STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 189 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

STUDI HADIS TEMATIK

Maulana Ira
Mahasiswa Magister Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Langsa
Kampus Zawiyah Cot Kala Jl. Meurandeh Kota Langsa, Provinsi Aceh, 24411, Indonesia
Email: [email protected]

Abstract
This article discuss about thematic study of hadith (mawḍū'ī) methodologically.Mawḍū'ī method is
collect hadith related to the topic or purpose.Thematic approach can be understood through content
and purpose ofa hadith by studying relatedto it and see each correlation in order to obtain a full
understanding on it. There are some steps in studying hadith thematic. study starts from the
determination of themes or issues which will be discussed, collecting hadith related to the theme,
categorization hadith, i'tibār whole sanad hadith, sanad research related to their personality and
intellectual capacity of the narrators, study on matan related to proof whether 'illat (disability) and
syāż (irregularities), an assessment of the themes that contain a similar meaning, comparison
commentary tradition, completing discussions with the hadith or verse support, preparation of
research results, and to be closed with a conclusion

Keywords: Mawḍū'ī, Thematics, Method

Abstrak
Artikel ini membahas tentang kajian hadis tematik (mawḍū‘ī) secara metodologis. Metode
mawḍū‘ī adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan.
Pendekatan tematik dalam pemahaman hadis adalah memahami maksud yang terkandung di
dalam hadis dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang terkait dalam topik pembahasan
yang sama dan memperhatikan korelasi masing-masingnya sehingga diperoleh pemahaman
yang utuh. Langkah-langkah kajian hadis tematik dimulai dari penentuan tema atau masalah
yang akan dibahas, pengumpulan hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, kategorisasi
hadis, i‘tibār seluruh sanad hadis, penelitian sanad berupa kepribadian dan kapasitas
intelektual perawi, penelitian matan berupa pembuktian ada tidaknya ‘illah (kecacatan) dan
syāż (kejanggalan), kajian atas tema-tema yang mengandung arti serupa, perbandingan
syarah hadis, melengkapi pembahasan dengan hadis atau ayat pendukung, penyusunan hasil
penelitian, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan.

Kata Kunci: Mawḍū'ī, Tematik, Metode

Pendahuluan
Eksistensi hadis sebagai sumber
otoritatif kedua setelah Alquran menempati
posisi sentral dalam studi Islam. Otoritas
hadis yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw. mendapat pengakuan dan
legitimasi ilahiah. Beliau merupakan
manifestasi Alquran yang bersifat praktis.
Antara keduanya; Alquran dan Hadis Nabi
dalam beberapa literatur, dinilai berasal dari
sumber yang sama. Perbedaan keduanya
hanya pada bentuk dan tingkat
otentisitasnya, bukan pada substansinya.
Alquran dinyatakan sebagai wahyu matlū
sementara Hadis Nabi dinyatakan sebagai
wahyu gayr matlū.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 190 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

Terintegrasinya hadis Nabi pada
wilayah ilahiyah, telah memposisikannya
sebagai acuan bagi setiap muslim untuk
mengabsahkan setiap prilakunya di
berbagai komunitas di setiap zaman sebagai
upaya untuk mendapatkan gelar sebagai
muslim kāffah, bukan munkir al-
sunnah (hadis), dan penerus kerahmatan.
Kehadiran hadis Nabi di setiap zaman dari
peradaban manusia dituntut betul-betul
mampu menjawab setiap permasalahan
umat sebagai konsekuensi dialektis antara
perkembangan zaman disatu sisi yang lain.
Dan bukan sebaliknya, hadis menjadi
penghalang dari setiap kemajuan peradaban
manusia, dengan menghakiminya sebagai
bidah ḍalālah, sumber per-pecahan,
kejumudan, dan kemunduran.
Usaha di atas bukannya tanpa
kendala. Mengingat proses takwīn al-ḥadīṡ
terjadi ribuan tahun yang silam dengan
tahapan dari setiap tahapan terajut dalam
satu jalilnan proses yang multi-kompleks.
Jika dewasa ini, hadis Nabi dapat dengan
mudahnya dilacak dalam berbagai kitab
mu‘tabarah, kutub al-sittah, maka tidak
serta merta usaha tersebut menjadi final,
banyak dimensi lain yang penting untuk
dipahami. Pada sisi lain, wajah studi hadis
dalam sejarah panjang ilmu hadis lebih
didominasi oleh isnad critique dengan
menjadikan interprestasi tekstual-legalistik
sebagian porosnya dalam kukungan
paradigma teologis menyebabkan hadis
kehilangan dan terputus dari konteks
historisnya. Sehingga studi keislaman lalu
hadir dalam paket-paket produk ulama abad
pertengahan yang saling terpisah dan
cenderung diidealisasikan sebagai produk
yang final dan menempatkan Islam pada
posisi terbelakang.
Based on that reality, berbagai
kalangan menempatkan hadis sebagai objek
kajian ilmu-ilmu modern sekalipun selama
ini ilmu hadis dinilai sudah matang dan
bahkan Baḥr al-Dīn al-Zarkasyī pernah
memposisikan ilmu hadis sebagai ilmu
yang telah matang dan terbakar. Hal
menujukkan pengembangan ilmu tentang
hadis Nabi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam kerangka inilah, maka salah satu hal
yang menjadi perhatian penulis adalah
bagaimana melakukan metode tematik
pengkajian hadis Nabi, yang dirincikan
dalam: Apa pengertian Metode Tematik?,
Bagaimana langkah-langkah kajian hadis
secara metode tematik?, dan Bagaimana
contoh kajian hadis tematik?

Definisi Studi Hadis Tematik (Mawḍū‘ī)
Secara bahasa kata mawḍū‘ī berasal
dari kata عﻮﺿﻮﻣ yang merupakan isim
maf‘ūl dari kata waḍa‘a yang artinya
masalah atau pokok permasalahan.
1
Secara
etimologi, kata mawḍū‘ī yang terdiri dari

1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 1565.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 191 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

huruf ع ض و berarti meletakkan sesuatu
atau merendah-kannya, sehingga kata
mawḍū‘ī merupakan lawan kata dari al-
raf‘u (mengangkat).
2
Mustafa Muslim
berkata bahwa yang dimaksud mawḍū‘ī
adalah meletakkan sesuatu pada suatu
tempat. Maka, yang dimaksud dengan
metode mawḍū‘ī adalah mengumpulkan
ayat-ayat yang bertebaran dalam Alquran
atau hadis-hadis yang bertebaran dalam
kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik
tertentu atau tujuan tertentu kemudian
disusun sesuai dengan sebab-sebab
munculnya dan pemahamannya dengan
penjelasan, pengkajian dan penafsiran
dalam masalah tertentu tersebut.
Menurut al-Farmawī sebagaimana
dikutip oleh Maizuddin dalam bukunya
Metodologi Pemahaman Hadis, disebutkan
bahwa metode mawḍū‘ī adalah
mengumpulkan hadis-hadis yang terkait
dengan satu topik atau satu tujuan
kemudian disusun sesuai dengan asbāb al-
wurūd dan pemahamannya yang disertai
dengan penjelasan, peng-ungkapan dan
penafsiran tentang masalah tertentu. Dalam
kaitannya dengan pemahaman hadis,
pendekatan tematik (mawḍū‘ī) adalah
memahami makna dan menangkap maksud
yang terkandung di dalam hadis dengan
cara mempelajari hadis-hadis lain yang

