Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
174
PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN PADI BERBASIS
KORPORASI PETANI DI JAWA TENGAH
(Suatu Pemikiran Untuk Dipertimbangkan)
Teguh Prasetyo dan Cahyati Setiani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Soekarno-Hatta Km.26 No.10, Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Email: [email protected]
ABSTRACT
The narrow area of paddy farmland which is controlled by farmers, especially in Java, will be
difficult to obtain a level of business efficiency, so will also be difficult to achieve the level of
effectiveness in resource utilization, while in terms of quality standardization, there is a risk of non-
uniformity in yield quality. This will affect the costs and profits of farming, so that the income earned
is less optimal. Various studies show that the income derived from small-scale farming is considered
not feasible, so it is unable to meet the needs of farmers' household lives. An example is a rice farmer
who controls an area of 0.26 Ha, the average income earned per period of the growing season is IDR
5,420,376.00. If each planting season period is four months, the average farmer's income is only Rp
1,355,094.00 / month. To improve farming efficiency and farmers' welfare, various efforts have been
widely tested and applied, for example the development of Village Cooperative Units (KUD),
development of agricultural business areas, development of Agropolitan areas, Primatani, Rice
Production Increase Movement through Corporations (GP3K) and Corporate Farming (CF). In 2000,
the CF approach was applied in various districts - provinces in Indonesia, which is an approach to
agricultural development in which farmers had to hand over their land management and agricultural
business to the management agency unit. In the implementation it seems that it has not been as
expected, especially in terms of land consolidation and marketing of results, so most of it has returned
to its original condition. At present there seems to be a need to develop a concept of developing a
farmer-based farming area. Based on empirical experience in agricultural development through the
CF approach, the author tries to pour thoughts based on experience and knowledge to consider its
application, one of which is to consistently implement the empowerment of HR and institutional
farmers as well as increase the activities of farmers to carry out the business of processing rice into
broken-skin rice. corporation.
Keywords: region, agriculture, rice, corporation, empowerment
ABSTRAK
Sempitnya luas lahan pertanian padi yang dikuasai oleh petani, terutama di Jawa akan sulit
memperoleh tingkat efisiensi usaha, demikian juga akan sulit mencapai tingkat efektivitas dalam
pemanfaatan sumberdaya, sedangkan dari sisi standartdisasi mutu, mengandung risiko ketidak
seragaman mutu hasil. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan keuntungan usahatani, sehingga
pendapatan yang diperoleh relaitf kurang optimal. Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa
pendapatan yang diperoleh dari usahatani skala kecil dinilai belum layak, sehingga tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga petani. Sebagai contoh adalah petani padi yang
menguasai lahan seluas 0,26 Ha, rata-rata pendapatan yang diperoleh per periode musim tanam
adalah sebesar Rp 5.420.376,00. Apabila setiap periode musim tanam adalah empat bulan, maka
pendapatan petani rata-rata hanya Rp 1.355.094,00/bulan. Untuk meningkatkan efisiensi usahatani
dan kesejahteraan petani, berbagai upaya sudah pernah diuji coba dan diterapkan secara luas, sebagai
contoh adalah pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD), pengembangan kawasan usaha pertanian,
pengembangan kawasan Agropolitan, Primatani, Gerakan Peningkatan Produksi Padi melalui
Korporasi (GP3K), dan Corporate Farming (CF). Pada tahun 2000, pendekatan CF pernah diterapkan
di berbagai kabupaten - provinsi di Indonesia yaitu suatu pendekatan pengembangan pertanian
dimana para petani sehamparan menyerahkan pengelolaan lahan dan usaha pertaniannya
kepada satuan lembaga manajemen. Dalam implementasi tampaknya belum seperti yang
diharapkan terutama dalam hal konsolidasi lahan dan pemasaran hasil, sehingga sebagian besar
kembali kepada kondisi semula. Saat ini tampaknya ada pemikiran perlunya untuk dikembangkan

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
175
kembali konsep pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani. Berdasarkan atas
pengalaman empiris dalam pengembangan pertanian melalui pendekatan CF, penulis mencoba
menuangkan pemikiran yang didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan untuk dipertimbangkan
penerapannya, salah satunya adalah mengimplementasikan pemberdayaan SDM dan kelembagaan
petani secara konsisten serta menambah aktivitas petani untuk melakukan usaha prosesing padi
menjadi beras pecah kulit secara korporasi.
Kata kunci : kawasan, pertanian, padi, korporasi, pemberdayaan
PENDAHULUAN
Kondisi ketersediaan pangan dunia pada tahun-tahun mendatang akan menghadapi
tantangan, terutama terkait dengan (1) kebutuhan pangan bagi penduduk yang senantiasa terus
bertambah, (2) diversifikasi pemanfaatan bahan pangan ke bio-energi serta (3) perubahan
iklim (climate change) yang sedang terjadi beberapa tahun terakhir di beberapa negara, dan
(4) terjadinya konversi dan degradasi lahan . Menghadapi berbagai perkembangan tersebut,
terbuka peluang untuk terus berupaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada
untuk pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri agar dapat berdaulat (Muhammad,2013).
Pembangunan pertanian padi di Indonesia ke depan tidak akan terlepas dengan tantangan
tersebut, walaupun demikian Indonesia terus berupaya meningkatkan produksi guna
menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan asal beras yang cukup, mutu yang layak,
aman, dan halal serta dapat mewujudkan kesejahteraan melalui pendapatan yang diterima oleh
para pelakunya (Yusuf, 2013).
