Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
81
BOVEN DIGOEL DALAM PANGGUNG SEJARAH INDONESIA:
DARI PERGERAKAN NASIONAL HINGGA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Susanto T. Handoko
Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Cendrawasih Jayapura
Alamat korespondensi:[email protected]
Abstract
This study focuses on the role Boven Digoel for the Indonesian nation in the struggle for independence. The
research method is a method of history to the stage of research, searches historical sources, source criticism,
interpretation, and writing of history. Boven Digoel selected as a place of exile of the movement because of
factors: the more intense the radical movement (communists) in Indonesia period 1925-1927 which manifests
itself in a variety of labor strikes and revolts; Holland is a minor colonial power compared with the Spanish,
Portuguese, French and English-that is to say, only the Dutch East Indies (Indonesia) which has a strategic
significance for the survival of colonialism; Boven Digoel very faraway from the center of government in
Batavia covered by dense woods, filled with swamps and deserted-silent with various wild animals, ferociously
malaria mosquitoes, and the original is still cannibals; Boven Digoel as the 'Land of Hope' or the future of the
movement who did not return origin region. With discarded in Boven Digoel of the movement 'disconnected' at
all with the people, so that they can not spread the ideas and the ideas of nationalism. Boven Digoel
instrumental in the Stage History of Modern Indonesia, in particular, the national movement. Now in the Era
of Reform and Special Autonomy for Papua, the existence of historical sites in Boven Digoel must be managed
properly to the benefit of education and tourism development.
Keywords:Boven Digoel, National Movement, Papua Special Autonomy
Abstrak
Kajian ini fokus pada peranan Boven Digoel bagi bangsa Indonesia dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.
Metode penelitian adalah metode sejarah dengan tahap penelitian: penelusuran sumber sejarah,kritik sumber,
interpretasi, dan penulisan sejarah. Boven Digoel dipilih sebagai tempat pengasingan kaum pergerakankarena
faktor: makin intensifnya gerakan radikal (komunis) di Indonesia periode 1925-1927 yang termanifestasi dalam
berbagai pemogokan buruhdan pemberontakan; Negeri Belanda merupakan kekuatan kolonial yang minor
dibandingkan dengan Spanyol, Portugis, Perancis,dan Inggris-artinya, hanya wilayah Hindia Belanda
(Indonesia) yang memiliki arti strategis bagi keberlangsungan kolonialisme. JarakBoven Digoelsangat jauh dari
pusat pemerintahan di Batavia yang diselimuti oleh hutan belukar lebat, penuh dengan rawa-rawa dan sunyi-
senyap dengan beraneka ragam binatang buas, ganasnya nyamuk malaria, dan suku asli yang masih kanibal; Boven
Digoel sebagai ‘Tanah Harapan’ atau masa depan bagi kaum pergerakan yang tidak kembali kedaerah asalnya.
Dengan di-Digoel-kan kaum pergerakan ‘terputus’ samasekali dengan rakyatnya, sehingga mereka tidak bisa
menyebarkan gagasan dan ide-ide kebangsaan atau nasionalisme. Boven Digoel berperan penting dalam
Panggung Sejarah Indonesia Moderen, khususnya masa pergerakan nasional. Kini di Era Reformasi dan Otonomi
Khusus Papua, eksistensi situs sejarah di Boven Digoel harus segera dikelola dengan baik untuk kepentingan
pembangunan pendidikan dan pariwisata.
Keywords:Boven Digoel,pergerakan nasional,otonomi khusus Papua.
Diterima/Received:12 Juli 2016; Disetujui/Accepted:1 Agustus 2016

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
80
PENDAHULUAN
Dalamlintasan Sejarah Indonesia Modern ada
suatu tempat yang telah terlupakan dalam
memori kolektif bangsa Indonesia yaitu Boven
Digoel. Daerah Boven Digoel letaknya di hulu
Sungai Digoel, Papua bagian Selatan. Wilayah
ini pada awalnya diselimuti oleh hutan belukar
lebat, penuh dengan rawa-rawa dan sunyi-
senyap dengan beraneka ragam binatang buas.
Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda
merasa cocok untuk mendirikan kamp
konsentrasi (sering disebut sebagai tempat
pembuangan/pengasingan) bagi para tahanan
politik di wilayah ini. Selanjutnya, Boven Digoel
dibangun sebagai suatu tempat pembuangan
dengan Surat Keputusan PemerintahHindia
Belanda tanggal 10 Desember 1926
(Mangunadikusumo, 1977: 73). Pada waktu itu
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dipimpin
oleh Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff.
Wilayah Boven Digoel masa kolonial
telah dihuni oleh penduduk asli atau lokal
dengancara hidupnya yang masih sangat
sederhana atau tradisional dan dapat dikatakan
belum mengenal peradaban. Sistem
pengayauan dan kanibalisme masih
mendominasi tatanan kehidupan penduduk
setempat. Penduduk asli atau lokal tersebut
terdiri dari beberapa sukuantara lain: suku
Muyu, suku Mandobo, suku Auyu Darat, suku
Auyu Kali,dan suku Kombay-Koroway (suku
Auyu Gunung) yang hidup secara terpisah
(Handoko dkk., 2008: 2 ).
Kurun waktu 1914-1922 terutama di
daerah pesisir Sungai Digoel telah terjadi
praktik-praktik perburuan liar terhadap burung
Cenderawasih yang dilakukan oleh orang Cina
atau sering disebut sebagaitukang-tukang
pasang(PrismaNo. 7, 1988: 48).Oleh karena
itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
membuka pos keamanan Asiki. Pos tersebut
dibangun untuk menjaga dan mengatasi suku-
suku pengayau dan kanibalisserta pengawasan
terhadap praktik-praktik perburuan liar oleh
orang-orang tukang pasang.Akan tetapi, pos
tersebut tidak bertahan lama, karena kondisi
alam yang sangat ganas.
Periode1927 hingga 1942 para
interniran diasingkan di tempat yang sama,
yaitu di Kamp Konsentrasi Boven Digoel
(Shiraishi, 2001: 1-2). Oleh karena itu, sejak
akhir tahun 1926, pascapemberontakan
PemberontakanKomunisIndonesia (PKI)di
Banten, dan pemberontakan PKI di Sumatera
Barat1927, hingga1940-an, ribuan aktivis
pergerakan telah dikirim ke Kamp Konsentrasi
di Boven Digoel. Diantara mereka adalah para
aktivis dan tokoh dari PKI, Partai Republik
Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Indonesia (PARTINDO),
Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI),
Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan
beberapa lainnya.
Selain tokoh-tokoh partai politik tingkat
nasional, pada perkembangan berikutnya
khususnya setelah Indonesia merdeka, dan
Tanah Papua masih beradadibawah kekuasaan
kolonial Belanda, Kamp Konsentrasi Boven
Digoel tetap difungsikan sebagai tempat
buangan bagi elite-elitePapua yang menentang
kekuasaan penjajah Belanda. Diantara mereka
adalah para aktivis dan tokoh dari berbagai
organisasi pergerakanpendukung Proklamasi
Indonesia yang tumbuh dan berkembang di
Tanah Papua antara 1946 hingga1963.
Di Era Reformasi Indonesia (Otonomi
Daerah dan Otonomi Khusus Papua), Boven
Digoel terbentuk berdasarUndang-Undang
Nomor 26 Tahun 2002 sebagai kabupaten baru.
