Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6189

HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DAN RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI
DENGAN STUNTING PADA ANAK BALITA

Pembronia Nona Fembi
1*
, Yosefina Nelista
2
,

Pasionista Vianitati
3

Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Nusa Nipa Maumere
1,2,3

*Corresponding Author : [email protected]

ABSTRAK
Masalah stunting merupakan permasalahan gizi yang mencerminkan adanya masalah gizi yang
bersifat kronis karena kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu yang cukup lama dan
mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, terutama tinggi badan anak yang lebih rendah atau
pendek dari standar usianya. Stunting pada balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan dua
faktor utama yang perlu dipertimbangkan adalah asupan nutrisi yang tidak memadai dan penyakit
infeksi. Asupan nutrisi yang kurang baik, terutama pada periode kritis pertumbuhan, dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan dan penyakit infeksi dapat menghambat
penyerapan nutrisi, memperburuk status gizi anak. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
hubungan asupan nutrisi dan riwayat penyakit infeksi dengan stunting pada Balita. Metode yang
digunakan adalah deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Sampel penelitian terdiri dari 97
balita yang mengalami stunting, dipilih melalui total sampling. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner dan microtoise, sedangkan analisis data dilakukan dengan metode univariat, bivariat
menggunakan chi-square. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel asupan nutrisi (p-Value:
0.011), riwayat penyakit infeksi (p-Value: 0.018), memiliki nilai P-Value < 0.05, menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan asupan nutrisi dan riwayat penyakit infeksi dengan stunting. Ada hubungan
asupan nutrisi, riawayat penyakit infeksi dengan stunting. Diharapkan para orang tua balita, untuk
memberikan perhatian yang lebih terhadap kondisi kesehatan balita dengan menerapkan pola
pengasuhan yang baik, memberikan asupan nutrisi yang sesuai dan menjaga sanitasi lingkungan balita
agar balita tidak rentan terkena penyakit infeksi.

Kata kunci : asupan nutrisi, balita, penyakit infeksi, stunting

ABSTRACT
The issue of stunting reflects a chronic nutritional problem resulting from prolonged inadequate
nutrient intake, leading to growth disturbances in children, particularly in terms of height below the
age-standard. Stunting in toddlers can be influenced by various factors, with two primary
considerations being insufficient nutritional intake and infectious diseases. Poor nutritional intake,
especially during critical growth periods, can impede growth and development, while infectious
diseases can hinder nutrient absorption, exacerbating the child's nutritional status. The objective of
this research is to analyze the relationship between nutrient intake and the history of infectious
diseases with stunting in toddlers. The method employed is descriptive-analytic with a cross-sectional
design. The study sample comprises 97 stunted toddlers selected through total sampling. Research
instruments include questionnaires and microtoise, and data analysis is conducted using univariate
and bivariate methods employing chi-square. Bivariate analysis results indicate that both nutrient
intake (p-Value: 0.011) and the history of infectious diseases (p-Value: 0.018) have P-Values < 0.05,
signifying a significant association between nutrient intake, infectious disease history, and stunting.
There is a correlation between nutrient intake, history of infectious diseases, and stunting. It is
recommended that parents pay more attention to the health of toddlers by implementing good
parenting practices, providing appropriate nutrient intake, and maintaining a sanitary environment to
reduce the susceptibility of toddlers to infectious diseases.