Upaya pemerintah, petani, pengusaha pertanian, dan masyarakat umum untuk
mengatasi segala tantangan yang terkait dengan padi adalah membangun sistem pertanian
yang dapat meningkatkan produksi serta memperbaiki kualitas produksi agar mampu bersaing
di pasar dalam dan luar negeri. Untuk mencapai hasil yang sesuai dengan harapan, salah satu
yang perlu ditempuh adalah melakukan berbagai inovasi, paling tidak inovasi teknologi,
kelembagaan maupun manajemen yang sesuai dengan peruntukannya. Untuk itu kebersamaan
dalam berinovasi haruslah dibangun, sehingga terjadi usaha pertanian pangan berskala besar
(economic of scale). Harapan ini akan sulit terwujud apabila pelaku utama produsen padi yaitu
petani dan pengusaha pertanian bekerja secara sendiri-sendiri. Untuk itu disarankan agar
petani-petani padi di Indonesia akan lebih berhasil apabila melakukan kerjasama atau
berkorporasi. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kerjasama yang seperti apa agar mereka
dapat meningkat kesejahteraannya yang diukur dari tingkat pendapatan.
Salah satu kebijakan Kementerian Pertanian periode 2015-2019 adalah memperkuat
ketahanan pangan nasional. Program strategis yang terkait dengan penguatan ketahanan
pangan salah satunya adalah upaya khusus (UPSUS) peningkatan produksi padi yang
ditujukan untuk pencapaian swasembada beras berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2015).
Di berbagai daerah seperti di Jawa, telah diketahui bahwa komoditas padi banyak diusahakan
oleh petani kecil. Agar usahatani padi menjadi lebih efisien, salah satu strategi yang ditempuh
adalah melalui pengembangan kawasan pertanian dengan pendekatan keterpaduan sistem
antara sisi penyediaan dan sisi kebutuhan. Artinya bahwa pengembangan kawasan pertanian
adalah merupakan satu kesatuan sistem yang terpadu mulai dari pengadaan input produksi
usahatani sampai dengan pemasaran hasil produk-produk pertanian ke tangan konsumen akhir
(Kementerian Pertanian, 2014).
Ada lima syarat yang perlu dipenuhi agar terjadi hal yang demikian yaitu : (1) adanya
pasar untuk hasil-hasil pertanian (2) teknologi yang terus berkembang (3) tersedianya sarana
dan alat-alat produksi secara lokal (pasar input), (4) adanya nilai tambah produksi bagi
pelaku, baik secara individu maupun kelembagaan, dan (5) tersedianya transportasi yang
lancar (Mubyarto, 2002). Dalam pengembangan kawasan pertanian berbagai korelasi akan
terjadi antar berbagai variabel tersebut. Agar program pengembangan kawasan pertanian
dapat dijalankan, maka diperlukan kegiatan yang aplikatif di tingkat lapangan, intinya adalah
menumbuhkembangkan kawasan pertanian berbasis komoditas padi dari hulu sampai hilir

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
176
dengan menerapkan berbagai inovasi pertanian lokal spesifik serta pemberdayaan SDM dan
kelembagaan ekonomi petani.
Pemerintahan periode 2015 - 2019 dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian telah
menetapkan program strategis diantaranya adalah pencapaian swasembada berkelanjutan
pada komoditas padi. Salah satu provinsi yang mempunyai kontribusi besar dalam pencapaian
swasembada padi adalah Provinsi Jawa Tengah, karena merupakan sentra produksi padi. Luas
tanam padi di Jawa Tengah pada tahun 2017 mencapai 2.128.789 ha, sedangkan luas panen
mencapai 2.025.856 ha, dengan produksi sekitar 11,42 juta ton, hal ini tentu membutuhkan
benih dan tenaga kerja banyak (Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi adalah suatu pengelolaan
pembangunan wilayah sentra-sentra produksi dalam skala ekonomi serta terkait secara
fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya, faktor produksi dan
keberadaan infrastruktur penunjang (Kementerian Pertanian 2018). Tujuan utamanya adalah
meningkatkan kesejahteraan petani dan produksi serta nilai tambah dan daya saing wilayah
untuk keberlanjutan usahatani, dalam hal ini adalah komoditas padi. Pengembangan kawasan
pertanian dimaksudkan untuk (1) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan jasa
penunjang; (2) Menjamin keberlanjutan kegiatan pra-produksi, proses produksi, pasca
produksi dalam sistem agribisnis. Kegiatan yang perlu dilakukan terkait dengan komoditas
padi antara lain adalah memperkuat sistem usahatani secara utuh dalam satu manajemen
kawasan yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadahi
seperti penyediaan air, penyediaan benih sumber padi dan jasa alsintan, serta pemasaran hasil
secara optimal.
Terkait dengan hal-hal di atas perlu juga dilakukan pemberdayaan SDM petani dan
kelembagaan petani dalam mengakses informasi, teknologi, prasarana dan sarana publik,
permodalan serta pengolahan hasil dan pemasaran. Artinya bahwa kegiatan yang dilakukan
pada sistem produksi padi merupakan satu kesatuan sistem yang terkait mulai dari pengadaan
input, usahatani, pasca panen, prosesing, serta pemasaran produk-produk yang dihasilkan
sampai ke konsumen akhir secara berkelanjutan (Asngari, 2001). Pengembangan akan
memanfaatkan kemampuan yang berbasis pada sumberdaya lokal, sehingga input luar dapat
diminimalkan. Kegiatan juga mendayagunakan iptek dalam seluruh aspek demi peningkatan
efisiensi produksi, keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi,
integrasi dan pengambangan iptek (Aristo, 2004; Solihin, 2006).
