TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts


R
PAPER – OPEN ACCESS

Kajian Sosiologis tentang Masalah Lingkungan Sungai Tallo dan Sungai
Jeneberang di Kota Makassar

Author : Hasbi
DOI : 10.32734/lwsa.v2i1.598
Electronic ISSN : 2654-7066
Print ISSN : 2654-7058

Volume 2 Issue 3 – 2019 TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA)



This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NoDerivatives 4.0 International License.
Published under licence by TALENTA Publisher, Universitas Sumatera Utara dkk.,

Kajian Sosiologis tentang Masalah Lingkungan Sungai Tallo dan
Sungai Jeneberang di Kota Makassar
Sociological Study of the Environmental Problems of the Tallo and Jeneberang Rivers in Makassar City
Hasbi
a
, Mansyur Radjab
b
, Ramli AT
c
, Hikmawaty Sabar
d
a,b,c
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia
d
Program Magister Sosiologi FISIP Universitas Makassar 90245, Indonesia
Email:[email protected], [email protected],
[email protected],

[email protected]

Abstract
Today's environmental problems stem from one of the misconceptions about the relationship between humans and their
environment. This study uses one approach in environmental sociology, which sees human relations with the environment as a
relationship of parasitism and mutual relations. The purpose of this paper is to examine the relationship between parasitism and
the relationship of mutualism between residents and industry with the Tallo and Jeneberang Rivers in the city of Makassar. The
research method is qualitative with the type of case study research. Informants are selected by means of the purposive method.
Primary data obtained through observation and interviews, while secondary data obtained through relevant literature. The results
of the study found a parasitic relationship, namely the behavior of the population and industry that prioritizes the desire to meet
the needs of life and as if free to do anything in the river environment, such as industrial activities that dispose of liquid waste into
rivers, garbage disposal, the number of illegal settlements, landfills continue to use the river area. This behavior has caused various
disasters such as flash floods, silting of rivers, water pollution, damaged agricultural land, and houses flooded. In a mutualism
relationship, there has not yet been a balanced conservation and preservation effort, both in the Tallo River environment and in
the Jeneberang River environment. This shows the need for community and industry understanding in understanding the
relationship between the community and the environment so that they are aware of the importance of environmental preservation.

Keywords: sociological studies, environmental problems, environmental preservation;

Abstrak
Masalah lingkungan dewasa ini salah satunya bersumber daripada kekeliruan cara pandang mengenai relasi manusia dengan
lingkungannya. Kajian ini menggunakan salah satu pendekatan dalam sosiologi lingkungan, yaitu melihat hubungan manusia
dengan lingkungan sebagai hubungan parasitisme dan hubungan mutualisme. Tujuan penulisan ini untuk mengkaji tentang
gambaran hubungan parasitisme dan hubungan mutualisme antara penduduk dan industri dengan lingkungan Sungai Tallo dan
Sungai Jeneberang di kota Makassar. Metode penelitian adalah kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Informan dipilih
dengan cara purposif. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara, manakala data sekunder diperoleh melalui literatur
yang relevan. Hasil penelitian menemukan terjadinya hubungan parasitisme, yaitu perilaku penduduk dan industri yang
mengedepankan hasrat pemenuhan kebutuhan hidup dan seolah bebas melakukan apa saja pada lingkungan sungai, seperti aktivitas
industri yang membuang limbah cair ke sungai, pembuangan sampah, banyaknya pemukiman liar, tempat pembuangan bahan
timbunan yang terus menggunakan area sungai. Perilaku tersebut telah menimbulkan berbagai bencana seperti banjir bandang,
pendangkalan sungai, pencemaran air, lahan pertanian rusak, dan rumah warga terendam banjir. Pada hubungan mutualisme, belum
wujud upaya pelestarian dan pengelolaan yang seimbang, baik di lingkungan Sungai Tallo maupun di lingkungan Sungai
Jeneberang. Hal ini menunjukkan perlunya pemahaman masyarakat dan industri dalam memaknai hubungan antara masyarakat dan
lingkungan agar mereka menyadari tentang pentingnya pelestarian lingkungan.
LWSA Conference Series 02 (2019)
TALENTA Conference Series
Available online at
c2019 The Authors. Published by TALENTA Publisher Universitas Sumatera Utara
Selection and peer-review under responsibility of Konferensi Nasional Sosiologi VIII 2019
p-ISSN: 2654-7058, e-ISSN: 2654-7066, DOI: 10.32734/lwsa.v2i1.598

