Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
77
PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK MEMPREDIKSI DAERAH
PENANGKAPAN IKAN LEMURU BERBASIS RANTAI MAKANAN DAN PENDEKATAN
STATISTIK GAM

UTILIZATION OF SATELLITE OCEANOGRAPHY DATA TO PREDICT LEMURU FISHING
GROUND BASED ON FOOD CHAIN AND STATISTICAL GAM APPROACH

Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
Balai Penelitian dan Observasi Laut – KKP
Jl. Baru Perancak Jembrana – Bali, 82251
e-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 24 Oktober 2016, diterima setelah perbaikan: 7 November 2016, disetujui tanggal: 4 Januari 2017
ABSTRAK

Ikan lemuru di Selat Bali umumnya ditangkap menggunakan pukat cincin (purse seine) atau dalam istilah lokal dikenal
dengan ‘slerek’ yang dipimpin oleh Juru Panggung. Penentuan daerah penangkapan yang masih mengandalkan intuisi
juru panggung berdampak pada penggunaan bahan bakar yang tidak efesien. Perlu adanya inovasi teknologi guna
meningkatkan efesiensi operasi penangkapan ikan di Selat Bali. Salah satunya melalui pemberian informasi dugaan
daerah penangkapan ikan berbasis teknologi inderaja dan pendekatan rantai makanan. Penelitian ini bertujuan
memprediksi kelimpahan zooplankton, sebagai makanan utama ikan lemuru, melalui pendekatan statistik Generalized
Additive Model (GAM) berdasarkan data-sata satelit oseanografi. Variabel respon berupa data kelimpahan zooplankton
di perairan Selat Bali yang diukur selama periode bulan Maret – Agustus (2011-2013). Sedangkan variabel prediksi
berupa data harian variabel oseanografi yang diukur oleh satelit Aqua MODIS pada hari yang sama dengan
pengambilan sampel plankton. Sebanyak 7 model kelimpahan zooplankton telah dihasilkan melalui pendekatan statistik
GAM berdasarkan parameter oseanografi utama yang mempengaruhi ketersediaan makanan lemuru. Hasil penelitian
menunjukkan persamaan GAM yang terbaik merupakan kombinasi antara variabel suhu permukaan laut (SST),
konsentrasi klorofil-a (SSC) dan Photosynthetically Available Radiation (PAR) dengan nilai deviasi terbesar (75,3%)
dan Akaike’s Information Criterion terkecil (160,197). Variabel SST dan PAR memiliki tingkat signifikansi yang lebih
tinggi dari pada SSC. Kelimpahan zooplankton yang tinggi ditemui pada kisaran SST antara 25-26
o
C, SSC antara 0,5–
0,6 mg/m
3
, dan PAR antara 40-45 einsten/m
2
/day. Nilai korelasi antara hasil prediksi kelimpahan zooplankton
dan hasil tangkapan ikan lemuru sebesar 59,57%.

Kata kunci: Generalized Additive Model, MODIS, zooplankton, lemuru, Selat Bali

ABSTRACT

Lemuru in Bali Strait are generally caught by purse seiner (local name: slerek). Juru Panggung, a man who led the
fishing operation, plays an important role for determining the fishing ground areas relying on their intuition. It causes
fuel un-efficient in purse seiner operation. An inovation technology is needed to improve the efficiency of fishing
operations in the Bali Strait by providing fishing area information based on remote sensing technology and food chain
approach. The aims of this work are to predict the zooplankton abundance, as a main lemuru’s food source, through
statistical Generalized Additive Model (GAM) based on satellite images. The zooplankton abundance, as a respond
variable, was collected during March to August (2011-2013) in Bali Strait. While the predictor variables are daily
oceanographic variables measured by the MODIS Aqua satellite on the same day by sampling plankton including sea
surface temperature (SST), the sea surface chlorophyll-a (SSC) and photosynthetically available radiation (PAR). A
total of seven models zooplankton abundance has been generated based on these three oceanogrphic variables. The
result show that the fittest GAM equation is a combination of all predictor variables with high deviation value (75,3%)
and the lowest Akaike's Information Criterion (160,197). SST and PAR have higher significance impact on the equation
than the SSC. The highest zooplankton abundance was found in area with SST (25-26
o
C), SSC ( 0,5-0,6 m/m
3
), and PAR
(40-45 Einstein/m
2
/day).The predicted zooplankton abundance and lemuru catches have a significant relationship with
good coefficient correlation (59,57%).

