9

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN
Sistem urologi atau sistem perkemihan merupakan suatu sistem terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah terbebas dari zat yang tidak digunakan
oleh tubuh untuk kemudian menyerap zat-zat yang masih digunakan oleh tubuh.
Zat yang sudah tidak digunakan dalam tubuh, nantinya akan larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urine (Nuari & Widayati, 2017).

Gambar 2.1 Definisi Sistem Perkemihan
(dikutip dari www.dinus.ac.id, 2021)
2.1.1 Anatomi Sistem Perkemihan
1. Ginjal
Ginjal berlokasi pada bagian belakang dari kavum abdominalis,
pada area retroperotonial bagian atas di kedua sisi vertebrata lumbalis III
yang melekat langsung pada dinding abdomen. Ginjal memiliki bentuk
seperti kacang merah (ercis) yang berjumlah 2 buah dan terletak pada sisi
kanan dan kiri. Normalnya, ginjal pada bagian kiri lebih besar daripada

10



ginjal yang terletak pada bagian kanan dimana ginjal laki-laki lebih
panjang daripada seorang wanita (Nuari & Widayati, 2017).
a. Struktur Makroskopis Ginjal
1) Kulit Ginjal (Korteks)
Korteks tersusun dari tubulus serta bagian yang melaksanakan
proses penyaringan darah, yaitu pembuluh darah nefron yang
merupakan unit struktural dan fungsional ginjal. Di dalam nefron
terdapat banyak kapiler darah yang tersusun secara bergumpal
disebut glomerulus. Setiap glomerulus dikelilingi kapsula bowman
dimana gabungan dari keduanya disebut dengan badan malphigi.
2) Sumsum Ginjal (Medulla)
Medulla terdiri dari badan triangular yang disebut piramida ginjal
dimana dasarnya menghadap ke korteks dengan puncak yang
disebut papilla renalis yang mengarah ke bagian dalam ginjal.
3) Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis merupakan perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini
berlanjut menjadi dua sampai tiga kaliks mayor, yaitu rongga yang
mencapai glandular, bagian penghasil urin pada ginjal. Setiap
kaliks mayor bercabang menjadi beberapa kaliks minor, dimana
dari kaliks minor urine akan masuk ke dalam kaliks mayor hingga
menuju kandung kemih (Nuari & Widayati, 2017).

11




Gambar 2.2 Bagian-Bagian Pada Ginjal
(dikutip dari www.roboguru.ruangguru.com, 2021)
b. Struktur Mikroskopis Ginjal
Satuan Struktural dan fungsional yang terkecil dari ginjal biasa
disebut nefron. Setiap nefron terdiri atas vaskular dan tubuler dimana
komponen vaskular terdiri dari glomerulus dan kapiler peritubuler.
Sedangkan pada komponen tubuler, terdapat kapsula bowman, TKP,
TKD, TP, dan lengkung henle yang terletak pada medulla. Pada
kapsula bowman terdapat lapisan parietal dan visceral. Bagian tubulus
yang keluar dari korpuskel renal disebut TKP karena jalan yang
berkelok dan menuju tubulus distal (Nuari & Widayati, 2017).

Gambar 2.3 Bagian Nefron Ginjal
(dikutip dari www.markijar.com, 2021)

12



c. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal memperoleh asupan darah dari aorta abdominalis dengan
percabangan arteri renalis yang saling berpasangan antara kiri dengan
kanan yang bercabang menjadi arteri interlobaris kemudian menjadi
arteri akuata. Arteri interlobularis bercabang berbentuk kapiler menjadi
gumpalan darah yang biasa disebut dengan glomerulus, selanjutnya
dikelilingi oleh kapsul bowman dimana terjadi proses cadangan yang
pertama dan kapiler darah yang meninggalkan kapsula bowman akan
menjadi vena renalis yang masuk ke vena kava inferior (Nuari &
Widayati, 2017).

Gambar 2.4 Vaskularisasi Ginjal
(dikutip dari Ginus Partadiredja, 2021)
2. Ureter
Ureter terdiri dari dua saluran pipa dari ginjal menuju kandung
kemih (vesika urinaria). Sebagian ureter berada dalam rongga abdomen
dan sisanya berada dalam rongga pelvis (Nuari & Widayati, 2017).

13



3. Kandung Kemih
Vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengembang dan
mengempis yang terletak di belakang simfisis pubis dalam rongga
panggul. Vesika urinaria berbentuk kerucut dimana dikelilingi oleh otot
yang berhubungan dengan ligamentum. Vesika urinaria memiliki dinding
yang terdiri dari beberapa lapisan, yaitu peritoneum, tunika muskularis,
tunika submukosa, dan lapisan mukosa (Nuari & Widayati, 2017).
4. Uretra
Uretra biasa disebut sebagai saluran sempit yang memiliki pangkal
pada kandung kemih. (Nuari & Widayati, 2017).
2.1.2 Fisiologi Sistem Perkemihan
1. Fungsi Ginjal
Ginjal memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur volume
dan komposisi cairan tubuh, mengeluarkan zat racun, dan menghasilkan
hormon. Berikut beberapa fungsi ginjal. yaitu :
a. Mengatur volume air (cairan dalam tubuh).
Air di dalam tubuh akan mengalami metabolisme dan apabila
kelebihan air akan di ekskresikan oleh ginjal sebagai urine, kekurangan
air (kelebihan produksi keringat) dapat mengakibatkan urine yang
diekskresi berkurang sehingga konsentrasinya menjadi lebih pekat.
b. Mengatur keseimbangan osmitik dan elektrolit.
Apabila terjadi pemasukan maupun pengeluaran yang abnormal ion-
ion sebagai akibat dari pemasukan garam yang berlebihan atau
disebabkan karena suatu penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal
akan meningkatkan ekskresi ion.

14



c. Mengatur keseimbangan asam-basa.
Campuran dari makanan yang mengandung karbohidrat maupun lemak
tinggi dapat menghasilkan urine yang bersifat asam yang merupakan
hasil akhir dari metabolisme protein juga.
d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (asam urat, ureum, kreatinin)
e. Fungsi hormonal dan metabolisme.
Hormon renin merupakan eksresi dari ginjal yang mempunyai peran
mengatur tekanan darah dan membentuk eritripoiesis mempunyai
peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah
(Bolon et al., 2020).
2. Filtrasi Glomerulus
Kapiler glomerulus bersifat semipermeabel terhadap protein
plasma yang lebih besar dan permeabel terhadap air serta larutan yang
lebih mungil sepeti elektrolit, asam amino, glukosa serta residu nitrogen.
Glomerulus mengalami kenaikan tekanan darah hingga 90 mmHg.
Kenaikan ini terjadi karena anteriole aferen yang mengarah ke glomerulus
memiliki diameter yang lebih besar serta memberikan sedikit tahanan asal
kapiler yang lain. Darah didorong ke dalam ruangan yang lebih kecil,
sebagai akibatnya darah mending air dan partikel yang terlarut dalam
plasma masuk ke dalam kapsula bowman.

15




Gambar 2.5 Filtrasi Glomerulus
(dikutip dari wikipedia bahasa Indonesia, 2021)
Terdapat tiga faktor di proses filtrasi dalam kapsula bowman yaitu :
a. Tekanan osmotik (TO).
Tekanan yang dikeluarkan air (sebagai pelarut) pada membrane
semipermeable ke dalam area yang mempunyai banyak molekul yang
bisa melewati membrane semipermeable.
b. Tekanan Hidrostatik (TH)
Kurang lebih 15 mmHg dihasilkan oleh adanya filtrasi dalam kapsula
bowman serta berlawanan menggunakan tekanan hidrostatik darah.
c. Disparitas tekanan osmitik plasma dengan cairan pada kapsula
bowman mencerminkan perbedaan kosentrasi protein, sehingga
mencegah protein plasma untuk di filtrasi (Bolon et al., 2020).
3. Fungsi Nefron dalam Pembentukan Urine
Glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai bowman
yang selanjutnya berfungsi menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Di
tubulus terjadi penyerapan kembali zat yang disaring pada glomerulus,
residu akan diteruskan ke piala ginjal yang selanjutnya menuju ke ureter.