Keywords : infectious diseases, nutritional intake, stunting, toddlers

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6190

PENDAHULUAN

Masalah kurangnya pertumbuhan pada balita (stunting) merupakan permasalahan gizi
yang semakin meluas di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Stunting mencerminkan
adanya masalah gizi yang bersifat kronis karena kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu
yang cukup lama, mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, terutama tinggi badan
anak yang lebih rendah atau pendek dari standar usianya. Tubuh anak yang memiliki tinggi
badan pendek sering dianggap sebagai dampak faktor genetik dari kedua orang tuanya, dan
karena itu, banyak masyarakat yang menerima kondisi tersebut tanpa upaya pencegahan.
Stunting dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada perkembangan anak, bahkan bersifat
tidak dapat diubah. Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan perlambatan dalam proses
tumbuh kembang, sementara dalam jangka panjang, dapat berdampak pada aspek kognitif.
Stunting pada balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan dua faktor utama yang perlu
dipertimbangkan adalah asupan nutrisi yang tidak memadai dan penyakit infeksi. Asupan
nutrisi yang kurang baik, terutama pada periode kritis pertumbuhan, dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Sebaliknya, penyakit infeksi dapat menghambat
penyerapan nutrisi, memperburuk status gizi anak, dan berkontribusi pada terjadinya stunting
(Lusiani & Anggraeni, 2021).
Prevalensi stunting di seluruh dunia mencapai 150,8 juta balita (22,2%). Angka ini
menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tingkat stunting pada tahun 2000. Lebih dari
separuh balita yang mengalami stunting berasal dari Asia (55%), sementara lebih dari
sepertiganya (39%) tinggal di benua Afrika. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan negara ketiga dengan prevalensi
stunting tertinggi di kawasan Asia Tenggara atau South-East Asia Regional (SEAR). Secara
rata-rata, prevalensi stunting pada balita di Indonesia selama periode tahun 2005-2017
mencapai 36,4% (Kemenkes RI, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO), batasan prevalensi stunting dalam suatu
wilayah adalah sebesar 20%. Berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 dan 2018,
prevalensi stunting secara nasional di seluruh provinsi di Indonesia mengalami penurunan
dari 37,2% menjadi 30,8%. Meskipun terjadi penurunan, namun angka tersebut masih jauh
dari batasan yang ditetapkan oleh WHO. Pada tahun 2018, 100 kota atau kabupaten di
Indonesia diidentifikasi sebagai prioritas penanganan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam masalah kesehatan masyarakat, khususnya
terkait stunting pada balita (Riskesdas, 2018).
Riskesdas Indonesia tahun 2018 mencatat bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
memiliki prevalensi stunting melebihi angka nasional pada tahun tersebut, yakni sebesar
41,1%. Hasil survei awal yang dilakukan, mengindikasikan bahwa secara keseluruhan, kasus
stunting di Kabupaten Sikka menyebar di 26 desa dari 10 kecamatan. Jumlah balita yang
mengalami stunting pada tahun 2018 sebanyak 5.805 (36%), tahun 2019 sebanyak 4.164
(25%), dan tahun 2020 sebanyak 4.010 (19%). Dengan merujuk pada data tersebut, terlihat
bahwa stunting di Kabupaten Sikka mengalami penurunan dari tahun 2018 hingga 2020,
meskipun belum mencapai tingkat signifikan (Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, 2020).
Insiden stunting di Puskesmas Paga pada tahun 2018 mencapai 110 balita, tahun 2019
sebanyak 113 balita, tahun 2020 mencatat 141 balita, dan pada bulan Februari 2021 terdapat
120 balita. Dari data tersebut, dapat diamati bahwa angka insiden di Puskesmas Paga
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, meskipun belum ada pemahaman pasti mengenai
penyebab dari peningkatan kasus stunting tersebut. Informasi yang diperoleh dari pihak
puskesmas menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah tersebut berprofesi
sebagai petani. Umumnya, ibu-ibu sibuk dengan kegiatan pertanian, sehingga perhatian
terhadap asupan gizi dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari anak kurang optimal. Selain itu,