Bersamaan dengan undang-undang tersebut
juga dibentuk Kabupaten Mappi dan
Kabupaten Asmat, ketiganya merupakan
pemekaran dari Kabupaten Merauke (Kompas,
29 Mei 2012). Sejak terbentuknya Kabupaten
Boven Digoel secara definitif membuat geliat
pembangunan di berbagai sektor kehidupan
berkembang secara signifikan, khususnya
infrastruktur jalan yang menghubungkan Kota
Merauke dengan Tanah Merah, sarana dan
prasarana publik dan lainnya.
Kota Tanah Merah (kini ibukota
Kabupaten Boven Digoel) dahulu merupakan

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
81
pusat kotaOnderaafdelingBoven Digoel, yang
oleh orang Belanda disebut sebagaiDeportatie
Kamp Boven Digoel.Karena di Tanah Merah
dijadikan kamp konsentrasi tokoh-tokoh
pejuang pergerakan Indonesia oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Daerah BovenDigoel
terletak di hulu Sungai Digoel yang450 km
dari pantai Selatan Papua.Onderaafdeling
Boven Digoel ketika itu dimasukkan ke dalam
wilayah Gubernuran Maluku. Jarak dari muara
sungai ke Tanah Merah sama dengan jarak dari
Batavia (Jakarta) ke Semarang atau dari
Amsterdam ke Paris dan terletakdi tengah
hutan belantara yangtidak bersahabat
(Shiraishi, 2001: 17).
Boven Digoel dengan pusat kotanya di
Tanah Merah mulai dikenal sejak diadakan
penelitian geologi pada1900 dan 1913, dan
hasil penelitiantersebut menunjukkan bahwa
wilayah yang meliputi 10 ribu hektar itu
dinyatakan cocok untuk pertanian, karena
iklimnya sehat dan cukup banyak persediaan air
serta curah hujannya normal(PrismaNo. 7,
1988: 15).
Kajian ini mengambil periode dari awal
terbentuknyaOnderaafdelingBoven Digoel
hingga terbentuknya dan perkembangan
Kabupaten Boven Digoel di era Reformasi
(Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus
Papua).OnderaafdelingBoven Digoel dibentuk
dengan Surat Keputusan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda tanggal 10 Desember 1926
berkenaan dengan rencana pembuangan dan
pengasingan kaum pergerakan bangsa
Indonesia yang dianggap berbahaya.Sebelum
terbentuknya Kabupaten Boven Digoel hingga
2000, Tanah Merah sebagai pusat ibukota
Kecamatan Mandobo, yang merupakansalah
satu kecamatan dalam wilayah administratif
Kabupaten Merauke. Akan tetapi, dengan
berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2003 tentang
program pemekaran wilayah kabupaten, dan
Boven Digoel merupakan salah satu wilayah
yang dimekarkan, maka kini Tanah Merah
menjadi ibukota atau pusat pemerintahan
Kabupaten Boven Digoel.
Kabupaten Boven Digoel yang
dimekarkan pada12 April 2003 itu memiliki
luas wilayah 27.108 km
2
dengan jumlah
penduduk sebanyak 39.549 jiwa yang terdiri
dari laki-laki 20.218 jiwa dan perempuan
19.331 jiwa. Jumlah penduduk tersebut
menyebar di 6 distrik dan 88 kampung (Suara
Perempuan Papua, 7-12 Agustus 2006: 13).
Sebagai ibukota kabupaten baru, kini di Tanah
Merah penduduknya sudah heterogen. Di luar
tigasuku besar Papua, yaitu Mandobo, Muyu,
dan Auyu, terselip suku-suku asli Papua yang
datang dari luar Digoel dan pendatang dari
pulau lain (Yuniarti dan Verdiansyah, 2007:
118).
Kajian ini hendak melihat kedudukan
wilayah Boven Digoel khususnya peranan
KampKonsentrasi Boven Digoel bagi bangsa
Indonesia terutama dalam usaha perjuangan
mencapai kemerdekaan.Oleh karena itu,
permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Apa yang
melatarbelakangi Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda menjadikan Boven Digoel sebagai salah
satu Kamp Konsentrasi Politik di Nusantara?;
(2) Bagaimana eksistensi wilayah Boven Digoel
dalam Lintasan Sejarah Indonesia?; (3)
Bagaimana eksistensi dan prospek situs-situs
sejarah di Boven Digoel di Era Otonomi
Khusus?
Bertolak dari uraian di atas, maka kajian
ini bertujuan mendeskripsikan keberadaan
atau peranan yang dimainkan oleh Boven
Digoel dalamlintasan Sejarah Indonesia
kaitannya dengan Pergerakan Nasional
Indonesia dan pembangunan bangsa saat ini,
khususnya pembangunan di Boven Digoel dan
Papua. Oleh karena keberadaan situs sejarah di
Boven Digoel menandakan ada keterkaitan
antara Boven Digoel dengan masa kolonial,
maka situs sejarah di Boven Digoel saat ini
tentunya memiliki nilai historis dan dapat
dimanfaatkan bagi pembangunan di Boven
Digoel khususnya bidang pendidikan sejarah
dan pariwisata.

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
82
METODE
Artikel ini didasarkan pada penelitianBoven
Digoel Dalam Sejarah Indonesia: Inventarisasi
dan Dokumentasi Eks Penjaran Boven Digoel
(Handoko dkk, 2008) danFrans Kaisiepo
Pahlawan Nasional Asal Papua(Handoko,
2011). Dalam dua penelitian tersebut
digunakan metode sejarah untuk proses
pengumpulan data hingga pelaporan hasilnya.
Dalam metode sejarah dikenal tahap-tahap
penelitian, yaitu: penelusuran sumber sejarah
(historiografi), kritik sumber (verifikasi),
interpretasi dan eksplanasi, dan penulisan
sejarah (historiografi) (Garraghan, 1957: 33;
Gottcshalk, 1986: 13;Renier, 1997: 113-118;
Suhartono, 2010: 29-56).
Heuristik merupakan langkah awaldari
penelitian ini yang berisikan kegiatan
penelusuran sumber sejarah. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode penggunaan bahan
dokumen. Penelitian dokumentasi dilakukan di
sejumlah perpustakaan di Jayapura, Boven
Digoel,dan Biak. Sumber sejarah yangditeliti
meliputi: majalah sezaman, manuskrip, catatan
pribadi, piagam, foto, dan akta. Peneliti juga
melakukan studi lapangan untuk menemukan
berbagai monumen peninggalan dan melakukan
wawancara dengan tokoh pejuang atau ahli
waris tokoh serta anggota masyarakat lain yang
mengetahui berbagai kejadian pada masa itu.
Konsekuensi logis di dalam metode
sejarah, setelah penulis berhasil mengumpulkan
data yang diperlukan adalah melakukan kritik
sumber, baik secara eksternal maupun internal.
Kritik eksternal digunakan untuk menilai
otentisitas sumber, sedangkan kritik internal
digunakan untuk menilai kredibilitas sumber.
Sumber dokumen yang dikeluarkan pemerintah
seperti: piagam dan akta pada umumnya dapat
dipercaya; dan sumber lain seperti majalah
sejaman, manuskrip, catatan pribadi tokoh perlu
dicermati dengan seksama. Pada tahap ini
penulis melakukan proses verifikasi bahan
dokumen (kolasi), yaitu membandingkan
antara beberapa dokumen, sehingga terlihat
adanya kesesuaian maupun kontradiksi antar
fakta. Dalam kondisi ketika terdapat fakta yang
kontradiktif, maka dilakukan seleksi atas derajat
keterpercayaan sumber, dengan memilih
sumber primer yang dapat dijadikan sumber
data yang representatif sehingga diperoleh fakta
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
orisinalitasnya.
