KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI
ASPEK PENYAKIT
SUPARdanTATI ARIYANTI
Balai Penelitian Vetetiner,
PO Box 151,Bogor16114
ABSTRAKPenyakit menupakan faktor atau kendala utama kinerja dalam produksi peternakan pada penyediaan pangan asal ternak
.
Faktor penyakit baik infeksius maupunnoninfeksius akan mempengaruhi kualitas produk pangan asal temak dan keainanannya
untuk dikonsumsi rnanusia. Keamanan pangan produk peternakan merupakan isu dunia sifatnya dapat lokal atau intertilsional
mutlak harus diperhatikan karena menyangkut berbagai aspek kualitas hidup tnanusia dan kesehatannya. Keamanan pangan
produk petemakan ditentukan oleh kondisi. fisik dan kesehatan ternak pangan pada periode prapanen . Dalam memperolch pangan
asal temakyangbennutu dan aman untuk dikonsumsi, rantai penyediaan mulai dari praproduksi (penyediaan bibit), tingkat
produksi (petemakan) sampai siap panen perlu dipahami dan dijaga terhadap adanya gangguan kesehatan akibat penyakit
(bakterial,
viraldan
protozoa)dan juga residu antibiotik, hormon daninsektisida.Dilihat dari segi keamanan pangan penyakit
bakterialyangsering meniinbulkan inasalah inulai dari tingkat produksi ternak hingga pascapanen ialah: penyakit antraks,
salmonellosis, brticellosis,tuberculosis,clost idiosis, rolibasilosis, staphylococcosis.Bakteri penyebab penyakit tersebut pada
periode pascapanen dapat menyebabkan gangguan kesehatan rnanusia berupa foodborne
diseasedan ataufoodpoisoning.
Penyakitviralberpengaruh nyata terhadap keamanan temak pada periode prapanen, tetapi tidak begitu berakibatfataldatani
aspek keamanan pangan pascaproduksi ternak atau pascapanen. Keamanan pangan asal ternak pada tahap prapanen di lapang
dapat dikendalikandengan aplikasi vaksin atau dengan pengobatan. Untuk nieinperoleh jaininan mutu temakyangaman,paling
tidak dapat dilihat secaravisualdari aspek kesehatan tubuh. Pelaksanaan dalam penentuan kondisi kesehatan ternak secara medis
perlu dukungan pemerik saan secara laboratorik veteriner untuk mengetahui ada dan tidaknya pembawa atau karier penyebab
penyakit infeksius. Tentunya diperlukan dukungan fasilitas laboratorium veterineryangmemadai dan tersedianya bahan atau
reagendiagnostik yangmemadai. Disamping itu, untuk mendapatkan jatninan niutu teniak pangan sampai masa panen, perlu atau
harus diterapkan kotisep-konsep sistem produksiyangbaik, sepertihazard analysis critical control point(HACCP) dan konsep
good agricultural practice(GAP)pada tahap produksi peternakan.
Kata kunci:Pangan asal ternak, prapanen, konsumsi manusia, keamanan pangan
ABSTRACT
FOOD SAFETY OF ANIMAL PRODUCTS THAT VIEWED FROM DISEASE ASPECT
Animal diseases are tnajor factors affecting food producing anitnals at husbandry productions. The infectious and or non
infectious diseases can influence the food quality of animal products and their safety for human consumption. The food safety of
animal products becomes a world trade issue because it affects some aspects of human life quality and health. The food safety of
anitnal products is defined at least by physical and health conditions of animal at preharvest period. It can be achieved by good
manufacturing practice, beginning at animal production level up to the harvesting period.
:During this period, the animals must be
protected against infection by pathogens of either bacteria, viruses or protozoa. linportant animal diseases which often cause
problems during animal husbandry productions are anthrax, salmonellosis, brucellosis, tuberculosis, clostridiosis. colibacillosis,
staphylococcosis. Some of the pathogens causing those diseases may also cause food poisoning and foodborne disease. The viral
disease infection can affect food-safety at preharvest time but not at postharvest. At prcharvest period in fanns the disease can be
controlled by vaccines and selected drug application. To obtain the good quality assurance of food producing animals and the
safety for human consumption, the physical and the health conditions of animals can be determined visually. To determine the
health status of food producing animals, each animal must be tested for the presence of pathogens and or specific antibody. This
needs a veterinary laboratory facility with good equipments, chemical and diagnostic reagents
. On the other hand, in order to
pursue the good quality assurance of food producing animals up to the harvesting period, the hazard analysis critical control point
(HACCP) and good agricultural practice (GAP) concepts in animal husbandry productions must be followed.
Key words:Animal products, preharvest, human consumption, food safety
187

188
SUPARdanTATI ARIYANTC
Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjaudart
Aspek Penyakit
PENDAHULUAN
Tuntutan terhadap keamanan pangan dan jaminan
mutu produk,
pangan asal ternak akan semakinberkembang atau terus meningkat bersamaan dengan
dilaksanakannya perdagangan bebas. Tuntunan tersebut
memerlukan perbaikan dalam pelaksanaan produksi
pangan asal ternak sesuai persyaratan sistem produksi
ISO-9000. Untuk mendapatkan kepastian jaminan mutu
produk pangan asal ternak juga perlu diterapkan sistem
hazardanalysiscritical control point(1-IACCP)dan
sebagainya.Tidakdapat
dihindari terjadinya
kekhawatiran permasalahan tentangfood poisoningdan
fodbornediseasedari berbagai negara di dunia,
tennasuk diIndonesia,baik produk pangan asal hewani
ataupun nabati(ADAMdanMoss, 1995).Kemampuan
dalam mendeteksi masalah cemaran mikroba, senyawa
toksik, -kimia dan residu obat-obatan serta senyawa
toksik pada produk pangan hewani atau sumber bahan
baku pangan hewani perlu ditingkatkan.
Berbagai permasalahanyangberhubungan dengan
produksi ternak prapanen berupa penyakit baik akibat
mikroba patogen infeksius maupunnoninfeksius
(bahan kimia toksik). Dari segi mikroba infeksiusyang
menyebabkan permasalahan pada tahap prapanen atau
produksi ternak, ialah:virus,
bakteri, parasit dan
jamur/kapang. Masalah ini harus menjadi perhatian
yangseksama bagi para produsen, pengusaha dan
pemegang kebijakan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
banyak mikrobayang
bersifat patogenik pada ternak
dapat ditularkan dari ternak ke manusia (zoonosis),
melalui produknya dan atau dapat mencemari produk
ternak dan lingkungan peternakan. Sebagai contoh
misalnya penyakityangdisebabkan oleh bakteri
Bacillusanthracis,Mycobacteriumtuberculosis,
Brucella abortus,Salmonellaspp.dan lain-lainnya.
Bakteri tersebut menginfeksi sapi perah atau sapi
pedaging, dan hewanlaindan dapat ditularkan kepada
manusia melalui produknya (daging, susu) atau akibat
kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksiB.
abortus,B.suis,B.anthracis(PRIADIet al.,1992;
HARDJOUTOMO elal.,1996;SETIAWANet al.,1996).
BakteriLeptospira spp.dapat disekresikan melalui urin
ke lingkungannya dan dapat.terbawa oleh aliranair,
mencemari lingkungan peternakan atau dapat juga
mencemari produk daging pada waktu pemotongan dan
juga menginfeksi
petugas rumah potong hewan
(DARODJATdanRONOHARDJO, 1989).Perhatian utama
dalam aspek keamanan pangan ditujukan terhadap
bakteriyangmenyebabkan penyakitgastrointestinal,
baik
yangmenyebabkan sakit perut dengan gejala diare
maupunnondiare. Permasalahan sakit perutyang
disebabkan oleh mengkonsumsi daging, susu dan
olahannyayangmengandung
enterotoksinyang
diproduksi olehS.aureus(CHRISTIAN,1983;DICK
et al.,1989).
Panganyangberasal dari hewan ternak sangat
penting bagi kelangsungan kesehatan manusia, namun
demikian pangan tersebut erat kaitannya dengan
masalah-masalahfood poisoningdanfoodborne
disease.Foodborne diseases
biasanyabukan
merupakan faktor penyebab utama dalam kematian
manusia, namun dapat menyebabkan berbagai macam
gangguan kesehatan dan tersebar di berbagai belahan dunia
(GRAU,1989).Infeksi salmonelosis pada industri
peternakan tidak menimbulkan kematianyangtinggi
pada manusia atau hewan ternak . Bakteri
Salmonella
spp.dalam saluran
gastrointestinalpada hewan
berdarah panas sebagian besar tidak menyebabkan sakit
padahewan ternak, namun dapat menimbulkan
masalah besar pada manusia dan dapat juga menjadi
sumber kontaminasi bahan pangan asal ternak pada
waktu pemotongan. Dengan demikian, hewan ternak
bertindak sebagaireservoirkontaminan, mungkin
sangat sulit penanganannya. Disamping itu, hewan
yangmenderita infeksi atau sakit dapat menularkan
patogenpenyebabpenyakitkemanusia setelah
mengkonsumsiprodukternakyangmengandung
penyakit, seperti: daging, susu dan produk-produknya.
Oleh karena itu, salinonelosis dapat menyebabkan
kerugian ekonomiyangsangat besar, karena produk
tidak laku dijual atau ditolak di pasaran.
Makalah ini membahas kendala-kendalayang
dapatmempengaruhi keamanan panganproduk
peternakan ditinjau dari aspek penyakit dan upaya
solusinya.
KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN
Bahan pangan ditinjau dari sumber asalnya terdiri
dari bahan pangan nabati (tumbuh-tumbuhan) dan
bahan pangan hewani (hewan/ternak dan ikan)yang
dalam proses produksi dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial, ekonomi, lingkungan,kearnanan(safety)dan
kesejahteraanhewan(animalwelfare)(SUIIADJI,
1995).Keamanan pangan menurut Undang-Undang
tentang pangan yaitu UUno 7tahun1996adalah
kondisi dan upayayangdiperlukan untuk mencegah
pangandarikemungkinancemaranbiologik
(mikrobiologik), kimia, kimia toksik dan benda-benda
lain yangmengganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia. Keamanan pangan(foodsafety)
merupakan kondisiyangsangat kompleks dan berkaitan
erat dengan aspek mikrobiologi patogenik, toksisitas
mikrobiologik, kimia toksik,statusgizi dan keamanan
batin atau kehalalan(BAHRIdanMURDIATI,1997).
Pengamanan pangan produk peternakan
Peranan kesehatan hewansangat pentingdalam
rangkapemantapan produksipeternakansebagai
industri biologisyangdikendalikan oleh manusia dan

