan Kolonial yang terletak di Desa Alue Nibong, Kecamatan Peureulak,
Aceh Timur, hingga saat ini masih tegak berdiri dengan kokoh. Waduk ini memberikan manfaat
yang signifikan bagi petani sawah setempat, karena dibangun oleh Belanda pada masa itu
sebagai sarana pengairan untuk sawah-sawah di sekitarnya. Selain memberikan manfaat kepada
para petani, Pemerintah Desa setempat kini juga berinovasi dengan mengembangkan waduk ini
sebagai tempat wisata baru di Aceh Timur (Saleh Muhammad, 2019).







Gambar 2. Waduk Penampung Air
3. Gedung Balee Juang Ex Bappeda Aceh Timur (Gedung Museum Langsa)
Gedung Museum Langsa diperkirakan dibangun pada awal abad ke-20, sekitar tahun
1910-an, dengan tujuan awal mendukung perkantoran industri perkebunan yang sedang
berkembang di wilayah Aceh pada masa itu. Namun, pada tahun 1945, gedung ini memainkan
peran penting dalam perang kemerdekaan sebagai tempat rapat bagi para pejuang yang
melawan Jepang dan Kolonial Belanda. Dalam masa tersebut, gedung ini dikenal dengan nama
Balee Juang. Setelah tahun 1945, gedung ini berfungsi sebagai kantor perusahaan pupuk Asri
dan menjadi pusat kegiatan organisasi kemahasiswaan. Pada tahun 1980-an, gedung ini secara
resmi dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dan berubah menjadi gedung
perkantoran Bappeda Aceh Timur. Pada tahun 2014, gedung ini diserahkan kepada Pemerintah
Kota Langsa dan diubah menjadi Gedung Museum Langsa oleh WaliKota Langsa. Pengakuan
terhadap nilai historis dan budaya gedung ini tercermin dalam penetapan sebagai bangunan
cagar budaya oleh WaliKota Langsa melalui Keputusan Nomor 188/430/2016, yang
dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 2016.
Gedung Balee Juang adalah bangunan bersejarah yang dibangun oleh Kolonial Belanda
dengan desain arsitektur khas Belanda. Museum Langsa terdiri dari dua lantai, dengan teras di
lantai kedua yang menghadap ke jalan. Meskipun halamannya tidak terlalu luas, luas bangunan
Museum Langsa mencapai sekitar 838 meter persegi, dengan luas lahan sekitar 905 meter
persegi. Secara keseluruhan, gedung Museum Langsa memiliki warna putih dengan atap
berwarna merah. Ventilasi dipasang di atap dan terdapat tulisan "Balee Juang" di bawah atap
(Humaidy et al., 2022). Di Kota Langsa, gedung ini dikenal sebagai Bale Juang dan merupakan

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 232 of 244
salah satu situs bersejarah yang signifikan. Bale Juang memiliki nilai historis dalam perjuangan
kemerdekaan dengan arsitektur bergaya Eropa. Pada masa transisi kemerdekaan, gedung Bale
Juang bahkan digunakan sebagai tempat pencetakan uang, karena pada saat itu mata uang
Belanda digantikan dengan rupiah. Museum Bale Juang yang ada saat ini menawarkan berbagai
koleksi benda bersejarah yang menarik minat pengunjung, termasuk pelajar, mahasiswa, dan
masyarakat umum, baik dari dalam maupun luar wilayah. Banyak pengunjung yang datang ke
Bale Juang untuk menemukan informasi dan data mengenai peninggalan sejarah yang terdapat
di dalam museum, yang kini dikenal sebagai Museum Kota Langsa.









Gambar 3. Museum Kota Langsa
4. SD Negeri 1 Langsa
Gedung SD Negeri 1 Kota Langsa memiliki lokasi yang terletak di Jl. Cut Nyak Dhien,
Gampong Jawa, Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa. Bangunan ini diperkirakan didirikan
sekitar tahun 1910 dan pada awalnya digunakan sebagai fasilitas medis, yaitu Rumah Sakit
Khusus Militer atau sebagai tempat tinggal bagi Militer Kolonial Belanda di Langsa. Arsitektur
gedung ini menampilkan struktur yang panjang dengan satu lantai, dan terdapat kamar-kamar
bangsal yang dapat menampung sekitar 20 tempat tidur. Sebagai peninggalan sejarah, Gedung
SD Negeri 1 Kota Langsa memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting.
Keberadaannya mencerminkan jejak masa lalu dan perkembangan sejarah Kota Langsa. Pada
tanggal 7 Maret 2016, melalui Keputusan WaliKota Langsa Nomor 189/430/2016, gedung ini
secara resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh WaliKota Langsa, Bapak Usman
Abdullah. Pengakuan resmi ini mengamankan status gedung sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari warisan sejarah dan budaya Kota Langsa.
Meskipun telah mengalami transformasi fungsi dari rumah sakit menjadi lembaga
pendidikan, gedung ini tetap memancarkan nilai-nilai historis yang terkandung di dalamnya.
Saat ini, Gedung SD Negeri 1 Kota Langsa masih berfungsi sebagai lembaga pendidikan, yaitu
sekolah dasar yang melayani peserta didik di daerah tersebut. Keberlangsungan fungsi gedung
ini sebagai sarana pendidikan membantu menjaga warisan sejarah dan memastikan bahwa nilai-
nilai budaya yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan diteruskan kepada generasi yang
akan datang.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 233 of 244