Fakta sejarah yang dihasilkan dari proses
kritik sumber sejarah bersifattunggal. Untuk
mengaitkan antarsumber dilakukan proses
penafsiran atau interpretasi dan penjelasan
hubungan antarfakta (ekplanasi). Interpretasi
meliputi interpretasi verbal, interpretasi teknis,
interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan
interpretasi faktual. Penulisan sebagai tahap
akhir dari penelitian memperhatikan aspek
kronologis, dan penyajiannya berdasartema-
tema penting dari setiap perkembangan objek
penelitian. Aspek-aspek nonindividu menjadi
narasi penting dalam kajian ini dalam bingkai
waktu,sehingga digunakan analisis prosesual
dan struktural (Kartodirdjo, 1992;
Kuntowijoyo, 2003; Wasino, 2016: 64).
KAMP KONSENTRASI BOVEN DIGOEL
MASA PERGERAKAN NASION AL
PendirianKamp Konsentrasi Boven Digoel
Setelah pemberontakan komunis di Banten
1926 dan di Sumatera Barat 1927, rezim
Kolonial Hindia Belanda membangun sebuah
Kamp Konsentrasi di Boven Digoel Papua.
Seperti dijelaskan oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda, pembuangan bukanlah sanksi
yang dijatuhkan melalui proses hukum (penal
sanction), melainkan tindakan administratif,
ditetapkan oleh kewenangan istimewa gubernur
jenderal (exorbitant rechten), yang bisa
menentukan para interni hidup di tempat
tertentu (Shiraishi, 2001: 1).
Sebetulnya pengasingan (dalam hal ini
pembuangan keluar) sudah lazim dikenal dan
telah berlangsung lama di negara jajahan Hindia
Belanda. Di abad ke-20 misalnya, Surontiko
Samin, orang Jawa Tengah dibuang ke
Sumatera Baratpada1907.Pada1920 Cipto

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
83
Mangunkusumo dikenai larangan menetap di
wilayah penduduk berbahasa Jawa di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, dan selanjutnya
dibuang ke Banda Neira 1927. Tokoh lain
seperti Semaun, Tan Malaka, Darsono, Haji
Misbach, Ali Archam, dan masih banyak
lainnya, ditolak menetap di Hindia Belanda atau
diwajibkan menetap di beberapa tempat
berbeda di bagian timur kepulauan antara 1919
hingga 1926. (Shiraishi, 2001: 1-2).Baru pada
1927 hingga 1943 para interniran diasingkan di
tempat yang sama yaitu Kamp Konsentrasi
Boven Digoel.
Pendirian kamp konsentrasi massal
diputuskan pada sebuah pertemuan luar biasa
Dewan Hindia Belanda ( Raad van
Nederlandsch-Indie)yang diadakanpada18
November 1926, kurang dari satu minggu sejak
pemberontakan komunis yangberawal di Jawa
Baratpada12 November (Shiraishi, 2001: 3-4).
Pada saat itu pertanyaan yang dikemukakan
oleh Gubernur Jenderal de Graeff adalah:
”Bilakah sejumlah tindakan harus diambil untuk
memerangi meningkatnya gerakan komunis
yang berlangsung satu minggu terakhir dan
untuk mencegah (pengulangan mereka) di
masa datang sebisa mungkin. Jika ya, tindakan-
tindakan seperti apa?”
Dewan Hindia Belanda (Raad van
Nederlandsch-Indie)akhirnya mendukung
usulan de Graeff dan memutuskan bahwa
pengasingan harus dimulai pada mereka yang
ditangkap di Jawa Barat. Sementara itu,
pengasingan bagi mereka yang ditahan di
berbagai tempat akan mengikuti secepatnya
setelah kantor jaksa umum,hoofdparket,
menerima informasi yang diperlukan bagi
tindakan tersebut. Selanjutnya, diputuskan pula
bahwa prosedur dan formalitas yang harus
dipenuhi bagi pengasingan direvisi dan
disederhanakan untuk pemberlakuannya.
Alasaan-alasan yang diberikan dalam rancangan
keputusan pengasingan harus jelas dan dibatasi,
intinya bahwa orang yang bakal diasingkan
adalah anggota PKI, partai yang bermaksud
menggulingkan dan membentuk pemerintah
baru dengan jalan radikal.
Mengenai ide munculnya Boven Digoel
dipilih sebagai tempat pembuangan massal
dapat diuraikan disini. Paling tidak ada dua hal
yang perlu diperhatikan.Pertama, idenya sudah
ada sebelum pemberontakan supaya ada tempat
khusus didirikan sebagai tempat buangan.
Karena orang-orang komunis waktu itu, mereka
kerjanya keluar dan masuk penjara. Jadi ide itu
sudah ada sejak tahun 1925, dan ide itu
dijalankan begitu pemberontakan terjadi.
Kedua, Belanda adalah kekuatan kolonial yang
minor.Bukan yang nomor satu, tetapi ketiga
setelah Inggris dan Perancis. Koloni satu-
satunya yang mereka punya dan berarti adalah
Hindia Belanda. Lain dari Inggris, punya banyak
koloni, jadi punya banyak pilihan untuk
membuang/mengasingkan tokoh-tokoh
pergerakan atau pemberontakan. Menurut
pertimbangan pemerintah kolonial lebih baik
mendirikan satu tempat di Hindia Belanda yang
mampu menampung ribuan kaum buangan. Hal
lain bisa ditambahkan, bahwa Gubernur
Jenderal de Graeff waktu itu masih percaya
dengan kemungkinan untuk membangun Papua
sebagai wilayah yang baru. Karena waktu itu
Papua memang belum dibangun sama sekali.
Jadi de Graeff percaya akan ada kesempatan
untuk mendirikan suatu wilayah yang baru,
yang makmur dan tenteram untuk orang-orang
komunis, dan sekaligus juga akan menjadi salah
satu wilayah yang baik untuk Hindia Belanda.
Sebetulnya ada begitu banyak pulau
lain di Hindia Belanda, dan pada waktu itu
begitu banyak daerah yang belum dibuka untuk
wilayah baru. Mengapa justru Digoel yang
dipilih. Yang penting diperhatikan adalah
tempat pembuangan harus terisolasi 100%.
Dan orang yang diutus mencari tempat
pembuangan yang baru itu adalah Gubernur
Propinsi Maluku. Karena Papua juga termasuk
bagian Propinsi Maluku, maka dia mengusulkan
Boven Digoel yang paling baik. Atas usulan dari
Gubernur Maluku itu Dewan Hindia lalu
menentukan Boven Digoel sebagai tempat
pembuangan. Barangkali ada tempat-tempat
yang lain.Akan tetapi, menurut Gubernur
Maluku, Boven Digoel itu ideal sebagai tempat
buangan karena 100% terisolasi. Jaraknya dari

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
84
muara Sungai Digoel itu 455 km ke hulu, ke
pedalaman. Itu sama dengan jarak Jakarta ke
Semarang, atau dari Amsterdam ke Paris.
Kondisi saat itu semuanya hutan lebat, rawa-
rawa yang banyak nyamuk malaria, dan di
sungainya banyak buaya. Terlebih saat itu
banyak penduduk aslinya yang masihhead
hunter, atau masih kanibal, masih suka makan
orang.
Kedatangan Rombongan Interni Pertama
Pada10 Desember 1926, wilayah Sungai Digoel
dipisahkan dari subdivisi (Onderafdeeling)dari
Papua bagian selatan melalui dekrit pemerintah
dan dijadikan sebuah pemerintahan subdivisi
Boven Digoel dengan Tanah Merah sebagai
pusat pemerintahannya(Mededeelingen der
Regeering omtrent Enkele Onderwerpen van
Algemeen Belang,Mei 1928).Tidak lama
setelah itu, Kapten L. Th. Becking, pimpinan
kesatuan yang menghancurkan pemberontakan
November di Banten, dikirim ke Digoel dengan
pasukannya yang kebanyakan berasal dari
Ambon dan tawanan pekerja (convict worker)
untuk membangun kamp tepat pada waktunya
bagi kedatangan rombongan pertama para
interni yang dijadwalkan tibapada27 Maret
1927.