2
Abū al-Ḥusain Aḥmad ibn Fahris ibn
Zakariya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, juz 2 (Beirūt:
Dār al-Fikr, tth.), 218.
terkait dalam tema pembicaraan yang sama
dan memperhatikan korelasi masing-
masingnya sehingga didapatkan
pemahaman yang utuh.
3
Sedangkan
Arifuddin Ahmad mengatakan bahwa
metode mawḍū‘ī adalah pensyarahan atau
pengkajian hadis berdasarkan tema yang
dipermasalahkan, baik menyangkut aspek
ontologisnya maupun aspek epistemologis
dan aksiologisnya saja atau salah satu sub
dari salah satu aspeknya.
4
Metode mawḍū‘ī
sebagai salah salah satu metode tidak hanya
berlaku dalam pemahaman Alquran
melainkan juga dalam pemahaman hadis.
Istilah metode tematik dalam pengkajian
hadis Nabi merupakan terjemah dari al-
manhaj al-mawḍū‘ī fī syarḥ al-ḥadiṡ. Selain
metode tematik, dikenal sebelumnya dalam
metode taḥlīlī dan metode muqāran.
Metode taḥlīlī mengandung
pengertian pensyarahan atau pengkajian
hadis secara rinci dari berbagai aspek
tinjauan berdasarkan struktur matan sebuah
hadis atau urutan matan hadis dari suatu
kitab hadis secara runtut.
5
Pengkajian
seperti ini, antara lain dilakukan oleh Ibnu
Ḥajar al-‘Asqalānī di dalam kitabnya Fatḥ

3
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis
(Padang: Hayfa Press, 2008), 13.
4
Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam
Pengkajian Hadis (Makassar: Rapat Senat Luar
Biasa UIN Alauddin Makassar), 4.
5
Abd. Muim Salim, “Metodologi Tafsir:
sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapka
Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu”
dalam Orasi Pengukuhan Guru Besar (Makassar:
Berkah Utami, 28 April 1999), 30.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 192 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

al-Bārī ‘alā Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Sedangkan metode muqāran mengandung
pengertian pensyarahan dan pengkajian
hadis dengan membandingkan matan hadis
yang beragam atau dengan menghubungkan
dengan ayat-ayat Alquran dan atau
membandingkan pendapat para ulama
tentang kandungan satu hadis. Pengkajian
seperti ini, antara lain dilakukan oleh al-
Ṣan‘ānī di dalam kitabnya, Subul al-Salām:
Syarḥ Bulūg al-Marām min Jamī‘ Adillah
al-Aḥkām. Hanya saja dalam metode
mawḍū‘ī ini dalam proses pemahaman
kasus atau tema tertentu melibatkan semua
hadis yang setema atau berhubungan
dengan hadis. Kemudian penyelesaian
ikhtilāf hadis sesuai dengan namanya,
hanya pada kasus-kasus yang memperlihat-
kannya perbedaan makna hadis.
Sementara metode hadis mawḍū‘ī
lebih luas lagi, mencakup semua kasus yang
tidak terlihat adanya ikhtilāf di dalamnya
ini dilakukan untuk menemukan makna
substansial dari setiap kasus hadis yang
dibahas dan dianalisis. Jadi metode
mawḍū‘ī hadis yaitu suatu metode
menghimpun hadis-hadis sahih yang topik
pembahasannya sama. Dengan demikian,
hal-hal yang syubhat dapat dijelaskan
dengan hal-hal yang muḥkam. Hal-hal
yang muṭlaq dapat di batasi dengan hal
yang muqayyad (terikat) dan hal-hal yang
bermakna umum dapat ditafsirkan oleh hal-
hal yang bermakna khusus, sehingga makna
yang dimaksud oleh subjek tersebut
menjadi jelas dan tidak bertentangan.
Sejauh ini metode tematik dalam
bidang tafsir telah mendapat respons yang
cukup ramai di kalangan ahli tafsir untuk
memahami isi kandungan Alquran,
namun tidak terjadi di bidang hadis.
Pesatnya perkembangan di bidang tafsir
memacu mufassirūn untuk melakukan
eksplorasi metodologi, di antaranya metode
tematik, seperti yang dilakukan ‘Abbās
Maḥmūd al-‘Aqqād, Fazlur Rahman,
Toshihiko Izutzu, Quraish Shihab,
Harifudin Cawidu dan sebagainya. Di
kajian bidang Ulumul Hadis, ulama hadis
berusaha merumuskan epistemologi ‘ilm
ma‘ānī al-ḥadīṡ yang boleh diartikan
dengan ilmu tentang pemahaman hadis,
namun ilmu ini belum banyak
dikembangkan secara signifikan, sehingga
belum bisa ditemukan rumusan metodologi
yang mapan dalam aplikasinya. Akibatnya,
pemahaman hadis Nabi cenderung masih
bersifat general tanpa melihat struktur
hadis. Artinya semua hadis dipahami sama,
apakah itu riwāyah bi al-lafẓ atau riwāyah
bi al-ma‘nā, begitu juga apakah hadis itu
muṭlaq atau muqayyad.
Hal ini disebabkan barangkali
kompleksnya wilayah kajian ‘ulūm al-
ḥadīṡ–sanad dan matan kalaupun ada yang
berusaha melakukan pemahaman secara
tematik, belum mencapai level yang
memuaskan, karena yang muncul adalah

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 193 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

baru pemahaman tekstual, parsial dan
sporadis, tanpa melihat konteks kesejarahan
(historis),
6
geografis dan sosio-kultural, dan
aspek lainnya misalnya kapasitas Nabi,
setting antropologis,
7
bahkan politis.
8
Maka, sudah barang tentu pemahaman
semacam ini tidak membuahkan hasil yang
memuaskan yang bisa diacu secara
keilmuan. Belum lagi pertimbangan-
pertimbangan kategorik hadis berdasar pada
lokal, temporal (insidental) atau universal,
termasuk kategori hadis tentang akidah,
ibadah, atau muamalah.
Meskipun demikian, para ahli hadis
berusaha keras melakukan klasifikasi dan
sebagian kategorisasi, spesifikasi dan
tematisasi, tetapi belum terlihat rumusan