16



Terdapat tiga tahapan dalam pembenyukan urine, yaitu :
a. Proses Filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi sebab bagian atas aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring ialah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowman yang
selanjutnya akan diteruskan ke tubulus ginjal
b. Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan balik sebagian besar glukosa, natrium,
klorida, fosfat, serta ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
dimana biasa dikenal dengan obligator reabsorpsi yang terjadi pada
tubulus ginjal bagian atas.
c. Proses Sekresi
Sisa dari penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus akan
diteruskan ke piala ginjal yang selanjutnya akan diteruskan menuju
ureter untuk masuk ke kandung kemih (Bolon et al., 2020).
2.1.3 Autoregulasi Ginjal
RBF memiliki besar 1 liter/menit atau 20% curah jantung. Dari semua
aliran darah, 75% berada dalam korteks ginjal dimana nefron diperdarahi oleh
glomerulus dan kapiler peritubular. Kapiler efferen pada glomerulus menjadi
tinggi, sedangkan peritubular relatif rendah (Nuari & Widayati, 2017).
1. Laju Filtrasi Glomerulus
Glomerulus mampu mengfiltrasi sekitar 180 liter cairan dimana 1,5 liter
kembali direabsorpsi pada tubulus ginjal. Autoregulasi memungkinkan
tekanan darah berubah antara 70-160 mmHg.

17



2. Sirkulasi Ginjal
RBF berhubungan dengan fungsi ginjal dimana aliran darah melewati
kedua ginjal secara normal sebanyak 20-25% dari total output jantung dan
10-15% menuju ke nefron. Korteks mengambil alih oksigen yang sangat
sedikit, namun pada medulla ginjal terjadi proses aktivitas metabolic yang
sangat tinggi karena rearbsorpsi solute yang memaksa aliran darah rendah
untuk menjaga gradient osmotic tetap tinggi, dimana medulla memiliki
tegangan sekitar 15 mmHg dan glomerulus memiliki tekanan 50 mmHg.
(Nuari & Widayati, 2017).

2.2 KONSEP DASAR CHRONIC KIDNEY DESEASE
2.2.1 Definisi Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis adalah proses patofisiologi dari berbagai etiologi
yang mampu menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
irreversible, sehingga diperlukan terapi pengganti ginjal secara permanen
berupa cuci darah atau dengan cara transplantasi ginjal (Lubis et al., 2016).

Gambar 2.6 Perbedaan Ginjal Normal dan Gagal Ginjal Kronis
(dikutip dari www.rsudabdulaziz.com, 2017)

18



Gagal ginjal kronis adalah penurunan bertahap pada fungsi ginjal
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau degenerasi GFR kurang dari 60
ml/menit/1,73 m
2
yang terjadi selama minimal 3 bulan (InfoDATIN, 2017).
Pengertian lain dari gagal ginjal kronis menurut Damanik (2020) adalah
penyakit ginjal progresif yang ditandai dengan toksisitas uremik.
2.2.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Beberapa penyebab gagal ginjal kronis menurut Sloane (2014) adalah
sebagai berikut :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan yang terjadi pada nefron, terutama
glomeruli. Glomerulonefritis dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis.
b. Pielonefritis Kronis
Pielonefritis adalah peradangan pada pelvis ginjal akibat infeksi bakteri.
c. Batu Ginjal
Batu ginjal atau kencing batu disebabkan oleh pengendapan garam
kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu kecil mengalir bersama
urin dan batu besar menyumbat ureter yang dapat menyebabkan rasa sakit
yang menyebar dari ginjal ke daerah inguinal.
Sedangkan penyebab gagal ginjal menurut pemaparan Price, S. A., &
Wilson (2012) adalah :
a. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multipel yang melebar
bilateral yang secara bertahap menghancurkan parenkim ginjal.

19



b. Penyakit Endokrin (Nefropati Diabetik)
Nefropati diabetik (penyakit ginjal pada pasien diabetes) adalah salah satu
penyebab utama kematian pada diabetes kronis. Lebih dari sepertiga
pasien baru yang terdaftar dalam program ESRD (Penyakit Ginjal Tahap
Akhir) menderita gagal ginjal.
2.2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis
Berdasarkan pada LFG gagal ginjal kronis dibagi menjadi 5 tingkatan
dimana tingkatan tersebut telah sesuai dengan ada atau tidaknya kerusakan
yang terjadi pada ginjal.
Menurut Kidney Disease :Improving Global Outcomes (KDIGO)
dalam Made et al (2013) gagal ginjal kronis dibagi menjadi 5 stadium atau
kategori berdasarkan penurunan yang terjadi pada Glomerulus Filtration Rate,
yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal kronis
Std Penjelasan GFR (mL/min/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal
atau meningkat
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan penurunan
ringan
60-89
3a
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
ringan sampai sedang
45-59
3b
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
sedang hingga berat
30-44
4
Kerusakan ginjal dengan penurunan berat
GFR
15-29
5 Gagal ginjal < 15
Dikutip dari : KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease (Eknoyan et al., 2013).
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) didapatkan dari hasil perhitungan
berdasarkan rumus Kockcroft-Gault, sebagai berikut :

20



LFG (ml/min/1,73m²) =
( )
(


)

Pada pasien wanita :
LFG (ml/min/1,73m²) =
( )
(


)

2.2.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis
Price, S. A. and Wilson (2006) mengatakan gagal ginjal kronis secara
umum terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu :
a. Stadium I
Pada stadium ini, terjadi penurunan cadangan ginjal, tetapi
konsentrasi kreatinin serum dan nitrogen urea darah (Blood Ureum
Nitogen) tetap normal.
b. Stadium II
Pada stadium tahap ini dinamakan insufisiensi ginjal, terdapat
kerusakan lebih dari 75% pada jaringan ginjal (LFG 25% dari normal).
Selanjutnya, kadar BUN dan kreatinin serum mengalami peningkatan.
c. Stadium III
Pada stadium ini, Sekitar 90% dari massa nefron hancur. Dari Pada
stadium ini pasien merasakan gejala yang cukup parah, hal ini dikarenakan
ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit
dalam tubuh.
2.2.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Pada pasien dengan CKD terdapat kerusakan persisten pada nefron.
Namun sisa nefron masih utuh dan berfungsi normal dalam menjaga
keseimbangan antara air dan elektrolit. Nefron yang tersisa mengalami
hipertrofi yang terjadi karena nefron berusaha melakukan seluruh beban ginjal.

21



Terjadinya peningkatan pada filtrasi dan reabsorbsi tubular pada ginjal dapat
menyebabkan penurunan hingga dibawah nilai normal. Ini akan menghasilkan
75% dari massa nefron mengalami kehancuran. Selain itu, laju filtrasi dan
beban zat terlarut masing-masing berbeda, sehingga menyebabkan kegagalan
keseimbangan glomerulus tubulus (penurunan keseimbangan antara
peningkatan filtrasi, penyerapan dan fleksibilitas dalam ekskresi atau
penyimpanan zat terlarut dan air). Terjadinya perubahan dapat mengubah
keseimbangan sehingga semakin rendah GFR, semakin besar perubahannya
(Price, S. A. and Wilson, 2006).
Psikologis pasien yang sedang mengalami gagal ginjal kronis sangat
terpengaruh. Hal tersebut disebabkan akibat dari perjalanan penyakit yang
amat panjang, ketidakmampuan pasien gagal ginjal kronis, dan perasaan yang
tidak nyaman akibat ketergantungan terhadap proses pengobatan yang sering
menjadi salah satu sumber perasaan putus asa (Wurara et al., 2013).
Menurut Owen (2016) pasien yang sedang menderita penyakit kronis
dapat menyebabkan pasien mengalami gangguan secara psikis dimana pasien
akan merasa bahawa penyakitnya merupakan suatu ancaman yang dapat
mempengaruhi kehidupannya di masa depan. Oleh karena perasaan yang
dialami pasien tersebut sistem saraf pusat menerima suatu persepsi yang
berbentuk ancaman. Persepsi itu sendiri timbul akibat adanya rangsangan
secara ekstrinsik maupun secara instrinsik dari dalam diri sendiri. Rangsangan
tersebut akan dipersepsi oleh panca indera dan direspon oleh sistem saraf
pusat yang kemudian memberikan implus menuju kelenjar hipofise sehingga
ancaman tersebut dipersepsikan kedalam bentuk kecemasan pada pasien
dengan penyakit kronis.