Keywords: Generalized Additive Model, MODIS, zooplankton, lemuru, Bali Strait

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016, Hal 77 - 87

78

PENDAHULUAN

Kegiatan penangkapan lemuru (S. lemuru) di Selat
Bali umumnya menggunakan pukat cincin (purse
seine) atau dalam istilah nelayan lokal dikenal
dengan ‘slerek’. Alat tangkap ini terdiri dari 2
perahu yang dipandu oleh seorang Juru Panggung.
Juru panggung memegang peranan penting dalam
aktivitas penangkapan ikan, yaitu sebagai orang
yang berhak menentukan lokasi penangkapan dan
waktu penebaran jaring. Namun proses penentuan
daerah penangkapan yang masih mengandalkan
intuisi juru panggung ini menjadi salah satu faktor
penyebab rendahnya tingkat efisiensi kegiatan
penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Wiyono
(2012) menyimpulkan efisiensi teknis usaha
penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat
cincin di Selat Bali telah mencapai gejala over-
capacity. Hal ini dicirikan sudah tidak optimalnya
input produksi penangkapan ikan, salah satunya
penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Oleh
karena itu diperlukan inovasi teknologi sebagai
upaya meningkatkan efiseiensi kegiatan
penangkapan pukat cincin dengan tetap menganut
asas kelestarian dan berkelanjutan sumberdaya
ikan yang bersangkutan. Salah satunya melalui
penyediaan informasi prediksi daerah penangkapan
ikan lemuru yang akurat.

Ikan lemuru tergolong jenis ikan pelagis kecil
dalam famili clupeidae, termasuk jenis ikan
pemakan penyaring (filter feeder) dengan makanan
utama berupa fitoplankton dan zooplankton
(Carpenter and Niem, 1999). Hal ini
mengindikasikan posisi ikan lemuru sebagai
konsumen primer dalam rantai makanan.
Burhanuddin et al., (1984) menyampaikan
komposisi makanan lemuru berupa kopepoda. Hal
ini dipertegas oleh Pradini et al., (2011) yang
menyebutkan jenis Coscinodiscus sp. banyak
ditemukan pada lambung lemuru dan kucing.
Selain itu, dalam lambung lemuru juga ditemukan
Peridinium sp. sebagai makanan sekundernya.
Sedangkan pada lambung protolan lebih
didominasi oleh jenis Pleurosigma sp. Sartimbul et
al., (2010) dan Hendiarti et al., (2005) juga
menyebutkan bahwa penangkapan ikan lemuru
utamanya dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
makanan utamanya.

Pola rantai makanan pada ekosistem pelagis kecil,
seperti Selat Bali, cenderung sederhana (Lalli and
Parsons, 1997). Tingkat produktivitas perairan
ditentukan oleh 2 faktor fisika utama yaitu
ketersediaan energi matahari dan faktor lain yang
menyebabkan terangkatnya nutrien dari kolom air
yang lebih dalam ke lapisan zona eufotik.
Ketersediaan sinar matahari yang masuk ke dalam
lautan berhubungan dengan dimensi waktu (siang,
malam, dan musim) dan kondisi cuaca, yaitu
sekitar 50% energi tersebut dipancarkan dalam
bentuk spektrum tampak pada panjang gelombang
400-700 nm yang juga dike nal dengan
photosynthetically active radiation (PAR). Pada
spectrum panjang gelombang inilah tumbuhan
melakukan fotosisntesis. Intensitas PAR pada
permukaan laut berkisar antara 0-2000µE/m
2
/s
(Lalli and Parsons, 1997). Robinson (2010)
mengungkapkan PAR merupakan unsur esensial
untuk menghitung tingkat produktivitas perairan.
Produktivitas perairan dapat diindikasikan dengan
kelimpahan fitoplankton yang dapat
direpresentasikan dengan nilai konsentrasi klorofil-
a pada perairan. Zooplankton merupakan
konsumen tingkat tropik pertama yang memangsa
fitoplankton, sehigga diduga pada daerah yang
kaya akan fitoplankton akan dijumpai zooplankton
yang melimpah pula. Selain itu suhu juga berperan
penting dalam mengatur densitas air laut yang
mendorong terjadinya pergerakan vertikal massa
air yang dapat menyebabkan pengadukan kolom
perairan (Lalli and Parsons, 1997). Suhu juga
merepresentasikan faktor fisika yang membatasi
pertumbuhan dan penyebaran organisme. Dalam
perkembanganya variabel oseanografi tersebut di
atas dapat diindera melalui teknologi penginderaan
jauh. Salah satu satelit yang masih aktif melakukan
pengukuran yaitu Aqua/Terra.

Pendugaan daerah penangkapan ikan dapat
dilakukan melalui berbagai pendekatan ilmiah
yang pada prinsipnya berusaha mencari keterkaitan
dan kesesuaian variabel oseanografi terhadap
keberadaan gerombolan ikan. Saitoh and Saitoh
(2008), memetakan daerah penangkapan ikan
sardine di perairan Jepang menggunakan multi
sensor satelit melalui pendekatan sistem informasi
geografis. Demikian halnya yang dilakukan oleh
Siregar dan Hariyadi (2011) di perairan Selat Bali.
Namun demikian, umumnya hubungan antara
kelimpahan sumberdaya perikanan dengan
dinamika faktor lingkungannya tidak linear
sehingga pendekatan statistik lebih berkembang
dan banyak digunakan (Zuur et al., 2009).