harus didukung oleh kondisiyang idealdan diawasi
oleh petugas bidang kesehatan hewan
. Kondisiyang
idealberupa ternakyangsehat, lingkungan budi daya
yangbebas dari penyakit berbahaya, akan menghasilkan
produk peternakanyang
sehat dan aman untukdikonsumsi manusia
. Oleh karena itu, pendekatan
keamanan
panganprodukpeternakanmelalui
pendekatanpenyakit
(animal
diseaseapproach)
diarahkan ke pendekatan kesehatan hewan secara utuh
(animal health)
.Petneliharaan kesehatan hewan pada
berbagai tingkat usaha ternak merupakan upayaagar
ternakyangdiusahakan dapat berproduksioptimal.Hal
ini untuk melindungi ternak dan produknya bebas dari
ancaman penyakit, cemaran mikroba patogenik, bahan
kimiawi toksik, residu obat-obatan, hormon,logarn
berat,sehinggaproduk peternakanyangakan
dikonsumsi masyarakat aman(SUHADJI,1995).
Sifat bahan pangan asal ternak umumnya mudah
rusak, baik akibat perubahanyangterjadi di dalam
bahan itu sendiri (faktorinternal)maupun akibat
adanya kerusakan dari luar (faktor eksternal) seperti
kontaminan bakteri dan residu. Bahan pangan asal
ternak merupakan bahanyangkaya akan nutrien,
sangatidealuntuk pertumbuhan berbagai jenis bakteri
atau mikroorganisme. Berbagai jenis mikroba dan atau
bakteriyangdapat menyebabkan penyakit ternak dan
mencemari daging dan produknya
. Sebagai contoh
mikrobapatogenikpadaternakunggasyang
mencemari adalah bakteri
Salmonellaspp.,Clostridium
spp., sedangkan bakteriyang dapat mencemari susu
dan produknya ialahMvcobacterium spp ., Brucella
spp.,E.coli,Bacilluscereus, Staphyllococcus spp.dan
masih banyak jenis bakteri lainnyayangtidak mungkin
dideskripsi satupersatu disarikan pada Tabel1
(MURRELL,1989).
Pada periode pascapanen berbagai jenis bakteri
yangmencemari produk pangan asal ternak dapat
memproduksi ekstraselular toksin (disekresikan keluar
dari sel bakteri ke dalam panganyangtercemar), dapat
menyebabkanfood poisoningdan/bodbornedisease.
Variasi jenis toksin bakteriyangberbahaya terhadap
manusia atau binatang tertulis padaTabel2.Sebagian
besar bakteri tersebut pada hewanyangmasih hidup
bersifat komensal atau besifatopportunisticpatogenik
dan secara fisik hewan kelihatan sehat. Apabila bahan
pangan atau pangan mengandung bakteri dan atau
mengandung toksintermakanoleh manusia, maka
toksinakansegera langsungberpengaruhatau
menimbulkan penyakit dalam waktuyangsingkat
(SUGIYAMA,
1980; GILL, 1982;BETLYelal.,
1986).
Oleh karena itu, penanganan dan pengawasan pangan
produk ternak berupa daging harus dimulai dari tingkat
produksi atau prapanen. Banyak kendala dihadapi di
tingkat petani yaitu penyakityangbersifat infeksius
yangdisebabkan oleh bakteri,virus,ekto- dan endo-
parasit(BAH1udanMURDIATI,1997).
WARTAZOA Vol.15 No. 4Th.2005
Dalam proses produksi peternakan obat-obatan
antibiotika selain dipergunakan untuk pengobatan
penyakit infeksius juga digunakan sebagai pemacu
pertumbuhan,yang biasanya
diberikansebagai
imbuhan dalam pakan. Meningkatnyapernakaianobat
hewanyangdipakaiuntuk pengobatan penyakit
infeksius dan untuk pemacu pertumbuhan produksi
peternakan tersebut akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan obat. Dalam dua dekade terakhir ini terdapat
kecenderunganpeningkatanobatdalam produksi
peternakan. Dalam setiap tahunnya dapat mencapai
jumlahyangcukupbesar(Rp.278,6milyar)
(MURDIATidanBAHRI,1995).Dampak negatif dalam
penggunaannya ialah residu dan cemaran obat atau
bahan kimia pada produk pangan asal ternakteijadi
pada tingkatproduk.si. (prapanen). Adanya residu obat
dalam produk pangan asal ternak mungkin disebabkan
olehkurangnyamemperhatikan withdrawal timepenggunaan
obat(MuRDIATI danBAURI, 1995;
WIDIASTUTIdanMURDIATI,1995).
Kasus dan isu keamananyangberkaitan dalam
produk pangan asal ternak
Kasus keracunan pangan akhir-akhir ini banyak
terjadi di beberapa tempat diIndonesia,salah satu
kasusyangpernah dilangsir olehmediacetak KOMPAS
(edisi4 September2004)dilaporkan bahwa sebanyak
72orang siswa Sekolah Dasar(SD)di Tulung Agung,
300siswaSDdi Bandung dan72karyawan di salah
satu toko swalayan diSurabayamengalami sakit
setelah mengkonsumsi susu kemasan kotak. Dari kasus
itu diketahui adanya bakteriE.colidanStaphylococcus
aureus(SUwITO,2005).Masih banyak kasus keracunan
pangan terjadi setelah mengkonsumsi makanan dalam
suatu makan besar (pesta),yangdisiarkan olehmedia
elektronik,radiodan televisi, ataupunyangpernah
dilaporkanolehYayasanLembagaKonsumen
Indonesia(YLKI). Namun demikian, sampai saat ini
belum adadata yangpasti seberapa besar kasusfood
poisoningdanfoodbornediseasesyangtelah
dipublikasi secara ilmiah dan akurat. Pernah dilaporkan
olehYL.KIbahwa selama tujuh tahun hingga tahun
1994tercatat sebanyak31kasus dengan4305orang
korban dan56diantaranya meninggal dunia(YANI,
1996).Dilihat dari aspek bakteriologik tidak begitu
membahayakan, bila dilihat dari aspeklain(toksin)
tidak banyak informasi, mikroba apakahyangmenjadi
masalahtimbulnyakeracunantersebut.Dari
penelusuransecarailmiahragambakteriyang
memproduksi toksin (enterotoksin, neurotoksin dan
lain-lainnya), disarikan dalam Tabel2.Disamping itu,
kasus kematian manusia setelah mengkonsumsi daging
dombayangterinfeksi antraksyangdipotong paksa
oleh pemiliknya terjadi di daerah Kabupaten Bogor
tahun2004.
189

190
SUPARdanTATI AREYANTI
:
Keamanan PanganProduk
Peternakan Ditinjau dari Aspek Penvakit
Tabel1.
Bakteri penyebab
fbod
poisoningdan
fbodbornediseaseserta sifat bahayanya
Asal
Jenis
Jenis bakteri

Patogenik
pangan

NormalNormal
dari
komensalfekal
hewan
KontaminanKontaminan

Pekerja
urnum pada
umum pada
pengolahan
pangan

manusia dan

pang
lingkungannya
Sifatbahaya
yang
ditimbulkan
Daging

Salmonellasp.

+

+/- +/- Infeksi
dan

Cl.botulinum +(tanah) Toksik
produknya
Cl. perringens
TipeA

+

+

+ Infeksi&toksik
TipeC

+ Infeksi& toksik
Yersinia sp.

+

+ + Infeksi&toksik
Camp.jejuni

+

+

+ + Infeksi
Staphylococci

+

+ (kulit) +

+

+ Toksik
Unggas,

Salmonellasp.

+ +

+ Infeksi
telur dan

Cl
.
perfringens

+

+

+ + Infeksi&toksik
produknya
tipe
A
Camp.jejuni

+

+

+ + Infeksi
Susu dan Mycobacteria

+ Infeksi
produknya
Brucella

+ Infeksi
Staphylococci

+

+ (kulit) + Toksik
E.coli

+

+

+ +

+ Infeksi
B.cereus +

+ Toksik
Susu

Salmonella sp.

+ +

+ Infeksi
bubuk
Keju

Staphylococci

+

+ +

+

+ Toksik
Cl
. perfu ingens
TipeA

+

+

+ + Infeksi&toksik
Cl. botulinum + Toksik
Br. melitensis

+ + Infeksi
Sumber:MuRRELL(1989)
Tabel2.Berbagai toksin dari berbagai spesies bakteri dan dosis letalnya pada mencit
Spesies bakteri Ekstraselular toksin
Dosis letal pada mencit
Aeromonas hydrophila Aerolysin 7gg(iv)
Bacillus anthracis Letal faktor(LF)(+protektifantigen)
<14µg,ivpada tikus
Protektifantigen (PA)
Udemafactor(UF)
Bacillus cereus Cereolysin <80pg
Enterotoksin (penyebab muntah) 15 mg iv
Bacillus spp. Oksigen labil
Bordetella pertussis Heat labiletoksin, pertussigen 15 µg, 21µgip
Clostridium bifernrentans
Lecithinase

Lanjutan Tabel2.
WARTAZOA
Vol
.
15 No. 4Th.2005
iv
:
intra vena;ip:intra
peritoneal:ic:intra cutan;
se:subcutan;
-:tidak adadata
Sumber:SUGtYAMA(1980);GILL(1982);BETLYet al.(1986)
191 Spesies bakteri
Ekstraselular toksin Dosis letal pada mencit
Clostridiumbotulinum
TipeA Neurotoksin1,2 ng ip
TipeB Neurotoksin (diaktivasi proteolitik) 0,5ng ip1,2ng ip
TipeC1 Neurotoksin (diaktivasi proteolitik) 1,1ngiv
TipeC2 Neurotoksin (diaktivasi proteolitik)1,2 ng ip
TipeD Neurotoksin 0,4ng ip
TipeE Neorotoksin1,1 ng ip
TipeY Neurotoksin (diaktivasi proteolitik) 2,5ngiv
Clostridiumdicile Enterotoksin, toksinA 500ng ip
Clostridiumperfringens
TipeA Alpha toksin, lecitnase 3-5sgiv
TipeA Kappa- toksin 1,5 mg iv
TipeA Theta -toksin, prefringolisin 013-16 tgiv
TipeA Enterotoksin 81-140pgiv
TipeB&C Beta Toksin <400
ng ip
TipeB&C Delta Toksin 5pgiv
TipeB&C
Epsilon toksin (diaktivasi tripsin)
100ng
Clostridiumtetani Tetanus toksin, tetanospasmin1 ng
Clostridiunrspp. Oksigen labil hemolisin
Corvnebaeteriuni diphtheiae Diphtheria toksin 1,6 mgsc
Cotynebacterium ulcerans Sitotoksin (spingomylinase) 120 pg sc
(marmot)
Escherichia coli Heat labileenterotoksin (LT) 250pgiv
Heat stableenterotoksin (ST) 250pgiv
Listeriamonocylogenes Lysteriolisin 3-12pgiv
Proteus mirabilis Neurotoksin
Pseudomonas aeruginosa Toksin A 3pgiv
Protease 4 mg iv
Shigella dysenteti
Neurotoksin 1,3pgiv, 350ngiv
Staphylococcus aureus Alpha toksin, alpha lysine 40-60ng
iv
Beta lysine
Gama lysine 110 mg iv
Delta lysine
Enterotoksin A
Enterotoksin B
Enterotoksin C
Leucocidin
Pyrogenic toksin A, B, C
Streptococcus pneutnoniae Pneumolysin
Streptococcus pyogenes Pyrogenic toksin, erythrogenik toksin 3-6 mg iv
Streptolysin 0 8pgiv
Streptolysin S 25pgiv
Vibrio cholerae Kolera toksin, koleragen 250 Vg iv
Yersinia enterocholitica Heat stableenterotoksin
Yersinia pestis
Murin toksin <10pg

