Moderasi Beragama
di Tengah Isu Kontemporer
Kementerian Agama RI
2023

Moderasi Beragama
di Tengah Isu Kontemporer
Milik Kementerian Agama RI
Tidak Diperjualbelikan
Kementerian Agama RI
Tahun 2023

Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Kementerian Agama Republik Indonesia
Hak Cipta 2023, pada Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Pengarah
Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
© Abdullah Haidar, dkk 2023
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
x + 188 halaman, 148 x 210 mm
Cetakan I, Desember 2023
Penulis
Abdullah Haidar, Anifatul Kiftiyah, Danur Putut Permadi, Evania
Herindar, Fahmi Syahirul Alim, Hanif Fitri Yantari, Hendri Hermawan
Adinugraha, Inneu, Mutiara Mudrikah, Irpan Sanusi, Ivan Ashif Ardhana,
Muhammad Abdul Aziz, Muhammad Shulthoni, Nur Hendrasto, Razie
Bin Nasarruddin, Tika Prihatiningsih, Yazhra Azmi Ahady
Editor
Agus Mulyono, Alamsyah M Dja’far, Fahmi Syahirul Alim
Penyelia Aksara
Miftah Fadhlullah
Rancang Sampul & Tata Letak Isi
Miftah Fadhlullah
ISBN: 9-786022-931515
Diterbitkan oleh
Kementerian Agama RI
Dikeluarkan oleh
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
2023

Daftar Isi
Sambutan
Kepala Puslitbang Bidang Agama dan Layanan Keagamaan
Kata Pengantar
Tim Editor
Bagian I: Pesantren dan Moderatisme: Nilai dan Tradisi Pengajaran
Harmonisasi Agama dan Budaya Bentuk
Implementasi Sila “Persatuan Indonesia”
Anifatul Kiftiyah
Analisis Isi Sikap Pluralisme Beragama
pada Hari Toleransi Internasional
Inneu Mutiara Mudrikah, Tika Prihatiningsih, Yazhra Azmi Ahady
Mengeksplorasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Ilmu Kimia
Ivan Ashif Ardhana
Aksiologi, Maqāṣid al-Sharī‘ah, dan Moderasi: Moralitas dalam
Pemikiran Sa‘ī�d Al-Nūrsī� tentang Hubungan Antarumat Beragama
Muhammad Abdul Aziz
Bagian II: Moderasi Beragama dan Pondok Pesantren
Dār al-Salām sebagai Ijtihad Politik Ulama
Nusantara: Sebuah Tinjauan Epistemologis
Irpan Sanusi, Fahmi Syahirul Alim
Melacak Hubungan Muhammadiyah dengan
Perpolitikan Indonesia (Tinjauan Epistemologi)
Danur Putut Permadi, Hanif Fitri Yantari
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pariwisata Halal
di Indonesia: Sebuah Analisis Bibliometrik
Hendri Hermawan Adinugraha, Razie Bin Nasarruddin, Rizky Andrean
The Effect of Social Media Marketing and Electronic Word-
of-Mouth on the Purchase Decision of Halal Food
Nur Hendrasto, Abdullah Haidar, Evania Herindar
1
3
8
20
37
63
88
109
127
164

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 1
Sambutan
Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
P
uji syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat, ser-
ta taufik-Nya, sehingga penulisan buku dengan judul "Moderasi Ber-
agama di Tengah Isu Kontemporer" dapat terselesaikan dengan baik
dan berhasil diterbitkan dalam bentuk buku. Tentu saja, diperlukan kerja
keras dan ketelitian yang tinggi untuk menghasilkan penelitian yang beru-
bah menjadi buku, termasuk proses pengumpulan data, analisis, penulisan,
dan penyuntingan.
Kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis: Ab-
dullah Haidar, Anifatul Kiftiyah, Danur Putut Permadi, Evania Herindar, Fah-
mi Syahirul Alim, Hanif Fitri Yantari, Hendri Hermawan Adinugraha, Inneu,
Mutiara Mudrikah, Irpan Sanusi, Ivan Ashif Ardhana, Muhammad Abdul
Aziz, Muhammad Shulthoni, Nur Hendrasto, Razie Bin Nasarruddin, Tika
Prihatiningsih, Yazhra Azmi Ahady; yang telah bekerja keras menuntaskan
naskah yang sangat berharga ini. Tidak lupa Kami sampakan terima kasih
kepada saudara Ahmad Fahrudin, selaku Kasubag TU dan Tim TU Puslit-
bang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama yang telah
memfasilitasi dan memastikan produk-produk penelitian di Puslitbang Bi-
mas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tidak hanya men-
jadi dokumen mati yang tersimpan di rak arsip, tetapi menjadi bacaan hidup
yang layak dibaca khalayak dalam menambah pengetahuan dan sebagai ba-
han kebijakan bagi pemangku kebijakan.
Secara khusus kami juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Ba-
dan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberi keper-

2 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
cayaan dan mendukung kami untuk menjalankan penelitian serta menerbit-
kan hasilnya dalam bentuk buku.
Akhirnya, kita berserah diri kepada Allah, semoga buku ini dapat mem-
berikan manfaat dan kemaslahatan bagi agama, bangsa, dan negara yang
kita cintai, serta menjadi amal saleh bagi semua pihak yang telah berkontri-
busi, serta mendapat pahala dan balasan yang setimpal dari-Nya.
Selamat Membaca.
Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagama-
an
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
M. Arfi Hatim

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 3
Pengantar Editor
K
eragaman adalah hal yang mutlak atau dalam bahasa agama biasa
disebut sunatullah, yaitu suatu kejadian atau fenomena yang sudah
ditetapkan oleh Sang Pencipta yang berkaitan dengan alam semesta
dan bersifat fitrah. Keragaman budaya maupun etnik tersebut mengharus-
kan manusia untuk saling mengenal dan menerima perbedaan agar tercipta
hubungan yang harmonis dan lahir koeksistensi di tengah masyarakat, yaitu
sebuah keadaan hidup berdampingan secara damai di antara entitas masya-
rakat yang berbeda dalam berbagai aspek, baik budaya, agama, etnik, suku,
maupun perbedaan pandangan politik.
Sejarah mencatat, ketika sebuah bangsa atau masyarakat abai atau bah-
kan tidak menerima dan mengakui realitas dunia yang sangat beragam ini,
maka akan menimbulkan konflik sosial yang berujung pada aksi kekerasan.
Bahkan pada kasus tertentu, akan terjadi pembersihan etnis tertentu atau
dikenal juga dengan istilah genosida, yaitu pembunuhan yang disengaja ter-
hadap sejumlah besar orang dari bangsa atau kelompok etnis tertentu de-
ngan tujuan menghancurkan bangsa atau kelompok tersebut.
Sebuah contoh yang menjadi catatan sejarah kelam konflik etnis dan juga
sentimen keagamaan bisa kita lihat tragedi kemanusiaan di Bosnia. Pada 8
Maret 1995, Radovan Karadzic (pemimpin politik Serbia-Bosnia), meme-
rintahkan Pasukan Serbia untuk melenyapkan kantong-kantong Muslim di
Srebrenica dan Zepa. Pasukan Serbia-Bosnia tersebut mulai menyerang wi-
layah Srebrenica pada 2 Juli 1995. Dalam catatan sejarah, serangan di dae-
rah ini berlanjut hingga 11 Juli 1995, ketika Ratko Mladic dan Pasukan Ser-

4 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bia-Bosnia memasuki Srebrenica. Pasukan itu meneror Muslim Bosnia, yang
secara paksa dipindahkan ke daerah-daerah di luar Srebrenica dan banyak
dari mereka melarikan diri melalui hutan menuju Tuzla (wilayah bebas).
Sebagian besar dari kelompok ini terdiri dari warga sipil, bahkan lebih
dari 7.000 tahanan Muslim Bosnia yang ditangkap di daerah sekitar Srebre-
nica dieksekusi mati pada 13 Juli – 19 Juli 1995. Setelah perang, lebih dari
40.000 orang ‘hilang’ dan lebih dari 3.000 kuburan massal ditemukan beri-
si jenazah korban pembantaian 1995. Dari Agustus 1995 hingga November
1995, pasukan Serbia-Bosnia berpartisipasi dalam upaya terorganisir dan
komprehensif untuk menyembunyikan pembantaian di Srebrenica. Hing-
ga saat ini, jenazah korban masih diidentifikasi menggunakan teknik DNA
kompleks. Tercatat, sebanyak 8.372 orang tewas di Srebrenica dengan lebih
dari seribu mayat korban masih belum ditemukan hingga sekarang (Kom-
pas, 2022). Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Bosnia merupakan salah
satu peristiwa monumental dalam kehidupan masyarakat yang beragam,
multietnis dan multiagama sehingga menimbulkan banyak korban jiwa, ter-
utama bagi umat Muslim.
Kondisi Indonesia yang beragam baik etnis, suku, dan agama, mendo-
rong Pemerintah, khususnya Kementerian Agama untuk terus berikhtiar
menjaga kerukunan umat beragama dan persatuan Indonesia dengan me-
munculkan istilah ‘moderasi beragama’. Secara harfiah, moderasi atau mo-
derat adalah sebuah kata sifat yaitu turunan dari kata ‘moderation’, yang
berarti tidak berlebih-lebihan atau memiliki makna sedang. Merujuk pada
situs Oxford Language, ‘moderation’ memiliki arti menghindari sikap berle-
bihan atau ekstrem, terutama dalam perilaku atau pendapat politik. Dalam
bahasa Indonesia, istilah ‘moderation’ diserap menjadi ‘moderasi’ yang me-
miliki arti sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman
(KBBI). Dalam koteks tersebut, Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin
(periode 2014 – 2019), menyampaikan bahwa ketika kata moderasi disan-
dingkan dengan kata beragama dan menjadi moderasi beragama, istilah ter-
sebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari
keekstreman dalam praktik beragama (Saefuddin, 2019).
Untuk memperluas makna dan dimensi moderasi beragama, buku yang
sedang dibaca oleh Pembaca Budiman ini berupaya menghadirkan mode-
rasi beragama dari berbagai perspektif, baik itu dari berbagai sudut keil-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 5
muan, pengalaman organisasi keagamaan dalam berbangsa dan bernegara,
maupun dinamika dan isu kontemporer seperti industri halal yang menja-
di perhatian dunia. Buku ini hadir untuk meneropong bagaimana moderasi
beragama bersinggungan dengan berbagai isu kontemporer, baik itu dalam
politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Sebagai contoh, tulisan per-
tama pada bagian satu menjelaskan bahwa agama harus dapat memberikan
color and spirit in culture, sedangkan budaya dapat memberi kekayaan ter-
hadap agama. Harmonisasi yang terjalin antara agama dan budaya merupa-
kan implementasi dari sila Persatuan Indonesia. Budaya dapat menjadi sa-
rana dalam menyebarkan ajaran agama. Begitu juga kehadiran agama tidak
bisa menghilangkan keberadaan budaya yang telah ada di masyarakat. Maka
moderasi beragama merupakan konsep positif dalam membangun keadil-
an dalam masyarakat, keberagaman dalam beragama harus menjadi potensi
untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan untuk mewujud-
kan kemaslahatan bersama.
Kemudian pada bagian kedua misalnya, dua tulisan mengupas dengan
dalam bagaimana peran organisasi masyarakat seperti Nahdhatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah memilih mengambil jalan politik kebangsaan de-
ngan berkompromi dengan Pancasila sebagai dasar negara untuk kemasla-
hatan bangsa. Keduanya bisa dikatakan sebagai dua pilar penyokong mode-
rasi beragama yang saat ini sedang digencarkan oleh Kementerian Agama.
Ada pun dua tulisan terakhir meninjau kembali peran pembangunan pari-
wisata halal di Indonesia serta bagaimana media sosial dewasa ini sangat
berpengaruh dalam mendorong industri halal nasional yang juga merupa-
kan lini yang sedang menjadi perhatian Pemerintah khususnya Kemente-
rian Agama. Semoga buku ini dapat memperkaya khazanah moderasi bera-
gama, terutama bagaimana moderasi beragama dapat dilihat dari berbagai
perspektif dan berkelindan dengan isu-isu kontemporer yang menjadi per-
hatian masyarakat. Selamat membaca!

Bagian I
MODERASI BERAGAMA
UNTUK KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA DAN
PERSATUAN INDONESIA

8 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Harmonisasi Agama dan
Budaya Bentuk Implementasi
Sila “Persatuan Indonesia”
Anifatul Kiftiyah
Pendahuluan
Negara Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau mempunyai keberagam-
an budaya dan agama. Keberagaman tersebut menciptakan kemajemukan
yang disatukan dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika seba-
gaimana yang tertulis dalam pita burung garuda. Agar perjuangan para pah-
lawan Indonesia tidak sia-sia, masyarakat diharapkan dapat memanifesta-
sikan tekad integralistik bangsa yang tertuang dalam ideologi negara, yaitu
Pancasila. Hal tersebut secara khusus tertuang dalam sila ke-3, yakni Persa-
tuan Indonesia.
Perbedaan yang terjadi di masyarakat harus disikapi dengan saling
menghormati antarsesama agar tidak terjadi perpecahan. Beragamnya bu-
daya dan agama yang ada di Indonesia sering kali menimbulkan polemik di
masyarakat. Keberagaman budaya dan agama merupakan suatu keistime-
waan yang harus dijaga oleh Bangsa Indonesia.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari keberagaman budaya dan aga-
ma yang tidak dapat disikapi dengan bijaksana dapat menjadi penyebab ter-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 9
jadinya konflik yang akan mengakibatkan perpecahan bangsa dan negara.
Keberagaman harus disertai dengan tenggang rasa dan toleransi agar tidak
terjadi pergesekan antargolongan dan antaragama. Sedangkan dampak po-
sitif dari keberagaman adalah dapat menjadikan interaksi yang dinamis di
masyarakat. Selain itu keberagaman dapat dijadikan sebagai modal perkem-
bangan dan kemajuan sebuah daerah. Keberagaman juga dapat melatih kita
untuk dapat saling menghargai, menghormati dan menumbuhkan rasa tole-
ransi (Keban & DKK, 2021, p 50).
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat diartikan juga dengan plura-
litas masyarakat Indonesia. Dalam konteks Indonesia inklusif-pluralis dapat
memperkukuh kebinekaan. Sebagai negeri yang mayoritas masyarakat ber-
agama Islam, pandangan terhadap agama yang moderat dan inklusif adalah
fondasi yang dibutuhkan untuk persatuan dan kesatuan (Yunus, 2020, pp
15-16). Sering kali kita temui terjadinya pertentangan agama dan budaya di
masyarakat kita yang dapat mengoyak persatuan dan kesatuan negara kita.
Padahal kedua hal tersebut tidak relevan untuk dipertentangkan.
Adanya perbedaan latar belakang, sejarah, serta tradisi, akan menim-
bulkan budaya yang berbeda. Sehingga perbedaan budaya dan agama kerap
menimbulkan konflik di masyarakat. Konflik tersebut dapat terjadi antarbu-
daya dan agama di mana masyarakat menolak beberapa tradisi yang ada da-
lam budaya untuk dipraktikkan karena bertentangan dengan nilai agama.
Adat, tradisi, budaya, dan agama, harus berjalan secara harmoni agar tercip-
ta persatuan dan kesatuan sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila sila
ke-3. Karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui harmo-
nisasi agama dan budaya yang ada di Indonesia sebagai bentuk dari aktuali-
sasi sila Persatuan Indonesia.
Tulisan ini adalah sebuah kajian literatur. Kajian literatur disebut juga
sebagai penelitian yang menggunakan jurnal, dokumen, dan buku sebagai
salah satu sumber primer (Creswell, 1998, p 40). Meskipun dalam kajian ini
terdapat sumber lain yang dapat dijadikan sebagai literasi tambahan seperti
adanya peraturan atau undang-undang lain yang berhubungan dengan pem-
bahasan peraturan pendirian rumah ibadah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pen-
dekatan sosiologis, yaitu penelitian yang menganalisis data dengan menje-
laskan fenomena, dinamika sosial, keyakinan, dan persepsi pada individu

10 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
atau kelompok. Karena itu, penelitian kualitatif dimulai dengan mengem-
bangkan asumsi dasar yang dikaitkan dengan kaidah dasar dalam peneliti-
an. Pendekatan sosiologis dimaksudkan untuk membahas objek kajian yang
berdasarkan pada masyarakat pada pembahasan tentang agama dan buda-
ya. Agus Salim berpendapat bahwa terdapat tiga tahapan dalam mengana-
lisis data yaitu menghimpun literatur dan mereduksi sesuai dengan objek
kajian, menyajikan dengan narasi deskriptif, dan tahapan terakhir adalah
konklusi data yang ada disajikan dalam bentuk narasi (Salim, 2016, p 23).
Dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data-data objek kajian agama
dan budaya kemudian menyajikan dengan narasi seperti relasi antaragama
dan budaya dan bagaimana memunculkan harmonisasi agama dan buda-
ya dalam implementasi sila Persatuan Indonesia. Kemudian pada tahapan
akhir penulis menyimpulkan hasil dari reduksi data objek kajian.
Relasi Agama dan Budaya
Pada prinsipnya budaya mempunyai nilai-nilai yang diwariskan dan di-
laksanakan seiring dengan adanya perubahan sosial yang terjadi di masya-
rakat. Budaya tidak lepas dari aspek religiositas, di mana nilai-nilai yang
melekat merupakan bukti dari interaksi masyarakat terhadap keberadaan
budaya. Kehadiran budaya dan nilai-nilai luhurnya merupakan sarana un-
tuk membangun religiositas dan spiritualitas menuju masyarakat madani,
yaitu masyarakat berbudaya dan beradab (Anggraeni, Hakam, Mardiah, &
Lubis, 2019, p 96).
Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda namun tidak dapat dipi-
sahkan. Keduanya mempunyai relasi yang dapat menciptakan harmoni dan
konflik. Meskipun demikian, keduanya tidak bisa dihindarkan begitu saja.
Karena dialektika agama dan budaya menghadirkan simbol, pola, dan mak-
na yang berbeda-beda (Riyadi, 2021, p 21). Keduanya juga bukan sebuah
ancaman yang harus dipisahkan. Agama harus dapat memberikan color and
spirit in culture, sedangkan budaya dapat memberi kekayaan terhadap aga-
ma. Akan tetapi, agama dan kebudayaan sering menjadi ketegangan di ma-
syarakat karena budaya dianggap keluar dari norma-norma agama, khusus-
nya agama Islam (Arifai, 2019, p 13).
Agama dan budaya mempunyai peran masing-masing dalam pemben-
tukan kepribadian seperti keharmonisan, sikap demokratis, dan hubungan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 11
dengan masyarakat sekitar (Mulyani, 2021, p 59). Jika keduanya dapat ber-
jalan beriringan di masyarakat, dapat meredam polarisasi yang ada di ma-
syarakat. Watak kultural agama Islam menjadi lebih terlihat karena berpa-
du dengan adat istiadat (Syawaludin, 2018, p 156).
Indonesia dengan realitas sosiokultural yang beraneka ragam, agama
memiliki porsi untuk mempersatukan dan memecah belah persatuan. Ka-
rena itu, untuk mencegah terjadinya perpecahan, akulturasi adalah jalan
yang dapat ditempuh. Al-Qur’an mengakomodasi konsep moderasi beraga-
ma seperti toleransi, persatuan, keadilan (Khoiri, 2019, p 7). Seperti yang
kita tahu, akulturasi budaya berkaitan erat dengan penyebaran agama Islam
yang dibawa oleh para wali. Selain akulturasi, enkulturasi juga mempunyai
peran dalam penyebaran agama di Nusantara.
Penyebaran agama Islam di Indonesia pada masa Wali Sanga adalah
gambaran nyata dari adanya akulturasi budaya. Melalui budaya, Islam dike-
nalkan kepada masyarakat Indonesia dengan mengedepankan toleransi dan
kesetaraan serta dan menerima budaya lokal setempat sehingga nilai-nilai
agama Islam dapat diterima oleh masyarakat.
Relasi antara keduanya adalah agama dapat menyebarkan ajarannya me-
lalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk dapat melestarikan-
nya. Agama tidak menghapus budaya yang ada di masyarakat, namun mem-
filtrasi nilai dan norma kebudayaan (Hidayat, 2021). Relasi harmonis yang
dibangun agama dan budaya mengutamakan kebersamaan dan cinta kasih
antarsesama.
Harmonisasi Agama dan Budaya Bentuk dari
Aktualisasi Sila “Persatuan Indonesia”
Budaya berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “buddhayah” bentuk jamak
dari kata “buddhi” yang mempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan akal
budi manusia. Dalam Bahasa Inggris, budaya disebut dengan culture, bera-
sal dari Bahasa latin yaitu colore, yang artinya mengolah atau mengerjakan.
Dalam Bahasa Indonesia disebut dengan kultur (Muhaimin, 2001, p 153).
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan
menyebutkan bahwa budaya merupakan segala sesuatu yang berhubung-
an dengan cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat. Sedangkan pengertian
kebudayaan nasional Indonesia adalah seluruh proses dan interaksi buda-

12 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
ya yang hidup dan berkembang di Indonesia. Dari dua pengertian tersebut,
dapat dipahami bahwasanya budaya masyarakat adalah sesuatu cipta, rasa,
karsa, dan karya masyarakat Nusantara. Budaya ini banyak berkembang di
daerah-daerah Nusantara sehingga disebut dengan budaya Nusantara.
Agama dijelaskan sebagai suatu bentuk dari ketetapan Illahi untuk ma-
nusia yang berakal. Sebagai makhluk yang berakal, manusia mempunyai hak
untuk memilih agama mereka masing-masing untuk kebaikan di dunia mau-
pun di akhirat (Ismail & Mutawalli, 2012, p 26). Karena di dunia tidak hanya
ada satu agama. Di Indonesia sendiri ada enam agama yang diakui, yaitu Is-
lam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Keberagaman masyarakat Indonesia akan agama dan budaya adalah hal
alamiah yang telah hadir sejak dahulu kala. Perbedaan suku, agama, ras, dan
golongan, merupakan realitas yang perlu untuk didayagunakan dalam me-
majukan bangsa dan negara. Perbedaan tersebut dapat meningkatkan ke-
hidupan baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, dari perbeda-
an yang ada, tercipta kelebihan yang dapat saling melengkapi satu sama lain
(Nasution & Fauzie, 2022, p 19).
Transformasi konflik agama dengan basis budaya di masyarakat lebih
mudah untuk bertahan lebih lama. Hal tersebut karena ada beberapa fak-
tor yang melatarbelakanginya, antara lain: masyarakat hidup dalam kebu-
dayaan, budaya dalam masyarakat merupakan proses trial and eror dari ke-
hidupan masyarakat yang efektif dan sebagai salah satu proses kehidupan,
setiap budaya mempunyai kearifan masing-masing dan mempunyai sistem
untuk berdialog, negosiasi, dan strategi budaya atau etnis lainnya. Bahkan
budaya mempunyai sistem untuk meresolusi persoalan yang ada dan ber-
kembang dalam budaya mereka. Pemerintah, tokoh agama, tokoh budaya,
dan lembaga pendidikan belum berhasil dalam menyosialisasikan hal terse-
but (Faiz, 2020, pp 185-186).
Berkaitan dengan dialog antaragama dan budaya dalam tataran sosial
agama khususnya agama Islam tidak tunduk oleh pergolakan zaman, akan
tetapi ajarannya mengikuti dinamika yang terjadi. Perubahan-perubahan
dalam lingkup sosiologis, antropologis, serta yang bersifat horizontal beser-
ta problematika yang lahir, adalah sebuah kemajuan. Hubungan agama dan
budaya seperti ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (1) agama mengubah
kebudayaan—dalam hal ini, agama dan budaya harus berkompromi sehing-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 13
ga dapat rekonstruksi dari keadaan sebelumnya; (2) menolak budaya yang
ada, relasi agama, dan budaya bersifat konfrontatif, yang dapat menimbul-
kan terjadinya dekonstruksi budaya sebelumnya; (3) memperkuat budaya
yang telah ada (Sugianto, 2019, p 415).
Akulturasi budaya dan agama dapat menjadi salah satu sarana persatuan
dan kesatuan Bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya tetap terjaga dan lestari
dalam kehidupan masyarakat meskipun datang agama baru seperti agama
Islam. Banyak agama yang tetap memberikan ruang terhadap agama, khu-
susnya Hindu dan Buddha yang banyak dianut oleh masyarakat Nusantara
sebelum masuknya agama Islam.
Keberadaan masyarakat muslim tidak dapat terlepas dari tradisi lokal
yang berkembang dengan kondisi masyarakat setempat. Penyebaran Islam
di Nusantara dilakukan melalui akulturasi budaya, sehingga ajaran-ajaran
yang dibawa oleh para wali dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat
(Arifai, 2019, p 2).
Dialektika Islam dan budaya khususnya budaya Jawa menghasilkan bu-
daya sintesis yang menjadi sejarah dialog Islam dengan budaya lokal Jawa.
Indikasi terjadinya dialektika agama dan budaya terlihat dari adanya per-
ubahan pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman tradisi Islam
murni. Perubahan tersebut dapat dilihat dari adanya perkembangan aga-
ma Islam, yaitu tradisi Islam Suni ala Indonesia berkembang menjadi Islam
Suni Nadlatul Ulama, Islam Suni Muhammadiyah, dan lain sebagainya (Roi-
bin, 2009, p 71).
Pelaksanaan ritual-ritual dalam melestarikan sebuah tradisi dan buda-
ya di suatu daerah hingga saat ini masih dilakukan oleh beberapa masyara-
kat yang masih memegang erat nilai-nilai tradisi dan budaya. Namun fakta-
nya, ada beberapa kelompok dalam agama Islam yang menolak ritual-ritual
tersebut. Bukan suatu tindakan bijak apabila tradisi sebagai gerakan budaya
yang telah hadir terlebih dahulu di masyarakat harus dibenturkan dengan
ajaran agama Islam (Geertz, 1998, p 105).
Terdapat beberapa tradisi masyarakat yang telah mengalami penyesuai-
an dengan upacara keagamaan. antara lain: (1) dalam lingkaran hidup ter-
dapat beberapa tradisi yang masih sering dilakukan seperti upacara keha-
milan, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian; (2) upacara tolak bala
seperti sedekah bumi, upacara pertanian, dan upacara petik laut; (3) hari-

14 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
hari besar Islam seperti muludan, syuroan, rejeban, posoan, dan riyoyoan;
(4) hari-hari baik antara lain pindah rumah, bepergian, dan perdagangan
(Syam, 2005, p 168).
Agama Islam melihat adat istiadat, tradisi, dan budaya mempunyai keku-
atan hukum di masyarakat. Sebagaimana yang telah dituliskan dalam kaidah
fikih yaitu adat bisa dijadikan satu hukum. Secara umum, dapat dipahami
bahwa hukum adat berasal dari praktik sosial dan gaya hidup yang terben-
tuk dari nilai-nilai budaya. Karena itu, dalam setiap kelompok mempunyai
cara sendiri dalam bertahan hidup sesuai dengan nilai dan norma-norma
yang mereka ikuti dan yakini (Riyantoro & Setiawan, 2022, p 3290).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan multikul-
tur. Agama dan budaya dapat berjalan berdampingan dalam kehidupan ma-
syarakat. Dalam agama Islam dikenal memiliki dua aspek yaitu aspek agama
dan aspek budaya. Sehingga kita juga akan menemui aliran Islam kejawen
yang masih kental memadukan ajaran agama dengan adat dan kebudayaan
Jawa dalam nilai dan norma yang diyakininya.
Tidak hanya itu, saat ini kita juga menemukan yang disebut dengan Islam
Nusantara. Islam Nusantara ini mengakui bahwa keberadaan budaya me-
rupakan bagian dari agama. Hal tersebut karena saat pertama kali menye-
barkan ajaran Islam, para pendakwah menggunakan budaya sebagai sarana
dalam berdakwah. Adanya akulturasi antara agama dan budaya melahirkan
ajaran Islam yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal menarik dari ajar-
an ini adalah adanya platform yang menegaskan bahwa Islam yang lahir di
bumi Nusantara mengadaptasi nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat ter-
sebut. Sehingga akan melahirkan produk yang berbeda dari tempat lahirnya
Islam itu sendiri (Azisi, 2020, p 124). Hal tersebut menjadikan agama Islam
dapat berkembang dengan pesat di bumi Nusantara ini.
Agama dan budaya tidak seharusnya dibenturkan, namun perlu untuk
dicari titik temu dari keduanya. Secara sosiologis, keduanya mempunyai ni-
lai dan simbol dalam kehidupan manusia yang dapat berubah oleh gempu-
ran nilai-nilai baru yang muncul di masyarakat. Agama dan budaya dapat
memberikan wawasan kepada manusia sehingga keduanya mempunyai pe-
ran masing-masing dalam kehidupan manusia. Jika terjadi perselisihan di
masyarakat antara agama budaya, hal yang dilakukan adalah menyelesai-
kannya secara kompromi antara nilai-nilai dan substansi yang ada dalam

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 15
agama dan budaya (Musri, 2021).
Salah satu konflik yang sering terjadi di masyarakat adalah masyarakat
yang tidak dapat menerima hadirnya akulturasi budaya karena praktik tra-
disi yang dilakukan dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Se-
perti yang kita tahu, sudah banyak tradisi-tradisi atau budaya-budaya di ma-
syarakat yang telah mengalami akulturasi dengan agama. Sehingga tradisi
tersebut tetap dilakukan namun dengan cara yang sedikit berbeda. Terjadi-
nya akulturasi antara budaya dan agama dapat membentuk hubungan yang
harmonis antara budaya dan agama. Harmonisasi keduanya terjadi karena
terciptanya hubungan yang serasi antara agama dan budaya. Agama sebagai
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang ajaran-ajarannya berisi ten-
tang kehidupan manusia berjalan berdampingan serasi dan selaras dengan
budaya yang hadir terlebih dahulu dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
meskipun agama dan budaya berada dalam dimensi yang berbeda, kedua-
nya tetap berjalan beriringan.
Bentuk dari harmonisasi agama dan budaya tidak hanya tercermin da-
lam kegiatan sosial masyarakat. Namun juga dapat diimplementasikan da-
lam bentuk seni arsitektur, contohnya Masjid Demak yang bentuk bangun-
annya memadukan unsur budaya dan agama. Selain itu, dalam bentuk seni
musik seperti tembang Jawa “Lir-Ilir” yang mempunyai makna tentang ba-
gaimana menjalani hidup dan beragama dengan baik.
Keharmonisasian agama dan budaya dapat melahirkan tradisi baru tan-
pa menghilangkan tradisi yang telah dijalankan. Selain dalam bentuk seni
arsitektur dan seni musik, contoh lain bentuk akulturasi budaya dan aga-
ma adalah dalam bentuk sosial masyarakat. Kegiatan akulturasi budaya di
masyarakat yang masih dijalankan hingga saat ini adalah tahlilan. Hal terse-
but tidak hanya karena faktor kepercayaan yang sifatnya teologis, tetapi juga
berhubungan dengan tradisi sosiokultural di dalamnya.
Kegiatan tahlilan menjadi tradisi perekat sosial di masyarakat karena
tahlilan menjadi salah satu sarana bertemunya masyarakat dan kerabat.
Tidak hanya itu, tahlilan juga dapat menjadi elemen berbagi antarsesama
(Choidab, Mudakir, Mubarok, Ramadayanto, & Supriadi, 2020, p 2). Dalam
kegiatan tahlilan, substansi yang dibangun tidak hanya tentang mendoa-
kan orang yang telah meninggal, namun juga tentang bagaimana bersosia-
lisasi dengan baik, bertoleransi, dan berbagi dengan tetangga atau kerabat.

16 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Kita dapat belajar dari nilai-nilai tradisi yang masih dijalankan di masyara-
kat tentang sikap menghargai dan sikap toleransi. Apabila harmonisasi aga-
ma dan budaya dapat dijaga dengan baik, kita telah mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Mengamalkan Pancasila merupakan kewajiban setiap warga negara. Ka-
rena dengan mengamalkan Pancasila sebagai pedoman hidup, akan terja-
lin kerukunan, kedamaian, persatuan, dan kesatuan. Sila beserta butir-butir
pada setiap silanya merupakan hal yang sistematis dan mempunyai makna
yang tidak dapat dipisahkan antara sila satu dengan yang lainnya, dan an-
tara butir satu dengan butir lainnya. Seperti pada Sila ke-3 yaitu Persatuan
Indonesia. Pada butir kesatu tertulis “Mampu menempatkan persatuan, ke-
satuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai ke-
pentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Bunyi butir
tersebut menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan hal yang
paling penting daripada kepentingan pribadi dan golongan, tidak membe-
dakan agama, suku, warna kulit, ras. Apabila kita mengaktualisasikan ni-
lai-nilai Pancasila, tidak akan terjadi pertentangan relasi agama dan budaya.
Harmonisasi antara budaya dan agama merupakan wujud dari imple-
mentasi Sila ke-3, yaitu “Persatuan Indonesia”. Sebagaimana telah dijelas-
kan,baha relasi agama dan budaya tidak dapat dicampuradukkan, namun
mempunyai dimensi masing-masing. Budaya dapat menjadi sarana dalam
menyebarkan ajaran agama. Begitu juga kehadiran agama tidak bisa meng-
hilangkan keberadaan budaya yang telah ada di masyarakat.
Kegiatan sosial masyarakat yang berbasis budaya dan agama dapat men-
jadi perekat persatuan dan kesatuan apabila saling gotong royong dan tidak
membeda-bedakan dari ras, suku, dan agama. Kita sering melihat kegiatan
keagamaan seperti Salat Idulfitri dijaga oleh saudara kita yang berbeda aga-
ma, pun dengan kegiatan Natal yang dilaksanakan oleh umat Nasrani juga
sering dijaga oleh umat agama lain. Budaya saling menghormati dan tole-
ransi inilah yang harus dijaga. Selain itu, kita perlu tetap menjaga tradisi dan
budaya Bangsa Indonesia dengan saling menghormati dan membuat menja-
ga kerukunan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya perkembangan hukum Islam ti-
dak dapat terlepas dari tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyara-
kat. Dengan harmonisasi agama dan budaya, ajaran agama dapat diterima

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 17
masyarakat. Mempertentangkan agama dan budaya malah kontraproduk-
tif dan dapat menguatkan eksklusivitas Islam (Mustofa, Syarifudin, & San-
toso, 2021, p 522).
Saat pertama kali agama Islam masuk di tanah Jawa, masyarakat sudah
mempunyai agama dan kepercayaan yang telah dianut seperti Hindu, Bud-
dha, dan aliran kepercayaan lain. Tidak heran apabila tradisi dan budaya sa-
ngat melekat di masyarakat. Bahkan saat para Wali Sanga menyebarkan aga-
ma Islam kepada masyarakat dengan menggunakan budaya sebagai sarana
dakwah, jelas sekali bahwa meskipun budaya dan agama tidak dapat dicam-
puradukkan, budaya dan agama dapat eksis secara berdampingan di masya-
rakat.
Pada hakikatnya, sifat budaya adalah dinamis. Semakin budaya mempu-
nyai dinamika dan ruang, budaya akan dapat berkembang karena masyara-
kat yang menghidupkan budaya tersebut. Berkembangnya budaya tersebut
terjadi karena adanya interaksi masyarakat baik secara individu maupun ke-
lompok. Sifat dinamis dari budaya berpengaruh terhadap keberadaan aga-
ma. Selain sebuah kebiasaan yang dikerjakan dan diyakini masyarakat, sifat
dinamis budaya dapat dijadikan sebagai sarana penyebaran agama.
Kesimpulan
Agama dan budaya merupakan dua hal berbeda, akan tetapi keberada-
an keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai peran dan ke-
dudukan masing-masing yang dapat berjalan dengan beriringan. Akultu-
rasi budaya dan agama bukan berarti mencampuradukkan seluruh budaya
dengan agama. Namun nilai-nilai budaya dapat diterapkan ke dalam ajaran
agama. Dialektika agama dan budaya menghadirkan simbol, pola, dan mak-
na yang berbeda. Agama harus dapat memberikan color and spirit in cultu-
re, sedangkan budaya dapat memberi kekayaan terhadap agama. Harmoni-
sasi yang terjalin antara agama dan budaya merupakan implementasi dari
sila Persatuan Indonesia. Budaya dapat menjadi sarana dalam menyebarkan
ajaran agama. Begitu juga kehadiran agama tidak bisa menghilangkan ke-
beradaan budaya yang telah ada di masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya
para stakeholder, pemuka agama, dan tokoh adat, memberikan pengetahu-
an kepada masyarakat tentang bagaimana melestarikan budaya tanpa mem-
benturkan dengan agama melalui baik melalui pendidikan, hiburan, media

18 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
online maupun offline. Kemudian semua pihak perlu menjaga dan melestari-
kan budaya dan tradisi yang ada di masyarakat dengan tidak melarang me-
reka dalam menjalankan tradisi tersebut. Terakhir, para pemuka agama dan
para pemangku adat memberikan contoh tentang harmonisasi dan keru-
kunan secara langsung kepada masyarakat dengan bekerja sama dan bergo-
tong royong mengikuti kegiatan sosial di masyarakat.
Daftar Pustaka
Anggraeni, D., Hakam, A., Mardiah, I., & Lubis, Z. (2019). Membangun Peradaban
Bangsa Melalui Religiusitas Berbasis Budaya Lokal (Analisis Tradisi Palang Pin-
tu Pada Budaya Betawi). Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 15, No. 1, 2239-2614. doi.
org/10.21009/JSQ.015.1.05.
Arifai, A. (2019). Akulturasi Islam dan Budaya Lokal. As-Shuffah: Journal of Islamic
Study, Vol 7 No 2, 1-17. https://doi.org/10.19109/as.v1i2.
Azisi, A. M. (2020, Juli). Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia Dan Perannya
dalam Menghadapi Kelompok Puritan. Empirisma: Jurnal Pemikiran dan Kebuda-
yaan Islam, Vol. 29 No. 2, 123-136. https://doi.org/10.30762/empirisma.v29i2.
Choidab, A. R., Mudakir, A., Mubarok, A. S., Ramadayanto, A., & Supriadi, B. (2020). In-
teraksi Agama, Budaya dan Masyarakat. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Ban-
dung.
Creswell, J. W. (1998). Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publi-
cations, Inc.
Faiz, A. A. (2020). Transformasi Konflik Bernuansa Agama dan Strategi Reformatif
pada Pembangunan Budaya Damai di Indonesia. Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal
Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Volume 14, Nomor 2, 179 - 196.
Geertz, C. (1998). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pusta-
ka Jaya.
Hadi, H. (1994). Hakekat & Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisisus.
Hidayat, A. (2021). Penyelarasan Agama dan Budaya. BKD Jakarta Kementerian
Agama RI. Retrieved from https://bdkjakarta.kemenag.go.id/berita/penyela-
rasan-agama-dan-budaya.
Ismail, F. F., & Mutawalli, A. H. (2012). Cara Mudah Belajar Filsafat (Islam dan Barat).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Keban, Y. B., & DKK. (2021). Harmonisasi Umat Beragama: Merawat Keberagaman
dalam Bingkai Kebhinekaan. Surabaya: Penerbit Global Aksara Pres.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 19
Khoiri, A. (2019, Maret). Moderasi Islam dan Akulturasi Budaya; Revitalisasi Kema-
juan Peradaban IslamnusantarA. Islam Madina: Jurnal Pemikiran Islam, Volume
20, Nomor 1, 1-17. doi:10.30595/islamadina.v0i0.4372.
Latif, Y. (2018). Wawansan Pancasila: Bintang Penuntun Untuk Kebudayaan. Jakar-
ta: Mizan.
Madjid, N. (1995). Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Is-
lam Indonesia. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Muhaimin. (2001). Islam dalam Bingkai Buduaya Lokal;Potret dari Cirebon. Jakar-
ta: Logos.
Mulyani, S. (2021). Peran Agama Dan Budaya Dalam Membentuk Kepribadian.
AT-THARIQ: Jurnal Studi Islam dan Budaya, 47-63.
Musri, A. R. (2021, November). Titik Jumpa Agama dan Budaya. Retrieved from htt-
ps://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/titik-jumpa-agama-dan-budaya.
Mustofa, I., Syarifudin, A., & Santoso, D. (2021). Pemikiran Hukum Islam Abdurrah-
man Wahid: Harmonisasi Islam dan Budaya. Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2,
507 - 535. doi:https://doi.org/10.22437/ujh.4.2.507-535.
Nasution, I., & Fauzie, R. (2022). Kondisi Masyarakat Terhadap Harmonisasi Masya-
rakat: Analisis Ilmu, Adat dan Agama. Khazanah: Journal of Islamic Studies, Volu-
me 1, Nomor 1, 16-27.
Riyadi, A. S. (2021). Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford Geertz.
Jurnal Sosiologi Agama Indonesia, Vol. 2, No. 1, 13-22.
Riyantoro, S. F., & Setiawan, K. A. (2022). Relasi Kontektualisasi Agama dan Budaya
Lokal dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan
Humaniora, Vol. 9 No. 6, 3280-3292.
Roibin. (2009). Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang: UIN
Press.
Salim, A. (2016). Teori Paradigma Peneliti Sosial. Jakarta: Tiara Wacana.
Sugianto, H. (2019). Dialektika Agama Dan Budaya (Kajian Sosio-Antropologi Agama
dalam Teks dan Masyarakat). Al-Tadabbur: Jurnal Kajian Sosial, Peradaban dan
Agama, Vol:5 No:2, 409-432.
Syam, N. (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta: Lkis.
Syawaludin, M. (2018). Cultural Harmony Between Islam and Local. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science 156.
Yunus. (2020). SOSIAL-BUDAYA: Harmonisasi Agama dan Budaya dalam Pendidikan
Toleransi. Kalam: Jurnal Agama dan Sosial Humaniora, Vol. 8 Nomor. 2, 1-26. do-
i:https://doi.org/10.47574/kalam.v8i2.78.

