JBK
Jurnal Bisnis & Kewirausahaan
Volume 16, Issue 1, 2020
ISSN (print) : 0216-9843
ISSN (online) : 2580-5614
Homepage : http://ojs.pnb.ac.id/index.php/JBK

34


Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan
Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari


Nono Wibisono
1
, Lina Setiawati
2
, Sherly Raka Siwi Utomo Putri
3

1,2
Program Studi Manajemen Pemasaran, Politeknik Negeri Bandung, Indonesia
3
Program Studi Usaha Perjalanan Wisata, Politeknik Negeri Bandung, Indonesia
1
e-mail:

[email protected]


Abstract. The Gambung Mekarsari Tourism Village Area, Ciwidey is one of the potential
tourism villages owned by Bandung Regency. The village of Gambung Mekarsari has a
stretch of natural land that is of concern and can be used as a natural tourist attraction and
artificial tourism as a result of commodities, forestry, and agriculture. This potential is still
not utilized and developed by the local community until now. This study aims to explore
the potential that exists in the tourism village area and discover and develop a model of
tourism village development that is most suitable for the natural region of Gambung
Mekarsari. The constraints found in the field relate to the development of a model of a
tourist village, from the aspect of attractiveness, accommodation, accessibility, and
amenities. This study was analyzed by a qualitative approach with data collection carried
out in two ways, namely Focus Group Discussion and in-depth interviews. Based on the
review and analysis conducted on the characteristics, potential, problems in the field, the
model with the Quintiple Helix approach has implications for the environment by involving
five different elements; academia, related economic industries, government, media, and
the community in the tourism village environment to strengthen the development of
sustainable tourism.

Keywords: tourism village, tourism, development model, Quintiple Helix



Abstrak. Kawasan Desa Wisata Gambung Mekarsari, Ciwidey adalah salah satu potensi
desa wisata yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung. Desa Gambung Mekarsari ini memiliki
bentangan lahan alam yang menjadi perhatian dan bisa dimanfaatkan sebagai objek
wisata alam dan wisata buatan hasil dari komoditi, perhutani, dan pertanian. Potensi ini
masih belum dimanfaatkan dan dikembangkan oleh masyarakat setempat sampai saat ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi yang ada di kawasan desa wisata serta
menemukan dan mengembangkan model pengembangan desa wisata yang paling cocok
untuk daerah alam Gambung Mekarsari. Adapun kendala-kendala yang ditemukan di
lapangan berkaitan dengan pengembangan model dari desa wisata, dari aspek daya tarik,
akomodasi, aksesibilitas, dan amenitas. Penelitian ini dianalisis dengan metode
pendekatan kualitatif dengan pengumpulan yang data dilakukan melalui dua cara, yaitu
Focus Group Discussion dan in-depth interview. Berdasarkan tinjauan dan analisa yang
dilakukan mengenai karakteristik, potensi, permasalahan di lapangan, model dengan
pendekatan Quintiple Helix memberikan implikasi ke lingkungan dengan melibatkan lima
elemen yang berbeda; akademia, industri ekonomi yang terkait, pemerintah, media, dan
masyarakat di lingkungan desa wisata untuk memperkuat pengembangan pariwisata
secara sustainable.