Kata Kunci: kajian sosiologis, masalah lingkungan, pelestarian lingkungan;

1. Pendahuluan
Masalah lingkungan merupakan salah satu masalah dunia yang mengemuka pada seperempat abad terakhir,
termasuk di Indonesia. Hal ini menunjukkan isu lingkungan menjadi sangat menarik untuk dikaji dan didiskusikan
lebih mendalam. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi lingkungan, mulai dari sosial, politik, ekonomi, hukum,
budaya bahkan agama [1].
Fakta menunjukkan bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global
maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan,
seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak
bertanggungjawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri [2].
Masalah yang terjadi pada lingkungan hari ini, adalah satu dari sekian banyak pertanyaan yang jawabannya
bersumber dari manusia itu sendiri. Menurut Arne Naes, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Pernyataan
tersebut menjadi indikasi kuat bahwa manusia menjadi subjek utama atas permasalahan lingkungan yang terjadi.
Pemaknaan seperti yang dikemukakan Arne Naes [2] sebagai perubahan cara pandang adalah dasar dalam
merekonstruksi kembali pengetahuan dan tindakan manusia yang kerap keliru dalam memanfaatkan alam. Gambaran
tersebut membuka awal pengetahuan bagaimana memaknai relasi antara manusia dan alam dalam sistem kehidupan.
Hal ini berkaitan dengan watak atau cara pandang manusia yang terus mengalami perubahan.
Becker, dkk dalam [3] menyatakan bahwa dalam konteks pengelolaan ekosistem, perlu memfokuskan perhatian
pada hubungan antara manusia dan alam. Identifikasi dari faktor-faktor sosial yang memengaruhi interaksi sifat
manusia diperlukan sebagai landasan untuk definisi yang komprehensif, normatif, transparan, dan operasional dari
dimensi sosial dalam pengelolaan ekosistem.
Krisis lingkungan global dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan cara pandang manusia mengenai
dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada akhirnya, kekeliruan cara pandang ini
melahirkan perilaku yang juga keliru terhadap lingkungan. Manusia keliru memandang lingkungan dan keliru
menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Pada akhirnya cara pandang dan periaku yang keliru
tersebut menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Merujuk pada data rilis dari laporan Status Lingkungan Hidup (SLHD) Sulawesi Selatan tahun 2015 menyebutkan
beberapa isu lingkungan yang layak mendapat perhatian lebih lanjut, yaitu menurunnya kapasitas dan kualitas sumber
air baku. Hal ini umumnya disebabkan oleh pendangkalan, sedimentasi dan pencemaran air permukaan dan tanah.
Pendangkalan dan sedimentasi berasal dari pembukaan lahan yang terus meningkat pada kawasan Daerah Aliran
Sungai (DAS). Sementara untuk pencemaran air permukaan dan tanah secara umum disebabkan oleh sumber dari
kegiatan domestik, pertanian hingga kegiatan industri dan pertambangan. Selain itu menurunnya daya tampung
lingkungan akibat pencemaran dan pengrusakan lingkungan [4].
Di Kota Makassar terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang. Sungai Tallo adalah sungai
yang membelah kota Makassar dan bermuara diantara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa dengan Selat Makassar.
Hasil observasi penulis menemukan bahwa masalah utama yang terjadi di kedua sungai tersebut berbeda. Di
lingkungan Sungai Tallo masalah utama adalah pencemaran air yang disebabkan oleh limbah industri. Manakala di
lingkungan Sungai Jeneberang masalah utama adalah terjadinya pendangkalan sungai yang disebabkan oleh aktivitas
penduduk.
Pada kedua sungai tersebut, kualitas airnya cenderung menurun pada segmen hilir yaitu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Hal ini disebabkan karena sungai lintas perkotaan menjadi tempat buangan sampah dan limbah dari berbagai
kegiatan masyarakat dan industri yang ada di perkotaan.
Kerusakan DAS yang terjadi saat ini dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat
dari pertambahan penduduk, konflik kepentingan, kurangnya keterpaduan antar sektor, dan antara wilayah hulu-
tengah- hilir. Degradasi DAS diperparah dengan pesatnya perkembangan ekonomi dimana banyaknya industri-
industri menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya alam hingga berujung pada tingginya tekanan
terhadap DAS dan berakhir pada kerusakan ekosistem DAS. 144 Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019)