20 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Analisis Isi Sikap Pluralisme
Beragama pada Hari
Toleransi Internasional
Inneu Mutiara Mudrikah, S.Kesos., M.I.Kom.
Tika Prihatiningsih, S.Sos., M.I.Kom.
Yazhra Azmi Ahady, S.Sos.
Pendahuluan
Keragaman yang ada di dunia baik suku bangsa, agama, dan lainnya, me-
rupakan hal yang memberikan kita selaku makhluk sosial untuk dapat sa-
ling mengenal, berkolaborasi, dan saling memahami, antara satu dengan
yang lainnya. Untuk itu, adanya toleransi yang tumbuh dalam diri tiap ma-
nusia sangat diperlukan untuk menjunjung keberagaman tersebut. Tole-
ransi merupakan sikap atau perilaku manusia yang dapat menghargai dan
menghormati orang lain yang berbeda dari dirinya (Bakar, 2015).
Dikutip dari laman tirto.id pada tahun 1993 atas inisiatif UNESCO, Uni-
ted Nations Year for Tolerance dideklarasikan oleh Majelis Umum Perseri-
katan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1995, United Nations Year for Tolerance
dirayakan pada ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-50 dan
bertepatan dengan peringatan 125 tahun kelahiran Mahatma Gandhi. Pada
perayaan tersebut, UNESCO menginisiasi hadirnya prize (hadiah) untuk
mempromosikan toleransi tanpa kekerasan (Ramadhani, 2019).
Pada tahun 1996, Majelis Umum PBB mengundang seluruh negara ang-
gota PBB untuk merayakan Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 21
November. Menurut PBB, Hari Toleransi Internasional perlu diperingati se-
bagai bentuk kesempatan guna mengedukasi publik terkait permasalahan
yang menjadi perhatian (dalam hal ini yang berkenaan dengan toleransi)
dan untuk memperkuat pencapaian kemanusiaan. Sampai saat ini, 16 No-
vember diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional (Koesno, 2020).
Indonesia merupakan satu dari 195 Negara yang merupakan anggota
PBB (Friana, 2022). Indonesia memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
yang tertulis pada lambang negara. Semboyan Indonesia berasal dari Ba-
hasa Jawa Kuno yang memiliki arti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Mak-
na tersebut melambangkan negara Indonesia yang memiliki multibudaya,
ras, suku, dan agama, namun tetap memiliki persatuan dalam naungan be-
sar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut tentu saja berkena-
an dengan toleransi yang digaungkan oleh PBB, dan hal tersebut pun yang
menjadikan alasan mengapa warga negara Indonesia harus memiliki ser-
ta menjunjung tinggi toleransi dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan
bernegara.
Keberagaman akan menjadi indah ketika ada toleransi. Bagaimana sa-
ling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada dalam kehi-
dupan sosial tentu menjadi tantangan tersendiri bagi setiap warga negara
Indonesia. Dikutip dari laman Kementerian Agama Kabupaten Karangasem,
Winanda menjelaskan bahwa usaha untuk mengemas perbedaan tersebut
menjadi sesuatu yang indah, harmonis, dan damai, dalam bingkai toleran-
si dan pluralisme (Winanda, 1970). Dengan kata lain, toleransi dan pluralis-
me dalam negara multikultur menjadikan kehidupan bermasyarakat yang
harmonis.
Agama menjadi salah satu keberagaman yang dimiliki Indonesia. Ter-
dapat enam agama yang legal, di antaranya adalah Islam, Protestan, Kato-
lik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keenam agama ini hidup berdamping-
an. Harmoni yang terlihat di tengah-tengah masyarakat terlihat jelas ketika
umat beragama saling berkontribusinya pada kegiatan besar keagamaan se-
perti Idulfitri dan Iduladha, Natal, Wisak, Imlek, dan hari besar lainnya. Ke-
harmonisan ini juga dijaga oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama
Republik Indonesia (Kemenag RI).
Kemenag tentu mendukung prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme da-
lam menciptakan harmoni di tengah keberagaman agama di Indonesia. Ke-

22 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
menag RI tentu mendukung penuh adanya peringatan Hari Toleransi Inter-
nasional. Hal tersebut sejalan dengan keputusan UNESCO terhadap keadaan
Indonesia sehingga membuat Kemenag RI menyambut baik peringatan Hari
Toleransi Internasional. Melalui rilis pers yang diakses melalui laman keme-
nag.go.id, pada peringatan Hari Toleransi Internasional 16 November 2021
lalu, Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, menyampai-
kan bahwa keragaman merupakan kekayaan. Menurut Yaqut, Keragaman
merupakan suatu potensi untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam
kebaikan guna mewujudkan kemaslahatan bersama. Selain itu, Yaqut juga
menyampaikan bahwa persaudaraan bukan hanya karena seiman, melain-
kan persaudaraan dalam kemanusiaan (Humas Kemenag RI, 2021). Mela-
lui rilis pers pada Hari Toleransi Internasional tahun 2021 tersebut, Mente-
ri Agama berupaya untuk memberikan pesan toleransi kepada masyarakat.
Toleransi disebut sebagai esensi untuk perdamaian (Tillman, 2004).
Konsep ini sejalan dengan konsep sikap pluralisme mengenai sikap meng-
akui adanya keberagaman satu dengan yang lainnya. Konsep toleransi ter-
sebut sejalan dengan konsep pluralisme mengenai sikap mengakui adanya
keberagaman satu dengan yang lainnya. Menurut Sudarma, sikap pluralis
merupakan sikap mengakui adanya hak orang lain untuk menganut agama
yang berbeda dengan dirinya (Sudarma, 2008). Pesan yang coba disampai-
kan memalui rilis pers Humas Kemenag RI yang disampaikan oleh Mente-
ri Agama kepada warga negara Indonesia sebagai negara yang memiliki ba-
nyak agama agar dapat hidup berdampingan.
Isi yang terkandung dalam pesan Menteri Agama memiliki nilai-nilai
sebagai sikap pluralisme beragama. Sikap pluralisme ini menjadi penting
disampaikan pada masyarakat plural seperti Indonesia. Tingginya plu-
ralisme di Indonesia dapat berpotensi konflik dan perpecahan di antara go-
longan agama. Isu pluralisme menjadi sangat sensitif ketika dibahas di te-
ngah-tengah masyarakat, namun dapat menjadi harmoni yang indah ketika
setiap golongan memiliki sikap pluralisme.
Seperti kita tahu bahwa banyak isu antargolongan agama di Indonesia.
Salah satu isu di Cilegon, terdapat penolakan pembangunan gereja oleh be-
berapa elemen masyarakat. Hal ini dikarenakan belum ada tempat ibadah
nonmuslim di Kota Cilegon (Kemenag RI, 2022). Namun hal ini sudah ditin-
daklanjuti untuk izin pembangunan gereja oleh Walikota Cilegon. Di Papua,

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 23
Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menolak renovasi
Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani dengan alasan menara masjid lebih tinggi
dari gereja sekitar lokasi di Jalan Raya Abepura (Sholih, 2018).
Hal yang disebutkan di atas merupakan beberapa dari banyaknya per-
soalan yang terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu disampaikan nilai-nilai
pluralisme kepada masyarakat agar saling menerima dan menghargai satu
sama lain. Penelitian ini akan meneliti bagaimana sikap pluralisme pada ri-
lis pers yang sampaikan oleh Menteri Agama pada Hari Toleransi Internasi-
onal Tahun 2021.
Dalam tulisan ini kami menggunakan pendekatan konsep analisis isi
yang menurut Krippendorf memiliki beberapa klasifikasi, di antaranya ada-
lah:
1. analisis Isi pragmatis, yaitu klasifikasi terhadap tanda menurut se-
bab dan akibatnya;
2. analisis Isi semantik, yaitu mengklasifikasikan tanda berdasarkan
maknanya;
3. analisis sarana tanda, yaitu mengklasifikasikan isi pesan melalui sifat
psikofisik dari tanda (Krippendorff, 1991).
Penelitian ini akan membahas isi pesan yang disampaikan oleh Mente-
ri Agama melalui rilis pers Kemenag RI pada Hari Toleransi Internasional
Tahun 2021. Pesan yang ada dalam rilis pers tersebut akan diklasifikasikan
berdasarkan nilai pluralisme yang kemudian akan dianalisis berdasarkan
maknanya. Karena itu, dalam penelitian ini, analisis isi yang akan digunakan
adalah analisis isi semantik.
Pluralisme Agama
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri Tahun 2021, Indonesia merupakan negara
yang mayoritas beragama Islam, tercatat sebanyak 86,88% dari total 272,23
juta jiwa penduduk Indonesia. 7,49% lainnya beragama Kristen, disusul Ka-
tolik sebanyak 3,09%, 1,71% beragama Hindu, 0,75% beragama Buddha,
0,03% beragama Konghucu, dan 0,04% menganut aliran kepercayaan (Kus-
nandar, 2021).
Berdasarkan data tersebut, masyarakat Indonesia seharusnya memiliki
sikap toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial agar dapat hidup ber-

24 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
dampingan dengan baik.
Pluralisme merupakan kelanjutan dari sikap toleransi. Jika toleransi ada-
lah tentang bagaimana cara menghargai orang lain, pluralisme lebih dari
pada itu: bagaimana mengakui hak-hak agama lain serta berlaku adil agar
terciptanya perdamaian antarumat beragama.
Pluralisme agama menyadarkan bahwa kita memiliki kepercayaan yang
berbeda. Plural artinya perbedaan di mana dalam kehidupan sehari-hari
menjadi kenyataan sosial yang tidak dapat dipungkiri. Pluralisme bukan
masalah perdebatan ajaran agama, namun lebih kepada konsep menghar-
gai dan menghormati perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Sumbu-
lah dan Nurjanah menjelaskan bahwa:
Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya pertemuan dalam
hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberada-
an agama-agama lain. Padangan pluralismenya tidak sampai masuk
pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam
agama lain... ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran te-
ologis dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik
sosial... (Sumbulah & Nurjanah, 2013).
Pluralisme tidak menilai benar atau salah sebuah ajaran agama, namun
lebih menekankan pada sikap sosial terhadap golongan agama. Sebuah go-
longan agama tidak berhak untuk mengkritisi sebuah ajaran agama lainnya.
Namun diperkenankan untuk mengkritisi sikap sosial antarsesama sebagai
manusia. Menghargai adanya perbedaan, menjadi sebuah keharusan seti-
ap manusia.
Pluralisme agama merupakan pengakuan adanya heterogenitas agama
dalam sebuah realitas kehidupan. Menurut Sumbulah dan Nurjanah, plura-
lisme agama merupakan suatu sikap mengakui, menghargai, menghormati,
memelihara, dan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat
plural tersebut (Sumbulah & Nurjanah, 2013).
Menurut Ma’arif, pluralisme dapat dipahami sebagai “the exisistency of
many different group in one society, for example people of different recis or of
different political or religious beliefs; cultural or political pluralism” (Ma’arif,
2005). Pluralisme beragama adalah mengakui, menghargai, menghormati

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 25
perbedaan beragama dalam sebuah masyarakat. Hal ini akan berhubungan
dengan sikap masyarakat dalam menghadapi kemajemukan agama untuk
harmonisasi kehidupan sesama.
Menurut Moesa, sikap yang sehat dalam menghadapi pluralitas adalah
sebagai berikut:
1. akomodatif, yaitu adanya kesediaan menampung berbagai aspirasi
dalam berbagai pihak;
2. selektif, yaitu memilih kepentingan yang bermanfaat dan maslahat;
3. integratif, yaitu menyeimbangkan berbagai kepentingan secara pro-
porsional.
4. kooperatif, yaitu kesediaan untuk hidup bersama dengan siapa pun
dan mau bekerja sama untuk hal yang bersifat keduniaan bukan hal
yang bersifat ritual (Moesa, 2017).
Sikap yang baik menjadi indikator penting dalam penerapan sikap plura-
lisme beragama. Adapun nilai-nilai pluralisme dalam menumbuhkan sikap
pluralis sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Nilai Kebebasan dan Pengakuan Terhadap Eksistensi Agama Lain.
Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, bahwa:
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan
yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas,
dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ke-
bebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah
hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Kebebasan sudah diberikan Allah kepada manusia, sehingga manu-
sia perlu mengakui adanya perbedaan agama setiap manusia. Islam telah
mengungkapkan manusia harus menerima kemajemukan. QS Al-Hujurat
ayat 13 menjelaskan bahwa:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seo-
rang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu ber-
bangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling mengenal. Sesung-
guhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah

26 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
orang yang takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha menge-
tahui lagi Maha Mengenal.
Sebagai umat Islam, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup. Sehingga
perlu mengikuti apa yang sudah ditulis dalam Al-Qur’an. Muslim sudah di-
perintahkan untuk menerima adanya perbedaan karena Allah telah men-
ciptakan perbedaan agar menghargai dan saling mengenal. Dari perbedaan
itu yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa ke-
pada-Nya.
Selain Islam, agama Yahudi dan Kristen juga dijelaskan oleh Franz Rosen
Z Weight bahwa:
Memusatkan perhatian pada keseluruhan hubungan manusia, dunia,
dan Tuhan. Keseluruhan ini diwahyukan dalam agama Yahudi dan
Kristen dan tidak dalam agama-agama lain. Sebaliknya, para pemi-
kir Yahudi, Amerika modern, menyarankan bahwa: semua agama me-
rupakan perwujudan firman Tuhan. Keragaman agama harus dilihat
sebagai unsur positif yang secara kreatif merupakan perjuangan ko-
munitas suatu agama dalam merespons kekuatan sekuler di sekitar-
nya”(Biyanto, 2009).
Tidak hanya Islam, Kristen dan Yahudi juga memberikan pemahaman ba-
gaimana setiap manusia saling mengakui adanya perbedaan agama. Menga-
kui adanya perbedaan di antara manusia perlu dilakukan sebagai sikap plu-
ralisme agar tetap harmonis di tengah kemajemukan.
Nilai kebebasan dalam memeluk agama dan mengakui adanya keyakinan
lain di tengah masyarakat sudah diajarkan oleh agama. Ajaran agama yang
dilegalkan di Indonesia sudah mengajarkan seruan mengakui adanya plu-
ralisme. Sudah seharusnya setiap masyarakat untuk mengakui keberadaan
agama lain bukan untuk berkonflik namun untuk bersatu dalam kehidup-
an sosial.
Seperti dalam ajaran Hindu pada Solaka Bhawagawad Gita VII.21:
Yo yo yam yam tanum bhaktah shraddhayarcitum icchati tasya tasya-
calam shraddham tam eva vidadhamy aham.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 27
Artinya: apa pun bentuk pemujaan yang dikehendaki para bhakta de-
ngan keyakinannya. Aku buat keyakinan itu mantap.
Pada sloka tersebut dijelaskan bahwa agama itu beragam, Tuhan mem-
persilakan manusia untuk memilih apa yang menjadi landasan dalam me-
yakini agama yang dipilihnya. Dan dalam setiap agama akan diajarkan tata
cara sembahyang, berdoa, dan menyampaikan puji-pujiannya kepada Tu-
hannya (Candrawan, 2020).
Pada Konghucu dalam Kitab Suci Si Shu dalam Lun Yu II.14 tertulis:
Seorang Jun Zi dapat rukun meski tidak dapat sama; seorang rendah
budi (Xiao Ren) dapat sama meski tidak dapat rukun.
Penjelasan teks tersebut bahwa Jun Zi yang berati orang yang baik budi
dapat hidup rukun walaupun mereka berbeda. Tetapi orang yang rendah
budi (Xiao Ren) atau tidak baik, walaupun mereka bersema, mereka tidak
rukun (Mawardi, 2022).
Nilai Keadilan
Keadilan merupakan keseimbangan, tidak memihak satu dengan yang
lainnya.
Menurut Ali, keadilan berasal dari kata adil yang diambil dari Bahasa
Arab yaitu ‘adl (Ali, 2007). Jika dilihat artinya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil juga di-
artikan berpijak pada kebenaran dan berarti sepatutnya atau tidak sewe-
nang-wenang. Keadilan dalam hal agama merupakan sesuatu yang harus
dihargai dan dihormati. Setiap insan memiliki agamanya masing-masing.
Maka perlu pesan-pesan keadilan disampaikan oleh Pemerintah dalam
menjaga stabilitas hidup bermasyarakat.
Menganggap semua agama memiliki porsi dan akses yang sesuai dalam
masyarakat majemuk adalah sebuah keharusan. Dalam sebuah kelompok
masyarakat yang terhimpun dengan multipemeluk agama tentu memiliki
hak yang sama baik akses ibadah atau kebebasan melakukan peribadahan.
Presentasi mayoritas atau minoritas agama tidak menjadi alasan untuk tim-
bulnya konflik sosial. Mayoritas atau tidak, setiap orang memiliki hak untuk

28 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
mendapatkan akses melakukan ibadah.
Dengan demikian, nilai keadilan tentu menjadi sebuah keharusan da-
lam menumbuhkan sikap pluralisme. Dalam kehidupan sosial, tidak memi-
hak merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam menghadapi konflik. Fokus
pada kebenaran untuk kepentingan bersama dan menjaga stabilitas harmo-
ni masyarakat.
Nilai Tenggang Rasa dan Saling Menghormati
Hidup dalam masyarakat majemuk yang menghimpun banyak agama
perlu ditanamkan nilai saling menghormati. Al-Qur’an telah menjelaskan
dan menyerukan nilai-nilai saling menghormati untuk tercapainya harmo-
nisasi agama. Ali menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw sedang berkum-
pul bersama sahabatnya, lalu lewatlah mayat seorang Yahudi. Kemudian Ra-
sulullah berdiri serta sahabatnya. Di antara sahabatnya tersebut ada yang
berkata kepada Rasulullah bahwa mayat itu adalah seorang Yahudi. Teta-
pi Rasulullah tetap berdiri dan bersabda bahwa mereka pun manusia juga
yang berhak mendapatkan penghormatan. Manusia adalah makhluk sosial
yang berhak dihormati oleh sesama. Rasulullah telah memberikan contoh
untuk saling menghargai dan menghormati sekalipun berbeda agama de-
ngan dirinya. Karena itu, pemuka agama perlu menyampaikan pada khala-
yak sikap saling menghormati dan nilai-nilai tenggang rasa demi kehidupan
masyarakat berjalan dengan harmonis.
Saling menghormati bukan hanya dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai
pedoman bagi umat Islam. Dalam dokumen gereja telah dijelaskan “Gereja
sangat menghargai kaum muslim” (Kimball, 2003). Artinya, saling menghar-
gai dan tenggang rasa sudah diperintahkan dalam ajaran agama mana pun,
sehingga seharusnya perbedaan agama bukan suatu alasan timbulnya kon-
flik bagi manusia yang beriman.
Ketiga nilai tersebut perlu disampaikan untuk menumbuhkan sikap plu-
ralis kepada masyarakat. Hari Toleransi Internasional menjadi momen yang
tepat bagi pemuka agama untuk menyampaikan nilai-nilai pluralisme ke-
pada masyarakat untuk meningkatkan sikap toleransi antarsesama. Dengan
demikian, tulisan ini akan membahas mengenai pesan Menteri Agama da-
lam Hari Toleransi Internasional menggunakan nilai-nilai dalam menum-
buhkan sikap pluralisme.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 29
Untuk menemukan sikap pluralisme agama pada Hari Toleransi Inter-
nasional pada website Kemenag RI menggunakan metode kualitatif. Strauss
dan Corbin dalam Cresswell menjelaskan:
Qualitative researchis a loosly defined category of research design or
models, all of which elicit verbal, visual, tactile, alfactory, and gustatory
data in the form of descriptive narratives like notes, recording, or oth-
er trascriptions from audio and videotaps and other written record and
pictures of film (Creswell J. W., 1998).
Pendapat di atas menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan je-
nis penelitian yang akan dijelaskan secara deskriptif, tidak melalui penjelas-
an statistik.
Keragaman adalah Kekayaan
Pada tanggal 6 November 2021, Kemenag RI merayakan Hari Toleran-
si Internasional. Pada laman resminya, Humas Kemenag RI mengunggah se-
buah pesan berupa rilis pers dengan highlight Hari Toleransi Internasional,
Menag: Keragaman adalah kekayaan. Berikut ini isi dari berita dari website
resmi Kemenag RI:
Siaran Pers Kementerian Agama
Hari Toleransi Internasional, Menag: Keragaman adalah Kekayaan
Tanggal 16 November selalu diperingati sebagai Hari Toleransi In-
ternasional atau International Day of Tolerance. Peringatan ini di-
dasarkan pada hasil kesepakatan dari Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1995.
Menag Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat memperingati
Hari Toleransi Internasional. Menurutnya, inti peringatan ini adalah
merayakan keberagaman dan toleransi dalam wujud nyata, serta un-
tuk memastikan bahwa semua orang memahami pentingnya membe-
ri ruang satu sama lain.

30 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
“Setiap kita perlu terus menumbuhkan kesadaran bahwa keragaman
agama, bahasa, budaya, dan etnis, bukanlah dalih untuk konflik; teta-
pi kekayaan umat manusia. Keragaman adalah kekayaan,” ujar Menag
di Jakarta, Selasa (16/11/2021).
“Keragaman adalah potensi bagi kita untuk saling mengenal dan ber-
kolaborasi dalam kebaikan dan mewujudkan kemaslahatan bersama.
Sebab, mereka yang bukan seiman adalah saudara dalam kemanusi-
aan,” sambungnya.
Menurut Menag, Kemenag RI tengah berupaya melakukan penguatan
moderasi beragama. Ada empat indikator dalam penguatan moderasi
beragama, yaitu: komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan
ramah terhadap tradisi.
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beraga-
ma dalam kehidupan bersama dengan cara mengimplementasikan
esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan
membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang,
dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
“Moderasi beragama bukanlah upaya memoderasikan agama, mela-
inkan memoderasi pemahaman dan pengamalan kita dalam beraga-
ma,” tegasnya.
Menag berharap ASN, utamanya di Kementerian Agama, bisa menjadi
pelopor dalam penguatan moderasi beragama. Menag juga mengajak
para tokoh agama, akademisi, tokoh pemuda, dosen, guru, dan penyu-
luh agama, serta kalangan milenial, untuk bersinergi dalam disemina-
si dan gerakan meningkatkan toleransi antarumat melalui semua sa-
luran. “Perbedaan adalah fitrah,” tandasnya.
Sebagaimana hari besar lainnya, Hari Toleransi Internasional diperingati
dengan menyampaikan pesan-pesan mengenai toleransi akan perbedaan.
Pesan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama, kemudian disampai-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 31
kan kembali dalam bentuk rilis pers atau siaran pers yang diunggah melalui
laman resmi Kementerian Agama oleh Humas Kemenag RI.
Pesan yang coba disampaikan oleh Menteri Agama dalam rilis pers terse-
but mengandung nilai-nilai sikap pluralisme, di antaranya adalah:
Nilai Kebebasan dan Pengakuan Terhadap Eksistensi Negara Lain.
Nilai kebebasan dan pengakuan terhadap eksistensi agama lain perlu di-
sampaikan, terlebih negara Indonesia menghimpun banyak agama di da-
lamnya. Nilai ini sudah sangat jelas ditekankan pada rilis pers tersebut oleh
Menteri Agama. Dalam rilis pers tersebut, Menteri Agama menyampaikan
pentingnya memberi ruang satu sama lain. Artinya, setiap agama memiliki
ruang yang sama di Indonesia. Ketika mayoritas masyarakat muslim, bukan
berarti ruang yang dimiliki agama lain lebih sedikit. Mayoritas atau tidak,
setiap agama memiliki tempat yang sama di mata negara.
Pesan-pesan pluralisme juga dijelaskan dalam wujud nyata mengenai
penguatan moderasi beragama. Salah satu dari indikator penguatan ada-
lah toleransi. Indikator toleransi harus dikuatkan lagi mengenai pemaham-
an beragama. Mengakui kebebasan dalam memilih agama dan menjalankan
ibadah sesuai agamanya.
Toleransi juga menjadi sikap yang perlu ditingkatkan dengan mengakui
adanya perbedaan agama di masyarakat. Indonesia hidup dengan enam aga-
ma yang berdampingan di mana setiap masyarakatnya dibebaskan untuk
memilih. Hal ini berarti setiap masyarakat juga harus mengakui bahwa ada
agama yang berbeda dalam kehidupan sosial yang dijalani. Menteri Agama
menjelaskan pada Hari Toleransi Internasional bahwa “keragaman adalah
kekayaan”. Keberagaman agama bukan suatu kekerdilan sosial, melainkan
kekayaan yang perlu diakui dan dijaga bersama.
Dalam rilis pers pada Hari Toleransi Internasional, Menteri Agama juga
mengajak untuk bersama-sama menggaungkan toleransi antarumat bera-
gama pada semua saluran berita. Ajakan ini masuk kepada seluruh elemen
masyarakat untuk menggerakkan toleransi bahwa “perbedaan adalah fit-
rah”. Karena itu, nilai kebebasan dan mengakui adanya agama lain sudah sa-
ngat jelas disampaikan oleh Menteri Agama dalam Hari Toleransi Interna-
sional.

32 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Nilai Keadilan
Sila ke-5 Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
mengisyaratkan bahwa konsep keadilan di Indonesia memang sudah dita-
namkan sejak dulu. Indonesia sebagai negara yang di dalamnya memiliki ra-
gam budaya, bahasa, etnis, dan agama, tentu harus mengusung konsep kea-
dilan dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara.
Menteri Agama menjelaskan pada Hari Toleransi Internasional bahwa
salah satu indikator moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan. Se-
tiap masyarakat sudah terikat dengan nilai-nilai bangsa yang harus berla-
ku adil. Dalam pidatonya, Menteri Agama menuturkan bahwa “membangun
kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitu-
si sebagai kesepakatan bangsa.” Maka tidak membeda-bedakan satu dengan
yang lainnya, memosisikan semua orang dalam posisi ekuilibrium, adalah
hal yang sudah disepakati oleh seluruh masyarakat. Keadilan dalam beraga-
ma juga menjadi komitmen bangsa yang harus dijaga dalam mencapai har-
monisasi kehidupan.
Dalam rilis pers pada Hari Toleransi Internasional tersebut Menteri Aga-
ma banyak membahas moderasi beragama sebagai perwujudan nyata da-
lam merayakan Hari Toleransi Internasional. Konsep moderasi beragama
menjadi konsep positif dalam membangun keadilan di masyarakat.
Moderasi beragama juga menanamkan nilai keadilan dalam mewujud-
kan sikap pluralis. Perbedaan akan menjadi indah ketika mendapatkan por-
si yang sama, akses yang sama, dan kesempatan yang sama dalam menja-
lankan ibadah. Hal ini berarti setiap manusia memiliki akses tempat ibadah
yang sama, mendapatkan porsi kesempatan dalam menyembah Tuhannya
dan kegiatan keagamaan lainnya. Karena itu, nilai keadilan sudah tersirat
pada pesan yang disampaikan oleh Menteri Agama sebagai wadah dalam
menghimpun pluralisme agama, serta penanggung jawab dalam menjaga
harmoni kehidupan beragama di Indonesia.
Sikap pluralis juga sudah tersirat dalam pesan Menteri Agama dalam
Hari Toleransi Internasional. Ia menjunjung adanya persatuan dan kerukun-
an antar umat beragama. Keseimbangan pesan yang tidak membeda-beda-
kan agama, tidak menonjolkan salah satu agama meskipun agama yang ia
anut merupakan agama mayoritas. Karena itu, pesan kesetaraan dan inte-
gritas semua agama pun secara tersirat sudah terlihat pada pesan yang di-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 33
sampaikan oleh Menteri Agama melalui rilis pers tersebut.
Nilai Tenggang Rasa dan Saling Menghormati
Nilai tenggang rasa dan saling menghormati menjadi bagian yang paling
banyak dibahas dalam isi berita Hari Toleransi Internasional. Nilai ini men-
jadi nilai yang penuh dengan tindakan dalam menerapkan sikap pluralisme.
Banyaknya bahasan mengenai nilai ini menjadi sangat krusialnya jika tidak
disampaikan dengan jelas.
Menteri Agama menyampaikan sikap pluralisme dengan mendefinisi-
kan keberagaman. Dalam rilis pers yang diunggah oleh Humas Kemenag RI,
Menteri Agama menjelaskan bahwa “keberagaman adalah potensi bagi kita
untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan dan mewujudkan
kemaslahatan bersama. Sebab mereka yang seiman.” Tindakan langsung de-
ngan berkolaborasi dalam kebaikan harus dilakukan untuk kemaslahatan
bersama, misalnya pada Idulfitri umat Kristiani meminjamkan halaman ge-
reja untuk parkiran umat Islam yang sedang beribadah, begitu sebaliknya
saat hari Natal tiba. Tindakan sederhana namun penuh makna dalam men-
jaga harmoni hidup bersama. Hal ini juga sejalan dengan tindakan Rasulul-
lah saw saat mayat Yahudi lewat di depannya. Agama juga telah menjelaskan
bagaimana menghargai sesama, maka seharusnya tidak ada perdebatan me-
ngenai pluralisme dan sikap pluralis harus diterapkan.
Nilai tenggang rasa dan saling menghormati juga berbicara tentang ke-
manusiaan. Jelas ditulis dalam rilis pers tersebut bahwa yang tidak seiman
adalah saudara dalam kemanusiaan. Secara sosial juga dibahas bahwa plu-
ralisme adalah berbicara tentang kemanusiaan.
Hal menarik lainnya dalam redaksi rilis pers tersebut, bahwa terdapat
dua dari empat indikator moderasi beragama yang masuk dalam nilai ini,
yaitu antikekerasan dan ramah terhadap tradisi. Kekerasan merupakan tin-
dakan tidak terpuji yang sering terjadi dalam masyarakat pluralis. Karena
itu, tindakan antikekerasan masuk pada indikator moderasi agama. Hal ini
bertujuan untuk menghindari konflik karena adanya perbedaan agama. An-
tikekerasan juga sebagai sikap saling menghormati antarumat beragama.
Ramah terhadap tradisi juga merupakan sikap dalam nilai tenggang rasa.
Bersikap santun terhadap tradisi atau kegiatan agama lain juga tersirat pada
berita Kementerian Agama pada Hari Toleransi Internasional. Nilai pluralis-

34 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
me sudah tersampaikan dengan baik. Adanya kooperasi antarumat beraga-
ma menjadi sikap pluralis yang dijelaskan pada pemberitaan tersebut.
Simpulan
Hari Toleransi Internasional merupakan diperingati pada setiap tanggal
16 November, toleransi perbedaan suku bangsa, ras, maupun agama. Indo-
nesia merupakan negara yang mengakui enam agama, yang mana keenam
agama tersebut hidup secara berdampingan di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itu, perlu memberi ruang satu sama lain dalam setiap pelaksanaan
keagamaan.
Moderasi beragama merupakan konsep positif dalam membangun kea-
dilan dalam masyarakat, keberagaman dalam beragama harus menjadi po-
tensi untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan untuk me-
wujudkan kemaslahatan bersama.
Perbedaan akan menjadi indah ketika mendapatkan porsi yang sama, ak-
ses yang sama, dan kesempatan yang sama dalam menjalankan ibadah bagi
pemeluk agamanya masing-masing sehingga tercipta kehidupan beragama
di Indonesia yang harmonis.
Karena tulisan ini memiliki cakupan pembahasan mengenai toleransi
beragama, maka ke depannya diharapkan akan muncul penelitian lanjutan
yang lebih rinci membahas mengenai moderasi beragama. Bahasan tersebut
dapat berupa sikap, tindakan, dan konsep secara mendalam mengenai mo-
derasi beragama. Hal ini dibutuhkan masyarakat agar mengetahui bagaima-
na mengimplementasikan toleransi yang lebih baik di Indonesia. Selain itu,
dari penelitian ini diharapkan beberapa hal lain, di antaranya adalah, per-
tama, dalam kehidupan sosial, diharapkan adanya wujud nyata dari sikap
atau tindakan yang mencerminka moderasi beragama pada seluruh lapis-
an masyarakat. Kedua, tulisan lain selanjutnya diharapkan dapat mengukur
tingkat toleransi khususnya toleransi beragama di Indonesia sebagai negara
yang di dalamnya mengakui enam agama.
Daftar Pustaka
Ali, Z. (2007). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Bakar, A. (2015). Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Toleransi: Media Ko-
munikasi Umat Beragama, 123-131.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 35
Biyanto. (2009). Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan. Malang: UMM Press.
Candrawan, I. B. (2020). Praktik Moderasi Hindu dalam Tri Kerangka Agama Hidu
Di Bali. Prosiding Seminar Nasional Moderasi Beragama STHD Klaten Tahun 2020
(pp. 130-140). Klaten: Sekolah Tinggi Hindu Dharma.
Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five
Traditions. Thousand Oaks: Sage.
Friana, H. (2022, Desember 13). Fortune Indonesia. Retrieved Februari 7, 2023, from
Fortune Indonesia Website: https://www.fortuneidn.com/news/friana/jum-
lah-negara-di-dunia-berdasarkan-keanggotaan-pbb.
Humas Kemenag RI. (2021, November 16). Kementerian Agama Republik Indone-
sia. Retrieved Februari 10, 2023, from Kementerian Agama Republik Indone-
sia: https://kemenag.go.id/read/hari-toleransi-internasional-menag-keraga-
maan-adalah-kekayaan-6vwnp.
Kementerian Agama RI. (2022, September 9). Kementerian Agama Republik Indo-
nesia. Retrieved Februari 10, 2023, from Kementerian Agama Republik Indo-
nesia: https://www.kemenag.go.id/read/mengurai-polemik-penolakan-pendi-
rian-gereja-di-cilegon-doyyq.
Kimball, C. (2003). When Religion Becomes Evil. San Francisco: HarperOne.
Koesno, D. (2020, November 16). tirto.id. Retrieved Februari 7, 2023, from tirto.id: ht-
tps://tirto.id/sejarah-hari-toleransi-internasional-diperingati-tiap-16-novem-
ber-sejak%20saaf61n.
Krippendorff, K. (1991). Content Analysis: an introduction ot its Methodology. SAGE
Publucations.
Kusnandar, V. B. (2021, September 30). Databoks. Retrieved from Kata Data We-
bsite: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/seba-
nyak-8688-penduduk-indonesia-beragama-islam.
Ma’arif, S. (2005). Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Mawardi. (2022). Moderasi Beragama dalam Agama Konghuchu. Abrahamic Religi-
ons, 199-209.
Moesa, A. M. (2017). Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakar-
ta: LKiS.
Ramadhani, Y. (2019, November 15). tirto.id. Retrieved Februari 7, 2023, from tirto.
id: https://tirto.id/asal-mula-hari-toleransi-sedunia-diperingati-16-november-
2019-elC2
Sholih, M. (2018, Maret 20). tirto.id. Retrieved Februari 10, 2023, from tirto.id: htt-

36 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
ps://tirto.id/di-balik-polemik-penolakan-menara-masjid-di-papua-cGrd
Sudarma, M. (2008). Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Sumbulah, U., & Nurjanah. (2013). Pluralisme Agama: Makna dan Lokalitas Pola Ke-
rukunan Antarumat Beragama. Malang: UIN-Maliki Press.
Tillman, D. (2004). Pendidikan Nilai Untuk Kaum Muda Dewasa. Jakarta: Grasindo.
Winanda. (1970, Januari 1). Kementerian Agama Kabupaten Karangasem. Retrieved
Februari 7, 2023, from Kementerian Agama Kabupaten Karangasem Website:
https://bali.kemenag.go.id/karangasem/berita/3987/keragaman-dan-perbe-
daan-akan-menjadi-indah-dalam-bingkai-toleransi-dan-pluralisme.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 37
Mengeksplorasi Nilai-
Nilai Moderasi Beragama
Dalam Ilmu Kimia
Ivan Ashif Ardhana
Pendahuluan
Salah satu cabang ilmu sains yang wajib dipelajari siswa sekolah mene-
ngah atas di Indonesia adalah kimia. Ilmu kimia mempelajari struktur dan
sifat materi serta energi yang menyertainya. Kompetensi ilmu kimia yang
wajib dikuasai berdasarkan kurikulum 2013 mencakup pemahaman kogni-
tif yang tercantum pada Kompetensi Inti 3 (KI 3) dan kinerja psikomotorik
pada Kompetensi Inti 4 (KI 4). Selain itu, aspek sikap atau afektif diwadahi
dalam Kompetensi Inti 2 (KI 2) dan aspek spiritual yang terakomodasi pada
Kompetensi Inti 1 (KI 1). Kompetensi inti merupakan pijakan pertama pen-
capaian yang dituju dari semua mata pelajaran tiap jenjang kelas (Rachma-
wati, 2020).
KI 1 pada Kurikulum 13 menyatakan “Menghayati dan mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya”. Tujuan dari KI 1 adalah menjadikan mate-
ri ajar sebagai sarana siswa untuk menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya. Berdasarkan tujuan dan maksud pencantuman KI
1, ilmu kimia diharapkan dapat menjadi prekursor dan stimulus sekaligus
menjembatani nilai-nilai spiritual tersampaikan kepada siswa, khususnya

38 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
siswa sekolah menengah atas yang mendapatkan mata pelajaran kimia.
KI 1 dijabarkan kembali ke dalam Kompetensi Dasar 1.1 pada ma-
sing-masing jenjang kelas. Pada kelas X, KD 1.1 berbunyi “Menyadari ada-
nya keteraturan struktur partikel materi sebagai wujud kebesaran Tuhan
Yang Maha Esa dan pengetahuan tentang struktur partikel materi sebagai
hasil pemikiran kreatif manusia yang kebenarannya bersifat tentatif”. KD
1.1 pada kelas XI bermaksud agar siswa dapat “Menyadari adanya ketera-
turan dari sifat hidrokarbon, termokimia, laju reaksi, kesetimbangan kimia,
larutan dan koloid sebagai wujud kebesaran Tuhan YME dan pengetahuan
tentang adanya keteraturan tersebut sebagai hasil pemikiran kreatif manu-
sia yang kebenarannya bersifat tentatif”. Adapun KD 1.1 pada kelas XII ber-
tujuan agar siswa mampu “Menyadari adanya keteraturan dalam sifat koli-
gatif larutan, reaksi redoks, keragaman sifat unsur, senyawa makromolekul
sebagai wujud kebesaran Tuhan YME dan pengetahuan tentang adanya ke-
teraturan tersebut sebagai hasil pemikiran kreatif manusia yang kebenaran-
nya bersifat tentatif”.
Berdasarkan penjabaran KD 1.1 pada masing-masing jenjang di atas,
dapat ditarik sebuah benang merah bahwa aspek spiritualisme sains yang
hendak diperkenalkan kepada siswa adalah keteraturan ilmu, pemikiran
kreatif, dan kebenaran tentatif. Keteraturan ilmu yang dimaksud di sini ada-
lah ilmu kimia menganut prinsip, teori, dan konsep tertentu dalam pene-
rapannya. Ilmu kimia juga dihasilkan dari pemikiran kreatif para ilmuwan.
Tentunya pemikiran ini tidak bersifat “steady” atau berjalan di tempat, na-
mun bersifat tentatif di mana konstruksi ilmu dapat sewaktu-waktu beru-
bah mengikuti perkembangan zaman atau ketika ditemukan teori baru yang
lebih “adjustable”. Ketiga pesan ini saling berkelindan membentuk sebuah
kesatuan bahwa keteraturan ilmu kimia selalu berkembang hasil dari pe-
mikiran para ilmuwan baru. Pesan ini sebenarnya amat dekat dengan aspek
spiritual lainnya yaitu moderasi beragama.
Moderasi beragama memiliki prinsip, indikator, dan nilai. Prinsip da-
sar moderasi beragama yaitu adil dan berimbang (Agama RI, 2019; Junae-
di, 2019; Shihab, 2020). Adil berarti mampu menempatkan segala sesuatu
pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin.
Berimbang adalah sikap selalu berada di tengah di antara dua kutub. Dua
prinsip ini kemudian diturunkan menjadi empat indikator moderasi beraga-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 39
ma yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan
terhadap tradisi beragama (Afwadzi & Miski, 2021; Jamaluddin, 2022; Mu-
hammad, 2021).
Indikator komitmen kebangsaan melihat tingkat penerimaan seseorang
terhadap konsensus dasar kebangsaan terutama penerimaan Pancasila se-
bagai ideologi negara, sebab menunaikan kewajiban sebagai warga negara
adalah wujud pengamalan ajaran agama. Indikator toleransi menunjukkan
sikap seseorang untuk menghargai keyakinan dan pendapat orang lain mes-
kipun hal tersebut berbeda dengan pandangan yang kita yakini. Toleransi
mengacu pada adanya sikap menerima perbedaan. Dalam hubungan antar-
agama, toleransi dapat diwujudkan dalam sikap hormat terhadap pemeluk
agama lain, keterbukaan dalam dialog, kesediaan bekerja sama, dan berpi-
kir positif dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain.
Indikator selanjutnya adalah antikekerasan, yaitu sikap seseorang untuk
bertindak anti- atau menolak upaya perubahan sistem yang telah disepa-
kati menggunakan cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan agama. Si-
kap ini penting dimiliki karena radikalisme tidak berkaitan pada agama ter-
tentu, namun dapat melekat pada semua agama. Indikator terakhir adalah
penerimaan terhadap tradisi beragama yang melihat sejauh mana sikap se-
seorang dalam menerima praktik keagamaan yang mengakomodasi aspek
budaya lokal dan tradisi masyarakat. Dalam hal ini, orang moderat cende-
rung dapat menerima praktik keagamaan yang didasari tradisi dan buda-
ya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama yang di-
anutnya.
Dalam tataran implementasi, empat indikator moderasi di atas diterap-
kan dalam sejumlah nilai-nilai moderasi beragama. Nilai-nilai moderasi ber-
agama menurut (Z. Abdullah, 2022; Nur & Mukhlis, 2015) adalah:
1. tawasut yang berarti mengambil jalan tengah, yaitu pemahaman dan
pengamalan yang tidak berlebih-lebihan dalam beragama (ifrāth)
dan tidak mengurangi ajaran agama (tafrīth);
2. tawazun yang berarti berkeseimbangan, yaitu keseimbangan pema-
haman dan pengamalan agama pada semua aspek kehidupan baik
duniawi maupun ukhrawi dan tegas dalam berprinsip sehingga da-
pat membedakan antara penyimpangan (inhirāf) dan perbedaan
(ikhtilāf);