Kata Kunci: desa wisata, pariwisata, model pengembangan, Quintiple Helix

Nono Wibisono, dkk
Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari

35

PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan salah satu industri terbesar dengan pertumbuhan yang signifikan.
Hal tersebut dikarenakan adanya pertumbuhan perjalanan wisata baik domestik maupun
internasional (Mudrikah, 2014). Angka pertumbuhan perjalanan wisata terus meningkat,
seperti jumlah perjalanan wisata internasional sebesar 227 juta di tahun 1980 meningkat
menjadi 983 juta di tahun 2011 dan diperkirakan akan terus naik hingga 1,8 milyar di tahun
2030 (Kemenpar, 2016). Pariwisata merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian
yang perlu diberi perhatian lebih agar dapat berkembang dengan baik (Waskita & Purwanto,
2008). Sejalan dengan dinamika, gerak perkembangan pariwisata merambah dalam berbagai
terminologi seperti, sustainable tourism development, rural tourism, ecotourism (McCool &
Moisey, 2008), merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk
menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan (Zakaria
& Suprihardjo, 2014). Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa
wisata untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dalam bidang pariwisata.
Desa wisata adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik
khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata (Susyanti, 2013). Di kawasan ini, penduduknya
masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor
pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah
kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan
terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata
(Hermawan, Brahmanto, & Hamzah, 2018).
Kabupaten Bandung yang mempunyai luas wilayah 1.767,96 km
2
, terdiri atas 31
kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung adalah
pegunungan dengan suhu berkisar antara 19°C sampai dengan 24°C. Banyak peneliti
berpendapat bahwa desa wisata mempunyai nilai jual yang unik (unique selling point) bagi
wisatawan untuk berlibur di pedesaan (Bouchon & Rawat, 2016). Dengan banyaknya ragam
produk wisata di Kabupaten Bandung, daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sangat
besar dan perlu dikembangkan menjadi destinasi wisata dengan jenis desa wisata. Hal ini
sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Bandung Tahun 2016-2021 yang tercantum dalam Visi pembangunan Kabupaten Bandung
Tahun 2016-2021 yaitu "Memantapkan Kabupaten Bandung yang Maju, Mandiri dan Berdaya
Saing, melalui Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Sinergi Pembangunan Perdesaan,
Berlandaskan Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan”. Kondisi tersebut menggaris
bawahi arti penting studi ini. Jika potensi tersebut dapat dikembangkan dengan baik, maka
akan dapat berkontribusi dalam rencana pembangunan Kabupaten Bandung dan lebih luas
lagi, secara Nasional.Di Desa Wisata Mekarsari, Gambung, Ciwidey, Kabupaten Bandung
dengan potensi hasil tani tersebut selain dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan juga dapat
di manfaatkan sebagai objek wisata alam, media pembelajaran (edukasi) dan kawasan
budidaya tanpa merusak atau merubah keaslian dari segi bangunan maupun sosial dan
budaya. Hambatan yang terjadi antara potensi sumber daya alam dengan sumber daya
manusia adalah masyarakat tidak mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada untuk
memanfaatkan sebagai potensi wisata di kawasan ini dikarenakan pemikiran masyarakat
yang masih belum mengerti dengan potensi yang melimpah. Hal ini dapat dilihat di lapangan
bahwa pembentukan organisasi pengurus Desa Wisata masih belum ada output yang
signifikan. Begitu juga masyarakat setempat juga kurang mempromosikan potensi wisata
yang ada di wilayah tersebut. Selain itu juga belum adanya penyediaan fasilitas dan prasarana
yang dimiliki masyarakat lokal yang biasanya mendorong peran serta masyarakat dan
menjamin adanya akses ke Desa Wisata Gambung Mekarsari.
Dalam menganalisa karakteristik sebuah lingkungan, potensi, dan permasalahan yang
dimiliki oleh daerah tersebut, dibedakan ke dalam aspek daya tarik, akomodasi, aksesibilitas,
dan amenitas (Cooper, 2008). Dari pemetaan keempat karakteristik lingkungan desa wisata
Gambung Mekarsari telihat bahwa jika kepengurusan desa wisata yang ada masih belum
optimal sejalan dengan hal tersebut, jika dapat di optimalkan dengan baik dimasa depan, akan
menghasilkan daya pikat untuk model desa wisata. Namun demikian, model desa wisata yang

Jurnal Bisnis & Kewirausahaan
Volume 16, Issue 1, 2020

36

melakukan kolaborasi banyak elemen saat ini masih sangat minim. Kurangnya pemahaman
dan keterlibatan masyarakat tentang kepariwisataan yang baik dan belum memperhatikan
proper rural tourism model, sehingga mereka belum mampu menyajikan model pariwisata
yang berkualitas yang mampu memenuhi harapan wisatawan. Studi ini didesain untuk
mengembangkan model pengembangan destinasi wisata pedesaan.

Tinjauan Pustaka
Perkembangan Destinasi Wisata Pedesaan
Kegiatan wisata jika direncanakan dengan baik akan berdampak positif baik secara
ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan (Zakaria & Suprihardjo, 2014). Keberhasilan
pembangunan kepariwisataan seringkali secara sederhana diindikasikan dari jumlah
kunjungan wisatawan ke suatu destinasi. Untuk itu diperlukan pengembangan destinasi untuk
mendukung keberhasilan pembangunan kepariwisataan seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan yang menyatakan bahwa pembangunan
kepariwisataan mencakup empat pilar: destinasi, industri, pemasaran dan kelembagaan.
Pembangunan destinasi merupakan permasalahan yang kompleks dan strategis karena pada
dasarnya pembangunan suatu destinasi bergantung pada kesiapan destinasi tersebut.
Kesimpulannya, pengembangan destinasi merupakan bagian dari konsep pembangunan
pariwisata, lebih jauh mengenai pengembangan destinasi perlu dikembangkan pula potensi
pariwisata yang dimiliki destinasi tersebut untuk membentuk produk pada industri pariwisata
lokal (Nisa & Supriyanta, 2015), selain itu perlu pula adanya pengembangan pemasaran untuk
memperkenalkan produk tersebut kepada wisatawan yang didukung oleh seluruh pemangku
kepentingan dalam kelembagaan yang berhubungan dengan destinasi (Hermawan, 2016).