22



2.2.6 Komplikasi Gagal Ginjal Kronis
Komplikasi secara fisik pada pasien dengan gagal ginjal kronis
menurut Smeltzer & Bare (2015) yaitu :
a. Terjadinya hiperkalemia, yaitu penurunan ekskresi, asidosis metabolik.
b. Perikarditis, efusi perikardial
c. Hipertensi karena retensi dan disfungsi air, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal karena iritasi racun
d. Penyakit tulang dan kalsifikasi metastatik karena retensi fosfat, kadar
kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D yang tidak normal, dan
peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi atau akibat secara psikis pada pasien gagal ginjal kronis
menurut Gerogianni & Babatsikou (2014) yaitu proses psikologis pada pasien
gagal ginjal kronis berkesinambungan bagi pasien untuk menerima citra baru
dalam kehidupannya yang dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan
pasien dan sangat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu.
Individu dengan gagal ginjal kronis memiliki beberapa stressor dari pola
kehidupan yang mengalami perubahan sehingga terjadi masalah psikis yang
cukup serius pada pasien dengan gagal ginjal kronis, diantaranya adalah
psikopatologi, perkembangan gangguan kejiwaan, ansietas bahkan depresi.
2.2.7 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis menurut Lubis et al (2016)
meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.

23



4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Menurut Nuari & Widayati (2017) penatalaksanaan keperawatan pada
pasien CKD dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Konservatif
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD ini dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium darah dan urin, observasi balance cairan,
observasi oedema, dan membatasi cairan yang masuk kedalam tubuh.
2. Dialisis
Penatalaksanaan keperawatan dialisis pada pasien CKD dibagi menjadi
dua , yaitu :
a. Peritoneal Dialisis
Dilakukan pada kasus emergency. Dialisis yang bisa dilakukan dimana
saja biasa disebut dengan CAPD.
b. Hemodialisis
Pentalaksanaan ini dilkaukan melalui tindakan invasif vena dengan
menggunakan mesin yang dilakukan melalui daerah femoralis yang
dilakukan AV fistule.
3. Operasi
Penatalaksanaan keperawatan dengan operasi pada pasien CKD dapat
dilakukan dengan pengambilan batu dan tranplatasi ginjal.

24



2.3 KONSEP DASAR HEMODIALISA
2.3.1 Definisi Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu metode pemindahan senyawa terlarut dari
sisa metabolisme di dalam tubuh. Senyawa sisa yang terakumulasi pada pasien
CKD tersebut telah diproduksi menggunakan metode difusi membran pasif
semi-permeabel. Transportasi atau peralihan zat yang tersisa dalam produk
metabolisme bekerja dengan mengikuti gradien konsentrasi ke bawah dalam
sirkulasi dialisat (Sitifa et al., 2018).
Menurut Rachmanto (2018) hemodialisa adalah sebuah prosedur atau
tindakan terapi yang dilakukan untuk menggantikan kegunaan atau fungsi
ginjal dimana menggunakan suatu alat yang dibuat secara spesifik yang
bertujuan untuk mengobati tanda-tanda serta dampak LFG dengan kadar
rendah, sasaran dan kriteria dilakukannya terapi hemodialisa adalah untuk
menambah jangka waktu hidup penderita CKD dan untuk menaikkan kualitas
hidup pasien dengan gangguan CKD.

Gambar 2.7 Gambaran Terapi Hemodialysis
(dikutip dari www.ngestiwaluyo.com, 2018)

25



Dialisa umumnya diklaim sebagai terapi pengganti beberapa fungsi
ginjal sebab dapat ditinjau asal cara kerja terapinya dimana dialisa bekerja
dengan cara menggantikan fungsi ginjal yang seharusnya bisa dilakukan
secara alami tapi terjadi kerusakan sistem sehingga harus dibantu dengan
terapi. Terdapat dua macam dialisa yang acapkali dipergunakan yaitu
hemodialisa dan peritoneal dialisa tapi diantara kedua pilihan terapi tersebut
yang acapkali digunakan yaitu hemodialisa (Nurwanti, 2018).
Nuari & Widayati (2017) mengatakan hemodialisa dapat diartikan
sebagai pergerakan larutan dari darah pasien yang melewati dializer kedalam
dialisat. Dializer berguna memindahkan cairan. Hemodialisa memerlukan
mesin dialisa dan sebuah filter khusus yaitu dializer yang dipergunakan untuk
membersihkan darah. Darah akan dikeluarkan dari tubuh pasien dimana akan
dibuat suatu hubungan antara arteri dan vena melalui pembedahan.
2.3.2 Tujuan Hemodialisa
Menurut Nuari & Widayati (2017) tujuan pengobatan hemodialisa
sendiri adalah :
1. Mampu menggantikan fungsi ginjal dalam melakukan ekskresi, yaitu
dengan membuang sisa metabolisme di dalam tubuh seperti ureum,
kreatinin, dan sisa metabolisme lain di dalam tubuh.
2. Mampu menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan yang
terdapat dalam tubuh yang seharusnya dikeluarkan dalam bentuk urine
apabila fungsi ginjal tidak terjadi gangguan.
3. Mampu meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal yang signifikan.

26



2.3.3 Mekanisme Hemodialisa
Prosedur kerja hemodialisa dengan cara difusi dan ultra filtrasi
menggunakan membran semi permeabel. Sebelum dilakukan hemodialisa pada
indera diberikan heparin menggunakan dosis sinkron bertujuan agar tidak
terjadi penggumpalan darah didalam dializer, heparin berfungsi menjadi
antikoagulan (Atmojo, 1999).
Mesin yang digunakan dalam proses hemodialisa berfungsi untuk
mempersiapkan cairan (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah
melewati membran semi-permeabel, serta memantau fungsi dari dialisat dan
sirkuit darah korporeal.
Hemodializer terdiri dari membrane semi-permeable dimana terdapat
dua bagian, yaitu bagian untuk darah dan bagian untuk dialisat. Dializer
sendiri adalah capillary dialyzer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler yang
halus dengan penyusunan pararel. Darah mampu mengalir melalui bagian
tengah pada tabung dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Darah
dikeluarkan melalui kateter yang terdiri dari dua ruangan, dimana satu ruangan
dialirkan darah, dan satunya akan dialirkan dialisat sehingga terjadi difusi.
Perbedaan TH mampu dicapai dengan cara meningkatkan tekanan
positif dializer yang dapat meningkatkan resistensi terhadap aliran vena
maupun dengan cara menimbulkan efek vakum dalam ruang dalisat. Waktu
dalam proses hemodialisa setipa individu berbeda-beda dimana setiap kali
hemodialisa dilakukan sekitar 4-5 jam denga frekuensi 2 kali dalam waktu
satu minggu. Proses hemodialisa sendiri idealnya dilakukan pada rentang
waktu 10-15 jam/minggu dengan QB berada pada kisaran 200-300 mL/menit
(Nuari & Widayati, 2017).

27




Gambar 2.8 Prosedur Terapi Hemodialisa
(dikutip dari Ibnu Sina Gresik, 2021)
2.3.4 Prinsip Hemodialisa
Menurut Rachmanto (2018) hemodialisa memiliki 3 prinsip utama,
yaitu :
a. Proses Difusi
Proses difusi adalah proses berpindahnya suatu zat terlarut yang
ditimbulkan karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut pada
darah serta dialisat. Perpindahan molekul terjadi berasal zat yang
berkonsentrasi tinggi ke yang berkonsentrasi lebih rendah.
b. Proses Osmosis
Kelebihan cairan dikeluarkan berasal pada tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air bisa dikendalikan menggunakan menciptakan gradien
tekanan, dimana air beranjak dari tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yg lebih rendah (cairan dialisat).