40 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
3. iktidal yang berarti lurus dan tegas, yaitu menempatkan sesuatu pada
tempatnya, melaksanakan hak, dan memenuhi kewajiban secara pro-
porsional;
4. tasamuh yang berarti toleransi, yaitu menghormati perbedaan baik
dalam aspek keagamaan maupun kehidupan;
5. musawah yang berarti egaliter, yaitu tidak bersikap diskriminatif ke-
pada mereka yang berbeda keyakinan, tradisi, ataupun asal usul;
6. syura yang berarti musyawarah, yaitu menyelesaikan masalah mela-
lui musyawarah mufakat dengan prinsip mengutamakan kemaslaha-
tan di atas segalanya;
7. islah yang berarti reformasi, yaitu mengutamakan prinsip reforma-
tif untuk mencapai kondisi lebih baik sesuai perubahan dan kemaju-
an zaman dengan tetap berpijak pada kemaslahatan umum dan tetap
melestarikan tradisi lama yang masih relevan serta menerapkan hal-
hal baru yang lebih relevan (al-muhafazhaf ‘ala al-qadimi al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah);
8. aulawiyah yang berarti mendahulukan yang prioritas, yaitu mampu
mengidentifikasi kepentingan yang lebih diutamakan untuk diimple-
mentasikan daripada kepentingan yang kurang utama;
9. tathawwur wa ibtikār yang berarti dinamis dan inovatif, yaitu sela-
lu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai perkem-
bangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan
kemajuan umat manusia;
10. tahadhdhur yang berarti berkeadaban, yaitu menjunjung tinggi
akhak mulia, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah
dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Sejauh ini, prinsip, indikator, dan nilai moderasi beragama diteliti dalam
studi literatur sumber-sumber buku, studi kasus, ataupun eksperimen. Stu-
di perbandingan antara tafsir Al-Tahrir wa At-Tanwir dan Aisar At-Tafsir me-
laporkan bahwa sikap moderat (wasathiyah) diharuskan mampu menginte-
grasikan dimensi teosentris (hablum min Allah) dan antoposentris (hablum
min an-nas) agar terwujud kedamaian dunia tanpa kekerasan atas nama go-
longan, ras, ideologi, atau agama (Nur & Mukhlis, 2015). Studi kasus model
dan penerapan moderasi beragama melaporkan bahwa kurikulum pesan-
tren berbasis sains dapat berperan sebagai penengah (wasathiyah) untuk

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 41
menyeimbangkan ilmu pengetahuan umum yang tetap berlandaskan pada
ilmu kauniyah (Bahijah et al, 2022). Dalam kajian etnografi, tradisi makan
sirih pinang mencerminkan model moderasi keramahan dan solidaritas
(Nayuf, 2022). Penelitian tersebut mengungkap bahwa tradisi makan sirih
pinang adalah warisan kearifan lokal Atoni Pah Meto yang mampu merekat-
kan persaudaraan, merangkul sesama, dan menghargai perbedaan. Mode-
rasi beragama juga dapat diteliti melalui penelitian eksperimen yang me-
laporkan bahwa siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran
berbasis literatur berhasil meningkatkan pemahaman tentang pentingnya
moderasi beragama, mengembangkan sikap moderat dalam beragama, ser-
ta menciptakan kerukunan antarsiswa yang berbeda keyakinan (Manshur &
Husni, 2020).
Berdasarkan sejumlah penelitian di atas, terlihat bahwa moderasi bera-
gama diteliti dalam cakupan dan pendekatan keagamaan. Potensi peneliti-
an yang mengaitkan nilai moderasi beragama dengan ilmu-ilmu alam, khu-
susnya kimia, belum banyak terlihat karena sejumlah penelitian integrasi
Islam dan sains kimia bertujuan mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis
ke dalam pembelajaran. Penelitian (Qurniati, 2021) mengembangkan bahan
ajar terintegrasi nilai keislaman pada topik ikatan kimia. Integrasi-integra-
si keislaman yang ditemukan adalah konsep pernikahan yang berkaitan de-
ngan teori pembentukan ikatan kimia dan ikatan logam; konsep zakat yang
berkaitan dengan pembentukan ikatan ionik; konsep syirkah yang berkaitan
dengan ikatan kovalen; konsep muzaraah dan mukharabah yang berkaitan
dengan konsep ikatan kovalen koordinasi; konsep silaturahim yang berka-
itan dengan pembentukan ikatan kovalen polar; dan konsep takziyah yang
berkaitan dengan konsep ikatan hidrogen.
Penelitian (Muslim et al, 2021) mengembangkan video animasi kimia te-
rintegrasi keislaman pada topik struktur atom kelas X SMA/MA sederajat.
Ayat yang menjadi fokus utama penelitian ini adalah Al-Zalzalah ayat 7 –
8 yang menjelaskan tentang konsep atom atau zarah. Penelitian (Sri Wah-
yuni, 2019) mengembangkan bahan ajar mata kuliah biokimia yang diinte-
grasikan dengan nilai-nilai keislaman. Ayat-ayat yang diintegrasikan adalah
QS An-Nahl ayat 5 yang memberikan pesan adanya komponen makromole-
kul protein pada hewan; QS Al-An’am ayat 99 yang memberikan pesan ada-
nya komponen makromolekul karbohidrat, protein, dan lemak pada tum-

42 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
buh-tumbuhan; serta QS Al-A’raf ayat 31 yang memberikan pesan adanya
komponen makromolekul kolesterol pada tubuh jika manusia mengonsum-
si makanan yang berlebihan.
Penelitian (Kurniasari et al, 2019) mengkaji nilai-nilai keislaman pada to-
pik redoks dan elektrokimia terhadap rahasia kekuatan benteng besi Iskan-
dar Zulkarnain. Ayat yang menjadi topik utama adalah surat Al-Kahfi ayat 96
– 98 di mana pada ayat ini terdapat isyarat reaksi oksidasi-reduksi dan elek-
trokimia yang terkontekstualisasi pada fenomena korosi besi. Penelitian (M
Herman et al, 2022) mengembangkan E-LKPD berbantuan augmented rea-
lity yang terintegrasi nilai keislaman pada materi larutan elektrolit.
Sejumlah penelitian di atas membuktikan bahwa aspek spiritual keaga-
maan dapat diintegrasikan ke dalam ilmu kimia dan pembelajarannya ma-
sih dalam bentuk integrasi ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan fenome-
na kimia. Padahal, aspek moderasi beragama juga berpotensi diintegrasikan
maupun diinterkoneksikan dengan pendekatan ilmu sains kimia. Mengait-
kan nilai-nilai agama dengan sains bukan lagi hal yang mustahil sebab aga-
ma dan sains tidak lagi terjadi dikotomi (Zain & Vebrianto, 2017) dan dapat
dilakukan proses integrasi maupun interkoneksi di antara keduanya (Mimi
Herman, 2021; Siregar, 2014). Tulisan ini dilatarbelakangi oleh belum dila-
kukannya kajian maupun penelitian yang melaporkan bagaimana nilai mo-
derasi dieksplorasi pada ilmu kimia melalui proses analogi, integrasi, dan in-
terkoneksi. Penggalian nilai moderasi beragama masih dilakukan pada ilmu
biologi di mana moderasi beragama dicerminkan oleh pentingnya menja-
ga keseimbangan ekosistem, nutrisi tubuh, cairan tubuh, dan elektrolit tu-
buh (Z. Abdullah, 2022). Nilai moderasi pada objek biologi penelitian terse-
but cenderung dominan pada nilai berkeseimbangan (tawazun). Karena itu,
tulisan ini menggali nilai-nilai moderasi yang terdapat pada ilmu kimia, de-
ngan harapan besar dapat dimanfaatkan para pendidik kimia untuk mem-
perkenalkan nilai moderasi kepada siswa sejak dini melalui pembelajaran
kimia. Hal ini penting dilakukan karena moderasi beragama telah menja-
di program prioritas pemerintah dalam RPJMN 2020 – 2025 yang dilandasi
oleh ajaran agama yaitu washathiyatul Islam (Junaedi, 2022).

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 43
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan. Penelitian ke-
pustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan teknik pe-
ngumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan pe-
nelitian (Zed, 2014). Melalui penelitian kepustakaan, tulisan ini berusaha
menggali nilai-nilai moderasi beragama yang terdapat pada ilmu kimia me-
lalui teknik analogi, integrasi, maupun interkoneksi. Teknik ini didasari oleh
paradigma bahwa hubungan sains dan agama tidak dipisahkan oleh dinding
tebal yang menyebabkannya terisolasi, melainkan melalui membran perme-
abel yang memungkinkan keduanya berkomunikasi (M. A. Abdullah, 2014).
Prosedur dalam analisis data mengikuti model Miles dan Huberman ya-
itu meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles
& Huberman, 2014). Reduksi data adalah langkah pertama untuk menajam-
kan, menggolongkan, mengarahkan, dan mengorganisasi temuan data un-
tuk menemukan simpulan final yang dapat diverifikasi disertai proses mem-
buang data yang tidak perlu. Sajian data adalah tahapan selanjutnya untuk
merangkai dan mengorganisasi data yang memungkinkan kesimpulan pe-
nelitian dapat diambil. Penyajian data bermaksud untuk menemukan pola-
pola bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesim-
pulan dan pemberian tindakan. Penarikan kesimpulan merupakan tahapan
akhir untuk menyajikan kesimpulan dari data-data yang telah terorganisir.
Nilai-Nilai Moderasi Beragama pada Ilmu Kimia
Keseimbangan (Tawazun) dalam Atom, Asam basa, dan Redoks
Ilmu kimia mengandung sejumlah keseimbangan dalam konsepnya, dari
hal yang paling sederhana hingga paling kompleks. Atom adalah sebuah
bentuk keseimbangan dari segi terkecil. Pada atom terdapat proton bermu-
atan positif dan elektron yang bermuatan negatif dengan jumlah yang sama
sehingga membentuk atom bermuatan netral. Keseimbangan ini terus ber-
langsung kecuali adanya penambahan elektron membentuk ion negatif (an-
ion) atau pelepasan elektron membentuk ion positif (kation).
Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan yang dapat dijumpai ada-
lah adanya zat asam dan basa. Zat asam secara organoleptik memiliki rasa
masam seperti buah-buahan dan cuka makan dengan pH < 7. Adapun zat
basa memiliki rasa pahit seperti sabun dan obat-obatan dengan pH > 7. Ter-

44 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
dapat tiga teori asam basa utama yang diajarkan mulai dari tingkat seko-
lah menengah atas yaitu teori Arrhenius, Bronsted-Lowry, dan Lewis. Teori
asam basa Arrhenius adalah teori di mana suatu zat dikatakan bersifat asam
jika dilarutkan ke dalam air menghasilkan ion hidrogen (H
+
), sedangkan zat
basa menghasilkan ion hidroksida (OH
-
) di dalam air. Uniknya, ketika kedua
zat asam dan basa ini direaksikan akan menghasilkan senyawa garam yang
bersifat netral. Teori Bronsted-Lowry menjelaskan bahwa zat asam berpe-
ran sebagai donor proton, sedangkan zat basa adalah akseptor proton. Ada-
pun teori asam basa Lewis menjelaskan bahwa zat asam adalah zat yang
menerima pasangan elektron bebas (PEB), sedangkan zat basa adalah zat
yang mendonorkan PEB. Dari teori asam basa Bronsted-Lowry dan Lewis
tecermin adanya keseimbangan yaitu saling memberi (donor) dan meneri-
ma (akseptor).
Keseimbangan lain pada ilmu kimia adalah pada konsep reaksi reduksi
oksidasi (redoks). Ditinjau dari keterlibatan oksigen, reaksi oksidasi adalah
reaksi penambahan oksigen, sedangkan reaksi reduksi adalah reaksi pengu-
rangan oksigen. Dari keterlibatan hidrogen, reaksi oksidasi adalah reaksi
pengurangan hidrogen, sedangkan reaksi reduksi adalah reaksi penambah-
an hidrogen. Reaksi redoks juga dapat ditinjau dari perubahan bilangan ok-
sidasi. Reaksi oksidasi adalah reaksi yang terjadi kenaikan bilangan oksidasi
dari atom yang terlibat, sedangkan reaksi reduksi adalah reaksi yang terjadi
penurunan bilangan oksidasi dari atom yang terlibat.
Berdasarkan uraian di atas, dari partikel sekecil atom hingga zat-zat
yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari serta konsep-konsep ki-
mia teoritis, dapat muncul nilai keseimbangan yang dapat dianalogikan de-
ngan nilai moderasi beragama. Dengan demikian, secara umum ilmu kimia
dapat menjadi sarana penyampai nilai moderasi beragama sejak dini kepa-
da siswa bahkan dapat disampaikan mulai jenjang sekolah menengah per-
tama di mana pada jenjang tersebut sudah mulai diajarkan ilmu kimia yaitu
tentang atom, senyawa, dan molekul.
Musyawarah (Syura) antara Muatan Formal dan Aturan Oktet
Aturan oktet dan muatan formal adalah dua hal yang menjadi pertim-
bangan dalam menentukan kestabilan sebuah senyawa. Atom pusat dari un-
sur-unsur periode ketiga hingga ketujuh sering kali tidak memenuhi atur-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 45
an oktet yang mengharuskannya memiliki delapan elektron di sekitar atom
untuk berikatan. Namun, atom pusat periode ketiga hingga ketujuh tersebut
memiliki kecenderungan bersifat “expanded octets” yaitu dikelilingi oleh le-
bih dari delapan elektron. Dengan demikian, kestabilan senyawa yang bersi-
fat “expanded” tersebut perlu mempertimbangkan aturan lain yaitu muatan
formal. Ion sulfat (SO
4
2-
) adalah salah satu contohnya seperti terlihat pada
Gambar 1 bawah ini.
Gambar 1. Kemungkinan pertama struktur Lewis ion sulfat (Karya
pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Pada struktur pertama ion sulfat di atas, meskipun atom pusat memenu-
hi aturan oktet dengan memiliki delapan elektron di sekeliling atom sulfur,
muatan formal masing-masing atom tidak nol yaitu -1 untuk empat atom
oksigen dan +2 untuk atom sulfur. Padahal, berdasarkan aturan muatan for-
mal, senyawa yang lebih stabil adalah senyawa yang memiliki muatan for-
mal bernilai nol atau mendekati nol untuk masing-masing atomnya. Jika di-
tinjau dari muatan formal, struktur ion sulfat pada Gambar 1 cenderung
tidak stabil, meskipun keempat atomnya memenuhi aturan oktet. Kemung-
kinan kedua struktur Lewis ion sulfat dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Kemungkinan kedua struktur Lewis ion sulfat (Karya
pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
S
O
OO
O
-1
+2
-1
-1
-1
2-
S
O
O
OO
-1
-1
2-

46 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Pada struktur kedua di atas terjadi perubahan nilai muatan formal yang
terjadi pada dua atom oksigen dan satu atom sulfat sebagai atom pusat. De-
ngan merelokasi pasangan atom bebas pada dua atom oksigen ke dalam
atom pusat, tiga atom kini memiliki muatan formal nol. Selain itu, terjadi
perubahan jumlah elektron yang mengelilingi atom pusat sulfur yang kini
memiliki dua belas elektron di sekitarnya. Artinya, struktur kedua ion sulfat
di atas tidak lagi memenuhi aturan oktet tepatnya pada atom pusat sulfur.
Kedua struktur ini menjadi perdebatan antarpendidik selama dua deka-
de terakhir. Namun fakta eksperimen menunjukkan bahwa ion sulfat yang
tepat ditunjukkan oleh Gambar 2 keempat panjang ikatan S – O sama pan-
jang dan memiliki karakter resonansi. Berdasarkan hal ini, selain aturan ok-
tet, muatan formal juga menjadi solusi tambahan untuk menentukan struk-
tur ion sulfat yang tepat. Aturan oktet dan muatan formal menjadi landasan
dalam penentuan kestabilan sebuah struktur senyawa. Senyawa-senyawa
yang mengandung unsur dari periode kedua seperti karbon, nitrogen, ok-
sigen, dan fluor, selalu memenuhi aturan oktet. Sedangkan senyawa dengan
unsur periode ketiga hingga ketujuh tidak harus memenuhi aturan oktet, se-
perti sulfur pada ion sulfat, sehingga perlu mempertimbangkan muatan for-
mal dalam menentukan struktur yang paling stabil.
Aturan oktet tidak memaksakan kehendaknya dalam menentukan kesta-
bilan senyawa yang mengandung unsur-unsur periode ketiga hingga ketu-
juh, namun perlu dilakukan musyawarah dengan muatan formal. Musyawa-
rah antara aturan oktet dan muatan formal lebih jelas lagi ditunjukkan pada
struktur senyawa POF
3
seperti pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Kemungkinan kedua struktur Lewis senyawa POF
3
(Karya
pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
P
O
F F
F
P
O
F F
F
-1
0
+1 0
A B

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 47
Pada struktur A, semua atom memenuhi aturan oktet dengan memiliki
delapan elektron untuk berikatan. Namun, muatan formal pada unsur fosfor
dan oksigen tidak nol yaitu +1 dan -1. Hal ini tentunya bukan struktur yang
stabil mengingat menurut aturan muatan formal seharusnya masing-masing
atom bernilai nol. Sebaliknya, pada struktur B, unsur fosfor tidak memenuhi
aturan oktet dengan memiliki sepuluh elektron untuk berikatan. Namun se-
mua atomnya memiliki muatan formal sama dengan nol. Struktur B lebih di-
terima sebagai struktur yang stabil mengingat unsur fosfor bukanlah unsur
yang harus memenuhi aturan oktet. Alhasil, pada struktur B, pemufakatan
terjadi bahwa muatan formal dijadikan patokan untuk penentuan struktur
dibanding aturan oktet dengan mempertimbangkan ketidakharusan atom
pusat fosfor memiliki delapan elektron ikatan.
Pelibatan muatan formal di samping aturan oktet dalam menentukan
kestabilan senyawa mencerminkan bahwa terdapat prinsip moderasi ber-
agama adil dan berimbang serta nilai syura (musyawarah). Penentuan kes-
tabilan senyawa kimia merupakan hasil musyawarah antara aturan oktet
dan muatan formal hingga tercapainya mufakat berupa struktur yang dise-
pakati. Pemufakatan ini dilandasi oleh kontribusi aturan oktet dan muat-
an formal yang adil dan berimbang dalam penentuan struktur senyawa. De-
ngan demikian, aturan oktet dan muatan formal ini dapat dijadikan sarana
penyampai nilai moderasi beragama agar setiap masalah dimusyawarahkan
terlebih dahulu tanpa memaksakan kehendak pribadi, sehingga solusi yang
ditemukan menghasilkan kondisi yang paling stabil dan dapat diterima oleh
pihak-pihak yang terlibat.
Pengambilan Jalan Tengah (Tawasut) pada
Proses Pembentukan Senyawa Garam
Garam dapur yang sering kita digunakan untuk memasak memiliki ru-
mus kimia NaCl. Senyawa ini dibentuk dari unsur natrium (Na) dan klor
(Cl) yang berikatan secara ionik melalui proses serah terima elektron. Un-
sur natrium di alam bersifat eksplosif yang artinya mudah meledak bahkan
ketika hanya bersentuhan dengan air. Unsur klorida juga memiliki sifat yang
berbahaya yaitu beracun. Unsur natrium dapat dikatakan tidak stabil kare-
na memiliki satu elektron valensi, sehingga elektron ini mudah lepas yang
berdampak mudahnya unsur natrium bereaksi dengan unsur lain. Sama hal-

48 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
nya dengan atom klor yang dapat pula dikatakan tidak stabil karena me-
miliki tujuh elektron valensi, sehingga cenderung menerima satu elektron
untuk membentuk kestabilan. Jadi, di samping sifat gas klor yang beracun,
atom unsur ini bersifat reaktif atau mudah bereaksi dengan unsur lain.
Menariknya, ketika dua unsur reaktif ini berikatan melalui mekanisme
pembentukan ikatan ionik, senyawa yang terbentuk justru tidak memiliki
sifat berbahaya dibanding unsur-unsur pembentuknya. Senyawa tersebut
adalah garam NaCl yang justru banyak digunakan untuk memasak, tidak
mudah meledak layaknya unsur natrium dan tidak beracun layaknya unsur
klorida. Unsur natrium dapat memberikan satu elektron valensi kepada un-
sur klor, sehingga terbentuklah senyawa ionik NaCl yang stabil dan jauh dari
kata reaktif.
Pembentukan senyawa garam NaCl memiliki nilai moderasi tawasut
(memilih jalan tengah). Jalan tengah tersebut yaitu memilih untuk berikat-
an membentuk senyawa yang stabil daripada berada di alam dalam bentuk
yang “ekstrem” dan cenderung berbahaya, mudah meledak seperti natri-
um ataupun beracun layaknya klor. Garam NaCl adalah jalan tengah di mana
satu elektron terluar (elektron valensi) Na diberikan kepada Cl memben-
tuk senyawa stabil NaCl yang “moderat”. Dengan demikian, pembentukan
senyawa garam NaCl dapat menjadi sarana penyampai nilai moderasi agar
para siswa dan seseorang umumnya tidak terjebak dalam paham ekstrem
dan lebih memilih jalan tengah yang moderat.
Reformasi (Islah) pada Reaksi Penataan Ulang Senyawa Organik
Sejumlah reaksi organik dapat menghasilkan produk tidak terduga be-
rupa perbedaan kerangka karbon atau posisi ikatan rangkap dua dari re-
aktan dan produk. Hal ini dapat terjadi ketika sebuah reaksi organik me-
libatkan sebuah karbokation intermediet yang reaktif. Karbokation adalah
sebuah senyawa organik yang memiliki muatan positif di salah satu atom
karbonnya. Karbokation terbagi menjadi primer, sekunder, dan tersier. Kar-
bokation primer (1°) memiliki muatan positif pada atom karbon yang meng-
ikat satu atom karbon lainnya. Karbokation sekunder (2°) memiliki muatan
positif pada atom karbon yang mengikat dua atom karbon lainnya. Karbo-
kation tersier (3°) memiliki muatan positif pada atom karbon yang mengi-
kat tiga atom karbon lainnya. Kestabilan karbokation ditentukan dari letak

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 49
muatan positifnya. Karbokation paling stabil adalah tersier, diikuti sekunder
dan primer. Artinya, karbokation paling tidak stabil adalah primer.
Karbokation yang kurang stabil dapat melakukan penataan ulang menja-
di karbokation yang lebih stabil dengan menggeser atom hidrogen atau gu-
gus alkil. Contohnya, karbokation primer dapat berubah menjadi karboka-
tion sekunder atau tersier dalam proses reaksi senyawa organik. Penataan
ulang karbokation dapat terjadi pada senyawa 2-metilbutana seperti tersaji
pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Penataan ulang karbokation (Karya pribadi
menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Berdasarkan Gambar 4 di atas, karbokation sekunder (2°) menata ulang
menjadi karbokation tersier (3) yang lebih stabil dengan memindah atom
hidrogen, sehingga muatan positif berada pada karbon tersier. Penataan
ulang ini merupakan upaya untuk mencapai kondisi yang lebih stabil dari
sebuah senyawa dalam proses reaksinya, sehingga secara energetika mau-
pun kinetika reaksinya lebih mudah terjadi.
Reaksi penataan ulang senyawa organik mengilustrasikan upaya untuk
mencapai kondisi yang lebih baik dari sebuah proses. Reaksi ini mencermin-
kan salah satu nilai moderasi yaitu islah yang mengutamakan prinsip refor-
matif untuk mencapai kondisi lebih baik. Dengan demikian, reaksi penataan
ulang dapat dijadikan sebagai penyampai nilai moderasi beragama agar se-
seorang dapat mencari kondisi yang lebih baik ketika menemui sebuah ke-
adaan yang kurang ideal dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Inovasi dan Dinamisme (Tathawwur wa Ibtikar)
pada Penemuan Unsur Kimia Baru
Akhir tahun 2015, the International Union of Pure and Applied Chemis-
C C
H
CH
3
H
3C
H
3C
H
CH
3C
CH
3
H
C
H
CH
3
Karbokation sekunder (2°) Karbokation tersier (3°)

50 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
try (IUPAC) mengkonfirmasi penemuan empat unsur sintetik baru yang
akhirnya melengkapi tabel periodik menjadi tujuh periode (compoundc-
hem.com, 2019). Unsur pertama adalah Nihonium dengan lambang unsur
113
Nh. Unsur ini ditemukan oleh ilmuwan Jepang sehingga dinamai dengan
nama yang merepresentasikan negara Jepang yaitu Nihon. Nihonium meru-
pakan unsur kimia pertama pada tabel periodik yang ditemukan di negara
Asia. Unsur ini memiliki isotop dengan waktu paruh sekitar sepuluh detik.
Sementara ini, kegunaan unsur nihonium hanya untuk keperluan penelitian.
Unsur kedua adalah Moscovium dengan lambang unsur
115
Mc. Unsur ini
ditemukan hasil kolaborasi antara Rusia dan Amerika di Joint Institute for
Nuclear Research yang berada di daerah Moskow, Rusia, sehingga penama-
annya merepresentasikan tempat di mana unsur ini ditemukan. Unsur Mos-
covium sangat sulit disintesis, sehingga hingga tahun 2017 hanya sekitar
100 atom yang dapat teramati. Isotop unsur ini memiliki waktu paruh se-
kitar 0,7 detik dan sementara ini hanya digunakan untuk kepentingan pe-
nelitian.
Unsur ketiga adalah Tennessine dengan lambang unsur
117
Ts. Unsur ini
ditemukan juga hasil kolaborasi antara Rusia dan Amerika di Oak Ridge
National Lab yang berada di daerah Tennessee, Amerika Serikat, sehingga
nama unsur ini juga merepresentasikan tempat penemuannya. Sintesis awal
unsur ini dilakukan pada tahun 2010 dan ditemukan sebagai unsur terba-
ru pada tahun 2019. Isotop paling stabil dari unsur ini memiliki waktu pa-
ruh hanya 51 milidetik, sehingga hanya sedikit karakteristik unsur ini yang
dapat diketahui.
Unsur keempat adalah Oganesson dengan lambang unsur
118
Og. Pene-
muan unsur ini juga hasil kolaborasi antara Rusia dan Amerika pada tahun
2002 setelah Yuri Oganessian, seorang saintis Rusia. Nama unsur Oganesson
merepresentasikan penemunya. Karakteristik unsur ini adalah super berat.
Dampak dari karakter super berat tersebut adalah elektron unsur ini acap-
kali kehilangan struktur normalnya.
Penemuan unsur-unsur kimia terbaru di atas merepresentasikan nilai
moderasi tathawwur wa ibtikar yang berarti dinamis dan inovatif di mana
ilmu kimia selalu berkembang, bergerak dinamis, dan menemukan ino-
vasi-inovasi baru dalam kemajuannya. Hal ini melengkapi fakta bahwa se-
jarah ilmu kimia yang juga berkembang seperti teori atom yang bergerak

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 51
dinamis mulai dari teori Dalton, Thomson, Rutherford, Bohr, hingga Meka-
nika Kuantum. Ilmu kimia juga terus berkembang untuk menjadi solusi dari
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dengan demikian, pe-
nemuan unsur-unsur kimia terbaru dapat menjadi sarana penyampai nilai
moderasi agar manusia terus melakukan inovasi dan perubahan dalam ke-
hidupan agar tidak tertinggal oleh zaman.
Adab (Tahadhdhur) dan Ketegasan (Iktidal) pada Konsep Mol
Mol adalah satuan terpenting pada ilmu kimia. Satuan ini digunakan da-
lam proses perhitungan kuantitatif kimia utamanya pada topik stoikiomet-
ri. Mol menjembatani antarsatuan. Maksudnya, jika ingin mengubah sebuah
satuan ke satuan yang lain, satuan tersebut harus diubah menjadi mol ter-
lebih dahulu dan kemudian dapat dikonversi menjadi satuan lainnya. Con-
tohnya, jika dalam sebuah perhitungan kimia ingin mengubah satuan massa
menjadi satuan volume, satuan massa tersebut harus diubah dahulu menja-
di satuan mol dengan membaginya dengan massa atom (Ar) atau massa mo-
lekul relatif (Mr). Setelah itu, satuan mol yang didapat dapat diubah menja-
di satuan volume dengan mengalikannya dengan konstanta 22,4 L/mol pada
keadaan standar (STP) atau menggunakan persamaan gas ideal.
Hal yang sama terjadi apabila ingin mengonversi satuan jumlah parti-
kel ke dalam satuan massa. Jumlah partikel yang diketahui tidak serta mer-
ta langsung diubah ke dalam satuan massa, namun harus diubah dulu ke
dalam satuan mol. Untuk mengubah ke dalam satuan mol, jumlah partikel
yang diketahui dibagi terlebih dahulu dengan bilangan Avogadro yaitu 6,02
x 10
23
. Setelah harga mol diketahui, maka dapat dilakukan konversi ke sa-
tuan massa dengan mengalikan harga mol tersebut dengan Ar atau Mr dari
partikel yang diketahui. Melalui mol, jumlah partikel kini dapat diubah men-
jadi satuan massa.
Konversi satuan melalui mol juga dapat melibatkan larutan dengan kon-
sentrasi tertentu. Apabila diberikan data massa, maka dapat diubah ke satu-
an konsentrasi melalui konversi dengan mol. Data massa dibagi dengan Ar
atau Mr untuk mendapatkan satuan mol. Satuan mol kemudian dibagi de-
ngan volume larutan dalam liter agar dapat dikonversi menjadi satuan kon-
sentrasi (M). Mol di sini berfungsi sebagai penghubung antara satuan massa
dengan konsentrasi larutan.

52 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Bahwa ilmu kimia memiliki nilai adab ditunjukkan oleh sejumlah konsep
konversi satuan yang melibatkan mol di atas. Konversi satuan tidak diper-
kenankan secara direksional, namun harus beradab dengan melalui satuan
mol terlebih dahulu sebagai penghubung antarsatuan. Apabila konversi sa-
tuan tidak melibatkan mol sebagai penghubung, perhitungan kuantitatif da-
lam reaksi tidak akan memenuhi hukum-hukum kimia yang berlaku. Hal ini
juga menunjukkan ketegasan dalam aturan dalam konversi satuan yang ha-
rus melibatkan mol.
Berdasarkan hal tersebut, perhitungan dalam ilmu kimia dapat mencer-
minkan perilaku beradab di mana konversi satuan dapat dilakukan apabi-
la mendapat “izin” dari satuan mol agar tetap sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Selain itu, terdapat pula nilai ketegasan di mana konversi satuan ti-
dak dapat dilakukan jika tidak melalui satuan mol yang menjembatani an-
tarsatuan. Dengan demikian, konsep perhitungan kimia yang melibatkan
mol dapat dijadikan sebagai sarana penyampai nilai moderasi beragama ya-
itu tahadhdhur (beradab) dan iktidal (lurus dan tegas) agar seseorang me-
miliki sikap yang beradab dalam berkehidupan dan memiliki ketegasan
dalam menjalankan aturan beragama secara lurus. Nilai-nilai moderasi se-
betulnya lebih mudah disampaikan kepada siswa apabila dapat dianalogi-
kan dengan ilmu-ilmu kimia seperti dijelaskan di atas.
Prioritas (Aulawiyah) pada Konsep Kiralitas dan Tata Nama Senyawa
Pada materi kimia organik terdapat aturan prioritas dalam penamaan
enansiomer dengan awalan R dan S menurut sistem Cahn-Ingold-Prelog.
Aturan ini menyatakan bahwa prioritas atom yang terikat pada atom pusat
stereogenik didasarkan oleh penurunan massa atom. Atom dengan nomor
massa terbesar mendapat prioritas tertinggi, seperti halnya pada penamaan
pada senyawa stereogenik di bawah ini.
Gambar 5. Senyawa stereogenik yang mengikat empat substituen berbeda
(Karya pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
C
H
F
Cl
Br 1
2
3
4

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 53
Pada gambar di atas, substituen atom brom (Br) mendapat prioritas pa-
ling tinggi karena memiliki massa atom relatif (Ar) paling tinggi yaitu 79 g/
mol. Prioritas kedua adalah atom klorin (Cl) yang memiliki Ar sebesar 35,5
g/mol. Fluor mendapat prioritas ketiga karena memiliki Ar sebesar 19 g/
mol. Adapun, atom hidrogen (H) mendapat prioritas terakhir karena memi-
liki Ar terkecil yaitu 1 g/mol. Berdasarkan urutan tersebut, senyawa ini da-
pat diberikan nama sesuai dengan aturan penamaan yang berlaku.
Pada Gambar 5, atom pusat mengikat keempat substituen yang berbeda.
Namun, apabila terdapat dua atau lebih atom yang sama terikat pada atom
pusat stereogenik, prioritas urutan didasarkan dari nomor massa dari atom
yang terikat pada atom tersebut. Atom terikat dengan massa atom relatif
terbesar mendapat prioritas tertinggi. Aturan ini dapat diilustrasikan oleh
senyawa di bawah ini.
Gambar 6. Senyawa stereogenik yang mengikat empat substituen berbeda
(Karya pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Pada senyawa di atas, terdapat empat substituen utama yaitu gugus etil
(-CH
2
CH
3
), gugus metil (-CH
3
), gugus hidroksil (-OH), dan hidrogen (-H).
Berdasarkan aturan prioritas penamaan, urutan substituen adalah -OH 
-CH
2
CH
3
 -CH
3
 -H. Gugus hidroksil (OH) mendapatkan prioritas perta-
ma karena atom oksigen yang terikat langsung dengan atom pusat memiliki
Ar terbesar yaitu 16 g/mol dibandingkan substituen-substituen lain. Priori-
tas kedua diberikan kepada gugus etil karena atom karbon yang terikat pada
atom pusat mengikat atom karbon lainnya. Beda halnya dengan gugus metil
yang mendapat prioritas ketiga karena atom karbon yang terikat langsung
dengan atom pusat tidak mengikat atom karbon lainnya, melainkan meng-
ikat tiga atom hidrogen. Hal ini yang menyebabkan gugus metil mendapat-
kan prioritas lebih rendah daripada gugus etil. Terakhir, atom hidrogen yang
terikat pada atom pusat mendapat prioritas terakhir karena memiliki Ar
paling kecil yaitu 1 g/mol. Setelah urutan prioritas substituen ditentukan,
C
OH
CH
2CH
3
H
3C
H

54 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
maka penamaan enansiomer diberikan seperti teknik di bawah ini.
Gambar 7. Teknik pandangan mata dalam penentuan urutan prioritas substituen
(Karya pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Pada gambar di atas, substituen dengan prioritas terendah (H) diletak-
kan di belakang bidang, sehingga pandangan mata sejajar dan lurus meng-
arah kepada atom H tersebut. Dengan demikian, pandangan terhadap ori-
entasi substituen-substituen digambarkan seperti pada gambar di bawah
ini.
Gambar 8. Teknik pandangan mata dalam penentuan urutan prioritas substituen
(Karya pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Berdasarkan gambar di atas, prioritas substituen diberikan nomor 1, 2,
dan 3. Penentuan nama enansiomer berdasarkan perputaran urutan priori-
tas substituen, apakah searah atau berlawanan arah jarum jam.
Gambar 9. Penentuan prioritas substituen yang searah jarum jam (Karya
pribadi menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
C
OH
CH
2CH
3
H
3C
H
1
2
3
4
C
1
2
3
4
1
3 2
C
OH
CH
2CH
3
H
3C
H
1
2
3

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 55
Berdasarkan arah putaran, senyawa di atas berputar searah jarum jam
sesuai dengan urutan prioritas substituen yang telah ditentukan. Jika arah
putaran searah jarum jam, penamaan isomer adalah R. Adapun jika putaran
berlawanan arah jarum jam, penamaan isomer adalah L. Dengan demikian,
senyawa di atas memiliki enansiomer R yaitu (2R)-2-butanol.
Selain pada penentuan nama enansiomer, aturan prioritas juga terdapat
pada sejumlah konsep kimia organik. Penamaan isomer E (entgegen) dan
Z (zusammen) juga memperhatikan prioritas tertentu seperti ditampilkan
pada gambar berikut.
Gambar 10. Senyawa dengan isomer entgegen (E) (Karya pribadi
menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Pada gambar di atas, apabila diletakkan sebuah cermin imajiner di te-
ngah ikatan rangkap dua, akan terdapat dua sisi senyawa yang terdapat dua
substituen. Seperti halnya pada penentuan enansiomer, penentuan priori-
tas berdasarkan Ar atau Mr substituen yang terikat pada atom karbon. Di se-
belah kiri terdapat substituen metil dan hidrogen. Metil mendapat prioritas
nomor satu karena memiliki Mr yang lebih besar daripada hidrogen yang
mendapatkan prioritas nomor dua.
Di bagian kanan senyawa, gugus etil mendapatkan prioritas nomor satu
dan gugus metil mendapat prioritas nomor dua. Jika atom karbon yang me-
ngandung ikatan rangkap dua sama-sama mengikat substituen atom kar-
bon, atom lain yang terikat pada atom karbon substituen tersebut yang me-
nentukan. Dalam hal ini, atom karbon yang terikat langsung dengan karbon
dengan ikatan rangkap dua mengikat karbon lain, sedangkan pada gugus
metil mengikat tiga hidrogen, sehingga gugus etil mendapat prioritas lebih
tinggi daripada metil. Jika substituen lebih tinggi berada pada sisi yang ber-
lawanan, dinamakan isomer E. Adapun jika substituen dengan prioritas le-
bih tinggi terletak pada sisi yang sama, dinamakan isomer Z seperti ditam-
pilkan pada gambar di bawah ini.
C C
H
3C
H
CH
3
CH
2CH
3
1
2
2
1

56 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Gambar 11. Senyawa dengan isomer zusammen (Z) (Karya pribadi
menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Aturan prioritas juga berlaku pada penamaan senyawa organik dengan
gugus fungsi lebih dari satu. Urutan prioritas penamaan sejumlah gugus
pada sebuah senyawa ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Aturan prioritas penamaan gugus fungsi
Gugus Fungsi Nama
Prioritas penamaan meningkat
Asam karboksilat Karboksi
Ester Alkoksikarbonil
Amida Amido
Nitril Siano
Aldehid Formil
Keton Okso
Alkohol Hidroksi
Amina Amino
Alkuna Alkunil
Alkena Alkenyl
Alkana Alkanil
Eter Alkoksi
Halida Halo
Sumber: (Smith, 2011)
Penerapan aturan prioritas pada tabel di atas dapat dilihat pada senya-
wa di bawah ini.
C C
H
3C
H
CH
2CH
3
CH
3
1
2
1
2

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 57
Gambar 12. Senyawa 3-amino-2-hidroksibutanal (Karya pribadi
menggunakan aplikasi ChemDraw Professional 16.0)
Pada senyawa di atas, terdapat tiga gugus fungsi yaitu amina (-NH
2
), alko-
hol (-OH), dan aldehid (-CHO). Berdasarkan urutan prioritas, gugus aldehid
mendapatkan prioritas pertama diikuti alkohol dan amina berturut-turut
pada prioritas kedua dan ketiga. Hasilnya senyawa utama di atas adalah al-
dehid dengan gugus hidroksil dan amina pada nomor karbon dua dan tiga,
sehingga nama senyawa tersebut adalah 3-amino-2-hidroksibutanal.
Sejumlah aturan prioritas yang melekat pada konsep kimia organik me-
nunjukkan bahwa dalam penyelesaian masalah atau pengambilan kepu-
tusan dibutuhkan prioritas dan pertimbangan tertentu. Konsep penama-
an enansiomer dan isomer ruang didasari oleh pertimbangan massa atom
atau molekul relatif. Memprioritaskan massa atom atau molekul relatif yang
besar mencerminkan adanya pengutamaan kepentingan yang lebih tinggi
daripada kepentingan yang lebih rendah. Hal ini menggambarkan adanya
aspek moderasi beragama di mana kepentingan yang lebih besar harus di-
utamakan daripada kepentingan yang lebih rendah atau kepentingan pri-
badi. Dengan demikian, ilmu penamaan senyawa organik dapat dijadikan
sebagai sarana penyampai nilai moderasi aulawiyah (mengutamakan yang
prioritas) agar siswa dan seseorang umumnya dapat memprioritaskan ke-
pentingan yang bobotnya lebih besar terutama yang berkaitan dengan ke-
pentingan umum di atas kepentingan pribadi. Seperti halnya jika seorang
dokter sedang bergegas menunaikan ibadah dan kemudian seorang pasi-
en datang dengan kondisi gawat, dokter tersebut boleh menunda ibadah-
nya dan mengutamakan kepentingan pasien yang lebih besar dan prioritas
(Agama RI, 2019).
Tabel Periodik Unsur yang Egaliter (Musawah) dan Toleran (Tasamuh)
Unsur kimia memiliki sifat kimia dan fisika yang unik. Sifat kimia adalah
NH
2
OH
H
O
12
3
prioritas
tertinggi