Barber menyebut kesatuan pengelolaan DAS menjadi hal penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk
mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan
membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan
manusia [5].
Melalui kajian sosologis, masalah lingkungan dikaji dari aspek perilaku, tindakan dan budaya masyarakat dalam
hubungannya dengan lingkungan. Menurut Rahmad [6], sosiologi lingkungan dapat dipahami sebagai asas
mutualisme dan asas parasitisme. Pada asas mutualisme, manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lain. Manakala pada asas parasitisme, manusia dan lingkungan memiliki hubungan dimana
antara keduanya menguntungkan yang satu dan merugikan yang lainnya.
Berdasaran pendekatan sosiologi lingkungan, maka dalam konteks kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah
hubungan parasitisme yang menimbulkan masalah lingkungan. Hal ini penting karena telah menimbulkan
keprihatinan dimana hubungan parasitisme sudah menjadi hal yang biasa oleh masyarakat. Maraknya perubahan pola
hidup manusia dalam memandang alam cenderung eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Oleh sebab itu, tujuan
dalam kajian ini adalah untuk mengkaji secara komprehensif tentang gambaran perilaku masyarakat dan upaya
pelestarian terhadap lingkungan Sungai Tallo dan lingkungan Sungai Jeneberang.
Beberapa hasil penelitian tentang hubungan antara manusia dan lingkungan telah dilakukan. Hasil penelitian
Soemarwoto [7] menemukan bahwa perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia.
Manusia berinteksi dengan lingkungan hidupnya. Manusia memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup,
terbentuk dan dibentuk juga oleh lingkungan hidup. Manusia bersifat fenotipe, yaitu perwujudan yang dihasilkan oleh
interaksi sifat keturunan dan faktor lingkungan. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup adalah sirkuler.
Segala aktivitasnya, baik hanya sekadar bernafas hingga membendung sungai, sedikit banyaknya akan berpengaruh
pada lingkungan.
Hasil penelitian Iskandar [8] menemukan bahwa manusia dalam berintekasi dengan lingkungan/ekosistem
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki. Sebagai makhluk sosial, kelompok masyarakat mengembangkan
kebudayaan yang khas untuk adaptasi dalam memertahankan kehidupannya. Kebudayaan tersebut berupa keseluruhan
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Pengetahuan tersebut berisi perangkat-perangkat model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan/ekosistem
yang dihadapi, menciptakan tindakan-tindakan yang tepat agar dapat hidup secara berkelanjutan. Dalam hal ini,
manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan, terjadi hubungan timbal balik sistem sosial ekosistem secara terus-
menerus.
Hasil penelitian Hidayat [9] menemukan bahwa perbedaan fundamental antara antara perilaku manusia dan
lingkungan bermakna bahwa pemahaman peran suatu masyarakat di dalam suatu sistem lingkungan memerlukan
bukan hanya pemahaman bagaimana masyarakat telah berbuat di masa lampau, tetapi juga pada apa yang mereka akan
rencanakan untuk masa depan.
Marx berpandangan bahwa hubungan manusia terhadap alam dimediasi tidak hanya lewat produksi, tapi secara
langsung lewat peralatan-peralatan-yang merupakan hasil transformasi manusia atas alam lewat produksi-
memungkinkan manusia mentransformasi alam secara universal. Alam bermakna praktis bagi manusia sebagai hasil
aktivitas-aktivitas kehidupan dan produksi alat-alat kehidupan. Bagi Marx, dominasi atas bumi bermakna kompleks,
dialektis, dan berasal dari konsep keterasingan. Hal tersebut bermakna, pertama, dominasi bumi oleh manusia yang
memonopoli tanah; kedua, dominasi bumi dan benda mati atas sebagaian besar manusia [10].
Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadinya hubungan secara timbal
balik antara manusia dengan lingkungannya, sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan persepsi manusia itu sendiri
terhadap ekosistem. Tindakan manusia dalam memperlakukan ekosistem, tergantung dari bagaimana individu atau
masyarakat memahami dan mempersepsikan ekosistem. Hasil pemahaman dan persepsi individu atau masyarakat
terhadap ekosistem menentukan arah hubungan antara keduanya, apakah hubungan mutualisme atau justru hubungan
parasitisme.
Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019) 145