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
79
Sukresno et al., (2015) memprediksi sebaran
spasial tuna di Samudera Hindia menggunakan
pendekatan statistik polinomial regresi berdasarkan
parameter suhu perairan. Dari berbagai pendekatan
statistik yang ada, generalized additive model
(GAM) lebih banyak digunakan untuk pemodelan
habitat suatu jenis ikan karena lebih mampu
mengakomodasi hubungan yang tidak linear
tersebut (Valavanis et al., 2008). Pengunaan model
GAM untuk pendugaan daerah penangkapan ikan
tuna telah dilakukan di beberapa wilayah laut
Indonesia dengan tingkat akurasi yang lebih baik
(Setiawati et al., 2015; Zainuddin et al., 2013;
Wibawa, 2011). Wibawa (2012), memperkenalkan
penggunaan GAM untuk mengukur pengaruh
variabel oseanografi terhadap distribusi dan
kelimpahan fitoplankton.

Namun saat ini belum ada yang mengembangkan
metode prediksi daerah penangkapan ikan,
khususnya ikan lemuru di Selat, melalui
pendekatan rantai makanan. Ketersediaan data
satelit oseanografi yang bersifat near realtime
berpotensi untuk dijadikan sumber data untuk
memprediksi daerah penangkapan ikan lemuru di
Selat Bali. Penelitian ini bertujuan memprediksi
kelimpahan zooplankton sebagai makanan utama
ikan lemuru berdasarkan variabel oseanografi yang
diperoleh dari data satelit oseanografi
menggunakan pendekatan statistik GAM.


BAHAN DAN METODE

Data Kelimpahan Zooplankton
Data kelimpahan zooplankton diperoleh melalui
pengambilan sampel plankton pada lokasi
penangkapan pukat cincin di Selat Bali selama
periode Maret – Agustus tahun 2011 – 2013.
Pengambilan sampel planton mengikuti SNI.13-
4717-1998. Analisis kelimpahan zooplankton
dilakukan di Laboratorium Kualitas Perairan –
Balai Penelitian dan Observasi Laut menggunakan
metode Sedwick-Rafter dengan mikroskop
perbesaran 100 dan 200. Identifikasi zooplankton
mengacu pada Yamaji (1976).

Data Satelit Oseanografi
Variabel oseanografi menggambarkan kondisi
lingkungan pada saat terjadi penangkapan ikan dan
pengambilan data plankton. Data satelit
oseanografi diperoleh dari data citra Aqua/Terra
MODIS Level 2 harian dengan resolusi spasial 1
km pada hari yang sama dengan pengambilan
sampel plankton yang meliputi konsentrasi
klorofil-a (SSC), suhu permukaan laut (SST) dan
photosynthetically active radiation (PAR).
Ekstaksi variabel oseanografi dari data citra satelit
memanfaatkan software SeaWiFS Data Analysis
System 7.0 (SeaDAS 7.0). Selanjutnya data
kelimpahan plankton dan variabel oseanografi
disusun dalam dataset untuk keperluan analisis
statistik. Gambaran umum kondisi oseanografi
Selat Bali menggunakan data komposit musiman
untuk variabel oseanografi yang sama.

Model statistik GAM
Generalized Additive Model (GAM) merupakan
model semi parametrik dari regresi berganda
dengan tidak terlalu mensyaratkan kenormalan
distribusi data. Metode ini bersifat nonlinear dan
dapat digunakan untuk mengurangi kelemahan
penggunaan asumsi distribusi normal dalam
parameter-parameter lingkungan yang diobservasi
dan tidak ditemukannya hubungan linear antara
dua variabel. Secara umum GAM menggunakan
smoothing curve untuk memodelkan hubungan
antara kelimpahan zooplankton (variabel respon)
dengan variabel osenografi yang dalam hal ini
disebut variabel prediksi.

Sebelum analisis GAM, terlebih dahulu dilakukan
ekplorasi data untuk mengidentifikasi adanya data
pencilan dan kolinearitas (hubungan linear) antar
setiap variabel prediksi yang akan digunakan untuk
menyusun persamaan GAM. Apabila antara
variabel prediksi terdapat kolinearitas, maka salah
satunya tidak dapat digunakan dalam penyusunan
persamaan GAM. Eksplorasi data menggunakan
analisis variance inflation factors (VIF) dan
pairplot. VIF merupakan indeks yang mengukur
besarnya peningkatan varian dari koefisien regresi
akibat adanya kolinearitas antar variabel
penyusunnya yang dinyatakan dalam 1/(1 – R
2
).
Tidak adanya kolinearitas ditunjukkan dengan VIF
kurang dari 3 (Zuur et al., 2007). Normalisasi
sebaran data kelimpahaan zooplankton dengan
menggunakan fungsi square-root transformasi
dengan penambahan nilai konstanta 1 pada
kelimpahan zooplankton yang bernilai nol
(Zainuddin et al., 2008)

Penyusunan model GAM menggunakan pustaka
mgcv packages pada perangkat lunak R. Pemilihan
variabel prediksi yang mempengaruhi kelimpahan