28



c. Proses Ultrafiltrasi
Besar tekanan ini ditentukan oleh tekanan positif pada
kompartemen darah serta tekanan negatif dalam kompartemen dialisat
yang dianggap TMP (trans membrane pressure).
2.3.5 Indikasi Hemodialisa
Belum terdapat petunjuk yang mengatakan dengan jelas menurut kadar
kreatinin darah untuk menentukan kapan dilakukan hemodialisa. Pengobatan
dengan cara hemodialisa biasanya dimulai jika penderita sudah tidak sanggup
bekerja hingga akhir waktu, penderita mengalami neuropati perifer atau
dengan jelas memperlihatkan tanda dan gejala klinis lainnya. Mengenai
indikasi yang lebih khusus terapi hemodialisa yaitu hyperkalemia, oedema
pulmonum, dan asidosis yang tidak dapat diatasi (Nuari & Widayati, 2017).
Menurut KDOQI (2014) indikasi dilaksanakan terapi HD yaitu apabila
penderita kelebihan cairan yang sulit dikendalikan, hiperkalemia terhadap
terapi diet dan farmakologi, dan penurunan berat badan. Indikasi segera
berupa gangguan pada neurologis, lueritis, perikarditis, dan terjadinya
pemanjangan waktu perdarahan.
Menurut Santiko (2019) beberapa indikasi hemodialisa adalah sebagai
berikut :
1. Perikarditis akut
2. Terdapat overload cairan atau edema paru
3. Hipertensi dengan respon jelek teradap pengobatan anti hipertensi
4. Dapat berpotensi menjadi ensefalopati uremikum atau terjadi gejala
neuropati seperti konfusi, myoclonus, kejang, dan kelemahan saraf.
5. Perdarahan yang disertai uremia.

29



2.3.6 Kontraindikasi Hemodialisa
Kontraindikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap stresor, penyakit stadium akhir, dan sindrom otak organik. Selain itu
tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, maupun ketidakstabilan
hemodinamik dan koagulasi (Nuari & Widayati, 2017).
Menurut Pernefri (2003) kontra indikasi hemodialisa antara lain yaitu
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati
lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
2.3.7 Komplikasi Hemodialisa
Menurut Nuari & Widayati (2017) komplikasi hemodialisa secara fisik
antara lain:
1. Kram Otot
Terjadi separuh waktu sampai mendekati proses hemodialisa selesai.
2. Hipotensi
Terjadi karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium,
penyakit jantung, kelebihan berat cairan, dan neuropati otonomik.
3. Hipoksemia
Terjadi pada pasien dengan riwayat gangguan fungsi kardiopulmonar.
4. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penurunan kadar kalsium, magnesium, kalium, dan
bikarbonat berpengaruh pada aritmia penderita HD.
5. Perdarahan
Penggunaan heparin selama HD , fakor risiko terjadinya perdarahan.
6. Gangguan Pencernaan
Terjadinya mual dan muntah karena hipoglikemia dan sakit kepala.

30



7. Infeksi pada Akses Vaskuler
Terjadinya pembekuan darah terjadi karena pemberian dosis heparin yang
mungkin tidak adekuat.
Menururt Pemaparan dari Gerogianni & Babatsikou (2014) komplikasi
yang terjadi secara psikis pada individu yang sedang menjalani proses
hemodialisa pada awal dilakukan dialisis yaitu dapat berpengaruh terhadap
gangguan kepribadian psikologis yang cukup signifikan pada penderita,
individu dapat mengalami neurotisisme, alexythimia, introversi, dan
psikotisme. Persepsi penyakit dari gangguan psikologis pada pasien
hemodialisa itu sendiri dapat berupa kelelahan, penurunan kualitas hidup
penderita, depresi dan ansietas (kecemasan).

2.4 KONSEP DASAR ANSIETAS (KECEMASAN )
2.4.1 Definisi Kecemasan
Stuart (2013) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan definisi
kecemasan adalah sebuah bentuk kekhawatiran yang bersifat tidak jelas dan
menyebar yang sesuai dengan perasaan tidak pasti bahkan terkadang perasaan
yang tidak berdaya.
Menurut (Steven Schwartz, 2000 dalam Annisa & Ifdil, 2016)
mengatakan tentang pendapatnya mengenai kecemasan sebagai perasaan takut
yang fokusnya kurang spesifik, dimana ketakutan merupakan respon terhadap
beberapa ancaman secara langsung terhadap suatu keadaan yang sudah nyata
dan pasti. Kecemasan sendiri merupakan keadaan emosional negatif yang
ditandai adanya firasat dan somatik dari sebuah ketegangan, seperti hati
berdetak kencang, berkeringat banyak, dan bahkan kesulitan bernapas.

31



Kecemasan adalah timbulnya suatu perasaan yang tidak
menyenangkan dan digambarkan dengan kegelisahan atau ketegangan dimana
terdapat tanda-tanda hemodinamik yang abnormal sebagai akibat ataupun
konsekuensi dari stimulasi simpatik, parasimpatik maupun stimulasi endokrin
dimana kecemasan ini terjadi dalam berbagai tindakan maupun prosedur terapi
yang direncanakan (Zakariah, 2015).
Sedangkan menurut Sutejo (2017) yang dimaksud dengan kecemasan
atau ansietas adalah suatu betuk perasaan yang terkesan tidak santai atau biasa
dikatakan samar-samar karena adanya ketidaknyamanan atau tekanan akan
rasa takut yang disertai dengan suatu bentuk respon.
2.4.2 Teori Kecemasan
Teori keperawatan yang membahas perihal bentuk kecemasan
merupakan model teori adaptasi yang dikemukakan oleh Sister Calista Roy
(Teori Roy). Roy mengemukakan bahwa masalah keperawatan mampu
melibatkan mekanisme koping menjai tidak efektif sehingga dapat merusak
nilai dari individu tersebut. Selain itu, masalah keperawatan mampu
menyebabkan respon negatif sehingga menjadi tidak efektif (Budiono, 2016).
Roy mengatakan bahwa dalam teori tersebut memiliki empat elemen
dasar yaitu :
1. Elemen Keperawatan
Sistem keperawatan mampu membantu klien dalam beradaptasi dalam
lingkungannya untuk memberikan respons pada stimulus yang berasal dari
dalam sehingga mampu mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Koping
yang tidak efektif terhadap adanya tekanan ataupun stressor sangat
dibutuhkan adanya perawatan yang intensif dari proses keperawatan.

32



2. Elemen Manusia
Manusia pada hal ini memiliki kiprah menjadi regulator dan kognator
sebagai upaya untuk mempertahankan proses adaptasi. Proses kontrol
manusia merupakan suatu bentuk mekanisme koping dimana hasil
akhirnya ialah respon adaptif atau respon in-efektif.
3. Elemen Sehat
Kesehatan merupakan proses yang timbul pada makhluk hidup yang
terintregrasi dan memiliki nilai dalam tubuh individu sepenuhnya.
4. Elemen lingkungan
Lingkungan merupakan suata keadaan, kondisi mauapun suatu bentuk
kejadian yang mampu mempengaruhi suatu perilaku dan perkembangan
yang akan dilami oleh setiap individu ataupun kelompok (Budiono, 2016).
Proses dari adaptasi itu sendiri mampu melibatkan seluruh fungsi
secara keseluruhan. Jika suatu stressor mendapatkan sebuah stimulus, maka
tidak menutup kemungkinan akan muncul interaksi yang disebut juga sebaagi
stress sehingga adaptasi dari lingkungan itu sendiri sangat dibutuhkan dalam
mengatasi stress (Budiono, 2016).
Sedangkan menurut Stuart (2016) mengemukakan terdapat beberaap
teori yang mamapu menjelaskan tentang kecemasan, antara lain :
1. Teori Psikoanalisis
Menurut pandangan dari teori psikoanalisis, cemas merupakan konflik
yang terjadi antara dua bentuk elemen dari kepribadain sehingga muncul
sebuah emosional yaitu elemen id dan superego. Id membentuk dorongan
insting dan implus sifat primitif dari individu, sedangkan superego mampu
mencermikan hati nurani yang dimiliki oleh setiap individu.

