Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002
Edisi Khusus - Manajemen Eboni
ASPEK EKOFISIOLOGI DALAM PENGELOLAAN
DAN PELESTARIAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.)
Samuel A Paembonan
Program Silvikultur, Jurusan Kehutanan,
Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Pengetahuan ekofisologi eboni penting dalam penerapan sistem silvikultur hutan alam karena setiap jenis mempunyai reaksi yang berbeda
terhadap faktor lingkungan yang berbeda dan pada tahap yang berbeda pula. Penelitian ekofisiologi juga berperan dalam pengelolaan dan
pelestarian eboni. Informasi tentang penyesuaian antara faktor fisiologi dan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap metoda
pemeliharaan permudaan eboni yang tepat, baik di hutan alam maupun pada hutan tanaman dibahas dalam tulisan ini. Hasil akhir dari
pemantapan metode ini dapat dijadikan bahan kajian lebih mendalam untuk menyusun pedoman teknis pemeliharaan permudaan alam eboni
baik secara ex-situ maupun in-situ. Berdasar pada penelitian yang berhubungan dengan faktor lingkungan tumbuh eboni yang telah
dilakukan, disarankan beberapa prioritas penelitian ekofisiologi.
Kata kunci: eboni, Diospyros celebica, ekofisiologi, budidaya, pelestarian
PENDAHULUAN
Penelitian tentang pertumbuhan eboni di
hutan alam Sulawesi sampai saat ini belum banyak
mengungkap informasi akurat tentang faktor
lingkungan yang optimal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan eboni pada tingkat umur dan tingkat
tumbuh yang berbeda. Untuk mengetahui per-
syaratan-persyaratan dasar pertumbuhan eboni di
habitatnya maka penelitian ekofisiologi perlu
dikembangkan untuk mengungkap prinsip-prinsip
pertumbuhan pohon hutan secara fisiologis yang
dijelaskan secara integral dalam kerangka ekologis.
Beberapa penelitian ekofisiologi pertumbuhan eboni
sudah dilakukan namun masih terbatas pada naung-
an dan masih bersifat terpenggal-penggal padahal
dibutuhkan penelitian yang bersifat menyeluruh
untuk mengungkap persyaratan lingkungan yang
optimal bagi pertumbuhan eboni baik secara in-situ
maupun ex-situ.
Ekofisiologi pohon sifatnya adalah "auteko-
logi" yaitu "mempelajari ekologi suatu jenis pohon
atau pengaruh faktor lingkungan terhadap hidup dan
tumbuhnya satu atau lebih jenis-jenis pohon" dan
atau berperan untuk menganalisa dan menerangkan
pertumbuhan yang melibatkan alur proses fisiologis
yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sasaran
riset ekofisiologi beruang lingkup dari tingkat
jaringan sampai individu suatu jenis (Pearcy et ah,
1989).
Sifat penyelidikannya mendekati fisiologi
tumbuhan, sehingga aspek-aspek tertentu dari
ekologi seperti penelitian pertumbuhan pohon
seringkali disebut fisio-ekologi (Physiological
Ecology). Riset ekofisiologi pohon dapat
mendeteksi pengaruh suatu faktor peubah (variant)
lingkungan dengan waktu yang relatif lebih singkat
dan tingkat detail yang terpercaya.
Hutan memang merupakan masyarakat tum-
buhan namun pendekatan individual maupun
spesifik (berdasar spesialis) perlu dilakukan untuk
menerangkan pertumbuhan secara komunitas pada
akhirnya. Dengan demikian apabila silvics (studi
tentang kehidupan pohon) merupakan dasar-dasar
silvikultur maka ekofisiologi merupakan dasar
penting dalam silvics. Suatu hal yang cukup ironis
bahwa tingkat pemanenan hutan hujan tropis di
wilayah Indonesia yang didominasi oleh jenis-jenis
komersial spesifik dan mempunyai ciri tersendiri
sudah demikian ekstensif dan tidak dibarengi
dengan usaha penelitian ekofisiologi yang intensif.
Dengan kemungkinan pengembangan jenis eboni
maka pengetahuan ekofisiologi tegakan eboni meru-
pakan pendukung keberhasilan usaha pembangunan
hutan eboni dimasa datang.