Gambar 4. SD Negeri 1 Langsa
5. Tower Air PDAM Tirta Keumeuneng
Tower PDAM Kota Langsa dibangun pada tahun 1928 bersamaan dengan pembangunan
infrastruktur penyediaan air bersih di Keumueneng. Sejak saat itu, struktur tower ini berfungsi
sebagai pusat distribusi air yang mengalir ke berbagai gedung, kantor, dan permukiman pada
masa penjajahan Belanda. Desain arsitektur tower ini mengadopsi bentuk menara dengan pilar
beton sebagai elemen penyangga yang mampu menopang beban tangki penyimpanan air.
Diperkirakan kapasitas penampungan air yang dapat diakomodasi oleh tower ini sekitar 50.000
liter. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, tower PDAM Kota Langsa memiliki nilai historis
dan budaya yang penting. Kehadirannya menjadi bukti fisik dari perkembangan infrastruktur
air bersih pada masa penjajahan Belanda di Kota ini. Pada tanggal 7 Maret 2016, WaliKota
Langsa, Bapak Usman Abdullah, menetapkan tower PDAM sebagai bangunan cagar budaya
melalui Keputusan WaliKota Langsa Nomor 190/430/2016. Pengakuan resmi ini mengukuhkan
status tower PDAM sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan sejarah dan budaya Kota
Langsa.
Hingga saat ini, tower PDAM Kota Langsa tetap berdiri tegak sebagai saksi bisu dari
masa Kolonial Belanda. Keberadaannya menjadi simbol yang mengingatkan kita akan
perjalanan panjang dalam penyediaan air bersih di Kota ini. Tower ini juga mencerminkan
ketekunan dan ketahanan struktur bangunan yang dirancang pada masa itu. Meskipun telah
berusia puluhan tahun, kekokohan tower PDAM ini masih terjaga, memberikan gambaran
tentang kualitas konstruksi dan keunggulan teknik pada masa itu. Pemeliharaan dan pelestarian
tower PDAM Kota Langsa menjadi tanggung jawab untuk menjaga warisan sejarah dan budaya
Kota ini. Sebagai simbol masa lalu, tower ini memberikan wawasan yang berharga tentang
kemajuan teknologi dan infrastruktur di masa lampau. Pemahaman dan apresiasi terhadap tower
PDAM ini juga berperan penting dalam memperkuat identitas Kota Langsa dan
mengembangkan kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya bagi masa depan.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 234 of 244







Gambar 5. Tower Air PDAM Tirta Keumeuneng
6. Pendopo Langsa
Pada kondisi keamanan yang semakin kondusif di Aceh pada umumnya, Gedung
Pendopo Langsa memegang peran ganda sebagai rumah dinas dan kantor bagi pejabat Belanda
yang bertugas mengatur pemerintahan di onderafdeling Langsa. Onderafdeling ini mengelola
wilayah yang meliputi Manyak Payed, Sungai Raya, Peureulak, Lokop, dan Serbajadi di Aceh
Timur. Terletak di pusat Kota, Gedung Pendopo ini berdekatan dengan bangunan Kolonial
lainnya, menciptakan kompleks arsitektur yang memperkaya panorama sejarah Kota. Gedung
Pendopo Langsa memiliki nilai sejarah yang kuat dan secara resmi diakui sebagai cagar budaya.
Keputusan WaliKota Langsa Nomor 186/430/2016 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret
2016 oleh WaliKota Langsa, Bapak Usman Abdullah, memberikan pengakuan tersebut.
Keberadaan gedung ini menjadi bukti fisik yang berdiri tegak sebagai saksi bisu dari masa
Kolonial Belanda yang telah berlalu. Dalam kekokohannya, Gedung Pendopo Langsa
memancarkan nilai-nilai historis yang terkandung di dalamnya, menjadikannya simbol penting
dari warisan budaya Kota Langsa.
Gedung Pendopo Langsa tidak hanya mewakili era Kolonial Belanda, tetapi juga menjadi
pusat perhatian dan minat bagi para pengunjung dan masyarakat lokal. Keberadaannya
memberikan kesempatan bagi mereka untuk memahami dan menghargai perjalanan sejarah
Kota tersebut. Selain itu, gedung ini juga menjadi tempat penting untuk acara-acara resmi,
upacara adat, pertemuan masyarakat, dan kegiatan budaya lainnya. Sebagai bagian dari
kompleks arsitektur Kolonial di Langsa, Pendopo menjadi elemen yang memperkaya panorama
sejarah Kota dan menghadirkan nilai estetika yang tak ternilai. Melalui peran gandanya sebagai
rumah dinas dan kantor pemerintahan Kolonial Belanda serta statusnya sebagai cagar budaya,
Gedung Pendopo Langsa menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Bangunan ini tidak
hanya menceritakan kisah sejarah, tetapi juga menjadi tempat interaksi sosial dan ekspresi
budaya yang terus berkembang di tengah masyarakat. Sebagai warisan budaya yang berharga,
Gedung Pendopo Langsa menunjukkan pentingnya melestarikan dan memahami warisan
sejarah untuk menghormati masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 235 of 244