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6191

orangtua, terutama ibu, tampaknya kurang memperhatikan pola hidup bersih dan sehat untuk
anak-anak mereka, dan banyak balita yang tidak aktif dalam kegiatan posyandu,
mengakibatkan keterlambatan dalam imunisasi serta deteksi pertumbuhan dan perkembangan
(Data Primer Puskesmas Paga, Mei 2022).
Stunting dapat terjadi sejak dalam kandungan dan baru terlihat ketika anak mencapai usia
dua tahun (Anggraini & Romadona, 2020). Kejadian stunting yang sudah terjadi, jika tidak
diiringi oleh pertumbuhan yang dikejar (catch-up growth), dapat menyebabkan penurunan
pertumbuhan dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Situasi ini terkait dengan
peningkatan risiko penyakit, kematian, serta hambatan dalam pertumbuhan baik secara
motorik maupun mental. Stunting dihasilkan dari pertumbuhan yang terhambat (growth
faltering) dan kurangnya catch-up growth yang mencerminkan ketidakmampuan untuk
mencapai pertumbuhan optimal. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok balita yang lahir
dengan berat badan normal juga bisa mengalami stunting jika pemenuhan kebutuhan
selanjutnya tidak memadai. Dampak jangka panjangnya pada kesehatan melibatkan
perawakan yang pendek, penurunan reproduksi, serta peningkatan risiko obesitas dan
penyakit degeneratif di masa depan (Sumardilah & Rahmadi, 2019).
Buruknya status gizi memiliki dampak yang merugikan baik dalam jangka waktu yang
singkat maupun dalam jangka waktu yang lebih panjang. Dampak negatif yang terjadi dalam
jangka pendek melibatkan gangguan dalam perkembangan otak, penurunan tingkat
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan ketidakseimbangan metabolisme tubuh.
Sementara itu, dalam jangka panjang, dampak negatif yang mungkin terjadi melibatkan
penurunan tingkat kekebalan tubuh, membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit, serta
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan perkembangan disabilitas pada usia lanjut
(SUTRIYAWAN et al., 2020).
Status gizi anak pada dasarnya dapat terpengaruh oleh faktor langsung maupun tidak
langsung. Salah satu faktor langsung yang berkontribusi pada tingginya kejadian stunting
pada balita adalah asupan gizi. Ketersediaan asupan gizi yang memadai sangat penting untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan balita. Meskipun balita yang sebelumnya
mengalami kekurangan gizi masih bisa memperbaiki kondisinya dengan asupan gizi yang
cukup, intervensi yang dilakukan harus dilakukan tepat waktu agar dapat menghindari
kegagalan pertumbuhan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada balita stunting dan non
stunting di Kelurahan Kejawan Putih Tambak Surabaya menyimpulkan bahwa tingkat
kecukupan energi, protein, zinc dan zat besi pada balita berisiko pada kejadian stunting
(Asiah et al., 2020).
Selain itu, faktor lain yang secara langsung mempengaruhi terjadinya stunting adalah
riwayat penyakit infeksi. Hubungan antara penyakit infeksi dan asupan gizi sangat erat.
Individu yang mengalami penyakit infeksi akan mengalami kondisi yang lebih parah jika
kekurangan asupan gizi terjadi. Anak balita yang mengalami kekurangan gizi juga lebih
mudah terkena penyakit infeksi. Malnutrisi biasanya dijelaskan melalui pengukuran
antropometris yang mencerminkan cakupan yang luas terkait paparan dan faktor risiko
penyakit infeksi, selain dari asupan gizi. Terdapat dua arah hubungan antara malnutrisi dan
infeksi, di mana anak yang mengalami malnutrisi memiliki risiko lebih tinggi terkena
penyakit infeksi, dan infeksi yang berulang dapat berkontribusi pada terjadinya malnutrisi.
Anak yang mengalami malnutrisi juga memiliki risiko yang lebih tinggi terkena penyakit baik
dalam bentuk akut maupun kronis, serta meningkatkan risiko kematian akibat penyakit
infeksi (Sahitarani et al., 2020). Suatu studi yang dilakukan di Uganda mengungkapkan
bahwa anak-anak yang mengalami stunting memiliki tingkat kejadian pneumonia sebesar
29,3%, kejadian diare sebesar 17,3%, dan kejadian malaria sebesar 29,3%. Temuan serupa
terlihat dalam penelitian di Bangladesh, di mana sebuah studi kohort menyimpulkan bahwa

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6192

semakin baik status gizi anak, semakin menurun risiko terkena penyakit infeksi yang
disebabkan oleh patogen enterik (Sahitarani et al., 2020)
Pihak puskesmas telah berupaya dalam mengatasi masalah stunting, tetapi hasilnya
belum mencapai tingkat signifikan sesuai dengan target penurunan stunting yang ditetapkan.
Upaya tersebut mencakup kegiatan promosi, seperti penyuluhan Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM), kelas ibu hamil, serta tindakan preventif seperti penyuluhan PMT
(Pemberian Makanan Tambahan) untuk pencegahan gizi buruk, promosi ASI eksklusif,
pemberian obat cacing, pemberian MP-ASI untuk anak usia 6 bulan ke atas, dan pemberian
tablet tambah darah untuk remaja putri. Untuk ibu hamil, upaya melibatkan PMT-Ibu hamil,
pelayanan Ante Natal Care (ANC) berkualitas, hingga intervensi sebelum dan sesudah
persalinan melalui penyuluhan pola asuh, kepedulian, dan stimulasi bagi orang tua balita.(
Data Primer Puskesmas Paga, 2022).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara asupan nutrisi dan riwayat
penyakit infeksi dengan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Paga Kabupaten Sikka.