SISTEM PRODUKSI PERTANIAN PADI BERBASIS KAWASAN
Tidak berkembangnya suatu wilayah pertanian biasanya disebabkan rendahnya
aktivitas produksi (barang dan jasa) dan terbatasnya infrastruktur. Kondisi yang menjadi
faktor penghambat adalah masih lemahnya struktur ekonomi, keterbatasan akses ke
pemasaran hasil dan sumber modal bagi petani dan pelaku usaha pertanian, disparitas antar
wilayah yang tidak seimbang, petani berskala gurem dan miskin, serta sarana dan prasarana
yang kurang mendukung, konversi lahan, dan euforia penyelenggaraan otonomi daerah yang
bersifat kontra produktif. Pada komoditas padi tantangan yang dihadapi antara lain adalah
tejadinya alih fungsi lahan, terbatasnya penyediaan benih secara tepat spesifik lokasi,
penguasaan teknologi usahatani dan ketrampilan petani belum optimal, adanya
ketergantungan terhadap pasar input dan output, keterbatasan petani terhadap akses
permodalan, dan pemilikan aset yang rendah. Hal tersebut mengakibatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani belum memadahi. Masalah-masalah tersebut menyebabkan upaya
peningkatan efisiensi melalui pencapaian skala usaha ekonomis (economic of scale) sulit
dicapai (Prasetyo, 2018). Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan atau tantangan yang
disebutkan di atas adalah pengembangan kawasan pertanian (Kementerian Pertanian, 2014).
Pada 2018, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian
No.18/PERMENTAN/RC.040/4/2018 Tentang : Pedoman Pengembangan Kawasan
Pertanian Berbasis Korporasi Petani. Dalam Permentan tersebut yang dimaksud dengan
kawasan pertanian adalah gabungan dari sentra-sentra pertanian yang memenuhi batas

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
177
minimal skala ekonomi pengusahaan dan efektivitas manajemen pembangunan wilayah
secara berkelanjutan serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam,
kondisi sosial budaya, faktor produksi dan keberadaan infrastruktur penunjang (Kementerian
Pertanian, 2018).Peraturan Menteri Pertanian No.18/PERMENTAN/RC.040/4/2018,
tentunya dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam pengembangan sistem pertanian
padi, sehingga dapat secara utuh mulai dari hulu sampai hilir.
Pengembangan kawasan pertanian dimaksudkan untuk (1) Meningkatkan efektifitas
dan efisiensi pelayanan jasa penunjang; (2) Menjamin keberlanjutan kegiatan pra-produksi,
proses produksi, pasca produksi dalam sistem agribisnis. Kegiatan yang perlu dilakukan
terkait dengan komoditas padi antara lain adalah memperkuat sistem usaha tani secara utuh
dalam satu manajemen kawasan yang didukung oleh ketersediaan prasarana seperti
penyediaan air, dan sarana pertanian seperti penyediaan benih sumber, jasa alsintan secara
optimal. Selain itu perlu juga dilakukan pemberdayaan kelembagaan petani yang berorientasi
ekonomi serta pemasaran hasil yang memadahi (Setiani, 2018).
Pendekatan yang dilakukan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi
petani pada komoditas padi adalah (1) Pendekatan wilayah ; (2) Pendekatan kesisteman (hulu-
on farm - hilir off farm), penunjang dalam sistem agribisnis padi; (3) Pendekatan
pemberdayaan petani dan kelembagaan ekonomi petani; (4) Pendekatan perencanaan
partisipatif. Yang dimaksud dengan pendekatan wilayah adalah gabungan dari sentra‐sentra
pertanian yang terkait secara fungsional baik dalam faktor sumber daya alam, agroekosistem,
sosial budaya, maupun infrastruktur, sedemikian rupa sehingga memenuhi batasan luasan
minimal skala ekonomi dan efektivitas manajemen pembangunan wilayah. Pendekatan
kesisteman adalah keterpaduan usahatani padi mulai dari industri hulu-hilir dalam suatu
sistem agribisnis. Artinya bahwa kegiatan yang akan dilakukan merupakan satu kesatuan
sistem yang terkait mulai dari pengadaan input, usahatani, pasca panen dan prosesing yang
mengacu pada sistem produksi padi dan sapi potong berkelanjutan, serta kegiatan pemasaran
produk-produk yang dihasilkan sampai ke konsumen akhir.
Pendekatan pemberdayaan SDM dan kelembagaan petani adalah dengan
memberdayakan masyarakat petani melalui pendidikan, pelatihan dalam mendapatkan akses
informasi, teknologi, prasarana dan sarana publik, permodalan serta pengolahan dan
pemasaran hasil. Pemberdayaan petani dan kelembagaan dimaksudkan agar mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi secara terus-menerus, bukan hanya perubahan
teknologi baru yang sesuai, namun juga perlu ada inovasi kelembagaan ekonomi petani.
Pendekatan perencanaan partisipatif (participatory planning) adalah bahwa masyarakat atau
petani/pengusaha pertanian dianggap sebagai mitra dalam perencanaan yang turut berperan
serta secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi rencana, walau
bagaimanapun masyarakat atau petani dan pengusaha pertanian merupakan stakeholder
terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.