Kapten Becking dengan orang-orangnya
dan tawanan pekerja tiba di Tanah Merah pada
Januari 1927. Selama dua bulan mereka
membangun barak, gudang, rumah sakit, stasiun
radio, kantor pos, dan tempat mandi besar
(badvlo)di aliran sungai bagi tentara dan
tawanan. Rombongan pertama interni dan
keluarganya tiba Maret 1927. Ada 50 interni,
termasuk seorang Cina, dan 30 keluarga.
Semuanya berpakaian rapi, dengan kostum
tropis berwarna-warni, bersepatu dan kaos kaki
bersih, topi, koper, dan sebuah payung yang
dikempit di bawah lengan(Salim, 1973: 78-84)
Penduduk Digoel terus bertambah stabil
mulai saat itu. Ketika pengawas M.A. Monsju
tiba, bersama dengan rombongan ketujuh
interni di Tanah Merah pada 30 Oktober 1927
untuk menggantikan Kapten Becking sebagai
penguasa Digoel. Pihak pemegang wewenang
atau administratur mencatat bahwa penduduk
kamp berjumlah sekitar 920 jiwa, terdiri dari
538 interni dan 382 anggota keluarga.
Selanjutnya, pada Februari 1928, angka ini
mencapai 1.139 jiwa, terdiri dari 666 interni dan
473 anggota keluarga. Ketika W.P. Hillen,
anggota Dewan Hindia Belanda mengunjungi
Digoel pada bulan April 1930, penghuni kamp
berada di titik puncak, dengan 2.000 jiwa,
termasuk 1.308 interni(Shiraishi, 2001: 10).
Kamp Konsentrasi Tanah Merah
Tanah Merah terdiri dari tiga wilayah yang
berbeda yang dipisahkan oleh sungai-sungai
kecil, yaitu: (1) wilayah administratif
(bestuursterreindi mana para pejabat sipil
tinggal; (2) wilayah militer; (3) kamp
konsentrasi (pembuangan) di mana para interni
ditempatkan.
Wilayah Administratif
Kantor utama administrasi kampung
berada di Kampung B. Pemerintahan kampung
ini dipimpin oleh Gondoyuwono, kemudian
Budisucitro. Kampung ini memiliki satuan
polisi sendiri yang bernama ROB (Rust en Orde
Bewaarders), yang berarti Penjaga Ketertiban
dan Tatanan. ROB bekerja sama dengan
pemerintah lokal dan satuan polisi pemerintah
lokal. Tahun-tahun pertama satuan polisi ini
dipimpin oleh Suprapto dari Salatiga.
Di sebelah toko Tan Tjo berderet rumah-
rumah kediaman bagi pejabat-pejabat urusan
pribumi, dibangun pertama kalipada1927
untuk wedana (kepala distrik)dari Sunda, Suria
Atmadja, dan asisten wedana dari
Minangkabau, Bitek. Lebih jauh lagi di
sepanjang jalan berbatu itu terletak kantor
administrasi, di mana beberapa interni bekerja
bersama dengan kepala pemerintahan lokal, dua
pejabat (commiezen), sejumlah kecil juru tulis
Ambon, wedana, dan asisten wedana. Kasus-
kasus kriminal disidangkan di bangunan ini
dengan kepala administratif sebagai hakim.
Kasus-kasus yang ada kebanyakan tentang

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
85
pelanggaran-pelangggaran ringan, termasuk
urusan wanita, dan kadang-kadang tindak
kekerasan. Di gedung ini terdapat sebuah
ruangan khusus yang tertutup, Arsip Digoel,
tempat catatan para interni yang terus
membengkak oleh informasi yang datang terus-
menerus dari para mata-mata dan informan
yang melaporkan tingkah laku interni,
semuanya diklasifikasikan secara sistematis,
rapi, dan tersimpan baik (Shiraishi, 2001: 22).
Di sebelah utara gedung administrasi
berdiri sebuah gereja Protestan di tengah
padang rumput. Di depan gereja, tepat dimana
jalan berbatu berbelok ke arah timur, terdapat
rumah satu-satunya dokter di Digoel
berdekatan dengan rumah-rumah pejabat sipil
dan perwira polisi. Lebih jauh lagi ke arah
pedalaman terhampar sebuah ladang rumput,
sebelumnya ada ladang buatan dari penebangan
hutan yang dimaksudkan untuk menanam padi
atas perintah asisten wedana dalam rangka
menjadikan Digoel ”memenuhi kebutuhan
sendiri”. Proyek penanaman padi ini gagal.
Sawah-sawah buatan dibiarkan kosong selama
bertahun-tahun, tetapi beberapa tahun terakhir
para interni menanam sayur-sayuran dan
tanaman lain di sana, yang menjadikan Digoel
berswasembada sayuran (Shiraishi, 2001: 22).
Wilayah Militer
Di kamp militer terdapat barak-barak
militer, kantor komandan garnisun, bangsal
orang sakit, gudang amunisi, stasiun radio,
kantin, penjara, dapur umum, asrama wanita,
dan lapangan kecil untuk olah raga. Fasilitsa-
fasilitas asli kamp ini dibangun secara tergesa-
gesapada1927, terdiri dari kayu dan alang-
alang.Pada1934, Gubernur Jenderal de Jonge
memutusakan untuk mengubah kamp menjadi
semi-permanen, di luar fakta bahwa ia dengan
panik memotong anggaran belanja pemerintah
di berbagai sektor dan tempat untuk
menyesuaikan dengan krisis keuangan yang
diakibatkan oleh depresi ekonomi. Meskipun
keputusannya mempertahankan Digoel tak
diketahui para interni, mereka bisa merasakan
dari renovasi kamp militer untuk bisa
memahami bahwa kamp pembuangan telah
dibuat menjadi semi-permanen oleh
pemerintah.
Kamp militer mula-mula hanya terdiri
dari lima rumah. Namun perkembangan
selanjutnya menjadi tujuh peleton infantri,
setiap peleton terdiri 16 hingga 20 personel di
bawah komando seorang tentara Eropa atau
pribumi berpangkat sersan. Misi mereka
menjaga keamanan dan tatanan di Tanah
Merah, melakukan tugas penjagaan secara
periodik di Tanah Tinggi, dan melakukan
patroli ke seluruh wilayah Digoel. Seperti di
tempat lain di Hindia Belanda, keluarga para
tentara juga tinggal di kamp, di barak-barak
yang terpisah. Oleh karena itu, tampak sebuah
dunia kecil mereka di dalam kamp militer,
terpisah dari seluruh kehidupan Digoel.
Kamp Konsentrasi (Pembuangan)
Pada mulanya para interni hidup terpisah,
terkotak-kotak menurut etnis. Di ujung utara
kamp, di tepi sungai, adalah Kampung Ujung
Sumatera, yang penghuninya mayoritas etnis
Minangkabau.Etnis Aceh dan Lampung
menetap terpisah. Orang-orang dari Jawa: etnis
Madura, Jawa, dan Sunda–berkumpul di
pemukiman sendiri. Orang Banten, sebagian
besar mereka yang turut dalam pemberontakan
1926 di Banten, membentuk sebuah kelompok
terpisah. Konflik sering terjadi antara orang
Jawa dan Sumatera. Orang Sumatera
menganggap hal yang bodoh menyaksikan
seorang pejabat interni Jawa ketika bepergian
selalu diikuti seorang interni yang
memayunginya. Mereka juga mengejek seni
Jawa,tembang,tandak,wayang, danketoprak,
sebagai seni feodal. Bagaimanapun, karena
waktu dan semakin banyak interni generasi awal
dipulangkan, perbedaan etnis menjadi kurang
berperan dalam pola huni.