METODE

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi
target dalam penelitian ini yakni sebanyak 120 balita yang mengalami stunting di wilayah
kerja Puskesmas Paga. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Lokasi
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Paga. Penelitian dilaksanakan pada 15 -20 November
2022. Instrumen asupan nutrisi dan pengukuran riwayat penyakit infeksi menggunakan
kuesioner. Analisis hasil penelitian menggunakan alisis univariat dan bivariat. Analisa
bivariat dalam penelitian ini menggunakan Chi-square.

HASIL

Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur orang tua
responden, pendidikan orang tua responden, pekerjaan orang tua responden, karakteristik
balita bedasarkan jenis kelamin, karakteristik balita bedasarkan jenis kelamin karakteristik
balita berdasarkan berat badan lahir. Distribusi karakteristik responden dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden (Anak dan Orang Tua Dari Anak)
Kategori F %
Usia (Thn)
20-30 22 22.7
31-40 54 55.7
41-50 13 13.4
51-60 8 8.2
Total 97 100
Pendidikan
Rendah (SD,SMP) 64 66.0
Sedang (SMK/SMA) 24 24.7
Tinggi (Diploma/PT) 9 9.3
Total 97 100

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6193

Pekerjaan
Tinggi 84 86.6
Sedang 9 9.3
Tinggi 4 4.1
Total 97 100
Jenis kelamin balita
Laki-laki 50 51.5
Perempuan 47 48.5
Total 97 100
Umur balita
0-24 Bulan 13 13.4
24-60 Bulan 84 86.6
Total 97 100
BB lahir balita
<2500 gram 30 30.9
≥2500-3500 gram 62 63.9
>3500 gram 5 5.2
Total 97 100

Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa dari 97 responden usia ibu balita
terbanyak yaitu usia 31-40 tahun sebanyak 54orang (55.7%), sedangkan pendidikan orang tua
terbanyak yaitu pendidikan rendah (SD,SMP) sebanyak 64orang (66.0%).Untuk data
pekerjaan orang tua balita lebih banyak pada kategori pekerjaan rendah sebanyak 84 orang
(86.6). Untuk balita jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 50 orang (51.5%), dan
yang paling sedikit perempuan yaitu sebanyak 47 orang (48.5%). Untuk data umur balita
terbanyak adalah 24-60 bulan sebanyak 84 orang (86.6%) dan data berat badan lahir
terbanyak adalah >2500-3500 gram sebanyak 62 orang (63.9), dan yang paling sedikit yaitu
>3500gram sebanyak 5 orang (5.2%).

Analisis Univariat

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Asupan Nutrisi, Penyakit Infeksi, Stunting
Asupan Nutrisi f %
Tepat 9 9.3
TidakTepat 88 90.7
Total 97 100
Penyakit Infeksi
Mengalami 89 91.8
Tidak Mengalami 8 8.2
Total 97 100
Stunting
Sangat pendek 38 39.2
Pendek 88 60.8
Total 97 100

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa dari 97 responden paling banyak
mempunyai riwayat asupan nutrisi tidak tepat sebanyak 88 orang (90.7%), balita yang
mengalami penyakit infeksi sebanyak 89 orang (91.8%), dan untuk balita stunting ditemukan
sebagian besar pada kategori pendek sebanyak 59 orang (60.8%).

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6194

Analisis Bivariat
Hubungan Asupan Nutrisi dengan Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Paga Kabupaten Sikka

Tabel 3. Tabulasi Silang Asupan Nutrisi dengan Stunting (n=97)

Asupan
Nutrisi
Stunting
Total
Sangat
Pendek
Pendek
N % n % n %
Tepat 0 0 9 9.3 9 9.3
Tidak
Tepat
38 39.2 50 51.5 88 90.7
Total 38 39.2 59 60.8 97 100

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa dari 97 responden, asupan nutrisi tepat
dengan stunting kategori pendek sebanyak 9 orang (9.3%), asupan nutrisi tidak tepat dengan
stunting kategori sangat pendek sebanyak 38 orang (39.2%), asupan nutrisi tidak tepat dengan
stunting kategori pendek sebanyak 50 orang (51.5%).

Tabel 4. Hasil Analisis Bivariat Asupan Nutrisi dengan Stunting (n=97)
Variabel n Chi square
hitung
Chi Squaretabel DF P_Value Alpa
Asupan nutrisi
terhadap stunting
97 6.389 3.481 1 0.011 0,05

Berdasarkan tabel 4, hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan uji chi
square diperoleh nilai chi square hitung>chi square tabel pada DF 1 (6.389>3.841) dan p
value sebesar 0.011, nilaip<α (0.05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat
disimpulkan bahwaa da pengaruh antara asupan nutrisi terhadap stunting.

Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Paga Kabupaten Sikka

Tabel 5. Tabulasi Silang Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Stunting (n=97)

Riwayat penyakit
infeksi
Stunting
Total Sangat Pendek Pendek
N % n % n %
Mengalami 38 39.2 51 52.6 89 91.8
Tidak mengalami 0 0 8 8.2 8 8.2
Total 38 39.2 59 60.8 97 100

Berdasarkan tabel 5 dapat dijelaskan bahwa dari 97 responden, riwayat penyakit
mengalami penyakit infeksi dengan stunting kategori sangat pendek sebanyak 38 orang
(39.2%), riwayat penyakit mengalami penyakit infeksi dengan stunting kategori pendek
sebanyak 51 orang (52,6%), tidak mengalami penyakit infeksi dengan stunting kategori
pendek sebanyak 8 orang (8.2%).

Tabel 6. Hasil Analisis Bivariat Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Stunting(n=97)
Variabel N Chi
square
hitung
Chi Square
tabel
DF P Value Alpa
Riwayat penyakit infeksi
dengan stunting
97 5.616 3.841 1 0.018 0,05

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6195

Berdasarkan tabel 6 hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan uji chi
square diperoleh nilai chi square hitung>chi square tabel pada DF 1 (5.616>3.841) dan p
value sebesar 0.018, nilaip<α (0.05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan riwayat penyakit infeksi dengan stunting.

PEMBAHASAN

Hubungan Asupan Nutrisi terhadap Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Paga Kabupaten Sikka
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari 97 responden, terdapat 9 orang (9.3%)
yang memiliki asupan nutrisi sesuai dengan kategori stunting pendek, 38 orang (39.2%)
memiliki asupan nutrisi tidak sesuai dengan kategori stunting sangat pendek, dan 50 orang
(51.5%) memiliki asupan nutrisi tidak sesuai dengan kategori stunting pendek. Hasil uji
statistik chi-square membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan
nutrisi dan kejadian stunting. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh (Fitri et al., 2020), tentang hubungan antara asupan gizi pada balita dan
kejadian stunting menunjukkan bahwa kualitas asupan nutrisi yang diberikan dapat memiliki
dampak positif atau negatif pada pertumbuhan balita. Ketersediaan nutrisi yang memadai
pada balita dapat memengaruhi proses metabolik secara langsung, yang kemudian
berpengaruh pada perkembangan anak dan dapat menyebabkan stunting. Oleh karena itu,
sangat penting untuk mendeteksi dan mengatasi kekurangan energi pada bayi yang belum
mencapai usia dua tahun, karena hal ini dapat mengurangi risiko kekurangan gizi pada anak.
Memastikan asupan energi yang mencukupi pada balita dapat mengurangi risiko terjadinya
stunting.
Asupan gizi yang memadai memegang peran krusial dalam tumbuh kembang balita,
terutama pada masa kritis di mana mereka mengalami periode pertumbuhan yang pesat, yang
disebut sebagai masa tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi pada awalnya
masih dapat diperbaiki dengan memberikan asupan gizi yang memadai sehingga mereka
dapat mengejar pertumbuhan sesuai dengan tahapan perkembangan mereka. Namun, jika
intervensi tersebut dilakukan terlambat, maka dapat terjadi keterlambatan pertumbuhan atau
yang disebut dengan gagal tumbuh.(Gaspersz et al., 2020). Hal serupa berlaku untuk balita
yang awalnya normal, yang juga berisiko mengalami gangguan pertumbuhan jika asupan gizi
yang mereka terima tidak memadai atau sesuai dengan kebutuhan mereka. Analisis hasil dari
Penelitian Riskesdas juga menyampaikan bahwa konsumsi energi pada balita memiliki
dampak pada kejadian balita pendek (Dewi & Adhi, 2014).
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan (Pujiati W., Nirnasari M., 2021), yang
menunjukkan adanya korelasi antara pola pemberian makan dan kejadian stunting, dengan
nilai p-value sebesar 0,012 < 0,05. Temuan ini muncul karena sebagian besar responden masih
kurang dalam pengelolaan makanan untuk balita, dan sebagian lainnya tidak memahami
sepenuhnya cara yang baik dalam mengolah makanan untuk anak-anak. Pengetahuan dan
keterampilan dalam merawat makanan sehat bagi balita menjadi hal yang sangat krusial.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh (Abdul Syafei et al., 2023) juga diungkapkan
adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh pemberian makan dan kejadian stunting
yang dapat dismpulkan bahwa ibu yang memiliki pola asuh pemberian makan dalam kategori
kurang baik berpeluang 6.643 kali lebih besar untuk memiliki balita stunting. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Laili et al., 2021) bahwa pola asuh yang
buruk akan meningkatkan risiko stunting pada balita. Solusinya adalah petugas kesehatan
perlu sosialisasi tentang skrining stunting khususnya pada balita untuk mencegah stunting
dan meningkatkanpengetahuan masyarakat khususnya orang tua yang memiliki anak balita
dengan memberikan edukasi tentang kebutuhan mulai dari masa kehamilan sampai anak

