Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia
Vol. 16, No. 3, 2001, 246 - 260

SIKLUS TUJUH TAHUNAN EKONOMI INDONESIA
(1931-1966-2001-2036)


Mubyarto
Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Indonesian economy has been experiencing 7 year cycle starting the year of
independence in 1945. In a larger cycle, the economic and political crises took place
every 35 years (5 x 7 years), hence the crisis of 1931, 1966, and 2001. There are also 3
x 7 years historical “repeat” in the national debate of Indonesian economy i.e., the year
of 2001, 1980, and 1959. The year of 1959 was important in Indonesian economic
history because it was the year when Indonesia decided to return to the 1945
Constitution after the “konstituante” (Constitution Making Body) failed to make a new
constitution. It is important to note that social justice for the whole Indonesian people is
the final goal of national development where equity and justice is observed and poverty
is eradicated. Indonesian economy can best be analyzed by moral economy and
transdiscriptinary approach rather than strict neoclassical economy theory. That is why
many economists were surprised by the coming of Indonesias monetary crises.
Keywords: economic cycle, economic reform, peoples economy.

PENDAHULUAN
Salah satu gejala atau sifat sistem ekonomi
pasar adalah adanya siklus atau “konjungtur”
kegiatan ekonomi, baik siklus jangka pendek,
jangka menengah, maupun jangka panjang. Di
Indonesia kami pernah mengemukakan adanya
siklus 7 tahunan sejak Indonesia merdeka
sampai tahun 2001, dan tahap terakhir (1994-
2001) kami sebut sebagai tahap Menuju
Ekonomi Kerakyatan
1)
. Selama 56 tahun
merdeka, telah kita lewati 8 kali siklus 7
tahunan sebagai berikut.
1945 – 1952 Ekonomi perang
1952 – 1959 Pembangunan ekonomi
nasional
1959 – 1966 Ekonomi komando
1966 – 1973 Demokrasi ekonomi
1973 – 1980 Ekonomi minyak

1)
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, 2000,
hal. 222.
1980 – 1987 Ekonomi keprihatinan
1987 – 1994 Ekonomi konglomerasi
1994 – 2001 Menuju ekonomi kerakyatan

Jika ekonomi konglomerasi 1987-1994
jelas dirangsang kebijakan deregulasi dan
liberalisasi khususnya kebijakan “Pakto 88”,
tahap menuju ekonomi kerakyatan ternyata
harus dilalui melalui “cobaan Tuhan” berupa
krisis moneter mulai Agustus 1997. Akan kita
lihat di bawah apakah gerakan reformasi yang
kini sedang digalakkan akan benar-benar
merupakan jawaban tepat untuk melancarkan
jalan pewujudan ekonomi kerakyatan.
SEJARAH EKONOMI BERULANG
SETIAP 35 TAHUN
Tigapuluh lima tahun yang lalu (1966)
Indonesia mengalami krisis ekonomi seperti
halnya sekarang yang mungkin baru akan
teratasi secara penuh 4 tahun mendatang
(2005). Jika 35 tahun mendatang (2036) terjadi

2001 Mubyarto

247
krisis ekonomi serupa, maka pada perayaan 1
abad kemerdekaan Indonesia (2045), ekonomi
Indonesia, Insya Allah, akan dalam kondisi
pulih kembali. Reformasi dewasa ini yang
dianggap sebagai keharusan untuk mengatasi
krisis yang sudah menjadi bermuka banyak
(multidimensi) tidak saja ada yang terbukti
tidak tepat, tetapi bahkan ada yang justru
cenderung “menjauhkan” dari tujuan yang
telah ditetapkan bersama, yaitu masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Kita dapat menengok kembali 35 tahun
lalu, pada waktu mahasiswa yang tergabung
dalam KAMI FE-UI mengadakan seminar
“revolusioner,” yang dengan bahasa sekarang
adalah “reformatif” yaitu “menolak segala
praktek keliru yang dilakukan Orde Lama”.
Yang aneh, dalam rangka menolak praktek-
praktek Orde Lama yang “etatistik”, ideologi
ekonomi yang kemudian dianjurkan secara
spesifik tidak lain adalah sosialisme (yang
berlandaskan) Pancasila. Maka dari itu adalah
menarik membaca kembali ceramah-ceramah
para teknokrat ekonomi di hadapan mahasiswa
FE-UI waktu itu yaitu Profesor-profesor
Subroto, Selo Soemardjan, Ali Wardhana,
Moh. Sadli, Emil Salim, Fuad Hassan, Widjojo
Nitisastro, dan Radius Prawiro. Satu-satunya
pakar ekonomi yang sudah menjadi menteri
waktu itu adalah Drs. Frans Seda yang
menjabat Menteri Perkebunan. Seminar dipim-
pin mahasiswa Mustopadijaja, Amir Imam
Poero, dan Sjahrir.
2)

Dr. Emil Salim memberi judul ceramahnya
Membina Ekonomi Pancasila dengan latar
belakang analisis ekonomi politik Marxisme,
dan sekaligus menyangsikan segala kebijak-
sanaan ekonomi pemerintah waktu itu yang
dianggap “kurang menunjukkan kematangan
berpikir”. Prof. Widjojo sendiri menyebutnya
sebagai “kebijaksanaan yang tidak bijak-
sana”.
3)


2)
Seminar KAMI, Jalur Baru Sesudah Runtuhnya
Ekonomi Terpimpin, Sinar Harapan, 1984
3)
Widjojo Nitisastro, Kebijaksanaan Ekonomi dan
Keuangan Yang Tidak Bijaksana, Seminar KAMI,

… penanggulangan inflasi harus juga
diselenggarakan di bidang mental. Nilai-
nilai dan norma-norma yang bergeser itu
harus ditertibkan kembali dalam rangka
usaha mengkonkritkan Pancasila dalam
sikap tindakan dan cara hidup sehari-hari.
… ada baiknya, apabila kita bertanya
pada diri sendiri how to be a good
Pancasilaist dan mencoba mempraktek-
kannya dalam hidup sehari-hari.
… selama ini perhatian dan kepentingan
segolongan kecil saja yang dikejar, demi
merugikan kepentingan golongan rakyat
kecil, dan ini di bawah selubung dalil-dalil
ekonomi dan rumusan yang sok ilmiah.
… segala dalil-dalil ekonomis teknis
seharusnya berlandaskan Pancasila,
Deklarasi Ekonomi dan Amanat Berdikari.
Hanya dengan itikad jujur dari true
believers Pancasilais-Manipolis ini bisa
diharapkan terwujudnya strategi dasar
ekonomi kita menuju ekonomi dan negara
sosialis Indonesia, sebagai manifestasi
ajaran-ajaran Bung Karno.

Demikian dari 2 kutipan ceramah tersebut
kiranya jelas bahwa di Indonesia telah terjadi 3
kali pengulangan sejarah “krisis ekonomi”
masing-masing dalam periode 35 tahun.
Namun yang menarik, jika “pembaruan
kebijakan ekonomi, keuangan dan pem-
bangunan” tahun 1966 sangat kental dengan
upaya membela orang kecil dan ekonomi
rakyat yang telah menjadi korban sistem
ekonomi komando (etatisme 1959-66), dengan
mengacu pada ideologi Pancasila, kini 35
tahun kemudian, ketika ekonomi rakyat telah
benar-benar digusur secara sangat menyakitkan
oleh ekonomi konglomerat, dalam gerakan
reformasi ideologi Pancasila justru tidak lagi
dianggap relevan, dan istilah ekonomi rakyat
oleh sejumlah pakar ekonomi dianjurkan untuk
“dihindarkan karena berbau komunis, atau

idem; Widjojo Nitisastro (hal. 150) dan Emil Salim (hal.
118-121).