Para interni banyak membuat asosiasi:
klub opera Orient, grup musik dan opera
Liberty, teater Sunda Kebinangkitan Pasundan,
grupkethoprakdan wayang orang Jawa,Langen
Oedo Matojo, dan grup keroncong. Klub paling
penting, yang bertahan hidup hingga hari
terakhir Digoel, adalah Asosiasi Seni dan Olah
Raga Digoel (Kunst en Sportvereeniging Digoel).

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
86
Asosiasi ini didirikanpada1928 di bawah
pimpinan Winanta. Masuk dalam asosiasi ini
adalah grup jazz Abdul Xarim dan Konser
Digoel.
Di ujung utara jalan utama, berbatasan
dengan hutan, terdapat sisa-sisa Kampung
Ujung Sumatera yang lama terbengkelai tepat di
tepi sungai, dandi sebelahnya, tanah makam
yang terawat baik hingga hari penutupan kamp.
Mereka yang meninggal di Tanah Tinggi,
termasuk Marco dan Aliarcham, juga
dimakamkan di sini.Sebagian besar mereka
meninggal karena penyakit malaria.
Di dekat pemakaman jalan dan jika kita
berbelok ke timur, maka di sepanjang wilayah
ini ada sisa-sisa Kampung D, E, F, dan G, yang
sebelum akhir 1930-an telah terkubur semak-
semak dan kembali dikuasai alam. Pemukiman
ini ditinggalkan penghuninya satu persatu sejak
awal 1930-an ketika para interni mendapatkan
pembebasan bertahap dan penduduk kamp
pembuangan menyusut dari angka tertinggi
2.100pada1929 menjadi kurang dari 1.000
pada pertengahan 1930-an. Penduduk kamp
pembuangan di akhir 1939 seluruhnya ada 580
orang, terdiri dari 355 pria, 66 wanita, dan 159
anak-anak(Shiraishi, 2001: 29).
Empat Kategori Kehidupan Struktural di
Tanah Merah
Kehidupan di Digoel tidak mudah, tetapi
kehidupan seperti apa adanya, kehidupan sosial
dan keluarga dengan kebahagiaan-kebahagiaan
sederhana dan kekacauan-kekacauan kecil.
Digoel, dengan istana kecil Oranye Park,
garnisun militer, dan pemukiman penduduk
asli, tampak seperti kota kecil lain di Hindia
Belanda, bahkan seperti Buitenzorg kecil. Akan
tetapi, kehidupan di Digoel adalah kehidupan
ganjil. Kehidupan yang ”normalitas ganjil”
inilah, meminjam ungkapan Rudolf Mrazek,
yang bisa diidentifikasi sebagai ciri utama
Digoel (Mrazek, 1994: 141).
Digoel ada;ah sebuah nama yang
legendaris dan angker dalam lintasan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Mengenai
keangkerannya, seorang pejabat Belanda
menulis: ”orang-orang yang berumur 27 tahun,
sesudah 10 tahun diinternir, berubah dan patah
semangat, dan badannya kelihatan tua. Yang
sama sekali rusak adalah mereka yang usianya
mendekati 50 tahun.” (Manangsang,2007:
331; Mrazek, 1994: 141).
Keganjilan ini tidak hanya psikologis,
tetapi sangat terlembaga. Kehidupan yang
terstruktur di Tanah Merah terdiri atas empat
kategori utama, yaitude werkwillinger,de
eigenwerkzoekenden,de steuntrekkers,de
naturalisten(Shiraishi, 2001: 30-33).
De Werkwillinger
De Werkwillingeradalah mereka yang
mau bekerja sama dengan pemerintah. Para
interni yang masuk kategori ini bekerja pada
beragam pekerjaan: sebagai kepala kampung
dan juru tulis pada kantor pemerintah, perawat
di rumah sakit, pekerja dinas pengendali
malaria, juru tulis dan kuli di gudang pelabuhan,
pekerja teknik di pusat tenaga listrik dan kantor
telepon, polisi, guru, dan pekerja kasar di sawah-
sawah. Seluruh kategori pekerjaan ini digaji oleh
pemerintah. Mereka yang mendapatkan gaji
terendah adalah pekerja di sawah, gaji mereka f.
40 sen sehari, sekitar f. 10.50 sebulan untuk
pekerjaan yang dimulai pukul 07.30 pagi hingga
pukul 13.00 siang. Sementara itu, juru tulis dan
pekerja teknik mendapatkan bayaran lebih baik,
gaji bulanan mereka berkisar f. 18.75 hingga f.
30. Gaji tertinggi didapat juru tulis pada kantor
pemerintah yang mendapatkan f. 90 sebulan.
Kategori ini merupakan mayoritas di
Tanah Merah dan mereka sangat berharap
dibebaskan dari Digoel. Semakinbaik mereka
bertingkah laku dan koopertif dengan
pemerintah, mereka memiliki kesempatan besar
untuk pulang. Menurut laporan Hillen 1930
jumlah mereka adalah 490 orang. Pasca
kunjungan Hillen, mereka yang berjasa
menormalkan kehidupan Tanah Merah, di
antaranya Gondojuwono, Suprodjo, dan
Suprapto dibebaskan di awal tahun 1931.
Budisucitro yang memohon ampun kepada
pemerintah ketika berada di Tanah Tinggi,

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
87
dikembalikan ke Tanah Merah dan
menggantikan Gondojuwono sebagai kepala
kampung dan beberapa tahun kemudian dia
dipulangkan.
De Eigenwerkzoekenden
De Eigenwerkzoekendenatau pekerja
mandiri. Mereka yang paling kecil kemungkinan
untuk dibebaskan dari Digoel. Para interni ini
terdiri dari nelayan, petani sayur-mayur, pemilik
toko kelontong dan warung, tukangpangkas
rambut, pembuat roti, tukang jahit, pembuat
sepatu, fotografer, guru kursus swasta. Mereka
menerima jatah makan, 18 kg beras per bulan,
hingga mereka mampu menghidupi diri sendiri.
Menurut laporan Hillen tahun 1930 jumlah
kategori ini adalah 350 orang.
De Steuntrekkers
De steuntrekkersadalah mereka yang
invalid atau penerima bantuan. Para interni ini
adalah orang dengan penyakit kronis seperti
malaria dan TBC, penderita gangguan jiwa atau
mereka yang gila karena isolasi yang lama.
Jumlah kategoriini sesuai laporan Hillen tahun
1930 adalah 40 orang.
De Naturalisten
De Naturalistenatau kaum naturalis,
adalah mereka yang menolak bekerja untuk
pemerintah. Akan tetapi, mereka tetap
mendapat jatah makan gratis dari pemerintah
dalam bentukin natura{barang}. Pemerintah
atau penguasa lokal memandangmereka
sebagai kaum ekstremisyangtidakdikehendaki
sehingga mereka selalu menjadi target utama
yang selaludiawasi gerak-geriknya. Sesuai
laporan Hillenpada1930 jumlah kaum
naturalis adalah 225 orang.