6
Historis, apakah dijadikan sebagai alat
analisis ataupun sebagai pisau analisis. Dengan
sejarah dapat membantu kita untuk memahami atau
melakukan tarjih suatu hadis yang dimaknai.
7
Sebagaimana yang pernah ditawarkan Said
Agil Husein Al-Munawwar “Kemungkinan
Pendekatan Historis dan Antropologis” dalam
Yunahar Ilyas (ed.), Pengembangan Pemikiran
terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996),
155.
8
Mengingat pada masa sahabat suasana
politis sangat mewarnai pada saat hadis itu
muncul, dengan melihat konsistensi dan tidaknya
periwayatan hadis. Itulah sebabnya, para rawi
hadis (rijal al-hadis) sangat perlu dilihat latar
belakang politis. Rujukan kepada kitab-kitab sejarah
Islam klasik sangat diperlukan dalam hal ini.
Karena historiografi Islam dapat membantu secara
serius dalam melakukan analisas secara kritis,
apalagi dalam suatu hadis terdapat kata yang
mubham, mujmal, muthlaq, muqayyad, ‘am dan
khash, musykil, termasuk juga nasikh dan mansukh.
Belum lagi latar kesejarahan suatu peristiwa yang
dinisbatkan kepada Nabi yang dikategorikan
sunnah (as-Sunnah qabla at-Tadwin). Lihat
Jalaluddin Rakhmat “Pemahaman Hadis:
Perspektif Historis” dalam Ilyas (ed.),
Pengembangan, 144.
metodologis dan kerangka kerjanya.
Sehingga masih terkesan masih umum dan
sedang menuju ke arah metode tematik.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Imam al-Syāfi‘ī, yang mencoba
mengkompilasi matan hadis semakna
maupun yang kontradiktif (ta‘āruḍ) untuk
dilakukan kompromi, para penyusun Kutub
al-Sittah, dengan model klasifikasi dan
spesifikasi tema, juga kitab Bulūg al-
Marām dengan tampilan hadis yang
bertema hukum. Begitu juga yang
dilakukan Majdī ibn Manṣūr ibn Sayyid al-
Syurī yang melakukan takhrīj secara
spesifik terhadap hadis-hadis dalam Majmū‘
al-Fatāwā li al-Imām Taqī al-Din Ibn
Taymiyah.
9
Mungkin yang lebih concern
belakangan muncul Muḥammad al-Gazālī,
Yūsuf al-Qaraḍāwī, dan Syuhudi Ismail.
10


Langkah-Langkah Studi Hadis Tematik
Langkah-langkah pengkajian hadis
dengan metode tematik ini antara lain dapat
dilakukan dengan:
a. Menentukan tema atau masalah yang
akan dibahas
b. Menghimpun atau mengumpulkan
hadis-hadis yang terkait dalam satu
tema, baik secara lafal maupun secara

9
Berjudul al-Hawi fī Takhrīj Ahadiṡ Majmū‘
al-Fatāwā (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1415H/1995M). Secara sistematis dan alfabetis
memaparkan data hadis secara lengkap menurut
kerangka metodologi takhrīj hadis.
10
Suryadi dalam Jurnal Esensia, Fak.
Ushuluddin, Vol. 3 No. 1 Januari 2002, 53.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 194 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

makna melalui ke-giatan takhrīj al-
ḥadīṡ.
c. Melakukan kategorisasi berdasarkan
kandungan hadis dengan
memperhatikan kemungkinan
perbedaan peristiwa wurūd-nya hadis
(tanawwu‘) dan perbedaan
periwayatan hadis.
d. Melakukan kegiatan i‘tibār dengan
melengkapi seluruh sanad.
e. Melakukan penelitian sanad yang
meliputi penelitian kualitas pribadi
perawi, kapasitas intelektualnya dan
metode periwayatan yang digunakan.
f. Melakukan penelitian matan yang
meliputi kemungkinan adanya ‘illat
(cacat) dan syāż (kejanggalan).
g. Mempelajari tema-tema yang
mengandung arti serupa
h. Membandingkan berbagai syarah
hadis
i. Melengkapi pembahasan dengan
hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
j. Menyusun hasil penelitian menurut
kerangka besar konsep
k. Menarik suatu kesimpulan dengan
menggunakan dasar argumentasi
ilmiah.
11

Secara sepintas pemaknaan hadis
dengan model tematik terkesan nampak
sederhana, tetapi jika yang diinginkan hasil

11
Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi
Pemaknaan Hadis (Yogyakarta: Sukses Offset,
2008), 27-29.
yang memadai sudah barang tentu
diperlukan keseriusan, sehingga tidak
semudah yang dikesankan, karena
melibatkan sejumlah elemen pendukung
yang memperkokoh kajian ini. Sehingga
diharapkan dapat ditangkap makna yang
holistik dari sebuah tema tertentu. Memang
disadari, kajian ini menjadi sulit, jika
seluruh langkah dan prosedur berikut ini
dipenuhi secara konsisten dan lengkap.
Paling tidak, tawaran model ini sedikit
banyak mampu mengantarkan kita ke arah
pemahaman yang lebih makro dan luas.
Sehingga kandungan dalam hadis Nabi
saw. didapatkan pemahaman yang lebih
bermakna. Adapun prosedur kerja yang
dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama yang harus ditempuh
adalah menentukan tema tertentu sesuai
keinginan, misalnya tema tentang iman,
kepemimpinan, ilmu, etika pakaian, etika
pergaulan, etika bisnis, dosa besar, tanda-
tanda kiamat dan sebagainya. Kemudian
menghimpun seluruh hadis-hadis yang
sahih dan atau setidak-tidaknya hasan
(senada/sejalan, tidak sejalan, tampak
kontradiktif (ta‘āruḍ/ tanāquḍ), melalui
prosedur takhrīj al-ḥadīṡ,

dengan
melakukan i‘tibārāt, mutābi‘āt dan
syawāhid.
12
Setelah berhasil menghimpun
hadis-hadis setema, maka harus dilakukan
taḥqīq al-ḥadīṡ (prosedur verifikasi dan

12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 111.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 195 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

validasi), sehingga dapat diketahui kualitas
sanad dan matannya.
13
Karena, hadis yang
memenuhi kualifikasi saja yang layak untuk
dimaknai.
Agar dapat diketahui historisitas
suatu hadis, maka pencarian asbāb al-
wurūd,
14
menjadi signifikan dapat
memperjelas sebab-sebab yang melatar-
belakangi munculnya sebuah hadis tersebut,
tentu saja yang dipilih telah memenuhi
kualifikasi sanad dan rawi-nya berdasarkan
teori-teori dalam studi ilmu-ilmu hadis.
Langkah berikutnya adalah melakukan
identifikasi teks (matan) hadis dari aspek
kebahasaan (linguistik), terutama kata
yang mutasyābih (dibawa ke yang
muḥkam), muṭlaq (mengaitkan ke yang
muqayyad) atau makna konotasi ke
denotasi, dan ‘āmm (menafsirkan ke yang
khāṣ) artinya dari makro ke mikro,
musykil (menuju ke makna yang ṣarīḥ),
ḥaqīqī dan majazī, juga makna yang garīb
ke makna waḍīḥ, dan sebagianya.
15