363

Pnembonan - Ekofisiologi Pengeiolaan dan Pelestarian Eboni
URGENSI EKOFISIOLOGI DALAM PENERAPAN
SISTEM SILVIKULTUR HUTAN ALAM
Sampai sekarang belum banyak penelitian
silvikultur yang dapat memberikan hasil yang
meyakinkan tentang berapa banyak intensitas
cahaya matahari lolos yang diperlukan untuk
merangsang pertumbuhan anakan eboni di bawah
tegakan.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
sebagai salah satu subsistem dari sistim pengelolaan
hutan alam, sampai saat ini merupakan system
silvikultur yang dianggap cocok untuk diterapkan
pada kondisi hutan alam tropis di Indonesia. Sistem
ini mengenal pembukaan tajuk pohon secara
perlahan sehingga memungkinkan permudaan alam
mendapatkan sinar matahari secara bertahap.
Pemilihan/ penentuan sistim silvikultur yang
tepat dalam keanekaragaman kondisi hutan dan
lingkungannya menjadi tuntutan penting demi
terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Pemilihan
dan penerapan sistem TPTI tidak saja didasarkan
atas resiko kerusakan tegakan tinggal yang kecil,
tetapi juga diharapkan mampu memperbaiki struktur
dan komposisinya sehingga dapat meningkatkan
kualitas potensi hutan pada rotasi berikutnya
(Sutisna, 1993).
Menurun Manan (1991), kondisi biofisik
hutan yang dapat dijadikan dasar penetapan sistem
silvikultur adalah tipe hutan, sifat silvics, struktur
tegakan, komposisi jenis tegakan asal, jenis tanah,
dan rupa bumi. Pada saat mulai diberlakukannya
ecolabeling mendatang, sistem silvikultur TPTI
akan menjadi bagian sistem penting dalam sistem
pengolahan hutan yang berkelanjutan untuk
memenuhi kriteria 'ITTO guide-lines', melalui Dek-
larasi Rio de Janeiro di Brasil (1992).
Secara umum jenis permudaan komersial
yang mendominasi hutan alam di Indonesia terdiri
dari jenis-jenis yang mempunyai sifat semi toleran.
Dalam proses pertumbuhannya yang dimulai dari
tahap semai (seedling), sapihan (sapling) dan tiang
(pole), masing-masing tahap mempunyai persya-
ratan lingkungan yang berbeda (Clearwater, 1995).
Pada hutan yang masih perawan (virgin
forest) kondisi lingkungan yang memenuhi persya-
ratan lingkungan tumbuh akan terjadi secara
seimbang dan bersifat alamiah. Namun pada areal
bekas tebangan (logged-over area) yang terjadi
akibat kegiatan logging, kondisi lingkungan tersebut
mulai terganggu seiring dengan meningkatnya
kerusakan tegakan tinggal. Maka semakin tinggi
tingkat intensitas penebangan akan menyebabkan
makin besar kerusakan iklim mikro yang ditim-
bulkan.
Oleh karena itu, macam silvikultur yang
ditujukan untuk menciptakan kondisi lingkungan
yang sesuai dengan sifat-sifat silvics setiap
permudaan alam pada areal tegakan tinggal dengan
intensitas penebangan yang berlainan akan mem-
berikan dampak yang berbeda terhadap tingkat
pertumbuhannya. Di sinilah pentingnya pengetahuan
ekofisologi jenis karena setiap jenis mempunyai
reaksi yang berbeda terhadap faktor lingkungan
yang berbeda dan pada tahap yang berbeda pula.
Dengan diselenggarakannya konferensi Inter-
nasional tentang ekofisiologi tumbuhan tropis di
Bogor pada tahun 1987, beberapa peminat dan/ atau
peneliti ekofisiologi telah mendapat kesempatan
untuk melaporkan hasil penelitiannya. Beberapa
penelitian yang dilaksanakan termasuk di antaranya
pengukuran pertumbuhan nisbi (relatif growth rate/
RGR), ratio luas daun dan laju asimilasi netto,
transpirasi, konduktifitas stomata dengan memper-
hatikan aspek-aspek kimiawi tanah pada posisi
lereng, kadar air tanah, dan intensitas cahaya yang
berbeda terhadap kegiatan fotosintesa (Hadrianto,
1996). Identifikasi proses-proses yang penting
dalam produktivitas ekosistem yang berbeda seperti
indeks permukaan daun dan produktivitas, aspek
fungsional nutrisi penting, dan respons terhadap
cekaman lingkungan (environmental stress).
Atas dasar pemikiran dan permasalahan
tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian
beberapa metode perlakuan pemeliharaan terhadap
permudaan alam untuk menciptakan kondisi iklim
dan ruang yang optimal. Dalam jangka panjang,
364

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002
Edisi Khusus - Manajemen Eboni
akhir dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan
suatu input teknologi pembinaan hutan eboni di
Sulawesi.