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6196

memasuki masa balita. Prevalensi gizi kurang secara langsung dapat disebabkan oleh asupan
gizi yang tidak memadai sesuai dengan kebutuhan tubuh serta adanya infeksi penyakit.
Asupan gizi secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, yang mencakup cara ibu
memberikan makanan, metode pengasuhan, perawatan kebersihan anak dan ibu, serta
bagaimana pemberian kasih sayang kepada anak (Asrar et al., 2009).
Menurut penelitian ini, keadaan tersebut disebabkan oleh konsumsi makanan yang belum
memenuhi syarat sebagai gizi seimbang, yang seharusnya mencakup makanan pokok seperti
karbohidrat, sayuran, protein nabati, protein hewani, dan buah-buahan. Selain itu, masih
belum terpenuhinya 4 prinsip gizi seimbang, yaitu kebiasaan mengonsumsi makanan
beragam, kurangnya kebersihan dalam pengolahan dan penyajian makanan yang mengurangi
minat anak untuk makan, kurangnya kebiasaan hidup aktif dan berolahraga, serta kurangnya
pemantauan berat badan setiap bulan di posyandu. Selain itu, kebiasaan ibu-ibu memberikan
jajan dan makanan tambahan lain membuat anak sudah merasa kenyang pada waktu
pemberian makan. Masyarakat, terutama para orang tua balita, diharapkan dapat lebih
memperhatikan asupan nutrisi bagi anak-anak mereka. Mereka perlu meningkatkan
kreativitas dalam mengolah bahan makanan sehingga makanan yang bergizi tidak selalu
harus mahal, dengan harga yang relatif murah, masih mungkin memenuhi kebutuhan gizi
keluarga, khususnya untuk ibu hamil dan balita. Di samping itu, petugas kesehatan juga perlu
meningkatkan edukasi mengenai variasi makanan dan melaksanakan pelatihan bagi kader
posyandu tentang pentingnya memperhatikan variasi makanan yang terjangkau secara
finansial namun tetap kaya akan nutrisi untuk balita, ibu hamil, dan bahkan bagi perempuan
usia subur yang sedang mempersiapkan kondisi gizi sebelum kehamilan.

Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Paga Kabupaten Sikka
Dari hasil penelitian, terdapat 97 responden yang menunjukkan bahwa 38 orang (39.2%)
mengalami stunting kategori sangat pendek seiring dengan riwayat penyakit infeksi, 51 orang
(52.6%) mengalami stunting kategori pendek dengan riwayat penyakit infeksi, dan 8 orang
(8.2%) mengalami stunting kategori pendek tanpa riwayat penyakit infeksi. Hasil analisis
statistik chi-square menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara riwayat penyakit
infeksi dan kejadian stunting.
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor langsung yang menyebabkan terjadinya
stunting. Hubungan antara penyakit infeksi dan asupan gizi merupakan keterkaitan yang
saling mempengaruhi. Balita sering mengalami berbagai jenis penyakit infeksi seperti
cacingan, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), diare, dan infeksi lainnya. Kejadian
penyakit infeksi ini sangat terkait dengan kualitas pelayanan kesehatan dasar, seperti status
imunisasi, kondisi lingkungan hidup, dan perilaku menjaga kesehatan (Latifa, 2018).
Adeladza (2010), menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara penyakit infeksi dan status
gizi. Penyakit infeksi yang dialami dapat menyebabkan penurunan asupan makanan.
Berkurangnya asupan makanan ini disebabkan oleh adanya tanda dan gejala penyakit infeksi,
seperti demam, muntah, bahkan diare yang berkepanjangan. Hal ini akan berdampak pada
defisiensi nutrisi, yang pada gilirannya dapat mengganggu pertumbuhan dan sistem
kekebalan tubuh anak.
Temuan dari penelitian ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Welasasih
(2012), dimana penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar kelompok balita
yang mengalami stunting sering kali menderita sakit, tercatat sebanyak 14 orang (53,8%).
Sementara itu, pada kelompok balita dengan pertumbuhan normal, sebagian besar dari
mereka jarang mengalami sakit, yakni sebanyak 21 orang (80,8%). Hasil uji chi-square
menunjukkan nilai p = 0,021 (p < α), yang mengindikasikan adanya hubungan yang
signifikan antara frekuensi sakit dengan status gizi balita yang mengalami stunting. Penelitian