13
Diprioritaskan hadis-hadis yang berkualitas
shahih (yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah),
atau paling tidak hasan (jika berkenaan dengan
akhlak dan faḍā’il al-a‘māl).
14
Yakni peristiwa yang melatarbelakangi
munculnya sebuah hadis, merupakan kausa.
Terutama hadis-hadis tentang hukum, karena
perubahan sebab, situasi dan ‘illat, kecuali hadis-
hadis tentang eskatologis dan aqidah yang tidak
membutuhkan asbab al-wurud al-hadis. Lihat: Muh.
Zuhri, Telaah Matan Hadis sebuah Tawaran
Metodologis (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 62.
15
Kaidah kebahasaan ini dikaji dalam Ilmu
Balaghah, mengingat kapasitas nabi sebagai orang
yang faṣīḥ dan balīg dalam berbahasa Arab. Ulama’
muta’akhkhirūn menganjurkan agar bahasa produk
15 abad yang lalu dapat dipahami secara pas oleh
generasi sekarang diperlukan pengetahuan tentang
Sehingga dapat diharapkan dapat
membantu proses penarikan ide
utama/pokok (main idea) yang akan
dimaknai. Ide pokok dalam sebuah hadis
tidak cukup hanya melihat bab-bab, tema-
tema, judul-judul yang ada dalam kitab-
kitab hadis. Karena dimungkinkan ide
pokok itu tidak tunggal, meskipun kadang-
kadang terlihat ide sekunder (secondary
ide).

Dari sinilah sebenarnya kesatuan ide
terbentuk untuk meng-giring pada suatu
konsep tertentu. Langkah berikutnya adalah
meneliti dalalah (variable-variabel) yang
akan memberikan batasan sebelum
dilakukan pemaknaan secara utuh.
Secara ijmak kaum muslimin,
bahwa hadis Nabi berfungsi menjadi
bayān, tafsir dan tafṣīl bahkan berfungsi
sebagai taqyīd dan takhṣīṣ terhadap suatu
persoalan tertentu, sehingga teks (ayat-ayat)
Alquran secara proporsional harus
dilibatkan,
16
jika peneliti tidak menemukan
secara tekstual (literal) bisa dicari ideal
moralnya atau kandungan maknawi (spirit).
Bukankah segala tindakan Nabi yang
menyangkut, ucapan (statement), tindakan
(action), sikap (attitude), dan keputusan

social setting ketika itu.
16
Untuk mengetahui ayat mana yang
ditindaklanjuti oleh hadis. Mengingat hadis tidak
boleh ada kontradiksi dengan Alquran, jika ada
kontradiksi maka bisa jadi periwayatnyalah yang
keliru atau bi al-wahn, dan harus didahulukan
Alquran dan wajib ma‘mūl bih. Lihat Said Agil al-
Munawwar, “Kemungkinan Pendekatan Historis dan
Antropologis” dalam Ilyas (ed.), Pengembangan,
167.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 196 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

(judgment) Nabi adalah mencerminkan
keseluruhan gagasan etika Alquran (akhlak
Alquran), yang memang mendapat otorisasi
dari Allah Swt.
Kemudian, peneliti dapat menempuh
pemaknaan yang holistik-komprehensif
secara interdisipliner dengan melihat,
menyapa dan mengkorelasikan teori-teori
ilmu pengetahuan yang relevan,
17
sehingga
terjadi dialog keilmuan yang harmonis
dengan saling melengkapi dan
memperkokoh satu sama lainnya. Dengan
melalui langkah ini dimungkinkan
pengembangan dan “pengembaraan”
makna lebih luas dan lebih jauh untuk
tujuan kontekstualisasi.
18
Sehingga hadis
Nabi, tidak kering dari elan vital-nya, sejak
kemunculannya hingga kini. Meskipun
tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis memiliki
dimensi temporal, insidental, lokal maupun
universal, yang harus menjadi
pertimbangan berikutnya.
Analisis terhadap muatan matan
hadis, yang mungkin tepat adalah analisis
historis dengan berbagai pertimbangan dan
alasan akademik, antara lain:
Pertama, pada masa sahabat, hadis-

17
Untuk memperoleh pemahaman yang utuh
untuk menguak informasi tentang konfigurasi yang
menyelimuti munculnya hadis. Lihat Zuhri,
Telaah, 89. Langkah ini dalam rangka melihat
konteks historis maupun antropologis pada saat
hadis itu muncul (Asbāb al- Wurūd al-Ḥadīṡ).
18
Paradigma ini menyangkut wilayah falsafi,
metode, strategi dan substansi, sehingga
dipertimbangkan wilayah mana yang paling
mendekati dan paling memungkinkan; atau paling
tidak dapat membantu sebagai perspektif keilmuan.
hadis yang disampaikan sangat diwarnai
oleh situasi politik. Karena dengan itu, kita
dapat menjelaskan posisi yang tepat antara
konsistensi dan inkonsistensi dalam
periwayatan hadis. Sejarah dapat membantu
untuk mengkrititisi, menerima atau
menolak (tajrīh dan ta‘dīl).
Kedua, untuk memahami hadis perlu
mengetahui latar belakang politis para rijāl
hadis, tak terkecuali para sahabat Nabi Saw
sebagaimana yang dikaji buku-buku rijāl
al-ḥadīṡ, seperti al-Iṣābah, al-Isti‘āb,
Mīzān al-I‘tidāl, Tahżīb al-Tahżīb, Usud al-
Gābah dan sebagainya yang dilengkapi
dengan literatur klasik (historiografi) Islam
agar didapatkan kajian kritis.
Ketiga, keberpihakan para rawi
hadis seringkali mengurangi atau paling
tidak mengaburklan matan hadis.
Keempat, karena kita terlanjur
menyimpulkan sunnah dari hadis, maka
latar kesejaharahan dari suatu peristiwa dan
momentum menjadi sangat penting.
19
Analisis historis ini dipandang urgen dalam
studi hadis terutama metode ma‘ānī al-
ḥadīṡ, dalam rangka untuk mengetahui
konteks di masa lalu (kesejarahan) pada
saat hadis berdialektika dengan ruang sosial
untuk dijadikan cermin pandang konteks
kekinian bagi pencarian ide dan gagasan
dari munculnya sebuah peristiwa pada saat

19
Jalaluddin Rakhmat “Pemahaman Hadis:
Perspektif Historis” dalam Jurnal Al-Hikmah,
Bandung, 17, Vol. VII, Tahun 1996, 24.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 197 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

Muhammad saw. bertindak sebagai utusan
Allah (Rasūlullāh) untuk misi
kemanusiaan. Bagi Fazlur Rahman, hadis
dipahami sebagai produk evolutif dari
konsep sunnah (tradition) sejak awal
dipahami sebagai konsep perilaku, hukum
tingkah laku, hukum moral yang bersifat
normatif, praktik aktual (Barat), tingkah
laku yang merupakan teladan, konsep
pengayoman, terma perilaku (behavioral)
karena dalam praktiknya tidak ada dua buah
kasus yang benar-benar sama latar belakang
situasional (asbāb al-wurūd)-nya secara
moral, psikologis dan material, maka
sunnah harus dapat diinterpretasikan dan
diadaptasikan.