Konsep Desa Wisata dan Prinsip-prinsip Pengembangan Desa Wisata
Pengembangan destinasi juga berdasar pada dinamika perubahan minat wisatawan,
dimana wisatawan yang berasal dari wilayah tempat tinggal, memiliki motivasi yang berbeda
saat melakukan kegiatan wisata dengan memilih pengalaman/produk wisata yang sesuai
keinginannya (Hastuti, Purwantara, & Khotimah, 2008). Seperti wisatawan yang berasal dari
kota biasanya akan memilih atau mencari daya tarik yang berbeda dengan tempat tinggalnya
yakni wilayah yang jauh dari hingar bingar dan gemerlapnya kota, masuk ke wilayah
perdesaan dan bahkan kawasan lindung seperti taman nasional. Konsep wisata perdesaan
dan wisata ekologi (eco-wisata) berkembang sebagai alternatif. Salah satu produk dari wisata
perdesaan yang saat ini berkembang adalah desa wisata. Shtaltovna (2007) mengatakan
bahwa desa wisata merupakan sebuah alternatif pilihan untuk mengembangkan lingkungan
pedesaan, yang dapat memberikan keseimbangan antara daerah teritorial ekonomi dan sosial
dengan cara membedakan aktivitas penduduk setempat. Sedangkan menurut Cikic, Petrovic,
& Djurdjev, (2015) desa wisata merupakan salah satu mekanisme untuk menghasilkan
ekonomi pedesaan, serta cara pandang komunitas pedesaan. Kesimpulannya, desa wisata
merupakan bagian dari konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan dari suatu komunitas
lokal, yang idenya adalah untuk mendorong komunitas lokal dalam membangun aktivitas
pariwisata yang ada terutama wisata agro, suvenir, rumah makan, hotel atau akomodasi yang
lain yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya (Mcareavey &
Mcdonagh, 2011). Adapun komponen-komponen yang akan saling terkait dalam pendukung
pengembangan desa wisata (Darsono, 2008; Suta & Mahagangga, 2018), yaitu:

Nono Wibisono, dkk
Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari

37

Tabel 1. Komponen Desa Wisata

No Sumber Teori Komponen Desa Wisata
1 Gumelar (2010) 1. Keunikan, keaslian, sifat khas
2. Letaknya berdekatan dengan daerah alam yang luar biasa
3. Berkaitan dengan kelompok atau masyarakat berbudaya yang
secara hakiki menarik minat pengunjung
4. Memiliki peluang untuk berkembang baik dari sisi prasarana dasar,
maupun sarana lainnya.
2 Putra (2006) 1. Memiliki potensi pariwisata, seni, dan budaya khas daerah setempat.
2. Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata
atau setidaknya berada dalam koridor dan rute paket perjalanan
wisata yang sudah dijual.
3. Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih, dan pelaku–
pelaku pariwisata, seni dan budaya.
4. Aksesibilitas dan infrastruktur mendukung program Desa Wisata.
5. Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan
3 Prasiasa (2011) 1. Partisipasi masyarakat lokal
2. Sistem norma setempat
3. Sistem adat dan budaya setempat
Sumber: Olah pustaka dari Buku Destinasi Pariwisata berbasis masyarakat (2012)

Komponen Produk Pariwisata
Terdapat empat komponen yang bisa menjelaskan produk pariwisata, yaitu attraction,
amenities, accessibility, dan ancilliary (Cooper, 2008). Sebuah produk atau tempat pariwisata
akan dinilai baik jika segala kebutuhan dan pelayanannya di dukung oleh keempat komponen
ini. Daya tarik merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan. Suatu daerah
dapat menjadi tujuan wisata jika kondisinya mendukung untuk dikembangkan menjadi sebuah
atraksi wisata. Akomodasi merupakan pelayanan tambahan harus disedikan oleh Pemda dari
suatu daerah tujuan wisata baik untuk wisatawan maupun untuk pelaku pariwisata.
Aksesibilitas merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan pariwisata. Segala macam
transportasi ataupun jasa transportasi menjadi akses penting dalam pariwisata. Amenitas
adalah segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada
di daerah tujuan wisata. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti: penginapan, rumah
makan, transportasi dan agen perjalanan.