Intisari dalam pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi padi dan sapi
potong adalah "berkelanjutan" yaitu dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri,
mantab secara ekologis, dan berlanjut secara ekonomis. Pengembangan akan memanfaatkan
kemampuan yang berbasis pada sumberdaya lokal, sehingga input luar dapat diminimalkan.
Memanfaatkan iptek dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi, keragaman
dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi, integrasi dan pengambangan
iptek.
PENGALAMAN PENERAPAN SISTEM USAHA PERTANIAN PADI MELALUI
PENDEKATAN CORPORATE FARMING
Kementerian pertanian pada tahun 2000 an pernah melakukan uji coba pengembangan
pertanian yang mengacu pada konsep Corporate Farming (CF). Corporate Farming (CF)
atau pertanian korporasi dapat diartikan sebagai suatu usaha bidang pertanian yang berbadan
hukum, dimana pemegang saham utamanya adalah para petani yang menyerahkan

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
178
pengelolaan lahan dan usaha pertaniannya (misalnya usahatani padi, jagung, dan tebu) atau
ternak (sapi potong) kepada satuan lembaga manajemen. Salah satu syarat utama dalam
pengembangan CF adalah dilaksanakannya konsolidasi lahan milik petani dan konsolidasi
usaha pertanian dalam satu kesatuan fungsi manajemen kelembagaan (Sipayung, 2000;
Prasetyo dan Pramono, 2001). Gagasan pengembangan CF didasarkan atas pertimbangan
bahwa pembangunan pertanian selama ini masih mengutamakan pengelolaan secara individu,
karena aset yang dikuasai petani terutama lahan relatif sempit, sehingga dinilai kurang efisien
(Badan Litbang Pertanian, 2000). Tujuan utamanya adalah meningkatkan efisiensi usaha,
meningkatkan pendapatan petani, dan mengembangkan lapangan pekerjaan di perdesaan.
Untuk itu maka petani sebagai pemilik lahan menyerahkan pengelolaannya kepada lembaga
(Departemen Pertanian, 2000). Dengan menelaah arti CF maka ada dua kata kunci penting
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu konsolidasi lahan dan manajemen usaha
pertanian.
Konsolidasi manajemen dapat didefinisikan bahwa kegiatan atau aktivitas usahatani
yang selama ini dilakukan oleh para petani yang bertindak sebagai manajer digantikan oleh
lembaga korporasi yang berbadan hukum. Artinya bahwa proses pengambilan keputusan
dalam mengoperasionalkan faktor-faktor produksi dalam usahatani dilakukan oleh suatu
lembaga yang disebut CF (Kirk, 2000; Gillinson, 2004). Manajemen usaha dilakukan oleh
satu tim yang terorganisasi secara profesional dan legitimate serta menerapkan fungsi-fungsi
manajemen usahatani, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, koordinasi, dan
pengawasan atau evaluasi (planning, organizing, actuating, coordinating, dan controlling)
(Syarief, 2000). Dalam CF konsolidasi manajemen diperlukan untuk memperoleh kepastian
atau standart yang baku dalam proses bisnis pertanian, baik dalam arti produksi, keuangan,
pemasaran dan sumberdaya manusia (SDM).
Konsolidasi lahan dan manajemen CF didasarkan atas teori ekonomi yang menekankan
pada pencapaian efisiensi melalui produksi dalam skala besar, namun tetap dalam ukuran
skala optimal yaitu dalam skala ekonomi (economic of scale). Skala ekonomi yang ditekankan
pada CF adalah (a) penggunaan tenaga kerja yang memungkinkan pembagian spesialisasi
pekerjaan misalnya tenaga kerja olah tanah, regu tanam, dan regu panen; (b) Penggunaan alat
dan mesin pertanian, misalnya alat olah tanah, mesin penyiangan, dan alat panen serta (c)
adanya potongan harga sarana produksi terutama pupuk dan benih apabila membeli dalam
jumlah besar. Yang tidak kalah pentingnya dalam konsolidasi lahan dan manajemen adalah
kemudahan pembagian air serta penerapan teknologi sesuai dengan peruntukannya.
Penentuan skala ekonomi adalah hal penting dalam CF, karena inovasi dan teknologi
dapat diterapkan secara serentak dalam satu hamparan, sehingga volume dan kualitas produksi
relatif tidak berbeda antar individu petani. Ketidak seragaman mutu hasil sering dihadapi oleh
petani sehingga produk yang dihasilkan sulit diterima oleh konsumen. Kondisi ini sering
terjadi pada petani jagung, walaupun lokasi usahatani mereka dalam satu hamparan, namun
kadar air jagung yang dihasilkan berbeda-beda, karena penanganan pasca panen dilakukan
secara sendiri-sendiri (Najib, 1994). Hal ini tidak akan terjadi apabila dikelola secara
korporasi karena penerapan teknologi dapat dikontrol oleh lembaga CF. Dengan demikian CF
juga dapat dikatakan suatu bentuk kerjasama ekonomi oleh sekelompok petani sehamparan
lahan untuk tujuan agar diperoleh hasil yang dapat memenuhi standart mutu sesuai dengan
permintaan konsumen.