192
SUPAR dan TATI ARIYANTI:Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek Penyaki :MASALAH KEAMANAN PANGAN ASAL
TERNAK PADA TAHAP PRAPANEN
Penyakit hewanyangberkaitan dengan keamanan
pangan hewani pada tingkat produsen atau prapanen
dapat mempengaruhi kualitas produk pascapanen dan
berdampak juga pada kuantitasnya. Beberapa penyakit
pentingyang
perlu diperhitungkandampaknya
terhadap keamanan pangan dikemukakan di bawah ini :
Penyakit antraks
pada ternak prapanen
Antraks atau penyakit radang limpa merupakan
penyakit infeksiusyangdisebabkan olehBacillus
anthracis,dapat juga menginfeksi hewan dan manusia
(zoonosis). Antraks pada ternak diIndonesia diketahui
sejak tahun1885,dan pada manusia sejak tahun1922
sebelum negara RepublikIndonesiadiproklamasikan
(SOEMANEGARA, 1958).Kerugian ekonomi akibat
antraks pada tahun1961diperkirakan6,5juta dolar
Amerikapertahun(MANSJOER, 1961).Masalah
penyakit antraks pada hewan maupun manusia masih
menjadi perhatian, hingga sekarang masih sering
terjadi letupan kasus antraks. Walaupun letupan tidak
terlalu banyak menyebabkan kematian hewan atau
manusia,cukup menggemparkan danmenarik
perhatian. Pada umumnya ternak sapi, kerbau, kambing
dan domba dikategorikan sangat rentan, sedangkan
babi,anjingdanmanusiadikategorikanrentan
(HARDJOUTOMO et al.,
1996)
.Dilaporkan juga, bahwa
hewan penghuni kebun binatang pernah terinfeksiB.
anthracis(HARJOUTOMO, 1986).DiIndia,antraks
pernah menyerang unta(RAWATet al.,1990).
Sebagai gambaranyangmenunjukkan ancaman
antraks terhadap keamanan pangan asal hewan sejak
awal diketahuinya dari tahun1885-1960dapat dilihat
pada Tabel3.Hingga tahun1961pulau-pulauyang
besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi) dan
pulau kecil(BalidanRote)terjangkitiantraks
(HARDJOUTOMO etal.,1996).Antara tahun1976-1985
dilaporkan9propinsi diketahui antraks masih menjadi
masalah dengan43kali letupan(label 4)dan hewan
terserang sebanyak4310terdiri dari sapi, kerbau,
domba, kambing, kuda dan babi (HARDJOUTOMO,
1990).
Dari data-data kajian kasus antraks di atas
menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
NTT merupakan dacrah endemik antraks. Dalam
periodeyangsama Jawa Tengah selama90tahun absen
atau tidak dilaporkan adanya kasus antraks. Namun
demikian pada tahun1990terjadi letupan antraks pada
sapi perah,yangdiawali pada perusahaan inti rakyat(PIR)
PTNandi Amerta Agung (NAA) termasuk
daerah Kabupaten Semarang, dalam waktu yang
singkat menularkan ke peternakanplasma(rakyat),
data
kematian ternak pada saat itu dapat dilihat pada
Tabel 5
.Pada saat itu letupan antraks dikendalikan
dengan vaksinasi(MARTINDAIJet al .,
1995).Dilihat
dari aspek epidemiologik Jawa Tengah merupakan
daerah endemik antraks,yangsewaktu-waktu dapat
terjadi letupan antraks.
Tabel 3.Sejarah kejadian antraks di Indonesia
dari tahun
1885-1960
Sumber:
SOEMANEGARA(1958);MANSJOER(1961)
Tahun kejadianDaerah TingkatIDaerah Tingkat Il
1885 Bali Buleleng
Sumatera Rawas (Palembang)
Selatan
Lampung Lampung
Jawa Barat Banten
Sumatera Barat Padang Darat
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Barat
Nusa Tenggara Rote
Timur
1889 Jawa TengahJepara
1900 Jawa Tengah Tegal, Pekalongan,
Surakarta
Banyumas
Jawa Timur Madiun
1910 Jambi Jambi
Sumatera Palembang
Selatan
1914 Sumatera Barat Padang
Bengkulu Bengkulu
1916 Jawa Barat Karawang,
Purwakarta
1927-1928 Sumatera Barat Bukit Tinggi
1930 Sumatera Utara Medan, Sibolga
Sulawesi Makasar,
Selatan Watampone
1931-1932Sulawesi
Kendari, Kolaka
Tenggara
1937 Jawa Barat Bandung
1941 Jawa Barat Bogor, Priangan
1955 Jawa Barat Cianjur, Bandung
1955-1956 Jawa Barat Sumedang
1960 Jawa Barat Karawang,
Purwakarta, Garut

Tabel4.
Kejadian letupan antraks
1976-1985
Propinsi
Riau
Sumatera Barat
JambiDKI
Jakarta
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Jumlah
Sumber:HARDJOUPOMO
(1990)Dampak kasus antraks
pada lingkungan peternakan
Antraks merupakan penyakit yangmenyerang
hewan dan dapat langsung ditularkan kepada manusia
di lingkungan peternakan. Dilaporkan bahwa pria lebih
banyak terinfeksi antraks (BOZZANO et
al
.,1990;
DOGANAY, 1990),halini kemungkinan pria lebih
Tabel5.Outbreakpenyakit antraks pada sapi perah di peternakan intiPTNandiAtnerta Agung dan peternakanplasmadi
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah tahun1990
Waktu
Inti
Januari1990 1 1
Februari1990 8 8
Maret1990 13 1 2 16
April 1990

93

15

51

15

174
Mei1990 208 25
77 27 337
Juni1990

306

39

47

41

433
Juli1990 228 28 30 41 327
Jurnlah

856

108

206

126

1.296
Sumber:MARTINDAH et al.(1995)
Tabel6.Kejadian antraks pada manusia di beberapa kabupaten di Jawa Tengah
Sumber :
MARTINDAH et al.(1995)
WARTAZOA Vol.15 No. 4Th.2005
Jumlah letupan
Kematian sapi perah pada peternakan
banyakyangmemiliki pekerjaan berhubungan dengan
sapi, sebagian manusia penderita antraks tinggal di
pedesaan diIndiadan Turki (BHAT
etal.,1990;
DOGANAY, 1990).Manifestasi antraks pada inanusia
menunjukkan bentuk Wit,kemudian bentuk intestinal,
sangat jarang bentukmeningitis.Kejadian antraks pada
manusia pertama kali dilaporkan di Purwakarta Jawa
Barat dan Pulau RoteNTT tahun 1922(SUPARWI,
1922),berikutnya terjadi di Kolaka/Kendari, Sulawesi
Tenggara (DJAENUDIN, 1951) .
Kasus letupan antraks
pada manusia di propinsi tersebut terjadi lagi tahun
1969, 1973dan1977 dengan korban sebanyak
377
orang(HARDJOUTOMO etal.,1996).Sedangkan
distribusi kasus antraks pada manusia pada periode
tahun 1990-an dapat dilihat pada Tabel 6(MARTINDAl1
et al.,1995).
Kasuskejadi.anantraks pada manusia di daerah
endemik diIndonesia umumnya didahului terjadinya
infeksi pada ternak baik sapi, kerbau, kambing ataupun
domba. Infeksi pada manusia sering terjadi karena
penanganan hewan sakit antraks tidak benar, dan
kurangnya pengetahuan para peternak mengenali
gejala-gejalaawal penyakit antraks.Peternak
menganggap penyakit tersebut tidak berbahaya .
Peternak plasma

Jumlah sapi yang mati
Desa Patemon

Desa Butuh

Desa Karangduren
193
Kabupaten
Banyaknya kasus antraks pada manusia tahun
Jumlah
1990 1991 1992 1993 1994
Semarang 48 19 2 20
71
Boyolali 49 1 3 1 0 54
Kudus 0 0 0 0 1 1
Jumlah 97 20 5 3 1 126

Penyakit akibatBacillusspp .
194
SUPARdanTATI ARCYANTI
:
Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dartAspek Penvakit
Tingkat virulensi
B
.
anthracis
penyebab antraks
pada hewan atau manusia ditentukan oleh2faktor
virulensiyangutama yaitu kapsul dan eksotoksin,
masing-masingfaktortersebutdikendalikanoleh
plasmid
yangberbeda(UCHIDA
et al
.,1985;KOHLERet
al.,1989;TURNBULL et al.,
1998)
.Plasmid pXOI
penyandi sintesiseksotoksin dan plasmid pXO2
penyandi sintesisantigenkapsul glutamil polipeptida.
Dengan demikian, virulensiB.anthracisyangsecara
fenotipik ditentukan oleh ekspresi kapsul asam D-
poliglutamik dan produksi eksotoksin. EksotoksinB.
anthracisterdiri3 komponen
yaitu
: protektifantigen
(PA),antigen edemafaktor (EF) danantigenlethal
factor(LF).Secara individu, masing-masing faktor
virulensi tersebut tidak dapat menimbulkan penyakit,
akan tetapi apabilaPAberikatan dengan EF akan
menyebabkanedema,dan bilaPAberikatan dengan LF
akan menyebabkan kematian. PatogenesisB.anthracis
merupakan interaksi ketiga komponen tersebutyang
menyebabkan patofisiologikpadsjaringan sel hewan
atau manusia(VOETdanVOET,1.995;DUESBERRYdan
WOUDE,1999). PAdapat mengikat EF dan LF,
sedangkan
PA
mempunyai reseptorpadsdinding sel
dan masuk ke dalam sel, selanjutnya EF akan
mempengaruhi pemecahanATPsehingga berpengaruh
terhadap penumpuk
cyclicadenosinemonophosphate
(c-AMP) akibatnya sei mengalami pembengkakan
(edema)dan perubahan gradien transmembranyang
akan menyebabkan kebocoran sel. LFyang menempel
juga padaPA
akan terbawa masuk ke dalam membran
sel dan menghambat reaksi enzimatikproteinkinase
dalam sintesisproteinsehingga aktivitas enzimprotein
kinase berhenti, sel akan mati.
Spesies
lain
darigenusBacillusumumnya bersifat
komensalisme pada hewan. Dalam kondisi seimbang
tidak bersifat patogenik pada hewan inang, namun bila
mengkontaminasipakanataupanganakan
menyebabkan/bodpoisoningpada hewan atau ternak.
Keracunan makanan akibatB.cereusdilaporkan mirip
dengan intoksikasi akibatClostridiumperfringens,
dengan gejala sebagai berikut adanya rasa kejang-
kejang pada bagianabdomen,diare profus, mual.mual
dan muntah-muntah. Terjadinya tanda-tanda sakit atau
waktu inkubasi antara10-12 jam.Dilaporkan, kasus
keracunanmakanandiInggrisditandai dengan
terjadinya rasa mual dan muntah-muntah1-5 jam
setelah makan, kadang-kadang tidak disertai diare.
Tergantung jenis serotipenya, insidenyangwaktu
inkubasinya panjang disertai diare disebabkan olehB.
cereusserotipe1, 2, 6, 8, 9, 10dan12.Sedangkan,
yangwaktu inkubasinya pendek disertai muntah-
muntah disebabkan oleh serotipe3, 4, 5atau8
(MURRELL,1989).
B.cereusdalam pangan umumnya terjadi dalam
jumlahrendahuntuk dapatmenyebabkanfood
poisoning.Dosisyangdapat menyebabkan keracunan
pada manusiapalingsedikit106, urnumnyaberkisar
antara107-108sedangkan babi, mencit, kelinci, anjing dan kucing rentan terhadap keracunan oleh
B.cereus
(MURRELL,1989).
Salmonelosis pads ternak besar non unggas pads
periode prapanen
Penyakityangditimbulkan oleh bakterigenus
Salmonella,secara umun dinamakan salmonelosis,
pertama kali ditemukan olehSalmondanSmithtahun
1885dari babiyangmenderita sakit dengan gejala
sepertihog cholera.Bakteri tersebut dinamakan
Salmonellacholeraesuis.Sejak ditemukan penyakit
salmonelosis, selanjutnya penyakit tersebut dianggap
penting,karenamenimbulkan masalah terhadap
kesehatan hewan dan manusia, tersebar luas di seluruh
dunia. Agen penyebab penyakit salmonelosis ini
mudahditransmisikan/ditularkandarihewanke
manusia dan sebaliknya baik langsung ataupun tidak
langsung melalui produk pangan asal ternak(GRAU,
1989;SUDARMONO et al.,2001).
Kebanyakan serotipeSalmonellaspp.bersifat
zoonosis, akan tetapi infeksi bakteriSalmonellapada
hewan sifatnya subklinis. Oleh karena itu, hewan
merupakanreservoirsebagai sumber infeksi.Habitat
utamaSalmonellaspp.ialah saluran pencernaan dari
hewan vertebrata berdarah panas dan juga manusia.
DistribusiSalmonellaspp.pada hewanyangditeliti
dalam kurun waktu20tahun disarikan dalam Tabel7
dan Tabel8.Hewanyangterinfeksi dapat menyebarkan
bakteri tersebut melaluifeses. Darifeses dapat
menyebar ke lingkungan hewan seperti tanah danair.
Disamping itu, produk pangan asal ternak (daging, susu
dan telur) dapat tercemari oleh bakteriSalmonellaspp.
dan menyebabkanfoodbornedisease(POERNOMO,
2004).
Walaupun semua serotipeSalmonelladianggap
sebagai bakteri penyebab penyakityangpotensial,
beberapa serotipe menunjukkan perbedaan adaptasinya
pada hospesnya dan sifat patologikyangditimbulkan
(GRAU,1989).Hewan dapat terinfeksiSalmonellaspp.,
tetapiyang palingrentan adalah hewanyangmasih
muda umur4-6minggu. Manifestasi gejala klinis
infeksiSalmonellaspp.dapat berupa gejala klinis diare
atau septisemik. Bila hewan sapibuntingterinfeksiS.
typhimuriumatauS.dublinatauS.newportdapat
terjadiaborsi, sedangkanS.typhimuriumdapat
menyebabkan aborsi pada kambing dan domba. Faktor
virulensiyangpenting dari bakterigenusSalmonella
diketahui bahwa setelah menempel pada permukaan sel
hospes kemudian mensekresikan eksotoksinyangtidak
tahanpanas(heatlabiletoxin).Toksinyang