METODE PENELITIAN
Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara atau prosedur yang sistematis untuk
memperoleh data yang diperlukan (Bryman, 2012). Pengumpulan data dilakukan melalui 2
(dua) cara, yaitu (1) Focus group discussion dengan jumlah responden sebanyak 14 orang
terdiri dari: 10 orang otoritas lokal, dan 4 orang dari pemerintahan baik pemerintah desa
Mekarsari dalam hal ini Ketua desa dan pemerintah Kabupaten Bandung dalam hal ini ketua
bidang pariwisata untuk mendiskusikan tentang potensi dan permasalah yang dihadapi
masyarakat dalam mengelola maupun mengembangkan destinasi wisata di Desa wisata
Gambung Mekarsari dengan panduan indikator yang ada dalam analisi SWOT. (2) In-Depth
Interview dengan 4 orang narasumber yang terdiri dari ketua desa, ketua desa wisata,
perwakilan Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar dan perwakilan pemerintah
Kabupaten Bandung. Lebih lanjut lagi, hasil wawancara dilakukan pengkajian dari unsur
akademisi, yaitu dosen dari bidang tourism marketing. Adapun lokasi penelitian ini di titik
beratkan pada desa wisata Gambung Mekarsari yang ada di Kabupaten Bandung.
Teknik analisa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran antara lain
dengan menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif, analisa skoring berdasarkan
analisis potensi-permasalahan menggunakan SWOT yang di integrasikan untuk menentukan
faktor pendukung dalam pengembangan model dan analisis triangulasi. Dalam penelitian
kualitatif, data yang sudah terkumpul merupakan modal awal yang sangat berharga, dari data
yang sudah terkumpul akan dilakukan analisis yang selanjutnya dipakai sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan kesimpulan. Triangulasi merupakan metode yang penulis
gunakan untuk mensintesa data dari berbagai sumber. Menurut (Nightingale, 2009),

Jurnal Bisnis & Kewirausahaan
Volume 16, Issue 1, 2020

38

triangulasi adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis hasil dari desain penelitian
dengan berbagai macam metode. Triangulasi paling sering digunakan sebagai bentuk
pemeriksaan silang untuk memvalidasi hasil dari berbagai jenis metode, seperti wawancara
dan penelitian survei.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tinjauan dan analisa yang dilakukan mengenai karakteristik, potensi,
permasalahan di Desa Wisata Mekarsari telah diketahui bahwa karakteristik desa wisata
dibedakan ke dalam aspek; daya tarik, akomodasi, aksesibilitas, dan amenitas. Analisis
potensi dan permasalahan yang terkait dengan empat aspek tersebut dapat menentukan hal-
hal yang menjadi prioritas untuk menjadi fokus dalam pengembangan destinasi pariwisata di
desa wisata Gambung Mekarsari, antara lain:

Tabel 2. Potensi dan Permasalahan

Aspek Potensi Permasalahan
Daya Tarik




Daya tarik wisata primer terkait kegiatan di
area perkebunan sudah berjalan dan
berkembang dan dikelola oleh PPTK divisi
agrowisata. Sedangkan yang terkait dengan
hutan pinus dikelola oleh perhutani dan
kegiatan wisata alam terkait lahan ladang
dan persawahan juga dikelola oleh individu
masyarakat Gambung.
Pengelola daya tarik wisata primer berbeda-
beda dan belum ada nota kesepakatan
ataupun keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan perkebunan teh.
Hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan
dan konflik aktivitas
Daya tarik wisata sekunder berupa produk
dan kuliner kreatif yang dibuat oleh
masyarakat desa telah berjalan dan dengan
ragam produk yang memiliki kualitas produk
yang baik dan dapat dijadikan oleh-oleh khas
Gambung
Produksi yang masih tradisional sehingga
kuantitas produk pun masih terbatas. selain
itu pemasaran dan penjulannya juga belum
optimal membuat produk ini belum terlalu
dikenal oleh wisatawan terutama wisatawan
kawasan Ciwidey
Daya tarik wisata sekunder berupa lahan
peternakan terdapat beberapa titik meliputi
peternakan sapi, ayam dan ikan dimana
peternakan ini masih aktif beroperasi
mengingat merupakan mata pencaharian
masyarakat. Selain itu kegiatan beternaknya
dapat dikembangkan menjadi wisata
edukasi.
Beberapa peternakan memiliki fasilitas yang
kurang memadai untuk kegiatan wisata
edukasi. Selain itu belum ada kemasan
produk wisata edukasi dan produk siap jual.
Hal ini berpotensi pada ekspektasi wisatawan
yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
membuat wisatawan kecewa.
daya tarik wisata sekunder berupa pabrik
pengolahan Teh PPTK dan pengolahan teh
rakyat dan kopi Gambung yang masih aktif
digunakan dalam proses pengolahan teh dan
kopi yang berpotensi berkembang menjadi
wisata edukasi
Pengelolaan yang berbeda dan belum
adanya kerjasama membuat kegiatan wisata
edukasi nantinya berpotensi pada konflik
kepentingan.