58 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
sifat yang melibatkan perubahan struktur dan susunan dari atom-atom, se-
dangkan sifat fisika adalah sifat yang tidak melibatkan perubahan struktur
dan susunan atom. Dari bermacam sifat unsur tersebut, disusunlah satu go-
longan unsur yang memiliki karakteristik mirip. Selain itu, dalam satu peri-
ode juga dapat dianalisis sifat keperiodikannya. Dari 118 unsur yang telah
ditemukan, terdapat sejumlah unsur yang memiliki sifat unik dan berbe-
da dengan kebanyakan unsur lainnya. Unsur-unsur tersebut adalah raksa,
brom, dan galium (compoundchem.com, 2019).
Unsur pertama yang memiliki keunikan adalah raksa. Raksa adalah
satu-satunya unsur logam yang berbentuk cairan pada suhu ruang. Logam
ini meleleh pada suhu 39°C. Sementara itu, satu-satunya unsur nonlogam
yang berbentuk cairan pada suhu ruang adalah bromin. Artinya, hanya ada
dua unsur yang berbentuk cairan pada suhu ruang. Raksa bersifat racun jika
terhirup sebagai uap, namun tidak diserap sempurna oleh tubuh ketika me-
masuki pencernaan ataupun bersentuhan dengan kulit. Senyawa merkuri
sering kali ditemukan dalam tubuh ikan dalam bentuk metilmerkuri. Senya-
wa ini tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, namun dapat membahaya-
kan wanita hamil, sehingga konsumsi ikan sedikit dikurangi. Secara umum,
raksa dan persenyawaannya memiliki sifat beracun. Namun, raksa yang di-
padu dengan logam lain dapat digunakan secara aman untuk menambal gigi.
Kedua adalah bromin (Br). Bromin sering digunakan untuk bahan tahan
api dan sejarahnya digunakan dalam pewarna, sebab nama bromin berasal
dari Bahasa Yunani ‘bromos’ yang memiliki arti “stench” yaitu berbau. Per-
senyawaan bromin yang digunakan dalam alat tahan api ditemukan pada se-
jumlah alat elektronik, plastik, pakaian, dan kain pelapis. Bahkan, pada ta-
hun 2011, bahan tahan api yang mengandung bromin menguasai 20% dari
total di pasaran, meskipun lambat laun mengalami penurunan akibat masa-
lah kesehatan yang timbul. Bromin juga ditemukan pada zaman prasejarah
sebagai pewarna alami, Tyrian purple. Senyawa ini diekstrak dari siput laut.
Ketiga adalah galium (Ga). Galium merupakan unsur unik lainnya yang
sedikit berbeda sifat dalam satu golongannya. Galium memiliki titik leleh
sedikit di atas 29,8°C, meskipun pada suhu ruang berbentuk padatan. Ar-
tinya, jika padatan galium diletakkan di atas telapak tangan, unsur ini akan
perlahan meleleh. Sifat ini dimanfaatkan oleh para pesulap pada trik sen-
dok hilang, sebab sendok yang digunakan terbuat dari galium. Di luar si-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 59
fat uniknya, galium memiliki banyak kegunaan untuk sel surya, laser untuk
membaca Blu-ray discs. Pada perkembangannya, senyawa galium nitrida di-
gunakan untuk bahan LED untuk sejumlah TV, laptop, dan smartphone.
Tabel periodik unsur yang tetap menerima keberadaan unsur raksa,
brom, dan galium, dengan karakteristik berbeda dengan kebanyakan unsur
kimia lainnya menunjukkan nilai musawah (egaliter nondiskriminasi). Sela-
in itu, nilai tasamuh (toleran) juga muncul dalam hal tidak mempermasalah-
kannya masing-masing golongan unsur terhadap perbedaan sifat fisik un-
sur raksa, brom, dan galium. Artinya, tabel periodik memiliki toleransi yang
tinggi terhadap perbedaan sifat unsur yang muncul dan tidak menjadikan-
nya sebagai sumber masalah. Dengan demikian, tabel periodik unsur kimia
dapat dijadikan sarana menyampaikan nilai moderasi musawah dan tasam-
uh supaya mengajarkan siswa dan seseorang pada umumnya untuk mampu
menerima perbedaan dalam berkehidupan masyarakat. Apalagi hidup di In-
donesia yang memiliki keragaman sangat besar.
Simpulan
Terbatasnya sarana penyampai nilai moderasi memunculkan potensi ni-
lai moderasi beragama disampaikan melalui ilmu-ilmu sains, khususnya ki-
mia. Moderasi beragama dan ilmu kimia dapat saling terintegrasi dan terko-
neksi melalui analogi-analogi konsep yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai
moderasi beragama yang dapat disampaikan kepada pembelajar melalui
ilmu kimia adalah: (1) syura yang dapat dikoneksikan dengan nilai musya-
warah antara aturan oktet dan konsep muatan formal untuk menentukan
kestabilan sebuah struktur senyawa kimia; (2) islah yang dapat dikoneksi-
kan dengan nilai reformasi pada konsep reaksi penataan ulang senyawa or-
ganik untuk mencapai keadaan yang lebih stabil; (3) tathawwur wa ibtikar
yang menunjukkan dinamisme dan inovasi ilmu kimia dalam menemukan
unsur-unsur kimia terbaru untuk keperluan penelitian maupun kemaslaha-
tan umat; (4) tawasut yang mencerminkan pengambilan jalan tengah pada
konsep pembentukan senyawa ionik demi menghindari kondisi ekstrem un-
tuk membentuk kondisi yang lebih stabil; (5) tahadhdhur dan iktidal yang
merepresentasikan adab dan ketegasan dalam proses konversi satuan me-
lalui perantara mol; (6) aulawiyah yang menggambarkan pengutamaan pri-
oritas dalam penamaan senyawa organik dan isomernya; (7) musawah dan

60 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
tasamuh yang mencerminkan toleransi tanpa diskriminasi sifat unsur yang
berbeda dalam tabel periodik unsur, serta (8) tawazun yang mewakili ke-
seimbangan-keseimbangan dalam konsep kimia seperti pada atom, asam
basa, dan reaksi reduksi oksidasi. Dengan demikian, ilmu kimia dapat dijadi-
kan sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai moderasi beragama. Menyam-
paikan nilai moderasi beragama melalui analogi dan integrasi ke dalam ilmu
kimia dapat memberikan kebermaknaan yang lebih mendalam kepada sis-
wa sesuai dengan teori meaningful learning. Oleh karena itu, saran kepa-
da pendidik kimia, khususnya guru kimia. Karena ilmu kimia dapat menjadi
sarana penyampai pesan nilai moderasi beragama yang dapat diintegrasi-
kan pada materi mengajar dan disampaikan saat kegiatan belajar mengajar
di kelas. Harapannya, nilai-nilai moderasi beragama dapat dikenal oleh sis-
wa sejak dini, dalam hal ini siswa sekolah menengah atas. Saran serupa di-
tujukan kepada para dosen kimia yang diharapkan juga menjadi penyampai
pesan moderasi beragama melalui kuliah kimia, sehingga mahasiswa tidak
terjebak oleh organisasi luar kampus yang cenderung mengarah kepada ra-
dikalisme maupun ekstremisme. Potensi penelitian adalah perlunya meng-
gali nilai-nilai moderasi pada ilmu-ilmu lain melalui pendekatan paradigma
integrasi-interkoneksi.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. A. (2014). Religion, science and culture: An integrated, interconnec-
ted paradigm of science. Al-Jami’ah, 52(1), 175–203. https://doi.org/10.14421/
ajis.2014.521.175-203.
Abdullah, Z. (2022). Menggali Nilai-Nilai Moderatisme Islam dalam Ilmu Biologi. Pro-
siding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains, 4, 115–123.
Afwadzi, B., & Miski, M. (2021). RELIGIOUS MODERATION IN INDONESIAN HIGHER
EDUCATIONS: Literature Review. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 22(2), 203–
231. https://doi.org/10.18860/ua.v22i2.13446.
Agama RI, K. (2019). Tanya Jawab Moderasi Beragama. Badan Litbang dan Diklat Ke-
menterian Agama RI.
Bahijah, I., Rahmatika, N., Ahmad, A., & Ishak, S. N. S. (2022). Kurikulum Pesantren
Berbasis Sains di Pondok Pesantren Sains Salman Assalam: Sebagai Model Mo-
derasi Agama dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam, Special Issue, 81–89.
Herman, M, Mawarnis, E. R., Ramadhani, D., & Herman, H. (2022). Pengembangan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 61
E-LKPD Berbantuan Augmented Reality Terintegrasi Nilai Keislaman pada Mate-
ri Larutan Elektrolit. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(5), 6991–7004. https://
edukatif.org/index.php/edukatif/article/view/3944.
Herman, Mimi. (2021). Integrasi dan Interkoneksi Ayat-Ayat Al-Quran dan Hadist de-
ngan Ikatan Kimia. Jurnal Education and Development, 9(2), 317–327.
Jamaluddin, J. (2022). Implementasi Moderasi Beragama di Tengah Multikulturali-
tas Indonesia (Analisis Kebijakan Implementatif pada Kementerian Agama). AS-
SALAM Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 7(1), 1–13. https://journal.stai-yami-
sa.ac.id/index.php/assalam/issue/view/10.
Junaedi, E. (2019). Inilah Moderasi Beragama Perspektif Kemenag. Harmoni, 18(2),
182–186. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i2.414.
Junaedi, E. (2022). Moderasi Beragama dalam Tinjauan Kritis Kebebasan Beragama.
Harmoni, 21(2), 330–339.
Kurniasari, D., Simponi, N. I., & Haqiqi, Arghob, K. (2019). Integrasi Nilai-Nilai Keis-
laman Pada Reaksi Redoks dan Elektrokimia Terhadap Rahasia Kekuatan Ben-
teng Besi Iskandar Zulkarnain. Walisongo Journal of Chemistry, 2(1), 26–39. htt-
ps://doi.org/10.21580/wjc.v3i1.3877.
Manshur, F. M., & Husni, H. (2020). Promoting Religious Moderation through Liter-
ary-based Learning: A Quasi-Experimental Study. International Journal of Ad-
vanced Science and Technology, 29(6), 5849–5855. https://www.researchgate.
net/publication/342776489.
Miles, M., & Huberman, A. (2014). Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebo-
ok. In SAGE Publications, Inc.
Muhammad, R. (2021). Internalisasi Moderasi Beragama dalam Standar Kompetensi
Kemandirian Peserta Didik. Jurnal Ilimiah Al-Muttaqin, 6(1), 98.
Muslim, B., Ramli, M., & Nursarifah, U. (2021). Pengembangan Video Animasi Kimia
Terintegrasi Keislaman pada Materi Struktur Atom. Jambura Journal of Educatio-
nal Chemistry, 3(2), 47–52. https://doi.org/10.34312/jjec.v3i2.11568.
Nayuf, H. (2022). Tradisi Makan Sirih Pinang Sebagai Model Moderasi Beragama Ber-
basis Kearifan Lokal Di Kelurahan Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan –
Ntt. In Harmoni (Vol. 21, Issue 2, pp 166–183). https://doi.org/10.32488/har-
moni.v21i2.591.
Nur, A., & Mukhlis, L. (2015). Konsep Wasathiyah dalam Al-Quran (Studi Komparatif
antara Tafsir al-Tahrî�r wa at-Tanwî �r dan Aisar at-Tafâsî �r). An-Nur, 4(2), 205–225.
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Annur/article/view/2062.

62 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Qurniati, D. (2021). Pengembangan Bahan Ajar Kimia Kontekstual Terintegrasi Keis-
laman. Chemistry Education Practice, 4(2), 186–193. https://doi.org/10.29303/
cep.v4i2.2535.
Rachmawati, R. (2020). Analisis Keterkaitan Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
Kompetensi Inti (KI), dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Implementasi Kuriku-
lum 2013. Tatar Pasundan : Jurnal Diklat Keagamaan , 12(34), 231–239. https://
doi.org/10.38075/tp.v12i34.73.
Shihab, M. Q. (2020). Wasathiyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Ke-
dua). Lentera Hati.
Siregar, P. (2014). Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam Perspektif M. Amin Abdul-
lah. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 38(2), 335–354. http://jurnalmiqotojs.
uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article/view/66.
Smith, J. G. (2011). Organic Chemistry Third Edition (Third Edit). The McGraw-Hill
Companies.
Sri Wahyuni, T. (2019). Pengembangan Buku Ajar Matakuliah Biokimia Berintegrasi
dengan Nilai-Nilai Sains dalam Al-Qur’an. Jurnal Zarah, 7(1), 1–6.
Zain, Z., & Vebrianto, R. (2017). Integrasi Keilmuan Sains dan Islam dalam Proses
Pembelajaran Rumpun Ipa. Seminar Nasional Teknologi Informasi Komunikasi
Dan Industri, 0(0), 703–708. http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/SNTIKI/
article/view/3198.
Zed, M. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. In Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Media Online
https://www.compoundchem.com/archives/.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 63
Aksiologi, Maqāṣid al-Sharī‘ah,
dan Moderasi: Moralitas
dalam Pemikiran Sa‘ī�d Al-
Nūrsī� tentang Hubungan
Antarumat Beragama
1
Muhammad Abdul Aziz
Pendahuluan
Jika ekstremisme diartikan sebagai buah dari cara pandang yang cen-
derung parsial, dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa salah satu akar
dari fenomena ekstremisme dalam beragama adalah absennya pemaham� -
an dan penafsiran yang komprehensif dan holistik terhadap teks keagama-
an itu sendiri. Sebagai contoh, dalam hal hubungan antaragama, tidak se� -
dikit dari saudara sesama umat Islam yang memahami hadis riddah, yaitu
“siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah” (Hadith - Crimes (Qi-
1 Artikel ini telah dipresentasikan dalam forum (tanpa proceeding) The Association for
Aqeedah and Islamic Philosophy International Conference (AAFI) yang diadakan oleh Seko-
lah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra dan beberapa institusi pendidikan lain di Komplek
Senayan, Jakarta, pada 15 – 16

Maret 2023.

64 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
sas or Retaliation) - Bulugh al-Maram - Sunnah.Com - Sayings and Teachings
of Prophet Muhammad (ملس و هيلع هللا لىص), nd) sebagaimana hanya yang terung-
kap oleh teksnya. Artinya, siapa saja dari umat Islam yang keluar dari aga-
manya maka dibolehkan bagi kita untuk membunuhnya.
Satu hal yang sebenarnya perlu diapresiasi adalah semangat keberaga� -
maan saudara-saudara kita tersebut. Secara sekilas dapat ditangkap bah-
wa mereka sebenarnya ingin melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan
apa yang digariskan oleh Al-Qur’an dan yang kemudian diperinci oleh had-
is Rasulullah saw. Apalagi ketika hadis riddah tersebut, yang ternyata bah-
kan berstatus sahih, sedemikian jelas menyatakan atau bahkan bernada me-
merintahkan untuk membunuh umat Islam yang meninggalkan agamanya,
dengan berbekal pengetahuan yang mereka punya atau pemahaman yang
didapat dari, atau ditanamkan oleh, orang-orang yang mengelilinginya; pe-
rintah membunuh tersebut ingin segera mereka laksanakan dengan sung-
guh-sungguh.
Fenomena pemahaman terhadap suatu teks agama hanya berkutat pada
dimensi tekstual sebenarnya dapat digolongkan kepada sikap ekstremis-
me. Demikian sebab kondisi tersebut tidak cukup merepresentasikan bera-
gam dimensi yang semestinya diikutsertakan dalam membentuk kesimpul-
an dari pemikiran tersebut. Yang terjadi akhirnya adalah apa yang disebut
dan diuraikan dengan cukup komprehensif oleh Abdul Hamid Abu Sulay-
man dalam bukunya The Crisis in the Muslim Mind (Abdul Hamid Abu Sulay-
man, 1993).
Betapa pun demikian, penulis sendiri tidak seberapa yakin bahwa pema-
haman ini dianut oleh sebagian besar umat Islam. Salah satu sebabnya ada-
lah hati nurani kita sendiri sebagai manusia yang dengan begitu saja seakan
menahan kita untuk menyetujui dan/atau bahkan melaksanakan penda-
pat tersebut. Hati nurani tersebut seakan ingin mengatakan: apakah hanya
karena berbeda agama lantas hal tersebut mengizinkan kita untuk saling
membunuh? Apalagi jika dihadapkan pada hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Dengan asasnya yang memperlakukan setiap orang sama di de-
pan hukum, tanpa memandang perbedaan agama dan budaya, kita sebagai
warga negara yang baik jelas akan menjauhi sikap saling membunuh terse-
but dengan alasan perbedaan agama.
Sebenarnya, argumen untuk menolak pandangan ekstrem tersebut tidak

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 65
hanya bersumber dari nurani dan hukum positif yang berlaku di Indonesia,
namun agama Islam itu sendiri sesungguhnya jauh bahkan tidak mungkin
membenarkan pandangan dan tindakan ekstrem di atas. Sebagaimana di-
ketahui bahwa al-Baqarah 256 menyatakan “lā ikrāha fī al-dīn”, yaitu bah-
wa sama sekali tidak ada paksaan dalam beragama. Meski ayat ini tidak lan-
tas berimplikasi pada penyamaan semua agama secara teologis (taswiyah
al-adyān al-‘aqā’idiyyah), agama Islam sedari awal memang tidak pernah
memaksa setiap anak manusia untuk memeluknya. Sebagaimana tereflek-
sikan oleh makna kata islām itu sendiri yang berarti penyerahan atau kere-
laan diri, keyakinan dan dedikasi atas ajaran Islam bertumpu pada kerelaan
dan ketulusan; dan karena itu sama sekali bukan paksaan.
Fenomena disparitas antara parsialitas yang berujung pada ekstremis-
me pemahaman terhadap Islam dan asumsi dasar yang mengatakan bah-
wa Islam itu sendiri agama yang memang harus dipahami secara holistik
sehingga melahirkan cinta dan kasih sayang di tengah masyarakat, yang ke-
mudian disebut oleh Abdul Hamid Abu Sulayman sebagai krisis pemikiran
seorang muslim. Dalam berbagai karyanya seperti The Crisis in the Muslim
Mind (Abdul Hamid Abu Sulayman, 1993), Chastising Women: A Means to Re-
solve Marital Problems? (A. A. AbuSulayman, 2013), dan The Islamic Theory
of International Relations: Its Relevance, Past and Present (A. A. AbuSulay-
man, 1973), ia menuturkan dan memberi contoh betapa bentuk pemaham-
an parsial seperti ini telah membawa petaka yang demikian parah dalam
tubuh umat Islam. Kegagalan untuk menyinkronkan antara teks dan roh ter-
dalam dari ajaran agama yang dianutnya menjadi umat Islam berpikiran
sempit, cenderung apologetis, dan mempunyai kepribadian mental terke-
pung (besieged mentality) yang ini semuanya pada akhirnya menempatkan
mereka pada posisi terbelakang dan bahkan menjadi bulan-bulanan umat
lain.
Jika benar ini yang terjadi, dengan menyadari bunyi, intonasi, dan status
hadis riddah sebagaimana disebutkan di atas, satu pertanyaan dapat kita ta-
rik: bagaimana mungkin sebuah hadis sahih ternyata bertentangan dengan
salah satu prinsip dasar dalam Al-Qur’an: kebebasan beragama? Jika jelas
Al-Qur’an memang posisinya lebih tinggi, bagaimana sebenarnya pemaham-
an yang sejati terhadap hadis tersebut?
Di sinilah terletak arti penting apa yang disebut maqāṣid al-sharī‘ah dan

66 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
moderasi yang keduanya merupakan penyokong utama aksiologi ajaran Is-
lam. Apa yang disebut aksiologi di sini adalah moralitas ajaran agama terse-
but. Artinya, berbagai aturan hukum dan etika yang demikian beragam dan
di dalam batang tubuh ajaran Islam sesungguhnya berangkat dan bergerak
bersama-sama untuk menuju realisasi nilai moral tersebut. Karena itu, pe-
mahaman tekstual dan kontekstual yang merupakan penyokong beragam
aturan tersebut sebenarnya tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama
yaitu nilai moral tersebut. Pada titik ini, penulis dapat menganalisis bahwa
yang tampak absen atau belum diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh
saudara-saudara sesama umat Islam di atas adalah aspek filosofis dari ajar-
an Islam itu sendiri, yaitu aspek terakhir dari trilogi pembahasan dalam fil-
safat ilmu: aksiologi.
Berdasarkan celah permasalahan tersebut, penelitian ini akan menco-
ba untuk menemukan, memahami, membahas, dan merekomendasikan mo-
ralitas pemikiran yang dipraktikkan oleh Sa‘ī�d al-Nūrsī� di sepanjang kehi-
dupan intelektual dan sosialnya. Untuk tujuan ini, sebagai landasan berpikir,
penulis akan mencoba menyajikan urgensi aksiologi dalam lanskap pemi-
kiran filsafat ilmu, menghubungkannya dengan teori maqāṣid al-sharī‘ah
yang di dalamnya meniscayakan sikap moderasi, untuk selanjutnya membe-
rikan contoh hal tersebut melalui pengalaman sosiointelektual Sa‘ī�d al-Nūr-
sī�. Yang menarik adalah bahwa apa yang pernah muncul pada beberapa ta-
hun belakangan ini di Indonesia, yaitu tentang pro dan kontra pemimpin
nonmuslim berikut panggilan ‘kafir’ terhadap umat agama lain, ternyata su-
dah dibahas oleh al-Nūrsī� setidaknya sejak sekitar 60 tahun yang lalu. Dua
studi kasus inilah yang akan menjadikan pembahasan pada artikel ini akan
lebih fokus dan mengerucut.
Sebenarnya kajian tentang Sa‘ī�d al-Nūrsī� sudah banyak dilakukan oleh
para sarjana muslim, baik dari kalangan akademisi Indonesia maupun glo-
bal. Di antara yang bisa disebutkan di sini adalah Sa‘īd al-Nūrsī’s Teachings
on the People of the Book: A Case Study of Islamic Social Policy in the Ear-
ly Twentieth Century yang ditulis oleh Zeki Saritoprak, orang Turki yang
kini sedang mengajar di sebuah universitas di Amerika Serikat (Saritoprak,
2000). Dakwah Lintas Iman Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi Dak-
wah Lintas Iman Perpektif Said Nursi yang ditulis oleh Khoirul Hadi al-Asya-
ri juga patut dipertimbangkan (al-Asyari, 2017). Termasuk juga artikel yang

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 67
ditulis oleh David R. Law berjudul The Prophethood of Jesus and Religious
Inclusivism in Nursi’s Risale-i Nur (Law, 2017) dan Maqâshid al-Qurân Per-
spektif Badi’uzzaman Sa’id Nursi oleh Ummu Salamah (Salamah, 2019). Mes-
ki demikian, hanya dengan pengamatan sekilas, tampak bahwa dari sekian
artikel dan tesis tersebut, belum ada yang mencoba untuk mengaitkan pe-
mikiran Sa‘ī�d al-Nūrsī� dengan tiga variabel sekaligus yaitu aksiologi yang
merupakan bidang filsafat ilmu, maqāṣid al-sharī‘ah bidang syariah, dan mo-
derasi dalam bidang tafsir. Melihat celah ini, kehadiran penelitian ini—yang
mengeksplorasi empat variabel di atas—dirasa begitu penting.
Artikel yang ada di hadapan Pembaca ini termasuk penelitian kualitatif.
Demikian karena pola penalaran yang digunakan di dalamnya bersifat in-
duktif, yaitu, pertama, menangkap fenomena pemikiran dalam tubuh umat
Islam di mana pemikiran sebagian mereka, dalam batas tertentu, bisa dika-
tegorikan sebagai ekstremisme. Ekstremisme tersebut muncul karena pe-
mahaman mereka terhadap teks agama cenderung parsial sehingga tidak
lagi merepresentasikan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah termasuk di dalamnya
moderasi yang meniscayakan komprehensivitas dan kesempurnaan.
Disebut induktif juga karena artikel ini, kedua, menindaklanjuti feno-
mena tersebut dengan menemukan dimensi teoretis apa yang sesungguh-
nya absen di dalamnya. Dengan teori maqāṣid al-sharī‘ah, dapat dinyatakan
bahwa kepingan yang hilang dari ekstremitas pemikiran tersebut adalah di-
mensi aksiologis yang sejatinya merupakan terminal akhir dari tahapan se-
buah ilmu, pemikiran, atau kegiatan. Penulis selanjutnya berusaha meng-
eksplorasi dimensi aksiologis tersebut melalui pengalaman intelektual Sa‘ī�d
al-Nūrsī�, seorang reformis Abad 20 dari Turki. Dengan pola ini, tampak ge-
rakan penalaran yang digunakan dalam artikel ini bersifat dari khusus ke
umum yang karena itulah disebut induktif.
Adapun terkait data penelitian, selain bersumber dari sumber kepusta-
kaan, ia diambil juga dari wawancara dengan salah satu dosen di perguruan
tinggi yang diasumsikan merepresentasikan saudara-saudara umat Islam
yang diasumsikan mempunyai pemikiran parsial.
Aksiologi dalam Filsafat Ilmu
Aksiologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang etika
dan estetika. Etika berkaitan dengan nilai keindahan pada perilaku manusia.

68 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Sementara estetika merupakan nilai keindahan yang berada sebuah karya
seni. Sebuah etika dapat dipandang dengan sendirinya mengandung unsur
estetika. Sederhananya, sesuatu disebut etis jika ia baik dan tidak etis jika ia
buruk. Sementara sesuatu disebut estetis jika ia memang indah dan disebut
tidak estetis jika memang tidak memenuhi unsur keindahan. Pada dasar-
nya, hukum yang ada ini diambil dari sekumpulan nilai moral. Sebagai con-
toh, Pancasila merupakan nilai moral yang darinya dibangun berbagai jenis
undang-undang. Sebagaimana juga Al-Qur’an yang merupakan sumber mo-
ral dari bahkan semua jenis undang-undang yang diadopsi oleh negara atau
lembaga sosial di dunia ini. Meski demikian, permasalahannya adalah apa-
kah semua orang dari berbagai suku dan kebudayaan ini sama penilaiannya
tentang apa yang disebut moral tersebut? Sebagai contoh, tentang LGBT, jika
dilihat dari perspektif moral; apakah benar jika dikatakan semua jenis bang-
sa dan suku di dunia ini mempunyai pandangan moral yang sama terhadap-
nya, baik menerimanya atau menolaknya?
Dari sini, dapat dinyatakan bahwa aksiologi termasuk bagian yang tidak
terpisahkan dalam pembahasan filsafat ilmu, baik di Barat maupun Islam.
Meski demikian, pertanyaan yang perlu dijelaskan di sini adalah apakah ni-
lai moral dalam aksiologi tersebut lantas sama antara keduanya? Berang-
kat dari pertanyaan ini, bagian selanjutnya dari artikel ini akan membahas
bagaimana Islam menyistemkan mekanisme penentuan sebuah nilai agar
ia bisa disebut representasi ajaran Islam. Untuk pembahasan ini, kita tidak
akan bisa melepaskan diri apa yang disebut sebagai maqāṣid al-sharī‘ah dan
wasaṭiyyah.
Aksiologi, Maqāṣid al-sharī‘ah, dan Moderasi
Jika aksiologi berkaitan dengan aspek teologis, yaitu nilai moral yang ada
dalam hukum dan ajaran Islam pada umumnya, dapat dinyatakan bahwa
maqāṣid al-sharī‘ah berikut moderasi sebagai penjabarannya adalah penjel-
maan dari aksiologi tersebut. Para sarjana sepakat bahwa ajaran Islam tidak
hanya menyangkut aspek formalitas, namun tidak kalah pentingnya adalah
ia juga sangat menekankan substansi yang dikandung oleh formalitas terse-
but. Bahkan dalam banyak kasus, substansi jauh lebih penting dari pada ha-
nya formalitas.
Setelah jelas apa yang dimaksud sebagai aksiologi, maka selanjutnya

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 69
pada bagian ini kita akan mengulas kaitan antara maqāṣid al-sharī‘ah dan
moderasi. Jika maqāṣid al-sharī‘ah adalah tujuan penyariatan hukum atau
apa pun ketetapan Allah Swt, sementara wasaṭiyyah adalah sikap perte-
ngahan, lalu apa sesungguhnya relasi antara keduanya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus menelisik
apa makna terdalam dari kedua istilah tersebut di atas. Menurut Ibn ‘Ā� shūr,
maqāṣid al-sharī‘ah adalah tujuan dan hikmah (al-ma’āni wa al-ḥikam)
yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dalam segala atau sebagian besar hu-
kum-Nya (Ibn ‘Ā� shūr, 2006, p 71). Meski kedua istilah sering digunakan ber-
gantian (interchangeably) Beberapa sarjana seperti Hashim Kamali (2012,
pp 4–5) memperdalam analisis bahwa perbedaan antara tujuan dan hikmah
itu sendiri adalah bahwa tujuan harus dicapai terlebih dahulu agar kemudi-
an tercapai hikmah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, dengan contoh
sebuah penelitian, tujuan penelitian harus tercapai terlebih dahulu karena
ia bersifat internal dan cenderung definitif (munḍabiṭ); sementara hikmah
adalah fungsi yang bisa dicapai kemudian karena ia lebih bersifat ekster-
nal dan cenderung tidak definitif (ghayr munḍabiṭ). Salat berjemaah, seba-
gaimana diungkap oleh Ali Ahmad al-Jurjawi (al-Jurjāwī�, 1997, pp 87–88),
tujuannya adalah untuk melaksanakan perintah berjemaah dalam salat se-
hingga mendapat rida Allah Swt. Namun, dalam cakupan yang lebih detail,
fungsi salat berjemaah itu sendiri mencakup banyak hal di antaranya ada-
lah mempererat tali silaturrahim. Yang pertama adalah esensial, sementara
yang kedua adalah sekunder. Secara umum, para sarjana berpendapat bah-
wa maqāṣid al-sharī‘ah itu sendiri sesungguhnya bertumpu pada gerakan
triple movement, yaitu up-to-buttom, buttom-to-up, dan kembali pada up-to-
buttom. Yang pertama berarti penciptaan manusia, ibadah yang merupakan
tujuan penciptaan manusia, dan kesejahteraan sosial yang merupakan im-
plikasi dari ibadah tersebut.
Wasaṭiyyah bermakna setidaknya dua hal: pertengahan dan kesempur-
naan (al-Mawdūdī�, 1988, p 186). Sesuatu yang ada di tengah memang cen-
derung melahirkan kesempurnaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Quraish
Shihab (Shihab, 2005), bahwa sebagai seorang wasit dalam sebuah pertan-
dingan, sebagai contoh, ia jelas harus berdiri di tengah untuk mampu me-
lahirkan keputusan yang sempurna. Ketika ia berdiri di pinggir, hal terse-
but akan menjadikannya rentan bertindak ekstrem yang akhirnya berujung

70 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
pada ketidakadilan. Kenyataannya, bagi seorang yang berdiri di pinggir, ia
tidak akan mampu melihat orang sekelilingnya dengan pandangan yang cu-
kup representatif dan adil. Yang satu kelihatan akan sangat jelas sementa-
ra yang lainnya terlihat amat runyam. Hal ini juga terlihat dalam analogi
yang diberikan oleh Hashim Kamali (2015, p 9), bahwa jika usia muda ber-
ada di tengah dalam perjalanan hidup seorang manusia, sebagaimana yang
kita tahu dan rasakan, jelas usia muda merupakan tempat beragam jenis ke-
sempurnaan hidup, baik fisik dan psikologis. Sebagaimana juga waktu siang
yang terletak di pertengahan dalam perjalanan matahari dari pagi hingga
sore hari, waktu siang adalah tempat di mana kesempurnaan sinar mataha-
ri terpancar. Dari sini jelas bahwa wasaṭiyyah itu sendiri merepresentasikan
sikap tengah dan kesempurnaan.
Kesempurnaan tersebut sesungguhnya tidak hanya bisa dicapai dengan
berposisi di tengah. Namun, lebih jauh lagi, juga bisa dicapai dengan sikap
komprehensif yang dalam hal ini direpresentasikan oleh maqāṣid al-sharī‘ah.
Demikian sebab maqāṣid al-sharī‘ah adalah tujuan di mana segala aturan
dan hukum yang dilahirkan atau berada di bawah maqāṣid al-sharī‘ah itu
harus berlaku dan bergerak untuk dan kepada satu tujuan yaitu maqāṣid al-
sharī‘ah itu sendiri. Konsekuensinya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qay-
yim (2002, p 337), sebuah hukum, jika tidak merepresentasikan maqāṣid al-
sharī‘ah, harus dibatalkan.
Pada titik ini, maqāṣid al-sharī‘ah menjadi satu tahapan terakhir yang
akan menyortir dan menguji apakah suatu hukum itu sudah sesuai dengan
tujuan itu sendiri. Sebagai contoh adalah jika al-Maidah itu hanya dimak-
nai parsial, hal tersebut akan menggiring kepada sikap yang dapat digolong-
kan kepada sikap ekstrem yaitu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani se-
bagai sepenuhnya orang lain yang seakan harus dianggap musuh dan tidak
layak untuk diajak berkomunikasi. Kesimpulan yang bisa ditarik dalam hal
ini adalah bahwa maqāṣid al-sharī‘ah yang berorientasi pada komprehen-
sivitas pemahaman harus diarusutamakan agar pemahaman itu lahir tidak
berdasarkan para cara pandangan parsial, namun integral.
Yang penting untuk diperhatikan di sini adalah bahwa meski Islam me-
ngandung nilai moral sebagaimana terkandung dalam maqāṣid al-sharī‘ah
yang bersifat universal tersebut, Islam tidak membiarkan nilai-nilai terse-
but tanpa aturan. Untuk itu, para sarjana sudah merumuskan peranti dan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 71
mekanisme aturan tersebut. Di antaranya adalah teori gradasi makna yang
terefleksikan dalam dua konsep pemaknaan suatu kata, yaitu dari segi ke-
umuman dan kejelasannya. Yang pertama mengandung empat jenis, yaitu
khas (yang terdiri muṭlaq, muqayyad, amr, dan nahy), ‘ām, mushtarak, dan
mu’awwal. Yang kedua terdiri dari ẓāhir, naṣṣ, mufassar, dan muḥkam. Seki-
las, kedua konsep tersebut merefleksikan dan mencakup komprehensivitas
cakupan makna sebuah kata yang berpendar dan bergradasi dari yang spe-
sifik, umum, hingga yang interpretatif (al-Zuhaylī�, 1986, pp 349–355).
Moralitas Pemikiran Sa‘īd al-Nūrsī dalam Hubungan Antaragama
Fungsi nilai moral dalam epistemologi ajaran Islam bertindak sebagai
palang pintu terakhir untuk menyeleksi semua aturan legal dan etik yang
bergerak bersama-sama menuju realisasi nilai moral tersebut. Selain yang
dikenal sebagai al-dharuriyyat al-khams seperti yang disebutkan di atas, di
antara yang dapat dicontohkan dari nilai moral tersebut adalah keadilan
(‘adl), kejujuran (ṣidq), persamaan (musāwāh), persaudaraan (ukhuwwah),
dan kemuliaan (karāmah) (al-Zuhaylī�, 1986, p 323). Validitas semua nilai
ini tidak saja diakui oleh umat Islam, sebagaimana diungkap oleh al-Shāṭibī�
(1997, p 20), namun juga oleh setiap orang yang bernama manusia apa pun
latar belakang agamanya. Aspek universalitas inilah yang kemudian agak-
nya menjadikan apa yang disebut muḥkām tersebut rawan untuk ditafsir-
kan. Jika orang Islam mempunyai definisi tertentu tentang keadilan, orang
di Eropa atau Amerika juga memiliki definisi keadilan versi mereka sendi-
ri. Subjektivitas ini terjadi juga pada nilai-nilai lainnya seperti persaudara-
an dan kemuliaan.
Berangkat dari sini, para sarjana muslim kemudian menetapkan satu pe-
rangkat metodologis tentang bagaimana mengobjektifikasikan nilai-nilai
yang universal tersebut agar menjadi seobjektif mungkin dan kiranya sesu-
ai dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Tuhan. Dalam konteks
artikel ini, perangkat tersebut adalah apa yang sudah diuraikan di atas yang
kemudian disebut sebagai teori gradasi makna (naẓariyyat dilālat al-ma‘nā).
Pada bagian ini, kita akan melihat sejauh mana sistem gradasi makna ter-
sebut akan bekerja terutama dalam dua kasus yang merupakan pengalam-
an intelektual Sa‘ī�d al-Nūrsī� sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.