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6197

serupa juga dilakukan oleh (Al-Anshori & Nuryanto, 2013) yang menyatakan bahwa anak-
anak dengan riwayat penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
memiliki risiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting (p=0,023) dibandingkan dengan
anak-anak yang tidak pernah mengalami penyakit infeksi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 30 balita (30.9%) memiliki berat
badan lahir kurang dari 2500 gram. Keadaan ini merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya stunting pada balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi. Temuan ini diperkuat
oleh penelitian (Rahayuh et al., 2016)), yang menyatakan bahwa balita yang pernah
mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki risiko 5,87 kali lebih tinggi untuk
mengalami stunting. Penelitian oleh (Szalatnay et al., 1925) juga mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan, dengan
risiko 5,6 kali lebih tinggi pada anak yang memiliki riwayat BBLR dibandingkan dengan
anak yang lahir dengan berat badan normal.
Menurut penelitian, sebagian besar dari responden, yaitu sejumlah 89 orang (91.8%),
memiliki riwayat penyakit infeksi. Infeksi saluran pernapasan akut menjadi penyakit infeksi
yang paling dominan dalam mempengaruhi kejadian stunting di Puskesmas Paga, tercatat
sebagai penyakit paling umum dalam daftar 10 besar penyakit sepanjang bulan Januari
hingga Desember 2022 dengan jumlah kasus mencapai 470. Infeksi ini dapat mempengaruhi
gangguan gizi melalui berbagai cara, termasuk pengaruh terhadap nafsu makan,
menyebabkan kehilangan nutrisi karena muntah atau diare, serta mempengaruhi metabolisme
makanan. Diharapkan kepada masyarakat, khususnya para orang tua balita, untuk
memberikan perhatian yang lebih terhadap kondisi kesehatan balita dengan menerapkan pola
pengasuhan yang baik, memberikan asupan nutrisi yang sesuai, dan menjaga sanitasi
lingkungan balita agar mereka tidak rentan terkena penyakit infeksi.

KESIMPULAN

Sebagian besar responden mempunyai riwayat asupan nutrisi tidak tepat, mengalami
penyakit infeksi dan sebagian besar balita stunting lebih banyak pada kategori pendek. Ada
hubungan asupan nutrisi dan riwayat penyakit infeksi dengan stunting pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Paga Kabupaten Sikka.

UCAPAN TERIMAKASI H

Peneliti menyampaikan terima kasih atas dukungan, inspirasi dan bantuan kepada semua
pihak dalam membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini,termasuk pada peserta yang
telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian hingga selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syafei, Afriyani, R., & Apriani. (2023). Hubungan Pola Asuh Pemberian Makan
Dengan Kejadian Stunting. Jurnal Kesehatan Dan Pembangunan, 13(25), 1–5.
https://doi.org/10.52047/jkp.v13i25.217
Adeladza, A. (2010). The influence of socio-economic and nutritional characteristics on child
growth in Kwale District of Kenya. African Journal of Food, Agriculture, Nutrition and
Development, 9(7), 1570–1590. https://doi.org/10.4314/ajfand.v9i7.47686
Al-Anshori, H., & Nuryanto, N. (2013). FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA
ANAK USIA 12-24 BULAN (Studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of
Nutrition College, 2(4), 675–681. https://doi.org/10.14710/jnc.v2i4.3830

Volume 5, Nomor 3, September 2024 ISSN : 2774-5848 (Online)
ISSN : 2777-0524 (Cetak)