2. Metode
Lokasi kajian berada pada daerah aliran Sungai Tallo dan daerah aliran Sungai Jeneberang. Jenis kajian yang
digunakan adalah kajian literatur dan kajian lapangan. Menggunakan pendekatan sosiologi lingkungan untuk
mengkaji tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Objek kajian ini adalah gambaran mengenai hubungan
parasitisme dan hubungan mutualisme antara manusia atau industri dengan lingkungan Sungai Tallo dan lingkungan
Sungai Jeneberang. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara kepada informan yang ditentukan secara
purposive. Manakala data sekunder diperoleh dari berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan seperti buku,
jurnal, dan artikel. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menemukan hasil dan gambaran sesuai
dengan permasalahan kajian.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Hubungan Manusia dan Lingkungan
Manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam. Manusia dan alam adalah kesatuan dalam ekosistem
kehidupan. Keterikatan satu sama lainnya ibarat penanda bahwa keduanya merupakan satu sistem yang saling
memengaruhi. Olehnya, hubungan timbal balik tersebut turut melahirkan berbagai perubahan yang terjadi antara
manusia dan lingkungan.
Isu seputar lingkungan bukan lagi perbincangan baru. Bahkan saat ini, kita banyak didominasi pada persoalan
lingkungan yang terus mengalami kemajuan pesat. Salah satu yang memengaruhi lingkungan adalah faktor sosial,
yang merujuk pada sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat, baik itu perilaku, norma, maupun nilai.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata-
mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis
moral secara global.
Apa yang terjadi pada lingkungan hari ini, adalah satu dari sekian banyak pertanyaan yang jawabannya bersumber
dari manusia itu sendiri. Menurut Arne Naes, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan
perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Pernyataan tersebut
menjadi indikasi kuat bahwa manusia menjadi subjek utama atas permasalahan lingkungan yang terjadi. Apa yang
dimaknai Arne Naes sebagai perubahan cara pandang adalah dasar dalam merekonstruksi kembali pengetahuan dan
tindakan manusia yang kerap keliru dalam memanfaatkan alam.
Manusia memiliki kekhasan budaya dalam berinteraksi dengan ekosistem, baik berupa pandangan-pandangan hidup, nilai-nilai,
norma, dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dari landasan-landasan tersebut dapat membentuk pola-pola perilaku
yang khas masyarakat dalam memperlakukan sumber daya alam dan ekosistemnya.
Terjadinya interaksi secara timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan
persepsi manusia itu sendiri terhadap ekosistem. Tindakan manusia dalam memperlakukan ekosistem, tergantung dari bagaimana
individu atau komunitas masyarakat memahami dan mempersepsikan ekosistem. Persepsi dan pemahaman juga bergantung pada
perkembangan zaman yang secara drastis terus bergejolak. Akibatnya, persepsi manusia terhadap ekosistem juga mengalami
perubahan.
Penelusuran dalam konteks pengelolaan ekosistem akan memberi ruang pada kita untuk memfokuskan perhatian pada hubungan
antara manusia dan alam. Identifikasi dari faktor-faktor sosial yang memengaruhi interaksi sifat manusia diperlukan sebagai
landasan untuk definisi yang komprehensif, normatif, transparan, dan operasional dari dimensi sosial dalam pengelolaan ekosistem.
Definisi seperti itu harus dapat diterapkan di seluruh kondisi dan skala alam dan sejarah, dari individu manusia hingga sistem sosial.
Secara struktural, manusia adalah pelaku yang bertingkah laku dalam batas suatu lingkungan yang mengondisikannya,
sedangkan lingkungan bersifat dinamik dan dapat berubah berkat aktivitas pelaku yang mempunyai kemampuan untuk mencari
alternatif bagi lingkungan hidupnya. Masalahnya sekarang adalah sejauh mana peranan dan pengaruh pandangan hidup terhadap
tingkah laku manusia.
3.2. Hubungan Parasitisme
Hubungan parasitisme dalam kajian ini dimaksudkan adalah hubungan antara penduduk dan lingkungan Sungai
Tallo dan lingkungan Sungai Jeneberang, dimana antara keduanya menguntungkan yang satu, dalam hal ini penduduk, 146 Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019)