72 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Sang Moralis dari Turki
Sa‘ī�d al-Nūrsī� dilahirkan di Desa Nurs, Anatolia Timur, pada 1876 M de-
ngan nama asli ‘Said’. Dengan dilahirkan di daerah Nurs itulah kemudian ia
mendapatkan gelar al-Nūrsī�, yang berarti seseorang yang berasal dari Nurs.
Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dari seorang ibu berna-
ma Nuriyah (al-Nūrsī�, 2004, pp 58–59). Sang ibu dikenal sebagai seorang
ahli wudu, sementara ayahnya adalah seorang pengamal tarekat Naqsaban-
diyyah. Disebutkan dalam al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn fī Thawbih al-Jadīd,
bahwa sang ayah, dengan posisi dan kapasitasnya sebagai seorang sufi, dike-
nal sebagai seorang yang sangat menjaga diri dari keharaman. Hal tersebut
tidak hanya berlaku bagi rezeki yang akan dimakan anak-anaknya, namun
bahkan untuk hewan-hewan piaraannya. Dari sini, tidak mengherankan jika
kemudian sang anak lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi juga seorang
sufi sebagaimana ayahnya. Bahkan perkembangan sang anak melebihi sang
ayah di mana yang pertama tidak hanya berhasil menjadi seorang tokoh
tingkat nasional, namun juga internasional (Ja’far, 2007, pp 725–726). De-
ngan kontribusi yang diberikan, sang anak pada akhirnya menjadi seorang
pembaharu, salah satu sarjana muslim paling diperhitungkan pada Abad 20.
Selain faktor internal, popularitas al-Nūrsī� sesungguhnya juga didukung
oleh tantangan yang datang pada masanya. Dalam catatan Iḥsān Qāsim
al-Ṣāliḥī� (2010, p 14), disebutkan bahwa al-Nūrsī� hidup pada dua masa
kesultanan yaitu Sultan Murad V dan Sultan ‘Abd al-Ḥāmid II. Pada masa ini,
Turki berada di ambang kehancuran yang akumulasinya dapat dilihat pada
jatuhnya kekuasaan Turki Utsmani pada 1924 kepada Barat. Kehancuran itu
bukan saja diakibatkan oleh lemahnya pertahanan negara, namun karena
orang Turki sendiri sudah mengalami kehilangan identitas dan nilai moral
dengan semakin masifnya ideologi luar negara yang masuk tanpa ada proses
filterisasi dan adaptasi dengan karakter bangsanya sendiri. Mereka tidak cu-
kup mampu lagi menangkap roh dari ajaran agama yang mereka anut. Celah
intelektual inilah yang kemudian diisi oleh al-Nūrsī� dengan ajaran dan ge-
rakan reformasi sosial keagamaannya.
Sebagai seorang sarjana muslim, ia berupaya untuk menyadarkan bang-
sa Turki terutama umat Islam tentang arti penting paradigma moderat dan
integral, yaitu bagaimana memahami ajaran Islam secara benar dan holis-
tik, mengukuhkan, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan indi-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 73
vidu, sosial, dan kenegaraan, sehingga dengan langkah demikian terbukti
bahwa ajaran Islam mampu berkembang dan beradaptasi dengan zaman.
Untuk merealisasikan tujuan ini, ia menyerukan umat Islam untuk tidak ha-
nya memahami ilmu-ilmu agama (‘ulūm naqliyyah), tetapi juga ilmu yang
berparadigma sains (‘ulūm ‘aqliyyah) (Yucel, 2017). Sebagai seorang nasi-
onalis, anak bangsa yang dilahirkan dalam masyarakat yang multikultur, ia
juga menyerukan prinsip moderasi, yaitu persatuan dan kolaborasi antara
umat Islam dan umat agama lain terutama Kristen dan Yahudi demi mena-
han arus laju ateisme demi pembangunan negara dan bangsa (Saritoprak,
2000).
Panggilan ‘Kafir’ dalam Kehidupan Sosial
Dalam konteks hubungan antarumat beragama, salah satu yang diseru-
kan oleh al-Nūrsī� adalah agar umat Islam tidak memanggil saudara sebang-
sa mereka yang berasal dari umat Kristen dan Yahudi dengan panggilan ‘ka-
fir’. Seruan ini ia gaungkan untuk dilaksanakan umat Islam di Turki ketika
mereka membangun hubungan sosial dengan umat agama lain. Menariknya,
fenomena yang sama ternyata berlaku di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Pada 2019, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan Mu-
syawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di
Ponpes Miftahul Huda al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat. Salah
satu keputusan yang dihasilkan adalah penghapusan istilah ‘kafir’ menjadi
‘muwathin’ dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara (Mari Har-
gai Keputusan NU dan Hentikan Polemik Istilah Kafir, 2019). Keputusan ini
sejatinya merupakan kelanjutan dari pembahasan dalam materi yang sama
yang diadakan pada 1930. Yang membedakan adalah yang lebih dahulu di-
adakan dalam konteks teologis; sementara yang terakhir ini dalam konteks
kebangsaan. Keputusan yang terakhir ini dirasa penting dikeluarkan meng-
ingat akhir-akhir ini muncul ketegangan antara sebagian kecil umat Islam
dengan umat agama lain dengan salah satu isu yang dibicarakan adalah ten-
tang adanya panggilan ‘kafir’ di ruang publik terhadap umat selain agama
Islam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah setiap orang lain
agama layak kita panggil kafir hanya karena berdasarkan fakta bahwa Al-
Qur’an pun menggunakan panggilan tersebut dalam surat al-Bayyinah ayat
6? Bagaimana seharusnya kita memahami panggilan ‘kafir’ dalam surat

74 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
al-Bayyinah ayat 6 tersebut?
Pertanyaan:
Should Muslims call Christians and Jews kafir (infidel)? There are verses
in the Qur’an which refer to some of them in fact with the term kufr (in-
fidelity) (Q.98:6). Why should we not call someone who is kafir a kafir?
Jawaban al-Nūrsī�:
[You don’t do this, just] as you don’t call someone who is blind, ‘O Blind
one’ [yā kāfir]! There is torture [and harm] in this term, and torturing a
dhimm is prohibited according to the Prophet of Islam, who says: ‘Who-
ever tortures a dhimm, I am his prosecutor on the Day of Judgement …
Secondly, the term kāfir has two meanings. The first and most common
one [refers to the] irreligious person, who denies the existence of God.
In terms of this meaning, we do not have the right to call the People
of the Book kāfir. The second meaning is one who denies the prophet-
hood of the prophet of Islam. In this case, we can call them kāfir, and
they are pleased with it in this sense. But, since the first meaning is the
most common one, it became a word of torture, hurt and debasement
for them. In addition to these reasons, we do not have to mix the circle
of human relations with the circle of beliefs” (Saritoprak, 2000, p. 328).
Pertanyaan:
Haruskah seorang muslim memanggil orang-orang Kristen dan Yahu-
di dengan sebutan ‘kafir’? Jelas bahwa dalam Al-Qur'an ada al-Bayi-
nah ayat 6 yang mengasosiasikan sebagian dari mereka dengan se-
butan kafir. Mengapa lantas kita tidak boleh menyebut seorang yang
memang kafir dengan sebutan ‘kafir’?
Jawaban:
[Jangan lakukan ini!] sebagaimana kamu tidak akan memanggil orang

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 75
yang buta dengan panggilan ‘wahai sang buta’. Panggilan seperti itu
adalah sebuah penganiayaan dan jelas sangat berbahaya, sementara
penganiayaan terhadap orang zimi dalam agama kita jelas sebuah la-
rangan. Rasullah SAW telah bersabda ‘siapa saja yang melukai seo-
rang zimi, maka saya akan menuntutnya di Hari Kiamat. Alasan yang
kedua, kata ‘kafir’ sendiri sebenarnya memiliki dua arti. Pertama, dan
ini yang berlaku secara umum [dalam Al-Qur'an], adalah mereka yang
tidak beragama, yang tidak mengakui adanya Tuhan. Pada titik ini,
kita tidak berhak untuk menyebut ahli kitab sebagai kafir. Makna ke-
dua merujuk pada orang yang tidak mempercayai Rasullah SAW yang
merupakan nabi umat Islam. Di sini, sebenarnya mereka ahli kitab ti-
dak keberatan dengan istilah tersebut. Namun, karena kata kafir sen-
diri [dalam Al-Qur'an] sebenarnya lebih banyak merujuk pada orang-
orang ateis, panggilan tersebut [kepada semua ahli kitab] akan sangat
melukai perasaan mereka. Selain alasan tersebut, kita memang sudah
seharusnya tidak mencampuradukkan kehidupan sosial dengan ke-
yakinan dalam beragama.”
Al-Nūrsī� termasuk salah seorang tokoh yang demikian tekun dalam
mempromosikan hubungan persaudaraan di antara warga negara Turki ter-
utama antara umat Islam dan Kristen serta sebagian kecil Yahudi. Hal ini ia
maksudkan untuk menangkal apa yang ia sebut sebagai ‘serangan dari uta-
ra’ yang merupakan orang-orang ateis. Pada konteks ini, setidaknya kita bisa
melihat urgensi dan alasan mengapa al-Nūrsī� melarang memanggil orang-
orang Kristen dan Yahudi dengan panggilan ‘kafir’, yaitu demi alasan stabili-
tas sosiopolitik Turki pada masa itu. Hal ini ia ungkapkan dalam nasihatnya
bahwa dalam pergaulan atau kehidupan bernegara, umat Islam seharusnya
tidak mencampuradukkan antara pilihan keagamaan seseorang dengan ke-
hidupan sosialnya.
Yang tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah kenyataan bahwa Tu-
han telah memberikan kebebasan—yang bertanggung jawab—kepada se-
luruh umat manusia untuk memilih satu di antara dua jalan: keimanan dan
kekufuran atau kebaikan dan keburukan. Dengan bekal akal yang dikaru-
niakan kepada mereka, setiap pilihan akan mempunyai konsekuensi ma-
sing-masing. Di sini kita bisa mencatat arti penting kebebasan beragama

76 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
sebagai sebuah nilai dasar yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia seba-
gaimana ditegaskan oleh al-Baqarah 256; lā ikrāha fī al-dīn. Kebebasan ini-
lah yang, menurut penulis, bisa disebut masuk dalam rangkaian al-muḥkam,
yaitu nilai moral universal yang diperuntukkan bagi setiap anak manusia.
Maka, dalam kehidupan sosial kenegaraan, kebebasan ini harus diperha-
tikan dan dihormati yang mana salah satu caranya adalah tidak menyebut
mereka ‘kafir’ di ruang publik. Jika kemudian pemahaman tekstual ini ma-
sih dilakukan, sikap tersebut sesungguhnya telah meninggalkan salah satu
aspek dari prinsip maqāṣid al-sharī‘ah yaitu kebebasan, yang dengan sendi-
rinya tidak lagi mencerminkan moderasi dalam beragama.
Pertemanan dengan Orang Kafir
Selain isu panggilan ‘kafir’ di atas, al-Nūrsī� juga merespons surat al-Mai-
dah 51 yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian
jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman dekat kalian.” Seba-
gaimana di atas, fenomena yang dilukiskan oleh ayat ini pun terjadi di In-
donesia, yaitu ketika mereka berpolemik tentang boleh atau tidaknya umat
Islam untuk memilih seorang pemimpin dari kalangan nonmuslim (NU,
2016). Meski demikian, artikel ini tidak akan secara spesifik membahas isu
pertemanan dengan orang kafir ini dalam konteks kepemimpinan; namun
lebih dalam batasan yang lebih umum. Berikut komentar yang diberikan
oleh al-Nūrsī� terkait hal ini:
Pertanyaan:
There is a prohibition against friendship with Christians and Jews.
For God says: “O ye who believe! Take not the Jews and Christians for
friends.”
Jawaban
First, there should have been a definite implication, as it should have
definite form. Thus, there is a way for there to be various possible mean-
ings and interpretations. For the qur’anic prohibition is not ām [a gen� -
eral rule applicable to all and not to be contradicted], but muthlaq [the

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 77
laws that are controlled]. [In this instance], time is a prominent inter-
preter. If it puts a limitation on the verse, nobody would object to it.
Also, if the judgement is based on a derivative form of the word, the
meaning of the infinitive would show the reason of the judgment [i.e. if
the law is built on an analogy, then what is applied in the analogy con-
stitutes the basis of the law]. Therefore, the qur’anic prohibition is con-
cerning not Jews and Chris-tians themselves, but it concerns the religion
of Christianity and Judaism. One can be beloved not because of his es-
sence, but because of his attributes and professions. Therefore, it is not
necessary that a Muslim’s attributes be considered Muslim as well. And
likewise, it is not necessary that a non-Muslim’s attributes be consid-
ered as those belonging [only] to non-Muslims. Therefore, it is possible
that a non-Muslim individual could have a Muslim attribute or a Mus-
lim profession. Why must this [necessarily] be impermissible, and why
would the case of Muslim attributes of a non-Muslim not be a cause for
praise and imitation? If a Muslim male has a Christian or Jewish wife
[which is permissible under Islamic law], is he not supposed to love her?
On the contrary, certainly, he will love her.
During the time of the Prophet, there was a sizeable religious revolu-
tion. All ideas of the people of that time were inevitably concerned with
religion. People hated and loved each other [solely]on the basis of reli-
gion. Therefore, a [close relationship with] non-Muslims was considered
a form of hypocrisy. Today, there is a civilizational and worldly revolu-
tion. The human mind is occupied by civilizational progress and world-
ly life.
Therefore, our friendship with the Christians and Jews is [now] from the
standpoint of their civilization, their progress, and the protection of so-
cial order, which [has become] the basis of all happiness in human life.
Thus, the qur’anic prohibition does not encompass this friendship” (Sar-
itoprak, 2000, p. 327).

78 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Pertanyaan:
Terdapat larangan dalam Al-Qur'an untuk berteman dengan orang
Kristen dan Yahudi, yaitu [al-Maidah 51] “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
teman dekat kalian.”
Jawaban:
Pertama, sebuah dalil memang pada dasarnya harus bersifat pasti,
baik dari sisi makna yang tersurat maupun tersirat. Meski demiki-
an, tetap ada di dalam memahami dalil tersebut ruang untuk mem-
berikan interpretasi [yang bersifat relatif]. Demikian karena dalam
konteks larangan ayat Al-Qur'an di atas, ia tidak bersifat ‘ām, tetapi
mutlak sehingga dimungkinkan di dalamnya ada pembatasan. Jika de-
mikian yang terjadi, dimensi waktu menjadi amat menentukan. Ada-
pun jika tidak ada pembatasan, dalil tersebut bisa langsung diterap-
kan sebagaimana yang tersurat.
Selain itu, jika sebuah hukum dibangun di atas penalaran yang ber-
sifat tersirat, yang harus dilihat di dalamnya adalah ilat yang darinya
hukum itu sendiri di bangun. Dalam konteks ayat di atas, apa yang
sesungguhnya dilarang adalah menyukai agama yang dianut oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sementara seseorang menjadi disu-
kai atau tidak itu sebenarnya tidak karena diri seseorang tersebut,
namun lebih karena sifat dan perilaku yang melekat padanya. Karena
itu, seorang muslim tidak secara otomatis menyandang berbagai si-
fat dan perilaku yang Islami, sebagaimana juga orang-orang kafir ter-
sebut tidak lantas juga menyandang segala sifat dan perilaku yang di-
anggap kafir.
Berdasarkan hal ini, lantas mengapa kita tidak boleh menyukai sega-
la sifat dan perilaku Islami tersebut [terlepas pada orang mana kedu-
anya melekat]? Jika istri Anda seorang kitabiyah, niscaya engkau akan
menyukainya.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 79
Kedua, pada zaman Rasulullah SAW terjadi revolusi agama yang de-
mikian dahsyat sehingga segala pemikiran dan perasaan masyara-
kat ketika itu dihubungkan dengan agama. Benci dan cinta semua-
nya dihubungkan dengan agama. Hal ini sampai pada batas bahwa
seseorang yang menyukai orang lain agama, ketika itu, dapat digo-
longkan sebagai seorang munafik. Meski demikian, hari ini kita meli-
hat hal tersebut berubah di mana perkembangan peradaban manusia
berkembang begitu revolusioner. Apa yang terjadi adalah sudut pan-
dang manusia akhirnya bertumpu pada segala perkembangan dan ke-
majuan duniawi tersebut. Karena itu, pertemanan kita dengan orang
Kristen dan Yahudi juga seharusnya didasarkan pada perspektif per-
kembangan dan kemajuan peradaban tersebut yang itu semua meru-
pakan sumber kebahagiaan dalam kehidupan manusia [terlepas dari
perbedaan agama mereka]. Jadi, ayat di atas tidak berkenaan dengan
jenis pertemanan semacam yang kedua ini.”
Dari uraian di atas, jelas bahwa apa yang seharusnya dilakukan oleh se-
orang muslim adalah memahami sebuah ayat secara holistik, tidak hanya
dari aspek tekstualnya saja. Jika ayat di atas hanya dilihat secara tekstual,
sebagai ‘ām yang berdiri tanpa takhsis (pembatasan), yang lahir adalah ke-
tertutupan diri dan bahkan kebencian. Padahal, betapa banyak juga ayat-
ayat lain yang menegaskan penghargaan terhadap martabat seorang manu-
sia—terlepas dari agama yang dianutnya berikut konsekuensinya. Martabat
manusia inilah yang kiranya, sebagaimana dituturkan oleh Hashim Kamali
(2002), juga termasuk apa yang disebut al-muḥkam, yaitu nilai moral yang
berlaku universal pada seluruh manusia. Karena itu, penalaran dan pema-
haman yang cenderung tekstual, yang salah satu cirinya adalah bersebe-
rangan dengan nilai moral tersebut, dengan demikian tidak lagi mencermin-
kan spirit maqāṣid al-sharī‘ah dan terlebih lagi moderasi dalam beragama.
Terkait hal ini, perlu dinyatakan bahwa fakta bahwa syirik adalah keza-
liman yang paling besar. Hal ini jelas sekali dinyatakan dalam Luqman. Na-
mun, perlu diketahui di sini bahwa kehidupan seorang muslim tidak lantas
berada dalam lanskap yang mayoritas terutama secara kualitas. Kadang kala
ia juga harus berkompromi bahwa kehidupan dunia tidak selamanya terja-
di sebagaimana yang diidealkan. Artinya, dalam konteks kehidupan berne-

80 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
gara, ia harus menyadari ada wilayah yang bersifat eksklusif dan ada juga
yang bersifat inklusif. Kepemimpinan sosial dan persahabatan antara indi-
vidu satu dengan lainnya dalam Islam meniscayakan nilai-nilai yang bersifat
universal. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai ummahāt al-maqāṣid,
yaitu sebuah untaian nilai moral universal yang bersifat absolut (qaṭ‘iy) dan
tidak akan pernah diabrogasi (naskh), dikecualikan (takhṣīs), atau dibatasi
(taqyīd). Maka, kezaliman nonmuslim tersebut, terutama dalam hal agama-
nya, itu berada dalam wilayah eksklusif. Namun, ketika berada di ruang so-
sial, yang berlaku adalah hal-hal yang bersifat inklusif seperti terselengga-
ranya nilai-nilai keadilan.
Penulis tetap berpendapat bahwa pemimpin yang jauh lebih diutamakan
bagi seorang muslim untuk dipilih adalah seorang muslim yang melekat pa-
danya nilai-nilai keadilan. Sebagaimana juga seorang muslim yang baik juga
harus diutamakan untuk dijadikan sahabat. Namun jika hal tersebut amat
sulit dilakukan, dianjurkan untuk memilih sosok lain, betapa pun ia umat
lain agama, yang melekat padanya keadilan, kasih sayang, dan cinta.
Urgensi Paradigma Maqāṣidī
Dari uraian di atas, terletak arti penting paradigma maqāṣidī (naẓrah
maqāṣidiyyah): satu pandangan keagamaan yang menempatkan maqāṣid
al-sharī‘ah sebagai titik sentral dalam memahami sebuah teks. Yang menja-
di tugas dari paradigma maqāṣidī di sini adalah memastikan bahwa pema-
haman terhadap al-Bayyinah 6 dan al-Mā’idah 51 tidak bertentangan de-
ngan nilai, prinsip, dan konsep yang ada pada maqāṣid al-sharī‘ah. Dalam
analogi sederhana, kerja penyelarasan seperti ini mirip dengan konsep judi-
cial review yang mencoba melihat sejauh mana sebuah peraturan atau un-
dang-undang yang dibuat Pemerintah dan DPR itu selaras dengan Panca-
sila dan UUD 1945. Dua yang disebutkan terakhir merupakan nilai moral
bangsa Indonesia yang harus terepresentasikan dalam, dan menjadi rujuk-
an akhir bagi, semua jenis peraturan dan perundangan yang diturunkan da-
rinya. Konsekuensinya, segala peraturan dan perundangan turunan, baik
yang sudah atau akan disahkan, selama tidak merepresentasikan atau jus-
tru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, harus dibatal-
kan demi terealisasinya nilai moral tersebut.
Maka, dalam konteks penelitian ini, pemahaman yang representatif ter-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 81
hadap ayat tersebut, baik pada akhirnya. Sebagai contoh, berupa larangan
atau pembolehan berteman dengan orang-orang Yahudi dan Nasarani, se-
sungguhnya merepresentasikan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah itu sendiri. Ke-
tika ia cenderung berupa pelarangan, ia sudah sesuai karena berusaha un-
tuk menjaga akidah dan perasaan senasib dan seperjuangan antarsahabat.
Hal ini juga selaras dengan spirit fikih prioritas (fiqh al-awlawiyyah) yang
memang berusaha untuk memberikan pandangan dan menyadarkan kita
mana dari pekerjaan dan kepentingan kita yang harus diutamakan atas yang
lain. Dalam hal ini, jelas bahwa akidah adalah hal yang paling esensial bagi
kehidupan seorang muslim sehingga harus dijaga.
Sebagaimana juga berkaitan dengan apa yang terjadi hari ini, pembo-
lehan berteman dengan umat Yahudi dan Nasrani juga merepresentasikan
maqāṣid al-sharī‘ah di mana relasi antara umat Islam dengan umat lain aga-
ma sudah bergeser dari fikih mayoritas (fiqh al-qawiyy) kepada fikih mino-
ritas (fiqh al-dha‘īf), atau bahkan semua jenis orang, betapa pun berbeda
agamanya, menjadi setara di depan hukum dan pemerintahan. Negara Indo-
nesia, sebagai contoh, karena dibangun di atas perjanjian di antara rakyat
dengan perbedaan latar belakang agama masing-masing, secara sosial men-
jadikan umat lain agama sebagai warga kelas dua berikut segala implikasi-
nya tidak lagi cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia. Seorang manu-
sia, apa pun agama yang pada akhirnya dianutnya, pada dasarnya diciptakan
dan ditempatkan dalam posisi yang sedemikian mulia. Hal ini sesuai dan di-
tegaskan oleh redaksi “walaqad karramnā banī ādam” dalam Al-Qur’an se-
bagaimana tertulis di bawah ini:
ًليِضْفَت اَنْقَلَخ ْنَّمِّم ٍيرِثَك َٰلَع ْمُهاَنْلَّضَفَو ِتاَبِّيَّطلا َنِّم مُهاَنْقَزَرَو ِرْحَبْلاَو ِّ َبْلا ِف ْمُهاَنْلَمَحَو َمَدآ يِنَب اَنْمَّرَك ْدَقَلَو
Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak
makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
Demikian juga selama mereka, umat lain agama, menampakkan kerja
sama dan saling pengertian; pemaknaan pelarangan ekstrem sebagaimana
yang dipegang oleh sebagian saudara seagama kita patut untuk dipertim-

82 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bangkan kembali. Hal ini juga sesuai dan ditegaskan oleh redaksi “an tabar-
rūhum wa tuqsiṭū ilayhim” sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an di ba-
wah ini:
ُّبِحُي َهَّللا َّنِإ ْمِهْيَلِإ اوُطِسْقُتَو ْمُهوُّ َبَت نَأ ْمُكِراَيِد نِّم مُكوُجِرْخُي ْمَلَو ِنيِّدلا ِف ْمُكوُلِتاَقُي ْمَل َنيِذَّلا ِنَع ُهَّللا ُمُكاَهْنَي َّل
Allah tidak melarang Kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan ti-
dak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Pada akhirnya, juga yang sebenarnya perlu dicatat, bahwa yang tidak bo-
leh dilakukan adalah pemahaman secara parsial atau tunggal terhadap se-
buah ayat yang kenyataannya memang berlaku pada zaman yang berbeda
dan juga kondisi yang cenderung berbeda. Ayat itu memang tidak akan ber-
ubah. Karena itu, pemahaman terhadap ayat itulah yang harus diperkaya.
Dialog antara keterbatasan redaksi ayat dan ketidakterbatasan pemaham-
an atas redaksi ayat tersebut sebenarnya tidak menunjukkan kejumudan
ajaran agama Islam. Justru hal ini menunjukkan betapa elastis ajaran Islam
untuk bisa diterapkan dalam segala konteks dan situasi manusia yang ber-
beda-beda.
Simpulan
Simpulan penelitian ini dilakukan dengan salah satu tujuannya ada-
lah mengeksplorasi kaitan antara empat komponen: aksiologi, maqāṣid
al-sharī‘ah, moderasi, dan hubungan antaragama. Proses tersebut diada-
kan untuk memantapkan epistemologi Islam terutama dalam bidang usul
fikih sehingga ia terbukti berpihak pada moralitas dan moderasi dalam ber-
agama. Untuk tujuan ini, digunakan analisis berbasis maqāṣid al-sharī‘ah:
sebuah disiplin yang bisa dianggap sebagai manifestasi teleologi atau ak-
siologitas hukum Islam. Sa‘ī�d al-Nūrsī� dalam hal ini dijadikan studi kasus
mengingat ia adalah salah satu sarjana muslim yang diakui secara global ter-
utama dalam seruannya untuk membangun jembatan, komunikasi, dan aso-
siasi yang baik dengan ahli kitab yaitu umat Kristen dan Yahudi.
Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa, pertama, kaitan erat dan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 83
titik temu antara aksiologi, maqāṣid al-sharī‘ah, dan moderasi, berada pada
semangat untuk merealisasikan nilai-nilai moral universal. Hal ini dapat di-
buktikan dengan adanya spirit moderasi dalam teori pemaknaan kata yang
mencakup aspek kejelasan (wuḍūḥ), yaitu dzahir, nash, mufassar, dan muh-
kam; dan keumuman (‘umūm) yang mencakup khāṣṣ, ‘ām, mushtarak, dan
mu’awwal. Kedua, konsep ini mendapat justifikasi dari sikap intelektual
Sa‘ī�d al-Nūrsī� yang mengatakan bahwa al-Bayyinah 6 tidak lantas menjadi
pembenar dibolehkannya panggilan ‘kafir’ terhadap umat lain agama di ru-
ang publik. Ayat tersebut lebih berbicara dalam konteks teologis dan karena
itu tidak lantas berlaku secara mutlak pada ranah pergaulan sosial. Ketiga,
al-Mā’idah 51, karena tergolong berbentuk mutlak, juga tidak lantas men-
jadi bukti pelarangan masyarakat muslim menjalin hubungan yang begitu
erat dengan umat lain agama. Teorisasi dan contoh kedua ayat di atas men-
jadi bukti betapa ekstremisme beragama masih saja terjadi dan karena itu
memerlukan pemahaman holistik yang bercorak maqāṣid al-sharī‘ah. Seca-
ra teoretis, penelitian ini dapat bertindak sebagai bagian dari studi awal un-
tuk mengeksplorasi kaitan antara tiga rumpun keilmuan; filsafat ilmu, usul
fikih, dan kebijakan publik. Ketiga rumpun tersebut merupakan rumah bagi
tiga konsep yang menjadi pokok pembahasan artikel ini: aksiologi, maqāṣid
al-sharī‘ah, dan politik moderasi—yang kini sudah dan sedang menjadi ke-
bijakan Pemerintah. Tentu saja ia juga memperkaya dimensi pemikiran yang
selama ini dilakukan tentang Sa‘ī�d al-Nūrsī�. Temuan teoretis ini selanjutnya
dapat digunakan oleh Pemerintah dalam tataran praktis untuk memperta-
jam argumen tentang moderasi beragama yang selama ini masih kadang
kala dipertanyakan.
Daftar Pustaka
AbuSulayman, `AbdulHamid. (1993). Crisis in the Muslim mind (Y. T. DeLorenzo,
Trans.). International Institute of Islamic thought.
AbuSulayman, A. A. (1973). The Islamic Theory of International Relations: Its Rele-
vance, Past and Present. University of Pennsylvania.
AbuSulayman, A. A. (2013). Chastising Women: A Means to Resolve Marital Prob-
lems? Ilmu Ushuluddin, 1(5), Article 5. https://doi.org/10.15408/ilmu-ushulu-
ddin.v1i5.1020.
al-Asyari, M. K. H. (2017). Dakwah Lintas Iman Sebagai Upaya Harmonisasi Agama:

84 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Studi Dakwah Lintas Iman Perpektif Sain An-Nursi. FIKRAH, 4(2), Article 2. htt-
ps://doi.org/10.21043/fikrah.v4i2.1632.
al-Jurjāwī�, ‘Alī� Aḥmad. (1997). Ḥikmat al-Tashrī‘ wa Falsafatuhu. Dar al-Fikr.
al-Mawdūdī�, S. A. al-A‘lā. (1988). Towards Understanding the Qur’ān: Abridged Versi-
on of Tafhīm al-Qur’ān (Z. I. Anshari, Trans.). The Islamic Foundation.
al-Nūrsī�, S. (nd). Al-Munāẓarāt (I. Q. al-Ṣāliḥī�, Trans.).
al-Nūrsī�, S. (2004). Al-Sīrah Al-Dhātiyyah (I. Q. al-Ṣāliḥī�, Trans.; 3rd ed.). Sozler Pub-
lications.
al-Ṣāliḥī�, I. Q. (2010). Naẓrah ‘Āmmah ‘an Ḥayāt Badī‘ al-Zamān Sa‘īd al-Nursī (1st
ed.). Sozler Publications.
al-Shāṭibī�, A. I. I. (1997). Al-Muwāfaqāt (M. I. Ḥasan Ā� lu Salmān, Ed.; Vol. 1). Dār Ibn
‘Affān.
al-Zuhaylī�, W. (1986). Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī. Dār al-Fikr.
Hadith—Crimes (Qisas or Retaliation)—Bulugh al-Maram—Sunnah.com—Sayings
and Teachings of Prophet Muhammad (ملس و هيلع هللا لىص). (nd). Retrieved November
24, 2022, from https://sunnah.com/bulugh/9/46.
Ibn ‘Ā� shūr, M. al-Ṭāhir. (2006). Treatise on Maqāṣid al-Sharī‘ah (M. E.-T. El-Mesawi,
Trans.). IIIT.
Ibn Qayyim, A. A. M. I. A. B. A. (2002). I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn (Vol.
4). Dar Ibn al-Jawzi.
Ja’far, A. al-G. M. M. (2007). Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn fī Thawbih al-Jadīd. Dār al-
Salām.
Kamali, H. (2002). The Dignity of Man: An Islamic Perspective. The Islamic Text Soci-
ety.
Kamali, H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’ānic Principle of
Wasaṭiyyah. Oxford University Press, USA.
Kamali, M. H. (2012). Maqāṣid al-Sharī‘ah, Ijtihad and Civilisational Renewal (D. A. S.
A. Shaikh-Ali & S. Khan, Eds.). IIIT.
Law, D. R. (2017). The Prophethood of Jesus and Religious Inclusivism in Nursi’s
Risale-i Nur. Australian Journal of Islamic Studies, 2(2), Article 2. https://doi.
org/10.55831/ajis.v2i2.51.
Mari Hargai Keputusan NU dan Hentikan Polemik Istilah Kafir. (2019, March 5). Re-
publika Online. https://republika.co.id/share/pnvdqg409.
NU: Penolakan terhadap Ahok Bukan karena Non-Muslim, tapi... (2016, September 19).
Republika Online. https://republika.co.id/berita/nasional/pilkada/16/09/19/

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 85
odr0wb330-nu-penolakan-terhadap-ahok-bukan-karena-nonmuslim-tapi
Salamah, U. (2019). Maqâshid al-Qurân Perspektif Badi’uzzaman Sa’id Nursi. Studia
Quranika, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.21111/studiquran.v4i1.3246.
Saritoprak, Z. (2000). Said Nursi’s Teachings on the People of the Book: A case study
of Islamic social policy in the early twentieth century. Islam and Christian–Muslim
Relations, 11(3), 321–332. https://doi.org/10.1080/713670333.
Shihab, Q. (2005). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an (Vol. 1).
Lentera Hati.
Yucel, S. (2017). Is Islam an Obstacle to Progress in the Modern World? Australian Jo-
urnal of Islamic Studies, 2(1), 59–75.

Bagian II
MODERASI BERAGAMA,
POLITIK KEBANGSAAN,
DAN INDUSTRI HALAL
DI INDONESIA

88 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Dār al-salām sebagai Ijtihad
Politik Ulama Nusantara:
Sebuah Tinjauan Epistemologis
Irpan Sanusi
Fahmi Syahirul Alim
Pendahahuluan
Nahdlatul Ulama (NU) terus berkembang menjadi organisasi masyarakat
Islam dan tumbuh di tengah masyarakat Indonesia. Setelah mengalami di-
namika hiruk pikuk politik praktis, NU memutuskan kembali Khittah 1926
pascamuktamar Situbondo. Masa ini menegaskan bahwa NU berjuang da-
lam tataran politik yang lebih besar, menjaga Negara Kesatuan Republik In-
donesia (NKRI) dengan merawat politik kebangsaan. Menawarkan solusi
yang maslahat demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indo-
nesia. Atas dasar asumsi NU selalu menawarkan solusi itulah, NU memiliki
rumusan epistemologi berpikir yang didasarkan pada khittah nahdliyah un-
tuk menentukan arah perjuangan dalam rangka transformasi umat (Kepu-
tusan Musyawarah Nasional Ulama, No. 2/Munas/VII/2006).
Dalam merespons beragam problematika, baik berkenaan dengan per-
soalan keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebangsaan, NU memiliki me-
tode Ahlusunah Waljamaah sebagai berikut: di bidang akidah, NU mengi-
kuti metode (manhaj) dan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 89
al-Maturidi. Dalam bidang fikih, NU mengikuti mazhab secara qauli dan man-
haji kepada salah satu Imam Empat Mazhab Fikih (mazāhib al-arba’ah) ya-
itu: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Sedangkan
dalam ilmu tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297) dan
Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). Dengan demikian.
NU menganut paham Ahlusunah Waljamaah, sebuah jalur pikir yang meng-
ambil jalan tengah antara kelompok aqli (rasionalis) kaum naqli (skriptua-
lis). Atas dasar itulah, NU tidak hanya memosisikan Al-Qur’an dan hadis se-
bagai sumber pemikiran, tetapi juga mengembangkan pemikiran-pemikiran
para ulama terdahulu yang terdapat dalam teks-teks turas. Kendati demiki-
an, para ulama NU tidak melupakan untuk mengerahkan segenap kemam-
puan akal untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan.
Dalam landasan pemikiran dan metode Ahlusunah Waljamaah, NU me-
miliki paradigma. Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk
pola pikir seseorang atau kelompok sebagai titik tolak pandangannya se-
hingga akan membentuk citra subjektif—mengenai realitas—dan akhirnya
akan menentukan bagaimana dia menanggapi realitas. Dalam bahasa seder-
hana, paradigma adalah cara pandang, pola pikir, dan cara berpikir (Louis
O. Kattsoff, 2004). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
paradigma memiliki arti kerangka berpikir (KBBI, 2008).
Ada pun paradigma NU sebagai berikut: Pertama, pola pikir moderat
(fikrah tawassuṭiyah). Artinya, NU senantiasa bersikap seimbang (tawazun)
dan moderat (iktidal) dalam menyikapi persoalan. Kedua, pola pikir toleran
(fikrah tasamuhiyah). Artinya, NU dapat hidup berdampingan secara damai
dengan berbagai pihak sekalipun secara keyakinan, cara pikir, dan kebuda-
yaan berbeda. Ketiga, pola pikir transformatif (fikrah ishlahiyah). NU sela-
lu berupaya melakukan transformasi sosial agar dapat mewujudkan per-
baikan ke keadaan yang lebih baik (al-ishlāh mā huwa ashlah). Keempat,
pola pikir dinamis (fikrah taṭawwuriyah). NU senantiasa berupaya melaku-
kan kontekstualisasi dalam merespons berbagai persoalan. Kelima, pola pi-
kir metodologis (fikrah manhajiyah), yaitu NU senantiasa menggunakan ke-
rangka berpikir yang mengacu kepada metodologi yang telah ditetapkan
oleh NU. Pola pikir inilah yang selalu mendasari tindakan NU dalam setiap
aspek lini kehidupan. Maka dirumuskanlah prinsip dasar umat terbaik (ma-
badi khairu ummah) yang didasarkan pada orientasi moral sebagai peru-

90 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bahan sosial ekonomi masyarakat. NU senantiasa berupaya ikut berkontri-
busi dalam menawarkan jalan keadaban bangsa.
Begitu pun dalam bingkai politik kebangsaan, paradigma atau pola pikir
di atas, tetap melekat dalam tubuh NU. NU berupaya bersikap dan berada di
tengah-tengah, tidak berada dalam posisi ekstrem kiri maupun kanan. Hal
itu didasarkan pada firman Allah Swt:
اًديِه َش ْمُكْيَلَع ُلوُسَّرلٱ َنوُكَيَو ِساَّنلٱ َلَع َءٓاَدَه ُش اوُنوُكَتِّل اًطَسَو ًةَّمُأ ْمُكَٰنْلَعَج َكِلَٰذَكَو
Dan Kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) manusia umumnya supaya Allah SWT. menja-
di saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekali-
an (QS al-Baqarah: 143).
Cara pandang dan sikap seperti tawasut beserta cara pandang-cara pan-
dang di atas inilah yang menginspirasi NU memosisikan Indonesia sebagai
negara damai (dār al-salām), bukan negara Islam (dār al-Islām). Hal ini da-
pat dipahami karena Indonesia negara majemuk. Terdiri dari agama dan
suku bangsa yang beragam meski secara kuantitas masyarakat Indonesia
mayoritas menganut agama Islam. Para ulama Nusantara mengambil sikap
tengah dalam meletakkan dasar dan ideologi negara, namun tanpa menga-
baikan nilai-nilai universal yang terdapat dalam Islam. Negosiasi dan kom-
promistis antara para Cendekia-Ulama dan Ulama-Cendekia mampu meru-
muskan dasar dan ideologi negara yang disepakati seluruh elemen bangsa.
Proses yang dinamis di tubuh NU dalam memandang negara bangsa, se-
perti perahu yang mendayung di antara dua pulau, yaitu sebagai gerakan
sosial keagamaan dan keumatan (jam’iyah dan jama’ah al-nahdliyah) serta
kekuatan politik berbasis massa (umat) yang terus melekat dalam gerakan
nalar, kultural, dan aktualisasi spirit sosial kebangsaannya. Sebab itu, dalam
berbangsa dan bernegara, NU memiliki pandangan bahwa negara telah dise-
pakati bersama, maka wajib dipelihara dan dijaga eksistensinya. Pemimpin
negara (pemerintah) yang sah, harus ditempatkan pada kedudukan yang
terhormat dan mesti ditaati selama tidak menyimpang atau bertentangan
dengan perintah Allah Swt. Apabila terdapat kebijakan yang lalai atau ke-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 91
salahan dari pihak pemerintah, memperingatkannya dengan jalan yang ma-
kruf.
Upaya atau jalan pengabdian yang ditempuh NU dipotret dengan baik
oleh KH. Abdurrahman Wahid atau sering dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur
mencoba memetakan pendekatan yang dijalankan NU cenderung menggu-
nakan pendekatan kultural dan sosiokultural dalam menjalankan strategi
dan gerakannya dalam pengembangan umat. Pendekatan kultural yaitu be-
rupa kecenderungan menampilkan sosok Islam dalam kesadaran hidup se-
hari-hari tanpa terlalu dikaitkan dengan kelembagaan apa pun. Kalaupun
perlu, hanya dalam konteks mendukung proses penyebaran Islam seca-
ra kultural itu sendiri. Kemudian pendekatan sosiokultural, yang menguta-
makan sikap mengembangkan pandangan-pandangan keagamaan dan pe-
rangkat kultural. Pendekatan ini, di samping melengkapi diri dengan upaya
membangun sistem kelembagaan masyarakat sesuai dengan wawasan bu-
daya yang ingin dicapai. Selain itu, pendekatan ini mementingkan kiprah bu-
daya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mengu-
bah struktur masyarakat dalam jangka panjang (Hasyim Muzadi, 1999).
Karakter, strategi, dan pendekatan NU ini sejatinya tidak tercerabut
dalam sumber teks-teks turas sebagai landasan berpikir dan beramal ala
jam’iyah dan jama’ah al-Nahdliyah Nahdlatul Ulama. Untuk itu diperlukan
perangkat tinjauan epsitemologi dalam memahami landasan berpikir (fik-
rah) yang digunakan NU sehingga menghasilkan rumusan pemikiran keaga-
maan yang kokoh, kontekstual, dan terus relevan agar mendapat spirit dan
visi keislaman yang salih fi kulli zaman wa makan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan data
kepustakaan karena yang menjadi objek utama dalam penelitian ini adalah
penafsiran atas teks-teks turas. Ada pun definisi metode kualitatif merupa-
kan metode pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak
dirancang menggunakan langkah-langkah kerja statistik (Taufik Abdullah,
2004). Penelitian ini juga menggunakan teknik observasi dan pengumpul-
an literatur pustaka.
Teknik observasi merupakan pengamatan dalam penelitian yang bergu-
na membantu mendapatkan data-data di berbagai literatur. Ada pun data
yang dijadikan sumber primer sebagai berikut: Beberapa ayat Al-Qur’an, ha-
dis berkaitan dengan cinta tanah air dalam Kitab Fatḥ al-Bārī fī Sharḥ Ṣaḥīḥ

92 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
al-Bukhārī karya Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Zad al-Ma’ad Fi
Hadyi Khair Al ‘Ibaad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan Tafsir-tafsir Al-
Qur’an maupun tafsir atas teks-teks turas tersebut. Jejaring makna atas
teks-teks tersebut akan menciptakan apa yang disebut dengan intertekstu-
alitas (Komaruddin Hidayat, 1996). Penulis juga menggunakan metode her-
meneutika untuk menganalisis dan menjelaskan bagaimana hubungan NU
dengan perpolitikan Indonesia dalam tinjauan teori epistemologi, sehingga
nantinya diperoleh suatu pemahaman yang utuh (Raco, 2010).
Epistemologi sebagai Pisau Analisis
Epistemologi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu episte-
me (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan, informasi)
(Parida, Syukri, Badarussyamsi, dan Rizki, 2021). Epistemologi adalah ca-
bang filsafat yang berperan untuk menyelidiki asal muasal, susunan, me-
tode-metode, dan sahnya pengetahuan. Hal itu dapat dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan mendasar seperti: apakah pengetahu-
an itu? Seperti apakah pengetahuan itu? Bagaimana cara memperoleh pe-
ngetahuan itu? (Louis O. Kattsoff, 2004). Sementara itu, Suriasumantri me-
ngemukakan epistemologi merupakan pembahasan yang dilakukan secara
mendalam melalui beberapa proses yang terlihat dalam usaha kita untuk
mendapatkan pengetahuan (Suriasumantri, 1980).
Konsep tersebut memiliki paradigma yang melahirkan sebuah gagasan
dalam pemikirannya. Ada pun konsep dasar dari pembahasan epistemolo-
gi adalah mengacu kepada cabang filsafat yang mempelajari teori pengeta-
huan manusia, khususnya pada empat masalah di antaranya: Pertama, sum-
ber ilmu pengetahuan. Kedua, sebagai alat pencapaian pengetahuan. Ketiga,
metode pencapaian pengetahuan. Keempat, batasan atau klasifikasi penge-
tahuan (Wely Dozan, 2019).
Dalam konteks NU, epistemologi ijtihad bahwa Indonesia merupakan
dār al-salām bersumber pada pernyataan (qaul) dan (manhaj) para ula-
ma salaf terdahulu yang tersebar dalam kitab-kitab turas. Artinya, NU tidak
langsung merujuk pada sumber utama Al-Qur’an dan hadis, melainkan me-
nekankan pada aspek sanad para ulama yang bersambung (muttasil) hingga
kepada Rasulullah saw. Lau la al-isnād laqāla man syā’a mā syā’a. Amal saleh
harus disandarkan (mu’tamad) pada keilmuan yang memiliki otoritas-oto-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 93
ritas agama yang kredibel dan tepercaya. Karena jika tidak demikian, setiap
tindakan tersebut dianggap tidak diterima di sisi Allah Swt.
NU dalam Lintasan Sejarah
NU didirikan oleh sejumlah ulama tradisional dan usahawan Jawa Ti-
mur pada tahun 1926. Pembentukannya sering kali dijelaskan sebagai reak-
si atas aktivitas kelompok reformis yang bersikap kritis terhadap keperca-
yaan lokal beserta berbagai praktiknya dan menentang otoritas tradisional
(G. Barton, 2021). Mulanya, NU didirikan bukan merupakan upaya menen-
tang terhadap ide modernisasi pelajaran sekuler seperti: sains, matematika,
bahasa Eropa, dan sebagainya, yang dilakukan Muhammadiyah. Ketegang-
an terjadi secara substansial antara kedua kelompok pada masa penduduk-
an Jepang. Benar-benar tersublimasi melalui pembentukan Partai Masyumi
(G. Barton, 2021). Perebutan dan kontestasi gagasan antara Muhammadiyah
dan NU terjadi dalam berbagai aspek: dalam wacana keagamaan, pendidik-
an, sosial masyarakat, relasi negara dan agama, hingga aspek kesejahteraan
dan pemberdayaan sosial terjadi dari generasi ke generasi.
Kendati demikian, kontestasi kedua ormas ini telah membantu masya-
rakat sipil terus berkembang bahkan di bawah rezim otoriter sekalipun (G.
Barton, Ihsan Yilmaz, dan Nicholas Morieson, 2021). Pemberdayaan umat
yang dilakukan seperti NU dan Muhammadiyah mampu meringankan be-
ban negara dalam menjalankan tugas pokoknya, yaitu melindungi dan men-
jaga kelompok masyarakat lemah dan tak berdaya. Misalnya dalam bidang
pendidikan, kedua ormas tersebut telah menyediakan sekolah dan pesan-
tren bagi kelompok tidak mampu tanpa biaya sepeser pun di pelosok-pelo-
sok negeri.
Kembali ke inti pembahasan NU. Sebagaimana tercantum dalam Mukad-
dimah Khittah NU, tujuan didirikannya NU sebagai jam’iyah diniyah (orga-
nisasi keagamaan) adalah wadah para ulama beserta pengikutnya dengan
tujuan memelihara, melestarikan, dan mengamalkan ajaran Islam yang ber-
haluan Ahlusunah Waljamaah (G. Barton, Ihsan Yilmaz, and Nicholas Morie-
son, 2021). Paham ini meliputi bidang keimanan (tauhīd al-aqīdah) meng-
anut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam bidang hukum (fikih) menganut Imam Empat Mazhab: Hanafi, Mali-
ki, Syafi’i dan Hanbali. Bidang etika (tasawuf) mengikuti Abu al-Qasim al-