33



2. Teori Interpersonal
Kecemasan merupakan suatu bentuk permasalahan yang timbul dari
perasaan takut terhadap suatu bentuk penolakan ketika melakukan
komunikasi dengan orang lain. Biasanya proses ini berhubungan dengan
trauma yang dialami pada masa pertumbuhan. Penolakan tersebut dapat
menyebabkan individu mengalami kecemasan.
3. Teori Perilaku
Dari teori perilaku , cemas dapat diartikan sebagai hasil frustasi dari segala
bentuk keadaan yang mengganggu kemampuan individu dalam mencapai
tujuannya. Kecemasan adalah keadaan dimana setiap individu memiliki
tekanan sehingga harus memiliki dorongan dari dalam diri sendiri untuk
menghindari kepedihan yang dialaminya.
4. Teori Keluarga
Terdapat tumpang tindih yang sangat mengganggu dalam proses keluarga
yakni antara gangguan cemas yang dialami dan gangguan depresi yang
muncul begitu saja dalam teori keluarga.
5. Teori Biologis
Mekanisme biologis mengenai penghambatan asam aminobuitrik-gamma
neuroregulator (GABA) mampu menyebabkan terjadinya kecemasan,
dimana keadaan kesehatan individu memiliki akibat nyata sebagai factor
predisposisi terhadap kecemasan yang dialami.
2.4.3 Klasifikasi Kecemasan
Klasifikasi ansietas menurut pemaparan dari Stuart & Sundeen (2014)
adalah sebagai berikut:

34



1. Ansietas Ringan
Ansietas ringan sangat berkaitan dengan adanya stressor dari kehidupan
sehari-hari dimana kecemasan itu sendiri mampu menyebabkan individu
menjadi lebih waspada yang ditandai dengan meningkatnya persepsi
terhadap berbagai hal terutama pada pasien yang mengalami penyakit
kronis yang dapat meimbulkan stressor ansietas.
2. Ansietas Sedang
Ansietas yang dialami individu pada tingkat sedang ini dapat membuat
individu hanya berfokus pada hal yang menurutnya sangat penting, dimana
tingkat ansietas ini dapat mempersempit persepsi individu terhadap suatu
pemikiran yang konstan.
3. Ansietas Berat
Persepsi individu sangat berkurang secara signifikan sehingga individu
hanya berfokus pada sesuatau yang sangat spesifik yang memungkinkan
individu tersebut tidak terfikirkan akan hal lain.
4. Tingkat Panik
Perasaan panik dapat timbul karena karena adanya rasa takut dan teror
yang sedang ia alami. Individu tidak mampu untuk melakukan suatu
tindakan dikarenakan hilang kendali sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk saling berinteraksi dengan satu individu dan individu
lainnya, memiliki persepsi yang menyimpang, dan kehilangan akal pikiran
yang rasional.

35



2.4.4 Rentang Respon Kecemasan

Gambar 2.9 Rentang Respon Kecemasan
Sumber: (Stuart, Buku Saku Keperawatan Jiwa , 2013)
1. Respon Adaptif.
Respon positif akan dominan apabila individu itu sendiri mampu
menerima dan mengontrol bentuk kecemasan yang dialaminya. Strategi
yang mungkin dilakukan seara adaptif dalam mengontrol kecemasan yakni
berbicara kepada orang lain, meluapkan melalui tidur, menangis, dan
terutama menggunakan teknik relaksasi yang dikuasai oleh setiap individu.
2. Respon Maladaptif.
Apabila kondisi kecemasan tidak dapat dikendalikan oleh individu, maka
individu tersebut akan menggunakan mekanisme koping yang tidak
berkesinambungan dan disfungsi terhadap permasalahan yang dihadapi.
Koping maladaptif sendiri memiliki banyak jenis terutama agresif, bicara
tidak jelas, terjadi isolasi sosial, banyak atau kurang makan, minum
alkohol dan obat terlarang, serta dapat melakukan perjudian (Stuart, 2013).
2.4.5 Manifestasi Klinis Kecemasan
Menurut Hawari (2016) terdapat beberapa gejala yang mungkin
ditimbulkan pada saat mengalami ansietas, antara lain :
1. Perasaan cemas, khawatir, takut akan pikirannya sendiri, tersinggung.

36



2. Individu tegang, tidak tenang, mudah gelisah, dan selalu merasa terkejut.
3. Takut sendirian atau bahkan takut akan keramaian dan banyak orang.
4. Individu mengalami gangguan pola tidur yang dapat mengakibatkan
mimpi yang sangat menakutkan apabila klien tertidur.
5. Mengalami gangguan pada konsentrasinya yang dapat berdampak pada
daya ingat individu tersebut.
6. Individu mengalami keluhan somatik, seperti nyeri pada otot dan
persendian, dada terasa berdebar, mengalami sesak nafas, gastritis ataupun
gangguan pencernaan lainnya, gangguan pada sistem perkemihan, dan
dapat menimbulkan sakit kepala pada individu.
Berdasarkan penuturan dari Pamungkas & Samsara (2018) manifestasi
klinis daripada kecemasan itu sendiri terbagi menjadi sensasi yang dialami
individu secara fisik dan sensasi psikis. Sensasi fisik yang dialami oleh
individu yang mengalami kecemasan yaitu kram otot, sakit kepala, denyut
nadi meningkat, berkeringat, mengalami kenaikan tekanan darah, mengalami
sulit tidur, pergi ke kamar mandi lebih atau bahkan kurang dari biasanya, dan
pencernaan terasa sangat melilit. Sedangkan sensasi psikis yang dialami oleh
individu yang mengalami kecemasan yaitu merasa gugup, merasa bahwa akan
terjadi suatu hal yang buruk, gelisah, dan sangat sulit untuk berkonsentrasi.
Klien dengan keadaan ansietas akan terlihat mengalami penurunan
penampilan sebagai bentuk persepsi diri sehingga klien tampak tidak bersih,
tidak rapi, dan tidak menutup kemungkinan bahwa klien akan mengalami
isolasi sosial dengan lingkungannya. Masalah ansietas yang terjadi secara
psikis apabila terjadi bersamaan dengan masalah ansietas secara fisik mampu
mengakibatkan terjadinya tingkat ansietas yang semakin berat (Zaini, 2019).

37



2.4.6 Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Stuart (2016) faktor yang mempengaruhi ansietas pada klien
terbagi atas :
1. Faktor Instrinsik
a. Umur Individu
Ansietas dapat terjadi di semua kalangan usia, sering terjadi pada usia
dewasa dan pada individu wanita.
b. Pengalaman Menjalani Pengobatan/Tindakan Medis
Ansietas dapat meningkat apabila individu kurang mendapatkan proses
terapi dan tindakan di rumah sakit sehingga persepsi dari individu yang
baru saja menjalani terapi akan mengalami ansietas karena pikiran
yang tidak menentu terhadap terapi yang dilakukan.
c. Konsep Diri dan Peran
Ansietas berlebih dapat terjadi pada individu yang memliki peran
ganda baik di dalam keluarga maupun di masyarakat yang disebabkan
oleh sulitnya berkonsentrasi karena adanya gangguan.
2. Fator Ekstrinsik
a. Kondisi Medis
Gejala ansietas yang erat kaitannya dengan kondisi medis seringkali
ditemukan pada individu yang sedang memiliki penyakit kronis.
b. Tingkat Pendidikan
Pendidikan memiliki arti tersendiri pada setiap individu, dimana
pendidikan pada umunya dapat merubah pola pikir pada setiap
individu dalam bertingkah laku dan mengambil setiap keputusan yang
akan dijalani.

38



c. Akses Informasi
Merupakan suatu bentuk pemberitahuan mengenai orang yang berfikir
tentang pendapatnya berdasarkan sesuatau ataupun pengalaman yang
diketahuinya.
d. Proses Adaptasi
Stimulus internal maupun stimulus eksternal yang dialami oleh setiap
individu dapat mempengarui tingkat adaptasi individu. Proses adaptasi
ini sendiri mampu menstimulasi individu untuk memperoleh sumber
dukungan dari lingkungan dimana ia berada.
e. Tingkat Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi pada setiap individu berhubungan dengan
gangguan psikatrik yang dialami, dimana masyarakat dengan kelas
sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi gangguan psikatrik
tinggi daripada kelas sosial ekonomi menengah keatas.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Manurung
(2018) mengenai faktor-faktor yang memepengaruhi kecemasan pada pasien
yang sedang menjalani hemodialisa adalah sebagai berikut :
1. Usia Pasien
Individu dengan usia 40-65 tahun mengalami perubahan dari segi fisik
maupun psikologis pasien namun hasil analisis yang dilakukan tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia dengan tingkat kecemasan.
2. Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukan tidak ada pengaruh signifikan terhadap
kecemasan pada pasien hemodialisa. Adanya angka kesakitan pada
perempuan merupakan dampak dari faktor intrinsik ataupun hormonal.