Gambar 6. Pendopo Langsa
7. Gedung Satpol PP dan WH Kota Langsa
Gedung Kantor Satpol PP & WH Kota Langsa diduga didirikan pada awal abad ke-20,
sekitar tahun 1910-an, bersamaan dengan pembangunan Gedung Museum Langsa. Menurut
keterangan masyarakat setempat, gedung ini awalnya berfungsi sebagai kantor administrasi
Kereta Api Langsa. Kehadirannya sebagai bagian dari warisan sejarah memberikan nilai
historis dan budaya yang signifikan bagi Kota Langsa. Pada tanggal 7 Maret 2016, WaliKota
Langsa, Bapak Usman Abdullah, menetapkan Gedung Kantor Satpol PP & WH Kota Langsa
sebagai bangunan cagar budaya melalui Keputusan WaliKota Langsa Nomor 187/430/2016.
Pengakuan resmi ini menegaskan pentingnya gedung ini sebagai bagian dari identitas sejarah
dan budaya Kota Langsa. Dalam penunjukan sebagai cagar budaya, gedung ini menjadi objek
perlindungan dan pelestarian, serta menjadi saksi bisu dari masa lalu yang telah berlalu.
Gedung Kantor Satpol PP & WH Kota Langsa tidak hanya memiliki nilai historis yang
signifikan, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam konteks arsitektur Kota. Gaya
arsitektur yang mungkin mencerminkan pengaruh Kolonial Belanda atau pengaruh lokal pada
masa tersebut dapat menjadi objek studi bagi sejarawan dan arsitek. Selain itu, kehadiran
gedung ini juga memberikan daya tarik visual dan estetika yang khas, menambah keindahan
dan keunikan Kota Langsa. Sebagai bangunan cagar budaya, Gedung Kantor Satpol PP & WH
Kota Langsa menjadi saksi sejarah yang mengingatkan kita akan perjalanan panjang Kota
tersebut. Melalui pengakuan resmi dan perhatian yang diberikan oleh pemerintah setempat,
gedung ini diharapkan dapat dilestarikan dan dirawat dengan baik, sehingga tetap dapat
disaksikan oleh generasi mendatang. Pemahaman dan penghargaan terhadap warisan sejarah
seperti gedung ini memberikan pelajaran berharga tentang identitas dan perkembangan Kota,
serta mendorong keberlanjutan budaya dan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian
warisan budaya bagi masa depan.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 236 of 244






Gambar 7. Gedung Satpol PP dan WH Kota Langsa
8. Gedung Kantor Pos Langsa
Pada masa Kolonial Belanda, pembangunan infrastruktur pos merupakan hal penting
dalam upaya memperluas jaringan komunikasi dan pengiriman surat-menyurat. Bangunan
Kantor Pos Kota Langsa diduga dibangun pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1910-an atau
1920-an. Gedung Kantor Pos tersebut merupakan salah satu penanda keberadaan sistem pos di
Kota Langsa. Sebagai kantor pos, gedung ini berfungsi sebagai pusat distribusi surat, paket, dan
layanan pos lainnya (Siregar Khairul Ikhsan Raja, 2017). Masyarakat dapat mengirim dan
menerima surat, mengirim uang, serta mengakses layanan pos lainnya di gedung ini. Selama
masa penjajahan Belanda, Kantor Pos Kota Langsa berperan dalam menghubungkan Kota
Langsa dengan daerah-daerah lain di Aceh maupun dengan daerah luar. Layanan pos sangat
penting dalam menjaga komunikasi dan hubungan antara penduduk setempat dengan keluarga
atau kenalan di tempat lain. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi,
peran Kantor Pos Kota Langsa mengalami perubahan. Dengan munculnya komunikasi
elektronik dan internet, penggunaan layanan pos tradisional telah berkurang. Meskipun begitu,
bangunan Kantor Pos Kota Langsa tetap menjadi simbol sejarah dan bagian dari warisan budaya
daerah tersebut.