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016, Hal 77 - 87

80
zooplankton didasarkan pada nilai Akaike’s
Information Criteria (AIC) terkecil, deviance dan
tingkat signifikansi terbesar setiap model GAM
yang terbentuk (Wood, 2006). Adapun persamaan
dasar dari model statistik GAM yaitu:

sqrt(zoo+1) = α+s(SST)+s(SSC)+s(PAR)+ε

dimana α adalah konstanta, s(.) adalah fungsi
spline smooth factor setiap variabel prediksi dan ε
adalah random error.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi oseanografi Selat Bali
Kondisi oseanografi di Selat Bali dipengaruhi oleh
monsoon berdasarkan sebaran komposite musiman
data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a
dan photosynthetically active radiation terlihat
(Gambar 1-3). Pengaruh monsoon nampak jelas
pada perubahan suhu permukaan laut pada musim
peralihan menuju ke musim timur. Pada saat
musim peralihan suhu relatif hangat dengan
kisaran 28,8–30,23
o
C. Kondisi suhu permukaan
laut pada tahun 2011-2012 secara berurutan yaitu
28,5–29
o
C dan 28–28,5
o
C. Sebaran SST pada
tahun 2012 tampak lebih rendah dari tahun
sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2013 mencapai
lebih dari 29,5
o
C dan merupakan tertinggi
dibandingkan dua tahun sebelumnya. Memasuki
musim timur suhu permukaan laut mengalami
penurunan yang signifikan hingga mencapai
kisaran 24,75–27,64
o
C. Kondisi suhu permukaan
laut pada musim timur tahun 2013 tidak terlalu
dingin dengan kisaran antara 26,5–27,5
o
C
dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan di selatan
Pulau Bali dan Banyuwangi suhu permukaan laut
terdeteksi hingga di bawah 25
o
C pada musim timur
tahun 2011-2012. Pada musim peralihan (Maret-
Mei) kelimpahan zooplankton yang tinggi
berasosiasi dengan suhu perairan yang hangat pada
kisaran antara 28-29
o
C, kecuali pada tahun 2013
yang terlihat pada kisaran 29,7–30
o
C. Sedangkan
pada musim timur (Juni-Agustus) kelimpahan
zooplankton yang tinggi berasosiasi dengan suhu
perairan yang dingin pada kisaran antara 25,5-
26,5
o
C, kecuali pada tahun 2013 yang terlihat pada
kisaran 27
o
C.

Rendahnya suhu permukaan laut pada musim timur
merupakan indikasi terjadinya upwelling di Selat
Bali. Proses upwelling mengangkat massa kolom
air di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien
dan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan.
Indikasi terjadinya upwelling di musim timur
diperkuat oleh meningkatnya kesuburan perairan
yang terindikasi dari tingginya konsentrasi
klorofil-a. Pada musim timur, ekman transport di
sepanjang pesisir selatan Jawa memicu terjadinya
upwelling.Terangkatnya nutrien ke lapisan eufotik
menyebabkan tingkat pertumbuhan fitoplankton
mengalami peningkatan (Hendiarti et al., 2005).
Terjadinya upwelling dapat diindikasikan oleh
nilai konsentrasi klorofil-a yang lebih besar dari
0,8 mg/m
3
dan suhu permukaan laut yang lebih
rendah dari 28
o
C (Hendiarti et al., 2004).
Konsentrasi klorofil-a pada musim timur tahun
2011–2012 berkisar antara 1,5–3 mg/m
3
. Perairan
sebelah timur dan barat Selat Bali cenderung
memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi, namun
cenderung rendah di bagian tengah Selat Bali.
Konsentrasi klorofil-a yang tinggi juga terlihat di
bagian selatan Selat Bali, yang merupakan awal
terjadinya upwelling. Hal yang sama ditunjukkan
nilai PAR yang merepresentasikan intensitas
spektrum panjang gelombang yang digunakan
tumbuhan melakukan fotosintesis (Lalli and
Parsons, 1997). Nilai PAR yang tinggi terlihat
pada bagian selatan selat hingga masuk ke dalam
selat. Namun di sepanjang pesisir Pulau Bali nilai
PAR cenderung rendah yaitu kurang dari 40
einsten/m
2
/day. Sedangkan pada tahun 2013
konsentrasi klorofil-a cenderung lebih rendah pada
kisaran antara 0,8–2 mg/m
3
. Kelimpahan
zooplankton pada musm peralihan secara konsisten
sering dijumpai pada kisaran konsentrasi klorofil-a
antara 0,5-1 mg/m
3
dan PAR antara 38-39
einsten/m
2
/day. Sedangkan pada musim timur
kelimpahan zooplankton secara konsisten sering
dijumpai pada kisaran konsentrasi klorofil-a antara
1-1,5 mg/m
3
dan PAR antara 41-45 einsten/m
2
/day.
Sedangkan konsentrasi klorofil-a pada musim
peralihan (Maret-Mei) tahun 2011–2012 tinggi di
bagian barat Selat Bali, sedangkan di bagian timur
relatif rendah dengan kisaran 0,12–0,82 mg/m
3
.
Nilai PAR yang tinggi terjadi pada tahun 2012
hingga mencapai kisaran lebih besar dari 45
einsten/m
2
/day. Nilai PAR yang tinggi juga terlihat
pada tahun 2011 namun hanya di bagian barat
Selat Bali yang mencapai kisaran 43,90–44,36
einsten/m
2
/day. Sedangkan pada tahun 2013 PAR
cenderung rendah di dalam perairan Selat Bali.