94 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Kemudian prinsip dasar sosial dan poli-
tik bahkan keagamaan NU senantiasa berpijak pada lima pilar, yaitu tegak
lurus (iktidal), moderatisme (tawasut), toleran (tasamuh), keseimbangan
(tawazun) dan kebaikan bersama (maṣlahah ‘āmmah) (Kang Young Soon,
2007).
Selain fokus pada melindungi tradisi keagamaan, NU juga memfokus-
kan diri dalam ranah sosial. Di antara langkah-langkah yang dilakukan ada-
lah mendirikan pondok pesantren sebagai basis pengajaran yang berada di
desa-desa. Pembelajaran di pesantren tidak hanya soal keagamaan, tetapi
juga para kiai memberikan pembelajaran tentang laku sosial di masyarakat.
Tujuannya yakni untuk meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah
sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan pada umumnya. Pemberdayaan eko-
nomi di lingkungan NU, mulanya warga bekerja gotong royong bersama kiai.
Ekonomi pesantren diperoleh dari sumber ekonomi keluarga kiai sendiri.
Pemberdayaan ekonomi dalam bentuk perdagangan, agribisnis, dan indus-
tri kecil (Kang Young Soon, 2007).
Ide tentang pemberdayaan sosial sendiri sebenarnya sudah dimulai se-
belum NU secara organisasi berdiri. Awalnya KH. Abdul Wahab Hasbul-
lah mendirikan Tashwirul-Afkar bersama Dahlan Ahyat di kota yang sama.
Kemudian pada 1918, KH. Wahab Hasbullah juga memelopori berdirinya
Nahdlatut-Tujjar, sebuah lembaga ekonomi yang kemudian diketuai oleh
Hasyim Asy’ari sendiri. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam bidang ekonomi. Baik Nahdlatul Wathan, Nahdlatut-Tujjar, dan Tas-
wirul-Afkar bergerak di bidang sosial meski objek tujuannya berbeda.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga yang sangat fokus dalam
pemberdayaan masyarakat adalah Nahdlatut-Tujjar. Lembaga ini dilatarbe-
lakangi oleh semakin tersingkirnya perekonomian lokal dan bumiputra oleh
penetrasi Belanda, Cina, sehingga tercipta kemiskinan di desa-desa pada
1910an. Nahdlatut-Tujjar didirikan oleh kalangan pesantren seperti figur
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan pedagang-pedagang kecil
dari tiga kota: Surabaya, Jombang, dan Kediri. Nama usaha ini adalah Syirka-
tul-Inan sebagai himpunan dari Nahdlatut-Tujjar. Alasan pendiriannya tidak
hanya motif ekonomi, tetapi juga didorong oleh perlunya melakukan gerak-
an ekonomi yang mandiri bagi orang-orang bumiputera.
Urgensi menopang kemandirian ekonomi itulah dalam deklarasi Syirka-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 95
tul-Inan sebagai bagian dari Nahdlatut-Tujjar. Untuk menjalankan misi so-
sial tersebut, NU bertumpu pada pesantren-pesantren miliki para kiai. Pe-
santren sendiri bisa dikatakan senantiasa terlibat aktif dalam dinamika
permasalahan masyarakat. Secara historis, pesantren terkenal sebagai lem-
baga pembelajaran gratis atau setidaknya murah. Pertumbuhan pesantren
selama periode kolonial dipicu oleh kebutuhan untuk pendidikan, karena
pemerintah tidak serius dalam menyediakan sekolah bagi rakyat. Sebuah
survei tentang pendidikan bagi penduduk pribumi pada abad ke-19 dilaku-
kan oleh Ricklef, yang menunjukkan bahwa hingga awal abad kedua puluh,
pendidikan yang diberikan oleh Pemerintah Belanda hanya ditunjukkan un-
tuk kalangan elite. Dalam pesantren, motif agama dan sosial tampaknya te-
lah tertanam dalam semangat kesukarelaan dan tanggung jawab sosial yang
mendorong masyarakat merasa memiliki pesantren (Greg Barton, 2021).
Perjuangan para pendiri NU seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Has-
bullah, dan KH. Bisri Syansuri, patut diteladani. Di samping totalitas KH. Ah-
mad Siddiq dalam memperjuangkan NU juga patut diacungi jempol. Dengan
kedalaman ilmu, keluhuran budi, keluasan relasi, dan kesungguhan hati da-
lam mengabdikan jiwa raganya bagi rakyat, nusa, dan bangsa. Mereka te-
lah berjuang habis-habisan mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi, mendidik
anak bangsa, mereformasi dekadensi moral, memberdayakan dan kesolidan
para ulama dan pemerintah dalam menyukseskan satu tujuan merdeka, dan
membangun bangsa. Spirit perjuangan sosial pendiri NU di atas itulah yang
menjadikan NU menyebar dengan cepat dari Sabang sampai Merauke. Spirit
perjuangan sosial para kiai NU tidak lepas dari interpretasi agama baik ber-
sumber dari Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan wajibnya menolong se-
sama khususnya bagi kelompok yang tidak berdaya dan teraniaya.
Menurut Ali Maschan tugas pokok para kiai adalah menciptakan ke-
sejahteraan umum: wa ma arsalnaka illa rahmatan lil-‘alamin. Rahmatan
lil-‘alamin di sini mengandung tiga tugas pokok, yakni: pertama, hendak-
nya setiap individu menjadi sumber kebaikan atau kesejahteraan bagi yang
lain. Kedua, menegakkan keadilan di alam raya. Ketiga, merealisasikan ke-
maslahatan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan konsep maslahat adalah
al-mashlahatul-haqiqiyah yang meliputi dan melindungi lima aspek pokok
di antaranya: menjaga agama, nyawa, harta, kebebasan berpikir, dan ketu-
runan. Lebih konkretnya, menurut Ali Maschan, bahwa sumbangan para kiai

96 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
terhadap penguatan masyarkat sipil dilakukan melalui dimensi pendidikan,
ekonomi, dan penegakan keadilan (amar makruf nahi munkar). Masyarakat
Indonesia yang mayoritas Islam memang membutuhkan kepemimpinan ro-
hani yang bisa diteladani dari para kiai (Lukman Hakim, 2004).
Dan hal ini bisa dipenuhi oleh para kiai pesantren. Sedangkan pesantren-
nya merupakan pusat pendidikan dan aktivitas spiritual. Kegiatan-kegiat-
an keagamaan seperti sembahyang jemaah di masjid, selamatan, syukur-
an, melakukan upacara doa, kuliah agama yang berisi nasihat pada acara
khitanan, kematian, dan pernikahan, merupakan hal-hal yang mengisi dan
memberikan makna hidup pada masyarakat. Mereka membutuhkan guru
dan pemimpin yang bisa diminta pertimbangan, meminta keputusan ten-
tang hal-hal yang mereka perselisihkan. Dan pondok pesantren sebagai pu-
sat pendidikan, sumber kepemimpinan informal, juga menyediakan ruang
bagi kegiatan-kegiatan sudah barang tentu mengandung berbagai kemung-
kinan untuk menjalankan peranan yang lebih luas.
Walhasil, kiai dan pesantrennya telah memberikan sumbangan yang sa-
ngat berharga bagi dunia pendidikan maupun bagi kebangkitan masyarakat
sipil. Lebih dari itu, para kiai berusaha memberi inspirasi, motivasi, dan sti-
mulus, agar seluruh potensi masyarakat diaktifkan dan dikembangkan se-
cara maksimal dengan kegiatan pembinaan pribadi, kerja produktif, karya
ilmiah, penemuan dan penciptaan yang diarahkan bagi kesejahteraan ber-
sama. Dengan demikian, kehadiran mereka benar-benar merupakan rah-
mat bagi masyarakat banyak, yang meliputi seluruh cakrawala, dan dimensi
kehidupan secara total, integral dalam globalitas, dan upaya yang disajikan
bersifat sukarela.
Dalam dimensi ekonomi, upaya-upaya kiai untuk memberdayakan ma-
syarakat terwakili pada program-program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh pondok-pondok pesantren. Di antaranya adalah Biro Pe-
ngembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) Pondok Pesantren Masla-
kul Huda, Kajen, Pati Jawa Tengah; Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) Pon-
dok Pesantren Nuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep Madura; Balai Pengkajian
dan Pengembangan Masyarakat (BPPM) Pondok Pesantren Pabelan, Munti-
lan, Jawa Tengah; dan Biro Pengembangan Masyarakat (BPM) Pondok Pe-
santren Cipasung, Tasikmalaya (Lukman Hakim, 2004).
Berangkat dari prinsip al-muhāfaẓah ‘alā qadīm al-ṣālih wa al-akhḍu bi

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 97
al-jadīd al-aṣlah, dinamika pemikiran fikih di tubuh NU mengalami perge-
seran, dari fikih sebagai paradigma kebenaran ortodoksi menjadi paradig-
ma pemaknaan sosial. Jika yang pertama merujuk pada kebenaran fikih,
yang kedua menggunakan fikih sebagai wacana tandingan dalam belantara
politik pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperli-
hatkan watak hitam putih dalam memandang realitas, yang kedua memper-
lihatkan wataknya yang bernuansa dinamis dalam memandang realitas (Sa-
hal Mahfudh, 2012).
Begitu pun dalam hal politik, Dia tidak hanya berperan sebagai jam’iyah
sosiokultural, tetapi juga sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di
ranah politik. NU merupakan wadah berjejaringnya para ulama dan pesan-
tren dalam praktik agama yang mengedepankan tradisi maupun kebebasan
dalam berpikir keagamaan yang tidak sepenuhnya mengedepankan konser-
vatisme. Sebab itu, praktik politik yang dijalankan NU menggunakan politik
komunalisme yang dilakukan kalangan santri dan Nahdiyin lainnya di mana
sikap rasionalisme tak terlalu ditonjolkan (Wasisto R. Jati, 2012). Hal ini da-
pat dipahami karena NU bertumpu pada modifikasi kultur tradisi patronasi
ulama dan santri, sehingga sebagian pihak menyebut bahwa NU adalah pe-
santren besar, sedangkan pesantren adalah NU kecil. Adanya dikotomi kau-
salistik ini yang menjadikan fleksibel bisa hadir dalam relasi kultur dan po-
litik (Wasisto R. Jati, 2012).
Pertautan antara ulama dan politik praktis dan rezim birokratis dalam
skala nasional maupun lokal telah terjalin sejak lama. Ada pun konteks per-
tautan terjadi semenjak ulama NU menduduki pejabat tinggi di level le-
gislatif maupun eksekutif. Sebut saja nama-nama KH. Wahid Hasyim dan
KH. Masykur menjadi menteri agama dalam Kabinet Parlementer. KH. Mu-
hammad Ilyas, KH. Wahib Wahab, dan KH. Saifudin Zuhri, secara berganti-
an menjadi menteri agama pada masa kepemimpinan Soekarno (Wasisto R.
Jati, 2012). Tak hanya di ruang lingkup birokrasi yang diisi oleh orang-orang
NU, kebesaran NU di politik praktis bisa dibilang sukses. NU pernah berco-
kol dan berkuasa di kancah pemilu nasional. Indikasi ini bisa dilihat pada
pemilu 1955, NU memperoleh 45 kursi parlemen atau 35 kursi lebih banyak
ketika NU masih merapat di Partai Masyumi (Fealy, 2007). Dalam pemilu
1971, Partai NU mendulang persentase kedua (18,67% suara) dari jumlah
pemilih sembilan partai politik dan Golkar. Sementara parpol Islam lain se-

98 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
perti Permusi hanya meraih suara 5,36%, PSII memperoleh suara 2,36%,
dan Perti hanya 0,7% suara. NU setidaknya dapat mengoptimalkan pero-
lehan suara di pelosok pedesaan di mana basis Islam tradisional. Ada pun
peleburan Partai NU ke dalam tubuh PPP yang dilakukan rezim Orde Baru
tidak serta-merta membuat basis politik NU goyah. NU menjadi elemen or-
ganik di setiap pelaksanaan pemilu (Wasisto R. Jati, 2012).
Namun demikian, suara perolehan suara PPP perlahan menurun sejak
dileburnya NU ke dalam PPP hingga puncaknya terjadi penurunan drastis
18% suara di pemilu 1987 dibanding pemilu 1982 yang hampir mencapai
31,3% suara. Ada pun sumber penurunan suara PPP bersumber disebabkan
pada Muktamar NU Desember 1983 di Situbondo menetapkan NU mena-
rik diri dari wilayah politik praktis yang dirasa tidak menguntungkan orga-
nisasi. Era ini menandai bahwa NU kembali pada semangat (khittah) pendi-
rian NU pada tahun 1926 yang menginginkan NU tetap menjadi organisasi
(jam’iyah) sosiokultural yang memperjuangkan Islam tradisional. Aplikasi
kembali ke khittah memiliki implikasi terhadap internal dan eksternal di ka-
langan warga Nahdiyin. Secara internal, Khittah 1926 memiliki maksud se-
cara organisasi untuk lebih memuliakan posisi ulama senior dalam pengam-
bilan keputusan strategis. Selain itu, NU juga melakukan regenerasi dalam
tubuh organisasi di mana ada peran tokoh muda NU dalam kepengurusan
dalam bentuk Dewan Tanfidziyah (pelaksana eksekutif organisasi) (Achids-
ti, 2010). Tanfidziyah kemudian berkembang menjadi organ dominan yang
melebihi kuasa Syuriyah (dewan tertinggi organisasi) yang efeknya terasa
hingga Muktamar NU ke-30 di Lirboyo.
Sebaliknya secara eksternal, implementasi Khittah 1926 dimaknai seba-
gai posisi politik tersamar yang dilakukan oleh NU terhadap rezim peme-
rintah dengan melakukan penerimaan asas tunggal Pancasila dengan lebih
menggiatkan peran sosial kemasyarakatan meliputi pendidikan (ma’arif),
kesejahteraan sosial (mubarrat), penyebaran agama (dakwah), dan pereko-
nomian (muamalat) hingga mencapai akar rumput. Bagi warga Nahdiyin,
kembali ke Khittah 1926 memiliki implikasi luas pada pemahaman konteks-
tual dan praktikal NU terhadap politik praktis. Hal itu tercantum dalam lem-
bar Keputusan Muktamar NU No.06/MNU-28/1989 terkait masalah umat
yang di dalamnya memuat pandangan dan sikap NU terhadap politik yang
diutarakan sebagai berikut (Karim, 1995):

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 99
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan war-
ga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menye-
luruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan ke-
bangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang
senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk menca-
pai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur lahir dan batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju
kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai ke-
merdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bang-
sa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk men-
capai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral,
etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikema-
nusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indone-
sia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujur-
an murni dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan pera-
turan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembang-
kan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkukuh
konsensus nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul-karimah
sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlusunah Waljamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalil apa pun, tidak boleh di-
lakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah
belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU ha-
rus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadu dan saling
menghargai satu sama lain sehingga di dalam berpolitik itu tetap di-
jaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kema-
syarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk men-

100 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
ciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kema-
syarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya
sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi
serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Keputusan Muktamar ini menjadi pedoman bagi segenap warga NU dan
menjadikan arena politik menjadi arena perjuangan NU yang meliputi tiga
hal, yakni: tegaknya paham keagamaan Ahlusunah Waljamaah pada kaum
muslim di Indonesia, mengembangkan adanya demokrasi dalam pemerin-
tahan, dan menghargai adanya pluralisme dalam masyarakat. Ketiga stan-
ding point ini (Ahlusunah Waljamaah, demokrasi, dan pluralisme) seolah
menjadi politik identitas warga NU yang kemudian terus diperjuangkan
sampai menjelang kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 (Wasisto
R. Jati, 2012). Euforia kejatuhan Orde Baru menciptakan liberalisasi politik
dan elite-elite yang berada NU ikut juga membentuk partai politik yang me-
miliki basis massa warga NU. Sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummah Indonesia
(PNUI) mewarnai lahirnya multipartai pasca-Orde Baru.
Realitasnya, PKB menjadi partai yang berhasil mengidentifikasi dirinya
sebagai representasi partai warga Nahdiyin. Hal itu tidak terlepas dari salah
satu pendirinya, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang diang-
gap memiliki pengaruh besar di kalangan NU. Gus Dur dinilai mampu mem-
bangun soliditas kepartaian dengan sering melakukan kunjungan ke sejum-
lah pesantren dan mendapat dukungan dan restu dari berbagai kiai khas NU
seperti KH. Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan, KH. Ilyas Ruhiat dari
Pesantren Cipasung, maupun kiai karismatik lain yang menyebabkan ada-
nya preferensi politik bagi kalangan warga NU untuk memilih PKB. Hasilnya
tampak pada hasil Pemilu 1999 di mana PKB berhasil meraih posisi kedua
di bawah PDIP dengan perolehan suara 13.336.982. Hasil pemilu ini sema-
kin mengonfirmasi bahwa PKB sebagai partainya orang NU.
Kendati demikian, hubungan NU dan PKB tidak selamanya harmonis. Ta-
rik-menarik kepentingan terjadi antara para ulama di NU dan elite politik
PKB sehingga melahirkan poros di berbagai pesantren. Dalam dinamika lo-
kal NU, poros dimaknai sebagai episentrum pemusatan pengaruh kekuasa-
an politik dan kultural ulama secara informal yang kemudian berjejaring ke
pesantren-pesantren lainnya. Terciptanya poros pesantren biasanya digagas

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 101
oleh kiai sepuh baik secara individu maupun kolektif. Poros ini berkembang
menjadi forum konsultasi bagi para alim ulama untuk memberikan penilai-
an dan dukungan politis terhadap entitas tertentu secara moral dan kultu-
ral (Wasisto R. Jati, 2012).
Epistemologi Dār al-salām sebagai Ijtihad Ulama NU
Dār al-salām terdiri dari dua kata yaitu “dar” dan “al-salām”. “Dar” berar-
ti negara dan salam memiliki arti keselamatan, damai, tenteram, dan aman.
Dār al-salām secara etimologi adalah negara yang kedaulatan dan keberada-
annya diakui dan berlangsung dalam keadaan damai dan aman. Sedangkan
kata “ijtihad” memiliki dasar kata “ja-ha-da” yang memiliki arti berusaha,
upaya. “Ijtihad” mengandung arti mencurahkan segenap kemampuan berpi-
kir untuk menggapai suatu pemikiran melalui premis-premis (Ibn Madzur,
1999). KH. Said Aqil Siradj menjelaskan pengertian ijtihad adalah mencu-
rahkan pikiran dalam rangka menggali makna-makna yang tersingkap da-
lam kalam Ilah, baik dalam bidang syariat, teologi, maupun etika, dan siasat.
Menurutnya, asumsi bahwa pintu ijtihad telah tertutup sebenarnya tidak
berdasar. Selain tidak jelas siapa yang menyatakan, ide itu mengebiri ino-
vasi umat Islam sebagai khaira ummah (umat terbaik). Kalaupun tidak me-
mungkinkan munculnya mujtahid mutlak kaliber Imam Abu Hanifah atau
Imam Syafi’i, setidaknya muncul mujtahid fatwa atau mujtahid tarjih. Ka-
langan pesantren memungkinkan melahirkan mujtahid seperti itu (KH Said
Aqil, 2006).
Dalam Al-Qur’an maupun hadis, tidak ada nas yang tertulis agar mem-
bentuk suatu negara dengan sistem tertentu. Namun Al-Qur’an mengisya-
ratkan suatu negara yang aman sentosa serta diberikan kelimpahan rezeki.
Berdasarkan pada QS al-Baqarah ayat 126:
ُهُعِّتَمُأَف َرَفَك ْنَمَو َلاَق ِرِخٰ ْلٱ ِمْوَيْلٱَو ِهَّللٱِب مُهْنِم َنَمٰا ْنَم ِتاَرَمَّثلٱ َنِم ُهَلْهَأ ْقُزْرٱَواًنِمٰا اًدَلَب اَذٰه ْلَعْجٱ ِّبَر ُمْيِهاَرْبِإ َلاَقْذِإَو
ُيرِصَمْلٱ َسْئِبَو ِراَّنلٱ ِباَذَع َٰلِإ ُهُّرَطْضَأ َّمُث ًليِلَق
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buah-
an kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah
dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir

102 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menja-
lani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. ”
Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan ke-
sejahteraan kota Makkah saja. Tapi juga mengandung isyarat tentang perlu-
nya setiap muslim agar senantiasa berdoa untuk keselamatan dan keaman-
an wilayah tempat tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh rezeki
yang melimpah (Quraish Shihab, 2004). Dalam salah satu hadis yang diriwa-
yatkan oleh Siti Aisyah disebutkan pula bahwa Rasulullah saw berdoa agar
dirinya dan para sahabat mencintai Kota Madinah sebagaimana cintanya ke-
pada Makkah (Fatḥ al-Bārī�, 6/6). Hadis ini pula menunjukkan keutamaan
Kota Madinah dan mengisyaratkan disyariatkannya cinta tanah air dan rin-
du kepadanya.
Ayat dalam QS al-Baqarah ayat 126 dan juga hadis yang diriwayatkan
Siti Aisyah menjadi dasar ijtihad para ulama NU menjadikan Indonesia bu-
kan sebagai negara Islam (dār al-Islām), melainkan negara damai (dār al-
salām). Para ulama NU menjadikan Islam sebagai inspirasi dan meletakkan
nilai-nilai universal Islam sebagai dasar negara. Ijtihad para ulama NU ini di-
perkuat oleh fakta historis yang menunjukkan Nabi Muhammad saw tidak
menganjurkan apalagi memerintahkan bentuk sebuah negara. Karena itu,
berbagai negara di penjuru dunia menggunakan berbagai sistem dan ben-
tuk, mulai bentuk khilafah yang demokratis hingga bentuk dinasti (monar-
ki) yang absolut. Hal ini karena tidak ada nas sharih yang mengatur ben-
tuk negara. Sebab pembentukan negara merupakan persoalan politik yang
teknisnya disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing, selama men-
dekatkan kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudaratan (Adnan
al-Afyuni, tt).
ٌيْحَو ِهِب َلَزَن َلَو ُلْوُسَّرلَا ُهْعَضَي ْمَل ْنِإَو ، ِداَسَفْلا ِنَع َدَعْبَأَو ، ِح َلَّصلا َلِإ َبَرْقَأ ُساَّنلَا ُهَعَم ُنْوُكَي ًلْعِف َناَك اَم ُةَساَيِّسلَا
Politik (siasat) adalah segala cara yang bisa mendekatkan kemasla-
hatan hidup untuk segenap rakyat (manusia) dan menjauhkan mere-
ka dari kerusakan, meskipun tidak diatur secara langsung oleh Rasul
ataupun wahyu (Ibnu Qayim, 1961).

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 103
Di antara yang menjadi nilai-nilai adalah kemaslahatan. Salah satu orien-
tasi dan tujuan dibentuknya NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara ada-
lah mencapai kemaslahatan bersama. ِةَحَلْصَمْلاِب ٌطْوُنَم ِةَّيِعَّرلا َلَع ِماَمِْلا ُفَُّصَت. Kebijakan
publik seorang pemimpin harus berorientasi pada kepentingan publik (ke-
maslahatan). Lebih jauh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya al- Ṭurūq
al-Hukmiyah fī Siyāsah al-Shar’iyah mengandaikan yang dikatakan negara
Islam bukan dalam bentuk formalnya, namun ketika keadilan sudah dirasa-
kan oleh masyarakat, di situlah syariat dan agama Allah Swt berada. Sistem
apa pun yang telah memberikan jaminan keadilan, maka hal itu tidak ber-
tentangan dengan agama (Ibnu Qayyim, 1961). Dengan demikian, selama ni-
lai-nilai keislaman itu diimplementasikan ke dalam kebijakan negara mau-
pun politik, negara itu bisa dikatakan islami. Hal yang paling utama adalah
kemaslahatan manusia sebagai tujuan bersama.
Ibnu Rusyd mengingatkan untuk terus membuka pintu ijtihad. Pasal-
nya, persoalan-persoalan kehidupan terus berkembang secara tak terba-
tas. Sementara teks-teks agama sangat terbatas. Tanpa kerja ijtihad yang te-
rus-menerus, tidak mungkin sesuatu yang tak terbatas bisa dijawab dengan
sesuatu yang terbatas (Ibnu Rusyd, 1988). Seluruh produk hukum yang di-
gali melalui proses ijtihad harus mengusung muatan kemaslahatan yang se-
laras dengan nilai-nilai universal syariat. Rumus-rumus hukum yang tidak
memiliki muatan kemaslahatan harus dibatalkan karena sudah tidak seja-
lan dengan cita-cita syariat (maqashidusy-syari’ah). Hal itu sesuai dengan
spirit kaidah usul fikih, la dharara wa la dhirar. Kemaslahatan dharuri seba-
gai inti tujuan syariat: menjaga dan memelihara agama (hifzhud-din), men-
jaga dan memelihara jiwa (hifzhun-nafs), menjaga dan memelihara akal (hif-
zhun-’aql), menjaga dan memelihara keturunan (hifzhun-nasl), dan menjaga
serta memelihara harta (hifzhun-mal).
Hal senada juga diungkapkan oleh ulama Azhar berkenaan dengan dār
al-Islām. Bahwa klasifikasi negara dalam bentuk negara kafir dan negara Is-
lam adalah urusan ijtihad yang telah terjadi sejak masa para imam mujtahid.
Di sana tidak ada penjelasan dari Al-Qur’an atau hadis. Para ulama berkata:
“Ruang lingkup hukum tentang negara yang disebut negara Islam atau ne-
gara kafir terletak pada keamanan dalam melakukan agama. Sehingga sean-
dainya ada orang Islam hidup di sebuah negara yang tidak memiliki agama
atau agamanya selain Islam, namun ia mampu menampakkan syiar agama

104 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Islam dengan bebas, itu adalah negara Islam, dalam arti ia tidak wajib hijrah
meninggalkan negara tersebut” (Bayan Linnas minal Azhar al-Syarif, 1935).
Dalam pandangan serupa, Syekh Abu Zahrah mengemukakan dua pendapat
ulama ahli fikih tentang negara Islam dan negara kafir, kemudian beliau me-
milih pendapat Abu Hanifah, yaitu negara yang disebut negara Islam ada-
lah terletak pada rasa aman seorang muslim (dalam menjalankan agama-
nya). Jika ia merasa aman dengan posisinya sebagai muslim, maka negara
tersebut adalah negara Islam. Jika tidak merasa aman, ‘negara perang’. Abu
Zahrah berkata: “Pendapat ini lebih sesuai dengan makna Islam” (Fatāwā al-
Azhār, 10/119).
Jadi, yang dikatakan negara Islam berdasarkan uraian di atas, selain me-
nitikberatkan pada kemaslahatan umat, juga terletak pada rasa aman dan
bebas untuk menjalankan ibadah beserta syiar-syiar agama Islam. Seja-
uh pengamalan dan ekspresi keberagamaan terlaksana (aman dan merde-
ka menjalankan agama), tak ada kewajiban untuk berpindah tempat ting-
gal atau meninggalkan kampung halamannya. Justru dia wajib patuh dan
taat pada aturan dan kebijakan pemerintah tersebut. Hal itu berdasarkan
Al-Qur’an Surah an-Nisa ayat 59:
ْمُكْنمِرْمَْلا ِلْوُأَو َلْوُسَّرلااْوُعْيِطَاَو َهّٰللا اْوُعْيِطَااْوُنَمٰا َنْيِذّلااَهُّيَأَي.
Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani menyinggung ayat di atas, menyata-
kan bahwa beliau sangat menghormati keputusan pemerintah, bah-
kan beliau menolak untuk mengakadi ulang pernikahan yang sudah
disahkan oleh kadi. Andai pun pemimpin tertinggi negara mengang-
kat seorang kadi yang fasik, keputusannya sah dan harus dihormati
(al-Minan al-Kubra, h. 275). Sebaliknya, para ulama NU melarang un-
tuk memberontak terhadap pemerintah yang sah. Larangan membe-
rontak juga ditegaskan oleh Wahbah Zuhaili yang menyatakan tidak
diperbolehkan memberontak pemerintah disebabkan kesalahan ti-
dak mendasar yang tidak menabrak nas qat’i, baik dihasilkan dengan
ijtihad atau tidak, demi menjaga persatuan umat dan mencegah di an-
tara mereka.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 105
Sementara itu, Al-Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi sebagaimana di-
kutip al-Imam Muhammad bin Ahmad ar-Ramli lebih tegas menghukumi
orang atau kelompok yang berbuat pemberontakan (makar). Dia menegas-
kan bahwa ulama sepakat tindakan makar (pemberontakan) terhadap pe-
merintah yang sah adalah haram, meski pemerintah fasik atau zalim. Sebab
pemberontakan dapat menimbulkan fitnah yang sangat besar seperti per-
tumpahan darah, perselisihan antargolongan, dan lain-lain (ar-Ramli, Gayat
Bayan Syarah bin Ruslan, 1/27).
Ijtihad para Ulama NU sebagai negara damai (dār al-salām) sejak berdiri-
nya NKRI hingga hari ini terbukti memberikan fondasi kokoh dalam memba-
ngun persatuan bangsa. NKRI berdiri tegak bertahan menghadapi beragam
ujian, rintangan, dan rongrongan ideologi transnasional yang berpoten-
si memorak-porandakan keutuhan dan persaudaraan anak bangsa. Selain
itu, para Ulama NU senantiasa menginterpretasi teks-teks keagamaan de-
ngan nuansa kontekstual dan relevan sehingga memproduksi makna-mak-
na yang dapat menguatkan tali-tali tenun kebangsaan dan penuh persauda-
raan, mampu merangkul berbagai pihak sekalipun berbeda keyakinan, suku,
etnis, dan budaya.
Wajar jika NU menjadi organisasi masyarakat terbesar di Indonesia,
menjangkau hingga ke penjuru pelosok. Survei Lingkaran Survei Indone-
sia (LSI) pada tahun 2023 misalnya, menemukan bahwa warga Nahdiyin
naik signifikan dalam 20 tahun terakhir. Temuan tersebut menegaskan bah-
wa NU menjadi ormas yang dapat menentukan arah nasib dan masa depan
bangsa ke depan. Sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi Pengurus Be-
sar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang akan menakhodai perahu besar bernama
NU berlayar memasuki abad keduanya.
Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi sebuah nega-
ra yang sangat islami jika ditinjau dari epistemologi ijtihad para Ulama
NU dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Hal itu diper-
kuat oleh fakta empiris di mana umat muslim Indonesia bisa melaksana-
kan dan mengekspresikan keyakinan di ranah privat maupun publik. Be-
lum lagi sejumlah ajaran Islam yang diakomodasi dalam hukum legal formal
undang-undang. Seperti undang-undang pernikahan, zakat, infak, sedekah,

106 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
wakaf, dan sebagainya. Begitu pun regulasi tentang halal yang memberikan
jaminan bagi konsumen muslim untuk mengonsumsi makanan, minuman,
fesyen, kosmetika, yang berlabel halal. Tidak ada alasan lagi bagi warga mus-
lim Indonesia untuk tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara, NKRI,
Undang-Undang Dasar 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Singkat-
nya, apabila ingin membahas hal ibadah, merujuklah kepada Al-Qur’an, ha-
dis, konsensus ulama, dan kias. Sebaliknya, jika ingin membahas hal berma-
syarakat, berbangsa, dan bernegara, merujuklah kepada Pancasila dan UUD
1945.
Dalam tataran politik, pasca kembali ke Khittah 1926, NU selalu berupa-
ya menjaga jarak dalam ranah politik elektoral jangka pendek, sekalipun ba-
sis kantung suara diperebutkan di setiap pemilu. NU memiliki posisi tawar
strategis bagi para aktor politik praktis. Sayang, warga NU kerap kali dijadi-
kan sekadar target sasaran untuk mendulang suara, tetapi sangat jarang me-
libatkan mereka dalam partisipasi politik kebijakan yang menekankan pada
kemaslahatan bersama.
Sebab itu, para Ulama yang bernaung di bawah payung Nahdlatul Ula-
ma mesti mengambil sikap agar tidak terlalu jauh terjerembap dalam jerat
tipu daya politik praktis, dan berusaha kembali kepada spirit Khittah 1926
agar dapat menciptakan NKRI negara tak hanya damai, tapi juga mencipta-
kan masyarakatnya adil, makmur, dan sejahtera (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur). NU memiliki modal dan potensi besar untuk menciptakan
itu semua. Khittah 1926 yang telah dirumuskan oleh ulama pada Muktamar
Situbondo 1984 perlu direvitalisasi lagi guna menyamakan visi dan strategi
dalam mendayungi bahtera memasuki abad kedua NU. Hal itu bukan tanpa
alasan. Banyak warga NU terfragmentasi akibat kemelut yang terjadi di ka-
langan elite NU saat ini. Maka dinamika lokal dalam keislaman NU yang ber-
basiskan pada semangat Ahlusunah Waljamaah, penghargaan akan plurali-
tas, dan semangat kebangsaan yang kuat, harus menjadi pegangan kuat bagi
Nahdiyin dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai esensi NU sebagai or-
ganisasi Islam terbesar di Indonesia kharismanya menurun dan tergerus ka-
rena arus politik praktis.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 107
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana Yog-
yakarta, 2004.
Abdurrahman. 2009. Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa. Volume 15,
Nomor 1:25-34.
Achidsti, Sayfa. 2010. Nahdlatul Ulama: Dalam “Konflik”, Tradisi, dan Rekonsiliasi.
Fikra. Volume 1, Nomor 3:29-40.
al-Afyuni, Adnan. tt. al-’Alaqah Baina ad-Din Wa al-Watan. Kairo: Matba’ah Mustafa
al-Babiy al-Halabi.
Anam, Choirul. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya:
Bisma Satu Printing.
Arifin, Ichwan. 2008. Kiai dan Politik: Studi Kasus Perilaku Politik Kiai dalam Konflik
Partai Kebangkitan Bangsa Pasca Muktamar II Semarang [Tesis]. Semarang: Pro-
gram Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
As’ad, Said Ali. 2008. Pergolakan di Jantung Tradisi. NU yang Saya Amati. Jakarta:
LP3S.
Aqil Siraj, Said. 2012. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Jakarta: SAS Foundation.
Barton, Greg. The Gullen Movement, Muhammadiyah, and Nahdlatul Ulama, 287-
301.
Barton, Greg. Ihsan Yilmaz, and Nicholas Morieson, Authoritarianism, Democracy, Is-
lamic Movements and Contestations of Islamic Religious Ideas in Indonesia Reli-
gions 2021, 12, 641. https://doi.org/10.3390/rel12080641.
Buliet, Richard.1972.The Patricians of Nishapur. Cambridge: Harvard University
Press.
Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES.
Dozan, Wely. Epistemologi Tafsir Klasik Jurnal Falasifa Vol. 10 No. 2 September 2019.
Hakim, Lukman. 2012. Perlawanan Islam Kultural: Relasi Asosiatif Pertumbuhan Civil
Society dan Doktrin Aswaja NU. Surabaya: Eureka.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina.
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. 1961. al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah
(al-Muassasah al-Arabi.
Karim. A.Gaffar. 1995. Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam di Indonesia. Yogyakar-

108 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
ta: LKiS.
Kiswanto, Heri. 2010. Gagalnya Peran Politik Kiai dalam Mengatasi Krisis Multidime-
nasional. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Pres.
Mahfudh, Sahal. 2012. Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta: LKIS.
Makmur, Ahdi. 2006. Ulama dan Penguasa di Indonesia (1945-1965). Jurnal Ittihad.
Volume 4, Nomor 6: 65-80. Muhammad. 2010. Nahdlatul Ulama dan Perubah-
an Budaya Politik di Indonesia. Jurnal el-Harakah. Volume 12, Nomor 1: 57-65.
Muzadi, Hasyim. 2004. NU Pasca Gus Dur. Jakarta: Raja Grafindo.
Manẓūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. tt Beirūt: Dār Iḥyā’ al-Turāts.
al-Qurtubi, Ibnu Rusyd. 1988. Bidayatul-Mujtahid Wa Nihayatul-Muqtasid. Dar al-
Qalam.
Soon, Kang Young. 2007. Antara Tradisi dan Konflik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Al-Ramli, Ahmad Syihabuddin. 1988. Gāyat al-Bayān fī Syarh Zubād Ibn Ruslān. Beir-
ut: Dār al-Qalam.
Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasio-
nal di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute Press.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 109
Melacak Hubungan
Muhammadiyah dengan
Perpolitikan Indonesia
(Tinjauan Epistemologi)
Danur Putut Permadi
Hanif Fitri Yantari
Pendahuluan
Bicara mengenai hubungan Islam dan politik memang tidak dapat dipi-
sahkan. Demikian juga dengan hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan
di Indonesia. Adanya batasan ruang dan waktu, membuat pembahasan me-
ngenai Muhammadiyah dan politik selalu menarik untuk dibedah. Mema-
suki Abad 21 ini, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan dan persoal-
an yang lebih rumit dan kompleks.
Sejak berdirinya, organisasi Islam ini sudah menegaskan diri bukan me-
rupakan bagian dari organisasi politik. Namun lebih terfokus pada organisa-
si Islam yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dengan cara menye-
barkan dakwahnya yang memiliki karakter dan ideologi yang khas.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah memang terlibat dalam politik prak-
tis. Muhammadiyah pernah berinteraksi secara langsung dalam pendirian
partai politik bersama elemen masyarakat lainnya, seperti pendirian Sya-
rikat Islam (SI), PMB, Masyumi pada awal kemerdekaan, dan PAN di awal

110 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Era Reformasi. Muhammadiyah juga pernah menjalankan fungsi partai poli-
tik, sehingga Muhammadiyah menjadi ormaspol (organisasi kemasyarakat-
an politik) (Tanthowi, 2019).
Tarik-ulur hubungan antara Muhammadiyah dan politik tidak pernah
habis, kerap kali mengalami pasang surut. Kader Muhammadiyah mengi-
nginkan warga Muhammadiyah diberi kebebasan untuk berkiprah di bidang
politik. Namun di sisi lain, sebagian kader lainnya ingin tetap mempertahan-
kan muruah Muhammadiyah untuk tidak terlibat langsung dalam aktivitas
politik praktis.
Munculnya perubahan paradigma gerak Muhammadiyah terjadi karena
adanya dorongan internal dari tubuh Muhammadiyah sendiri. Hal ini dika-
renakan secara umum yang aktif dalam kegiatan perpolitikan praktis Mu-
hammadiyah adalah pilihan dari masing-masing kadernya, bukan karena pi-
lihan dari Muhammadiyah sendiri (Al-Barbasy, 2017). Secara garis besar,
para kader Muhammadiyah akan lebih “menambatkan hatinya” kepada par-
tai yang mempunyai pendukung Islam yang banyak. Selain itu, Muhamma-
diyah selalu mendorong kepada anggotanya untuk tidak mendukung partai
yang tidak memberikan dampak yang besar bagi pihak Islam. Upaya politik
dari Muhammadiyah ini tentu berlandaskan kepada kebenaran Islam agar
menjadi contoh bagi kalangan elite politik di Indonesia (Mubarak, 2012).
Dari pemaparan data di atas, peneliti menemukan penelitian yang ma-
sih berkaitan mengenai tema Muhammadiyah dan politik. Nantinya akan di-
gunakan sebagai bahan acuan dan bahan untuk memperkaya analisis data.
Seperti penelitian mengenai Muhammadiyah dan politik yang dikaji oleh
Ma’mun Murod Al-Barbasy. Ma’mun Murod Al-Barbasy menemukan fakta
bahwa Muhammadiyah mengalami dilema mengenai relasinya dengan per-
politikan di Indonesia. Terkadang Muhammadiyah berusaha untuk [men-
jauh—pen] dari kekuasaan, namun sesekali berusaha untuk mendekat
dan menjaga kedekatannya dengan kekuatan politik yang ada (Al-Barbasy,
2017).
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Indah Tri Handayani dan Srie
Rosmilawati. Penelitian ini mengkaji tentang peran perempuan Muhamma-
diyah, yaitu Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, yang terlibat langsung dalam
lembaga politik, serta turut aktif dalam memberikan dukungan kepada pe-
rempuan untuk bisa berkontribusi dalam bidang politik (Handayani dan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 111
Rosmilawati, 2019). Kemudian, Pramono U. Tanthowi melakukan peneliti-
an mengenai peran Muhammadiyah dalam politik di Indonesia yang signifi-
kan, tanpa harus berubah dari organisasi sosial keagamaan menjadi organi-
sasi partai politik (Tanthowi, 2019). Ahmad Sholikin fokus pada penelitian
mengenai dinamika hubungan Muhammadiyah dan politik yang dalam se-
jarahnya pernah membawa Masyumi memenangi pemilu bersama PNI, na-
mun dalam perjalanannya Muhammadiyah memisahkan diri dari Masyumi
(Sholikin, 2020). Sementara itu, Ridho Al-Hamdi mengkaji tentang paradig-
ma berpolitik Muhammadiyah yang kaitannya dengan perjuangan dakwah
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Al-Hamdi, 2020).
Hubungan Muhammadiyah dengan perpolitikan di Indonesia tidak sela-
lu berjalan mulus. Hal inilah yang akhirnya membuat Muhammadiyah me-
ngeluarkan keputusan mengenai khitah perjuangannya. Tujuan dari adanya
khitah bukan untuk memisahkan Muhammadiyah dengan politik, namun
berfungsi sebagai strategi perjuangan Muhammadiyah agar tidak terjun be-
bas dalam politik praktis (Al-Hamdi, 2020).
Khitah Denpasar di tahun 2002 berdampak pada putusnya hubungan
Muhammadiyah dengan perpolitikan praktis di Indonesia. Hadirnya khitah
ini praktis membuat Muhammadiyah tidak lagi mempunyai hubungan orga-
nisasi dengan partai politik di Indonesia. Walaupun telah diberikan garis ba-
tas dari politik praktis, partai-partai politik kadang kala tidak memikirkan
netralitas yang dibuat oleh Muhammadiyah. Hal inilah yang menjadi penye-
bab harus diadakannya revitalisasi Muhammadiyah, khususnya dalam hal
revitalisasi ideologi Muhammadiyah (Sholikin, 2020).
Berdasarkan latar belakang inilah, penelitian ini menjadi penting untuk
dilakukan guna mengetahui bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan
perpolitikan Indonesia. Penelitian ini menganalisis hubungan Muhammadi-
yah dengan perpolitikan Indonesia dengan tinjauan epistemologi. Perspek-
tif yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan teori seputar epistemolo-
gi, yaitu salah satu cabang dari ilmu filsafat yang nantinya digunakan untuk
mengetahui secara mendalam hubungan Muhammadiyah dengan perpoliti-
kan Indonesia. Dari beberapa penelitian di atas, belum ada yang membahas
secara mendalam mengenai hubungan Muhammadiyah dengan perpoliti-
kan Indonesia yang ditinjau dari sisi epistemologi. Penelitian ini akan dipu-
satkan pada pertanyaan seputar apa sumber ideologi Muhammadiyah da-