Gambar 8. Gedung Kantor Pos Langsa
9. Pendopo Bupati Aceh Tamiang
Salah satu bangunan bersejarah yang patut disebutkan adalah Pendopo Bupati, yang
terletak di Kecamatan Kota Kualasimpang. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan Eks Kantor Wedana masa Kolonial Belanda, dan saat ini telah diubah menjadi Pendopo
Bupati berkat inisiatif dari H. Hamdan Sati, ST selaku Bupati Aceh Tamiang. Menurut literatur

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 237 of 244
yang ada, pembangunan Eks Kantor Wedana masa Kolonial Belanda ini hampir bersamaan
dengan pembangunan Istana Raja Karang Tamiang di Karang Baru, dan menjadi gedung megah
pertama yang dibangun untuk keperluan administrasi Kolonial Belanda di Kabupaten Aceh
Tamiang pada masa itu. Kantor Wedana di Aceh Tamiang memiliki peran yang sangat penting
dalam menjalankan kebijakan Kolonial Belanda di wilayah tersebut. Fungsi utamanya meliputi
pengumpulan pajak, pengaturan pertanian, pengawasan keamanan, dan penegakan hukum. Para
pejabat Wedana bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas tersebut serta memimpin
administrasi di wilayah Aceh Tamiang.
Pada tanggal 26 Januari 2015, peristiwa bersejarah terjadi ketika bangunan eks Kantor
Wedana masa Kolonial Belanda resmi diubah menjadi Pendopo Bupati Aceh Tamiang. Acara
tersebut ditandai dengan pelaksanaan upacara tepung tawar yang dipimpin oleh Bupati Aceh
Tamiang, H. Hamdan Sati, ST, dan Isteri. Hadir pula unsur Muspida dalam lingkungan
Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang serta tokoh masyarakat, termasuk almarhum Drs. Abdul
Latief, yang merupakan mantan Bupati Aceh Tamiang periode 2002-2012 (Bakri, 2015).







Gambar 9. Pendopo Bupati Aceh Tamiang
10. Bangunan Industri Perkebunan Karet Belanda
Pada masa pendudukan Belanda di Aceh Tamiang, industri karet di Kabupaten Aceh
Tamiang, terutama di Desa Alue Jambu, menjadi salah satu usaha sit gum (getah bermutu
tinggi) yang terkemuka. Meskipun masih menggunakan alat produksi manual, kualitas lateks
yang dihasilkan tetap terjaga. Pada tanggal 1 Oktober 1926, dua pemimpin Mavr asal Belanda,
yaitu Addie Verschure dan L. W. Van Roggen, mendirikan perusahaan karet ini. Bisnis ini
mulai berkembang pesat seiring waktu karena lokasinya yang strategis, dekat dengan pusat
Kota, sehingga memudahkan pengiriman barang ke daerah lain. Sejak berdirinya pada tahun
1926, organisasi ini telah mengembangkan sejumlah bangunan, termasuk danau trim elastis,
rumah otoritas Belanda, tempat tidur buruh, tempat tinggal staf, dan penjara. Bagi buruh
perakitan yang melakukan kesalahan dalam pekerjaan, mereka akan langsung ditegur dan
dihukum cambuk di penjara. Meskipun awalnya dikendalikan oleh Belanda, organisasi ini juga
terlibat dalam produksi plastik. Namun, pada tahun 1976, Belanda akhirnya melepaskan kendali
penuh atas industri ini (Hamdani et al., 2014).
Setelah itu, Teuku Jalil mengambil alih perkebunan karet tersebut dan mengubahnya
menjadi perkebunan kelapa sawit yang masih beroperasi hingga sekarang. Meskipun usaha ini

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 238 of 244
terus berjalan, sayangnya, bangunan-bangunan bersejarah era Kolonial Belanda di perkebunan
tersebut sekarang dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak lagi digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa sejarah dan warisan Kolonial Belanda di daerah ini belum mendapat
perhatian yang cukup dalam hal pelestarian. Oleh karena itu, penting untuk mengambil
langkah-langkah yang tepat guna menjaga dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah ini
sebagai bagian integral dari warisan budaya Aceh Tamiang, serta mempromosikan kesadaran
akan pentingnya menjaga sejarah lokal untuk generasi saat ini dan masa depan.