Tabel 7.Distribusi
Salmonella
spp.yangdiisolasi dari hewan ternak, produk dan limbahnya diIndonesiapada periode
1985-1990
Sumber
:POERNOMO(2004)
Tabel
8
.
Distribusi
Salmonellaspp .diisolasi dari hewan temak, produk dan limbahnya di
Indonesiapada periode1990-2003
WARTAZOA Vol.15 No. 4 Th. 2005
195
Salmonella spp.
Unggas
(ayam, itik,
burung)
Rutninansia (sapi,
kcrbau, kambing
domba)
Limbah (RPH,
Babi
alat,
air)
Pangan asal
hewan
Pakan temak Jumlah
S.typhimurium 56 28 4

- 1 89
S.typhimurium
var. copenhagen
2 2
S.paratyphiB 5 2 1 8
S.paratyphiJava 3 3
S.lexington 16 6

9 1 32
S.blockley
9
16 3 1 8 37
S.galiema 3 1 4
S.thompson 2 2 4
S
.hadar 8 1 1 10
S.agona
1
2 46 4 53
S.amsterdam 17 6 23
S.virchow 1 2 7 10
S.nexport 2 3 3 8
S.weltervreden 5 24

2 28
S.senflenberg 1 1 4 1 7
Sbiafra 8 14 22
S.heidelberg 5 1 6
S
. panama
1 2 3
Jumlah 83 95 124

12 5 30 349
Salmonella spp.
Unggas
(ayam,
Itik,
burung)
Ruminansia
(sapi, kerbau,
kambing
domba)
Babi, kucing,
anjing, dan
lainnya
Limbah
(RPH, alat,
air,litter,
fluff)
Pangan asal ternak
(karkas, daging,
susu, telur dan
produknya)
Pakan
ternak
ManusiaJumlah
S.typhimurium 16
4 2 5 351
2 65
S.enteritidis 197 8 59 22 5 3 294
S
.worthington 7 5 12
S.anatum 7 7
S.livingston 1 1
S.hadar 29 1 15 4 3 52
S.lexington 4 1 10 11
17
S.ouakam 23 2 3 1 29
S.schwarzengrund 19 2 1 11 4 1 38
S.javiana 1 1
S.tennesse 2 2
S.worthington 1 1
S. agona i 1 1 3 6

LanjutanTabel8.
Sumber
:
POERNOMO
(2004)
SU'AR dan TATI ARLYANTLKeamanan Pangan Produk F'eternakan Ditinjau dari Aspek Penvakit
disekresikan mempengaruhitargetsel pada hospes
(biasanya sel
epithelium
saluran pencernaan). Sel
mukosa ususyang
terpengaruh toksin tersebut akan
mengalami perubahan fungsi, sekresi ion-ion dan
cairan ke dalamlumenusus akibatnya timbul gejala
diare
.
InfeksiserotipeSalmonellayangbersifat
septisemik mungkin tidak menyebabkan diare, tetapi
menyebabkan kerusakan sel pertahanan. Pada keadaan
yangdemikian, kemungkinan besar bakteri dapat
bertahan dan berkembang biak di dalam sel makrofag
dalam hati dan limpa, masuk dalam sirkulasi darah atau
saluranlimfe(PARKER, 1984 ;
GRAU, 1989),
selanjutnya hewan atau manusia tersebut bertindak
sebagai karier.
InfeksiS.pullorum,S.gaiinarumdanS .
enteritidis
pada unggas prapanen
Salmonellaserovarpullorumdangallinarumtelah
diketahui sejaklamamenyebabkan salmonelosis pada
ayam, bersifat sistemik, dilaporkan terjadi di berbagai
belahan dunia(SHIVAPRASAD, 1997)termasuk di
Indonesia(POERNOMO1978;POERNOMO, 2004).Ayam
yangterinfeksi serovar tersebut menimbulkan respon
antibodi dalam darah. Hal ini akan sangat mudah
dideteksi denganujiaglutinasi(POERNOMO dan
HARDJOUTOMO, 1981).Penyakit salmonelosis pada
ayam dapat ditularkan secara vertikal melalui telur dan
196
secarahorizontalmelalui kontak langsung atau tidak
langsung(GASTdanBREAD,1990a; b).
Serotipe penyebab paratipus sepertiS.enteritidisdikenal sebagai patogen
yangpentingbalkpada unggas
maupun manusia. Fenomena keracunan makanan pada
manusia berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah
ayam dan telur ayamyangterkontaminasi oleh serotipe
S.enteritidis(THORNSet al.,1996).Deteksi terhadapinfeksi
S.enteritidispada ayam petelur menjadi sangat
penting untuk mengurangi resiko kontaminasi vertikal
S.enteritidispada ayam dan kasus keracunan makanan
pada manusia(GASTet al.,1997;THORNSet al., 1996).
Infeksi
S.
enteritidis
pada ayam umur lebih dari
2
minggu tidak menyebabkan kematian tetapi dapat
menyebabkanstatuskarier kronis. Ayam terinfeksiS.
enteritidisterlihat sehat tetapi sewaktu-waktu dapat
mensekresikanbakteritersebut dalamfesesnya.
KondisiinimenyebabkandiagnosisinfeksiS.
enteritidispada ayam secara tidak langsung melalui
feses sulit dilakukan(NICHOLASdanCULLEN,1991).
S.enteritidisbiasanya menstimulir terbentuknya
responantibodisangatlemah
(WILLIAMS dan
WHITTEMORE, 1975).Oleh karena itu, uji aglutinasi
secara konvensional kurang efektif untuk salmonelosis
paratipus. Hal ini mungkin disebabkan pada ayatnyang
sudah dewasayangterinfeksi secaraoral,bakteri
Salmonellatidak
dapatmengkolonisasipada
permukaan usus, sedangkan pada ayam muda atau anak
Salmonella spp.
Unggas
(ayatn,
Itik,
burung)
Ruminansia
(sapi,
kerbau,
kambing
domba)
Babi,
kucing,
anjing, dan
Iainnya Limbah
(RPH,
alat,
air,
litter,
fluff)
Pangan asal ternak
(karkas, daging,
susu, telur dan
produknya)
Pakan
ternak
ManusiaJumlah
S.weltervreden I 1 1 1 4
S.bovismorbificans 1 1
S.
dublin
3 3
S.newport 3 3 7 13
S,,.stellenbosch 16 16
S.montevideo 2 2
S.virchow 1 1 4
S.tallahassee 2 2
S.senftenberg 2 2
S. Virginia 1 1
S.blockley 2 1921
S.arizona 1 1
Be 19 19
S.uno 1 1
Jumlah 306 7 17 107 129 13 46 625

ayamlebihsensitif. Namun
demikian
padaayam
percobaan, infeksi secara sistemik dengan
S.enteritidis
dapat menimbulkan respon antibodiyangcukup tinggi
(GAST dan
BEARD, 1990a)
.
Dari kajian retrospektif tentang salmonelosis pada
hewan dan produknya dalam kurun waktu5tahun
(1985-1990)
menunjukkan bahwa bermacam-macam
serotipeSalmonelladapat diisolasi dari berbagai jenis
unggas, ruminansia besar dan kecil, babi, limbah
peternakan pangan asal ternak dan pakan ternak (Tabel
7).Dalam periode tersebut diketahui bahwa dari
sebanyak349isolat belum terdeteksi adanyaS.
enteritidis.Dalam kurun waktu1991-2003diketahui
jumlah isolat menjadi625isolat dan serotipenya
bertarnbahbanyak (Tabel8),sebanyak294adalahS.
enteritidis,197isolat diantaranya diisolasi. dari unggas.
Salmonelosis
dapatmeninbulkanmasalah
terhadap kesehatan unggas dan dapat mengakibatkan
kerugian ekonomi. bagi industri perunggasan . Di
samping itu, ayamyangmenderita salmonelosis dapat
menyebabkan penularan secara vertikal rnelalui telur,
mencernarilingkungan di sekitarnya maupun pada
produk temak yaitu telur dan daging ayam (BIBERSTEIN
danZEE,
1990
;POERNOMO,2000).Kontaminasi
Sahnonella enteritidispada produk ternak, seperti telur
disinyalir sebagai sumber utama salmonelosis pada
manusia (COYLEet al.,1988).Di Amerika, Inggris dan
negara-negara Eropa dilaporkan terdapat3macam
serotipeS.enteritidisyangberkaitan denganegg-borne
outbreak disease.Wabah salmonelosis pada manusia
tersebut disebabkan olehS.enteritidis phagetipe4, 8
dan23.Dari ke-3 jenisphage tipe tersebut,
yang
bersifat sangat patogen pada ayam (terutama ayam
petelur) adalahS.
enteritidis phage
tipe4(ALISANTOSA
et al.,2000).
Wilayah penyebaran bakteriSalmonellaspp.di
Indonesiaberdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian
Veteriner meliputi DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Pulau Bulan dan Sumatera Utara (POERNOMO,
2004).Dari53isolatS.enteritidistelah dilakukan
phagetyping,diketahui bahwa2isolat termasukphage
tipe2,sebanyak46isolat adalahphagetipe4,dan5
isolatantyping(tidak diketahui).S.enteritidisyang
ditemukan diIndonesiakemungkinan besar berasal dari
negaraEropakarenaisolat tersebut ditemukan
bersatnaan dengan masuknya bibit ayam petelur
maupun bibit ayam pedaging dari luar negeri dan
phagetipeyangditemukan sama yaituphagetipe4. S.
enteritidis phagetipe4awalnya ditemukan dari ayam
umur satu hari atauday old chick(DOC)yangternyata
berasal dari peternakan pembibitanparent stock
maupungrandparent.Ayam DOC dapat terinfeksi dari
induknya melalui transovarial (POERNOMO.
2000).Hal
ini sesuai dengan pendapat LILLEHOIet al.(2000)serta
GAST dan HOLT(1999) yangmenyatakan bahwaS.
enteritidisdapat ditularkan secara vertikal melalui WARTAZOA Vol
.15 No. 4Th.2005
telur (transovarium) dan secarahorizontalmelalui
pakan,airminum maupun alat-alat kandang dan secara
kontak langsung.
Ayam semua umur dapat terserangS.enteritidis
namunyang palingrentan adalah DOC. InfeksiS.
enteritidispada ayam umur lebih dari dua minggu
biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak
mematikan, tetapi ayamyangsembuh dari infeksi dapat
tnenjadi karier inenahunyang sewaktu-waktu dapat
mengekskresikan bakteriS .enteritidispada fesesnya (ALISANTOSA
et al.,2000;POERNOMOet al.,1997).
Patogenisitas infeksiS.enteritidispada ayam diawali
denganingestiatau tertelannyabakteritersebut
bersama pakan atauairminumyangterkontaminasi.
Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan dapat
mengkolonisasi usus pada bagiandistal,sepertiileum
dan sekum..Bakteri menembus dinding usus masuk ke
dalam sirkulasi. darah dan menyebar ke organ internal,
menyebabkanbakterimiasehinggamenimbulkan
peradanganpadaorganlainsepertiperikarditis,
hepatitis, pleinitis, peritonitis,omphalitis danenteritis
(ALISANTOSAet al.,2000;SHIVAPRASADet al.,1990).
Pemberian imunisasi pada ayam petelur dengan2
kali dosis vaksin bakteri dapat menurunkan ekskresiS.
enteritidisyangdipakai uji tantang dari jaringan
intestinalsebesar97-99%.InvasiS.enteritidispada
organdapat berkurang sampai50%.Pada ayam-ayam
yangdiberi uji tantang dengan bakteri galur homolog,
menunjukkan adanya proteksi terhadap kolonisasi
bakteri padaorganayam sebesar80-100%(DAVISON
et al.,1999).
Brucellosis pada ternak pangan prapanen
Brucellosis merupakan penyakityangdisebabkan
oleh bakterigenusBrucella,inenyerangbaik pada
ternak maupun manusia. Penyebab utama brucellosis
pada sapi ialahBrucella abortus,pada babiB.suis,
pada kambingB.melitensis,pada dombaB.ovis.
Keempat spesies tersebut dapat menginfeksi manusia.
Brucellosis pada ternak sapi diIndonesiamenyebar
Waske-26 propinsi.. Kejadian brucellosis pada sapi
perah pernah dilaporkan15tahunyanglalu berkisar
antara0,17-11,8%,dengan rata-rata1,7%.Sedangkan
kejadian brucellosis pada sapi potong dalam kurun
waktu1985-1990di daerah sumber bibit di Sulawesi
Selatan sekitar14,3% (188/1317),di Nusa Tenggara
Timur6,6% (52/785),di Lampung55% (55/100),di
Bengkulu61,3% (38/62),di Sumatera Selatan50,9%
(54/106),di Sumatera Utara32,4% (11/34)(SETIAWAN
et al.,1996).
Penularanbrucellosissecara singkat sebagai
berikut: sapi dapat terinfeksi bakteriBrucella sp.
melalui bahan-bahan penyakityangdikeluarkan pada
saat terjadi abortus(fetus,plasenta, cairanuterus).
197