Contoh Studi Hadis Metode Tematik
Dalam dunia bisnis, Nabi Saw.
pernah bersabda tentang larangan
menimbun harta dagangan dengan
merumuskan kode etik dan hukum dagang
yang adil dan humanis.

Setidaknya ada tiga
buah hadis yang dapat dipaparkan, yaitu:
1. Hadis pertama, diriwayatkan oleh
Ahmad bersifat informatif:

ْ
ِﱯَﻨﻟا
ْ

َ

ْ

َ

ُ

ُ

ْ

ِ
ا
ْ

َ
ﻋ : ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺮﻜﺘﺣا
ْ

َ

ﷲا ئﺮﺑ و ﱃﺎﻌﺗ ﷲا ﻦﻣ ئﺮﺑ ﺪﻘﻓ ﺔﻠﻴﻟ ﲔﻌﺑرﺎﺑ
ﻪﻨﻣ ﱃ ﺎﻌﺗ)ﺪﲪا ﻩاور(
“Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi Saw,
bahwa Beliau bersabda: Barangsiapa
menimbun bahan pangan selama 40
malam, maka dia telah mengacuhkan
Allah Ta’ala dan Allah benar-benar
telah tidak mengacuhkannya.” (H.R.
Aḥmad)

2. Hadis kedua, diriwayatkan oleh
Muslim, isinya bersifat per-
nyataan tegas, menimbun makanan
itu suatu tindakan yang salah:
ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ لﺎﻗ ﺮﻤﻌﻣ نا : ﺮﻜﺘﺣا ﻦﻣ
ﺊﻃﺎﺧ ﻮﻬﻓ
“Sesungguhnya Ma‘mar berkata,
telah bersabda Rasulullah alaihi
wa sallam: Barangsiapa yang
menimbun (sesuatu) berarti telah
melakukan tindakan salah” (H.R.
Muslim)

3. Hadis ketiga, diriwayatkan oleh Ibn
Mājah dan al-Dārimī yang isinya
bersifat hukuman bagi penimbun
berupa kutukan:
ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ ،لﺎﻗ بﺎﻄﳋا ﻦﺑا ﺮﻤﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ
ﱮﻨﻟا نﻮﻌﻠﻣ ﻚﺘﶈاو قوزﺮﻣ ﺐﻟﺎﳉا
“Dari Ibnu ‘Umar Ibnu al-Khaṭṭāb
berkata, telah bersabda Rasulullah
Saw.: Orang yang telah men-
distribusikan akan mendapatkan rizki
(keuntungan), dan penimbun
mendapatkan laknat (kerugian).”
(H.R. Ibnu Mājah dan Al-Dārimī)

Dari hadis di atas bila dikaji
menurut metode tematik, maka aplikasinya
sebagai berikut:
Langkah ke-1: Menentukan tema.
Secara jelas temanya adalah penimbunan
(al-Iḥtikār), dengan penyebutan kata kunci,
yaitu: “ﺮﻜﺘﺣا” (penimbunan) disebutkan dua

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 198 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

kali dan “ﺮﻜﺘﺤﻤﻟا” (penimbun) disebutkan
sekali.
Langkah ke-2 dan ke-3: Bila dilihat
dari segi sanad, bahwa hadis nomor
pertama dan kedua diriwayatkan oleh
beberapa orang rawi melalui jalur Imam
Muslim dan Abū Dāwud dan sanadnya
sahih, ada yang mengatakan sanadnya
hasan melalui jalur lain, sehingga
derajatnya menjadi ṣaḥīḥ li gayrihi, karena
adanya mutābi‘ yang berpredikat sahih.
Hadis pertama, meskipun sanadnya hasan,
tetapi sejalan dengan hadis kedua.
20
Sedangkan hadis ketiga diriwayatkan oleh
Ibn Mājah dan al-Dārimī dengan kualitas
sanad hasan. Ketiga hadis tersebut tidak ada
kontradiksi dan diungkapkan dengan
bahasa yang jelas, bahkan saling
melengkapi dan memperkuat, sehingga
memenuhi syarat untuk dimaknai.
Langkah ke-4: melacak asbāb al-
wurūd.
Hadis tersebut ditemukan asbāb al-
wurūd, bahwa di zaman Nabi Saw, ada dua
sahabat (rawi hadis) saling tuding
melakukan perbuatan penimbunan (iḥtikār),
Said tertuduh sebagai pelaku penimbunan
(muḥtakir), tetapi Said mengelak, bahkan
menuduh balik Ma‘mar-lah yang
melakukan praktik penimbunan. Sehingga
muncul perdebatan cukup sengit di antara

20
Zuhri, Telaah, 79. Dalam Muslim hadis
nomer 3012, Abu Daud: 2990, Ibn Majah: 2145,
Ahmad: 15198, 15201, 25987 dan al-Tirmidzi: 1188.
berdua.
Langkah ke-5: Analisa linguistik,
yang paling mungkin dilihat adalah kalimat:
ركتحا ﻢﻧ . Abu Yusuf memberi arti Ihtikar
yaitu “Setiap yang diperlukan
kepentingan umum dan
menahannya”. Kalimat ini adalah ‘am,
tanpa ada kepastian subyek pelakunya
laki-laki atau perempuan, beragama Islam
ataupun tidak, tanpa ada kategori kelas
pengusaha, apakah kecil, menengah atau
konglomerat. Kata kedua, ﺎﻌطم (makanan)
adalah kata muthlaq, tanpa disebutkan
secara spesifik (muqayyad) jenis
makanan/barang apa yang ditimbun, bisa
beras, jagung, gandum, minyak atau jenis
bahan/barang yang lain, juga tanpa ada
batasan (limit) berapa besar dan jumlahnya.
Secara tekstual, penimbunan tersebut
mengindikasikan secara jelas jika dilakukan
selama 40 malam.
Langkah ke-6: Ada beberapa konsep
ekonomis yang dapat ditangkap antara lain
tentang distribusi, pasar, supply and
demand, stabilitas ekonomi, dan
sebagainya. Ide pokok (ihtikar) terkait erat
dengan konsep ekonomi yang menyangkut
masalah distribusi, bukan masalah berapa
waktu penimbunan. Dalam ekonomi,
dikenal dengan istilah “hukum pasar” yang
menganut hukum supply and demand
(persediaan dan permintaan). Dalam prinsip
ini, bila terjadi ketidaklancaran dalam
sistem distribusi (suatu barang), secara