Nono Wibisono, dkk
Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari

39

Aspek Potensi Permasalahan
daya tarik wisata sekunder berupa situs
sejarah dan jalur offroad yang kegiatan
wisatanya telah berjalan dan berkembang
menjadi wisata minat khusus sejarah dan
petualangan dengan pengelolaan yang
kurang jelas karena dilakukan atas inisiatif
pribadi dari masyarakat desa Gambung yang
memiliki akses dengan wisatawan minat
khusus.
Pengelolaan yang tidak jelas membuat
kegiatan wisata minat khusus juga menjadi
tidak jelas, terutama benefit yang dihasilkan
pun tidak jelas. Hal ini akan berpotensi pada
konflik kepentingan
Akomodasi Kawasan Gambung memiliki beberapa
sarana akomodasi seperti Villa Argapura,
Villa Alloysius dan Kampung karuhun yang
telah berjalan dan memiliki pasar terutama
dalam kegiatan DIKLAT. Hal ini membuka
peluang bagi desa Gambung untuk
memperkenalkan pariwisatanya dan
memperoleh manfaat terutama ekonomi dari
kunjungan wisatawan
Pemilik dan pengelola akomodasi adalah
pihak swasta di luar masyarakat desa
Gambung. Selain itu belum ada hubungan
kerjasama yang memungkinkan penyebaran
wisatawan ke Desa Gambung maupun
keterlibatan masyarakat desa dengan
pengelolaan akomodasi. Kepemilikan
akomodasi oleh pihak swasta berpotensi
pada monopoli lahan jika nantinya pariwisata
di desa Gambung maju karena tidak ada
aturan kepemilikan lahan oleh pihak ke 3
Aksesibilitas Jalan menuju Gambung cukup baik,
sebagian sudah di beton terdapat rambu
jalan dan telah ada moda transpotasi umum
yang sampai ke desa Gambung
Jarak menuju desa cukup jauh,dan
pemandangan alam tidak tampak secara
langsung dari jalan, jika wisatawan ingin
menikmati pemandangan harus parkir
terlebih dahulu. Sebagian jalan yang belum
diperbaiki kondisinya kurang baik selain itu
lebar jalan menuju desa gambung sempit
sehingga menyulitkan wisatawan ketika
berpapasan dengan kendaraan lain terutama
yang belum mahir menggunakan kendaraan.
Moda transportasi umum juga sangat terbatas
sehingga menyulitkan wisatawan yang tidak
menggunakan kendaraan pribadi.

Amenitas Kawasan desa Gambung sudah memiliki
beberapa sarana dan prasarana penunjang,
seperti tempat ibadah, pusat oleh-oleh,
kedai kopi, balai riung yang dapat
mendukung kegiatan pariwisata di desa
Gambung
Keterbatasan jumlah sarana dan prasarana
umum, selain itu jarak antara satu sarana
dengan sarana lain cukup jauh sehingga
menyulitkan wisatawan berusia lanjut atau
yang tidak biasa berjalan jauh untuk
menjangkaunya terutama yang tidak
membawa kendaraan pribadi. Selain itu
belum ada lahan parkir terpadu. Selain itu
dengan ditetapkannya jalan desa sebagai
jalan provinsi yang bisa menghubungkan
Ciwidey dengan Pangalengan berpotensi
terjadi kemacetan parah tang sulit terurai