Kondisi perairan yang dicirikan suhu dingin dan
kesuburan perairan yang tinggi pada musim timur

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
81
tahun 2011–2012 dapat menjadi indikasi intensitas
upwelling pada kedua periode tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2013. Intensitas
upwelling selain dipengaruhi oleh monsoon juga
dipengaruhi oleh El Niño/Southern
Oscillation/ENSO (Susanto et al., 2001) dan Indian
Dipole Mode/IOD (Susanto and Marra, 2005).
Pada periode tahun 2011-2013, IOD lebih dominan
mempengaruhi karakteristik perairan di Selat Bali.
Sebaran SST dan SSC cenderung mengikuti pola
pergerakan Dipole Mode Index (DMI). Pola ini
terlihat pada sebaran suhu permukaan laut di Selat
Bali, dimana pada saat terjadi IOD positif (2011-
2012) suhu perairan cenderung lebih rendah
daripada kondisi normal. Sebaliknya suhu perairan
cenderung lebih hangat daripada kondisi normal
pada saat terjadi IOD negatif pada tahun 2013.


Gambar 1. Tumpang susun kelimpahan zooplankton dan komposit musiman suhu permukaan laut (SST)
Figure 1. Overlaying the zooplankton abundance and seasonally composite of sea surface temperature (SST)

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016, Hal 77 - 87

82

Gambar 2. Tumpang susun kelimpahan zooplankton dan komposit musiman konsentrasi klorofil-a (SSC)
Figure 1. Overlaying the zooplankton abundance and seasonally composite of sea surface chlorophyll-a (SSC)

Gambar 3. Tumpang susun kelimpahan zooplankton dan komposit musiman photosynthetically active radiation (PAR)
Figure 1. Overlaying the zooplankton abundance and seasonally composite of photosynthetically active radiation
(PAR)

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
83

3.2. Model Statistik Kelimpahan Zooplankton
Hasil analisis pairplot untuk semua variabel
penduga menunjukkan tidak adanya kolinearitas
yang ditunjukkan dengan nilai kurang dari 0,05
(Gambar 4). Hal ini diperkuat oleh nilai variance
inflation factors (VIF) untuk masing-masing
variabel SSC, SST dan PAR secara berurutan
1,343, 1,073 dan 1,291. Nilai koefisien korelasi
sebesar -0,26 antara variabel SSC dan SST
menunjukkan hubungan yang terbalik antara
keduanya, yang berarti semakin rendah nilai SST
di Selat Bali akan dibarengi dengan meningkatnya
konsentrasi klrofil-a. Kombinasi persamaan GAM
yang terbentuk dari ketiga variabel osenaografi
ditampilkan pada Tabel 1. Pemilihan persamaan
didasarkan pada nilai Akaike’s Information
Criteria (AIC) terkecil, deviance dan tingkat
signifikansi setiap persamaan. Persamaan
sqrt(zoo+1) ~ s(ssc, k=1) + s(sst, k=4) +s(par)
mempunyai nilai AIC terkecil yaitu sebesar
160,197 dan nilai deviance terbesar yaitu sebesar
75,3%. Nilai deviance memberikan pengertian
persamaan GAM tersebut dapat menjelaskan
kelimpahan zooplankton sebesar 75,3%. Variabel
SST dan PAR mempunyai kontribusi yang paling
besar (p= 0,097) dibandingkan dengan variabel
SSC (p=0,143). Keterkaitan antara variabel
oseanografi dengan kelimpahan zooplankton
terlihat pada Gambar 5. Garis putus-putus
menunjukkan selang kepercayaan 95% untuk
masing-masing variabel penduga.

Tabel 1. Hasil kombinasi persamaan GAM yang terbentuk
Table 1. GAM equation combination result
No Persamaan GAM D
p-value
AIC
SSC SST PAR
1 sqrt (zoo+1) ~ s(ssc) 6,88 0,195 - 240,598
2 sqrt (zoo+1) ~ s(sst) 24,3 - 0,099. - 267,193
3 sqrt (zoo+1) ~ s(par) 0,06 - - 0,734 1786,54
4 sqrt (zoo+1) ~ s(ssc)+s(sst, k=3) 33,2 0,333 0,050. - 167,413
5 sqrt (zoo+1) ~ s(ssc)+s(par) 41,1 0,049* - 0,167 237,447
6 sqrt (zoo+1) ~ s(sst)+s(par) 59,0 - 0,347 0,119 220,280
7 sqrt(zoo+1) ~ s(ssc, k=1) + s(sst, k=4) +s(par) 75,3 0,929 0,097. 0,143 160,197
Signif. codes: 0 ‘***’ 0,001 ‘**’ 0,01 ‘*’ 0,05 ‘.’ 0,1 ‘ ’ 1