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 199 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

konvensi yang dilihat adalah masalah
distribusi, apakah ada keseimbangan antara
persediaan (supply) dengan permintaan
(demand). Karena ketidakberimbangan
antara keduanya, bisa dipastikan akan
memunculkan masalah pasar. Jika tidak,
maka dicari faktor-faktor yang
mempengaruhinya, sehingga menjadi jelas
persoalannya. Faktor-faktor terdekat anatara
lain menyangkut tentang a) produksi dan
distribusi b) keadilan ekonomi, c) konsep
harga, d) konsep stabilitas dan ketahanan
pangan, e) kesejahteraan sosial, f) politik
ekonomi, dan mungkin juga lain yang
dipandang relevan.
Langkah ke-7: Pemaknaan terhadap
kandungan hadis dengan cara melihat
variabel dan indikatornya.
Variabel terlihat dari hadis
pertama adalah berupa kata kunci
(keyword) ﺎﻌطم, indikatornya adalah 40
hari. Secara tekstual dipahami,
menimbun pangan selama kurang dari 40
hari diperbolehkan (hadis I) dan perbuatan
ihtikar merupakan perbuatan yang salah
(hadis II) dan orang yang melancarkan
distribusi dagangan (bahan makan) akan
diberi rizki sedang bagi penimbun adalah
terkutuk (hadis III). Menurut ar-Ramli
dalam kamusnya, Ihtikar berarti:
Menimbun sama artinya perbuatan aniaya
dan buruk pergaulan dan perbuatan, atau
dapat diartikan sebagai سﺎﺒﺘﺣا:
(menahan/menyandra).
Langkah ke-8: Pemaknaan yang
holistik-komprehensif (integratif-interko-
nektif) Persoalan pokok dari hadis-hadis
tersebut adalah isu ekonomi, lebih khusus
persoalan penimbunan makanan. Jika
dilihat wilayah kajiannya termasuk
masā’il al-fiqhiyyah bidang mu‘āmalah
māliyah. Maka untuk menentukan dan
menjelaskan konsep yang ada, tidak cukup
hanya berkutat hanya pada wilayah teks
secara sempit tanpa didekati dengan teori-
teori ekonomi yang terkait erat dengan
tema.
Secara fitrah, manusia hidup selalu
berusaha untuk memenuhi hajat hidup agar
dapat bertahan hidup secara wajar.
Makanan merupakan kebutuhan manusia
paling asasi (basic need) berupa bahan
pangan untuk keperluan sehari-hari, sesuai
dengan konteks geografi dan kebiasaan
suatu daerah/wilayah atau negara tertentu.
Jika bahan pangan ditimbun oleh seseorang
atau kelompok atas nama individu atau
perusahaan pasti berakibat pada
kelangkaan. Kecuali yang melakukan
penimbunan (iḥtikār) adalah pemerintah
untuk maksud-maksud yang positif, di
zaman Nabi saw adalah pihak Baitul Mal,
itupun untuk maksud mengendalikan
distribusi dan harga.
Variabel lain, menurut hukum pasar,
jika terjadi kelangkaan apapun jenis
barangnya, maka secara otomatis sistem
distribusi akan terganggu yang akan

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 200 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

mempengaruhi harga pasar. Sedangkan
indikatornya, masyarakat merasa
kesempitan dan kesulitan karena
terbatasnya barang apalagi berupa bahan
pangan. Jika dibiarkan lambat laun pada
gilirannya menimbulkan goncangan
ekonomi yang berimplikasi pada
terganggunya stabilitas ekonomi, tindak
kriminal meningkat, kamtibmas terusik,
maraknya pelanggaran hukum. Jika hal ini
terjadi, sangat mungkin terjadinya konflik,
baik secara vertikal maupun horisontal.
Ketidaklancaran sistem distribusi
biasanya dilakukan oleh para spekulan dan
pelaku monopoli, yang mengambil
kesempatan dalam kesempitan yang
berujung pada keuntungan pada segelintir
orang dan kelompok kecil tertentu. Dalam
konteks Indonesia, pada 10 tahun terakhir
telah dihebohkan berbagai krisis dari
berbagai dimensi, mulai dari moneter,
kepercayaan, ekonomi dan politik. Yang
paling berpengaruh ketika rakyat Indonesia
menghadapi kelangkaan beras dan BBM.
Sekarang basic need orang telah
berkembang yang menyangkut berbagai
jenis barang pokok kebutuhan masyarakat,
seperti gula, BBM, gas, minyak goreng,
tepung dan susu.
Akibatnya harga dari waktu ke
waktu mengalami fluktuasi kenaikan yang
signifikan, sehingga memberatkan
masyarakat. Bahkan terakhir krisis energi
(listrik) yang telah mengancam di beberapa
daerah, terutama di Jawa. Sementara
pemerintah merasakan berat untuk
mengatasinya, paling-paling menempuh
langkah impor terutama sembako jenis
beras dan gula. Kemudian ditindaklanjuti
dengan operasi pasar, seperti kasus
kelangkaan minyak tanah, beras, gas elpiji,
premium, dan yang terakhir minyak
goreng yang hingga kini belum pulih.
Asumsi kapitalistiknya, mekanisme harga
tidak dapat berbuat banyak untuk
mengerem keserakahan nafsu dan konsumsi
foya-foya sekuler, tanpa memperhatikan
sistem harga dan kehendak social, karena
sistem kapitalisme kata M. Umer Chapra,
21
meletakkan beban yang jauh lebih besar
pada pundak mekanisme harga daripada
kemampuan daya pikulnya.
Jika disederhanakan pemahaman
kita, sebuah konsep dalam sebuah bahasa
(hadis) tersebut ternyata memiliki makna
implikasi yang luas (efek domino) dalam
kehidupan, terutama menimbulkan
ketidakseimbangan (disequilibrium), tidak
hanya pada sektor ekonomi, tetapi juga
sosial, hukum, dan sebagainya.
Langkah ke-9: pelacakan ayat-ayat
yang terkait dengan perdagangan, apakah
itu ṡarīḥ ataupun ghairu ṡarīḥ yang
membicarakan: prinsip-prinsip ekonomi,
etika-moral, dan aspek teologis, antara lain:

21
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan
Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), 37.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 201 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

       
     
   
“Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah: 188)
      
       
        
        
         
       
“Orang-orang yang Makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. orang-
orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-
Baqarah: 275)
        
    
“Dan makanlah makanan yang halal
lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.” (Q.S. Al-
Maidah: 88)
        
     
         
       
       
“Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk
rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-
Hasyr: 7).
       