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

248
telah terlalu jauh disalahgunakan oleh Orde
Baru”.
Perubahan orientasi pemikiran yang drastis
dari pakar-pakar ekonomi dalam 35 tahun
menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi
penyebabnya. Mungkin salah satu jawabannya
adalah karena sekarang konstelasi ekonomi
dan politik dunia telah berubah, yaitu
liberalisasi dan globalisasi telah begitu nyata,
dan komunisme telah bangkrut pada tahun
1989-1991, sehingga sistem kapitalisme pasar
bebas telah menjadi paham tunggal yang
menguasai dunia. Maka ideologi Pancasila
yang sosialistik-etatistik tidak lagi dianggap
patut untuk dipertahankan. Kapitalisme
sebagai paham pemenang “tidak lagi
(dianggap) serakah dan tidak dianggap berniat
menguasai, karena sudah menguasainya”.
Tentu orang tetap bertanya-tanya apakah
memang paham yang sudah menguasai dan
mendominasi dunia tidak lagi bersifat serakah,
atau sebaliknya dapat lebih serakah lagi.
Bahwa sejumlah LSM tingkat dunia meng-
adakan demonstrasi menentang pertemuan
WTO, IMF, dan Bank Dunia di Seattle, Praha,
Davos, dan Washington DC, menunjukkan
kekawatiran masih bisa berlanjutnya sistem
eksploitatif atas negara-negara berkembang.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian
UNU (United Nations University) yang
berpusat di Tokyo yang mengusulkan
perombakan total IMF dan Bank Dunia, yang
tidak lagi dianggap cocok untuk membantu
negara-negara berkembang.

It is time to reform the reformers. The
World Bank should stop lending money
and instead should transform itself into an
institution more concerned with develop-
ment in poor countries. The IMF should
play a constructive role in managing and
stabilizing the international financial
system, not only through crisis
management but also through crisis
prevention.
4)


Kesimpulan kita dari analisis di atas adalah
bahwa sejarah ekonomi Indonesia telah
berulang setiap 35 tahun, dan 35 tahun
kebelakang sebelum 1966 adalah tahun 1931,
yaitu saat depresi dunia juga telah meng-
hancurkan ekonomi ekspor Indonesia yang
waktu itu dikuasai kapitalis-kapitalis Belanda.
Maka sudah sepantasnya kita menerawang 35-
45 tahun ke depan yaitu ke tahun 2036.
Periodisasi ekonomi Indonesia mungkin dapat
“diramal” ke depan sbb:

I. 1945 – 1966
(3 x 7 tahun)
Pembangunan bangsa (Nation building), belum ada pembangunan
ekonomi
II. 1966 – 2001
(5 x 7 tahun)
Ekonomisme (Pembangunanisme) diakhiri dengan krisis moneter
1997
III. 2001 – 2036 Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan & Kekeluargaan
(2001 – 2008)
(2008 – 2015)
Perjuangan dan Pergulatan Menuju Sistem Ekonomi yang moralistik
dan manusiawi
(2015 – 2022)
(2022 – 2029)
Sistem Ekonomi Kerakyatan yang Nasionalistik terwujud
(2029 – 2036) Krisis Ekonomi Global seratus tahun setelah Depresi sembilan belas
tigapuluhan
IV. 2036-2045 Sistem Ekonomi Pancasila terwujud
4)



4)
UNU Calls for Overhaul of UN, IMF and World Bank, Jakarta Post, May 5, 2001, hal. 16.

2001 Mubyarto

249
REFORMASI EKONOMI DAN
KAITANNYA DENGAN REFORMASI
POLITIK, HUKUM, DAN SOSIAL -
BUDAYA
Pada tahun 1993 terbit buku Bank Dunia
“The East Asian Miracle”, yang mengisahkan
“keajaiban” 8 negara Asia Timur dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Orang Indonesia
yang waspada akan sulit menerima pujian yang
berlebihan ini, yang dengan pembacaan secara
kritis memang terlihat kurang disertai data-data
empirik yang akurat dan bahkan cenderung
“spekulatif”. Memang benar bahwa Indonesia
telah berhasil menurunkan pertumbuhan
penduduk secara drastis, dan berhasil mencapai
swasembada pangan (beras) pada tahun 1984.
Keberhasilan pengendalian inflasi antara lain
melalui anggaran berimbang, meskipun tidak
salah namun sebenarnya sangat kurang
meyakinkan, karena defisit anggaran masih
selalu terjadi yang kemudian ditutup dengan
bantuan luar negeri. Dapat ditunjukkan pula
bahwa pengendalian inflasi sebenarnya
berhasil lebih karena pemberian subsidi yang
besar pada komoditi pangan khususnya beras,
minyak, listrik dll. Ini semua merupakan beban
negara, yang dalam bahasa ekonomi disebut
“ekonomi biaya tinggi” yang pasti “tidak
efisien”.
Reformasi atau pembaruan sudah menjadi
kesepakatan bangsa Indonesia yaitu berupa
kelanjutan, peningkatan, perluasan, dan
pembaruan. Keempat kata ini, termuat dalam
Bab I (Pendahuluan) GBHN 1993-1998.
Mengapa masalah pembaruan atau refor-
masi ini perlu kita soroti secara khusus?
Sebabnya adalah karena dalam rangka
mengatasi krisis moneter/ekonomi dewasa ini
kita telah sepakat dengan IMF untuk
melaksanakan berbagai kebijakan reformasi
yang sudah ditanda-tangani oleh Presiden
Soeharto 15 Januari 1998, dan sesudahnya oleh
Menteri-menteri EKUIN.
Alasan lain adalah, di dalam masyarakat
sering timbul kesan seakan-akan ada
perbedaan pendapat antara masyarakat, ter-
masuk mahasiswa, yang menghendaki refor-
masi (ekonomi, politik, dan hukum) dengan
pemerintah (Orde Baru waktu itu), yang
menolaknya. Dengan menyebutkan secara jelas
berbagai kebijakan reformasi, pemerintah
wajib melaksanakan reformasi yang sudah
diamanatkan oleh rakyat.
Berhubung dengan itu menjadi jelas bahwa
tidak ada perbedaan pendapat bahwa reformasi
memang perlu, dan harus dilaksanakan “dalam
rangka menumbuhkan dan mengembangkan
kemajuan dan sikap serta tekad kemandirian
bangsa”. Dengan demikian, masalah yang kita
hadapi dapat disederhanakan menjadi pema-
haman isi reformasi/pembaruan yang harus
dilakukan, dan bagaimana melaksanakannya.
Untuk menemukenali isi pembaruan dan
bagaimana melaksanakan pembaruan yang
dimaksud, penegasan berikut perlu dipelajari
sungguh-sungguh.