Gambar 4. Pairplot antar variabel prediksi
Figure 4. Pairplot diagram for each predictor variables

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016, Hal 77 - 87

84

Gambar 5. Kurva smoothing hasil analisis GAM setiap variabel prediksi
Figure 5. Smoothing curve of GAM analysis result for each predictor variables

Kegiatan penangkapan ikan lemuru terjadi pada
kisaran suhu permukaan laut dan PAR masing-
masing 25-26
o
C dan 40-45 einsten/m
2
/day
(Gambar 6). Namun peningkatan suhu permukaan
laut yang mencapai di atas 27
o
C memperlihatkan
penurunan kelimpahan zooplankton. Begitu pula
halnya dengan peningkatan PAR yang melebihi 47
einsten/m
2
/day. Sedangkan konsentrasi klorofil-a
memberikan efek negatif terhadap kelimpahan
zooplankton di perairan. Semakin tinggi nilai
klorofil-a tidak serta merta diikuti dengan
peningkatan kelimpahan zooplankton yang tinggi
dalam perairan. Kegiatan penangkapan ikan
lemuru dengan pukat cincin terjadi pada
konsentrasi klorofil-a 0,5–0,7 mg/m3 (Gambar 6).
Pigmen klorofil-a ditemukan di setiap jenis
fitoplankton laut, namun untuk beberapa jenis
pigmen yang berbeda antar setiap jenis
fitoplankton menyebabkan tingkat efektifitas
absorpsi radiasi sinar matahari dan proses
fotosintesis berbeda untuk setiap jenis fitoplankton
(Satyendranath et al., 2004). Diduga karena
perbedaan komposisi tersebut, variabel SSC
mempunyai kontribusi yang lebih rendah
dibandingkan variabel PAR dalam pembentukan
model GAM. PAR mempunyai keterkaitan yang
sangat erat dengan proses fotosintesis yang
dilakukan oleh fitoplankton yang
merepresentasikan panjang gelombang yang
digunakan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis
(Lalli and Parsons, 1997). Diatom sendiri dikenal
mempunyai tingkat efektivitas proses fotosintesis
yang tinggi dan merupakan sumber makanan
utama zooplankton khususnya kelompok
kopepoda. Sementara itu suhu permukaan laut
begitu penting mengatur proses kimia dan biologi.
Selain itu juga menjadi faktor pembatas yang
mempengaruhi distribusi biota laut (Lalli and
Parsons, 1997). Hasil pengukuran insitu oleh
Agustiadi et al., (2013) menunjukkan kelimpahan
plankton di perairan Selat Bali dipengaruhi oleh
parameter suhu dan salinitas. Kelimpahan plankton
juga dipengaruhi oleh tingginya kandungan nutrien
walaupun nilai korelasinya tidak sebesar suhu dan
salinitas. Pada lokasi penelitian, khususnya di
paparan pesisir Bali bagian selatan merupakan area
pertemuan antara massa air dari Samudera Hindia
yang relatif dingin dengan maasa air dari Selat Bali
yang mengakibatkan percampuran vertikal
(Rintaka et al., 2014). Percampuran ini terlihat dari
suhu permukaan laut yang bervariasi khususnya
pada saat musim timur.

Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk
melakukan prediksi kelimpahan zooplankton di
perairan Selat Bali. Prediksi yang dihasilkan dalam
penelitian ini merupakan pendekatan awal dalam
memahami sebaran kelimpahan sumber makanan
ikan lemuru dan variabel-variabel oseanografi
yang mempengaruhinya dalam skala ruang dan
waktu. Hasil prediksi kelimpahan zooplankton dan
hasil tangkapan ikan lemuru dapat dilihat pada
Gambar 6. Kelemahan sensor MODIS yang
bersifat pasif dan tidak tembus awan menyebabkan

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
85
data kondisi oseanografi Selat Bali tidak tersedia
setiap hari sebagai input data dalam validasi
model. Selama periode bulan Juni-Agustus 2014
hanya terdapat 14 dataset parameter oseanografi
(SST, SSC, dan PAR) yang cukup baik masing-
masing 7 hari (Juni), 4 (Juli) dan 3 hari (Agustus).
Hasil prediksi selanjutnya dibandingkan dengan
data respon balik dari Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Pengambengan. Namun hanya
terdapat 23 kegiatan penangkapan ikan lemuru
pada periode yang sama, sedangkan yang
bersesuaian dengan ketersediaan data osenografi
hanya 9 kegiatan penangkapan. Selebihnya hasil
tangkapan nelayan berupa tongkol, layang deles
dan slengseng.