PENELITIAN EKOFISIOLOGI DAN ERANANNYA
TERHADAP PENGELOLAAN DAN
PELESTARIAN EBONI
Penelitian ekofisiologi berfungsi untuk
memberikan informasi tentang penyesuaian antara
faktor fisiologi dan faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap metoda pemeliharaan permu-
daan eboni yang tepat, baik di hutan alam maupun
pada hutan tanaman. Penelitian yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh
pihak yang terkait dalam mengambil langkah
kebijakan untuk memilih tempat pemeliharan
permudaan yang tepat di hutan alam eboni maupun
hutan tanaman sehingga dapat mendukung tercapai-
nya sistem pengolaan hutan eboni yang berkelanjut-
an.
Dalam jangka panjang, hasil evaluasi tentang
penerapan metode penanaman dan pemeliharaan
permudaan alam eboni yang terbaik perlu di uji
cobakan pada beberapa habitat pertumbuhan eboni
di Sulawesi. Hasil akhir dari pemantapan metode ini
dapat dijadikan bahan kajian lebih mendalam untuk
menyusun pedoman teknis pemeliharaan permudaan
alam eboni baik secara ex-situ maupun in-situ.
Beberapa hasil penelitian pertumbuhan eboni
yang sudah dilaksanakan baik di hutan alam maupun
hutan tanaman di Sulawesi mengambarkan pada
tingkat pertumbuhan awal eboni masih memerlukan
naungan. Penelitian yang sudah dilaksanakan dalam
hubungannya dengan faktor lingkungan tempat
tumbuh antara lain:
1. Penelitian hutan eboni di Cagar Alam Kalaena,
Kabupaten Luwu oleh Seran et al. (1988)
menunjukkan bahwa jenis Diospyros celebica
hidup bersama dengan jenis lainnya di hutan
alam. Pada tingkat semai dan pancang masih
didominasi oleh jenis D. celebica, sedangkan
pada tingkat tiang dan pohon sudah kurang yang
ditemukan sedangkan jenis lain menjadi
dominan.
2. Seran et al. (1990) menemukan bahwa intensitas
naungan pada tingkat kelerengan tempat tumbuh
berpengaruh nyata pada pertumbuhan anakan
eboni selama satu tahun di hutan cagar alam
Kalaena.
3. Budi Santoso dan Sumardjito (1990) menyim-
pulkan bahwa pembebasan vertikal horizontal
pada anakan alam eboni di hutan ponda-ponda
Mankutana memberikan respons yang nyata
terhadap pertumbuhan tinggi anakan alam eboni
di lapangan.
4. Seran et al (1992) di hutan alam Karaenta
Kabupaten Maros, melaporkan bahwa pertum-
buhan diameter terbesar anakan eboni adalah
pada persentase pembukaan tajuk pohon
penaung sebesar 76-85% di sini tingkat
pembukaan tajuk mempunyai korelasi positif
yang linier dengan pertumbuhan diameter
anakan. Sedangkan untuk pertumbuhan tinggi
diperoleh hasil tinggi pada prosentase naungan
51-75% dan mulai kuadratik pada pembukaan
tajuk 76-85%.
5. Santoso dan Misto (1995) di areal HTI PT
Inhutani I Gowa-Maros menginformasikan bah-
wa anakan eboni pada umur 3 bulan pertama
setelah penanaman membutuhkan naungan yang
lebih besar yaitu 70-80% dan dan setelah umur 6
bulan dilapangan kebutuhan naungan hanya 40-
60%.
6. Menurut Yusri et al. (1996), pertumbuhan semai
eboni di persemaian memerlukan naungan sebe-
sar 75% agar tumbuh baik.
Jem's eboni memang memerlukan naungan
pada fase semai dan sapihan namun yang perlu kita
ketahui adalah kadar kebutuhan naungan (cahaya)
sesuai dengan fase pertumbuhan tersebut melalui
pembukaan tajuk secara bertahap. Dalam penelitian
ekofisiologi, faktor-faktor lingkungan setempat
antara lain iklim mikro, tanah dan biotis lainnya
yang saling berinteraksi mempengaruhi pertumbuh-
an eboni perlu diteliti secara lengkap dan luas untuk
mengetahui faktor lingkungan dominan yang
berpengaruh. Kondisi lingkungan ini dihubungkan
365

Paembanan - BsofisiGtegi Pengelolaan dari Pelestarian Eboni
dengan kegiatan fisiologis pohon antara lain foto-
sinteasa, respirasi dan transpirasi sebagai fakor yang
terpengaruh. Hasil penelitian ekofisiologi ini akan
merupakan dasar bagi penentuan sistem silvikultur
yang tepat bagi pelestarian dan pengembangan
eboni, baik di hutan alam maupun hutan tanaman.