dan merugikan yang lainnya, dalam hal ini lingkungan sungai jeneberang. Data rilis dari laporan Status Lingkungan
Hidup (SLHD) Sulawesi Selatan tahun 2014 menyebut beberapa isu-isu lingkungan yang layak mendapat perhatian
lebih lanjut, salah satunya persoalan pencemaran air permukaan dan tanah secara umum disebabkan oleh sumber dari
kegiatan domestik, pertanian hingga kegiatan industri dan pertambangan. Serta menurunnya daya tampung lingkungan
akibat pencemaran dan pengrusakan lingkungan.
Merujuk pada data tersebut di atas, hasil kajian menemukan bahwa masalah utama yang terjadi di Sungai Tallo
adalah pencemaran air yang disebabkan oleh limbah idustri. Hal ini sesuai dengan penjelasan AH, ketua kelompok
budidaya udang di Pulau Lakkang yang dikelilingi aliran Sungai Tallo, sebagai berikut:
masalah besar yang kami hadapi di Pulau Lakkang ini adalah air sungai yang tercemar. Seringkali air sungai
berwarna hitam dan berbau. Sebelum adanya pencemaran tersebut, Sungain Tallo ini kaya dengan ikan-ikan dan
kepiting Sebagian besar warga dulunya merupakan nelayan tangkap. Namun sejak tiga tahun lalu, mulai jarang yang
tangkap ikan karena sebagian besar ikannya mati, bahkan kepiting tidak ada lagi [1].
Penjelasan AH di atas menunjukkan bahwa sebelum pencemaran air, Sungai Tallo adalah salah satu sumber mata
penduduk. Dengan terjadinya pencemaran tersebut maka penduduk di lingkungan Sungai Tallo kehilangan salah satu
sumber matapencaharian. Hal senada dikemukakan R, Ketua Kelompok Harapan Jaya 2 Lakkang, sebagai berikut:
“pencemaran yang terjadi di Sungai Tallo sudah sangat parah dan tidak ada solusi penyelesaian selain menutup
pintu air ketika tingkat pencemaran air meningkat. Buangan limbah dari perusahaan baru muncul seminggu
kemudian. Paling parah selepas hujan deras karena limbah di dasar sungai terangkat ke atas. Jangankan ikan,
biawak saja yang biasanya lebih tahan pencemaran juga mati karena air sungai yang mulai menghitam”[1].
Penjelasan R di atas menunjukkan bahwa pencemaran air di Sungai Tallo menyebkan penduduk kehilangan salah
satu mata pencaharian. Selain itu juga sudah mengancam keselamatan ekosistem di lingkungan Sungai Tallo. Hal ini
terjadi karena bukan hanya pencemaran limbah cair, tetapi juga sampah-sampah yang hanyut ke sungai memperparah
pencemaran Sungai Tallo. Menurut AH, ada tiga sumber pencemaran ini, yaitu buangan limbah dari pabrik gula MT,
limbah solar dari PLTU, dan limbah rumah tangga.
Penjelasan AH dan R di atas adalah wujud penjelasan tentang hubungan parasitisme antara industri dan lingkungan
Sungaia Tallo, yaitu terjadinya pencemaran limbah cair yang mengancam kelangsungan ekosistem di lingkungan
Sungai Tallo.
Berbeda dengan masalah utama di lingkungan Sungai Tallo, di Sungai Jeneberang masalah utama yang ditemukan
penulis adalah banjir bandang. Beberapa hasil temuan lapangan yang menunjukkan bahwa disekitar DAS Jeneberang,
khususnya yang berada di kawasan/wilayah Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar,
terdapat beberapa permasalahan lingkungan sebagaimana yang juga dilaporkan dalam data rilis Laporan Status
Lingkungan Hidup (SLHD) Sulawesi Selatan tahun 2015. Hal ini sesuai dengan penjelasan informan AB (staf Balai
Pengelola DAS Jeneberang sebagai berikut:
“aktivitas-aktivitas warga yang berada di sekitar sungai Jeneberang membahayakan lingkungannya. Kami dari
Balai Pengelola DAS Jeneberang telah menghimbau kepada warga agar aktivitas tersebut tidak dilakukan agar
tidak terjadi pendangkalan sungai agar tdak lagi terjadi peristiwa banjir bandang seperti yang terjadi kemarin.”
Penjelasan AB di atas adalah wujud penjelasan tentang relasi parasitisme antara penduduk dan lingkungan sungaia
jeneberang, antara lain aktivitas pembuangan sampah di sekitar hilir sungai, banyaknya pemukiman liar, tempat
pembuangan bahan-bahan timbunan yang terus mengambil area sungai, adanya aktivitas pertanian, dan industri
pembuatan bataco.
Aneka permasalahan tersebut bermula dari kecenderungan masyarakat sekitar yang terkesan tidak peduli pada
lingkungan. Perilaku tersebut memperlakukan apa saja pada alam tanpa upaya pelestarian dan pengelolaan yang
seimbang. Hal ini terjadi pada informan IR yang menyatakan sebagai berikut:
sebelumnya kami tinggal di dekat jembatan merah, namun karena digusur, kami memilih pindah ke sini (pinggir
sungai). Jamban ada dibelakang dan sampah kami buang juga ke belakang. Nanti kotoran dan sampahnya akan dibawa
oleh air sungai.
Pernyataan informan IR di atas adalah juga wujud relasi parasitisme yang berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem di
lingkungan sungai jeneberang. Hal ini melahirkan sikap dan perilaku manipulatif dan eksploitatif terhadap lingkungan sungai, dan
pada gilirannya melahirkan berbagai krisis ekologi sekarang ini.
Kerusakan lingkungan sungai yang terjadi saat ini dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam
sebagai akibat dari pertambahan penduduk, konflik kepentingan, kurangnya keterpaduan antar sektor, dan antara
wilayah hulu-tengah-hilir. Degradasi sungai diperparah dengan pesatnya perkembangan ekonomi dimana banyaknya Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019) 147