Kamp Konsentrasi Tanah Tinggi
Kamp Konsentrasi Tanah Tinggi khusus
diperuntukkan bagi interni yang masuk kategori
onverzoenlijken, yaitu mereka yang keras kepala,
nekad, berkemauan baja, berprinsip, dan tidak
maumenyerah. Mereka menahan harapan
untuk pulang dan bertahan dalam kehidupan
yang buruk. Kecuali jatah makanan rutin yang
disediakan pemerintah, mereka mengurus
seluruh kebutuhannya sendiri. Berdasarlaporan
Hillen 1930 jumlah penghuni di Tanah Tinggi
115 orang terdiri dari 70 interni dan 45
anggota keluarga.
Pada waktu Hillen berkunjung ke Tanah
Tinggi, ia sempat berdialog dengan Nayoan,
seorang bekas ketua Serikat Kereta Api, VSTP,
dan anggota PKI sejak masa ISDV. Akhirnya
Nayoan hilang di hutanpada1942 dalam
percobaan keempat dan terakhir untuk
melarikan diri.Tidakdapat dibantah bahwa
alam merupakan penguasa yang utama di Tanah
Tinggi dan menjadi satu-satunyapenentu.
Pada pertengahan 1930-an,para interni
yang tinggal di TanahTinggi terbagi ke dalam
tiga“klik”.Pertama, kelompok yang terus
melihat Aliarcham sebagai pemimpin mereka,
sebuah teladan yang harus diikuti tentang
seorang komunis yang seharusnya, jauh setelah
kematiannyapada1931.Kedua, kelompok yang
dipimpin oleh Sarjono, Ngadiman, dan
Winanta, yang membangun kader komunis
mereka sendiri di dunia hutan rimba ini.Ketiga,
kelompok yang dipimpin oleh tiga kader PKI
yang kembali dari Moskow: Waworuntu, Daniel
Kamu, dan Clementi Wantuk. Mereka sangat
bangga dengan pelatihan yang didapatnya di
Moskow dan bersikeras bahwa semua buku
tentang komunis, selain yang diterbitkan di
Rusia adalah palsu.
Pada 1935 tiga kelompok ini bertemu,
dan setelah berdiskusi panjang, mereka
menyepakati ”KonvensiAntiPen-Digoel-an”,
yang intinya bersepakat untuk tidak menyerah.
Akan tetapi, Sarjono mengakhiri sikap kerasnya
pada1937, dan berargumentasi bahwa ”tujuan
membenarkan cara” sehingga ia dan
kelompoknya meminta dipindahkan ke Tanah
Merah. Selanjutnya kelompok Moskow
mengikuti langkah ini tidak lama kemudian.
Mereka pengkut Sejati Aliarcham hanyatinggal
denganjumlah seluruhnya 25 orangdan
mampubertahan hingga penutupan kamppada
1943, waktu itu mereka dievakuasi ke Australia
(Shiraishi, 2001: 39).

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
88
PENUTUPAN KAMP KONSENTRASI
BOVEN DIGOEL
Pada waktu Tjarda van Starkenborgh
Statchouwer menggantikan de Jonge sebagai
gubernur jenderalpada1936, dan khususnya
sejak Welter menjadi menteri urusan koloni
pada1937, Digoel yang untuk beberapa tahun
terlupakan kembali menjadi isu besar di Den
Haag dan Buitenzorg. Akan tetapi, yang lebih
penting lagikarena situasiinternasional
berubah dengan cepat,ditambahNazi berkuasa
di Jerman dan invansi militer Jepang ke Cina
dimulai. Selanjutnya, Welter mengirim nota
kepada Petrus Blumberger untuk merancang
surat kepada gubernur jenderal, untuk
mendukung keputusannya membebaskan 20
interni dari Digoel sebagai langkah lebih lanjut
menuju penutupan kamp konsentrasi kecuali
bagi paraonverzoenlijken.
Welter mengusulkan agarmetode
pembuangan diDigoel digantilebihtradisional
dalam waktu dekat.Caranya,para interni
dibuang secara terpisah di banyak tempat
sehingga mereka tidak lagi berharapdapat
membangun pengaruh politik karena perbedaan
bahasa dengan penduduk asli.Bahkan kamp
konsentrasi di Digoel harus dihapuskan dengan
perkecualian bagi mereka yang masuk kategori
keras kepala.
Akan tetapi, keputusan untuk
mempertahankan Digoel diambil pada
pertemuan Dewan Hindia Belanda bulan
Desember 1938. Selanjutnya, pada bulan Juli
tahun 1938, 118 interni dibebaskan, sehingga
mengurangi populasi interni di Digoel menjadi
345 termasuk 42 interni di Tanah Tinggi.
Akhirnya, Digoel ditutup tahun 1943,
karena pemerintah Hindia Belanda di
pengsingan di Melbourne (Australia) menjadi
sangat ketakutan tentang kemungkinan para
interni dibebaskan oleh Jepang. Oleh karena itu,
pemerintah Hindia Belanda di pengasingan
memutuskan untuk menghapuskan sama sekali
dan mengungsikan semua interni ke Australia.
Evakuasi dilakukan oleh Ch. O. Van der Plas
dan kamp konsentrasi benar-benar ditutup
tahun 1943.
CITRA KAMP KONSENTRASI BOVEN
DIGOELERA OTONOMI KHUSUS
PAPUA
Citra Kamp Konsentrasi Boven Digoel
Dalam perkembangannya Kamp Konsentrasi
Boven Digoel dikenal sebagai tempat
pembuangan komunis. Citra ini tidaklah benar
sepenuhnya. Ada kekaburan batasan tentang
siapa yang dikatakan sebagai komunis. Juga
dalam masa penahanan massal tanpa prosedur
pengadilan, amat besar kemungkinan terjadi
kesalahan dalam penangkapan, ataupun
penangkapan yangdidasarkan pada motif-motif
nonpolitis (misalnya balas dendam penguasa
setempat). Pemerintah Hindia Belanda sendiri
belakangan mengakui kemungkinan terjadinya
kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan aparat-
nya.
Dalam perkembangannya kemudian,
Boven Digoel digunakan sebagai salah satu
tempat pembuangan kekuatan anti kolonial
dalam artian luas. Sejak 1932, banyak tokoh
Partai Republik Indonesia (PARI), Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia
(PARTINDO), Perhimpunan Muslim
Indonesia (PERMI), Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII), dan beberapa lainnyadibuang
ke Boven Digoel. Hatta dan Sjahrir adalah dua
contoh yang paling dikenal. Adik H. Agus Salim,
I.F.M. Salim, wartawan yang terkenal cukup
vokal juga ditempatkan/dibuang ke Boven
Digoel.
Selain tokoh-tokoh partai politik tingkat
nasional, pada perkembangan berikutnya
khususnya setelah Indonesia merdeka, dan
Tanah Papua masih berada dibawah kekuasaan
kolonial Belanda, Kamp Konsentrasi Boven
Digoel tetap difungsikan sebagai tempat
buangan bagi elite-elitePapua yang menentang
kekuasaan penjajah Belanda. Diantara mereka
adalah para aktivis dan tokoh dariberbagai
organisasi pergerakan pendukung Proklamasi

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
89
Indonesia yang tumbuh dan berkembang di
Tanah Papua antara 1946 hingga 1963.
Menurut Adurrachman Surjomihardjo
bahwa dasar hukum dari pembuangan ke Digoel
tanpa proses pengadilan itu adalah hak luar
biasa yang dimiliki Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Akan tetapi, didasari oleh pembukaan
wilayah baru dengan alasan ekonomis(Prisma
No. 7, 1988: 19).Jadi, jauh sebelum
pemberontakan terjadi, pemerintah Hindia
Belanda sudah melihat perlunya membuka
daerah-daerah baru di luar Jawa yang dapat
dijadikan sumber ekonomi. Oleh karena itu,
Digoelberdasarpenelitian geologi, diduga
memiliki kekayaan alam yang dibutuhkan.