SUPARdanTATIARIYANTI
:Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek Penvakit
Bakteri dapat masuk melalui selaput konjuntiva, kulit
yangterluka atau melalui rutelain yangtercemar.
Manusia dapat terinfeksi bakteri tersebut karena kontak
langsung dengan bahan aborsi, karkasyangtercemar,
minum susu sapi atau susu kambingyang
tnenderita
brucellosis
atau
makanprodukternakyang
terkontaminasiB.abortus.Bakteri setelah melewati
selaput mukosa, masuk pembuluh darah atau saluran
limfe, menyebar ke seluruh tubuh, sebagian sel sampai
pada kelenjar limfe dan memperbanyak diri.B.abortus
dalam tubuh dapat bertahan hidup di dalam sel
pertahanan tubuh (makrofag atau sel limposit lainnya).
Oleh karena itu, sapiyangterinfeksi bakteri tersebut,
sepanjang hidupnya akan menjadi karier dan berpotensi
menyebarkan agen penyebab penyakit ke hewanlain
atau mencemari lingkungan dan menginfeksi manusia
di sekitarnya. Pada sapi dan kambing perah, bakteri
dapat disekresikan melalui sel-sel limfositairsusu.
Hewanbunting yangterinfeksiBrucella spp.,bakteri
cenderung bermigrasi ke plasenta danuterus,karena
padastadiumkebuntinganterjadi kenaikan
terbentuknya gula eritritolyangdihasilkanorgan
tersebut dan merangsang bakteriBrucella sp.(WILSON,
1984;SETIAWANet al.,1996).
Manusia dapat tertular brucellosis karena kontak
dengan hewanyangterinfeksi atau mengkonsumsi
produk ternakyangterinfeksi atau produkyang
tercemar, seperti pekerja rumah potong hewan (RPH)
di DenpasarBali,pekerja pada peternakan babi dan
pekerja di RPH babi di DKIJakarta (PRIADI
et al.,
1992)
.
Clostridiosis pada ternak pangan prapanen
BakterigenusClostridiumtergolonggrampositif,
bersifat anaerobik, membentuk endospora, spora lebih
lebar dari sel vegetatifnya. BakteriClostridiumspp.
dapat melakukan pembusukanproteindengan cepat
danmemferinentasi karbohidrat
. Bakteridapat
ditemukan di alam, pada awalnyahabitatnormalnya
berada di dalam tanah, beberapa spesies merupakan
penghuninormalpada saluran pencernaan hewan dan
manusia
. Spesies yang
penting ialahCl.perfringens
terdapat di dalam saluran pencernaan atau feses
manusia dan hewan.Cl.difjticileditemukan pada feses
bayiyangdiberi makan roti. Dalam hewan ternak,
40%nya dapat ditemukanCl.tetani,demikian halnya
spesiesyanglain,sepertiCl
.sporogenes,Cl.
histolyticumdan
Cl.bolulinum.Berbagai jenis toksin
yangdiproduksiClostridiumspp.dapat dilihat pada
Tabel2.
Habitat primerdari bakteriClostridiumspp.ialah
tanah, namun demikian spora-spora bakteri tersebut
dalam tanah termakan oleh hewan bersama rumput atau
sayur-sayuran.Selanjutnyasetelah
germinasi
beradaptasi dengan hospes dan tempatnya dalam
198
saluran pencernaan hewan dan manusia (WILLIS,
1984).Spora-spora tersebut juga dapat ditemukan
dalam partikel udara, partikel debu, dalam susu,air
limbah, selanjutnyacenderunghidup bersifat saprofitis,
beberapa spesies dapat menyebabkan penyakit pada
hewan dan manusia.
Duaspesiesyang palingdikenalialahCl.
perfringensdapatmenyebabkaninfeksihospes
menyebabkan penyakitgasgangrenedan
enterotoksemia(WILLIS,1984 ;
NATALIA,1995)danCL
Botulinumdapat memproduksi neurotoksin(SUGIYAMA,
1980)(Tabel2).Cl.botulinumdanCl.tetani
mempunyaisifat memproduksineurotoksinyang
sangat potensial dan sangat toksik terhadap semua jenis
hewandanmanusia.Wabahpenyakitternak
menyerang kerbau akibat enterotoksemia dilaporkan
terjadi di Jawa Barat(WORRAL et al.,1987)dan
menyerang sejumlah sapi di Kalimantan Selatan dan di
Kabupaten Bogor(NATALIAet al.,1989).Dari adanya
kasus clostridiosis tersebut, kemudian dikembangkan
metodedeteksi infeksiClostridiumspp.secara
imunosorben.Selanjutnya,dikembangkanenzyme
linkedimmunosorbentassayuntuk deteksi mengetahui
antiboditerhadap toksinclostridialdanuntuk
mengevaluasi respon antibodi pada hewan yang
divaksinasi dan atau untuk tujuan diagnostik(NATALIA,
1992;1996).
Neurotoksinyangdiproduksi olehC.bolulinum
dapat mempengaruhi pasasestimuluspada ujung-ujung
sarafyangmenyebabkankelemahanbilateral
neuromuskular atau paralisis dimana terjadiimparment
dari fungsi sarafcranial(diplopia, dysarthria
dan
dvsphagia).Biasanya, bila terjadi pengaruh pada saraf
respirasi menyebabkan kegagalan fungsi danbcrsifat
fatal,penderita hewan atau manusia cepat mati. Bila
pengaruhnya pada syarafgastrointestinaldapat terjadi
diare sebelum gejala saraf neuromuskular paralisis.
Pada saat ini, para ahli tertarik pada aspek keamanan
pangan penyakitbotulism yangdititikberatkan pada
food poisoningyangterjadi setelah menelan toksin.
Walaupun kejadian sangat rendah dibandingkan dengan
kasus keracunan dari jenis bakteriyang lain, botulism
sangat penting karena tingkat toksisitasnya sangat
tinggi. Toksinyangmenyebabkan penyakitbotulism
dapat dibedakan menjadi3 jenispenyakit(SUGIYAMA,
1980),yaitufoodpoisoning,wound botulismdaninfant
botulism.
Kolibasilosis pada ternak periode prapanen
Escherichia coli(E.coli)pertama kali ditemukan
oleh Theobold Escherich tahun1885,dari feses bayi
neonatalbersifat komensal atauflora normalsaluran
pencernaan.Namun demikian,,beberapatahun
kemudian dilaporkan berubah sifat menjadi patogenik
pada tahun1907.Tahun1935dilaporkan pertama kali

menyebabkanwabahdiarepadaanak-anakoleh
DULANEY danMICHELSON (1935)disitiroleh
BETTELHEIM (1989).Jurnlahbakteritersebutdalam
saluran pencernaan hewan atau manusia sebesar1%
daritotalbiomas bakteri. PopulasiE.colitersebut tidak
konstan. Secara umum.E.coliakan berada di dalam
saluran pencernaanhewan ataumanusiasejak
dilahirkan sampai sepanjang hidupnya, akan tetapi
jumlah dan serotipenya dalam tiap individu tidak sama.
Kolibasilosismerupakan penyakityang
ditimbulkan olehEsherichia coli,dapat bersifat enterik
ataunonenterik.Kolibasillosis dapat dibedakan
menjadi4kategori, yaitu enterotoksik, enterotoksemik,
septisemik dan enteroinvasif dan tnampu memproduksi
shiga-liketoxinatau verotoksin(MOON, 1974;TZIPORI,
1985).Penyakit ini sering mewabah, menyerang ternak
yangbaru dilahirkan, pascasapih hingga dewasa
(SUPARela1.,1988;.1990;HOLAND, 1990);
menimbulkan kerugian ekonomi pada peternakan babi,
dan sapi perah(TZIPORI,1985).Namun demikian
serotipeE.colitertentu. mempunyai hospes spesifik,
ataudengan katalainserotipetertentuyang
menyebabkan diare pada anak sapi atau anak babi
berbeda denganyangmenyebabkan diarepada
manusia. Sifat patogenitasE.colipenyebab diare atau
enterotoksigenikE.coli(ETEC) ditentukan oleh2
macam faktorvirulensiyaitukernampuan
memproduksienterotoksin danantigenkolonisasi
Tabel9.Distribusi faktor virulensi(fimbriaeatau pili dan enterotoksin) danantigensomatik0dariE.colipenyebab diare
CFA:colonizationfaktor antigen
H

Hemolitik
NH:non hemolitik
LT

Heat labile toxin
ST

heat stable toxin
WARTAZOA Vol.15 No. 4Th.2005
Sumber:SUPAR(1986);SUPARet al.(1988; 1990);BLANCOet al.(1991)
~P~RPU3? ~
14

IV
sehingga dapat menempel pada permukaan usus halus
(SUPAR,1986;SUPARet al.,1988).
E.coliyangbersifat patogenik terhadap hewan
dan manusia mempunyai faktor virulensiantigen
perlekatanataufinibriae,antigenektraselular
enterotoksin, verotoksin dan hemolisin. Hubungan
antara masing-masing faktor tersebut terhadap hospes
yangrentan bersifat spesifik. Namun demikian, gejala
klinis akibat infeksi serotipeE.colitersebut hampir
serupa yaitu diare profus atau diare dengan feses
bercampur darah. Distribusiantigenvirulensifimbriae
dariE.coli,antigenenterotoksin, kaitannya dengan
antigensomatik0dan hubungannya sifat virulensi
bakteri tersebut pada hewan ternak babi, sapi atau
manusia dapat dilihat pada Tabel9,semua serotipe
tersebut sering dinamakan enterotoksigenikE.coli
(SUPARet al.,1990).
Masalah penyakityangditimbulkan pada hewan
temakneonatalumumnya ditandai dengan gejala diare
profus, kadang-kadang feses berlendir dan bercampur
darah dan dehidrasi, dan penderita (hewan cepat mati).
Kematian hewan ternakneonatalakibat infeksi ETEC
pada anak babi dapat mencapai20-30%pada periode
neonatal,sedangkan pada anak sapineonataldapat
mencapai20%(SUPARet al.,1990).Manusia semua
umur rentan terhadap infeksi ETECyangserotipenya
berbeda denganyangmenginfeksi hewan. Gejala klinis
penyakityangditimbulkan diare profus serupa dengan
199
Faktor virulensi
hospes yang rentan
Fimbriae (pili) Toksin
Antigen somatik 0
Anak babineonatal K88 LT/ST
08, 108, 138, 149, 157
K99 ST
09, 20,64, 101
K99F41 ST 0101
F41 ST 09,101
K88K99 LTdanST
0108
987P ST
09,20,141
Anak sapineonatal K99 ST 09
F41 ST 0101
K99F41 ST 0101
Verotoksin Non
0157
Manusia CFA I ST
014, 15, 20, 25, 63, 63.78.90, 110, 125, 128, 153
CFA II ST 06, 8.80, 85, 115, 128, 139,154,168
CFA III LT
025
CFA IV ST 06,2-';,27, 92, 115, 148, 159,167,169