Gambar 10. Bangunan Industri Perkebunan Karet Belanda
Pemetaan Persebaran Cagar Budaya Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Pesisir
Timur Aceh
Cagar budaya memiliki dua aspek utama, yaitu sifat material dan sifat non-material.
Kedua aspek ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, karena mereka menentukan nilai
budaya suatu bangsa pada saat itu. Warisan budaya, yang meliputi benda-benda bersejarah,
bangunan, situs, dan kawasan cagar budaya, memiliki peran penting dalam meningkatkan
pemahaman kita tentang peristiwa sejarah serta sebagai sumber pengetahuan dan
pengembangan kebudayaan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga, melindungi, merawat, dan
menyelamatkan cagar budaya (Ibrahim, 2018).
Menurut Feilden dalam Tamimi et al., (2020), banyak bangunan Kolonial termasuk dalam
daftar bangunan cagar budaya. Bangunan cagar budaya memiliki karakteristik yang
menakjubkan dan menjadi objek studi dalam bidang kebudayaan, sosial, dan manusia yang
membangunnya. Karena nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, sosial, dan
budaya yang dimiliki oleh bangunan-bangunan Kolonial ini, penting untuk melestarikannya.
Oleh karena itu, bangunan-bangunan peninggalan Kolonial di Aceh sangat penting untuk
dilestarikan.
Beberapa Kota di luar Kutaraja, yang sekarang dikenal sebagai Banda Aceh, memainkan
peran penting dalam mendukung ekonomi Kolonial melalui sektor industri utama di wilayah
tersebut. Setiap Kota memiliki peran khusus dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Kolonial
di daerah tersebut. Sebagai contoh, Kutaraja berfungsi sebagai pusat perdagangan dan
pemerintahan, menjadi titik sentral yang vital dalam aktivitas ekonomi dan administrasi.
Peurelak menjadi pusat industri pertambangan minyak bumi, dengan sumber daya alamnya

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 239 of 244
yang kaya dan potensial dalam industri ini. Langsa, di sisi lain, memiliki fokus pada perkebunan
karet, menjadi daerah yang strategis dalam produksi dan ekspor komoditas ini. Sementara itu,
Kuala Simpang memiliki ketergantungan pada pertambangan minyak bumi, serta perkebunan
karet dan kelapa sawit.
Menurut Ismail dalam penelitian Muhajir et al., (2017), Langsa (onderafdeeling Langsa)
dan Kualasimpang (onderafdeeling Tamiang) menjadi dua Kota baru yang muncul setelah
industri hadir di Aceh Timur pada awal abad ke-20. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
Aceh Timur sebagai wilayah yang memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan industri di Aceh. Dengan adanya perkembangan industri di Kota-Kota ini,
wilayah Aceh Timur menjadi pusat aktivitas ekonomi yang penting, memberikan kontribusi
yang besar terhadap ekonomi Kolonial di Aceh secara keseluruhan. Peran ekonomi dan industri
dalam Kota-Kota di luar Kutaraja menunjukkan kekayaan sumber daya alam Aceh Timur dan
pentingnya wilayah ini dalam konteks pembangunan Kolonial (Muhajir, 2018). Selain itu, hal
ini juga mencerminkan bagaimana Aceh Timur memiliki potensi ekonomi yang signifikan dan
menjadi bagian integral dari sejarah ekonomi Aceh secara keseluruhan.
Pesisir Timur Aceh memiliki peran penting dalam mempertahankan identitas budaya,
meningkatkan kesadaran sejarah, dan menjadi daya tarik pariwisata yang unik. Pemeliharaan
dan pelestarian cagar budaya di daerah ini menjadi penting untuk membanggakan warisan
budaya yang kaya dan berkontribusi positif bagi pembangunan budaya dan pariwisata
(Meiranda et al., 2020). Dalam waktu yang relatif singkat, Langsa berkembang menjadi sebuah
Kota besar yang vital selama masa penjajahan Belanda. Infrastruktur yang dibangun di Kota
tersebut mencakup berbagai fasilitas pendukung, menjadikannya Kota Kolonial dengan
bangunan-bangunan bergaya Belanda.
Langsa telah menjadi pusat perkembangan industri perkotaan yang meliputi sektor
transportasi, komunikasi, dan layanan umum yang penting bagi pertumbuhan ekonomi di
wilayah tersebut. Pemerintah Kolonial berperan aktif dalam mendirikan industri-industri ini
guna mendukung sektor industri di wilayah pedesaan. Di sisi lain, sektor industri di pedesaan
Langsa terdiri dari perkebunan karet dan pertambangan minyak bumi yang dikuasai oleh
pengusaha kapitalis swasta. Langsa juga terlibat dalam industri hulu yang menghasilkan
barang-barang setengah jadi seperti lateks dan minyak mentah, yang kemudian dikirim ke
daerah industri hilir baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Pertumbuhan ruang perkotaan di Langsa sangat terkait dengan kebutuhan dan konsumsi
penduduk yang terpenuhi melalui fasilitas pendukung yang tersedia. Pada tahun 1905,
pemerintah Kolonial memulai perencanaan pembangunan Kota secara komprehensif di Langsa
Tunong dengan bantuan Korps Zeni. Langsa Tunong kemudian ditetapkan sebagai ibukota
Afdeeling Aceh Timur dan Onderafdeeling Langsa pada tahun 1908. Dalam waktu singkat,
Langsa berkembang menjadi Kota Kolonial yang ramai dan modern di kawasan pantai Timur
Aceh. Perkembangan industri dan infrastruktur yang pesat di Langsa memberikan kontribusi
penting bagi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi wilayah tersebut. Kota ini menjadi pusat
kegiatan ekonomi dan perdagangan, dengan fasilitas transportasi yang memadai dan koneksi