industri menyebabkan tingginya tekanan terhadap sungai dan berakhir pada kerusakan ekosistem sungai. Para pelaku
industri melakukan hal tersebut dengan berbagai alasan. Informan PS sebagai pelaku industri pembuatan bataco
menjelaskan bahwa:

“kami menjalankan usaha bataco ini sudah 10 tahun di area dekat sungai. Area ini kami pilih karena cukup luas
dan tidak dimanfaatkan. Mudah memperoleh air dan limbahnya mudah dibuang ke sungai.”
Penjelasan PS di atas juga adalah wujud relasi parasitisme, yaitu hanya mengutamakan kepentingan usaha, namun
mengabaikan kelestarian lingkungan sungai. Oleh sebab itu, perlu memberi kesadaran kepada masyarakat tentang
pentingnya kesatuan pengelolaan DAS sebagai upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya
alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan penduduk.
3.3. Hubungan Mutualisme
Relasi parasitisme dalam kajian ini dimaksudkan adalah hubungan antara penduduk dan lingkungan Sungai Tallo
dan lingkungan Sungai Jeneberang, dimana antara keduanya saling menguntungkan. Di lingkungan Sungai Tallo,
sejumlah warga Bontoa, Kelurahan Parangloa, Kecamatan Biringkanaya mengeluhkan limbah PT.MT. Ketua RW 01
Kelurahan Parangloe PB mendatangi PT.MT mewakili warganya dan mengeluhkan limbah yang ditimbulkan oleh
aktivitas perusahaan. Menurut PB hal ini terjadi sejak sembilan tahun lalu, kalau kami demo mereka ada tindakan,
namun selepas itu mereka “nakal” lagi. Menanggapi keluhan warga tersebut, Direktur PT.MT menuturkan selama ini
PT.MT terbuka jika ada keluhan dari masyarakat mengenai kondisi yang diakibatkan oleh perusahaannya. Upaya
pihak DPRD Kota Makassar dalam hal ini adalah mempertanyakan data Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)
Makassar terhadap limbah air baku mutu PT.MT di Sungai Tallo. Perlu verifikasi, apakah benar keluhan tersebut
berasal dari PT.MT [11].
Di lingkungan Sungai Jeneberang, upaya penanganan dan pencegahan telah dilakukan oleh pemerintah atas
kerusakan lingkungan yang terjadi di area sekitar sungai Jeneberang agar tercapai relasi mutualisme.
Pemerintah terkait, dalam hal ini Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Jeneberang menjelaskan bahwa
peninjauan kembali pada aturan Tata Ruang telah dilakukan sebab disitu sudah ada penjelasan bagaimana penataan
dan pengelolaan yang baik. Sterilisasi di area sekitar sungai Jeneberang seperti pengerukan sungai karena
pendangkalan sampai pelarangan aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam masyarakat sekitar dan lingkungan telah
dilakukan. Hal itu telah dievaluasi dan dikoordinasikan dengan elemen pemerintah yang lain.
Senada dengan penjelasan dari BPDAS Jeneberang di atas, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) daerah Sulawesi
Selatan dalam konferensi persnya atas penelitian yang telah dilakukan pasca bencana banjir bandang, menyatakan
bahwa pemulihan DAS Jeneberang harus segera dilakukan sebab daya dukung DAS saat ini berada dalam kondisi
yang kritis. Fungsi DAS Jeneberang sebagai daerah tangkapan air harus segera dikembalikan (Rilis Pers Resmi Walhi
Sulsel, tanggal 02 Februari 2019).
Selain itu, meningkatkan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya kesatuan pengelolaan DAS sebagai
upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya
dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi
kesejahteraan masyarakat.