SUPARdanTAn ARCYANTI :Keamanan Pangan Produk Peternakan DitinjaudariAspek Penn'akit
kolera atau infeksi bakteriVibrio cholerae.Manusia
yangmenderita sakit dengan gejala diare umumnya
ditangani di rumah sakit dengan inemberikan cairan
elektrolit secara infus atau intravena. VerotoksigenikE.
coli(VTEC) dapat menyebabkan oedema diseasepada
anak babi sapihan sampai stadiumgrower,
menyebabkan diarepadasapiperahfesesnya
bercampur lendir dan darah atau disentri (KusMIYATI
danSUPAR,1998).VTEC dapat diisolasi dari anak sapi
perah, dari daging, susu dan produk-produknya
(SuwiTO,2005).
E.colidapat ditemukan dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan sejak umur beberapa hari sampai
sepanjang umurnya. Pada manusia, enteropatogenikE.
colimenyebabkan gastroenteritispada anak-anak,
enterotoksigenikE.coli (ETEC)menyebabkan diare
pada manusia dari periode anak-anak hingga dewasa,
enterohaemorrhagicE.coli(EHEC) memproduksi
verotoksin serupa dengan toksin dariShigella dysenteri
menyebabkanhaemolyticuremicsyndromedan diare,
enteroinvasiveE.colimenyebabkan diare seperti
disentri. Produk pangan asal ternak yang tercernarE.
coliyangbersifat patogenik berpotensi sebagai
foodbornediseasepada manusia. Serotipeyangsangat
ditakuti dan menimbulkan penyakit pada manusia ialah
E. coil015i117(BETTELHEIM,.1989).
InfeksiStaphylococcusaureus(Staphylococcosis)
pada ternak prapanen dan pascapanen
Dari aspek veterinerStaphylococcusaureustidak
banyak menimbulkan masalah pada kesehatan ternak,
kecuali pada peternakan sapi perah, karena sering
menyebabkan mastitis(SUDARWANTO, 1996).Namun
pada kebanyakan masalah mastitispada produksi susu,
Staph. aureusditernukanbersama-sama dengan bakteri
yang lainsepertiStreptococcusspp. dan E.coli.
Sedangkan, pada industri perunggasan terjadi terutama
pada anakyang barnmenetas.
Staphylococcusaureusmerupakan bakteri gram
positif, bentuk bulat ataucoccusdan bergerombol
seperti buah anggur dan sudah dikenal sejak tahun
1830,menyebabkan penyakit pada manusia setelah
mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri
tersebut, sering disebutfood poisoningatau keracunan
makanan. Permasalahan keracunan makanan masih
sering terjadi sejak mengkonsumsi makanan, seperti
pokbrown,daging sapi dan produknya, susu dan
produknya(DICKet al.,1989).
BakterialStaphylococci dapatmemproduksi
bermacam-macam enterotoksin (A, B, D, E, F)(Tabel
2).Enterotoksin dariStaph.aureusmerupakan molekul
proteindengan berat molekul 30.000Dalton, sangat
higroskopis dan mudah larut dalam airatauair yang
mengandung garam NaCI ; terdiri dari sebuah rantai
polipeptida mengandung asam aminolisin(yang paling
200
banyak), aspartat, glutamat dan tirosin.Staphylococcal
enterotoksin relatif stabil terhadap pemanasan dalam
proses pasteurisasi susu(TATINI,1976).Disamping itu,
staphylococcienterotoksin sangat resisten terhadap
aktivitas enzim proteolitik seperti tripsin, khiinotripsin,
renin dan papain. Sedangkan,pepsindapat merusak
toksin tersebut pada kondisipH2 (DICKet al.,1989).
InfeksiListeria(listeriosis)
Bakteri dari kelompokgenus Listeriatersebar luas
dialam,dalam lingkungan peternakan, industri
peternakan dan pertanian .Listeria monocvtogenes
merupakan salah satu spesies yangbersifat patogenik,
dapat diisolasi dari kasus-kasusseptikernia,abortus dan
ensefalitis pada manusia. Kasus abortus, ensefalitis
pada domba, sapi dan kasuscirclingpada domba serta
kasusmastitispada sapi pernah dilaporkan dalam dua
dekadeyangsilam.Narnundemikian, sejak tahun1985
L.monocvtogenestidak dikelompokkan dalam zoonosis
atausoilbornedisease,tetapi dikategorikan dalam
kelompokfoodbornepathogen(SUTHERLAND,1989).
Faktor virulensi yangberhubungan dengan
patogenisitasL.monocvtogenesbelum banyak
diketahui.Bakteritersebutdapatmemproduksi
ekstraselular toksin, seperti hemolisin dan lipolisin .
Hemolisin terdiri darialisteriolisin dan
R
listeriolisin
merusak sel phagositosis sel hospes (PARRISUSet al..
1986),sedangkan toksinlipolitikmerusak sel
monositosis dan menyebabkan depresi sel-sel limfosit
(MARTH,1988).
KeberadaanL.monocytogenesdalam produk
pangan diduga akibat pencemaran baik dari hewan,
manusia dan lingkungannya selama dalam proses
produksi. Dilaporkan, bahwa 45%sampel susu di
Australia menunjukkan positif adanya L.
rnonocytogenes.Dapat juga diisolasi dari susu yang
sudah dipasteurisasi, keju dan es krim(FLEMINGet al.,
1985).
Peranan virus terhadap foodborne disease
Peranan pangan asal ternak dalam transmisi
penyakitviral berbeda dengan penyakit bakterial.Virus
tidak dapat berkembang biak atau tumbuh di luar tubuh
hewan hidup (sudah mati) sebab perkembangbiakan
virustidak dapat terjadi di luar makhluk hidup (hospes)
atau di luar jaringan sel hidup (kultur jaringan).
Pada proses pascapanen ternak atau pernotongan
ternak biasanya jumlah partikel virusdalam pangan
asaltemaktersebut menurun terus sejalan dengan
penyimpanan dan pemrosesan untuk dikonsumsi .
Walaupun dosis infeksi viruslebih kecil dibandingkan
dengan dosis infeksi bakteri dalam menimbulkan
penyakit, dilaporkan bahwa dosis minimum untuk

patogenikbeberapaenterovirusmendekatidosis
minimalpadasetjaringanyangdipakai dalam
diagnosis penyakit virus. Virus yang banyak dilaporkan
menimbulkanmasalahpenyakitdarifamili
Picornaviridaeialah genus enterovirus. Virus yang
digolongkan ke dalam poliovirus terdiri atas 3 serotipe
yaitu ECHOvirus 32 serotipe (Coxakievirus A ada 23
dan B 6 tipe) reovirus 3 serotipe (rotavirus,human
gastrointestinalvirus,humanBK dan JC virus) dan
human adenovirus 33serotipe, kemungkinan juga virus
hepatitis. Dilaporkan juga, sumber penularan dari
penyakit enterovirus ialah/bod handler.Masalah ini
dapat terjadi karena virus mudah inaktif di luar hospes
dan tidak stabil terhadap pemanasan pada suhu
pasteurisasi (EYLES, 1989; JAY, 1996).
UPAYA PENINGKATAN KEAMANAN PANGAN
ASAL TERNAK PRAPANEN
Dari basil-hasil penelitian veterineryangtelah
dikemukakandiatasmenunjukkanbahwaagen
penyebabpenyakit ternakdiIndonesiabanyak
ragamnya, dapat berupa agen penyebab infeksius
(bakteri,virusdan parasit) danyangtidak menular
(keracunan bahan kimia dan kimia toksik). Adanya
berbagai penyakit pada ternak pada periode prapanen
akan menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan
produk pangan asal ternak.. Kekhawatiran dari banyak
negara di dunia terhadapfoodbornediseaseterutama
produk hewani, akhir-akhir ini dimanfaatkan oleh
negaramajuuntuksenjatadalammembatasi
perdagangan pangan, salah satu diantaranya ialah
tentang isu keamanan pangan ataufood safety.Masalah
penyakit tersebut sangat mengganggu produksi dan
produktivitas. M.asing-masing jenis mikroba patogen
yangtelah diuraikan di atasinemilikisifat patogenitas
yangberbeda-beda, sehingga menyebabkan masalah
yangberlainan pada tahap prapanen. Oleh karena itu,
aplikasiteknologidiagnosis,pengobatandan
pengendalian penyakit juga sangat beragam.
Ketersediaan dan kebutuhan teknologi veteriner
pengamanan pangan asal ternak prapanen
Penyakit merupakan faktor penghambat utama
kinerja produksi ternak penghasil pangan. Dalam
hubungan ini, penyakit menular pada ternak pada
periode prapanen perlu diberi perhatian lebih dan
penanganannyaharmtepat dan cepat. Dari sejumlah
penyakityangberhubungan dengan keamanan pangan
sepertiyangtelah diuraikan di atas menunjukkan
bahwa penyakit bakterial mendominasi permasalahan
terhadap keamanan pangan produk peternakan,yang
membahayakan konsumen sepertifoodbornedisease
danfood poisoning.Dengan demikian sebelum dipanen
WARTAZOA Vol.15 No. 4Th.2005
ternak harus diketahuistatuskesehatannya. Dengan
katalain,ternak harus bebas terhadap mikroba
penyebab penyakit,palingtidak sehat secara klinis.
Namun demikian, tidak semua jenis mikroba patogen
yangmenginfeksi ternak tanpa disertai dengan gejala
klinis. Contohyang palingekstrim ialah beberapa jenis
bakteri, sepertiBrucellaspp.,Salmonellaspp.
Mycobacteriumspp.dan lain-lainnya. Ketiga contoh
bakteri tersebut bersifat intraselular terutama dalam
sistem jaringan pertahanan tubuh (jaringan limfatik).
Oleh karena itu, bakteri tersebut berpotensi mencemari
pangan asal ternak. Selain itu, banyak spesies bakteri
penyebabfoodbornediseasedanfood poisoning,
sepertiBacillusspp.,Clostridiumspp.,Staphylococcus
spp.,Campylobacter spp.,berbagai serotipeE.coli
dan berbagai cemaran. dan residu obat dan bahan kimia
toksik lainnya.
Berbagai jenis reagen perangkatdiagnosistelah
dikembangkan di Balai Penelitian Veteriner untuk
mendukung pengendalian penyakit dan ataudiagnosis
penyakit ternak pangan, danidentifikasimikroba dalam
bahan pangan penyebabfoodbornediseasedanfood
poisoning.Beberapa diantaranyaialahantigen
berwarnaBrucella abortusuntuk uji aglutinasi cepat
brucellosis dan jugaantigenuntukujisecara
complementfrxamitest (CFT),antigenS.pullorum
untuk deteksi penyakit pullorum pada ayam. Berbagai
serumspesifik untukserotvpingSalmonellauntuk
penentuan serotipe. Berbagai jenisantigenuntuk
ELISA antibodi untukdiagnosisinfeksi penyakit
antraks atau penyakitvirus,sertakitELISA untuk
deteksi. aflatoksin dalam bahan pakan. Produk biologi
berupa vaksin juga ditemukan di Balitvet seperti vaksin
IB inaktif, vaksinNDisolat lokal, vaksin kombinasi
NDdan IBD, vaksinNDaktif-RIVS2, vaksin kolera
unggas, vaksinsnotmenular, vaksinclosvakmulti dan
blacklegbivalen (clostridiosis), vaksinaerovakSE34,
vaksinE.colipolivalen dan ETEC multivalen.
Disamping produk tersebut, Balitvet mempunyaiunit
pelayanan diagnostik penyakit hewan dan laboratorium
yangtelah diakred.itasi dan mendapat pengakuanISO
17025.
Pengendalian penyakit ternak pada tahap prapanen
Pengobatan dan pengendalian penyakit infeksius
yangdisebabkan oleh bakteri secara medikasi dengan
obat-obatanantibiotikasecara kontinyudan
berkepanjangan saat ini bukan lagi menjadi pilihan
terbaik. Selain dapat menyebabkan multipel resistensi
(SUPARet al.,1990
;POERNOMOet al.,1992),
juga
menyebabkan bahaya sampinganyangcukup potensial
berkaitan dengan cemaran, residu antibiotika dan kimiatoksik pada ternak dan produk-produknya (WIDASTUTI
danMURDIATI,1995)
.Olehkarenaitu, untuk
mengatasi masalah tersebut pengendalianpenyakit
201