      
     

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 202 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

“Pada hari dipanaskan emas perak
itu dalam neraka Jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: "Inilah
harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, Maka
rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu." (Q.S. Al-
Taubah: 35)
Langkah ke-10: Pemaknaan secara
kontekstual. Dalam Islam, mungkin juga
dalam agama-agama yang lain memiliki
prinsip ajaran bahwa manusia hidup itu
harus saling tolong-menolong, memberi
kemudahan-kemudahan (profesional) dan
tidak saling membuat kesempitan dan
kesengsaraan orang lain. Humanisme ini
mengandung doktrin yang paling mendasar
bahwa kepemilikan itu bersifat nisbi,
meskipun tak dibatasi kuantitasnya selama
kewajiban terhadap kepemilikan itu
dipenuhi dan di dalamnya mengandung hak
orang lain. Maka setiap perilaku ekonomi
harus memperhatikan etik-moral, artinya
tindakan ekonomi tidak sebebas-bebasnya
melakukan apa saja menurut keinginan dan
interes subyeknya, tanpa memperhatikan
kepentingan masyarakat luas.
Mengenai tempo 40 hari yang
disebutkan dalam hadis itu, merupakan
jangka waktu yang rasional dan relevan
untuk mengukur gejolak pasar. Logikanya,
barang apa saja yang ditimbun dan
berakibat pada gejolak ekonomi (pasar)
meskipun penimbunannya hanya pendek
(kurang dari 40 hari) tetap dilarang. Jika
barang itu yang ditimbun berupa kebutuhan
dasar/pokok mayoritas orang, maka dapat
dikategorikan sabotase ekonomi yang
mengarah pada tindakan subversif. Di
Negara kita Indonesia memegang prinsip
bahwa kepentingan hajat orang banyak
lebih dahulukan daripada kepentingan
minoritas orang. Meskipun realitasnya tidak
demikian, sehingga sering diterpa badai
ekonomi yang bertubi-tubi.
Di kalangan ahli fiqh dalam
mensikapi hal ini beragam pandangan,
seperti Abu Yusuf melihat keumuman teks
hadis menyatakan bahwa setiap tindakan
iḥtikār dilarang tidak terbatas bahan
pangan, apalagi bahan pangan tersebut
sangat dibutuhkan masyarakat umum.
Karena penimbunan akan menimbulkan
bahaya yang merata (ḍarar), maka
hukumnya haram yang dapat dianalogikan
(qiyās) sebagai perbuatan dhalim, karena
yang untung hanya pihak yang kuat
(kapitalis), sedangkan pihak konsumen
menjadi berat dan kesulitan. Iḥtikār,
termasuk usaha spekulatif mengandung arti
membeli suatu komoditi dengan maksud
akan menjualnya dengan harga yang lebih
tinggi, hal ini mengakibatkan kenaikan
harga. karena berkurangnya barang dengan
cara buatan. Kenaikan harga buatan ini
oleh Islam tidak dibenarkan, bahkan

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 203 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

dikutuk (mal‘ūn).
22

Bahkan bila dimaknai lebih jauh,
penimbunan hanya salah satu contoh
tindakan ekonomi yang salah, karena dalam
kenyataannya banyak tindakan lain yang
berbeda tetapi juga menimbulkan gejolak
ekonomi, misalnya eksport yang irasional
(tanpa kendali), deposito uang dalam
jumlah yang besar di bank-bank
internasional (luar negeri) dalam praktik
money loundry, spekulasi, pasar gelap
(black market), monopoli-oligopoli (dalam
produkdi dan peranan), monosopni-
oligosopni (bidang pembelian), eksplorasi
tanpa batas, eksploitasi sumberdaya alam
(misalnya: illegal logging), yang menjurus
mencari keuntungan dengan segala cara
(profiteering) dan penyalahgunaan
kebebasan pasar.
23

Bagi Abu Hanifah, larangan ihtikar
hanya diperuntukkan bagi bahan pangan
pokok (sembako) yang selalu diperlukan
masyarakat umum/luas. Berbeda dengan
muridnya, Abu Yusuf dengan melihat
keumuman teks Hadis (matan), larangan
ihtikar itu berlaku umum untuk barang
selain bahan pangan, termasuk emas, perak,
uang, pakaian dengan alasan bahwa
tindakan itu menimbulkan kebencian dan
betul-betul berdampak negatif (haqīqah al-

22
M. Abdul Manan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasam 1997), 156.
23
A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu
Taimiyah, terj. H. Anshari Thayib (Surabaya: Bina
Ilmu, 1997), 297.
ḍarar). Prinsip ini dipegang baik oleh etika
ekonomi Islam bahwa madlarat yang
direncanakan secara sadar dan dilakukan
oleh seseorang atau kelompok kecil untuk
tujuan dimaksud atau tidak, tetap harus
dilenyapkan tanpa harus mem-
pertimbangkan niat (motif) yang
melatarbelakanginya. Meskipun tetap
diakui bahwa menghilangkan madlarat
sama sekali dalam kehidupan manusia tidak
mungkin.
Dalam konteks ini, keterlibatan
pemerintah dalam pasar tidak hanya pada
saat tertentu atau temporal saja. Bagi sistem
ekonomi Islam, ia sebagai muhtasib yang
menempati posisi sebagai fungsi negara,
yakni sebagai perencana, pengawas,
produsen dan sekaligus sebagai konsumen.
Di negara Indonesia, fungsi ini ada di
Bappenas dan bidang terkait lainnya seperti
Ekuin, Perdagangan, Ekowasbang dan
Bulog, maka seharusnya mereka inheren
ada di pasar bersama-sama dengan unit-
unit ekonomik lainnya berdasarkan
landasan yang tetap dan stabil. Oleh karena
itu, keterlibatan pemerintah dalam pasar
berfungsi sebagai supervisor (supervisi)
dan controller (pengontrol). Dalam hal ini
ada dua corak kontrol terhadap mekanisme
pasar, pertama dimaksudkan uintuk
meningkatkan pemenuhan tujuan-tujuan
negara secara efisien dan corak kontrol
kedua yaitu Hisbah yang fungsinya
adalah memelihara agar aturan-aturan