39



3. Tingkat Pendidikan
Pasien dengan tingkat pendidikan lebih tinggi atau setingkat dengan SMA
bahkan Sarjana memiliki koping yang lebih baik dalam menghadapi
kecemasan saat proses berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.
4. Pengalaman Pengobatan
Pengobatan hemodialisis tahap awal menyebabkan ansietas pada pasien
meningkat karena belum terbiasanya prosedur tindakan.
5. Lama Terapi
Perkiraan waktu lama terapi pada pasien yang akan menjalani hemodialisa
menyebabkan kecemasan individu meningkat.
6. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga sangat diperlukan pada pasien yang sedang menjalani
hemodialisa sebagai upaya mengurangi kecemasan yang dialami pasien.
Sedangkan factor penyebab kecemasan menurut Pamungkas &
Samsara (2018) antara lain sebagai berikut :
1. Pengalaman Tidak Menyenangkan di Masa Lalu
Keadaan cemas akan muncul dan timbul kembali pada situasi yang sama
apabila individu pernah memiliki background terjadinya penolakan pada
masa lalu yang membuatnya tertekan pada masa lalu atau pada masa
kanak-kanak.
2. Kehidupan dan Kebiasaan Sehari-hari
Pola kebiasaan sehar-hari pada individu diduga mampu mempengaruhi
kecemasan. Misalnya yaitu jika individu mempunyai permasalahan hidup
yang berat serta memiliki jam kerja yang panjang tentu akan berpengaruh
terhadap tingkat kecemasan yang dialami.

40



3. Diet
Kecemasan dapat timbul apabila pengaturan diet yang dilakukan kurang
tepat, seperti minum kopi dan gula terlalu banyak.
4. Kesehatan Fisik dan Jiwa
Kecemasan akan mengintai individu dengan permasalahan psikis maupun
fisik kurang baik akibat dari penyakit kronis yang dimilikinya.
5. Obat-obatan
Obat-obatan memiliki efek samping yang dapat menimbulkan kecemasan
apabila dikonsumsi, yaitu obat-obatan pada individu dengan gangguan
jiwa, steroid, dan obat malaria.
6. Genetika
Genetik atau keturunan dapat berperan dalam kecemasan sesesorang.
2.4.7 Patofisiologi Kecemasan
Hormon ansietas (kecemasan) yang dimiliki oleh setiap individu
terdapat di dalam sistem saraf pusat, yaitu hormone norephinephrine,
serotonin, dopamine, dan hormone gamma aminobutryic acid (GABA).
Sistem saraf otonom simpatik dapat bertindak sebagai perantara dari
banyaknya gejala kecemasan (Chand & Marwaha, 2020).
Dalam proses mereduksi ketakutan dan kecemasan amygdala sangatlah
berperan penting dimana individu dengan gangguan kecemasan terbukti
menunjukkan respon amygdala yang sangat meningkat, sehingga hal demikian
mempunyai arti bahwa isyarat terhadap tingginya level kecemasan
memungkinkan amygdala bekerja lebih keras yang mungkin lebih dari
kapasitasnya (Chand & Marwaha, 2020).

41




(Gambar 2.10 Patofisiologi Kecemasan)
(dikutip dari Chand & Marwaha, 2020)


2.4.8 Pengukuran Tingkat Kecemasan
a. HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)
Terdapat beberapa instrument yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
melakukan pengukuran untuk mengetahui tanda dan gejala yang terjadi
pada individu yang sedang mengalami kecemasan, salah satunya adalah
HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) dimana pada beberapa studi yang
pernah dilakukan sebelumnya intrumen ini terbukti memiliki validitas dan
reabilitas yang cukup tinggi (Zaini, 2019).
Faktor Intrinsik Individu Faktor Ekstrinsik
Sistem Syaraf Pusat
(Korteks serebri – Hipotalamus -
Sistem limbic - Hormone GABA
Hipofisis
Kelenjar Adrenalin
Sistem Syaraf Otonom Simpatis
& Parasimpatis
Amygdala meningkat
Timbul emosi negatif
Ansietas/ Kecemasan

42



b. STAI
Pada American Phsycological Association (2011) dikatakan bahwa STAI
adalah alat ukur tingkat ansietas yang paling umum digunakan untuk
mengukur state and trait anxiety. STAI sendiri dapat digunakan untuk
mendiagnosa suatu ansietas yang sedang dialami oleh individu dan mampu
membedakannya dari depresi. STAI sendiri memiliki form X dan form Y,
namun demikian form Y sendiri lebih popular digunakan dalam proses
penelitian. Formulir tersebut memiliki 20 item untuk menilai state anxiety
dan memiliki 20 item juga untuk menilai trait anxiety dimana masing-
masing setiap item mempunyai skor 4 dan semakin tinggi skor yang
diperoleh oleh setiap individu, maka kecemasan yang dialami oleh
individu tersebut menunjukkan nilai yang semakin berat atau besar
(American Phsycological Association, 2011).
2.4.9 Kecemasan Pada Pasien Hemodialisa
Dampak dari pasien hemodialisa salah satunya adalah perubahan
psikologis sehingga menimbulkan kecemasan. Kecemasan yang dialami
pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa merupakan
respon dari stressor yang dialami pasien kerena perubahan pada pola hidupnya
yang disebabakan oleh adanya proses penyakit (Wakhid & Suwanti, 2018).
Berdasarkan pemaparan Kaplan et al (2010) kecemasan pada pasien
hemodialisa diakibatkan karena adanya krisis situasional, ancaman kematian,
dan ketidakpastian dari hasil terapi hemodialisa yang dijalani. Menurut
Fatayati (2008) perubahan psikologis dapat terlihat berdasarkan perilaku dan
perubahan fisik pada pasien, dimana pasien sering merasa bingung, merasa
tidak aman, dan tampak berkeringat secara berlebihan.

43



Pasien gagal ginjal kronis yang sudah lama melakukan terapi
hemodialisa memiliki tingkat kecemasan yang lebih ringan dibandingkan
dengan pasien yang baru melakukan terapi hemodialisa dan cenderung
memiliki kecemasan tinggi karena belum terbiasa (Sasmita et al., 2015).
Menurut Black & Hawks (2014) kecemasan saat hemodialisa
membutuhkan penanganan yang baik seperti penanganan farmakologi dan
non-farmakologi. Penanganan farmakologi yang sering digunakan mengatasi
kecemasan pada pasien hemodialisa adalah obat-obatan jenis NSAID (non
steroidal anti-inflamatory) dan Eperissone, sedangkan terapi non-farmakologi
dapat dilakukan melalui terapi distraksi, aromaterapi, dan terapi relaksasi
dimana didalamnya terdapat terapi hipnosis dan relaksasi otot progresif.
2.4.10 Penatalaksanaan Kecemasan
Penatalaksanaan kecemasan secara farmakologis menurut Fricchione
(2004) yaitu dengan memberikan obat-obatan yang berjenis benzodiazepine.
Dimana obat-obatan yang lazim digunakan dalam mengatasi tingkat
kecemasan yaitu diazepam, alprazolam, propranolol, dan amitriptilin.
Sedangkan penatalaksanaan non-farmakologi menurut Keliat (2015) dalam
Livana et al (2018) yaitu dengan menggunakan teknik relaksasi, distraksi,
hipnosis lima jari dan kegiatan spiritual.
Menurut Hermanto et al (2020) ada banyak terapi yang digunakan
mengatasi tingkat kecemasan pasien secara non-farmakologis, diantaranya:
1. Terapi Autogenik
Terapi autogenik merupakan terapi yang melibatkan relaksasi mental yang
didasarkan pada sugesti otomatis, sehanggi terapi autogenik termasuk
dalam bidang meditasi individu.