Hasil pembangunan harus dapat dinikmati
secara adil dan merata oleh seluruh
rakyat Indonesia sebagai peningkatan
kesejahteraan lahir dan kebahagiaan
batin. Kesejahteraan yang merata dan
berkeadilan akan meningkatkan ketahanan
nasional yang selanjutnya akan meratakan
jalan bagi generasi yang akan datang
untuk mencapai masyarakat maju,
sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila. (TAP XXIII/ MPRS, 1966)

Dengan penegasan ini jelas ada keinginan
kuat yang telah menjadi cita-cita pada pendiri
negara Republik Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
dapat terwujudnya masyarakat yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, yang
dinyatakan dalam kesejahteraan yang merata
dan berkeadilan atau masyarakat yang adil dan
makmur. Masyarakat yang adil dan makmur
adalah masyarakat yang taraf kehidupannya
serba berkecukupan (tidak miskin), dan tidak
ada kesenjangan kesejahteraan yang besar
antara warga negara.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

250
Masalah ekonomi jangka pendek yang kita
hadapi adalah bagaimana keluar dari krisis
moneter sekarang. Krisis yang mungkin lebih
tepat disebut sebagai “cobaan” atau “ujian”
Tuhan ini, tidak mungkin kita anggap ringan,
tetapi memang amat berat.
Sebagai umat beragama yang percaya pada
aneka rupa peringatan, cobaan, dan ujuan
Tuhan, maka yang pertama-tama perlu kita
lakukan adalah mengakui keteledoran,
kealpaan, dan kesalahan yang selama ini telah
kita lakukan. Hanya dengan cara menyadari
hal-hal ini kita dapat menemukan secara tepat
berbagai akar masalahnya, dan kemudian
memperbaikinya.

Dan jika kami hendak membinasakan
suatu negeri, maka kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam
negeri itu, maka sudah sepantasnya
berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan
kami), kemudian kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya (Al Israa, ayat 16)

Salah satu kelemahan lain dari bangsa
Indonesia adalah kegemaran disanjung atas
keberhasilan-keberhasilan, dan ketidak-
senangan menerima dikritik. Jika kita terlalu
sering disanjung dan dimanja dengan segala
kenikmatan duniawi, maka itu berarti merupa-
kan awal dari kealpaan dan keterlanjuran.
Sudah disinggung di atas bahwa pada tahun
1993, pada saat Indonesia memasuki PJP II
dan Repelita VI, terbit satu buku “laporan
penelitian” Bank Dunia “The East Asian
Miracle”, yang bagi mereka yang waspada
jelas merupakan “perangkap” berbagai
keterlanjuran yang kemudian kita perbuat.
Pada tahun itu juga sebenarnya sudah
diperingatkan agar kita berhati-hati.

Pembangunan telah berhasil meningkat-
kan pendapatan nasional dan
kesejahteraan rakyat pada umumnya
walaupun masih ada ketimpangan
ekonomi dan kesenjangan sosial yang
menuntut usaha yang sungguh-sungguh
untuk mengatasinya, agar tidak
berkelanjutan dan berkembang ke arah
keangkuhan dan kecemburuan sosial.
(GBHN 1993-1998)

Pernyataan keras dari rakyat ini melalui
MPR tidak cukup memperoleh perhatian,
rupanya karena Bank Dunia menganggap
perekonomian Indonesia sudah dianggap salah
satu dari “East Asian Miracle” yang diberi
definisi sebagai kombinasi dari “rapid,
sustainable growth with highly equal income
distribution”. Pada saat buku Bank Dunia ini
mulai menyebar, sudah ada yang mengingat-
kan bahwa Indonesia tidak seharusnya
dimasukkan dalam “perangkap keajaiban” ini.
Dari bacaan kita secara kritis atas laporan
Bank Dunia ini sungguh amat sulit
menemukan alasan-alasan „keajaiban”
Indonesia, kecuali dalam keberhasilan
penurunan pertumbuhan penduduk dan
keberhasilan mencapai swasembada beras pada
tahun 1984, serta “konsistensi” Indonesia
memertahankan APBN yang selalu berimbang.
Juga Indonesia dipuji sebagai “pintar”
memanfaatkan bonanza minyak, dan dalam
menyesuaikan kebijakan ekonomi makro pada
saat harga minyak anjlog tahun tahun 1982-
1986. Untuk selebihnya ukuran keajaiban
banyak didasarkan pada ukuran
“konvensional” yaitu pertumbuhan ekonomi
yang “bekelanjutan”, meskipun jelas ada
periode-periode pertumbuhan ekonomi amat
rendah (1982 =2,2%), atau inflasi amat tinggi
(1972, 1974).
Juga amat tidak meyakinkan “pembenaran”
tentang tidak adanya kesenjangan dalam
pembangunan melalui tanggapan Presiden
bahwa demokrasi ekonomi telah diperhatikan
oleh ISEI:

The principle of shared growth is also
explicit in Indonesia, where President
Soeharto advocates „economic democracy
… “I hope that ISEI‟s findings on the
system of Economic Democracy receives
as much public exposure as possible and

2001 Mubyarto

251
that all levels of society become involved
in the discussion of this vital issue”.
5)


Prestasi-prestasi dari pemerintah Indonesia
yang dianggap menjadi “kunci keajaiban”
menyangkut komitmen untuk mengatasi
inflasi, mempertahankan anggaran berimbang,
dan komitmen pada keberlanjutan per-
tumbuhan ekonomi.

Soeharto‟s new order government
ascended to power with an explicit
commitment to fight inflation and develop
infrastructure, particularly in the rural
area …
In Indonesia, too, technocrats keep a tight
rein on the budget. Under Soeharto, a
balanced budget has been the corner stone
of government financial policy…
Armed with these instruments, the finance
ministry has established a macroeconomic
environment favorable to growth
.6)


Tentang kesenjangan dan ketidakadilan
yang berkaitan dengan pertumbuhan
perusahaan-perusahaan konglomerat, laporan
khusus tentang Indonesia cukup tajam. Namun
rupanya pujian ini, sekali lagi, lebih kita
perhatikan ketimbang kritik.

A source of increasing concern in recent
years has been the relatively high
concentration of ownership and market
power in the modern business sector in the
hands of large business groups or
conglomerates. The dominance ot the
conglomerates raises issues of both equity
(equal acces to market opportunities) and
efficiency (removal of business to
competition). Efectively and efficienly
dealing with this issue will be an
important test of policies to foster broad
participation in private sector
development.