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 204 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

main (role of game) bisa selalu didukung.
Hisbah, adalah sebuah sistem yang
berwenang untuk melakukan pengecekan
langsung (direct control), kendali mutu,
standarisasi, kerapian dan kesopanan
terhadap masyarakat, termasuk memiliki
kewenangan untuk melarang praktik kartel
dan monopoli.
24
Menurut kebijakan ekonomi
(khususnya Negara Islam), meminimisasi
kesenjangan distributif Islam diserap dari
spirit Alquran dan Sunnah yang berkaitan
dengan perilaku konsumtif seperti adanya
larangan bermewah-mewah, berlebih-
lebihan, larangan peredaran dan pemusatan
(konsentrasi) harta hanya di kalangan
sejumlah kecil orang tertentu, karena Islam
mengedepankan aspek kemasyarakatan
(social-minded). Maka basis utama
distribusi dalam Islam adalah prinsip
kesamaan harga diri (sawāsiyyah),
pemerataan (equity) dan persaudaraan
(ukhuwwah),
25
sehingga kesejahteraan
individu dan masyarakat luas (individual
and social welfare) dapat terjamin,
sebagai pemenuhan rasa keadilan, termasuk
keadilan dalam bidang produksi, konsumsi
dan distribusi.
Langkah ke-11 (akhir): pengambilan

24
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah
Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam),
terj, Machnun Husein (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 68-69.
25
Amin Akhtar dalam Ainur R. Sophiaan,
Etika Ekonomi Politik (Surabaya: Risalah Gusti,
1997), 87, 101.
kesimpulan. Dari uraian di atas, bisa ditarik
kesimbulan relevan, bahwa semua tindakan
ekonomi yang didasarkan atas kepentingan
sektoral-eksklusif (individu maupun
kelompok tertentu), sebagai tindakan
penyalahgunaan kebebasan pasar, karena
hak-hak publik (public rights) akan
terganggu, terutama dalam pemenuhan
kebutuhan dan pada glilirannya akan
menimbulkan instabilitas di beberapa sektor
kehidupan yang menjurus kepada perilaku
dhalim. Sesungguhynya rizki dari Allah
dilarang untuk dimonopoli dengan cara dan
dalih apapun, termasuk di dalamnya adalah
ihtikar, sejak abad pertengahan umat Islam
menentangnya, yang dikategorikan
tindakan dosa, karena menimbulkan
dampak pada harga yang tidak adil dan
tidak jujur, yang hal itu tidak dikehendaki
yurisprudensi Islam sejak awal, sebab
dalam sistem ekonomi termasuk ekonomi
Islam menghendaki harga yang ekuivalen
(setara) atau ṡaman al-miṡl.
Untuk mensikapi hal itu, maka
pemerintah (Ulil Amri) melalui institusi
ḥisbah sebagai pengontrol dan pengawas
berkewajiban dan bertanggung jawab
mengendalikan sistem produksi dan
distribusi barang, terutama bahan pangan
pokok (basic need) dan kebutuhan primer
lainnya, dengan tidak memberi ruang dan
kesempatan bagi pelakunya menerapkan
sistem bebas (laissez faire), tapi harus
mengedepankan sistem terkendali yang

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 205 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

berbasis etika dan moral yang melekat dan
demi kesejahteraan rakyat. Hadis di atas
bila dilihat dari perspektif filsafat ilmu,
secara ontologis, kebenaran ajaran yang
dikandung tidak cukup untuk diyakini pada
level iman saja, sedangkan pada dataran
epistemologis institusi ekonomi (ḥisbah)
berperan dalam mengatur dan
mengendalikan mekanisme pasar yang
menyangkut produksi dan distribusi,
sehingga tindakan pengawasan, regulasi
dan pencegahan (aksiologis) terhadap
perilaku pasar bisa dikendalikan, termasuk
praktik iḥtikār. Bila dilihat dari kandungan
hadis, muatan substansinya berskala makro-
universal yang tidak dibatasi oleh dimensi
ruang geografi dan waktu, karenanya
mengandung tuntutan aktual syar‘iyyah
yang harus ditaati oleh seluruh pelaku
ekonomi, khususnya para praktisi/pelaku
ekonomi Islam.

Kesimpulan
Studi hadis mauḍū‘ī adalah
mengumpulkan hadis-hadis yang terkait
dengan satu topik atau satu tujuan
kemudian disusun sesuai dengan asbāb al-
wurūd dan pemahamannya yang disertai
dengan penjelasan, pengungkapan dan
penafsiran tentang masalah tertentu. Dalam
kaitannya dengan pemahaman hadis
pendekatakan tematik (mauḍū‘ī ) adalah
memahami makna dan menangkap maksud
yang terkandung di dalam hadis dengan
cara mempelajari hadis-hadis lain yang
terkait dalam tema pembicaraan yang sama
dan memperhatikan korelasi masing-
masingnya sehingga didapatkan
pemahaman yang utuh.
Langkah-langkah studi hadis
tematik dapat disimpulkan sebagai berikut:
Menentukan tema dibahas, menghimpun
atau mengumpulkan hadis-hadis yang
terkait, melakukan kategorisasi berdasarkan
kandungan hadis, melakukan kegiatan
i‘tibar, melakukan penelitian sanad, dan
melakukan penelitian matan.
Penelitian matan hadis meliputi
kemungkinan adanya ‘illat (cacat)
dan syaż (kejanggalan), mempelajari tema-
tema yang mengandung arti serupa,
membandingkan berbagai syarah hadis,
melengkapi pembahasan dengan hadis-
hadis atau ayat-ayat pendukung, menyusun
hasil penelitian menurut kerangka besar
konsep, dan menarik suatu kesimpulan
dengan menggunakan dasar argumentasi
ilmiah.

STUDI HADIS TEMATIK Maulana Ira

Al-Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis 206 Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2018 M/1440 H

Daftar Pustaka

Aḥmad, Abū al-Ḥusain. Mu‘jam Maqāyis al-Lugah. Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.
Ahmad, Arifuddin. Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis. Makassar: Rapat Senat Luar
Biasa UIN Alauddin Makassar.
Akhtar, Amin. Etika Ekonomi Politik. Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.
Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terj. H. Anshari Thayib Surabaya: Bina Ilmu,
1997.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terj,
Machnun Husein, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Maizuddin. Metodologi Pemahaman Hadis. Padang: Hayfa Press, 2008.
Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Terj. M. Nastangin, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasam 1997.
al-Munawwar, Said Agil Husein. “Kemungkinan Pendekatan Historis dan Antropologis”
dalam Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis. Yogyakarta: LPPI
UMY, 1996.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Rakhmat, Jalaluddin. “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis” dalam Jurnal Al-
Hikmah,Bandung, 17, Vol. VII, Tahun 1996.
Salim, Abd. Muim. “Metodologi Tafsir: sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu” dalam Orasi pengukuhan Guru Besar,
Makassar: Berkah Utami, 28 April 1999.
Surya. Jurnal Esensia, Fak. Ushuluddin. Vol. 3 No. 1 Januari 2002.
Yusuf, Muhammad. Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis. Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: Lesfi, 2003.