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 240 of 244
komunikasi yang baik. Industri-industri yang berkembang di Langsa juga menciptakan
lapangan kerja bagi penduduk setempat dan meningkatkan standar hidup mereka. Dengan
adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan, Langsa menjadi contoh nyata bagaimana peran
industri perkotaan dapat membentuk dan mengubah wajah suatu Kota serta memberikan
dampak positif bagi masyarakat dan ekonomi wilayah setempat (Muhajir et al., 2017).













Gambar 11. Peta Persebaran Cagar Budaya Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda
di Pesisir Timur Aceh
Pada gambar 11, pemetaan cagar budaya di pesisir Timur Aceh melibatkan beberapa titik
penting di berbagai daerah, termasuk Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang. Di Aceh
Timur, salah satu situs yang termasuk adalah Pendopo Bupati Aceh Timur, yang memiliki nilai
historis dan budaya yang signifikan. Selain itu, Waduk Penampung Air juga masuk dalam daftar
cagar budaya di wilayah ini, menunjukkan pentingnya dalam konteks pengelolaan sumber daya
air di daerah tersebut. Kota Langsa juga memiliki sejumlah bangunan yang telah diakui sebagai
cagar budaya. Gedung Balee Juang, sebagai salah satu contohnya, merupakan simbol
perjuangan dan semangat juang masyarakat Langsa dalam menghadapi peristiwa sejarah
penting. SD Negeri 1 Langsa juga menjadi bagian dari pemetaan cagar budaya, menunjukkan
pentingnya pendidikan dan lembaga pendidikan dalam pembentukan identitas dan sejarah Kota
ini. Selain itu, Gedung Pendopo, Gedung Satpol PP dan WH, PDAM, serta Kantor Pos Langsa
juga merupakan bagian dari pemetaan ini, menggambarkan keberagaman fungsi bangunan yang
memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.
Aceh Tamiang juga memiliki kontribusi dalam pemetaan cagar budaya. Gedung Pendopo
Bupati menjadi salah satu bangunan yang diakui sebagai warisan budaya, menggambarkan
peran penting yang dimainkan oleh pemerintah dalam sejarah dan perkembangan wilayah ini.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 241 of 244
Selain itu, ada juga bangunan industri perkebunan karet Belanda yang mencerminkan sejarah
industri dan pengelolaan sumber daya alam di daerah ini. Pemetaan ini memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang warisan budaya dan sejarah di pesisir Timur Aceh. Identifikasi dan
perlindungan terhadap lokasi-lokasi cagar budaya ini menjadi penting dalam menjaga kekayaan
budaya dan sejarah daerah tersebut, serta memperkuat identitas lokal dan meningkatkan
kesadaran akan warisan budaya yang dimiliki. Dengan pemetaan yang komprehensif,
masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama dalam memelihara dan menghargai cagar
budaya ini untuk generasi yang akan datang.
Kesimpulan
Sejumlah lokasi objek bangunan peninggalan sejarah masa Kolonial Belanda yang
tersebar di beberapa titik di Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang. Di Aceh Timur,
terdapat Pendopo Bupati Aceh Timur dan Waduk Penampung Air sebagai peninggalan
bersejarah. Kota Langsa juga memiliki beberapa bangunan peninggalan sejarah seperti Balee
Juang, SD Negeri 1 Langsa, PDAM, Pendopo, Gedung Satpol PP dan WH, dan Kantor Pos
Langsa. Selain itu, di Kabupaten Aceh Tamiang terdapat gedung pendopo Bupati dan bangunan
industri perkebunan karet Belanda yang menjadi peninggalan sejarah yang penting.
Peninggalan sejarah tersebut memberikan gambaran tentang warisan budaya dan sejarah daerah
tersebut. Penulis berharap agar pemerintah dan masyarakat pesisir Timur Aceh bersama-sama
melestarikan bangunan-bangunan peninggalan sejarah masa Kolonial Belanda. Impilkasi pada
penelitian ini ialah pemeliharaan dan pelestarian, edukasi agar kesadaran masyarakat yang lebih
baik.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Samudra yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu, tidak lupa kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada para dosen dan mahasiswa yang telah memberikan
bantuan yang luar biasa dalam pelaksanaan penelitian ini.
Daftar Rujukan
Anwar, A. (2020). Strategi Kolonial Belanda Dalam Menaklukkan Kerajaan Aceh Darussalam.
Jurnal Adabiya, 19(1), 13–28. http://dx.doi.org/10.22373/adabiya.v19i1.7482.
Bakri. (2015, January 27). Bupati Aceh Tamiang Resmikan Pendapa. Serambinews.Com.
https://aceh.tribunnews.com/2015/01/27/bupati-aceh-tamiang-resmikan-pendapa.
Dafrina, A., Muhammad, M., Andriani, D., & Fitri, R. (2022). Identifikasi Bangunan Kolonial
pada Hunian di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe sebagai Aset Heritage. Jurnal
Serambi Engineering, 7(2), 3163-3172. https://doi.org/10.32672/jse.v7i2.4209.
Daulay, M. G., & Abdullah, T. (2017). Pemukiman Militer Peninggalan Belanda Di Banda
Aceh (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta
Alam, 1900-2015). JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 2(2), 119-130.
https://jim.usk.ac.id/sejarah/article/view/3774.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 242 of 244
Fauzia, V. A., Kurniawan, E. B., & Wijaya, I. N. S. (2021). Tingkat Perubahan Bangunan
Hindia Belanda di Kawasan Cagar Budaya Kotabaru, Kota Yogyakarta. Jurnal Tata Kota
Dan Daerah, 13(2), 87–98. https://doi.org/10.21776/ub.takoda.2021.013.02.5.