44



2. Terapi Musik
Mendengarkan musik mampu meningkatkan keadaan psikologis pasien
sehingga mampu mensejahterakan fisik.
3. Guided Imagery
Mendengarkan guided imagery file audio selama 20 menit setiap hari
mampu mengurangi tingkat kecemasan bahkan depresi.
4. Mindfullness Training
Mampu meningkatkan keadaan relaksasi dan emosi positif.
5. Terapi Relaksasi Otot Progresif
Terapi ini mampu mengurangi responsifitas simpatik sistem saraf dengan
sistem kinerja otot.

2.5 KONSEP DASAR PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION
Individu yang sedang memiliki penyakit kronis akan mengalami
kecemasan dan stres, dimana kedua unsur tersebut dapat menjadi positif maupun
negatif. Kecemasan dan stress dapat diartikan sebagai unsur positif apabila
individu tersebut menjadi lebih termotivasi dan siap dalam upaya menghindari
bahaya, sedangkan respon negatif ditunjukkan apabila individu menghadapi
tantangan tanpa adanya teknik relaksasi (Simanullang & Siregar, 2020).
Menurut Kumar et al (2015) gejala kecemasan bahkan depresi mampu
meningkat apabila seorang individu melakukan terapi berkepanjangan sehingga
mengharuskan individu tersebut masuk ke dalam lingkungan rumah sakit,
terutama pada pasien yang memiliki penyakit kronis.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Essa et al (2017) mengatakan
bahwa pasien dengan operasi histerektomi yang mendapatkan terapi dengan

45



menggunakan teknik relaksasi otot progresif mampu menunjukkan adanya
penurunan tingkat kecemasan, depresi, dan stress secara signifikan.
Pada tahun 1920, Edmund Jacobson menemukan teknik relaksasi otot
progresif sebagai upaya dalam mereduksi kecemasan yang dialami oleh klien
yang dimana bahwa kinerja otot mampu menenangkan pikiran setiap orang
(Ramasamy et al., 2018).
2.5.1 Definisi Progressive Muscle Relaxation.
PMR adalah teknik relaksasi yang digunakan sebagai upaya untuk
mereduksi kecemasan yang melibatkan penurunan seluruh tubuh terutama
berguna sebagai penenang pikiran yang cemas. Terapi relaksasi otot progresif
sendiri melibatakan pengetatan dan melepaskan beragam kelompok otot
sebagai upaya mengurangi ketegangan tubuh dengan cara memusatkan
perhatian guna melepaskan stres ke seluruh tubuh dan juga menenangkan
pikiran. (Simanullang & Siregar, 2020).
Teknik relaksasi merupakan teknik yang dilandaskan pada cara kerja
sistem saraf simpatis dan saraf parasimpatis diamana otot akan dirilekskan
sehingga mampu menormalkan kembali fungsi tubuh (Marta, 2015).
Menurut (Perry & Potter, 2005 dalam Damanik, 2014) progressive
muscle relaxation merupakan kombinasi latihan pernafasan yang terkontrol
dengan rangkaian kontraksi serta relaksasi dari berbagai kelompok otot.
Aktivitas ini menciptakan sensasi dalam melepaskan ketidaknyamanan.
Dengan melakukan terapi progressive muscle relaxation secara berkelanjutan,
individu dapat merasakan relaksasi pada otot dari berbagai kelompok otot
yang diinginkan untuk relaksasi.

46



Teknik relaksasi otot progresif adalah suatu teknik relaksasi
memusatkan perhatian pada suatu aktivitas pada otot yaitu dengan cara
mengidentifikasi otot yang tegang kemudian mereduksi ketegangan dengan
teknik relaksasi untuk memperoleh rileks (Purwanto, 2013).
2.5.2 Manfaat Progressive Muscle Relaxation
(Snyder & Lindquist, 2006 dalam Damanik, 2014) mengemukakan
PMR mampu menurunkan konsumsi oksigen dalam tubuh, frekuensi napas,
ketegangan otot, dan meningkatkan gelombang alpha di dalam otak.
Menurut Dhyani et al (2015) manfaat dari progressive muscle
relaxation dalam tubuh yakni dapat mengurangi ketegangan yang dirasakan
pada otot, meningkatkan kondisi kesehatan mental menjadi lebih baik,
meningkatkan kerja parasimpatis, mereduksi anxiety, memperbaiki kualitas
tidur pada individu serta mampu meningkatkan kualitas hidup apabila
dipergunakan dalam jangka waktu yang panjang.
Teknik relaksasi dapat dikatakan bekerja secara efektif jika individu
merasakan perubahan yang signifikan pada respon fisiologis. Teknik relaksasi
bermanfaat bagi pikiran, salah satunya meningkatkan gelombang alpha otak
sehingga tercapailah kondisi rileks (Perry & Potter, 2005 dalam Marta, 2015).
2.5.3 Indikasi Progressive Muscle Relaxation
Menurut Marta (2015) indikasi PMR dapat diberikan pada individu
yang sedang mengalami kecemasan, stress, gangguan pola tidur, depresi dan
gangguan pada sitem endokrin.

47



2.5.4 Kontraindikasi Progressive Muscle Relaxation
Terdapat beberapa peringatan dalam penggunaan terapi progressive
muscle relaxation ini, dimana fase kontraksi yang menggunakan ketegangan
otot isometric mampu meningkatkan tekanan darah pada individu, sehingga
pada penderita hipertensi dengan tingkat yang tinggi tidak disaranakan
menggunakan terapi progressive muscle relaxation ini karena dapat
memperburuk keadaannya (National Safety Council, 2004).
Sedangkan menurut Handayani & Rahmayati (2018) kontraindikasi
terapi progressive muscle relaxation diperuntukkan bagi individu yang
mengalami keterbatasan gerak dan dalam kondisi tirah baring.
2.5.5 Sasaran Progressive Muscle Relaxation.
Menurut (National Safety Council, 2004 dalam Marta, 2015) sasaran
dalam teknik relaksasi otot progresif yaitu :
1. Mengisolasi kelompok otot yang terpilih pada saat kontraksi dan
membiarkan otot yang lainnya rileks
2. Otot yang serupa kontraksikan secara bersamaan
3. Perhatian difokuskan pada intensitas kontraksi otot tegang, sehingga
individu dapat merasakan ketegangan yang terjadi pada kelompok otot.
4. Fokuskan kesadaran pada kelompok otot yang dirasakan pada fase
relaksasi dan rasakan perbandingannya pada saat fase kontraksi.
2.5.6 Tahap Kerja Progressive Muscle Relaxation
Cara terbaik yang dilakukan terapi progressive muscle relaxation
adalah dengan mengencangkan dan merelaksasikan setiap kelompok otot di
dalam tubuh, secara bergantian. Fase kontraksi dapat dilakukan sangat singkat,

48



hanya sekitar 5-10 detik dan fase relaksasi berlangsung lebih lama 45 detik.
Terapi progressive muscle relaxation dapat dilakukan 20-30 menit setiap
harinya selama 2 minggu dan dapat berlanjut untuk mendapatkan hasil yang
efektif (Marta, 2015).
Menurut Simanullang & Siregar (2020) langkah-langkah yang
dilakukan dalam terapi relaksasi otot progresif adalah sebagai berikut :
1. Cari tempat yang aman dan nyaman dalam posisi duduk maupun berbaring
2. Mulai dengan tarik nafas dalam melalui hidung dan hembuskan lewat
mulut sebanyak 3-5 siklus
3. Kencangkan kelompok otot dengan mengepalkan jari kaki dan mendorong
tumit ke lantai
4. Lepaskan, lalu dekatkan kaki ke kepala selama beberapa detik kemudian
lepaskan dan kembali ke posisi semula
5. Pindah ke kelompok otot perut, kaki, tangan, leher, bahu, dan wajah.
6. Ulangi latihan sesuai dengan urutan yang sudah dibuat sesuai dengan
kebutuhan.