PRIORITAS PENELITIAN EKOFISIOLOGI EBONI
Dalam pengelolaan hutan yang produktif,
ruang lingkup peranan ekofisiologi pohon cukup
luas. Dengan tingkat rincian yang lebih tinggi maka
riset ekofisiologi dituntut untuk mencari kawasan
yang mewakili (representatif), spesifik dan dominan
dari problem yang ada. Secara garis besar prioritas
penelitian ekofisiologi eboni pada masa datang
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ekofisiologi pertumbuhan hutan
eboni, terutama pada fase pertumbuhan anakan
eboni dengan tingkat umur yang berbeda. Aspek
lingkungan seperti sinar, nutrisi, air tanah,
kelembaban dan suhu.
2. Penelitian ekofisiologi untuk mengetahui hubu-
ngan antara sifat strip hitam kayu eboni dengan
faktor lingkungan tempat tumbuh. Aspek
lingkungan seperti sinar, nutrisi, curah hujan,
sifat fisik dan kimia tanah serta air tanah.
3. Penelitian ekofisiologi hutan tanaman (eboni)
dengan berbagai kondisi lingkungan pada hutan
tanaman, untuk menunjang usaha HTI eboni.
Aspek lingkungan seperti sinar, nutrisi, air tanah,
sifat fisik dan kimia tanah, suhu, kelembaban
dan faktor biotis lainnya.
4. Penelitian ekofisiologi: hubungan antara per-
tumbuhan anakan eboni dengan kehadiran
mikoriza dan hubungan asosiasi dengan jenis
pohon lainnya.
5. Penelitian ekofisiologi untuk mengetahui ting-
kat sensitivitas tegakan eboni terhadap gang-
guan luar atau konversi penggunaan lahan.
Aspek lingkungan seperti sinar dan nutrisi.
Untuk lebih berhasilnya kegiatan penelitian
ini, kerjasama antar disiplin yang terkait dengan
tingkat detail yang sepadan perlu dilakukan.
Kerjasama ini baik bersifat kerjasama personal
maupun kelembagaan di tingkat swasta, antar
instansi pemerintah maupun tingkat universitas.
DAFTARPUSTAKA
Clearwater M. 1995. Seedling Physiology Research.
ODA-UK Tropical Management Program. Institute
of Ecology and Resource Management. The
University of Edinburgh.
Hadrianto D. 1996. Peluang Riset Ekofisiologis di Hutan
Hujan Tropis Dipterocarpaceae di Indonesia.
Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman, Samarinda.
Manan S. 1991. Pengelolaan Hutan Alam di Indonesia
Prosiding Seminar Sehari pengelo-laan Hutan
Alam di Indonesia. Kerjasama IPB dengan
Departemen Kehutanan.
Pearcy RW, Ehleringger JR, Mooney HA and Rundel
PW. 1989. Plant Physiological Ecology, Field
Methods and Instrumentation. Chapman and Hall.
London.
Santoso B dan Misto, 1995. Pengaruh Tingkat Naungan
Terhadap Pertumbuhan Anakan Eboni (Diospyros
celebica Bakh) di HTI PT. Inhutani Gowa-Maros.
Jurnal Penelitian Kehutanan. IX (3). Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Santoso B dan Sumardjito Z. 1991. Pengaruh
Pembebasan Secara Mekanis Terhadap Pertum-
buhan Anakan Eboni (Diospyros celebica Bakh) di
Hutan Pdnda-Ponda, Mangkutana Sul-Sel. Jurnal
Penelitian Kehutanan V (1). Balai Penelitian
Kehutanan Ujung Pandang.
Seran D, Lempang M, Allo MK, Sumardjito Z,
Paembonan S dan Ginoga B. 1988. Aspek Ekologi
Eboni di Cagar Alam Kalaena Kab.Luwu Prop. Sul-
Sel. Jurnal Penelitian Kehutanan II (1). Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Seran D, Santoso B dan Ginoga B. 1990. Pertumbuhan
Anakan Eboni di Cagar Alam Kalaena, Kab. Luwu
Propinsi Sul-Sel. Jurnal Penelitian Kehutanan IV
(2). Balai Penelitian Kehutanan, Ujung Pandang.
Seran D, Lande L dan Tiku-Pasang H. 1992.
Pertumbuhan Tanaman Eboni Pada Berbagai
Tingkat Naungan di Bawah Hutan Alam di
Karaenta, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Jurnal Penelitian Kehutanan VI (1). Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Sutisna M. 1993. Rekayasa Pembinaan Tegakan Hutan
Alam. Prosiding Lokakarya Pembinaan Hutan
Tropik Lembab. Kerjasama Departemen Kehutanan,
Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor dan
Universitas Mulawarman.
366