Boven Digoel direncanakan untuk menjadi
konsentrasi pemukiman yang dibutuhkan untuk
prosespembangunan daerah baru tersebut.
Sejakawal sejarahnya, sebenarnya ada
sikap mendua di kalangan Pemerintah Kerajaan
Belanda dalam melihat Kamp Konsentrasi
Boven Digoel. Di satu pihak cara itu diakui
sebagai cara yang efektif. Akan tetapi, di pihak
lain ada kesadaran akan unsur ketidakadilan
dalam cara penanganan para tahanan politik
seperti itu. Persoalan tersebut pada mulanya
terangkat setelah adanya seri artikel tentang
Digoel pada awal September 1928 di surat
kabarNieuwe Rotterdamsche Courant, yang
ditulis oleh wartawan terkemuka media
tersebut, Dr. M. van Blankenstein(PrismaNo.
7, 1988: 19).Secara rinci wartawan itu
menuliskan perjalanannya ke Boven Digoel dan
mengisahkan pertemuannya dengan banyak
tawanan yang menyampaikan kesan dan
pandangannyamengenai ketidakadilan (karena
mereka ditahan tidak berdasarkeputusan
pengadilan). Dalam seri tulisan itu memang
tidak akan ditemukan rekaman langsung
terhadap pemerintah Belanda.Namun ia telah
membuka mata para pembaca Belanda akan
adanya kamp konsentrasi.
Mengingat bahwa pada awal abad ke-20
telah dikenal adanya arah etis dalam politik
kolonial, maka adanya kamp konsentrasi itu
dapat dianggap sebagai satu kegagalanethische
politiek.Ini menimbulkan pertimbangan-
pertimbangan politik dalam parlemen Belanda
danVolksraaddi Hindia Belanda.
Pertimbangan-pertimbangan itu menum-
buhkan kesadaran tentang segi-segi yang adil
maupun kesewenang-wenangan dalam pelak-
sanaan politik kolonial.
Lebih lanjut Abdurrachman
Surjomihardjo mengatakan bahwa ada sejumlah
halyang menyebabkan Digoel dalam penulisan
sejarah nasional agak terpencil (Prisma No. 7,
1988: 20-21).Pertama, para penulis sejarah
Hindia Belanda sendiri, yang karya-karyanya
kemudian dijadikan acuan, umumnya tidak
menempatkan gerakan radikal 1926 sebagai
bagian dari pergerakan nasional. Petrus
Blumberger, penulis pertama sejarah
pergerakan nasional, melihat pemberontakan
1926 itu sebagai bagian dari gerakan komunis
internasional.
Para penulis bukan sejarawan, kurang
dapat membedakan dengan tegas ruang dan
waktu pemberontakan 1926/1927 itu dengan
pemberontakan PKI 1948. Ia menjadi
demikian, pertama-tama karena penggalian
sumber-sumbernya secara tuntas belum
dikerjakan.Kedua, lebih karena kadar politik
yang muncul dari situasi konflik di masa awal
RepublikIndonesia, yang bobotnya makin
bertambah sehubungan dengan pemberontakan
G 30S/PKI, September 1965. Masih banyak
orang yang terlibat dalam situasi konflik itu
yang masih hidup dan berperan dalam
masyarakat dewasa ini.
Dalam panggung sejarah nasional
Indonesia pun keberadaan Kamp Konsentrasi
Boven Digoel sedikit sekali dibicarakan. Oleh
karena itu, banyak peserta didik (siswa) di
tingkat pendidikan dasar dan menengah,
maupun mahasiswa di tingkat pendidikan
tinggi, banyak yang tidak tahu akan keberadaan
Digoel. Padahal tahun-tahun pascarevolusi
1927 hingga 1942 bisa dipahami dalam konteks
keberadaan Digoel. Menurut Takashi Shiraishi,
bahwa untuk menormalkan kehidupan di
Hindia Belanda pada tahun-tahun ini, maka
pemerintah kolonial membutuhkan dunia hantu
Digoel (Shiraishi, 2001: 43).Digoel dan kamp
konsentrasi berfungsi untuk menjaga dan
merefleksikan kondisi normal, bahwa Digoel

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
90
secara definitif menjadi pemisah garis batas
antara normal dan abnormal, kooperasi dan
non-kooperasi (garis keras), karenanya
memisahkan tatanan kolonial yang rasional dan
penduduk yang berada di ambang kegilaan.Dan
keseluruhan ini mencerminkan rezim yang
melembagakan dan meminggirkan Digoel.
Normalitas menjadi tergantung pada sebuah
aparatus pengamanan yang kompleks yang
menandaidan memecah kawasan, subjek, dan
tanda-tanda kolonial.
Menciptakan tatanan dan rezim di Digoel
sangatlah mudah, dengan cara diisolasi, dan
tidak perlu ada catatan sejarah. Sejumlah kecil
tawanannya masing-masing diidentifikasi secara
lengkap: nama dan namasamarannya, nomor
pengenal, tempat dan tanggal kelahiran, status
pernikahan, pendidikan, latar belakang
pekerjaan, karir politik, tanda tangan, fotografi,
dan informasi lain yang berada dalam satu
berkas. Semua berkas berada dalam satu
ruangan. Sebaliknya, menciptakan tatanan
rezim baru di Hindia Belanda jauh lebih rumit,
karena rezim ini berada dalam kerajaan
kepulauan yang luas, mempunyai jutaan
penduduk (pada 1930), dengan sejarah,
kebudayaan, dan bahasa yang berbeda-beda.
Perangkat kenegaraannya berkembang
membentang di berbagai daerah selama
berabad-abad. Namun demikian, suatu tatanan
rezim baru, yang benar-benar seragam dibentuk
pada 1930-an dengan penjara dan kamp-kamp
tawanan, kekuatan polisi modern yangrelatif
kecil (34.000 kekuatanpada1930), dan
sejumlah kecil angkatan bersenjata kolonial
(37.000 kekuatanpada1930) (Indisch Verslag
1931: 14, 405-406).
KAMP KONSENTRASI BOVEN DIGOEL
ERA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Kamp pengasingan Boven Digoel seluas 27,8
kilometer persegi, yang mana lahan seluas 1.000
meter persegi untuk kamp militer, kompleks
pemerintahan, penjara, dan barak-barak hunian
(Kompas, 30 Mei 2012). Penghuni awal kamp
ini tahanan politik yang terlibat pemberontakan
PKI 1926 di Jawa Barat dan 1927 di Sumatera
Barat. Meski awalnya identik dengan
pembuangan kaum komunis, Belanda akhirnya
juga menjadikan tempat ini sebagai
pembuangan tokoh nasionalis, khususnya
mereka yang menganut prinsip nonkooperatif
seperti Bung Hatta dan Sutan Syahrir.
Saat ini kondisi eks Kamp Konsentrasi
Boven Digoel telah mengalami banyak sekali
perubahan dari kondisi asli.EksKamp
Konsentrasi Boven Digoel berada di sekitar
pemukiman penduduk dan sebagian area
menjadi kantor Polres Kabupaten Boven
Digoel. Oleh karena itu, kondisi fisik bangunan
tentunya mengalamibeberapa renovasi untuk
disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Hal ini
tentunya akan mengurangi nilai historis
bangunanEksKamp Konsentrasi Boven
Digoel.