(Gambar 2.11 Teknik Relaksasi Otot Progresif)
(dikutip dari www.facebook.com, 2020)

49



Sedangkan menurut dr. Edmund Jacobson dalam Damanik (2014)
progressive muscle relaxation mampu memberikan rasa rileks secara
bergantian pada setiap anggota kelompok tubuh. Teknik yang digunakan yaitu
dengan memberikan ketegangan kepada otot selama 10 detik Selanjutnya
individu merasakan perasaan rileks dan santai selama 15-20 detik dan rasakan
perubahan kondisi tegang dan rileks. Berikut langkah-langkah dalam terapi
latihan otot progresif :
1. Mulai dengan tarik nafas dalam sebanyak 3 kali melalui hidung dan
menghembuskan secara perlahan melalui mulut dengan perasaan
ketegangan di seluruh tubuh terasa hilang.
2. Kepalkan tangan dan tahan selama 7-10 detik dan kemudian lepaskan
selama 15-20 detik.
3. Pusatkan pikiran pada ketua otot lengan dan tangan dengan megencangkan
otot bisep ke arah bahu, tahan dan kemudian rileks. Lakukan hal yang
sama kepada otot trisep.
4. Tegangkan otot pada wajah dengan menaikkan alis dan menegangkan otot-
otot di sekitar mata dengan menutup rapat kelopak mata, tahan dan
kemudain rileks. Bayangkan otot dahi menjadi halus dan sensasi relaksasi
yang mendalam menyebar pada area mata.
5. Tegangkan rahang dengan membuka dan menutup mulut secara bergantian
untuk meregangkan engsel rahang, tahan dan rileks.
6. Tegangkan otot disekitar leher bagian belakang dengan menariknya
sehingga seolah-olah bersautan dengan punggung dan tegangkan bahu
sampai seolah-olah menyentuh kearah telinga, tahan dan rileks

50



7. Tegangkan otot tulang belikat dengan menarik bahu ke depan, tahan
ketegangan di bahu dan kemudian rileks.
8. Tegangkan otot dada dan perut seperti mengecilkan perut lalu tarik nafas
dalam selama 10 detik kemudian hembuskan lewat mulut sehingga
ketegangan pada otot dada dan perut menjadi rileks.
9. Tegangkan punggung bagian bawah dengan melengkung kebagian atas,
tahan dan kemudian rileks.
10. Tegangkan bokong dan paha dengan menarik secara bersama-sama, tahan
dan kemudian rileks. Bayangkan otot-otot menjadi longgar
11. Tegangkan area otot betis dengan menarik jari-jari kaki ke atas ,tahan dan
kemudian rileks.
12. Tegangkan bagian kaki denga jari-jari meringkuk ke bawah jari-jari kaki
meringkuk ke bawah, tahan dan kemudian rileks.
13. Bayangkan relaksasi menyebar ke tubuh dari atas sampai bawah.
14. Kembali pada posisi duduk semula dan rasakan manfaat dari terapi
relaksasi otot progresif
Menurut Lehrer et al (2007) prinsip ketegangan otot pada progressive
muscle relaxation sangat penting. Ketika otot berkontraksi otak akan
menerima melalui afferen otak, dimana sensasi tegangan dihasilkan melalui
tenson sehingga menimbulkan kontraksi serat otot. Setelah ketegangan otot
dapat teridentifikasi maka terjadilah pemanjangan serat otot yang
menghasilkan keadaan rileks.

51



2.5.7 Mekanisme Progressive Muscle Relaxation Mengatasi Kecemasan
Progressive muscle relaxation dilandaskan pada bentuk pengelolaan
diri kerja saraf simpatis dan saraf parasimpatis dengan merileksasikan otot
tubuh dan menormalkan fungsinya kembali. Pada individu yang mengalami
kecemasan, otot tubuh merespon ancaman ketegangan pada saraf. Individu
yang cemas akan berhubungan langsung dengan sistem otak dimana otak
sebagai system utama yang mempunyai reseptor yaitu neurotransmitter asam
gamma-aminobutryc (Marta, 2015).
Ansietas terjadi saat GABA tidak dapat mengikat sel reseptor akan
tetapi PMR dapat mengikat reseptor GABA dalam keadaan normal. Dengan
jumlah tepat dari penerimaan yang dilakukan GABA, unsur neuron yang
berlebihan pada individu yang cemas akan menjadi normal secara bertahap
denga adanya PMR dimana orang yang sedang dalam keadaan ansietas
perlahan menjadi rileks kembali (Perry & Potter, 2005).
Dari teori diatas maka dapat dikatakan bahwa PMR dapat dilakukan
pada klien dengan gangguan kecemasan (ansietas), dimana PMR itu sendiri
dapat dilakukan pada otot tangan, otot wajah, bahu, leher, dada, perut, paha,
betis dan kaki. Pendekatan langsung dari tindakan relaksasi otot progresif
sendiri adalah untuk mereduksi ansietas, ketegangan yang ada pada otot, dan
merilekskan sekelompok otot yang dilakukan selama 5-10 detik pada tahap
kontraksi dan selanjutnya disusul dengan keadaan rileks sehingga PMR dapat
dilakukan selama 20-30 menit dalam satu hari.
Dengan melakukan terapi relaksasi otot progresif pada saat melakukan
hemodialisa, individu yang mengalami kecemasan dapaat memanajemen
koping terhadap tingkat kecemasan yang dialami.

52



2.6 KERANGKA KONSEP
Kerangka konseptual dalam sebuah penelitian merupakan model
konsep bagaimana seorang peneliti mampu menyusun teori ataupun
menghubungkan secara logis mengenai beberapa faktor yang dianggap
penting dalam sebuah masalah (Hidayat, 2015).












Keterangan :
: Variabel yang Tidak Diteliti
: Variabel yang Diteliti
Gambar 2.11 Kerangka Konseptual Teknik
Relaksasi Otot Progresif (PMR) pada Pasien
CKD yang Menjalani Hemodialisa

Chronic Kidney Disease
Terapi Hemodialisa
Perubahaan pada seluruh
aspek kehidupan
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan :
Faktor Internal :
1.Usia
2.Pengetahuan/
Pengalaman
3.Kemampuan respons
terhadap stimulus
Faktor Eksternal :
1.Pendidikan
2.Keluarga
3.Keuangan
4.Kondisi Lingkungan
5.Ancaman Fisik
Kecemasan
Perubahan Tingkat
Kecemasan dengan
Rentang Kecemasan :
1.Kecemasan Ringan
2.Kecemasan Sedang
3.Kecemasan Berat
4.Panik
Intervensi Kecemasan :
1.Terapi Farmakologis
2.Terapi Non Farmakologis :
a.Distraksi
b.Massage
c.Relaksasi
Relaksasi Imajinasi
Relaksasi Hipnosis 5
Jari
Meditasi
Visualisasi


Teknik Relaksasi
Otot Progresif
(Progressive Muscle
Relaxation )
Teknik relaksasi
melalui
peregangan pada
setiap
komponen otot
yang diawali
dari ujung
kepala hingga
ujung kaki
sehingga timbul
perasaan rileks
Otot Rileks
Keadaan Psikis Rileks

53




Berdasarkan kerangka konsep diatas dijelaskan bahwa individu
dengan chronic kidney disease memerlukan terapi hemodialisa sebagai
terapi pengganti fungsi ginjal yang bersifat permanen. Adanya proses terapi
hemodialisa jangka panjang menyebabkan terjadinya perubahan pada
seluruh aspek kehidupan, terutama masalah psikologis yaitu gangguan
kecemasan. Ansietas atau kecemasan muncul karena faktor internal dan
faktor eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan individu.
Intervensi yang dilakukan dalam mengatasi individu yang mengalami
kecemasan yaitu dengan terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis,
dimana salah satu terapi non-farmakologis yang dapat digunakan yaitu
progressive muscle relaxation. Progressive muscle relaxation merupakan
teknik relaksasi peregangan pada setiap komponen otot yang dialami dari
ujung kepala hingga kaki, sehingga pada individu yang mengalami
kecemasan dapat memberikan pengaruh rileks pada kelompok otot yang
selanjutnya berpengaruh pada keadaan psikis individu yang menjadi lebih
rileks sehingga dapat berpengaruh juga pada perubahan tingkat kecemasan
yang dialami oleh individu.