5)
World Bank, The East Asian Miracle, 1993, op.cit,
p.158.
6)
World Bank, idem, op.cit. p. 171, 172
KEMBALI KE EKONOMI PANCASILA
Pancasila dan UUD 1945 (khususnya pasal
33) mengatur bahwa negara yang terus-
menerus berusaha memakmurkan dan
mensejahterakan rakyat secara maksimal,
harus menguasai cabang-cabang produksi vital
dan sumber daya ekonomi masional. Artinya,
dunia usaha swasta (nasional maupun asing)
dan perorangan tidak seyogyanya lebih
berkuasa dari pada negara. Ketentuan
pembatasan atas kekuasaan perorangan dan
usaha swasta inilah yang rupanya tanpa
disadari dalam proses deregulasi yang
“kebablasan” telah dilanggar. Misalnya dalam
Repelita VI dicantumkan (dengan bangga)
bahwa 73% investasi telah “disumbang” oleh
dunia usaha swasta. Sasaran investasi dunia
usaha swasta yang jauh melebihi investasi
pemerintah ini adalah untuk “mengejar”
pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 6,2%
per tahun, yang kemudian malahan direvisi ke
atas menjadi 7,1%.
Adalah menarik untuk meneliti berapa
bagian dari invertasi swasta yang “dikuasai”
usaha-usaha swasta secara penuh, berapa yang
dikuasai bersama antara usaha swasta dan
pemerintah, dan berapa yang merupakan hasil
kerjasama “kolusif” antara perorangan dan
pemerintah, baik secara terang-terangan atau
secara terselubung. Kerjasama kolusif inilah
yang dituntut masyarakat untuk diberantas,
karena terkait dengan praktek-praktek korupsi
termasuk yang berbentuk monopoli, oligopoli,
dan monopsoni yang merugikan masyarakat.
Reformasi ekonomi Indonesia baik yang
sudah dimulai sejak awal Repelita VI melalui
program pengembangan ekonomi rakyat,
maupun gerakan “liberalisasi” bersama atau
dengan bantuan IMF dalam kaitannya dengan
pemecahan masalah krisis moneter, merupakan
topik amat penting menjelang pelaksanaan
“Repelita VII”. Reformasi ekonomi, dengan
atau tanpa reformasi politik dan hukum,
merupakan tuntutan masyarakat luas untuk
mengurangi ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial yang sudah mencapai tahap

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

252
sangat menghawatirkan pada akhir Repelita V
(1993).
Reformasi ekonomi (economic reform)
menjadi agenda politik penting karena
pembangunan ekonomi selama PJP I (1969-
1994) yang telah berhasil mengangkat
Indonesia dari posisi negara miskin menjadi
negara berpendapatan menengah, dengan
pendapatan perkapita riil penduduk naik 4 kali,
menimbulkan ketimpangan yang serius dalam
pembagiannya, dan sekaligus masih menyi-
sakan 13% penduduk dalam kondisi
kemiskinan absolut. Kehidupan masyarakat
tidak akan tenteram selama kondisi
ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial
berkepanjangan.
Selama 3 tahun Repelita VI, tingkat
kemiskinan sebenarnya sudah menurun cukup
tajam dari 25,9 juta menjadi 22,5 juta, atau dari
13,7% menjadi 11,4%. Penurunan ini hampir 3
kali lebih cepat dibanding laju penurunan 3
tahun sebelumnya (1990-1993). Meskipun
tingkat kemiskinan menurun dengan cepat,
namun belum ada tanda-tanda berkurangnya
ketimpangan dalam pembagian pendapatan
nasional. Juga ketimpangan antardaerah dan
ketimpangan antara sektor industri dan sektor
pertanian bertambah serius.
Ketimpangan Antarsektor: Industri dan
Pertanian. Ketimpangn jenis ini merupakan
masalah lama dan sudah menjadi bahan kajian
para pakar di banyak negara. Upaya
memajukan pertanian telah banyak dilakukan
baik berupa program-program pelayanan yang
diarahkan pada kelompok-kelompok petani
dan nelayan kecil, maupun berupa pengenalan
teknologi unggul seperti revolusi hijau.
Revolusi hijau yang dimulai pada awal
tujuhpuluhan yang mampu menaikkan
produksi beras secara “luar biasa” sehingga
mengakibatkan Indonesia mencapai swasem-
bada beras pada tahun 1984, ternyata belum
mampu mengatasi ketimpangan (dan dualisme
sosio-ekonomi) di perdesaan, dan juga tidak
mampu memeratakan kemajuan antara sektor
pertanian dan industri.
Ketimpangan Antardaerah. Dalam
sejarah, ketimpangan antardaerah terjadi antara
wilayah Jawa dan Luar Jawa, dan sejak
kemajuan Propinsi Bali yang luar biasa,
menjadi ketimpangan antara “Jawa-Bali”
dengan “Luar Jawa-Bali”. Dalam pada itu, kini
mulai menarik analisis ketimpangan pem-
bangunan antara wilayah Indonesia bagian
barat yang jauh lebih maju dangan wilayah
Indonesia bagian timur yang relatif tertinggal.
KBI mencakup 32% dari wilayah dan 81% dari
jumlah penduduk Indonesia, sedangkan
wilayah Jawa-Bali mencakup 7% dari wilayah
dan 60% dari jumlah penduduk keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali (1975-1985)
adalah lebih tinggi (9,2% per tahun) dibanding
6,5% per tahun untuk wilayah “Luar Jawa-
Bali”.
Ketimpangan Antargolongan Ekonomi.
Ketimpangan jenis ini adalah yang paling
berat, dan dalam sistem ekonomi yang
cenderung “liberal-kapitalistik”, perekonomian
yang tumbuh “terlalu cepat” (too rapid
growth) justru mengakibatkan ketimpangan
menjadi makin parah dan makin sulit diatasi.
Setelah kebijakan deregulasi mulai dikembang-
kan pada pertangahan tahun delapanpuluhan,
terjadi ketimpangan serius antara subsektor
“ekonomi konglomerat” (kapitalistik) dan
subsektor “ekonomi rakyat” (tradisional). Gini
ratio pengeluaran per kapita penduduk naik
dari 0,32 (1990) menjadi 0,34 (1993), dan 0,36
(1996). Untuk penduduk di perdesaan Gini
Ratio turun dari 0,31 menjadi 0,27 (1976-
1996), sedangkan di perkotaan tetap (0,36)
meskipun sempat turun menjadi 0,32 pada
periode resesi ekonomi 1984-1987. Gejala ini
sangat memprihatinkan, dan MPR pernah
mengingatkan dalam bahasa yang relatif keras
bahwa “jika ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial tidak dapat dicegah secara
sungguh-sungguh, maka dikawatirkan akan
terjadi keangkuhan dan kecemburuan
sosial”.
Kemiskinan. Satu bentuk ketimpangan
yang paling serius dan paling jelas adalah

2001 Mubyarto

253
kemiskinan absolut, karena mereka yang
miskin absolut tidak dapat hidup secara
manusiawi sesuai sila 2 Pancasila,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab .
Kemiskinan ini sebenarnya sudah mulai
teratasi selama 3 tahun pertama Repelita VI
sampai Indonesia mengalami krisis moneter
mulai Agustus 1997 yang tidak saja
memperlambat upaya-upaya menghapus
kemiskinan, tetapi telah “memiskinkan
kembali” penduduk yang sudah berada di atas
ambang batas kemiskinan.