Pada2012, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Boven Digoel memiliki
programkunjunganke Belandauntuk
memperkenalkan situs sejarah tempat
pengasingan para tokoh pejuang/perintis
kemerdekaan Indonesia (Kompas, 29 Mei
2012). Usaha memperkenalkan situs sejarah
tersebut kepada publik luar negeri (Belanda)
perlu mendapat apresiasi, tetapi yang tidak
kalah penting adalah kepedulian pemda untuk
merawat, menjaga, dan melestarikan situs dari
kerusakan adalah langkah yang tidak bisa
ditawar lagi. Bilamana kompleks situs tertata
dan terawat dengan baik dapat dijadikan sebagai
media pembelajaran siswa dari PAUD/TK
hingga perguruan tinggi dan untuk
dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah
yang dapat mengangkat pamor Boven Digoel
baik lingkup lokal, nasional, dan global
(Handoko,dkk.,2008: 51).
Menurut hemat penulis, pemerintah
pusat melalui kementerianterkait sudah
selayaknya turun tangan atau lebih intens lagi
menangani situs sejarah eks Kamp Konsentrasi
Boven Digoel. Oleh karena keberadaan eks
Kamp Konsentrasi Boven Digoel pada masa
silam (kolonial) gaungnya tersebar ke penjuru
Nusantara dan Eropa.Apalagi saat ini (sejak

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No.2, 2016, hlm. 81-92
91
tahun 2012) Monumen Bung Hatta sudah
berdiri kokoh di depan situs sejarah tersebut
yang menandakan eksistensinya sejak masa
pergerakan nasional.
SIMPULAN
Penunjukan Boven Digoel sebagai tempat
pengasingan kaum pergerakankarenabeberapa
faktor baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain:Pertama, makin
intensifnya gerakan radikal (komunis) di
Indonesia periode 1925-1927 yang
termanifestasi dalam berbagai pemogokan
buruh dan pemberontakan. Aktivitas ini
merupakan ancaman yang harus dihentikan
oleh pemerintah kolonial untuk menjagarust en
order.Kedua, Negeri Belanda merupakan
kekuatan kolonial yang minor atau kecil,
bilamana dibandingkan dengan Spanyol,
Portugis, Perancis,dan Inggris. Artinya, hanya
wilayah Hindia Belanda (Indonesia) yang
memiliki arti strategis bagi keberlangsungan
kolonialisme. Oleh karena itu, lebih strategis
jika mendirikan tempat pengasingan bagi kaum
pergerakan tetap di wilayah Hindia Belanda
daripada di luar negeri (Belanda). Dipilihlah
tempat (Boven Digoel) yang jaraknya sangat
jauh dari pusat pemerintahan di Batavia.
Ketiga, Daerah Boven Digoel letaknya di hulu
Sungai Digoel, Papua bagian Selatan. Wilayah
ini pada awalnya (saat itu) diselimuti oleh
hutan belukar lebat, penuh dengan rawa-rawa
dan sunyi-senyap dengan beraneka ragam
binatang buas, ganasnya nyamuk malaria, dan
suku asli yang masih kanibal. Oleh karena itu,
Pemerintah Kolonial Belanda merasa cocok
untuk mendirikan kamp konsentrasi atau
tempat pembuangan/ pengasingan bagi para
tahanan politik di wilayah ini. Kaum pergerakan
yang dibuang ke Boven Digoel sangat susah
untuk melarikan diri dari wilayah ini.Keempat,
Boven Digoel direncakan kelak dikemudian
hari sebagai ‘Tanah Harapan’ atau masa depan
bagi kaum pergerakan. Artinya, kaum
pergerakan tidak kembali kedaerah asalnya
tetapi tetap di Boven Digoel menghabisnya hari
tuanya. Hal ini dimaksudkan oleh pemerintah
kolonial agar kaum pergerakan ‘terputus’ sama
sekali dengan rakyatnya, sehingga mereka tidak
bisa menyebarkan gagasandan ide-ide
kebangsaan atau nasionalisme.
Boven Digoel memiliki hubungan yang
erat atau berperan penting dalamlintasan
Sejarah Indonesia, khususnya masa pergerakan
nasional. Kini di Era Reformasi Indonesia dan
Otonomi Khusus Papua, eksistensi situs-situs
sejarah di wilayah Boven Digoel selayaknya
mendapat apresiasi dari para pemangku
kepentingan baik di Tanah Papua maupun di
tingkat pusat. Situs sejarah Boven Digoel harus
segera dikelola dengan baik untuk kepentingan
pembangunan pendidikan dan pariwisata.
Keberadaan situs sejarah Boven Digoel dapat
dimanfaatkan para guru IPS (sejarah) sebagai
materi muatan lokal sejarah. Akan tetapi, hal ini
belum sepenuhnya dimanfaatkan para guru di
Papua.Pada masa yang akan datang situs
sejarah Boven Digoel ke depan harus
dikembangkan sebagai tempat wisata sejarah
baik bagi para siswa/mahasiswa maupun para
wisatawan baik lokal, nasional, maupun asing.
Bilamana aspek pariwisata dikelola dengan baik
maka akan berdampak pada perkembangan
dunia pariwisata di Boven Digoel makin
popular yang menjadi salah satu destinasi para
wisatawan. Pada gilirannya perekonomian
rakyat dapat diberdayakan mulai dari kerajinan
tangan, kesenian (budaya), rumah makan,
penginapan (hotel), dan lainnya .
REFERENSI
Garraghan, Gilbert J.(1957).AGuide to
Historical Method.East Fordham Road &
New York: Fordham UP.
Gottschalk, Louis(1986).Mengerti Sejarah.
(Terjemahan Nugroho Notosusanto),
Jakarta: UI Press.
Handoko, Susanto T, dkk.,(2008).Boven
Digoel Dalam Sejarah Indonesia:
Inventarisasidan Dokumentasi Eks
Penjaran Boven Digoel.Jayapura: Dinas
Kebudayaan Provinsi Papua.

Susanto T. Handoko(Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia)
92
Kartodirdjo, Sartono(1992).Pendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah.Jakarta:
Gramedia.
Kuntowijoyo(2003).Metodologi Sejarah,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Manangsang, John(2007).Papua Sebuah Fakta
dan Tragedi Anak Bangsa. Pergumulan:
Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya,
Kedokteran, SDM dan Kemanusiaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mangunadikusumo, Sunaryo, dkk.(1977).
Citra Dan Perjuangan Perintis
Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul.
Jakarta: Depsos.
Mrazek, Rudolf(1994).Sjahrir: Politics and
Exile in Indonesia.Cornell Southeast Asia
Program.
---------(1996).Sjahrir: Politik dan Pengasingan
di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Renier, G.J.(1997).Metode dan Manfaat Ilmu
Sejarah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, I.F.M. Chalid(1977).Lima BelasTahun
Digul: Kamp Konsentrasidi Nieuw Guinea
Tempat Persemaian Kemerdekaan
Indonesia.Jakarta: Bulan Bintang.
Suhartono(2010).Teori & MetodologiSejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Shiraishi, Takashi(2001).Hantu Digoel: Politik
Pengamanan Politik Zaman Kolonial.
Yogjakarta: LKiS.
Wasino(2016).Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Asing Menuju Ekonomi
Berdikari.JurnalParamita.Vol. 26, No.1,
Tahun 2016.
Yuniarti, Fandri dan Chris Verdiansyah (ed.)
(2007).Laporan Jurnalistik Kompas:
Ekspedisi Tanah Papua.Jakarta: Buku
Kompas.
Kompas, 29 Mei 2012, “Jejak Nasionalisme
Boven Digoel (5)”.
Kompas, 30 Mei 2012, “Jejak Nasionalisme
Boven Digoel (6)”.
Prisma, No. 7, 1988.
SuaraPerempuanPapua, 7-12 Agustus 2006.