112 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
lam berpolitik dan bagaimana asal mula hubungan Muhammadiyah dengan
politik di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik dalam pengum-
pulan datanya menggunakan teknik dokumentasi yang diambil dari sumber
tertulis atau buku yang berisi data-data Muhammadiyah sejak berdirinya
hingga kini, yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode deskrip-
si dan metode hermeneutika. Metode deskripsi digunakan untuk memberi-
kan gambaran tentang situasi dan kondisi tertentu, yang nantinya berfungsi
untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan Muhammadiyah de-
ngan perpolitikan Indonesia (Bakker dan Zubair, 2021). Metode hermene-
utika berfungsi untuk menjelaskan bagaimana hubungan Muhammadiyah
dengan perpolitikan Indonesia dalam tinjauan teori epsitemologi, sehingga
nantinya diperoleh suatu pemahaman yang benar (Raco, 2010).
Epistemologi sebagai Pisau Analisis
Penelitian ini menganalisis hubungan Muhammadiyah dengan perpoli-
tikan Indonesia menggunakan teori epistemologi. Epistemologi atau teori
pengetahuan adalah cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai haki-
kat dan juga lingkup pengetahuan, pengandaian, serta pertanggungjawab-
an atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki (Bakhtiar, 2017).
Epistemologi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘episteme’ (pe-
ngetahuan, ilmu pengetahuan) dan ‘logos’ (pengetahuan, informasi) (Parida,
Syukri, Badarussyamsi, dan Rizki, 2021).
Menurut J. S. Suriasumantri, epistemologi adalah membahas secara men-
dalam melalui beberapa proses yang terlihat dalam usaha kita untuk menda-
patkan pengetahuan (Suriasumantri, 1980). Menurut L. O. Kattsoff, episte-
mologi yaitu cabang filsafat yang menyelidiki mengenai asal mula, susunan,
metode, dan sahnya pengetahuan. Melalui beberapa pertanyaan mendasar,
seperti apakah mengetahui itu, bagaimana cara kita memperoleh pengeta-
huan (L. O, 1996)?
Menurut R. Mustansir dan M. Munir, epistemologi membahas masalah
asal-usul pengetahuan, relasi antara pengetahuan dengan keniscayaan, hu-
bungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme
universal, dan bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptu-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 113
alisasi baru mengenai dunia baru (Al-Hamdi, 2020).
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa epistemologi meneliti tentang
bagaimana suatu informasi atau ilmu bisa diperoleh. Penelitian ini menco-
ba mengajukan beberapa pertanyaan: seperti apa sumber ideologi Muham-
madiyah dalam terjun ke dunia politik, dan bagaimana asal mula hubungan
Muhammadiyah dengan perpolitikan di Indonesia?
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad yang masa kecilnya bernama
Muhammad Darwis, beliau lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868,
dan wafat di usia 55 tahun pada tanggal 25 Februari 1923. Ayahnya berna-
ma KH. Abubakar bin KH. Muhammad Sulaiman, beliau menjabat sebagai
kepengulon Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan mempunyai gelar seba-
gai penghulu katib di masjid besar kesultanan. Ibunya, Nyai Abubakar, me-
rupakan putri dari KH. Ibrohim Hasan (Yusra, 2018).
Salah satu faktor yang memotivasi KH. Ahmad Dahlan untuk membentuk
organisasi Muhammadiyah adalah sebagai respons dari politik yang dilaku-
kan oleh Belanda. Selain itu, misi kristenisasi yang diusung oleh para koloni-
al mendorong beliau mendirikan organisasi ini. Dengan hadirnya organisasi
ini, diharapkan dapat menjadi sebuah opsi penyelesaian masalah yang diha-
dapi masyarakat Islam di Indonesia kala itu (Mulkhan, 2010).
Kondisi masyarakat Islam pada saat itu sedang dilanda masalah kemur-
nian ajaran Islam. Islam yang berkembang di Indonesia saat itu dapat di-
gambarkan begitu identik dengan sinkretisme Islam. Hal inilah yang pada
akhirnya menyebabkan adanya penyimpangan ajaran Islam pada penganut-
nya. Realitas di lapangan inilah yang disaksikan oleh Ahmad Dahlan. Bagi
Ahmad Dahlan, realitas keberagamaan ini lebih disebabkan oleh karena le-
mahnya internal masyarakat Islam. Selain itu, realitas ini disebabkan pula
oleeh penjajahan. Keseluruhannya ini menjadikan perubahan sosial secara
fundamental mengalami kesulitan (Jurdi, 2010).
Gairah memurnikan ajaran Islam yang berdiaspora di masyarakat Indo-
nesia ini mendorong Ahmad Dahlan membentuk Muhammadiyah. Secara
bahasa, kata ‘Muhammadiyah’ berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yang
berarti nabi atau rasul Allah yang terakhir, kemudian mendapat ‘ya’ nisbiyah
yang berarti menjeniskan (Anis, 2019). Nama organisasi ini sengaja dinis-

114 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bahkan dengan nabi terakhir kita. Mengikuti nama tersebut, masing-masing
anggota Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan bermasyarakat harus
dapat menyesuaikan diri dengan sikap kepribadian Nabi Muhammad saw
(Mulkhan, 1990).
Di kemudian hari, Ahmad Dahlan mengutus beberapa orang untuk ber-
gabung ke dalam keanggotaan organisasi Budi Utomo. Orang-orang terse-
but diutus bergabung ke dalam organisasi Budi Utomo dengan tujuan untuk
memperoleh dukungan, dalam upaya pengakuan dari pemerintah terhadap
adanya pembentukan Muhammadiyah. Hingga akhirnya pada tanggal 18
November 1912 berdirilah organisasi keislaman yang bernama Muhamma-
diyah di Yogyakarta (Khoiri, 2013).
Dalam pembentukan Muhammadiyah ini, Ahmad Dahlan setidaknya
mempunyai dua tujuan besar. Tujuan pertama adalah untuk menyebarkan
tuntunan Islam yang ditujukan kepada penduduk Yogyakarta. Sedangkan
tujuan yang kedua lebih bersifat ke arah internal, yaitu adalah untuk mema-
jukan ajaran agama Islam kepada anggota-anggotanya (Qodir, Nurul Yamin,
dan Nurmandi, 2015).
Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang menangani banyak pe-
layanan masyarakat, seperti halnya sektor pendidikan, kesehatan, panti
asuhan, dan banyak sektor lainnya; Muhammadiyah dalam realitasnya me-
miliki berbagai majelis untuk mendukung kegiatan organisasinya. Maje-
lis-majelis tersebut yaitu Majelis Pendidikan Tinggi, Majelis Pembina Kese-
hatan, Majelis Pembina Kesehatan Sosial. Selain itu untuk mempermudah
pengorganisasian sistem kerjanya, Muhammadiyah memiliki setidaknya
lima organisasi otonom di bawahnya. Lima organisasi otonom tersebut di
antaranya adalah Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, dan
Tapak Suci Putra Muhammadiyah (Ka’bah, 1999).
Sumber Ideologi Muhammadiyah Dalam Berpolitik
Pemikiran Muhammadiyah dalam berpolitik dapat dicari dalam ni-
lai-nilai ideologi dan ajaran yang berasal dari hasil penafsiran atas Islam,
dan nantinya menjadi sebuah patokan dalam meraih cita-cita gerakan Mu-
hammadiyah. Hal tersebut secara representatif tertuang dalam seperang-
kat pemikiran yang mendasar dan menggambarkan isi dari cita-cita luhur
Muhammadiyah. Pertama, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah;

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 115
kedua, Kepribadian Muhammadiyah; ketiga, Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah; keempat, Khitah Perjuangan Muhammadiyah; kelima, Pe-
doman Hidup Islami Warga Muhammadiyah; keenam, Khitah dalam Kehi-
dupan Berbangsa dan Bernegara sebagai hasil Keputusan Tanwir Muham-
madiyah di Denpasar tahun 2022 (Tanthowi, 2019).
Jika melihat lebih mendalam dari keenam rumusan tersebut, ditemukan
beberapa rumusan pemikiran politik Muhammadiyah yang sifatnya menda-
sar dan filosofis.
Pertama, Matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yang
menyatakan bahwa “hidup bermasyarakat adalah sunah dari Allah atas ke-
hidupan manusia di dunia ini”. Dan “masyarakat yang sejahtera, aman, da-
mai, makmur, dan bahagia, hanya bisa diwujudkan di atas prinsip keadilan,
kejujuran, persaudaraan, gotong royong, tolong-menolong, yang bersendi-
kan hukum Allah yang sebenar-benarnya, terlepas dari pengaruh setan dan
hawa nafsu” (Pasha dan Darban, 2002).
Kedua, dalam Matan Kepribadian Muhammadiyah dijelaskan bahwa sifat
dari Muhammadiyah adalah keagamaan dan kemasyarakatan. Muhammadi-
yah juga “turut aktif dalam perkembangan di masyarakat dengan maksud
perdamaian dan pembangunan yang selaras dengan ajaran Islam”. Muham-
madiyah juga “membantu pemerintah dan ikut bekerja sama dengan go-
longan lain dalam memelihara serta membangun negara demi tercapainya
masyarakat yang adil dan makmur”. Muhammadiyah juga menegaskan bah-
wa “akan bersifat adil dan disiplin baik di dalam atau di luar dengan bijaksa-
na” (Pasha dan Darban, 2002).
Ketiga, yang tercantum dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup,
bahwa “Muhammadiyah adalah sebuah gerakan yang berasaskan Islam,
bercita-cita, dan bekerja demi terciptanya masyarakat Islam yang sebe-
nar-benarnya, dapat menjalankan fungsi dan tugas manusia sebagai ham-
ba dan khalifah di muka bumi ini”. Selain itu, adanya Muhammadiyah juga
“bekerja untuk terciptanya ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari bidang aki-
dah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyah” (Pasha dan Darban, 2002).
Keempat, yang terdapat dalam khitah Perjuangan Muhammadiyah yang
ditetapkan pada Muktamar ke-38 tahun 1971 di Makassar, ditegaskan bah-
wa “Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam yang beramal da-
lam segala aspek kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hu-

116 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bungan dengan organisasi apa pun dan tidak terkait dengan suatu partai
politik”. Selain itu, “setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asa-
sinya diberikan kebebasan untuk tidak memasuki ataupun memasuki orga-
nisasi lain, selama tidak menyimpang dari AD dan ART dan kebijakan lain
yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah” (Puar, 1989).
Kelima, dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah di bagian
kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, dijelaskan bahwa “warga Mu-
hammadiyah harus mengambil bagian dalam kehidupan berpolitik mela-
lui berbagai saluran dan tidak boleh apatis”. Selain itu, “prinsip dalam ber-
politik harus dilaksanakan dengan sejujur-jujurnya, sungguh-sungguh, dan
prinsip lain yang mendatangkan kebaikan”. Selanjutnya, “berpolitik adalah
demi kepentingan umat dan bangsa, hal itu sebagai bentuk peribadahan ke-
pada Allah, dan tidak mengorbankan kepentingan yang luas dan yang utama
demi kepentingan diri sendiri dan kelompok kecil” (Muhammadiyah, 2000).
Keenam, terdapat pada khitah Muhammadiyah dalam Kehidupan Ber-
bangsa dan Bernegara menyatakan, bahwa “Muhammadiyah memilih per-
juangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara membe-
rikan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat agar tercipta masyarakat
yang beradab. Sedangkan, hal-hal yang berhubungan dengan keputusan ke-
negaraan sebagai hasil dari fungsi politik pemerintahan akan dijalani de-
ngan pendekatan yang tepat, selaras dengan prinsip perjuangan kelompok
kepentingan yang efektif dalam berkehidupan di negara yang demokratis”
(Tanthowi, 2019).
Sebetulnya sejak dibentuk, Muhammadiyah telah menyatakan diri bah-
wa dirinya merupakan organisasi yang menitikberatkan kepada suatu ge-
rakan sosial keagamaan. Di mana gerakan sosial tersebut tidak akan ber-
singgungan dengan politik. Namun semenjak Masa Reformasi, realitasnya
lahir “gerakan” politik gaya baru yang menuntut Muhammadiyah untuk da-
pat memperbaharui pandangan politiknya. Masa reformasi melahirkan ke-
sempatan baru kepada segala jenis political power untuk dapat turut an-
dil dalam upaya demokratisasi sistem politik di negara Indonesia (Nashir,
2000b).
Tuntutan untuk dapat memperbaharui pandangan politik Muhamma-
diyah ini terjadi karena beberapa hal yang mendasar. Di antaranya adalah
bahwa pada kenyataannya semenjak runtuhnya Era Orde Baru yang kemu-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 117
dian digantikan oleh Era Reformasi, warga Muhammadiyah justru menga-
lami lonjakan keikutsertaan politik secara besar. Ini terjadi khususnya saat
berlangsungnya politik elektorat. Memang harus diakui bahwa besarnya ke-
ikutsertaan warga Muhammadiyah di dalam politik Indonesia adalah cer-
minan komitmen organisasi ini berdasarkan aturan khitah. Sekaligus juga
mampu mempertajam ‘kepekaan’ pengikut Muhammadiyah di dalam dunia
politik. Tetapi di sisi yang lainnya, besarnya tingkat keikutsertaan masya-
rakat Muhammadiyah di dalam dunia politik ini pada gilirannya akan men-
ciptakan konflik kepentingan di dalam Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini
dikarenakan perbedaan pendapat yang tercipta di dunia politik itu keras
(Tanthowi, 2019).
Hal lainnya yang menjadi dasar Muhammadiyah harus mulai memikir-
kan ulang pandangan politiknya adalah ‘menetasnya’ berbagai partai poli-
tik baru sejak dimulainya Era Reformasi pada realitasnya cukup berdampak
kepada internal Muhammadiyah. Dampak yang paling terasa adalah keti-
ka pengurus dari sebuah partai politik ternyata adalah kader elite Muham-
madiyah. Munculnya partai politik yang berhaluan Islamis maupun mode-
rat sekalipun dapat melahirkan berbagai permasalahan ideologis yang ada
di Muhammadiyah. Munculnya satu partai dengan kader yang berasal dari
Muhammadiyah dan adanya partai lain yang juga digawangi oleh kader eli-
te Muhammadiyah pada gilirannya akan “memecah” dukungan Muhamma-
diyah kepada satu pihak lainnya (Nurmandi, Prianto, dan Efendi, 2015). Hal
inilah yang harus diselesaikan oleh Muhammadiyah mengenai harus seper-
ti apa para umat Islam berpandangan politik di Bangsa Indonesia yang hete-
rogen ini (Tanthowi, 2019).
Kemudian pandangan politik organisasi yang dibentuk oleh Ahmad Dah-
lan ini makin terkikis independensinya. Beberapa warga Muhammadiyah
yang telah bersentuhan dengan dunia politik telah menempatkan struktur
organisasi kemuhammadiyahan sebagai ‘ladang’ untuk memenangkan poli-
tik elektorat. Bahkan lebih jauh lagi—sebagaimana yang ditulis oleh Tanto-
wi, bahwa mereka memberikan orang yang tidak tepat secara kualifikasi
untuk memimpin dan mengambil keputusan politik. Untuk itulah, perlu ki-
ranya melahirkan konsep netralitas dalam diri Muhammadiyah agar dapat
menjalankan peran politik di Indonesia (Tanthowi, 2019).
Karena berbagai hal inilah, perlu kiranya Muhammadiyah mulai un-

118 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
tuk dapat mencetuskan konsep pemikiran yang fundamental dalam dunia
politik praktis. Upaya ini dirasa penting karena ranah politik di Indonesia
akhir-akhir ini lebih menuju kepada penguatan politik elektorat yang begi-
tu pragmatis. Pemikiran ini menjadi penting agar dapat menjadi dasar bagi
Muhammadiyah untuk turut andil di dunia politik dengan lebih mantap.
Muhammadiyah senantiasa melibatkan diri dalam politik sebagai ben-
tuk dari dakwah yang amar makruf dan nahi mungkar tentunya tetap berja-
lan sesuai dengan kebijakan dan cita-cita Bangsa Indonesia. Muhammadiyah
juga memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menggunakan
hak pilihnya dalam kehidupan politik. Penggunaan hak pilih tersebut harus
dijalankan dengan kritis dan rasional, sejalan dengan misi dan kepentingan
Muhammadiyah, yaitu demi terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara.
Walaupun pada akhirnya isi yang terdapat di dalam khitah ini pun men-
dapatkan sejumlah kritikan bahkan dari anggota Muhammadiyah sendiri,
mereka menilai bahwa Muhammadiyah terkesan terlalu kaku terhadap po-
litik di Indonesia dengan adanya khitah tersebut. Seharusnya Muhammadi-
yah bisa lebih proaktif lagi dalam upaya membangun perpolitikan Bangsa
Indonesia agar lebih sehat.
Kritikan-kritikan tersebut didasarkan realitas bahwa dari segi penga-
laman politik, apabila dilihat dari kacamata historis Muhammadiyah telah
berhubungan dengan politik. Bahkan awal pembentukan organisasi ini pun
tidak jauh dari menciptakan ‘arus’ perlawanan terhadap imperialisme kala
itu. Persentuhan Muhammadiyah dengan politik dan bagaimana pengaruh
Muhammadiyah dalam upaya pengambilan keputusan oleh penguasa men-
jadi indikator yang cukup nyata bahwa Muhammadiyah telah bersinggung-
an dengan politik. Jadi, tidaklah seharusnya khitah ini diimplementasikan
secara kaku (Haedar Nashir, 2008).
Rasionalisasi kedua adalah mengenai berbagai keuntungan yang akan di-
dapatkan oleh Muhammadiyah apabila berani masuk dalam politik bangsa
secara penuh. Haedar Nashir menuturkan bahwa realitas sekarang menun-
jukkan bahwa dunia politik sangat penting untuk memperjuangkan aspirasi
maupun misi sebuah kelompok kemasyarakatan. Perjuangan di sektor poli-
tik kekuasaan kenegaraan ini bahkan lebih penting untuk diperjuangkan. Di
sisi lain apabila kita lebih cermat, sebetulnya diseminasi dari kader-kader
Muhammadiyah di dunia politik cukup besar. Hal ini seharusnya bisa lebih

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 119
dimanfaatkan oleh Muhammadiyah itu sendiri apabila Muhamamdiyah mau
menggunakan modal tersebut untuk mendapatkan hasil politik yang cukup
besar (Nashir, 2008).
Rasionalisasi ketiga ialah bahwa sistem kerja di dunia politik pada ke-
nyataannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan sistem kerja di dalam
lingkup organisasi kemasyarakatan nonpolitik. Mereka yang terjun lang-
sung di dunia politik tentu sangat memahami tantang menjanjikannya du-
nia politik, karena melalui jalur inilah mereka dapat menentukan berbagai
kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan banyak umat. Mereka
yang duduk di dunia politik dapat saja melakukan backing up sebuah orga-
nisasi masyarakat dalam menjalankan agenda mereka (Nashir, 2008).
Rasionalisasi yang ketiga dan yang terakhir adalah berhubungan dengan
permasalahan banyaknya ideologi politik Islam. Muhammadiyah seharus-
nya dapat lebih cepat merespons banyaknya ideologi politik Islam yang ada
di Indonesia. Tidak jarang ideologi-ideologi tersebut mengancam persatuan
dan kesatuan Bangsa Indonesia. Muhammadiyah harus hadir dan mengawal
kepentingan bangsa dengan terjun di dunia politik dalam upaya ‘dakwah’
melalui dunia politik (Nashir, 2008).
Dari pemaparan data di atas, bisa dilihat bahwa sebetulnya Muhamma-
diyah telah memberikan rumusan pandangannya tentang politik dan mem-
berikan arahan kepada warganya, untuk menyikapi perkembangan politik
saat ini yang berjalan dengan dinamis. Beberapa dokumen keputusan Mu-
hammadiyah ini adalah landasan ideologis Muhammadiyah dalam terjun ke
dunia politik.
Pola Hubungan Muhammadiyah dengan Perpolitikan Indonesia
Lahirnya Muhammadiyah tidak disusun sebagai organisasi politik atau
sebuah partai politik, namun sebatas ‘gerakan politik’. Selain itu, sebagai ge-
rakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Gagasan mengenai ‘gerakan po-
litik’ tergambar dari langkah-langkah yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan di
awal berdirinya Muhammadiyah. Beliau juga menjalin berbagai hubungan
politik dengan banyak pihak.
Pada periode tahun 1912 – 1926, Muhammadiyah dengan tegas menye-
but dirinya bukan bagian dari partai politik. KH. Ahmad Dahlan adalah so-
sok yang dekat dengan Budi Utomo, Sarekat Islam, juga dekat dengan KH.

120 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Misbah (komunis), dan kalangan Ahmadiyah. Aktivis Muhammadiyah dan
KH. Ahmad Dahlan juga ikut andil dalam berbagai organisasi, seperti Budi
Utomo dan Sarekat Islam (Al-Barbasy, 2017).
Di tahun 1945, Muhammadiyah bersama NU menjadi anggota istimewa
di Partai Politik Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ter-
libatnya Muhammadiyah masuk ke dalam Masyumi adalah pertama kali-
nya secara struktural menggabungkan diri ke dalam partai politik. Sebelum
pada akhirnya Masyumi bubar di tahun 1960 (Al-Barbasy, 2017).
Secara politik, Muhammadiyah juga pernah mengalami masa-masa su-
lit. Seperti di awal tahun 1960an, sebagian warga Muhammadiyah berupaya
menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, namun hal tersebut da-
pat digagalkan oleh warga Muhammadiyah yang menolak gagasan tersebut.
Memasuki peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, Muhammadiyah kemba-
li dihadapkan pada pilihan menjadi partai politik, menghidupkan Masyumi,
atau membentuk partai politik baru bersama ormas Islam lain. Posisi politik
Muhammadiyah tergambar dalam putusan khitah Muhammadiyah (Al-Bar-
basy, 2017)
Saat ini Muhammadiyah dalam memandang politik lebih kepada me-
nempatkan strategi upaya kultural. Upaya ini mereka tekankan kepada pe-
ningkatan kualitas masyarakat setempat. Pada dasarnya, Muhammadiyah
sebetulnya dibentuk sebagai organisasi yang bergerak dibidang sosial kebu-
dayaan serta di sektor pendidikan. Muhammadiyah pun dalam pergerakan-
nya menghindari urusan di bidang politik praktis (Nashir, 2010).
Walaupun Muhammadiyah tidak terjun ke dalam ranah perpolitikan
praktis secara langsung, Muhammadiyah kerap kali mendorong negara un-
tuk dapat mengambil kebijakan strategis yang dapat memberikan kemas-
lahatan sebesar-besarnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di In-
donesia. Seperti pada masa pandemi Covid-19, Muhammadiyah mendorong
pemerintah agar lebih bersinergi dalam menangani pandemi Covid-19.
Muhammadiyah memiliki peran aktif dalam menjembatani persoalan
sosial-politik Indonesia. Hal yang menjadi landasan keberhasilan Muham-
madiyah salah satunya adalah pada ranah teologi dan etos kerja Muhamma-
diyah. Dalam implementasinya, pergerakan Muhammadiyah kerap dimoto-
ri oleh kalangan muda seperti halnya IMM atau Pemuda Muhammadiyah. Di
sisi lain, sistem kerja Muhammadiyah didukung oleh kultur jejaring sosial

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 121
yang begitu masif (Al-Hamdi, Efensi, Kurniawan, dan Latief, 2019).
Ranah sosial kebudayaan yang ditujukan untuk pemberdayaan masya-
rakat setempat oleh Muhammadiyah dianggap tidak kalah pentingnya di-
bandingkan dengan perjuangan Islam dalam ranah politik praktis. Strategi
kebudayaan yang dikembangkan Muhammadiyah berupaya memengaruhi
pola pikir masyarakat setempat. Titik tekan dari strategi kebudayaannya
adalah agama dijadikan sebagai penguat moral dalam kehidupan. Tujuan
penggunaan strategi ini untuk mengubah pola pikir perorangan. Pendekat-
an ini disebut-sebut lebih bertahan lama. Karena kebalikannya, yaitu kesa-
daran kolektif, dianggap mudah dipengaruhi oleh hal-hal dari luar (Argen-
ti, 2017).
Muhammadiyah sepertinya lebih memilih untuk berlaku ‘netral aktif’ ke-
pada kekuatan politik. Pengertian netral yang dijalankan oleh Muhammadi-
yah ini dapat diartikan bahwa Muhammadiyah memilih untuk tidak berhu-
bungan pada kekuatan politik mana pun. Selain itu, pengertian aktif di sini
juga dapat dimaknai sebagai keikutsertaan Muhammadiyah dalam proses
pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh negara.
Walaupun Muhammadiyah dibentuk tidak untuk berorientasi kepa-
da politik belaka, walaupun pada realitasnya Muhammadiyah tidak dapat
menghindarkan dalam dinamika-dinamika politik, romantika Muhammadi-
yah dengan politik bangsa berjalan begitu dinamis (Effendy dan Nurjaman,
2015).
Setidaknya terdapat tiga pola hubungan kedua pihak ini. Pertama adalah
hubungan formal langsung. Dalam hubungan ini, Muhammadiyah terlibat
secara langsung dalam dunia politik praktis dengan membentuk partai poli-
tik. Dalam titian waktu ke belakang, Muhammadiyah terlibat hubungan be-
berapa kali dengan perpolitikan praktis Bangsa Indonesia. Muhammadiyah
pernah menjadi sebuah kekuatan inti dari partai Masyumi, PII, dan yang ter-
akhir adalah partai PAN (Shobron, 2003). Kedua, pola hubungan Muham-
madiyah dengan politik Indonesia adalah hubungan personal tidak lang-
sung. Keterlibatan Muhammadiyah ini dapat ditelisik dari adanya keaktifan
tokoh-tokoh inti Muhammadiyah yang mendapatkan dukungan dari kader
Muhammadiyah dan mendukung partai tersebut. Ketiga, pola hubungan
Muhammadiyah dengan perpolitikan Indonesia adalah hubungan yang net-
ral. Netral di sini dimaknai bahwa Muhammadiyah dengan tegas mengambil

122 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
jarak dengan ranah politik (Nashir, 2000a).
Pola hubungan Muhammadiyah dengan politik kerap kali mengalami
pasang surut, namun tetap berjalan dinamis. Muhammadiyah terkadang
mengalami dilema antara harus mendekat atau menjaga jarak dengan per-
politikan di Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang mendasari hal ini. Per-
tama, adanya tendensi di lingkup warga Muhammadiyah kalau Islam Islam
adalah agama dan negara (al-din wa al-dawlah). Islam dan negara adalah
dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Islam bukan bersifat sekuleristik
yang memisahkan antara agama dan negara, namun bersifat integralistik.
Kecenderungan ini diperkuat oleh realitas sejarah bahwa Muhammadiyah
turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu, Muhammadi-
yah merasa perlu ikut membantu dalam ranah politik. Kedua, Indonesia da-
lam proses perpolitikan utamanya setelah Orde Baru sering tidak seimbang
dalam menempatkan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan. Muham-
madiyah terkadang diperlakukan mirip seperti partai politik, hanya untuk
memeroleh kekuasaan politik dan dituntut untuk ikut dalam politik dukung
mendukung (Al-Barbasy, 2017).
Perlukah Muhammadiyah ‘Mempunyai’ Partai?
Sebagai gerakan sosial keagamaan Islam, Muhammadiyah tentu bukan-
lah sebuah partai politik dan serta tidak memiliki afiliasi politik dengan par-
tai apa pun. Tetapi untuk urusan politik, Muhammadiyah yang sebagai se-
buah gerakan sosial keagamaan dapat saja memainkan diri ke dalam dunia
politik dengan secara tidak langsung. Melalui upaya inilah agaknya Muham-
madiyah dapat mencerminkan diri sebagai sebuah organisasi yang tampak
mempunyai fungsi kuat di dalam politik bangsa dapat diperhitungkan.
Semua pihak telah mengetahui bahwa Muhammadiyah telah berpe-
ran besar menjadi salah satu pilar penguat NKRI kita. Peran yang dilaku-
kan oleh Muhammadiyah bagi modernisasi islamic power sangat kentara di
ranah politik. Tetapi sayangnya, justru Muhammadiyah terkesan ternafikan
dalam dunia politik di Bangsa Indonesia (Mu’ti, Ulhaq, Khoirudin, dan Fan-
ni, 2016).
Sebagai contoh, kita cermati di dalam Pemilu Presiden tahun 2014 lalu.
Walaupun banyak tokoh-tokoh elite Muhammadiyah yang mendukung pa-
sangan calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, peran serta mereka da-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 123
lam ranah politik tidak mendapatkan ‘alokasi’ politik di jajaran kabinet. Im-
plikasinya adalah eksistensi tokoh-tokoh berpengaruh di Muhammadiyah
seperti halnya Buya Syafii Maarif di ranah politik terkesan hanyalah peleng-
kap belaka (Thohari, 2016).
Di sisi ini, partai politik menjadi instrumen yang begitu penting dalam
menentukan arah angin politik di Bangsa Indonesia. Dan di titik ini pula,
Muhammadiyah dirasa harus ‘mempunyai’ partai politik. Makna ‘mempu-
nyai’ ini harus dirumuskan secara lebih mendalam lagi.
Muhammadiyah sendiri sejatinya pernah merasakan ‘mempunyai’ partai
politik bernama Masyumi, Parmusi, maupun partai PAN, terlepas dari ber-
bagai persoalan dan tantangan antara kedua pihak tersebut. Begitu pula de-
ngan konsep ‘mempunyai’ dalam dua pihak itu.
Apabila Muhammadiyah ingin terjun ke dalam sektor politik, dirinya ha-
rus menelaah terlebih dahulu seberapa jauh dan sebesar apa risiko ketika
‘mempunyai’ sebuah partai politik. Implikasinya adalah kesepakatan-kese-
pakatan politik yang dicetuskan oleh Muhammadiyah di masa sebelumnya
harus terbuka untuk menerima evaluasi dan kembali dirumuskan dengan
menyesuaikan realitas.
Kemudian apabila memang Muhammadiyah turut andil dalam sektor po-
litik secara langsung, ada beberapa hal yang harus dicermati. Beberapa di
antara hal tersebut adalah bahwa Muhammadiyah harus membuat ‘tempat’
tersendiri yang tidak memiliki hubungan dengan Muhammadiyah secara or-
ganisatoris—dalam menjalankan politik tersebut (Thohari, 2016). Mengapa
hal ini harus dicermati secara penting? Karena seperti yang sebelumnya te-
lah dikatakan, bahwa Muhammadiyah merupakan satu organisasi keagama-
an. Sehingga agar tidak melenceng dari jalur keagamaan tersebut, harus di-
buat ‘tempat’ yang berbeda pula agar fungsi dakwah tersebut tetap murni.
Catatan lainnya adalah kini Bangsa Indonesia berhadapan dengan dunia
politik dengan pola sistem multipartai dan politik dengan biaya yang tinggi.
Mengenai pola sistem multipartai, Muhammadiyah harus mempersiapkan
dengan matang. Hal ini karena pada kenyataannya warga Muhammadiyah
belum cukup cair dan belum dapat menerima banyak partai politik dengan
berbagai haluan ideologi (Huwaidy, 1996). Bahkan di masyarakat kita, ber-
beda partai politik antara satu dengan yang lainnya sering kali tidak disi-
kapi dengan sebatas perbedaan politik semata, tetapi justru dimaknai seba-

124 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
gai perbedaan sikap dan musuuh politik yang harus dilawan.
Kemudian untuk catatan politik dengan biaya yang cukup tinggi, pun
menjadi isu yang harus diperhatikan secara cermat oleh Muhammadiyah.
Semenjak demokrasi langsung diterapkan di Indonesia, politik memang
menjadi sektor dengan anggaran biaya yang cukup tinggi. Dinamika perpoli-
tikan di negara Indonesia dewasa ini bukan lagi dinamika politik oligarki se-
mata, tetapi telah terjadi dinamika politik yang oleh Thohari sebut sebagai
politik uang yang banal (Thohari, 2015). Tinggi rendahnya biaya yang dike-
luarkan oleh sebuah partai politik menentukan proses rekrutmen partai po-
litik di dalam sebuah pemilu. Muhammadiyah harus cermat dan matang da-
lam merumuskan arah politik yang akan dipilih ke depannya.
Simpulan
Hubungan Muhammadiyah dengan perpolitikan di Indonesia terkadang
mengalami pasang surut, namun tetap berjalan dengan dinamis. Ada sebu-
ah patokan dalam Muhammadiyah berpolitik, patokan tersebut menjadi se-
buah pedoman yang selaras dengan cita-cita dari gerakan Muhammadiyah.
Patokan tersebut nantinya menjadi sebuah sumber ideologis Muhammadi-
yah dalam berpolitik.
Hubungan Muhammadiyah dengan perpolitikan di Indonesia juga me-
munculkan beberapa pola, antara lain hubungan formal langsung, hubung-
an personal tidak langsung, dan hubungan yang netral. Adanya pola-pola
tersebut memunculkan dilema antara harus mendekat atau menjaga jarak
dengan perpolitikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Al-Barbasy, M. M. (2017). Muhammadiyah dan Politik  : Dilema Antara Keep Close
dan Keep Distance. Kontekstualita, 34(2).
Al-Hamdi, R. (2020). Paradigma Politik Muhammadiyah. Yogyakarta: IRCidSoD. Di-
ambil dari https://books. google. co. id/books?hl=id&lr=&id=YQD3DwAAQ-
BAJ&oi=fnd&pg=PA103&dq=politik+dan+muhammadiyah&ots=Nn18EoIi -
Fi&sig=Xlzivb-Z5UB1R3BmvjAKWY7KXV8&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false.
Al-Hamdi, R., Efensi, D., Kurniawan, B. D., dan Latief, H. (2019). Politik Inklusif Mu-
hammadiyah: Narasi Pencerahan Islam Untuk Indonesia Berkemajuan (Cet. 1).
Yogyakarta: UMY Press. Diambil dari https://books. google. co. id/books?h-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 125
l=id&lr=&id=eTjsDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=politik+dan+muhamma -
diyah&ots=57bdbmhOAb&sig=4Tn2k_P13b0MU3vfrlZgs9YYvxk&redir_es -
c=y#v=onepage&q&f=false.
Anis, M. (2019). Muhammadiyah dalam Penyebaran Islam. Mimbar, 5(2).
Argenti, G. (2017). Civil Society Dan Politik Moral Muhammadiyah. Jurnal Politikom
Indonesia, 2(2), 82–104.
Bakhtiar, A. (2017). Filsafat Ilmu (15 ed. ). Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Bakker, A., dan Zubair, A. C. (2021). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kani-
sius.
Effendy, M., dan Nurjaman, A. (2015). Reformulasi Ijtihad Politik Muhammadiyah. In
Ijtihad Politik Muhammadiyah: Politik Sebagai Amal Usaha (hal. 35–45). Yogya-
karta: Pustaka Pelajar.
Handayani, indah T., dan Rosmilawati, S. (2019). Peran Perempuan Muhammadiyah
dalam Kepemimpinan dan Politik di Kalimantan Tengah. Pencerah Publik, 6(2).
Huwaidy, F. (1996). Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik
Islam (Al-Islam Wa ‘I-Dimuqratiyah). Bandung: Mizan.
Jurdi, S. (2010). Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006. Yog-
yakarta: Pustaka Pelajar.
Ka’bah, R. (1999). Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU. Ja-
karta.
Khoiri, N. (2013). Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah. Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, 47(1), 169–218.
L. O, K. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mu’ti, A., Ulhaq, F. R., Khoirudin, A., dan Fanni, A. F. (2016). Kosmopolitanisme Islam
Berkemajuan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Mubarak, A. (2012). Wajah Politik Muhammadiyah. Jurnal Demokrasi, Vol 11(1),
215–222.
Muhammadiyah, p (2000). Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Yogyakar-
ta: Suara Muhammadiyah.
Mulkhan, A. M. (1990). Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah da-
lam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulkhan, A. M. (2010). Marhaenis Muhammadiyah. Yogyakarta: Galangpress. Diam-
bil dari https://books. google. co. id/books?hl=id&lr=&id=5rvvQebn9j4C&o-
i=fnd&pg=PA162&dq=politik+dan+muhammadiyah&ots=v9Y7tGU3IT&sig=P -
0Co6r-goZz2UUVDW6goT4IT2Go&redir_esc=y#v=onepage&q=politik dan

126 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
muhammadiyah&f=false.
Nashir, H. (2000a). Dinamika Politik Muhammadiyah. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Nashir, H. (2000b). Perilaku Politik Elite Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.
Nashir, H. (2008). Khittah Muhammadiyah Tentang Politik. Yogyakarta: Suara Mu-
hammadiyah.
Nashir, H. (2010). Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muham-
madiyah.
Nurmandi, A., Prianto, A. L., dan Efendi, D. (2015). Politik Elektoral Muhammadiyah
Di Aras Lokal (Di Kabupaten Sleman Dan Kabupaten Maros). In Ijtihad Politik
Muhammadiyah: Politik Sebagai Amal Usaha (hal. 114–139). Yogyakarta: Pusta-
ka Pelajar.
Parida, Syukri, A., Badarussyamsi, dan Rizki, A. F. (2021). Kontruksi Epistemologi
Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3).
Pasha, M. K., dan Darban, A. A. (2002). Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam
Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: LPPI.
Puar, Y. A. (1989). Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah. Jakarta: Pusaka An-
tara.
Qodir, Z., Nurul Yamin, M., dan Nurmandi, A. (2015). Ijtihad Politik Muhammadiyah:
Politik Sebagai Amal Usaha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulan-
nya. Jakarta: PT. Grasindo.
Shobron, S. (2003). Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasi-
onal. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sholikin, A. (2020). Dinamika Hubungan Muhammadiyah dan Partai Politik di Indo-
nesia. Polinter, 5(2).
Suriasumantri, J. S. (1980). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Ten-
tang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Leknas LIPI.
Tanthowi, P. U. (2019). Muhammadiyah dan Politik: Landasan Ideologi Bagi Artikula-
si Konstruktif. Maarif, 14(2), 93–113. https://doi. org/10. 47651/mrf. v14i2. 65.
Thohari, H. Y. (2015). Meletakkan Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik  : Upaya
Merumuskan Kembali Ijtihad Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muham-
madiyah: Politik Sebagai Amal Usaha (hal. 26–34). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thohari, H. Y. (2016). Muhammadiyah Berpolitik. In Kosmopolitanisme Islam Berke-
majuan (hal. 264–266). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Yusra, N. (2018). Muhammadiyah: Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam. Poten-
sia, 4(1).

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 127
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Pariwisata
Halal di Indonesia: Sebuah
Analisis Bibliometrik
Hendri Hermawan Adinugraha
Razie Bin Nasarruddin
Muhammad Shulthoni
Rizky Andrean
Pendahuluan
Saat ini rencana aksi yang menggantikan tujuan pembangunan mileni-
um (millenium development goals/MDGs) bersifat universal dan kompre-
hensif dalam berbagai isu dan keprihatinan yang ditujukan terkait dengan
pembangunan, ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan. Komunitas glo-
bal di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 September 2015 menyepakati
Agenda Global 2030 berjudul “Transforming our world: The 2030 Agenda for
Sustainable Development”. Tema tersebut adalah yang paling penting untuk
memastikan bahwa pembangunan inklusif dapat dijangkau oleh semua ke-
lompok masyarakat dan komunitas. Dalam konteks domestik di Indonesia
inilah dalam penelitian ini, tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainab-
le development goals/SDGs) dibahas dari sudut pandang praktik pariwisata
halal dan dengan komitmen yang kuat terhadap isu-isu industri halal kon-
temporer di Indonesia (R. Subarkah & Rachman, 2018).