Dalam pengembangan desa wisata harus dikelola secara profesional dengan tidak
mengesampingkan kelestarian sumber daya alam yang ada, serta pengemasan desa wisata
perlu direncanakan dan dikelola dengan baik agar suatu desa wisata mempunyai nilai jual
terhadap wisatawan. Dalam kerangka model inovasi Quintuple Helix (Carayannis, Barth, &
Campbell, 2012), lingkungan alam masyarakat dan ekonomi juga harus dilihat sebagai
pendorong untuk produksi dan inovasi pengetahuan, oleh karena itu menentukan peluang
untuk ekonomi pengetahuan. Model Quintuple Helix yang diterapkan dalam penelitian ini bisa
mendukung pembentukan win-win situation antara ekologi, pengetahuan dan inovasi,

Jurnal Bisnis & Kewirausahaan
Volume 16, Issue 1, 2020

40

menciptakan sinergi antara ekonomi, masyarakat, dan demokrasi. Model yang tepat untuk
diimplementasikan di desa wisata Gambung Mekarsari, diadaptasi dan dimodifikasi dari
Etzkowitz & Leydesdorff (2000), dengan menggabungkan media, budaya, dan lingkungan
menjadi satu kesatuan karena merupakan satu kanal yang sejenis di kondisi existing desa
Gambung Mekarsari, pada gambar 1 berikut:


Sumber: Modifikasi dari Carayannis et al. (2012; Etzkowitz & Leydesdorff (2000)
Gambar 1. Model Adaptasi Quintupple Helix

Berdasarkan yang dipaparkan diatas, situasi pada masing-masing sistem memiliki
kepentingan strategis bagi Pariwisata nasional dan bagi perekonomian nasional secara
keseluruhan. Untuk menganalisis keberlanjutan dalam model Quintuple Helix dalam
melakukan pembangunan berkelanjutan, bahwa masing-masing dari lima subsistem memiliki
aset khusus dalam berkolaborasi, dengan gambaran sebagai berikut:
a. Sistem pendidikan: sebagai subsistem pertama, mendefinisikan dirinya dengan merujuk
pada 'akademisi', 'universitas', 'sistem pendidikan tinggi', dan sekolah. Dalam heliks ini,
'modal manusia' yang diperlukan (misalnya: siswa, guru, ilmuwan / peneliti, wirausaha
akademis, dll.) dengan dibentuk oleh difusi dan penelitian pengetahuan.
b. Sistem ekonomi: sebagai subsistem kedua, terdiri dari industri / perusahaan, jasa dan
bank. Heliks ini memusatkan dan memfokuskan pada modal ekonomi (misalnya:
kewirausahaan, mesin, produk, teknologi, uang, dll.)
c. Sistem politik/Pemerintahan: sebagai subsistem ketiga yang merumuskan kehendak
tujuan atau arah saat ini dan masa depan, dengan demikian juga mendefinisikan,
mengorganisir serta mengelola kondisi umum suatu daerah. Oleh karena itu, helix ini
memiliki 'modal politik dan hukum' (misalnya: ide, undang-undang, rencana, aturan, dll.
d. Media dan Budaya: Mengintegrasikan dan menggabungkan dua bentuk modal. Di satu
sisi, helix ini memiliki, melalui publik berbasis budaya (misalnya: tradisi, nilai-nilai, dll.), Di
sisi lain, heliks publik berbasis media (misalnya: televisi, internet, surat kabar, dll.) Juga
terdiri dari modal informasi (misalnya: berita, komunikasi, jejaring sosial).
e. Masyarakat di lingkungan alam: Lingkungan alami dan budaya masyarakat sebagai
subsistem gabungan yang merupakan penentu bagi pembangunan berkelanjutan dan
yang bersifat modal alam (misalnya: sumber daya, tanaman, beragam hewan, dll). Serta
menjadi media yang berbasis budaya, mengintegrasikan dan menggabungkan dua
bentuk modal. Di satu sisi, helix ini memiliki, melalui publik berbasis budaya (misalnya:
tradisi, nilai-nilai, dll.)