Corporate Farming yang pernah dikembangkan di Jawa Tengah tersebar di beberapa
kabupaten diantaranya adalah di Kabupaten Grobogan, Pati, Sragen, Demak, Sukoharjo,
Karanganyar dan lain-lain. Namun yang digunakan sebagai lokasi pilot proyek pertama atau
uji coba secara lengkap adalah di Kabupaten Grobogan, sedangkan di kabupaten lain sering
disebut sebagai pra CF, karena tidak selengkap CF yang dibangun di Kabupaten Grobogan.
Penerapan konsep CF mengacu pada pendekatan sistem agribisnis yaitu adanya keterkaitan
antara on farm, off farm, dan non farm. Pendekatan ini ditandai dengan usaha pertanian yang
dikembangkan di lokasi CF, yang meliputi (1) usahatani padi, jagung, dan sapi potong (on
farm); (2) usaha penggilingan padi (rice mill), jasa tresher, usaha jasa hand tractor, kandang
sapi komunal, pengadaan pakan sapi (off-farm); (3) usaha simpan pinjam (non farm). Usaha

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
179
yang dikembangkan mengacu pada konsep sistem integrasi antara tanaman pangan (padi-
jagung) dan ternak (sapi potong) yaitu bentuk pertanian mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lahan, iklim, air, tanaman, hewan, dan manajemen dalam suatu sistem produksi.
Usaha tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk dengan nama kelembagaan CF
yang diberi nama "CF Bersemi". Cikal bakal kelembagaan CF adalah bergabungnya
kelompok tani (Poktan) yang ada di dua desa tersebut. Ada 11 kelompok tani yang dibentuk
secara normatif melalui proses sosialisasi dan pembahasan dengan para perwakilan kelompok
tani, tujuh diantaranya menyatakan bergabung dengan kelembagaan CF dengan jumlah
anggota sebanyak 454 orang dan menguasai lahan seluas 106,2 ha. Struktur organisasi atau
susunan pengurus dalam lembaga CF dan aturan main dalam bentuk anggaran dasar dan
rumah tangga (AD/ART) telah disusun dan disyahkan/disepakati oleh perwakilan Poktan.
Kelembagaan CF berlokasi di Desa Pilangpayung dan Sugihan, Kecamatan Toroh,
Kabupaten Grobogan. Lokasi dua desa tersebut berdampingan dimana lahan sawah yang
dimiliki oleh para petani terletak dalam satu hamparan dan dalam satu-kesatuan fungsi
pengairan.
Tabel 1.
Kegiatan usahatani padi (on farm dan off farm) yang telah disepakati dilaksanakan secara
bersama dan individu di lokasi kegiatan CF
No Dilaksanakan bersama-sama Dilaksanakan secara individu
1 Penerapan teknologi budidaya Penguasaan lahan
2 Pengadaan sarana produksi Pesemaian
3 Jasa alsintan Pemupukan
4 Pengairan Penyiangan (beregu)
5 Pengolahan Tanah Panen
6 Tanam (beregu) Prosesing
7 Pengendalian hama terpadu Pemasaran
Dian Maharso (2003)

PENDEKATAN HULU -HILIR DALAM SISTEM AGRIBISNIS PADI
Tinjauan tentang faktor – faktor produksi dalam usahatani yang telah diuraikan di atas
masih pada tingkat masukan dalam usahatani (on farm), sedangkan masalah penanganan
pasca panen dan pemasaranan hasil produksi merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam
bisnis pertanian. Berkaitan dengan hal itu pemerintah telah menempuh kebijaksanaan dalam
pembangunan pertanian yaitu dengan pendekatan sistem agribisnis. Sebagai paradigma
pembangunan pertanian, agribisnis haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang
terpadu mulai dari pengadaan input usahatani sampai dengan distribusi produk-produk
pertanian ke tangan konsumen akhir (Arifin, 2005). Ada lima syarat yang perlu dipenuhi agar
terjadi sistem agribisnis yaitu : (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani (2) teknologi yang
terus berkembang (3) tersedianya sarana dan alat-alat produksi secara lokal, (4) adanya nilai
tambah produksi bagi pelaku, dan (5) tersedianya transportasi yang lancar.
Konsepsi dasar pengembangan agribisnis di suatu daerah tidak lepas dari potensi lokal
yang mampu bersaing dalam tingkat regional (Najib, 1994). Oleh karena agroindustri
merupakan subsistem penggerak agribisnis, maka data aglomerasi agribisnis sebaiknya
diambil dari kegiatan sub sektor hilir atau down stream (agroindustri). Walaupun konsep
agribisnis telah dipahami dan dilaksanakan oleh berbagai stakeholders namun kegiatannya
masih secara parsial dan secara agregat belum sepenuhnya ada senergisme antar kegiatan yang
dapat membentuk sistem agribisnis secara utuh. Antar pelaku belum terpadu, bahkan kadang-
kadang saling mengeksploitasi (Prasetyo dan Setiani, 2002). Dampak yang ditimbulkan
adalah adanya ketidakadilan di antara pelaku, karena ada salah satu atau beberapa pihak yang
merasa tertindas terutama yang bergerak di sektor usahatani. Faktor utamanya adalah
keterbatasan dalam mendapatkan akses terhadap input sarana produksi (pasar input) dan

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
180
pemasaran hasil (pasar output).