Hamdani, R., Firmansyah, A.-F., Aulia, F., Syahputra, R., Zahwa, U., & Agustina, H. (2014).
Industri Getah di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 1926-1976. Seuneubok Lada: Jurnal
Ilmu-Ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan, 1(1), 72–77.
http://jurnal.unsam.ac.id/index.php/jsnbl/article/view/517.
Hamzah, F., Hermawan, H., Srinatami, D., (2021). Analisis Strategi Pengembangan Situs Cagar
Budaya Gunung Padang Sebagai Destinasi Wisata dan Peninggalan Sejarah Kebudayaan.
Media Wisata, 19(1), 57-67. https://doi.org/10.36276/mws.v19i1.66.
Humaidy, E. A., Dewi, C., & Muftiadi, M. (2022). Strategi Revitalisasi Gedung Juang Dengan
Konsep Adaptive Reuse Menjadi Museum. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Dan
Perencanaan, 6(1), 41–47. http://jim.usk.ac.id/ArsitekturPWK/article/view/16441.
Ibrahim, H. (2018). Cagar Budaya di Aceh dan Tanggung Jawab Pemeliharaannya. Riwayat:
Educational Journal of History and Humanities , 1(2).
https://jurnal.usk.ac.id/riwayat/article/view/20827.
Ibrahim, U., & Ibrahim, H. (2020). Awal perintisan kereta api di Aceh: Analisis Historis dan
Politik Tahun 1876-1896. Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1), 95–102.
https://semnasfkipunsam.id/index.php/semnas2019/article/view/20.
Kurniawan, E. W. (2017). Identifikasi Bangunan Cagar Budaya di Kabupaten Wonosobo. In
Prosiding Seminar Nasional Arsitektur Populis (p. B1-B33).
http://repository.unika.ac.id/15668/.
Meiranda, A., Rianto, T., & Yasmin, N. (2020). Pengaruh industri pariwisata terhadap
peninggalan bangunan kolonial di Kota Langsa. In Seminar Nasional Peningkatan Mutu
Pendidikan (Vol. 1, No. 1, pp. 546 -548).
https://semnasfkipunsam.id/index.php/semnas2019/article/view/158.
Muhajir, A. (2018). Langkah Politik Belanda di Aceh Timur: Memahami Sisi Lain Sejarah
Perang Aceh, 1873-1912. MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan, Sejarah, dan Ilmu-Ilmu
Sosial, 1(2), 160–171. https://doi.org/10.30743/mkd.v1i2.515.
Muhajir, A., Yuliati, D., & Rochwulaningsih, Y. (2017). Industrialisasi dan Eksistensi Kota
Langsa pada Era Kolonial, 1907-1942. Paramita: Historical Studies Journal, 27(1), 63–
76. https://doi.org/10.15294/paramita.v27i1.7320.
Muliana, M., Safyan, A., & Saputra, E. (2022). Identifikasi Fasad Museum Kota Langsa
Sebagai Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda. Rumoh: Journal of Architecture, 12(2),
53–60. https://doi.org/10.37598/rumoh.v12i2.209.
Prasetyo, O., & Kumalasari, D. (2021). Nilai-Nilai Tradisi Peusijuek Sebagai Pembelajaran
Sejarah Berbasis Kearifan Lokal: Indonesia. Mudra Jurnal Seni Budaya, 36(3), 359–365.
https://doi.org/10.31091/mudra.v36i3.1387.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 243 of 244
Purnomo, H., Waani, J. O., & Wuisang, C. E. V. (2017). Gaya & Karakter Visual Arsitektur
Kolonial Belanda Di Kawasan Benteng Oranje Ternate. Media Matrasain, 14(1), 23–33.
https://doi.org/10.35792/matrasain.v14i1.15443.
Purnomo, S., Ratnawati, D., Arifin, N., & Setuju, S. (2022, December). Pengembangan daya
tarik obyek wisata Gunungjambu berbasis karifan lokal Gunungkidul. In Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Vol. 1, No. 1,
pp. 408 -414).
https://seminar.ustjogja.ac.id/index.php/semnas_LP2M_UST/article/view/642.
Rahman, A., & Riyani, M. (2020). Cagar Budaya dan Memori Kolektif: Membangun Kesadaran
Sejarah Masyarakat Lokal Berbasis Peninggalan Cagar Budaya di Aceh Bagian Timur.
Mozaik Humaniora, 20(1), 12–25. https://doi.org/10.20473/mozaik.v20i1.15346.
Richard, B., & Roosandriantini, J. (2023). Identification Of Colonial Architectural Style In
Majapahit Hotel Building And Surabaya Youth Center Identifikasi Langgam Arsitektur
Kolonial Pada Bangunan Hotel Majapahit dan Balai Pemuda Surabaya. Arsitektur
Universitas Pandanaran Jurnal (ARSIP) , 3(1), 1 –10.
https://doi.org/10.54325/arsip.v3i1.38.
Sagita, E. S., Nurlaili, N., & Nurkamari, N. (2022). Analisis Pelestarian Cagar Budaya Studi
Kasus Cagar Budaya Taman Sari Gunongan. Jurnal Sains Riset, 12(2), 351–354.
https://doi.org/10.47647/jsr.v12i2.697.
Saleh Muhammad. (2019, September 15). Waduk Belanda di Peureulak, Potensi Wisata Masa
Depan. MODUSACEH.CO. https://modusaceh.co/news/waduk-belanda-di-peureulak-
potensi-wisata-masa-depan/index.html.
Sari, I. Y., Karsono, B., & Nurhaiza, N. (2019). Pelestarian Pendopo Aceh Timur Ditinjau Dari
Sejarah Bangunan. Jaur (Journal Of Architecture And Urbanism Research), 3(1), 69–76.
https://doi.org/10.31289/jaur.v3i1.2938.
Setyawati, D. (2023). Perkembangan Perkebunan di Aceh Abad Ke XIII–XIX. SINDANG:
Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, 5 (1), 25-30.
https://doi.org/10.31540/sindang.v5i1.1838.
Simanjuntak, R. S. M. (2023). Pelestarian Cagar Budaya Arsitektur Konservasi Klenteng
Darma Rakita Jamblang. Innovative: Journal of Social Science Research, 3(5), 5898–
5911. https://doi.org/10.31004/innovative.v3i5.5311.
Siregar, R. K. I. (2017). Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Langsa. Skripsi.
Aceh: Universitas Islam Negeri Ar -Raniry. https://repository.ar-
raniry.ac.id/id/eprint/3880/.
Sumalyo Yulianto. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University
Pers.