JURNAL KESEHATAN TAM BUSAI 6198

Anggraini, Y., & Romadona, N. F. (2020). Review of Stunting in Indonesia. 454(Ecep 2019),
281–284. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200808.055
Asiah, A., Yogisutanti, G., & Purnawan, A. I. (2020). Asupan Mikronutrien Dan Riwayat
Penyakit Infeksi Pada Balita Stunting Di Uptd Puskesmas Limbangan Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Journal of Nutrition College, 9(1), 6–11.
https://doi.org/10.14710/jnc.v9i1.24647
Asrar, M., Hadi, H., & Boediman, D. (2009). Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi dan
Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita. In Jurnal Gizi Klinik Indonesia (Vol. 6,
Issue 2, pp. 84–94).
Dewi, I. A., & Adhi, K. T. (2014). Pengaruh Konsumsi Protein Dan Seng Serta Riwayat
Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Pendek Pada Anak Balita Umur 24-59 Bulan Di
Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida Iii. Gizi Indonesia, 37(2), 36–46.
https://doi.org/10.36457/gizindo.v37i2.161
Fitri, L., Ritawani, E., Mentiana, Y., Kebidanan, A., & Pekanbaru, H. (2020). Jurnal
Endurance : Kajian Ilmiah Problema Kesehatan hubungan asupan energi dengan kejadian
stunting pada balita usia 2-5 tahun kota Pekambaru. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah
Problema Kesehatan, 5(3), 591–597. http://doi.org/10.22216/jen.v5i3.5334
Gaspersz, E., Picauly, I., & Sinaga, M. (2020). Hubungan Faktor Pola Konsumsi, Riwayat
Penyakit Infeksi, Dan Personal Hygiene Dengan Status Gizi Ibu Hamil Di Wilayah
Lokus Stunting Kabupaten Timur Teng`Ah Utara. Jurnal Pangan Gizi Dan Kesehatan,
9(2), 1081–1090. https://doi.org/10.51556/ejpazih.v9i2.77
Laili, A. N., Munawir, A., & Ningtyias, F. W. (2021). The Influence of Parenting Patterns on
Stunting Incidences in Toddlers (Study in the Work Area of Sumberjambe Health
Center, Kasiyan Health Center and Sumberbaru Health Center Jember Regency). Journal
for Quality in Public Health, 5(1), 256–260. https://doi.org/10.30994/jqph.v5i1.239
Latifa, S. N. (2018). Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia. Jurnal Kebijakan
Pembangunan, 13(2), 173–179.
Lusiani, V. H., & Anggraeni, A. D. (2021). Hubungan Frekuensi Dan Durasi Penyakit Infeksi
Dengan Kejadian Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Kabupaten Banyumas.
Journal of Nursing Practice and Education , 2(1), 1–13.
https://doi.org/10.34305/jnpe.v2i1.374
Pujiati W., Nirnasari M., R. (2021). Pola Pemberian Makan Dengan Kejadian Stunting Pada
Anak Umur 1 –36 Bulan. Menara Medika , 4(1), 1–8.
jurnal.umsb.ac.id/index.php/menaramedika/article/view/2803/2191
Rahayuh, A., Yulidasari, F., Putri Oktaviana, A., Rahma, F., & Rosadi, D. (2016). Faktor
Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian PendekPada Anak Usia 6-24 Bulan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 11(1), 96.
Sahitarani, A. S., Paramashanti, B. A., & Sulistiyawati, S. (2020). Kaitan Stunting Dengan
Frekuensi Dan Durasi Penyakit Infeksi Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di Kecamatan
Sedayu, Kabupaten Bantul. Journal of Nutrition College, 9(3), 202–207.
https://doi.org/10.14710/jnc.v9i3.26952
Sumardilah, D. S., & Rahmadi, A. (2019). Risiko Stunting Anak Baduta (7-24 bulan). Jurnal
Kesehatan, 10(1), 93. https://doi.org/10.26630/jk.v10i1.1245
Sutriyawan, A., Kurniawati, R. D., Rahayu, S., & Habibi, J. (2020). Hubungan Status
Imunisasi Dan Riwayat Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita: Studi
Retrospektif. Journal Of Midwifery, 8(2), 1–9. https://doi.org/10.37676/jm.v8i2.1197
Szalatnay, R. D., Nurdiati, D. S., & Huriyati, E. (1925). The cock and the hen. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia, 11(1), 31–37. https://jurnal.ugm.ac.id/jgki/article/view/18881/12191