Tabel 1 Indonesia: Garis Kemiskinan, Taksiran Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin, 1976-
1999
Tahun
Garis Kemiskinan
(Rupiah/kapita/bulan)
Persentase
Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Miskin
(Juta orang)
Perkotaan
Perde
saan
Perko-
taan
Perde-
saan
Total
Persen
Perubahan
Perko-
taan
Perde-
saan
Total
Perubahan
Absolut
(juta)
1976 4.552 2.849 30,8 40,4 40,1 - 10,0 44,2 54,2 -
1978 4.969 2.981 30,8 33,4 33,3 -6,8 8,3 38,9 47,2 -7,0
1980 6.831 4.449 29,0 28,4 28,6 -4,7 9,5 32,8 42,3 -4,9
1981 9.777 5.877 28,1 26,5 26,9 -1,7 9,3 31,3 40,6 -1,7
1984 13.730 7.746 23,1 21,2 21,6 -5,2 9,3 25,7 35,0 5,6
1987 17.381 10.294 20,1 16,1 17,4 -4,2 9,7 20,3 30,0 5,0
1990 20.614 13.295 16,8 14,3 15,1 -2,3 9,4 17,8 27,2 -2,8
1993 27.905 18.244 13,4 13,8 13,7 -1,4 8,7 17,2 25,9 -1,3
1996 38.246 27.413 9,7 12,3 11,3 -2,3 7,2 15,3 22,5 -3,4
1996a 42.032 31.366 13,6 19,9 17,7 - 9,6 24,9 34,5 -
Des. 1998 96.959 72.780 21,9 25,7 24,2 6,5 17,6 31,9 49,5 15,0
Feb. 1999 92.409 74.272 19,5 26,1 23,5 -0,7 15,7 32,7 48,4 -1,1
(19,4) (26,0) (23,4) (15,6) (32,4) (48,0)
Ags. 1999 89.845 69.420 15,1 20,2 18,2 -5,3 12,4 25,1 37,5 -10,9
(15,0) (20,0) (18,0) (12,3) (24,8) (37,1)
Catatan: 1. Angka-angka tanpa Timor Timur
2. Angka-angka 1996a dan Agustus 1999 menunjukkan standar definisi kebutuhan minimum pangan
dalam garis kemiskinan.
Sumber: Puguh Irawan, dkk, Social Safety Analysis and Recommendations: Prospect in Indonesia, BPS,
2001.

Reformasi atau pembaruan bidang ekonomi
adalah upaya perbaikan dalam kebijakan
ekonomi baik dalam jangka pendek,
menengah, maupun jangka panjang, yang
berakibat pada meningkatnya efisiensi
ekonomi nasional dan sekaligus memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Perekonomian
nasional yang efisien adalah yang tidak boros
dalam pemanfaatan sumber-sumber daya
(resources), dan sekaligus berkeadilan. Dalam
perekonomian yang adil aturan-aturan main
berdasar etik dan moral yang telah disepakati
benar-benar dipatuhi oleh semua pelaku
ekonomi.

Keadilan ekonomi adalah aturan main
tentang hubungan-hubungan ekonomi
yang didasarkan pada prinsip-prinsip etik,
prinsip-prinsip mana pada gilirannya
bersumber pada hukum-hukum alam,

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

254
hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial
manusia.
7)


Dalam sejarah perekonomian Indonesia
sejak kemerdekaan, telah berkali-kali terbukti
bahwa efisiensi ekonomi bisa turun menjadi
amat rendah untuk waktu yang lama tanpa
menimbulkan keresahan sosial, tetapi adanya
ketidakadilan ekonomi segera diprotes
masyarakat, dan atau dituntut agar segera
diambil langkah-langkah untuk meniadakan-
nya. Dengan perkataan lain, masyarakat
rupanya tidak sulit mentoleransi inefisiensi
atau ekonomi biaya tinggi, tetapi tidak
membiarkan ketidakadilan berlangsung untuk
waktu lama.
Reformasi ekonomi mempunyai tujuan
kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional dan sekaligus manghapus berbagai
ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir
terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Di samping
inefisiensi dan ketidakadilan, pembangunan
nasional harus berkelanjutan, yaitu tidak boros
atau “kebablasan” dalam penggunaan sumber
daya alam, yang memberikan nikmat
berlebihan pada generasi sekarang tetapi
“menyusahkan” generasi mendatang.
Reformasi ekonomi Indonesia adalah
pembaruan berbagai aturan main tentang
hubungan-hubungan ekonomi dalam masya-
rakat. Aturan-aturan main ini secara
keseluruhan dibakukan dalam sistem ekonomi
Pancasila. Tersusunnya aturan main sistem
ekonomi Pancasila secara baku dan mantap
dewasa ini masih terus mencari bentuk dan
mengalami proses. Namun bahwa sistem ini
sudah masuk dalam GBHN 1998 (yang
berumur sangat pendek) adalah suatu
kemajuan. Bahwa kemajuan ini belum cukup
ditanggapi masyarakat adalah karena muncul-
nya badai krisis moneter secara tiba-tiba yang
menggoyahkan hampir seluruh sendi-sendi
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

7)
Macpherson, C.B., 1985. The Rise and Fall of Economic
Justice, Oxford, op.cit 2-3.
Namun kita tidak perlu menunggu badai krisis
berlalu untuk mengoperasionalkan sistem
ekonomi dengan paradigma baru ini dengan
memperbarui berbagai perundang-undangan
dalam bidang-bidang ekonomi, keuangan, dan
industri. Inilah perjuangan moral untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Kebijakan
ekonomi yang menghasilkan pembangunan
yang berkelanjutan tidak hanya diukur dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga
harus memenuhi 4 kriteria pokok yaitu
keberlanjutan (sustainable), kecukupan dan
keadilan (sufficiency dan equity), dan efisien
(efficiency).
8)

Reformasi ekonomi berarti memperbarui
kebijakan yang keliru atau tidak tepat yang
telah mengakibatkan berbagai masalah
ekonomi dan sosial yang dirasakan berat oleh
masyarakat. Krisis moneter dan krisis ekonomi
bersumber antara lain dari kekeliruan
kebijakan dalam negeri. Meskipun ada faktor
luar yang ikut memperparah keadaan, tetapi
yang segera harus direformasi adalah
kebijakan keliru yang berasal dari kita sendiri.
Reformasi atau pembaruan harus dilakukan
tidak saja untuk mengatasi krisis ekonomi
yang sedang menyerang, tetapi yang lebih
penting adalah untuk “banting stir” menerap-
kan sistem ekonomi yang menjamin
pembagian hasil pembangunan yang lebih adil
dan merata yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pemba-
ngunan nasional merupakan pengamalan
Pancasila yang akan memperkuat jati diri dan
kepribadian manusia, masyarakat, dan bangsa
Indonesia.
KRISMON DAN EKONOMI RAKYAT:
KASUS DESA GADINGSARI DI
KABUPATEN BANTUL DIY
9)

Kabupaten Bantul yang berpenduduk
sekitar 780.000 tahun 2001 adalah salah satu

8)
Herman E Daly. Beyond Growth: The Economics of
Sustainable Development, Beacon Press, Boston, 1996.

2001 Mubyarto

255
kabupaten yang oleh Bupati disebut “dinamis”
tetapi miskin. Pertumbuhan penduduknya
sudah pernah turun di bawah 1% pada tahun-
tahun 1980-81, 1987-90, 1992, dan 1996-99.
Ekonominya tumbuh 6% per tahun selama
1994-97, tetapi pada saat krismon mengalami
kontraksi –9,4% (1998), meskipun kemudian
berhasil pulih dengan pertumbuhan 1,4% tahun
1999. Dibandingkan 3 kabupaten lain dan kota
Yogyakarta, kabupaten Bantul adalah
“termiskin” di Propinsi DIY dengan PDRB per
kapita pada harga berlaku Rp 2,7 juta tahun
1999. Tabel 1 menunjukkan PDRB Bantul
dibandingkan 4 kabupaten/kota lain di DIY.