Madhan Anis, Ramazan Ramazan, Okhaifi Prasetyo, Reni Nuryanti, Intan Safitri, Wiwin Mauladi,
Maya Puspita, Mutiara Rahayu
Identifikasi Bangunan-Bangunan Peninggalan Sejarah Masa Kolonial Belanda di Pesisir Timur Aceh
Page 244 of 244
Tamimi, N., Fatimah, I. S., & Hadi, A. A. (2020). Tipologi Arsitektur Kolonial di Indonesia.
Vitruvian: Jurnal Arsitektur, Bangunan, dan Lingkungan, 10(8), 45-52.
http://dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2020.v10i1.006.
Usman, U., Akob, B., & Sahudra, T. M. (n.d.). Aceh East Coast Community Economic
Development (Historical Study And Existence Of Kuala Langsa Port And Its Contribution
To The Government Of 1900-2018). Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 15(1),
111–120. https://doi.org/10.24114/jupiis.v15i1.42676.
Wasino, & Hartatik Sri Endah. (2018). Metode Penelitian Sejarah: dari riset hingga penulisan
(Cetakan 1). Magnum Pustaka Utama.
Yulia, R., Erawati, M., Asnan, G., & Nopriyasman, N. (2022). Revitalisasi Kawasan Kota Tua
Padang sebagai Salah Satu Alternatif Wisata Sejarah di Kota Padang. Bakaba: Jurnal
Sejarah, Kebudayaan dan Kependidikan , 6(2), 17–22.
https://doi.org/10.22202/bakaba.2017.v6i2.
Zakir, M. (2018). Perubahan Pemerintahan Mukim di Langsa pada Era Kolonial, 1907-1942.
JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam) , 2(2), 269–277.
http://dx.doi.org/10.30829/j.v2i2.3039.