202
SUPARdanTATI ARIYANTI:
Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek Penvakitdengan vaksin
yangmempunyai daya lindungoptimal
merupakan carayanglebih Iayak, aman dan efisien
(SUPARet al.,1990
;
SUPAR,
1993
; 1994).Aplikasi
vaksin pada produksi ternak adalah dapat dihasilkan
pangan asal ternakyang
bersih dari cemaran dan residu
obat serta cemaran mikroba.
Pada hakekatnya, semua penyakit
yanginfeksius
dapat dikendalikan atau dicegah dengan vaksinyang
sesuai, seperti penyakit pes babiyangmengganas tahun
1990-an menyerang ternakbabi(SUPAR,1997),
penyakitavian influenzayangmengganas sejak tahun
2003hinggasekarang,penyakitkolibasilosis,
salmonelosis dan penyakit lainnya(SUPAR, 2001).
Pengendalian penyakit pada tahap prapanen pada
ternak mempunyai efek ganda yaitu mengamankan
ternak terhadap serangan agen penyebab penyakit,
memproduksi pangan hewaniyangbebas penyakit dan
bebas cemaran sehingga lebih aman dikonsumsi.
Dasar pertimbangan dalam menentukan keamanan
pangan hewani berdasarkan kriteria mikroorganisme,
terutamayangberhubungan dengan kuantitas mikroba
patogenik,nonpatogenik, toksigenik atau jumlah
mikroba atau toksinpersatuan berat,volume, luas
permukaan. Banyak masalahyangberhubungan dengan
keamanan pangan dilihat dari tahap prapanen telah
diulas secara singkat. Dasar-dasar penilaian keamanan
pangan hewani dapat diukur pada saat prapanen
didasarkan padaCodexAlimentarius Commisiontahun
1981yangdirekomendasikanolehFAO/WHO
(CHRISTIAN,1983).Dalam usaha penyediaan pangan
asal ternakyangamanharesdimulai dari sutnbernya
atau produksi ternak, proses pemanenan (seleksi hewan
yangakan dipanen, kemudian dilanjutkan pada tingkat
proses pascapanen, proses pengolahan dan pemasaran.
Oleh karena itu, produksi pangan asal ternak juga harus
mengikuti proseduryangbaik untuk mendapatkan
kepastian jaminan mutu produk panganyangaman,
bebas penyakit, sedapat mungkin diterapkan sistem
keijahazard analysis critical control point(HACCP)
sebagai contoh dapat dikemukakan disini, antara
lain:
tingginya kasus dugaan salmonelosis pada kesehatan
masyarakatadahubungannyadengankasus
terdeteksinya bakteriSalmonellaspp. dalam ternak
unggas dan produk-produknya(POERNOMO, 2004)
sertaSalmonellaspp. sering diisolasi dari telur dan
produknya; tingginya kasus tuberkulosis (TBC) pada
kesehatan ternak belum mengimplementasikan sistem
HACCP. Kasus-kasusfoodbornediseasedanfood
poisoningakan sering terjadi dan berulang-ulang,
sepertiyangpernah kita ketahui dalammediamasa,
baikmediacetak ataupun elektronik. DiIndonesia,
perusahaan peternakan besar dan industri pangan dan
pengolahan pangan asal ternak telah mengimplemen-
tasikan sistem HACCP. Untuk peternak menengah ke
bawah masih belum melaksanakan sistem tersebut.
Namun demikian, analisismasalahkesehatan dan
keamananternaksangat sukardankomplek
diimplementasikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penyakit merupakan salah satu faktor atau kendala
penghambat kinerja produksi ternak pangan. Dalam hubungannya dengan keamanan pangan asal hewani,
penyakit infeksius menular terutama jenis bakteri
mengancam keamanan pangan asal ternak mulai dari tahap produksi hingga pascaproduksi atau pascapanen
.
Penyakit bakterialyang penulis
anggappenting
menyebabkan gangguan keamanan pangan dan dampak negatifnya mempengaruhi
kesehatan masyarakat
(foodbornedisease)ialahkelompokbakteri
EnterobacteriaceaeterutamaSalmonellaspp.,yang
merupakan bakteri penyebabfood poisoning.
Masalahyangditimbulkanmulaipcriode
prapanen adalah sejak usianeonatalhingga pasca
panen pada ternak mamalia dan sejak DOC pada hewau
unggas. Selanjutnya pada periode pascapanen terhadap
kesehatanmasyarakat ialah/bodpoisoningdan
foodbornedisease.Disamping itu, bakteri enteriknon
enterobacterialsebagai komensal pada ternak dapat
menyebabkanfood poisoning.
Praktek pengendalian penyakit bakterial pada
ternak yang
dilakukan oleh para produsen pangan asal
ternak pada saat ini masih menggunakan metode
medikasi dengan aplikasi sediaanobat-obatan
antibiotika, namun sering mengalami kegagalan dan
sering menimbulkan residu obat-obatan pada produk
ternak danmultipelresistensi bakteri.Alternatif
pengendalian penyakit bakterial dan penyakitviral
dengan vaksin multivalen merupakan carayanglebih
layak untuk memberikan daya lindungyang optimal
untuk menghasilkan ternak panganyangaman, namun
masih perlu dukungan penelitian.
Implementasi sistem HACCP dalam produksi
peternakan kiranya perlu dilaksanakan pada tahap skala
usaha ekonomi untuk menjamin ternak bebas penyakit
atau mikroba patogenik, bila terjadi penyimpangan
lebih mudah untuk ditelusuri.
DAFTAR PUSTAKA
ADAM,M.R. and M.O. Moss. 1995. Food Microbiology. The
RoyalSociety for Chemistry. Cambridge University
Press.
ALISANTOSA, B., H.L. SHIVAPRASAD,A.S.Dt11LLON,O.
SCIIABERGandD. BANDLI. 2000.Pathogenicity of
Salmonella enteritidisphage types 4, 8 and 23 in
specific pathogen free chicks. Avian Path. 29:
583-592.
s

BAHRI, S. dan T.B. MURDIATL 1997. Tuntutan keamanan dan
pengamanan pangan (daging sapi) pads era globalisasi
.
Pros. Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner
.
Bogor, 7-8 Januari 1997. Puslitbang Petemakan,
Bogor. him
. 96-109
.
BETLEY,M.L
.,
V
.L
. MILER and J.J. MEKALONAS. 1986.
Genetic of bacterial enterotoksin
. Ann
. Rev. Microbial.
40:577--605,
BL.1IELHELM, K.A. 1989. EnteropathogenicEscherichia coli.
In:Foodbome Microorganisms of Public Health
Significance. Fourth Edition. BUCKLE, K.A.,J.A.
DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCKING, K.G. NEWTON and
E.J. STUTTARD(Eds.).Australian Institute of Food
Science and Technology/AIFST (NSW Branch) . Food
Microbiology Group. pp. 115-135.
BIIAT, D.. N. MOAN and M.K
. LALITIIA
. 1990. Current
incidence of anthrax in India. Salisbury Med. J. Special
Supplement. 88(68): 8-11.
BIBIRSTEIN, E.L. and Y.C. ZEE. 1990. Review of Veterinary
Microbiology. Blackwell Scientific Publication, Inc,
Boston, Oxford, London, Edinburg, Melbourne.
BOZZANO, A., I.F.CIuCHINI,CPISTOIA, S. GIULIANO and R.
FISCIETTI
.1990
. Trends in animal and human anthrax
in Italy in the last thirty years. Salisbury Med.:Bull.
Special Supplement 88(68)
:
.7
CHRISTIAN,J.II.B. 1983. Microbiological criteria for food.
Summary of Recommendations of FAO/WHO expert
committees and working parties. 19/5. 1981. VP.l1/83.
54. WHO. Geneva.
COYLE,E.F.,
C
.D. RIBEIRO, A
.J
. HOWARD, S.R. PALMER, H.I.
JONE, L
. WARD and B
. ROWE . 1988
.Salmonella
enteritidisphage type 4 infection; association will hen's
eggs
. Lancet 2: 1295-1297.
DARODJAT, M
. dan P
. RONOUARDJO . 1989
. Diagnosis
mikroskopik aglutinasi test (MAT). untuk leptospirosis
pada serum manusia..Penyakit Hewan XXI(3): 25-37.
DAVISON, S., C.E. BENSON, D.J. HENZLER and R.J. ECKROADE.
1999. Field observations withSalmonella enteritidis
bacterins. Avian Dis. 43: 664-669.
DICK,M.I.B.,A.J.GRANT and G .J.LINFORT.1989.
Staphylococcal enterotoxin. In: Foodborne
Microorganisms of:Public Health Significance. Fourth
Edition. BUCKLE,K.A.,J.A. DAVEY, M.J. EYLEs, A.D.
HOCKING, K.G. NEWTON and E.J. STUTTARD(Eds.).
Australian Institute of Food Science and Technology/
AIFST (NSW Branch). Food Microbiology Group. pp.
269-286.
DJAENOEDIN,R. 1951.Miltvuurkiemeninaarde. Hemera Zoa
57: 69.
DOGANAY, M. 1990. Human anthrax in Sacas, Turkey
Salisbury Med. J. Special Supplement. 88(68): 13.
DUESSBERRY, B.A. and G.F. WOUDE. 1999. Anthrax toxin.
Cell. Mol. Life Sci. 55: 1599-1609.
WARTAZOA Vol.15 No. 4Th.2005
EYLES, M.J. 1989. Viruses.In:Foodborne Microorganisms of
Public Health Significance. Fourth Edition. BUCKLE,
K.A.,J. A. DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCKING, K.G .
NEWTON and E.J. STUTTARD(Eds.).Australian Institute
of FoodScienceandTechnology/AIFST (NSW
Branch). Food Microbiology Group. pp. 335-346.
FLEMING,D.W.,S.L. COCHI, K.L. MAC DONALD, J. BRONDUM,
P.S. HAYES, B.D. HOLMES, A. AUDURIER, C.V. BROME
and A.L. REINGOLD. 1985. Pasteurised as vechicle of
infection in an outbreak of listeriosis. New Engl.
J
. Med. 312: 336-338.
GAST, R.K. and C.W. BEARD. 1990a. Serological detection of
experimentalSalmonella enteritidisinfection in laying
hens. Avian Dis. 34: 721-728.
GAST, R.K. and C.W. BEARD. 1990b. IsolationofSalmonella
enteritidisfrom intestinal organs of experimentally
infected hens. Avian Dis. 34: 991-993.
GAST, R.K. and P.S. IIOLT. 1999. Experimental horizontal
transmission ofSalmonella enterilidis(phage type 4, 8,
and 13A) in chicks. Avian Dis. 43: 774-778.
GAST,R.K.,R.E. JR. PORTER and P.S. HOLT. 1997. Applyingg
testforspecificyolk antibodies to predict
contamination bySalmonella enteritidisin eggs from
experimentally infected laying hens. Avian Dis. 41:
195-202.
GILL, D.M. 1982. Bacterial toxins: A table of lethal amount.
Microbiol. Rev. 46: 86-94.
GRAD, F.H. 1989.Salmonella:physiology, pathogenicity and
control.In:Foodborne Microorganisms of Public
Health Significance. Fourth Edition. BUCKLE,K.A.,
J.A. DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCKING, K.G.NEWTON
and E.J. STIJTFARD(Eds.).Australian Institute of Food
Science and Technology/AIFST (NSW Branch) . Food
Microbiology Group. pp. 83-97.
HARDJOUTOMO, S. 1986. Pengendalian Penyakit Antraks. Seri
Pengembangan No.6.BadanPenelitiandan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. him.
1-3.
HARDJOUTOMO, S. 1990. Anthrax in Indonesia: A continuing
problem for a developing country. Salisbury Medical
Bull. Special Suplement 88(60): 14-15.
HARDJOUTOMO, S.,M.B.POERWADIKARTA danE.
MARTINDAH. 1996. Antraks pada hewan dan manusia.
Pros. Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner .
Cisarua, Bogor 7-8 Nopember 1995. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Petemakan, Bogor. him. 305-318.
HOLLAND, R.E. 1990. Some infectious causes of diarrhea in
farm animals. Clinic. Microbial. Rev. 3: 345-375.
JAY,J.M. 1996. Modern Foof Microbiology. International
Thomson Publishing.FifthEdition.NewYork:
Chapman and Hall. pp. 612-626.
KOHLER,T.M.,R.O. BLAUSTEIN, A. FLINKELSTEIN and R.J.
COLLIER. 1989. Interaction of protective antigen with
membranes. Proc. The International Workshop on
Anthrax. Winchester, England. 45 p.
203