Tabel 1: PDRB Perkapita Kabupaten /Kota di Propinsi DIY, 1994-1999 (Rp Juta)
Kabupaten/Kota 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Kota Yogyakarta
Kab. Sleman
Kab. Kulon Progo
Kab. Gunungkidul
Kab. Bantul
3,04
1,73
1,45
1,26
1,19
3,54
1,99
1,60
1,46
1,36
4,05
2,25
1,76
1,67
1,53
4,53
2,50
1,93
1,85
1,70
5,73
3,17
2,51
2,59
2,32
6,47
3,67
2,90
2,97
2,70
Propinsi DIY 1,67 1,92 2,18 2,39 3,24 3,81
Catatan: atas dasar harga berlaku

Bahwa kabupaten Bantul yang tanah
pertaniannya jauh lebih subur dari kabupaten
Gunungkidul namun pendapatan per kapitanya
lebih rendah tentu menimbulkan pertanyaan.
Berbagai pertanyaan ini terjawab melalui
kajian cepat (rapid study) di desa Gadingsari,
satu-satunya desa yang tidak termasuk desa
IDT dari 4 desa di kecamatan Sanden.
Desa Gadingsari. Memasuki komplek
perkantoran desa orang mendapat kesan desa
Gadingsari termasuk maju, karena disamping
ada ruang-ruang kantor terpisah untuk Lurah,
Carik, dan Kaur-Kaur lainnya, juga ada “aula”
dan masjid yang cukup baik. Seluruh
penduduk desa sudah menikmati aliran listrik
sehingga menurut Pak Lurah sebagian besar
warga desa sudah memiliki pesawat TV. Pak
Lurah menegaskan bahwa salah satu alasan
desa ini tidak dikategorikan desa IDT adalah
karena sudah cukup tersedia fasilitas sekolah
dari TK sampai SLTA, ada Puskesmas, pasar,
dan Bank (BRI Unit Desa). Di desa ini ada 6
penggilingan beras (huller), 6 buah truk milik
warga untuk mengangkut hasil bumi dan
barang-barang bangunan, 4 minibus, dan 4
mobil sedan. Bahkan dilaporkan sudah ada 142
sarjana lulusan berbagai perguruan tinggi di
Yogyakarta.
Wilayah desa Gadingsari sendiri adalah
8,12 km
2
(812 ha) dengan penduduk 11.272
orang yang berarti kepadatan penduduknya
1.388 orang/km
2
, masih di bawah kepadatan
penduduk kabupaten Bantul secara
keseluruhan (1.519 orang/km
2
), dan juga di
bawah kepadatan penduduk kecamatan Sanden
(1.456 orang/km
2
). Kecamatan paling padat di
kabupaten Bantul adalah Sewon (2.691
orang/km
2
), Banguntapan (2.563 orang/km
2
),
dan Bantul (2.550 orang/km
2
). Dari 2.361 kk
penduduk Gadingsari, 2.300 menyatakan diri
sebagai petani (97%) meskipun 1.377 kk
diantaranya (58%) adalah buruh tani karena
tanah miliknya sangat sempit atau bahkan tidak
memiliki sawah sama sekali (landless). Jika
58% warga adalah buruh tani atau petani tidak
bertanah yang menggantungkan pendapatan
keluarganya dari “memburuh” pada petani
pemilik tanah, maka ada 2 implikasi penting
yaitu pertama, pendapatan keluarga dari
pekerjaan di luar pertanian pasti lebih penting
seperti industri kecil dan perdagangan, dan
kedua, ada konsentrasi pemilikan tanah
pada sejumlah kecil pemilik tanah yang

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

256
kemudian memberikan pekerjaan kepada
buruh tani tak bertanah atau petani gurem ini.
Dari sawah seluas 296 ha, 236 ha di antaranya
(80%) beririgasi teknis, dan dari tanah terbaik
ini 75 ha (32%) adalah tanah bengkok yang
merupakan gaji pamong desa dan tanah kas
desa sebagai sumber penerimaan pemerintah
desa. Dari TA 1999-2000 tanah kas desa seluas
28,3 ha dianggarkan penerimaan sebesar Rp
119,7 juta atau 45,3% dari total APPKD
sebesar Rp 264,2 juta.
Demikian dari perhitungan sederhana ini
kiranya jelas adanya ketimpangan yang serius
dalam pendapatan dan dalam kehidupan
ekonomi rakyat desa Gadingsari. Di satu pihak
61,7% penduduk adalah buruh tani, buruh
srabutan, dan petani gurem, yang pendapatan-
nya rata-rata hanya Rp 50.043 per
kapita/bulan, 30% di bawah garis kemiskinan
(Rp 70.000/kapita/bulan atau Rp. 290.000/kk/
bulan), sedangkan di pihak lain 38,3% adalah
perangkat desa, pengusaha swasta, dan
pegawai negeri, yang berpendapatan rata-rata
Rp 120.926 per kapita/bulan.
Menarik sekali mengamati tabel 2 yang
menunjukkan bahwa pegawai negeri (PNS)
yang sejauh ini selalu dianggap kelompok
miskin, pendapatan rata-ratanya justru paling
tinggi yaitu 4,3 kali pendapatan buruh tani.
Ternyata disamping pendapatan tetap dari gaji
bulanan, seorang pegawai negeri yang
“berpengetahuan” hampir selalu mampu
menambah pendapatannya dengan usaha-usaha
kecil lainnya. Sebaliknya seorang buruh tani
atau buruh srabutan pendapatannya semata-
mata tergantung pada kerja pertanian yang
sempit dan kerja-kerja kasar lainnya.

Tabel 2: Perkiraan Pendapatan Rata-rata
Penduduk Gadingsari
Pekerjaan Utama Pendapatan/Kapita/Bulan
Buruh Tani
Buruh Srabutan
Petani
Perangkat Desa
Swasta
Pegawai Negeri
Rp. 38.467
Rp. 49.950
Rp. 61.711
Rp. 83.888
Rp. 115.162
Rp. 163.727
Sumber: Data primer hasil wawancara 53 orang
penduduk


Analisis lanjut atas kehidupan ekonomi
rakyat Gadingsari sekarang, hampir 4 tahun
setelah krismon, lebih menarik lagi untuk
dilaporkan. Meskipun 62% penduduk mengaku
krismon lebih menyulitkan kehidupan mereka
(dan 37% mengaku tidak terpengaruh apa-apa),
namun dewasa ini hanya 20% yang melapor-
kan hidup “pas-pasan”, dan 48,3% mempunyai
kelebihan pendapatan yang dapat ditabung
(tabel 3).

Tabel 3: Kemampuan Menabung Penduduk Miskin dan Tidak Miskin *


Mampu
Menabung
Pas-Pasan
Tidak Mampu
Menabung
Total
Miskin
Tidak Miskin
10 (30,3%)
19 (70,4%)
8 (24,2%)
4 (14,8%)
15 (45,4%)
4 (14,8%)
33 (100%)
27 (100%)
Total 29 (48,3%) 12 (20%) 19 (31,7%) 60 (100%)
Sumber: Data Penduduk
* Miskin, pendapatan di bawah Rp 70.000/kapita/bulan.