Prediksi tanggal 1 Juni 2014 menunjukkan tutupan
awan yang tinggi hampir di seluruh Selat Bali.
Kelimpahan zooplankton ditemukan di pesisir
Selat Bali bagian timur yang berkisar antara 5.000
– 6.000 ind/m
3
. Pada lokasi tersebut hasil
taangkapan ikan lemuru berkisar antara 2 – 3 ton.
Hasil prediksi pada bulan Agustus 2014
menunjukkan kelimpahan zooplankton yang tinggi
di bagian utara Selat Bali. Ketersediaan sumber
makanan yang melimpah menyebabkan hasil
tangkapan lemuru juga tinggi. Hasil tangkapan
ikan lemuru pada tanggal 19 Agustus 2014
berkisar antara 4 – 9 ton. Sedangkan hasil prediksi
pada tanggal 28 Agustus 2018 menunjukkan
kegiatan penangkapan ikan dilakukan pada daerah
yang memiliki kelimpahan zooplankton rendah
sehingga hasil tangkapan ikan lemuru pun sedikit
(< 1 ton).

Analisis korelasi antara hasil prediksi kelimpahan
zooplankton dan hasil tangkapan ikan lemuru
sebesar 59,57%. Hal ini menunjukkan kegiatan
penangkapan ikan pada daerah yang memiliki
kelimpahan zooplankton tinggi dimungkinkan akan
mendapatkan ikan lemuru yang tinggi pula
(Gambar 7). Hasil tangkapan ikan lemuru semakin
tinggi seiring dengan melimpahnya sumber
makanan, yaitu zooplankton. Namun selain faktor
ketersediaan makanan, keberhasilan penangkapan
ikan lemuru juga dipengaruhi oleh faktor teknis
penangkapan yaitu proses penebaran jaring dan
kecepatan penutupan jaring. Proses pengurungan
ikan oleh pukat harus dilakukan dengan tepat dan
cepat untuk mempersempit ruang gerak ikan
sehingga memperkecil peluang ikan menghindar
dari jaring. Pada saat ikan sudah terkurung,
kantong jaring harus secepat mungkin ditutup
sehingga ikan tidak melarikan diri melalui sisi
bawah jaring.






Gambar 6. Tumpang susun hasil prediksi kelimpahan zooplankton dan hasil tangkapan ikan lemuru
Figure 6. Overlaying the predicted zooplankton abundance and lemuru catches

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016, Hal 77 - 87

86

Gambar 7 Korelasi hasil prediksi kelimpahan zooplankton dan hasil tangkapan ikan lemuru
Figure 7. Correlation between the predicted zooplankton abundance and lemuru catches


KESIMPULAN DAN SARAN

Keberadaan ikan lemuru sebagai konsumen primer
dalam rantai makanan dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan informasi daerah penangkapannya.
Sebanyak 7 model kelimpahan zooplankton telah
dihasilkan melalui pendekatan statistik GAM
berdasarkan parameter oseanografi utama yang
mempengaruhi ketersediaan makanan lemuru.
Kelimpahan zooplankton dapat diprediksi melalui
kombinasi variabel suhu permukaan laut (SST),
konsentrasi klorofil-a (SSC) dan
Photosynthetically Available Radiation (PAR)
sesuai dengan persamaan sqrt(zoo+1) =s(ssc,
k=1)+s(sst, k=4)+s(par). Persamaan ini dapat
menjelaskan kelimpahan zooplankton sebesar
75,3% dari populasi sampel yang digunakan.
Zooplankton cenderung melimpah pada kisaran
SST antara 25-26
o
C, SSC antara 0,5–0,7 mg/m
3
,
dan PAR antara 40-45 einsten/m
2
/day. Variabel
SST dan PAR memiliki tingkat signifikansi yang
lebih tinggi dari pada variabel SSC. Korelasi hasil
prediksi kelimpahan zooplankton dan hasil
tangkapan ikan lemuru yang cukup tinggi
memungkinkan pendekatan ini dapat digunakan
untuk menentukan daerah penangkapan ikan
lemuru di Selat Bali. Namun demikian perlu
dilakukan kegiatan validasi kelimpahan
zooplankton dan eksperimen penangkapan
(experimental fishing) untuk menguji keakuratan
informasi yang dihasilkan oleh model ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampikan kepada I Nyoman
Suranan dan Yuli Pancawati yang telah membantu
dalam proses identifikasi jenis plankton.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiadi, T., Hamzah, F., & Trenggono, M. (2013).
Struktur komunitas plankton di perairan Selat
Bali. Omniakutika, 12(17), 1-8.
Burhanuddin, Hutomo, M., Martosewojo, S., &
Moeljanto, R. (1984). Sumberdaya ikan lemuru.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Carpenter, K.E., & Niem, V.H. (1999). FAO species
identification guide for fishery purposes. The
living marine resources of the Western Central
Pacific. Volume 3. Batoid fishes, chimaeras and
bony fishes part.1 (Elopidae to Linophrynidae).
Roma: Food and Agriculture Organization.
Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K.,
Andiastuti, R., Sachoemar, S.I., et al. (2005).
Seasonal variation of pelagic fish catch around
Java. Oceanography, 18(4), 112-123.
Hendiarti, N., Siegel, H., & Ohde, T. 2004.
Investigation of different coastal processes in
Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep-Sea
Research II, 51, 85–97.