Sejalan dengan hal itu, model yang dihasilkan pada penelitian ini merujuk pada tujuan
strategis yang dapat dicapai oleh lima pihak; akademisi, industri, pemerintahan, dan
masyarakat, tertera pada gambar 2 berikut:

Nono Wibisono, dkk
Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari

41


Gambar 2. Model Quintupple Helix dan Analisis SWOT

Berdasarkan arahan pengembangan destinasi pariwisata di Kawasan Gambung makan
penulis merekomendasikan model pengembangan destinasi pariwisata menggunakan model
inovasi Quintuple Helix dan Smart Tourism Village sebagai gabungan layanan dari suatu
bisnis yang dutawarkan kepada konsumen secara efektif dan efisien (Viswanadham & Vedula,
2010) Puluhan layanan termasuk konstruksi, pertanian, listrik, layanan kesehatan, air, ritel,
manufaktur dan logistik diperlukan di membangun smart village. Menurut Somwanshi et al.,
(2016), konsep dasar smart village adalah mengumpulkan masyarakat upaya dan kekuatan
orang-orang dari berbagai aliran dan mengintegrasikannya dengan teknologi informasi untuk
memberikan manfaat bagi masyarakat pedesaan, salah satunya menghidupkan kegiatan
bisnis masyarakat lokal, untuk penelitian ini khususnya bidang pariwisata. Dengan diperkaya
hasil matriks dalam analisis SWOT diperoleh beberapa arahan dalam pengembangan
destinasi kepariwisataan di desa wisata Gambung Mekarsari, didefinisikan sebagai berikut:
1. Membuat payung kerjasama kolaborasi dari para pengelola dan pelaku pariwisata serta
pemerintah setempat untuk menyususn berbagai kebijakan pengelolaan pariwisata agar
tidak terjadi konfik kepentingan dan konflik aktivitas dan juga dalam penyediaan moda
transpotasi menuju Gambung
2. Membuat aturan terkait tata guna lahan dan alih kepemilikan lahan desa Gambung
terutama yang terkait sektor pariwisata
3. Membuat produk kemasan pariwsata yang bervariatif, dan melakukan inovasi produk
secara periodic yang tidak berdampak buruk bagi lingkungan, sosisal budaya dan sejarah
masyarakat Desa Gambung
4. Membuat pelatihan atau workshop berkesinambungan terkait sosialisasi dan pembinaan
masyarakat desa Gambung terkait pengelolaan dan aktivitas pariwisata.

Jurnal Bisnis & Kewirausahaan
Volume 16, Issue 1, 2020

42

Model Quantiple Helix (Carayannis et al., 2012) merupakan model teoritis dan praktis
untuk pertukaran sumber pengetahuan, berdasarkan lima sub-sistem sosial dengan 'modal'
yang tersedia, untuk menghasilkan dan mempromosikan pembangunan masyarakat yang
berkelanjutan. Dalam Model Quintuple Helix (Carayannis & Campbell, 2010), sumber
pengetahuan bergerak melalui sirkulasi pengetahuan dari sub-sistem ke sub-sistem. Sirkulasi
pengetahuan ini menyiratkan bahwa pengetahuan memiliki kualitas input dan output dari dan
untuk sub-sistem dalam suatu negara, atau juga antar negara. Jika input pengetahuan
disumbangkan ke dalam salah satu dari lima sub-sistem, maka penciptaan pengetahuan bisa
terbentuk.
Penciptaan pengetahuan ini selaras dengan pertukaran pengetahuan dasar dan
menghasilkan penemuan atau pengetahuan baru. Output penciptaan pengetahuan dari sub-
sistem karena itu memiliki dua rute (cara): (1) rute pertama mengarah ke output untuk produksi
inovasi untuk lebih berkelanjutan di suatu lokasi); (2) rute kedua mengarah ke output pada
pengetahuan baru kembali ke sirkulasi pengetahuan. Melalui sirkulasi pengetahuan, output
baru dari pengetahuan yang baru dibuat dari suatu sub-sistem berubah menjadi input
pengetahuan untuk sub-sistem yang berbeda dari model Quintuple Helix. Oleh karena itu, di
dalam model Quintuple Helix dengan dan dengan menggunakan lima heliks, pertukaran
pengetahuan dalam suatu daerah ditangani dengan semua rangkaian yang
berkesinambungan, dalam rangka mempromosikan pembangunan berkelanjutan berbasis
produksi dan pengetahuan.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang sudah dilakukan, desa wisata Gambung Mekarsari akan
dikembangkan melalui model Quintuple Helix dimana model ini bertujuan akan membuat
produk wisata atau kemasan produk wisata yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat,
tatanan sejarah, yang nantinya destinasi ini akan dibuat produk wisata yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan tatanan masyarakat Gambung. Pengembangan model destinasi
quintuple akan memberikan manfaat terutama ekonomi untuk tanpa merusak nilai budaya,
sejarah, dan lingkungan yang ada (sustainable). Daya Tarik pariwisata di desa wisata
Gambung Mekarsari memang belum terakomodir dengan baik, namun potensi pariwisata
sudah sangat beragam dari jenis produk holtikultura, kopi, dan kerajinan tangan. Jika
komunitas di Gambung Mekarsari mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif,
maka dapat meningkatkan pendapatan secara ekonomis sekaligus mendistribusikan
pemerataan ekonomi pada penduduk lokal. Maka dari itu untuk menjawab permasalahan di
lapangan, salah satunya penyediaan sarana transportasi khusus untuk menuju kawasan desa
wisata harus segera dilakukan untuk mempermudah wisatawan berkunjung kawasan desa
wisata dan dan penyediaan fasilitas pendukung dan penunjang kegiatan wisata.