Penduduk yang termasuk miskin pun (55%
dari penduduk keseluruhan), ternyata 30,3% di
antaranya mampu menabung. Pada tabel 4
dapat dilihat perbedaan kemampuan menabung
dari kelompok ekonomi masyarakat desa
Gadingsari.

2001 Mubyarto

257
Tabel 4: Kemampuan Menabung Penduduk
Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
Bagian Yang Mampu
Menabung (%)
PNS
Petani
Usaha Swasta
Perangkat Desa
Buruh Tani
Buruh Srabutan
63,6
59,1
55,6
33,3
30,0
0,0
Sumber: Data Penduduk

Demikian dari data hasil penelitian kecil
yang mencakup 60 kk penduduk Gadingsari
(dipilih secara acak) dapat disimpulkan bahwa
betapapun kemiskinan masih melingkupi
sebagian besar penduduk desa (55%) tetapi
tidaklah dalam bentuk kekurangan pangan atau
kemampuan memenuhi kebutuhan pokok.
Kemiskinan disebabkan ketidakmampuan
mereka mendapat (lapangan) pekerjaan yang
memberikan pendapatan lebih tinggi. Tidak
adanya pekerjaan di desa merupakan masalah
besar bagi penduduk, sehingga sangat masuk
akal jika merantau (meninggalkan desa)
merupakan pemecahan terbaik bagi pemuda-
pemudi desa
10)
. Tujuan “perantauan” mereka
tidak hanya kota-kota Yogyakarta atau Jakarta,
tetapi juga kota-kota industri di luar Jawa,
seperti di Kaltim, Riau, atau bahkan ke luar
negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Timur
Tengah.
Otonomi Daerah dan Otonomi
Masyarakat Desa. Pertanyaan amat penting
yang harus dijawab dalam era otonomi daerah
mulai tahun 2001 ini adalah, apakah
pemerintah desa seperti Gadingsari ini (atau
masyarakat desanya) akan mampu berotonomi
atau mampu mandiri dalam mengurusi dan
memenuhi segala kebutuhan penduduknya.
Jika dilihat dari struktur APPKD TA 1999-
2000 terlihat bahwa nilai PAD mencapai 95%,
dan subsidi atau bantuan pemerintah di atasnya
(pusat, propinsi, dan kabupaten) hanya meru-

10)
Mubyarto (peny.), Peluang Kerja dan Berusaha di
Perdesaan, BPFE, 1985.
pakan 5% saja. Ini berarti bahwa sama sekali
tidak ada ketergantungan pemerintah desa
Gadingsari pada subsidi/bantuan pemerintah
atasan.
Ditinjau dari segi pengeluaran terlihat
bahwa pengeluaran sebesar Rp 163 juta yang
berarti 62% dari total pengeluaran dapat
ditutup seluruhnya dari PAD. Artinya PAD
desa Gadingsari dapat menjamin dilaksanakan-
nya pembangunan yang disamping menjaga
keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat juga sekaligus dapat memberikan
lapangan kerja kepada buruh tani yang
membutuhkan pendapatan. Memang peme-
rintah desa perlu makin kreatif mendisain
berbagai kegiatan/proyek-proyek pembangun-
an yang produktif yang menyumbang pada
peningkatan pendapatan masyarakat desa,
misalnya berupa latihan-latihan keterampilan
industri kecil dan atau kerajinan rakyat.
Kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat ini ada yang
dapat terkait dengan perusahaan-perusahaan
milik swasta (rakyat sebagai buruh) atau ada
yang merupakan kegiatan koperasi. Di sini
jelas ada kebutuhan akan lembaga-lembaga
keuangan mikro untuk membiayai usaha-usaha
ekonomi rakyat yang makin berkembang.
Ekonomi Rakyat dan Krismon. Bahwa
ekonomi rakyat Bantul mengalami
perkembangan baik termasuk pada saat-saat
terjadinya krismon tahun 1998, dapat
ditunjukkan antara lain dari perkembangan
tabungan dan jumlah penabung di BRI Cabang
Bantul (tabel 5).
Dari tabel 3 jelas bahwa ekonomi rakyat
Bantul telah mengalami “perlambatan” dalam
pertumbuhannya ketika terjadi krismon pada
tahun 1997-1998 tetapi pada tahun 1999 sudah
tumbuh kembali secara “luar biasa”. Jumlah
penabung pada tahun 1998 tidak menurun
tetapi meningkat 6% meskipun nilai tabungan
hanya meningkat 1%. Pada tahun 1999 jumlah
penabung meningkat 10% dan nilai tabungan
meningkat 56%, sedangkan rata-rata tabungan
naik 14% dari Rp 425.000 menjadi Rp 595.000
per penabung.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

258
Juga sangat menarik membandingkan
angka-angka penghimpunan dana dari seluruh
Bank di Bantul dan pemberian kredit kepada
nasabah selama periode 1993/94-1999/2000
(tabel 6).




Tabel 5: Tabungan dan Penabung di BRI Cabang Bantul, 1997-1999
Jenis
Tabungan
1997 1998 1999
Nilai
(juta Rp)
Penabung
(orang)
Nilai
(juta Rp)
Penabung
(orang)
Nilai
(juta Rp)
Penabung
(orang)
Tabanas
Simpedes
Simaskot
Giro
17.829
51.620
2.874
2.342
60.916
106.985
2.257
364
18.310
55.481
2.264
3.015
54.486
123.604
2.704
359
28.281
85.338
5.126
3.337
55.962
140.348
3.176
375
Jumlah 72.323 170.158 76.056 180.794 118.745 199.486
Sumber: BPS Bantul, Bantul Dalam Angka 1999, hal 192.


Tabel 6: Penghimpunan Dana dan Penyaluran Kredit Perbankan di
kabupaten Bantul 1993/94-Oktober 2000
Tahun
Bantul
K/D
(%)
Dana
(milyar Rp)
Kredit
(milyar Rp)
1993/94
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98
1998/99 (T IV)
1999/00 (T III)
43,1
56,2
68,0
77,8
120,4
190,0
215,4
30,5
41,4
54,5
71,6
77,8
89,1
110,0
70,8
73,7
80,1
92,0
64,6
46,9
51,1
Sumber: BI, Statistik Ekonomi Keuangan Daerah, Oktober 2000, hal 7 dan 20.