Menurut Downey dan Erickson (1989), pemasaran dapat diartikan sebagai telaah
terhadap aliran produk secara fisik dan ekonomik dari produsen melalui pedagang perantara
ke konsumen. Pemasaran pertanian dapat didefinisikan sebagai segala aktivitas usaha yang
dapat memenuhi kebutuhan barang atau jasa yang diinginkan oleh konsumen. Berkaitan
dengan hal di atas maka kegiatan pemasaran (input dan output) memerlukan strategi,
manajemen, penetapan harga, dan distribusi barang/jasa. Kegiatan tersebut akan
menimbulkan pertukaran sehingga akan dapat memenuhi kebutuhan individu petani atau
organisasi kelompok. Pengertian pemasaran sangat terkait dengan usaha untuk menyediakan
barang atau jasa dan menyampaikannya dengan tepat kepada orang-orang yang
membutuhkan. Penetapan waktu, tempat, dan harga merupakan satu kesatuan dalam kegiatan
pemasaran.
Telah disebutkan di atas bahwa salah satu prasyarat mutlak dalam pengembangan
agribisnis adalah teknologi yang senantiasa berkembang. Teknologi yang dikembangkan tidak
hanya terfokus pada teknologi budidaya, tetapi juga teknologi untuk perbaikan sarana dan
prasaran produksi pertanian, pengolahan hasil dan transportasi hasil pertanian menjadi satu
kesatuan yang utuh dan seirama untuk dikembangkan. Telah disinggung bahwa sumberdaya
manusia juga harus ditingkatkan kemampuan berpikirnya, utamanya dalam hal manajemen,
oleh karena itu kemampuan manajerial bagi setiap pelaku agribisnis perlu ditingkatkan agar
terjadi kesetaraan.
Peranan kelembagaan juga penting dalam mengimplementasikan sistem agribisnis,
karena konteks kelembagaan akan menyangkut organisasi dan aturan-aturan main yang harus
disepakati bahkan menyangkut etika. Inovasi kelembagaan akan bersinggungan dengan aspek
sosial dan budaya berbisnis. Dalam inovasi kelembagaan tentunya perlu dikaitkan dengan
setiap simpul agribisnis yang meliputi kelembagaan sarana dan prasarana produksi, usahatani
(on farm), pascapanen dan pengolahan hasil, serta pemasaran. Kelembagaan penunjang
seperti informasi, sumber modal, forum komunikasi dan lain-lain juga diperlukan inovasi
(Soekartawi, 1993). Dalam konteks ini tampak bahwa inovasi kelembagaan sangatlah
strategis dalam pengembangan agribisnis.
Salah satu upaya yang perlu ditempuh agar sistem agribisnis dapat berkembang secara
berkelanjutan adalah adanya kerjasama yang sinergis antara pasar input dan out put. Pasar
input adalah yang terkait dengan bahan atau sarana produksi yang digunakan untuk
menghasilkan barang, sedangkan pasar out put adalah hal – hal yang terkait dengan pemasaran
produk yang dihasilkan. Hasil usaha di lahan sawah intensif yang berupa produksi bahan baku
maupun olahan dapat dipasarkan sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu kelembagaan
petani yang telah dibangun perlu terus menjalin jejaring kerjasama dalam skala yang lebih
luas.
PEMBERDAYAAN GAPOKTAN DAN KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI
PADI
Salah satu tujuan utama dibentuknya kelembagaan petani terutama Kelompok Tani atau
Gapoktan adalah sebagai tempat atau wahana pembelajaran, komunikasi, tukar informasi, dan
bertemunya para petani dalam mengembangkan teknologi dalam sistem agribisnis. Selain itu
juga dimaksudkan agar berbagai program bantuan dan subsidi pemerintah bagi petani dapat
dijalankan melalui organisasi petani. Dari substansinya tampak bahwa orientasi pembentukan
Kelompok Tani dan Gapoktan bukan suatu kelembagaan yang berorientasi pada keuntungan
atau berorienatsi ekonomi. Namun demikian, setelah disyahkannya UU No19/ 2013 tentang
perlindungan dan pemberdayaan petani, maka kedudukan petani tampaknya dapat lebih
berdaya, berpeluang dapat dikembangkan untuk menjadi kelembagaan ekonomi. Di Jawa
Tengah UU ini digunakan sebagai dasar terbitnya PERDA Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
NO 5 TAHUN 2016 dan PERGUB Jawa Tengah NO 16 TAHUN 2018, tentang implementasi
daripada pemberdayaan petani.

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
181
Pemberdayaan (empowerment) adalah suatu upaya untuk membangun daya yang
dimiliki masyarakat dengan mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimiliki, serta untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan
mempunyai makna untuk membebaskan seseorang dari kendali yang kaku, dan memberi
orang kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya dan
tindakan-tindakanya (Syahyuti, 2014). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa
pemberdayaan adalah pemberian power kepada pihak yang selama ini dinilai lemah atau
dilemahkan, baik secara politik, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks petani dapat diartikan
bahwa pemberdayaan adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani dalam
melaksanakan usahatani yang lebih baik, yang dapat diiyakini bahwa petani akan meningkat
kapasitas individual, organisasinya, jaringannya, dan modal sosialnya (Prasetyo, 2018).
Intinya adalah perlunya dilakukan penguatan pengetahuan petani, menumbuhkan partisipasi
petani dalam pengembangan sistem sarana dan prasarana pertanian, serta peningkatan akses
(Vanni, 2014).