SUPAR danTA IARIYANTI:Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek Pen yakit
KU$MIYATI dan SUPAR.1998.Escherichiacoliverotoksik
dari anak sapi perah penderita diare.Pros. Seminar
Hasil-HasilPenelitian Veteriner.Bogor,18-19
Februari1988.Balai Penelitian Veteriner, Bogor.him.
103-108.
LILLEHOJ,E.P.,YUN C.H. and H.S. LILLEHOJ. 2000. Vaccines
againsttheavianenteropathogensEimeria,
CrvptosporidiumandSalmonella.Animal Health Res.
Rev.1(1):47-65.
MANSJOER. 1961. Anthrax in man and animals in Indonesia.
Comm. Vet. Bogor 5: 61-79.
MARTH, E.H. 1988. Disease characterization ofListeria
monocytogenes.Food Techno. 42(4): 165-168.
MARTINDAH, E., S. WAHIUWARDANI dan A. NURHADI. 1995.
Studi Retrospektif Antraks di Daerah endemik (Jawa
Tengah). Laporan Teknis T.A. 1994/1995. Balai
Penelitian Veteriner, Bogor.
MOON, H.W.1974. Pathogenesis on enteric disease caused by
Escherichia coli.Adv. Vet. Sci. Comp. Med. 18:
179-211.
MURDIATI, T.B. dan S. BAHRI. 1995. Residu dan cemaran
dal<am bahan pangan asal ternak. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Veteriner. Bogor, 22-24 maret
1994. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. ham 74-81.
MURRELL, W.G. 1989.Bacillus cereus. In:Foodbome
Microorganism of Public Health Significance. Fourth
Edition.BUCKLE,K.A.,J. A.DAVEY, M.J. EYLES, A.D.
HOCKING, K.G. NEWTON and E.J. STUTTARD(Eds.).
AustralianInstituteofFood Scienceand
Technology/AIFST (NSW Branch). Food Microbiology
Group. pp. 233-251.
NATALIA, L. 1995. Enterotoksemia. Petunjuk teknis penyakit
hewan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. ham. 18-22.
NATALIA, L. 1996. Evaluasi respon antibodi sapi dan kerbau
terhadap vaksinClostridium perfringenstipe a dengan
menggunakan ELISA.JITV1(3):190-193.
NATALIA, L., M. SYAFARUDIN dan S. HARJOUTOMO. 1989.
Enterotoksemian pada sapi impor di Banjarmasin
KalimantanSelatan. PenyakitHewanXXI(38):
107-110.
NICHOLAS, R.A.J. and G.A.CULLEN.1991. Development and
application of an ELISA for detecting antibodies to
Salmonella enteritidis inchicken floks. Vet. Rec. 128:
74-76.
PARKER, M.T. 1984.Salmonella. In:Topley and Wilson's.
Principles of bacteriology, virology and immunology.
Volume 2. Seventh edition. PARKER, M.T.(Ed.).
pp. 332-355.
PARRISUS, J., S. BHAKDI, M. ROTH, J. TRALIM-JENSEN, W.
GOBEL and H.P.R. SEELINGER. 1986. Production of
listeriolisin by beta-hemolytic strainofListeria
monocytogenes.Infect. Immun. 51: 314-319.
POERNOMO, S .1978. Penyakit pullorum di Indonesia: Uji
aglutinasi cepat serum pada ayam kampung . Bull.
LPPH X(16): 32-34.
204
POERNOMO, S. 200. Training Microbiological Diagnostic.
Balitvet Newsletter 15(1): 5-7.
POERNOMO, S. 2004. Variasi tipe antigenSalmonella pullorum
yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe
Salmonellapadaternak(PO).Wartazoa 14(4):
143-159.
POERNOMO, S. dan S. HARDJOUTOMO. 1981. Penelitian
pendahuluan distribusiSalmonellaspp. pads hewan.
Bull. Balai Penelitian Penyakit Hewan 22: 16-28.
POERNOMO, S., I. RUMAwAS dan A. SAROSA. 1997. Infeksi
Salmonella enteritidispads anak ayam pedaging dari
peternakan pembibit: Suatu laporan kasus. JITV2(3):
194-197.
PRIADI, A., R.G. HIRST, M. SOERoso dan C. KUSHARYONO.
1992.Brucella suisinfection as a zoonosis in Java.
Penyakit Hewan XXIV(44): 110-112.
RAWAT, M., K.N . SHARMA and P
.R. JATICAR. 1990. Presumed
anthrax in camel . Vet
. Rec. 147(16) : 411
.
SETIAWAN,E.D.,A .
SUDIBYO dan A. PRIADI.
1996.
Brucellosis pada ternak dan manusia. Pros. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor 7-.8
Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Petemakan, Bogor. ham. 345-354.
SHIVAPRASAD, H.L. 1997. Pullorum diseasae and fowl
typhoid.In:Diseases of Poultry. Tenth Edition.
CALNEK,B.W., H.J. BARNES, C.W. BERAD, L.R.
MCDOUGALD and Y .M. SAIF (Eds.).The Iowa,USA.
pp. 82-130.
SHIVAPRASAD,H.L.,J.F. TIMONEY, S. MORALES, B. LUCio and
R.C .
BAKER.1990.PathogenesisofSalmonella
enteritidisinfection in laying chicken: I. Studies on eggtransmission, clinical signs, fecal sedding and serologic
responses. Avian Dis. 34: 548-557.
SOEMANEGARA, R.M.T. 1958. Ichtisar singkat dari penyakit
radang limpa, penyakit ngorok dan radang paha di
Indonesia. Hemera Zoa 65: 95-109
.
SUDARMONO, P., S. POERNOMO dan I
. SUHADI. 2001. The
Currentmanagement ofSalmonella typhiand
Salmonellain Indonesia. Proc. The Fourth International
Symposium on Typhoid Fever and Other Salmonellosis.
Taipei, Taiwan. pp. 25-30.
SUDARWANTO, M. 1996. Mastitis pada sapi perah
. Pros.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 1.
Puslitbang Peternakan, Bogor. him. 249-255.
SUGIYAMA, H. 1980.Clostridium botulinumneurotoxin.
Microbiol. Rev. 44: 419-448.
SUPAR, It., G. HIRST and B.E. PATTEN
. 1988. K-adhesins and
O-serogroups ofEscherichiacoliin claves and piglets
with diarrhea. Proc. of The Sixth Congreess of
Federation of Asian Veterinary Association Bali.
Indonesia. pp. 479-485.
SUPAR, R., G. HIRST and B.E. PATTEN. 1990
. Studies on the
epidemiologyofneonatalcolibacillosis in food
producing animals in Indonesia. Proc. The First
National Seminar on Veterinary Epidemiology. 6`nDecember 1989
. Yogyakarta Indonesia. pp. 103-132.

SUPAR.1986.Penggunaan metode enzymle-linked
irmunosorbent
assay(ELISA) untuk deteksiantigen
piliK99, K88
padaEscherichia co/i
dari anak sapi dan
anak babi diare
. Penyakit Hewan XVII(32):
159-168.
SUPAR.1993
.
Prospek pengendalian kolibasilosisneonatal
dengan vaksinEscherichiacolimultivalentpada
peternakan intensif di Tangerang Jawa Barat. Penyakit
Hewan XXV(46):58-68.
SUPAR.1994.DistribusiinfeksiEscherichiacoli
enterotoksigenik pada anak babi di Sumatera Utara dan
proses pengendalian dengan vaksin.Pros. Seminar
Nasional Teknologi Veteriner. Bogor,22--24Maret
1994.Balai Penelitian Veteriner.him. 173-179.
SUPAR. 1997. Pengendalian penyakit hog cholera dengan
vaksin aktif galur Chin (Pestiffa) yang dimodifkasi:
Suatu studi lapang pada peternakan babi di Tangerang
Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997. Puslitbang
Petemakan, Bogor. him. 1003-1008.
SUPAR. 2001. Pemberdayaan plasma nutfah mikroba veteriner
dal am pengembangan peternakan: Harapan vaksin
Escherichia colienterotoksigenik, enteropatogenik dan
verotoksigenikisolatelokaluntukpengendalian
kolibasilosis neonatal pada anak babi dan anak sapi.
Wartazoa 11(1): 36-43.
SUPARWI, M. 1922. Over een miltvuuruitbraak bij mensch en
Bier. Ned. lnd
.
:Bl.v. Diergeneesk. 33: 163.
SUTHERLAND,P. S.1990.Listeria
monocytogenes
.In:
FoodborneMicroorganismsofPublicHealth
Significance. Fourth Edition .BUCKLE,K.A .,
J. A.
DAVEY, M.J. EYLES, A.D.HocKING,.K.G.NEWTON and
E
.J. STUTTARD(Eds.). Australian Institute of Food
Science and Technology/AIFST (NSW Branch). Food
Microbiology Group. pp. 289-311.
SUwITO,W. 2005
. K
.ejadianEscherichia coliVerotoksigenik
pada Susu Sapi dari Peternakan di Kabupaten Bogor,
Sukabumi dan Cianjur. Tesis. Magister Sain. Sekolah
Pascasarjana
. Institut Pertanian Bogor.
TATINI, S.R. 1976. Thermal stability of enterotoksin in food.
J
. Milk Food Technol
. 39: 432-438.
THORNS, C.J.,M.M. BELL, M.G. SOJKA and R.A. NICHOLAS.
1996. Development and application of enzyme-linked
immunosorbent assayforspecific detectionof
Salmonella enteritidisin chicken based on antibodies to
SEF 14 fimbrial antigen, J. Clinic. Microbiol. 34(4)
:
729-737.
WARTAZOA Vol.15 No
. 4
Th
.
2005
TURNBULL,P.C.B.,R. BOHM, O. Osivi, N. DOGNATI, M.F.
HUGIUONE, D.D. Josut,M.K.LALITHA and V. DEVOS.
1998. Guideline for Surveillance and Control of
AnthraxinHumanand Animals. Department
Communicable Disease Surveillance and Response
WHO. pp. 51-61.
TzIPORI, S.1985. The relative importance of enteric
pathogens affecting neonate domestic animals. Adv.
Vet. Sci. Prevent. Med. 29: 108-206.
UCHIDA, I., T. SEKIZAKI, K. HASHIMOTO and N . TERAKADO
.
1985. Association of the encapsulation ofBacillus
anthraciswith60 megadalton plasmid. J.Gen.
Microbiol. 131: 363-397.
VOET, D. and J.G. VoET. 1995. Biochemistry. John Wily and
Son. USA.
WIDJATU711,R.danT.B.MURDIATi.1995.Residu
sulfonamidepada telur ayam ras.Pros. Seminar
PenelitianPetemakandanVeteriner.Jilid2.
him. 1011-1015.
WILLIAMS, J.E. and A.D. WHITTEMORE . 1975
. Influence of
age on the serological respon of chickens toSalmonella
typhimurium.Avian Dis. 19: 745-760.
WILLIS,A.T. 1984.Clostridium:the spore-bearing anaerob.
In:PrinciplesofBacteriology,Virologyand
Immunology. Vol. 2. Seventh Edition. PARKER, M.T.
(Ed.).Topley dan Wilson's. pp. 442-475.
WILSON, G.1984.Brucella. In:Principles of Bacteriology,
Virology and Immunology. Vol. 2. Seventh edition.
PARKER, M.T.(Ed.).1984. Topley and Wilson's.
pp. 406-421.
WORRAL,E.E.,L. NATALIA, P. RONOIIARJO, TARMUDJI and
S.PARTOUTOMO.1987.Enterotoxaemia in water
buffaloes cause byClostridium perfringens.Vet. Red.
121:278-279.
YANI,M. 1996.Perlindungan konsumen bahan pangan asal
temak.Pros.SeminarPeternakandanVeteriner.
Cisarua, Bogor7-8Nopember1995.JilidI.Puslitbang
Peternakan, Bogor.him. 61-63.
205