Terlihat dari tabel 4 bahwa selama
krismon 1997-99 tidak terlihat kemerosotan
kegiatan ekonomi di Bantul. Bahkan dapat
dilihat kenaikan penghimpunan dana maupun
penyaluran kredit secara terus menerus yaitu
rata-rata 32% per tahun, dan selama 1996-99
naik rata-rata 56,3% per tahun. Pada triwulan
III 1999/2000 penghimpunan dana di
kabupaten Bantul sebesar Rp 215,4 milyar
merupakan yang terbesar no. 2 di seluruh
Propinsi DIY sesudah kota Yogyakarta.
Penghimpunan dana di kabupaten Sleman,
Gunungkidul, dan Kulon Progo pada tahun
1999/2000 adalah berturut-turut Rp 90,3
milyar Rp 85,3 milyar dan Rp 36,6 milyar,
sedangkan khusus untuk kota Yogyakarta
mencapai Rp 4,9 trilyun.
Kesimpulan. Analisis ekonomi dan
keuangan pada tingkat desa dan kabupaten
seperti dalam kasus Bantul menghasilkan
kesimpulan optimistik tetapi sekaligus
pesimistik. Bahwa krismon 1997-1999
memberikan dampak negatif yang “tidak
parah” pada ekonomi rakyat dan masyarakat
desa tentu menggembirakan. Dan kini hampir
4 tahun setelah krismon meledak bulan
Agustus 1997, sama sekali tidak lagi terasa
dampaknya. Jika ada keluhan sulitnya mencari
pekerjaan bagi sarjana-sarjana di desa
Gadingsari, maka kesalahan tidak dapat

2001 Mubyarto

259
dibebankan pada krismon tetapi pada kecen-
derungan kelebihan pendidikan sarjana yang
sudah berjalan lama. Lapangan kerja bagi
pencari kerja di bawah tingkat sarjana memang
lebih dibutuhkan ketimbang pendidikan
sarjana, lebih-lebih sarjana S2 atau S3.
Gambaran kehidupan ekonomi rakyat pada
tingkat desa tetap merisaukan dalam bentuk
kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dan
sosial. Dalam kondisi kenaikan biaya hidup
akibat inflasi, kelompok penduduk berpen-
dapatan rendah makin berat kehidupannya,
meskipun tidak tanpa harapan. Gambaran
perkembangan ekonomi dan keuangan ternyata
tetap menggembirakan. Yang diperlukan jelas
keberlanjutan program-program pemberdayaan
ekonomi rakyat ala program IDT, dengan
pendampingan yang lebih intensif.
KESIMPULAN
Meskipun Indonesia sudah dikenal sebagai
bangsa yang “berbudaya tinggi”, namun dalam
kenyataannya pertarungan antara budaya asli
dan budaya modern dari Eropa dan Amerika
selalu dimenangkan oleh budaya yang datang
dari luar. Budaya Indonesia yang merupakan
persenyawaan budaya asli, budaya Hindu, dan
Islam, ternyata belum cukup tangguh
menghadapi serangan budaya modern, lebih-
lebih pada tahap globalisasi akhir abad 20 dan
awal abad 21.
Krisis multidimensi yang dipicu krisis
moneter 1997 tidak semata-mata didorong
faktor dari luar, tetapi lebih karena ketahanan
budaya Indonesia belum cukup handal.
Ideologi Pancasila yang tercantum dalam
Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945,
memang diacu sebagai landasan dan strategi
pembangunan nasional. Namun demikian
strategi pembangunan nasional yang handal
dengan landasan ideologi nasional Pancasila
dan asas kekeluargaan belum pernah benar-
benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas
oleh seluruh warga bangsa.
Reformasi yang dipicu krisis multidimensi
dewasa ini terancam gagal karena setiap
komponen masyarakat tidak saja tidak
dirangsang untuk bekerjasama malahan
cenderung bersaing sengit seakan-akan
memperebutkan sesuatu bagi diri atau
kelompoknya sendiri. Kasus desa Gadingsari
di kabupaten Bantul yang miskin tetapi hampir
sepertiga penduduk miskinnya mampu
menabung, sungguh-sungguh menggambarkan
“keajaiban” ekonomi rakyat yang mungkin
sulit dipahami pakar-pakar ekonomi berpaham
Neoklasik pasar bebas. Masalah riil yang
dihadapi di perdesaan bukanlah pengangguran
tetapi kurang berdayanya ekonomi rakyat yaitu
mereka yang bekerja keras lebih dari 35 jam
per minggu tetapi berpendapatan rendah (the
working poor).
Visi masa depan yang jernih hanya dapat
dilihat atau diproyeksikan dengan mengguna-
kan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya
berusaha mewujudkannya dalam tindakan
kongkrit kehidupan sehari-hari terutama
dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral
agama. Maka gejala ketidakmampuan bangsa
mengatasi krisis yang menyerang dewasa ini
membuktikan ketidakpercayaan sementara
warga bangsa terhadap ideologi kerakyatan
dalam Pancasila. Jika Prof. Wijojo Nitisastro
dan Dr. Emil Salim pada awal 1966 begitu
yakin akan ideologi Pancasila (true believers),
para mahasiswanya sekarang (35 tahun
kemudian) rupanya kembali ragu-ragu dan
masih mencari-cari alternatif lain dari
ajaran/paham dari luar dengan alasan telah
terjadinya globalisasi dan “kemenangan”
sistem kapitalisme. Inilah masalah besar yang
dihadapi bangsa Indonesia untuk merumuskan
visi masa depannya. Di satu pihak ada
keinginan menjaga dan mengembangkan
semangat kebangsaan dan kepribadian bangsa
Indonesia yang berideologi Pancasila, tetapi di
pihak lain merasa tidak berdaya dan cenderung
menyerah menghadapi kekuatan kapitalisme
global yang me”raksasa”.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Juli

260
Konflik pendapat tentang bagaimana
melaksanakan reformasi, yang menuju kembali
pada kesatuan dan persatuan bangsa (integrasi
nasional) harus dihentikan, dan tidak boleh
dibiarkan berkelanjutan. Dalam periode 1-2
tahun mendatang berbagai silang pendapat
harus diatasi melalui sarasehan-sarasehan
dengan semangat kebersamaan dan kekeluar-
gaan. Asas gotong-royong dan kerakyatan
yang memancar dari Pancasila harus
diterapkan menuju Indonesia yang satu,
Bhinneka Tunggal Ika.
DAFTAR PUSTAKA
Herman E Daly. Beyond Growth: The
Economics of Sustainable Development,
Beacon Press, Boston, 1996.
Tubagus Feridhanusetyawan, Survey of Recent
Development, BIES, Vol.32, Agustus
1997, hal. 3.
Hall Hil. The Indonesian Economy Since 1966:
Southeast Asia‟s Emerging Giant,
Cambridge University Press, 1996.
McPherson, 1985. The Rise and Fall of
Economic Justice, Oxford, op.cit 2-3.
Mubyarto, Ekonomi Indonesia Dewasa Ini,
Berbagai Pertanyaan Ekonom dan Orang
Awam, dalam Kompas (ed), Mencari
Bentuk Ekonomi Indonesia, Gramedia,
1982.
----------- , Ekonomi Pancasila: Lintasan
Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, 1997.
----------- , Kembali ke Ekonomi Pancasila:
Pemerataan Pembangunan dan
Penanggulangan Kemiskinan, Aditya
Media, 1998.
----------- , Membangun Sistem Ekonomi,
BPFE, Yogyakarta, 2000.
----------- , Prospek Otonomi Daerah dan
Perekonomian Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2001.
---------- , Amandemen Konstitusi dan
Pergulatan Pakar Ekonomi, edisi kedua,
Aditya Media, Yogyakarta, 2001.
Steven Redelet. Indonesian Foreign Debt:
Headed for Crisis of Financing
Sustainable Growth?, BIES, Vol 31, No.3,
Dec 1995, p. 40.
Seminar KAMI, Jalur Baru Sesudah
Runtuhnya Ekonomi Terpimpin, Sinar
Harapan, 1984.
World Bank, The East Asian Miracle, 1993,
op.cit, p.158.