DAFTAR PUSTAKA
Bouchon, F., & Rawat, K. (2016). Rural Areas of Asean And Tourism Services, A Field For Innovative
Solutions. Social and Behavioral Sciences, 224, 44–51.
Bryman, A. (2012). Social Research Methods Alan Bryman. England: OXFORD University Press.
Carayannis, E. G., Barth, T. D., & Campbell, D. F. (2012). The Quintuple Helix Innovation Model: Global
Warming As A Challenge And Driver For Innovation. Journal of Innovation and Entrepreneurship,
2012(1), 1–12.
Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix And Quintuple Helix And
How Do Knowledge, Innovation And The Environment Relate To Each Other. International Journal
of Social Ecology and Sustainable Development.
Cikic, J., Petrovic, M., & Djurdjev, B. (2015). Diffusion Of Knowledge And Rural Tourism Development:
Example Of Vojvodina. Ekonomika Poljoprivrede, 62(1), 123–136.
Cooper, C. (2008). Network Analysis And Tourism: From Theory To Practice.
Darsono. (2008). Peran Investasi Dalam Kinerja Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia. Jurnal
Agribisnis Dan Industri Pertanian.

Nono Wibisono, dkk
Model Pengembangan Destinasi Pariwisata Pedesaan Studi Kasus: Desa Wisata Gambung Mekarsari

43

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The Dynamics Of Innovation: From National Systems And
“Mode 2” To A Triple Helix Of University-Industry-Government Relations. Research Policy.
Hastuti, Purwantara, S., & Khotimah, N. (2008). Model Pengembangan Desa Wisata Berbasis Kearifan
Lokal Sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan Di Lereng Merapi Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Hermawan, H. (2016). Dampak Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran Terhadap Ekonomi
Masyarakat Lokal. Jurnal Pariwisata.
Hermawan, H., Brahmanto, E., & Hamzah, F. (2018). Pengantar Manajemen Hospitality.
Kemenpar. (2016). Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016 - 2019. Rapat Koordinasi
Nasional Kementerian Pariwisata “Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan Dalam Rangka
Pencapaian Target 12 Juta Wisman Dan 260 Juta Wisnus 2016.
Mcareavey, R., & Mcdonagh, J. (2011). Sustainable Rural Tourism: Lessons for Rural Development.
Sociologia Ruralis, 51(2), 175–194.
McCool, S. F., & Moisey, R. N. (2008). Tourism, recreation, and sustainability: linking culture and the
environment: second edition.
Mudrikah, A. (2014). Kontribusi Sektor Pariwisata Terhadap Gdp Indonesia Tahun 2004 - 2009.
Economics Development Analysis Journal.
Nightingale, A. (2009). Triangulation. International Encyclopedia of Human Geography.
Nisa, K., & Supriyanta. (2015). Desa Wisata Karangrejo Sebagai Media Informasi Dan Promosi. Jurnal
Bianglala Informatika, 3(1).
Somwanshi, R., Shindepatil, U., Tule, D., Mankar, A., Ingle, N., Rajamanya, G., & Deshmukh, A. (2016).
Study And Development Of Village As A Smart Village. International Journal of Science and
Engineering Research.
Susyanti, D. W. (2013). Potensi Desa Melalui Pariwisata Pedesaan. Ekonomi Dan Bisnis.
Suta, P. W. P., & Mahagangga, I. G. A. O. (2018). Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat.
Jurnal Destinasi Pariwisata.
Viswanadham, N., & Vedula, S. (2010). Design of Smart Villages. The Centre for Global Logistics and
Manufacturing Strategies.
Waskita, J., & Purwanto, M. T. (2008). Strategi Pemasaran Pariwisata dalam Rangka Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah. Cermin.
Zakaria, F., & Suprihardjo, D. (2014). Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata Di Desa
Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan. Teknik Pomits.