Terkait dengan kelembagaan petani, maka sudah saatnya bahwa Kelompok Tani dan
atau Gapoktan jangan hanya sebagai penerima bantuan, subsidi, dan menjalankan program
pemerintah, namun sudah saatnya berorietasi kepada keuntungan. Oleh karena itu
kelembagaan petani harus berbadan hukum, dapat berbentuk koperasi, Perseroan Terbatas
(PT), Usaha Dagang atau yang lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh North, 1990 ; Ekepu
et al, (2017), bahwa kelembagaan adalah aturan yang membatasi perilaku menyimpang
manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. Sistem aturan,
keyakinan, norma, dan organisasi yang secara bersama sama menyebabkan suatu keteraturan
dalam perilaku masyarakat (Greif, 1998; Wang et al., 2014).
Dasar teori dan implementasinya seperti yang diuraikan di atas dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam pemberdayaan kelembagaan petani pada pengembangan kawasan
pertanian padi berbasis korporasi. Oleh karena itu pengelolaan kelembagaan ekonomi petani
diharapkan mempunyai otoritas yang mandiri sebagai lembaga jasa bisnis yang berorientasi
pada keuntuntungan (profit oriented). Kelembagaan ekonomi petani, harus selalu didorong
untuk menjadi pelaku utama dalam usaha memperoleh akses ke kegiatan ekonomi (Setiani,
2018). Pengelolaannya kalau memungkinkan bukanlah pengurus Poktan/Gapoktan, karena
tidak mempunyai dasar hukum sebagai organisasi usaha. Pada pertengahan 2018 Kementerian
Pertanian mendorong kembali agar komoditas padi dapat dikembangkan dalam kawasan
pertanian berbasis korporasi petani. Arti korporasi petani adalah suatu kelembagaan ekonomi
petani (KEP) berbadan hukum, dapat lembaga koperasi maupun badan hukum lain seperti
Badan Usaha Milik Petani (BUMP) berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Comanditer
Vennotscap (CV) atau Usaha Dagang (UD) ataupun yang lainnya sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Sebagian besar modal daripada KEP adalah milik petani, adapun sumber modal
dapat diperoleh dari modal sendiri, lembaga keuangan (pinjam/kredit) atau hibah yang
sifatnya tidak mengikat.
KESIMPULAN
Pengalaman menunjukkan bahwa konsolidasi lahan milik petani dalam corporate
farming tidak pernah terwujud atau dengan kata lain ditolak oleh petani. karena hal ini
menyangkut budaya kepemilikan yang menunjukkan status sosial bagi petani, selain itu
keparcayaan terhadap pengelola (dapat dibaca pengurus), tampaknya perlu dibangun setahap-
demi setahap. Konsolidasi lahan tampaknya tidak mudah langsung diterapkan saat awal
kegiatan. Tahap awal yang perlu dibangun dan dinilai berpeluang berkembang adalah merintis
terbentuknya kelembagaan ekonomi petani. Lembaga ini sebaiknya dibangun oleh tokoh-
tokoh petani atau pengusaha lokal yang bergerak dalam bidang pertanian untuk bekerjasama
dengan petani sekitarnya guna membangun sebuah korporasi.
Hal ini tentunya tidak mudah, perlu contoh konkrit, misalnya melakukan kerjasama
pembelian gabah untuk diolah menjadi beras pecah kulit. Artinya bahwa yang semula petani
hanya beraktivitas sampai dengan menghasilkan gabah kering panen (GKP), karena langsung

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
182
ditebaskan, maka untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan ada baiknya aktivitas
petani perlu ditambah yaitu melakukan kegiatan prosesing menjadi beras pecah kulit secara
korporasi. Aktivitas usaha korporasi prosesing GKP menjadi beras pecah kulit sebaiknya
diawali dari skala yang relatif kecil. Apabila usaha prosesing beras pecah kulit dapat
berkembang, selanjutnya perlu diikuti dengan regulasi atau kebijakan terkait dengan
pembelian beras pecah kulit oleh pihak pemerintah daerah atau BUMN seperti BULOG yang
mempunyai kompetensi dalam pengadaan pangan.
Konsep, pemikiran, dan perencanaan sebaik apapun, namun apabila sulit
diimplementasikan, maka hal ini akan kurang bermakna dan sia-sia, karena hanya terbatas
pada hitam di atas putih dan kata-kata. Yang penting adalah implementasinya. Oleh karena
itu dalam menuangkan pemikiran atau gagasan perlu didasarkan atas kondisi dan
permasalahan di lapangan, sertakan masyarakat petani setempat ikut berpartisipasi dalam
perencanaan. Pendekatan perencanaan partisipatif (participatory planning) mutlak
diperlukan, masyarakat atau petani/pengusaha pertanian di perdesaan sebagai mitra petani
yang turut berperan secara aktif, baik dalam hal penyusunan rencana maupun implementasi.
Diperlukan komitmen dari semua pelaku (stakeholders) dalam pengembangan kawasan
pertanian padi berbasis korporasi petani. Pengembangan kawasan pertanian padi berbasis
korporasi petani tampaknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita perlu kerja keras untuk
mewujudkannya agar pasokan pangan asal padi dan kesejahteraan petani ke depan dapat lebih
terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. 2005. Pendekatan Baru Pengembangan Pasar Keuangan Perdesaan. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Usaha Kecil Pedesaan untuk Pengusaha Agribisnis.
BBMKP Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro Semarang. 25 Juli 2005 di Semarang.