4. Kesimpulan
Masalah lingkungan hidup adalah masalah perilaku manusia. Memaknai hubungan antara manusia dan lingkungan
dalam kajian ini menggunakan kajian sosiologis, yaitu aspek hubungan parasitisme dan hubungan mutualisme di
lingkungan Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang.
Dari hasil kajian lapangan, yang dapat ditemukan pada lingkungan Sungai Tallo adalah hubungan parasitisme,
yaitu pihak industri melakukan pembuangan limbah cair sehingga menimbulkan pencemaran air. Hal ini menyebabkan
hilangnya salah satu mata pencaharian penduduk sebagai nelayan. Manakala di lingkungan Sungai Jeneberang,
ditemukan aktivitas pembuangan sampah, banyaknya pemukiman liar, tempat pembuangan bahan timbunan yang 148 Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019)

terus mengambil area sungai, aktivitas pertanian, dan industri pembuatan bataco. Perilaku tersebut memberi pengaruh
pada perubahan ekosistem lingkungan. Manakala relasi mutualisme belum wujud dalam perilaku masyarakat dan
industri, baik di lingkungan Sungai Tallo, maupun di lingkungan Sungai Jeneberang. Jika tidak dilakukan upaya yang
nyata, harapan pengelolaan ekosistem yang berkesinambungan hanya akan menyisakan masalah panjang dikemudian
hari.

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung kajian ini mulai dari
tahap pengumpulan data hingga tahap penulisan, khususnya masyarakat dan pemerintah di lingkungan Sungai Tallo
dan Sungai Jeneberang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin yang memberi izin dan biaya untuk mempresentasikan paper
ini dalam seminar Konferensi Nasional Sosiologi ke VIII di Medan. Dengan diterimanya artikel ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Pengurus APSSI dan Panitia Kongres Nasional Sosiologi ke 8 di Medan.


Referensi
[1] http:/www.mongabay.co.id, (diakses 25-2-2019).
[2] Keraf, Sony. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas : Jakarta.
[3] Glaser, Marion. 2006. The Social Dimension in Ecosystem Management: Strengths and Weaknesses of Human-Nature Mind Maps. Journal
Human Ecology Review, Vol. 13, No. 2, 2006.
[4] https://silhdsulsel.com/berita-86-status-lingkungan-hidup-sulawesi-selatan-(slhd)
[5] Halimatusadiah, Siti, dkk. 2012. Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum. Sodality: Jurnal Sosiologi
Pedesaan, ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01.
[6] Rahmad K, Dwi Susilo. 2008. Sosiologi Lingkungan. Raja Grafindo Persada: Jakarta
[7] Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan (cetakan kesepuluh). Djambatan : Jakarta.
[8] Iskandar, Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai Perubahannya. Graha Ilmu : Yogyakarta.
[9] Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.
[10] Foster, Bellamy, John. 2013. Ekologi Marx Materialisme dan Alam (Edisi Terjemahan). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) :
Jakarta.
[11] http://makassar.sindonews.com, (diakses 25-2-2019)
[12] Bram, Deni. 2014. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan. Setara Press : Malang.
[13] Dyah Agustiningsih, dkk. 2013. Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal
Presipitasi, Vol. 9 No.2 September 2012, ISSN 1907-187X. Hasbi / LWSA Conference Series 02 (2019) 149