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai
Makanan Dan Pendekatan Statistik GAM - Eko Susilo dan Teja Arief Wibawa
87
Lalli, C.M., & Parsons T.R. (1997). Biological
oceanography: An introduction (2nd ed.).
Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.
Pradini, S., Rahardjo, M.E., & Kaswadji, R. (2011).
Kebiasaan makanan ikan lemuru (Sardinella
lemuru) di perairan Muncar, Banyuwangi. Jurnal
Iktiologi Indonesia, 1(1), 41-45.
Rintaka, W.E., Setiawan, A., Susilo, E., & Trenggono,
M. (2014). Variasi sebaran suhu, salinitas dan
klorofil terhadap jumlah tangkapan lemuru di
perairan Selat Bali saat muson tenggara.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan X
ISOI 2013, 20-31. Jakarta: Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia.
Robinson, I.S. (2010). Discovering the ocean from
space: the unique applications of satellite
oceanography. UK: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Saitoh, K., & Saitoh, S. (2008). Prediction of sardine
fishing ground as determined by multi-sensor
remote sensing and GIS. International Journal of
Remote Sensing and Earth Science, 5, 67-83.
Sartimbul, A., Nakata, H., Rohadi, E., Yusuf, B., &
Kadarisman, H. P. (2010). Variations in
chlorophyll-a concentration and the impact on
Sardinella lemuru catches in Bali Strait,
Indonesia. Progress in Oceanography, 87(1–4),
168-174
Satyendranath, S., Watss, L., Devred, E., Platt, T.
Caverhill, C., & Maass, H. (2004).
Discrimination of diatoms from other
phytoplankton using ocean-colour data. Marine
Ecology Progress Series, 272, 59-68.
Siregar, V., & Hariyadi. (2011). Identifikasi parameter
oseanografi utama untuk penentuan daerah
penangkapan ikan lemuru dengan menggunakan
citra satelit MODIS di Perairan Selat Bali. Jurnal
Akuatik,1(1), 32 – 38.
Sukresno, B., Hartoko, A., Sulistyo, S., & Subiyanto.
(2015). Empirical Cumulative Distribution
Function (ECDF) analysis of Thunnus sp. using
ARGO float sub-surface multilayer temperature
data in Indian Ocean south of Java. Procedia
Environmental Sciences, 23, 358 – 367.
Susanto, D., Gordon, A.L., & Aheng, Q. (2001).
Upwelling along the coasts of Java and Sumatra
and its relation to ENSO. Geophysical Research
Letter, 28(8), 1599-1602.
Susanto, D., & Marra, J. (2005). Effect of the 1997/98
El Niño on chlorophyll a variability along the
southern coasts of Java and Sumatra.
Oceanography, 18(4), 124-127.
Valavanis, V.D., Pierce, G.J., Zuur, A.F., Palialexis, A.,
Saveliev, A., Katara, I., et al. (2008). Modelling
of essential fish habitat based on remote sensing,
spatial analysis and GIS. Hydrobiologia, 612, 5–
20.
Wibawa, T.A. (2011). Prediksi sebaran daerah potensial
penangkapan tuna mata besar dengan data satelit
oseanografi, argo float, model statistika dan GIS.
Makalah disajikan dalam Seminar Kelautan
Internasional, Denpasar: Balai Penelitian dan
Observasi Laut.
Wibawa, T.A. (2012). Pemanfaatan data harian sensor
MODIS Aqua/Terra untuk memperkirakan
sebaran kelimpahan diatom di Selat Bali. Jurnal
Kelautan Nasional, 7(2), 120-132.
Wiyono, E.S. (2012). Analisis efisiensi teknis
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap
purse seine di Muncar, Jawa Timur. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian, 22(3), 164-172.
Wood, S.N. (2006). Generalized additive models: An
introduction with R. Chapman and Hall/CRC.
Yamaji, I. (1976). Illustration of the marine plankton of
Japan. Japan: Hoikusha Publishing Co., LTD.
Zainuddin, M., Nelwan, A., Farhum, S.A., Najamuddin,
Hajar, M.I.H., and Kurnia, M. 2013.
Characterizing potential fishing zone of skipjack
tuna during the southeast monsoon in the Bone
Bay-Flores Sea using remotely sensed
oceanographic data. International Journal of
Geosciences, 4, 259-266.
Zuur, A.F., Ieno, E.N., & Smith, G.M. (2007).
Analysing ecological data. Statistics for biology
and health. USA: Springer Science + Business
Media, LLC.
Zuur, A.F., Ieno, E.N., Walker, N.J., Saveliev, A.A., &
Smith, G.M. (2009). Mixed effects models and
extensions in ecology with R. USA: Springer.