Aristo D.A. 2004. Rejuvinasi Peran Perencana Dalam Menghadapi Era Perencanaan
Partisipatif “Sebuah Tahapan Awal dalam Pembentukan Kultur Masyarakat Partisipatif”.
Disampaikan Dalam : Seminar Tahunan ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia)
Universitas Brawijaya, Malang Juli 2004. Teknik Planologi ITB.
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan
(Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Badan Litbang Pertanian, 2000. Laporan Studi Diagnostik Lokasi Pengkajian Corporate
Farming di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Badan Litbang Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Departemen Pertanian, 2000. Pengembangan Corporate Farming. Makalah disampaikan
dalam Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kegiatan Departemen Pertanian 2001. Jakarta.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, 2018. Startegi Pencapaian Sasaran
Tanam Padi, Materi Rakor UPSUS PAJALE 2018. Dinas Pertanian dan Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah, Ungaran.
Downey. D.W dan Erickson, S.P. 1989. Manajemen Agribisnis. Edisi Ke 2 . Penerbit
Erlangga Jakarta
Ekepu, D., Tirivanhu, P., and Nampala, P. 2017. Assessing Farmer Involvement in Collective
Action for Enhancing Sorghum Value Chain in Soroti, Uganda, S.Afr.J. Agric. Ext.Vol.
45, No. 1 , 2017: 118-130.
Gillinson, S. 2004. Why Cooperate? A Multi-disciplinary Study of Collective Action,
Overseas Development Institute, London, UK.
Greif A. 1998. Self-enforcing Political System and Economic Growth: Late Medieval Genoa
Avner. In Theor. Chem. Acc. (pp. 23–63). Princeton University Press Abstract.

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
183
Kartasasmita, G.1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta : CIDES
Kementerian Pertanian, 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Pengembangan
Kawasan 2015-2019. Disampaikan pada Pra-Musrenbangtan , 7-9 Mei 2014 di Bogor
Kementerian Pertanian, 2015. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
03/PERMENTAN/OT.140/2/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus Peningkatan
Produksi Padi, Jagung dan Kedelai melalui program perbaikan jaringan irigasi dan sarana
pendukungnya TA 2015.
Kementerian Pertanian, 2018. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
18/PERMENTAN/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian
Berbasis Korporasi Petani
Kirk, 2000. Land Tenure and Land Management Lesson Learn Form the Past Chalangers to
be in the Future. Institute for Cooperation in Developing Country. Departement of
Economic. University of Marburg. Germany
Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila, BPFE - Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Muhammad, Q., 2013. Mewujudkan Kemandirian Pangan Indonesia. UKM-UPI Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Najib, H. 1994. Pengembangan kemitraan dan kelembagaan dalam pemantapan agribisnis.
Universitas Gajah Mada. Yograkarta.
North, D. C., 1990. Institutions. The Journal of Economic Perspectives, 5(1), 97–112.
https://doi.org/10.2307/2234910
Prasetyo T, dan D. Pramono, 2001. Kajian integrasi tanaman dan ternak dalam pola tanam
Padi-padi- Jagung (Studi Kasus Model Corporate Farming di Kabupaten Grobogan).
Laporan Kegiatan Pengkajian BPTP Ungaran, Ungaran.
Prasetyo, T dan C. Setiani, 2002. Teknologi sistem usahatani konservasi di DAS bagian hulu
(Antara kebutuhan dan kepentingan). Prosiding Lokakarya Nasional Diversifikasi
Tanaman.: Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Prasetyo, T. 2018. Model Pemberdayaan SDM Petani dalam Mendukung Pertanian Modern
di Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada acara Temu Teknis Balai Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Balitban Pertanian, tanggal 6 Desember 2018 di
Ungaran, Jawa Tengah
Setiani, C. 2018. Model Pemberdayaan Kelembagaan UPJA dalam Mendukung Pertanian
Modern di Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada acara Temu Teknis Balai Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Balitban Pertanian, tanggal 6 Desember 2018 di
Ungaran, Jawa Tengah
Sipayung T, 2000. Corporate Farming dan Masalah Produktivitas Pertanian serta
Kesejahteraan Petani. Makalah disampaikan pada Seminar " Adakah Landasan Teoritis
dan Bukti Empiris Konsep Corporate Farming. Pusat Studi Pembangunan Lembaga
Penelitian IPB, Bogor
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. PT.
Raja Grafika Persada, Jakarta
Solihin, D. 2006. Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Aparatur Pemerintahan Daerah. Jakarta, 27 Desember 2006. Sekolah Tinggi
Pemerintahan Abdi Negara.
Syahyuti, 2014. Apa Ini Apa Itu. Komparasi Konsep, Teori dan Pendekatan dalam
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. PT Nagakusuma, Jakarta.
Syarief R, 2000. Kontribusi pengalaman empiris Konsep Corporate Farming. Makalah

Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
184
disampaikan pada Seminar " Adakah Landasan Teoritis dan Bukti Empiris Konsep
Corporate Farming. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Bogor
Vanni, F., 2014. The Role of Collective Action, Agriculture and Public Goods, Springer
Science and Business Media, Dordrecht.
Wang, Y., Chen, C. and Tao, Y., 2014. Determinants of the Collective Action in the Common:
Study of Irrigation in China, Paper presented at the Fifth Workshop of the Ostrom
Workshop Conference held at the Indiana University, June 18-21, 2014.
Yusuf., 2013. Politik Pangan Indonesia : Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan
Kemandirian . http:/setkab.go.id/en/artikek-6833-.html