128 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Dikatakan bahwa SDGs memberi peluang usaha dan bisnis yang baik dan
holistik untuk masyarakat dan Pemerintah Indonesia karena ada peluang
dan tantangan baru bagi para pelaku pariwisata halal. Mengadopsi pende-
katan SDGs untuk praktik pariwisata halal adalah sangat penting karena di-
dasarkan pada nilai-nilai Islami dan syariah yang komprehensif. Agenda glo-
bal SDGs memungkinkan para pelaku pariwisata halal untuk menggunakan
pendekatan ini berdasarkan komitmen global melalui agenda 2030 yang
berfokus pada pembangunan, hak asasi manusia, dan lingkungan (A. R. Su-
barkah et al, 2019).
Masyarakat yang baik tidak hanya masyarakat yang sejahtera secara eko-
nomi (dengan pendapatan per kapita yang tinggi) tetapi juga masyarakat
yang inklusif secara sosial, berkelanjutan secara lingkungan, dan diatur de-
ngan baik (Mufidah et al, 2021). Dalam konteks ini, para pelaku industri pa-
riwisata halal mendorong pembangunan masyarakat yang baik terutama
bagi lapisan masyarakat yang rentan yang sering kali terabaikan dalam pro-
sesnya. Karena itu, tujuan peneliti dalam penelitian ini untuk memahami
agenda SDGs dan menyinergikan dengan pariwisata halal di Indonesia da-
lam membangun masyarakat yang lebih baik untuk semua orang.
Industri pariwisata halal sering disalahkan karena caranya yang tidak
berkelanjutan. Ini disebut sebagai industri intensif sumber daya yang me-
ningkatkan biaya hidup masyarakat tuan rumah di mana ia mengekstraksi
keuntungannya (Rahmawati & Parangu, 2021), dengan sangat sedikit atau
tanpa manfaat yang terakumulasi untuk komunitas tersebut. Tuduhannya
adalah bahwa dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan,
sebagian besar bisnis pariwisata mempekerjakan personel dan pekerja se-
tengah terampil yang dibayar rendah, dieksploitasi, dan pekerja dari kelom-
pok rentan seperti orang asing, pemuda, dan wanita (Ali & Soedarto, 2022).
Ini merupakan aspek yang dengan sendirinya melanggar ketentuan tujuan
SDGs, terutama SDGs 5 (kesetaraan gender), SDGs 8 (pekerjaan yang layak)
dan SDGs 16 (perdamaian dan keamanan) (World Tourism Organization
[UNWTO], 2020). Dampak negatif lain yang dilaporkan termasuk erosi bu-
daya dan warisan lokal serta pencemaran dan degradasi lingkungan (Saput-
ro & Dawud, 2021). Selain itu, Fairuz et al (2019) berpendapat bahwa pa-
riwisata secara umum bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Hal

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 129
ini terjadi khususnya di sektor penerbangan, di mana emisi gas rumah kaca
terlihat tumbuh secara eksponensial seiring dengan berkembangnya pari-
wisata.
Selama bertahun-tahun, industri pariwisata konvensional telah menjadi
salah satu sektor ekonomi dengan pertumbuhan tercepat secara global (UN-
WTO, 2021). Meskipun pertumbuhan ini telah membawa banyak manfaat
bagi berbagai negara (Janoušková et al 2018), pertumbuhan ini juga mem-
bawa kesengsaraan bagi beberapa tujuan wisata massal, khususnya di In-
donesia yang mengakibatkan kepadatan penduduk. Untuk mengatasi ke-
khawatiran tersebut, praktisi dan sarjana pariwisata telah menemukan cara
untuk membuat pariwisata halal lebih inklusif dan berkelanjutan (Wang et
al, 2021).
Beberapa negara telah mengindikasikan keinginan untuk menggunakan
pariwisata halal sebagai sarana untuk mencapai SDGs mereka (World Tou-
rism Organization, 2019). Untuk tujuan ini, para pelaku industri pariwisa-
ta halal di Indonesia dan sekitarnya telah mulai menerapkan kerangka SDGs
untuk lebih meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka dengan beberapa
keberhasilan dan tantangan (Rasoolimanesh et al, 2020). Awalnya, pariwi-
sata ditampilkan dalam setidaknya tiga SDGs—SDGs 8 (pekerjaan yang la-
yak), 12 (konsumsi dan produksi berkelanjutan), dan 14 (kehidupan di air).
SDGs 14 berfokus pada penggunaan laut dan sumber daya laut yang inklu-
sif dan berkelanjutan dan telah menjadi saksi lahirnya ekonomi biru (ter-
kadang disebut laut). Ke dalam daftar ini, kita dapat menambahkan SDGs
11 yang berbicara tentang penguatan upaya untuk melindungi dan menja-
ga tradisi religi, warisan budaya, dan alam dunia (Trupp & Dolezal, 2020).
Ini karena industri pariwisata halal adalah konsumen utama situs warisan
budaya Islam.
Industri pariwisata halal membutuhkan penelitian yang cukup untuk
mencapai potensi sebenarnya dan menawarkan layanan terbaik kepada wi-
satawan. Sejauh ini, para peneliti terutama menggunakan metode kualitatif
untuk mempelajari industri ini. Nuzura et al. (2016) menyurvei pemilik ho-
tel tentang wisata halal dan tantangan yang mereka hadapi. Dalam pende-
katan lain, wisatawan muslim disurvei dan ditanya tentang preferensi me-
reka dalam perjalanan mereka (Nugroho, 2021). Beberapa penelitian juga
telah memprioritaskan kriteria esensial dari wisata halal menurut perspek-

130 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
tif wisatawan tersebut (Othman, 2021). Peneliti lain telah mempelajari sta-
tus wisata halal di negara mereka sendiri, seperti Mesir dan Indonesia (No-
vitasari, 2019).
Tinjauan literatur atau penelitian terdahulu menggambarkan bahwa se-
bagian besar studi dan penelitian tentang pariwisata halal dilakukan dengan
menggunakan pendekatan konvensional seperti survei, diskusi kelompok
terfokus, dan wawancara. Untuk melaksanakan pendekatan ini, diperlukan
dana yang memadai dan kadang-kadang merupakan tugas yang memakan
waktu (Azam et al, 2019). Media sosial memungkinkan peneliti untuk me-
ngumpulkan volume data yang lebih besar dan kecepatan yang lebih cepat.
Masyarakat bisa mendapatkan akses ke persepsi pengguna yang sebenar-
nya, di mana mereka tidak takut untuk mengungkapkan komentar mereka
dibandingkan dengan pendekatan konvensional (Saarinen, 2020).
Ada beberapa penelitian terdahulu yang mencoba menghubungkan pari-
wisata halal dengan SDGs. Siregar & Ritonga (2021) meminta akademisi pa-
riwisata halal untuk menganalisis secara kritis peran SDGs di sektor ini. R.
Subarkah & Rachman, (2018) mengamati beberapa bidang di mana paralel
belum ditarik antara pariwisata halal dan SDGs, menyerukan lebih banyak
studi untuk dilakukan untuk mencoba dan menghubungkan tujuan pariwi-
sata halal dan masyarakat, dan tujuan pariwisata halal dan perlindungan
lingkungan. Qomaro (2019) menyoroti beberapa tantangan dan peluang da-
lam mengatasi keberlanjutan dalam industri pariwisata halal, sementara Sc-
heyvens et al (2021) fokus untuk menarik hubungan yang lebih jelas dengan
tantangan yang teridentifikasi, terutama melalui SDGs dan perjalanan reli-
gius.
Feizollah et al (2021) telah mengumpulkan data dari Twitter dan meng-
analisis topik yang dibahas serta sentimen dari cuitan tersebut untuk me-
ngumpulkan informasi mendetail tentang pendapat wisatawan. Dengan
mengkaji sentimen wisatawan di media sosial, penelitian tersebut telah
menambah pengetahuan yang ada tentang wisata halal. Selain itu, dengan
menggunakan pendekatan big data, memungkinkan masyarakat untuk me-
nilai sentimen pengguna Twitter terkait pariwisata halal dengan lebih cepat
sehingga pelaku industri pariwisata halal dapat bereaksi terhadap sentimen
tersebut dengan lebih efisien dan efektif. Selain itu, penelitian Feizollah et
al menggunakan pendekatan big data sehingga menambah metodologi yang

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 131
ada di kawasan wisata halal.
Berdasarkan hasil penelitian Diéguez-Castrillón et al (2022) analisis bib-
liografi terhadap 440 penelitian yang diterbitkan dari tahun 1995 hingga
2021 mengungkapkan adanya tiga tahap dari waktu ke waktu dan pening-
katan yang sangat besar selama delapan tahun terakhir. Hasilnya menun-
jukkan sifat multidisiplin dari subjek yang telah berkembang dari bidang
lingkungan dan sosial ke bidang ilmiah dan teknologi, dan adanya tujuh ke-
lompok di sekitar basis pengetahuan. Topik-topik penelitian utama telah
berkembang dari pendekatan yang pada dasarnya bersifat instrumental
hingga penerapan perkembangan pada manajemen dan perspektif terten-
tu. Salah satu topik yang pantas untuk penelitian lebih lanjut ialah peme-
nuhan SDGs.
Karena itu, studi ini berupaya mendeskripsikan secara mendalam bagai-
mana sektor swasta di Indonesia, dengan referensi khusus pada industri pa-
riwisata halal, telah memimpin dalam merangkul SDGs. Studi ini bertujuan
untuk menyediakan berbagai peta evolusi, situasi saat ini, dan garis indika-
tor keberlanjutan masa depan untuk penelitian tujuan wisata halal di In-
donesia. Studi ini memberikan pelajaran berharga bagi sektor perhotelan
syariah dan konservasi tentang halalisasi pariwisata yang dikombinasikan
dengan SDGs.
Pariwisata Halal
Baik pariwisata halal dan pembangunan berkelanjutan telah banyak di-
analisis topik dalam literatur dari perspektif teoretis dan praktis (Battour &
Ismail, 2016). Selain itu, pariwisata halal berfungsi sebagai alat untuk me-
ningkatkan kesadaran tentang masalah sosial dan lingkungan. Dalam hal itu,
beberapa karya berfokus pada pendidikan lingkungan pariwisata halal, ber-
urusan dengan bagaimana pariwisata berbasis ajaran Islam mempromosi-
kan pembelajaran lingkungan wisatawan (Isa et al, 2018), sensitivitas (Za-
wawi, 2017), dan perilaku jangka panjang keberlanjutan (El-Gohary, 2020).
Selain itu, beberapa penelitian didasarkan pada analisis sikap penduduk
terhadap pembangunan pariwisata halal berkelanjutan dan dampak pariwi-
sata atau juga dampak dari beberapa model pariwisata halal terhadap pem-
bangunan berkelanjutan di wilayah tertentu. Hubungan antara wisata ber-
basis alam, ekowisata, wisata religi dan keberlanjutan, telah dibahas oleh

132 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
penelitian terbaru seperti karya Boğan & Sarıışık, (2019). Menjelajahi dam -
pak yang ditimbulkan oleh pariwisata halal terhadap pembangunan berke-
lanjutan dari perspektif dimensi pembangunan berkelanjutan (United Nati-
ons, 2020) kurang diperhatikan dalam penelitian, yang merupakan tujuan
dan temuan dari penelitian yang dilakukan ini.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals)
Meskipun diskusi dan penelitian tentang keberlanjutan telah dilaku-
kan sejak beberapa dekade yang lalu (UNDP, 2017), kerangka kerja kebi-
jakan terkini seperti Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan
fakta mengkhawatirkan seperti meningkatnya dampak perubahan iklim
(Diéguez-Castrillón et al, 2022) telah menempatkan isu gaya hidup dan ma-
nusia yang tidak berkelanjutan kegiatan menjadi sorotan. Khususnya di ne-
gara Indonesia, para ahli, pembuat kebijakan, dan media, menunjuk pada
isu-isu terkait keberlanjutan terkait industri pariwisata halal. Misalnya, me-
nurut M. A. Siregar, (2019) perdebatan tentang keberlanjutan kegiatan wi-
sata halal sangat topikal di destinasi yang sudah matang.
Baru beberapa tahun yang lalu Agenda 2030 untuk pembangunan berke-
lanjutan diadopsi oleh semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (2015)
dan memberikan peta jalan yang komprehensif dan ambisius yang dituju-
kan untuk 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.
Karena keberlanjutan adalah istilah multidimensi (Eid & El-Gohary, 2015),
banyak perdebatan yang muncul mengenai dimensi di sekitar gagasan ter-
sebut. Konsep triple bottom line telah diterapkan secara luas untuk menga-
cu pada tiga dimensi khas keberlanjutan: pilar lingkungan, sosial dan ekono-
mi (González-Morcillo et al, 2022).
Studi ini diinformasikan oleh kerangka teoretis konstruktif (Gordon et al,
2022). Untuk tujuan ini, pendekatan fenomenologi digunakan dalam pene-
litian metode kualitatif ini. Studi fenomenologi memungkinkan untuk fokus
yang terperinci dan mendalam pada bidang studi, memberikan pemaham-
an yang lebih dalam tentang masalah yang diteliti. Studi ini menggunakan
data arsip primer dan sekunder dari sumber data pariwisata halal di Indo-
nesia dan SDGs di Indonesia. Data divalidasi melalui triangulasi catatan dari
laporan tahunan pariwisata halal Pemerintah Indonesia. Analisis bibliomet-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 133
rik tematik dan konten dilakukan menggunakan NVivo 12 Pro (Blummer &
Kenton, 2014). Bagian selanjutnya menyajikan dan membahas hasil. Tujuan
analisis bibliometrik atau tinjauan sistematis menggunakan NVivo 12 Pro
adalah untuk mengekstraksi informasi yang berguna dan menyintesiskan-
nya untuk membantu menjawab dua pertanyaan penelitian: (1) apa elemen
kunci untuk mencapai pembangunan pariwisata halal berkelanjutan di In-
donesia; dan (2) Bagaimana elemen kunci SDGs berinteraksi satu sama lain
untuk mencapai pembangunan pariwisata halal berkelanjutan di Indonesia.
Tinjauan Sistematis Pariwisata Halal
dan SDGs di Indonesia
Wisata halal dianggap sebagai sub bidang wisata religi. jenis pariwisata-
nya didasarkan pada syariah Islam, yang memandu semua aspek kehidupan
seorang muslim dari lahir hingga meninggal. Secara umum, halal merujuk
pada segala sesuatu yang diperbolehkan menurut hukum Islam dan menca-
kup hal-hal yang beragam seperti makanan (Purwanto et al, 2020), perbank-
an (Adinugraha, 2020), kosmetik (Adinugraha et al, 2019), produk farmasi
dan vaksin (Hafidz, 2021), dan pariwisata (Adinugraha & Sartika, 2022). Yu-
risdiksi tertentu secara hukum telah menetapkan halal, misalnya dalam In-
donesia Halal Training and Education Center (IHATEC) LPPOM MUI, halal
didefinisikan sebagai ketika makanan atau barang telah mengikuti persya-
ratan yang diberlakukan oleh hukum Islam (Adinugraha et al, 2021).
Kebanyakan orang mengasosiasikan halal dengan produk, namun tidak
banyak yang menyadari bahwa halal juga diasosiasikan dengan jasa seperti
pariwisata. Meskipun telah ada beberapa upaya untuk mendefinisikan pari-
wisata halal (Adinugraha, 2021), perlu dicatat bahwa saat ini belum ada de-
finisi yang disepakati, mungkin karena konsepnya multidisiplin. Misalnya,
Ahmed & Akbaba (2018) menggambarkan pariwisata halal sebagai kegiat-
an pariwisata yang diperbolehkan dalam Islam untuk menarik baik muslim
maupun nonmuslim. Vargas-Sanchez et al (2020) mendefinisikannya seba-
gai “dorongan wisatawan untuk memenuhi persyaratan syariat Islam”. Se-
mentara Carboni et al (2014) menyebut pariwisata halal sebagai “pariwisa-
ta sesuai dengan Islam, yang melibatkan orang-orang beragama Islam yang
tertarik untuk menjaga kebiasaan keagamaan pribadi mereka saat bepergi-
an”.

134 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Karena faktor demografis dan tingkat pengeluaran di kalangan muslim
dan nonmuslim, pasar wisata halal tampaknya memiliki potensi masa de-
pan yang kuat. Sementara tingkat pertumbuhan populasi dunia adalah 0,7
persen di negara-negara mayoritas nonmuslim, itu adalah 1,5 persen di ne-
gara-negara mayoritas muslim, dan populasi muslim telah berlipat ganda
selama beberapa dekade terakhir. Pengeluaran wisatawan muslim juga me-
ningkat secara eksponensial, mencapai $220 miliar pada tahun 2020 diban-
dingkan dengan $156 miliar pada tahun 2016 (Jailani & Adinugraha, 2022).
Meskipun wisata halal dianggap sebagai ceruk pasar, namun mencakup
banyak wilayah administratif. Pariwisata halal membutuhkan makanan ha-
lal, hiburan halal, pemisahan gender, lembaga keuangan Islam, maskapai pe-
nerbangan, dan paket wisata (Ismanto & Madusari, 2020). Kehadiran fasili-
tas ini sangat penting bagi umat Islam (Fadholi et al, 2020). Banyak negara
muslim dan nonmuslim bersaing untuk menjadi tujuan utama di pasar yang
menggiurkan ini meskipun wisata halal membutuhkan infrastruktur dan la-
yanan yang luas. Menurut sebuah studi terbaru oleh Yagmur (2020), 130 ne-
gara menjadi tujuan wisata halal pada tahun 2017, di mana hanya 46 negara
yang berpenduduk mayoritas muslim, salah satunya ialah Indonesia.
Selama perjalanan, wisatawan mengambil gambar dan berbagi pemi-
kiran mereka di media sosial untuk memperbarui teman dan keluarga dan
untuk berbagi pengalaman mereka dengan pemilik bisnis, yang biasanya
meminta pelanggan untuk mengisi survei pengalaman pelanggan. Dengan
demikian, media sosial telah menjadi sumber data yang kaya yang dapat di-
panen untuk penelitian (Feizollah et al, 2021).
Pencarian keberlanjutan atau SDGs di sektor pariwisata halal seyogianya
ditempatkan dan dipahami dalam konteks Agenda 2030 untuk pembangun-
an berkelanjutan, yang menjabarkan 17 tujuan dan 169 target, mengatur
dunia pada jalur yang adil dan merata menuju tahun 2030 (United Nations,
2020). Setelah adopsi tujuan dan target ambisius ini pada tahun 2015, UN-
WTO mencanangkan tahun 2017 sebagai Tahun Pariwisata Berkelanjutan.
Hampir lima tahun setelah pengadopsian SDGs, ada kebutuhan untuk men-
catat apa yang telah dicapai oleh sektor pariwisata halal (United Nations,
2018). Kemajuan dalam memenuhi target yang ditetapkan pada tahun 2030
berjalan lambat dan target tersebut kemungkinan besar tidak akan terca-
pai dan telah menyerukan lebih banyak tindakan yang harus diambil untuk

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 135
meningkatkan kecepatan tindakan (United Nations, 2019). Untuk beberapa
waktu, industri pariwisata halal dianggap sebagai industri yang tidak ber-
bahaya. Narasinya adalah industri yang bersinar yang secara signifikan ber-
kontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi, termasuk mempekerja-
kan perempuan, laki-laki, dan karyawan semiterampil (Ramadhani, 2021).
Laporan terbaru menunjukkan bahwa industri pariwisata halal adalah salah
satu yang tumbuh paling cepat, berkontribusi terhadap pembangunan eko-
nomi secara global dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang melampaui
tingkat pertumbuhan nasional (Ferdiansyah, 2020).
Pertumbuhan di sektor pariwisata halal bukannya tanpa pertanyaan. Pe-
mikiran skeptis peneliti diajukan mengenai keberlanjutan pariwisata halal
di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang beban lingkungan (Sayekti,
2019). Pertanyaan juga muncul mengapa industri pariwisata halal tidak me-
menuhi tujuan MDGs bersama industri lain (Janoušková et al, 2018). Ada
juga kritik yang berkembang tentang bagaimana industri memperlakukan
perempuan, umumnya hak-hak pekerja dan masyarakat tuan rumah (Rah-
mi, 2020). Pertanyaan lebih lanjut muncul tentang bagaimana pendirian
usaha-usaha di beberapa pasar memengaruhi harga barang dan jasa, terma-
suk makanan. Ada kekhawatiran bahwa makanan yang dikonsumsi wisata-
wan di hotel tidak diproduksi secara berkelanjutan dan menimbulkan biaya
tinggi bagi lingkungan (Kusumaningtyas & Lestari, 2020). Dampak per-
tumbuhan pariwisata halal dikaitkan dengan kerusakan lingkungan seper-
ti pertumbuhan emisi karbon dan polusi di sebagian besar tujuan pariwisa-
ta halal (Rachmiatie et al, 2020) dengan seruan agar sektor pariwisata halal
merangkul keberlanjutan dan perilaku etis untuk melindungi lingkungan.
Kemaslahatan terbaik pariwisata halal di Indonesia untuk merangkul
SDGs mengingat kepekaan terhadap degradasi lingkungan. Namun, dorong-
an itu terhambat oleh kurangnya pemahaman tentang cara terbaik untuk
mengintegrasikan SDGs ke dalam kerangka bisnis pariwisata halal. Penegas-
an ini diamati sebelumnya oleh Dube & Nhamo, (2021) yang mencatat bah-
wa unsur-unsur utama dan gagasan keberlanjutan sering hilang dalam ter-
jemahan ketika masyarakat sedang melakukan pembangunan. Sering kali
ada penekanan pada dimensi ekonomi jangka pendek dengan mengorban-
kan dimensi lingkungan dan sosial terlepas dari signifikansinya. Beberapa
tantangan yang perlu diatasi oleh wisatawan dan pelaku usaha pariwisata

136 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
halal di Indonesia untuk memastikan jalan yang tepat untuk mencapai ke-
berlanjutan demi meningkatkan peran di ruang ini dan untuk membantu
menginformasikan praktik pariwisata halal di Indonesia.
Tantangan dalam Implementasi SDGs pada
Industri Pariwisata Halal di Indonesia
Pariwisata halal di Indonesia telah melakukan upaya signifikan untuk
bermitra dengan individu dan organisasi untuk memastikan pencapaian
SDGs (Selamat & Endut, 2020). Kerja samanya yang erat dengan berbagai
universitas di dalam negeri telah membuka peluang besar bagi penelitian
kelas dunia untuk membantu memberikan solusi guna mencapai SDGs. Pa-
riwisata halal dianggap sebagai potensi baru di Indonesia dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat, dengan kontribusinya yang didokumentasikan de-
ngan baik dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Kerja sama yang
erat dengan pemerintah dan pihak swasta sangat penting dalam memasti-
kan efisiensi sumber daya dan harus dilihat secara positif.
Melalui silaturahmi dan networking para stakeholder, pariwisata ha-
lal yang berdedikasi, para pelaku pariwisata halal di Indonesia telah be-
kerja untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Sebuah
contoh utama dari hal ini adalah sumber dana untuk mendirikan destinasi
baru pariwisata halal di pedesaan seperti desa wisata halal Setanggor, Lom-
bok, NTB. Juga dicatat bahwa kerja sama dan penggalangan dana aktif te-
lah membuahkan hasil positif dalam partisipasi luas dalam kegiatan pari-
wisata halal baik tingkat regional dan nasional. Proyek masyarakat sekitar
sering menerima tamu penginapan pariwisata halal dari dalam negeri se-
bagai sukarelawan untuk proyek ini, yang membantu kaum muda memper-
luas pengalaman dan aspirasi pembangunan mereka. Interaksi bisnis pari-
wisata halal dengan masyarakat tuan rumah seperti itu membantu dalam
membangun hubungan yang sehat yang memberikan landasan kuat untuk
berbagai manfaat lain yang didokumentasikan sebelumnya. Model yang di-
terapkan oleh pariwisata halal di Indonesia memajukan dikte pariwisata in-
klusif, yang berada di garis depan agenda UNWTO. Hubungan baik dengan
masyarakat tuan rumah menciptakan suasana yang bersahabat bagi wisata-
wan dan mendapatkan kerja sama yang menguntungkan pengembangan pa-
riwisata halal di Indonesia.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 137
Harus disadari dan diapresiasi bahwa meskipun perusahaan dan orga-
nisasi sangat ingin mengimplementasikan SDGs, ada tantangan yang sering
dihadapi oleh organisasi yang dapat menggagalkan upaya untuk menginter-
nalisasikan proses SDGs dalam sistem pariwisata halal di Indonesia. Bebera-
pa tantangan sehubungan dengan pelaksanaan hal tersebut sudah sering di-
bahas dalam penelitian-penelitian terdahulu seperti kualitas SDM dan SDA
sebagai aset utama dalam pariwisata halal. Sementara pariwisata halal di
Indonesia bersiap untuk meningkatkan sumber daya alam (SDA) yang di-
kaitkan dengan peristiwa cuaca ekstrem, tetap menjadi tantangan. Rawan
bencana di Indonesia menyebabkan penurunan jumlah kedatangan turis ka-
rena kedatangan turis semakin dalam, karena sebagian besar pariwisata ha-
lal bergantung pada sumbangan para turis. Menurunnya jumlah wisatawan
berarti berkurangnya pendapatan untuk kehidupan mereka, terutama ma-
syarakat yang tidak mandiri.
Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa sebagai pelaku dalam pa-
riwisata halal, mereka rentan terhadap gejolak pasar dan bencana global
yang memengaruhi pendapatan dan akibatnya kontribusi mereka terha-
dap komunitas, keberlanjutan, dan investasi budaya. Hamzah et al (2018)
menyebutkan bahwa beberapa peristiwa terbaru yang berdampak negatif
pada mereka termasuk Covid-19 dan resesi ekonomi. Kemerosotan seper-
ti itu merusak kapasitas para pelaku pariwisata halal untuk berkontribusi
secara efektif terhadap target SDGs-nya. UNWTO telah mengaitkan pemba-
ngunan pariwisata dengan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs)
dan 169 tujuan transformatif, terintegrasi, universal, dan berpusat pada ma-
nusia terkait karena potensi pariwisata yang beragam (UNWTO, 2008).
Di seluruh dunia, pariwisata dianggap sebagai sumber pembangunan
ekonomi dan telah menjadi bagian dari perencanaan strategis di hampir se-
tiap negara (Rahmawati & Parangu, 2021). Studi pariwisata berkonsentrasi
pada kesejahteraan melalui istilah terkait seperti kepuasan hidup, kualitas
hidup, kesehatan, dan kebahagiaan (Jumail & Mahsun, 2018). Peneliti ter-
kemuka seperti Battour & Ismail (2016) telah mengusulkan dua model un-
tuk menguji hubungan antara pariwisata halal dan kesejahteraan dari sudut
pandang sistem SDGs.

138 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Implikasi SDGs terhadap Kegiatan
Pariwisata Halal di Indonesia
Selain pembangunan berkelanjutan, pemain kunci lain dalam analisis
bibliometrik ini adalah konsep pariwisata halal di Indonesia. Cattani et al
(1987) menyebutnya sebagai pariwisata yang terkait dengan latihan roha-
ni dan menawarkan beberapa wawasan religi tentang bagaimana bidang pe-
nelitian ini berkembang. Seperti yang dinyatakan oleh Carneiro Da Cunha et
al (2015), pariwisata halal, ekowisata, wisata religi, digunakan dengan ba-
tasan yang membingungkan. Beberapa mengasosiasikannya dengan aktivi-
tas, agama, atau mobilitas (Mohammed, 2017), sementara yang lain meli-
hatnya lebih dari itu dan menganggapnya sebagai “pengalaman bermakna
yang menghubungkan manusia dengan tuhan YME” (Sartika et al, 2018). Di
mana tampaknya ada konsensus dalam kenyataan bahwa kawasan wisata
berbasis nilai-nilai halal termasuk kegiatan fisik untuk rekreasi telah meng-
alami peningkatan minat dalam beberapa tahun terakhir dan membentuk
sektor yang berbeda (Rahmanto, 2013). Itulah yang terjadi di Indonesia, di
mana kerangka kebijakan dan undang-undang baru-baru ini dibuat di seki-
tar bidang ini, dan pariwisata halal diakui sebagai bidang khusus dalam in-
dustri pariwisata (Heliany, 2019). Dari perspektif permintaan, tren mencari
liburan religi dengan karakter dinamis dan interaktif di Indonesia telah teri-
dentifikasi setidaknya sejak maraknya kesadaran akan menunaikan ibadah
umrah (Suharto & Fasa, 2017).
Inna Aniyati (2018) mendefinisikan pariwisata halal sebagai alternatif
terkonsolidasi dari pariwisata tradisional yang terdiri dari penyediaan kegi-
atan rekreasi, religi dan budaya, baik di alam maupun di gunung, yang mem-
butuhkan pengetahuan sebelumnya untuk melakukannya. Pariwisata halal
berada di antara praktik wisata pada umumnya, di mana pariwisata halal
merupakan kegiatan pariwisata dan minat terhadap keagungan ciptaan Tu-
han, lingkungan, dan memiliki karakter multidisiplin yang tidak dapat dide-
kati dari satu perspektif (Budi Witarto & Trishuta Pathiassana, 2020). Dari
perspektif yang lebih sempit, Yaqin (2017) mendefinisikan pariwisata halal
sebagai “kegiatan religi dengan intensitas batiniah yang menggunakan sum-
ber daya alam tanpa merusaknya” dan mengusulkan model konseptual di
mana pariwisata halal dianggap sebagai bagian dari sektor pariwisata ber-
basis nilai-nilai halal yang lebih luas.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 139
Terlepas dari perbedaan konseptual dalam literatur tentang pariwisata
halal dan bidang terkait, sebagian besar komunitas pariwisata halal di In-
donesia telah menyetujui peraturan di mana pariwisata halal disebut seba-
gai sektor atau subsektor khusus (Vargas-Sanchez et al, 2020). Unsur-unsur
umum dalam definisi mereka termasuk aktivitas rohani, jasmani, budaya
dan petualangan yang terspesialisasi, memiliki komponen waktu luang atau
rekreasi yang kuat dan dipraktikkan dengan menggunakan sumber daya
yang ditawarkan oleh alam di lingkungan tempatnya berlangsung.
Setelah mengumpulkan beberapa definisi dan batasan seputar pariwisa-
ta halal dalam literatur, untuk tujuan penelitian ini, layanan pariwisata halal
adalah tentang memberikan rekreasi, religi, dan kegiatan rohani, yang dip-
raktikkan sambil memanfaatkan sumber daya yang ditawarkan oleh alam di
lingkungan tempatnya dilakukan, baik itu udara, darat, bawah tanah, pera-
iran, atau bawah air.
Berkaitan bidang tematik utama yang terlibat dalam penelitian ini, ulas-
an Muarifuddin (2017) tentang teori pembangunan memberikan diskusi
mendalam seputar sejauh mana prinsip dan tujuan pembangunan berke-
lanjutan dapat dialihkan ke konteks khusus pariwisata halal. Dalam hal ini,
penulis menyimpulkan bahwa “pariwisata halal secara luas dianggap seba-
gai sarana yang efektif untuk pembangunan, meskipun tujuan dan proses
inheren dari “pembangunan” sebagian besar diabaikan dalam literatur pa-
riwisata halal”. Dalam ulasan Wijaya & Sholeh (2020), istilah pertumbuhan
sebagai pendekatan alternatif untuk pembangunan dibahas. Selain itu, se-
perti Bustamam & Suryani (2021) menyebutkan, “untuk mempertahankan
daya tarik destinasi berbasis alam setelah perubahan iklim dapat memberi-
kan wawasan penting bagi otoritas yang bertanggung jawab dalam penge-
lolaan ekowisata”. Ekuilibrium ini dinyatakan juga oleh Perdana et al (2021)
yang menyebut pentingnya keberlanjutan destinasi sebagai motif atraksi.
Kekhawatiran tentang hubungan antara pariwisata halal dan pemba-
ngunan berkelanjutan (Maharani, 2021), perlunya mengembangkan pe-
nelitian akademik tentang pariwisata berbasis nilai-nilai halal dan religi
(Umara, 2020), dan pentingnya SDGs saat ini, berfungsi sebagai dasar un-
tuk mengidentifikasi kegiatan pariwisata halal dapat memberikan kontribu-
si terhadap dimensi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, sosial, budaya, dan
tata kelola. Temuan penelitian ini senada dengan metodologi yang diterap-

140 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
kan dalam penelitian lainnya yang didasarkan pada theory of forgotten efec-
ts, yang melibatkan penggunaan matriks berbeda yang mewakili hubungan
antara elemen berbeda (Perez-Romero et al, 2021). Menurut pendapat para
ahli, hubungan efek langsung dan tidak langsung terhadap pembangunan
berkelanjutan yang disebabkan oleh pariwisata halal dinilai.
Terlepas dari jumlah dimensinya, terdapat beberapa penelitian terda-
hulu yang menunjuk pada dua pendekatan yang berlawanan terhadap ke-
berlanjutan: pendekatan dimensi dan hubungan dualistik antara manusia
dan alam. Adapun indikatornya mengacu pada pendekatan ilmiah untuk pe-
ngembangan indikator, yang mengejar sejumlah besar informasi, dan pen-
dekatan pembuat kebijakan, berdasarkan konsensus di antara para pe-
mangku kepentingan untuk mencapai alat analisis sintetik dalam pariwisata
halal di Indonesia.
Penelitian ini menemukan bahwa variasi kegiatan pariwisata halal di In-
donesia memengaruhi dimensi utama keberlanjutan telah menghubungkan
para pelaku pariwisata halal di Indonesia dengan SDGs. Secara khusus, para
ahli dari bidang yang terkait dengan keberlanjutan dan pariwisata halal ak-
tif memberikan wawasan mereka tentang tingkat dampak yang dimiliki oleh
berbagai jenis kegiatan terhadap dimensi keberlanjutan.
Karena itu, penelitian ini berfokus pada yang terakhir, sambil memper-
timbangkan Agenda 2030 sebagai tengara universal. Mengingat beragam-
nya isu keberlanjutan yang tercakup dalam Agenda 2030 ini, yang ditangani
oleh tujuan multisektoral, global, dan saling bergantung yang menjalin tiga
dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, lingkungan, dan sosial), ke-
rangka kerja pariwisata halal di Indonesia dianggap lebih baik dalam mela-
yani tujuan dan ruang lingkup penelitian ini, berkaitan dengan masalah ke-
berlanjutan di Indonesia dengan SDGs.
Terlepas dari kerangka kerja yang diterapkan, tantangan umum dalam
penelitian dan akademisi muncul, seperti kesenjangan dan peluang untuk
melakukan studi dan menghasilkan bukti tentang topik terkait SDGs seperti
transfer tujuan pembangunan berkelanjutan ke dalam konteks nasional dan
lokal, pemantauan dan evaluasi kontribusi dan dampak pada pembangunan
berkelanjutan oleh sektor, atau perumusan praktik baik berbasis bukti dan
rekomendasi dalam hal ini.
Temuan penelitian ini bermaksud untuk menghilangkan beberapa ke-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 141
senjangan tersebut, untuk berpartisipasi dalam perdebatan yang sedang
berlangsung seputar keberlanjutan dan pariwisata halal, dan untuk meng-
informasikan praktik masa depan dengan hasil berbasis bukti. Penelitian ini
menjadi titik awal penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi kajian
hubungan aktual dan potensial antara layanan pariwisata halal di Indone-
sia dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Hasil studi ini memungkinkan
menginformasikan pengambilan keputusan dan rekomendasi menuju reali-
sasi tujuan pembangunan ekonomi, lingkungan, dan sosial, yang berkelan-
jutan pada bidang pariwisata halal di Indonesia.
Relevansi Kontribusi Pariwisata Halal
di Indonesia Berkat SDGs
Peningkatan signifikan popularitas rekreasi berbasis alam dan wisata re-
ligi dengan branding halal selama beberapa dekade terakhir. Demikian juga,
beberapa penelitian mengacu pada pariwisata halal sebagai segmen kepen-
tingan strategis yang muncul untuk beberapa tujuan di Indonesia. Pariwi-
sata berbasis halal value sebagai sektor industri pariwisata domestik yang
tumbuh paling cepat. Terlepas dari pertumbuhan industri pariwisata halal
dan bisnis terkait yang stabil, penelitian akademik di bidang ini tidak ber-
kembang dengan kecepatan yang sama; mengingat tingginya jumlah penulis
atau peneliti terdahulu yang mempertanyakan apakah pentingnya peneliti-
an tentang pariwisata halal di Indonesia dapat dibandingkan dengan pen-
tingnya sektor tersebut; umumnya penelitian tentang pariwisata halal me-
miliki tradisi akademis yang singkat.
Analisis bibliometrik penelitian dalam pariwisata halal sejak 2015 (Is-
tilah wisata halal baru mulai dikenal sejak 2015 ketika sebuah event Wor-
ld Halal Tourism Summit (WHTS) digelar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Sebelumnya, dunia pariwisata hanya mengenal muslim tour (atau semisal-
nya) (Aulia Ramadhani et al, 2020) mengidentifikasi pengembangan empat
bidang tematik utama yang terkait: pelestarian alam, minat penduduk, je-
jak religi, dan perilaku wisatawan. Peneliti menunjukkan hubungan melalui
analisis kata kunci di antara topik inti berikut: pariwisata halal, pariwisata
berkelanjutan, perubahan budaya, pariwisata berbasis religi, pembangun-
an berkelanjutan, dan kawasan industri halal. Sebagai celah penelitian dan
penelitian masa depan, para peneliti sebelumnya menunjukkan pelestarian

142 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
budaya dan pariwisata berbasis religi sebagai subjek yang harus ditangani
dan penerapan metode penelitian baru selain studi kasus dan pengembang-
an konseptual.
Organisasi pariwisata di Indonesia mulai gencar berfokus pada kemung-
kinan pariwisata halal untuk mendukung pencapaian SDGs dan mengi-
dentifikasi kontribusi khusus yang dapat diberikan sektor ini untuk ma-
sing-masing tujuan tersebut (17 tujuan). Hal ini selaras dengan Agenda
2030 mengacu pada tiga dimensi luas pembangunan berkelanjutan: ekono-
mi, lingkungan, dan sosial (United Nations, 2020). Karena itu, tujuan pem-
bangunan berkelanjutan dapat dikelompokkan dalam tiga dimensi triple
bottom line.
Agenda 2030 memecah dimensi-dimensi ini menjadi berbagai tujuan,
yang pada gilirannya bertujuan untuk mencapai hasil pembangunan yang
lebih spesifik. Hubungan antara SDGs dan hasil pembangunan dimulai dari
tingkat yang paling umum (SGDs sebagai tujuan global) ke tingkat hasil yang
paling spesifik: target dan indikator pembangunan, yang merupakan kunci
untuk mengukur hasil di setiap SDGs. Misalnya, SDGs 3 tentang kesehatan
dan kesejahteraan termasuk sebagai target “pada tahun 2030, mengurangi
sepertiga kematian dini akibat penyakit tidak menular melalui pencegahan
dan pengobatannya, dan meningkatkan kesehatan mental dan kesejahtera-
an” yang akan diukur melalui indikator “tingkat kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, atau penyakit pernapasan
kronis”. Seperti yang disajikan pada bagian berikut, pekerjaan ini berfokus
pada tingkat dimensi keberlanjutan, dalam pendekatan awal untuk topik
penelitian yang dipelajari yang ingin dikembangkan lebih lanjut dengan fo-
kus pada aspek pembangunan berkelanjutan yang lebih spesifik.
Analisis penelitian tentang pariwisata halal berkelanjutan di Indonesia.
Peneliti meninjau beberapa kerangka kebijakan, di antaranya Agenda 2030,
dan berfokus pada wilayah geografis ini untuk mengidentifikasi dampak pa-
riwisata terkait keberlanjutan, khususnya yang memengaruhi destinasi pa-
riwisata halal di Indonesia.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 143
Gambar 1. Kontribusi pariwisata terhadap SDGs
Berdasarkan gambar di atas, dapat dideskripsikan bahwa: SDG 1, Tanpa
Kemiskinan: pariwisata berkelanjutan, dan dampaknya di tingkat masyara-
kat, dapat dikaitkan dengan tujuan pengentasan kemiskinan nasional, yang
terkait dengan mempromosikan kewirausahaan dan usaha kecil, dan mem-
berdayakan kelompok yang kurang beruntung. SDG 2, Nol Kelaparan: pa-
riwisata dapat memacu produktivitas pertanian dengan mempromosikan
produksi, penggunaan, dan penjualan produk lokal di tujuan wisata dan in-
tegrasi penuhnya dalam rantai nilai pariwisata. SDG 4, Pendidikan Berkua-
litas: sektor ini dapat memberikan insentif untuk berinvestasi dalam pendi-
dikan dan pelatihan kejuruan dan membantu mobilitas tenaga kerja melalui
perjanjian lintas batas tentang kualifikasi, standar, dan sertifikasi. SDG 5, Ke-
setaraan Gender: pariwisata dapat memberdayakan perempuan dalam ber-

144 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
bagai cara, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan melalui pelu-
ang menghasilkan pendapatan. SDG 6, Air Bersih dan Sanitasi: penggunaan
air yang efisien dalam pariwisata, ditambah dengan langkah-langkah kea-
manan yang tepat, pengelolaan air limbah, pengendalian polusi, dan efisi-
ensi teknologi, dapat menjadi kunci untuk menjaga sumber daya yang ber-
harga ini. SDG 7, Energi Terjangkau dan Bersih: dengan mempromosikan
investasi jangka panjang pada sumber energi berkelanjutan, pariwisata da-
pat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi perubah-
an iklim. SDG 8, Kerja Layak dan Pertumbuhan Ekonomi: dengan membe-
rikan akses kesempatan kerja yang layak di sektor pariwisata, masyarakat
dapat memperoleh manfaat dari pengembangan profesional. Target 8.9
“Pada tahun 2030, menerapkan kebijakan untuk mempromosikan pariwi-
sata berkelanjutan yang menciptakan lapangan kerja dan mempromosikan
budaya dan produk lokal”. SDG 9, Industri, Inovasi dan Infrastruktur: sektor
ini dapat memberi insentif kepada pemerintah untuk meningkatkan infra-
struktur dan meretrofit industri mereka, menjadikannya lebih berkelanjut-
an. SDG 10, Mengurangi Ketimpangan: pariwisata dapat menjadi alat yang
ampuh untuk pengembangan masyarakat dan mengurangi ketidaksetaraan
jika melibatkan penduduk lokal dan semua pemangku kepentingan utama
dalam pembangunannya.
Selanjutnya, SDG 12, Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung Jawab:
pariwisata dapat menerapkan praktik konsumsi dan produksi yang berke-
lanjutan. Target 12b: mengembangkan dan menerapkan alat untuk meman-
tau dampak pembangunan berkelanjutan untuk pariwisata berkelanjutan
yang menciptakan lapangan kerja, mempromosikan budaya dan produk lo-
kal. SDG 13, Aksi Iklim: dengan menurunkan konsumsi energi dan beralih ke
sumber energi terbarukan, khususnya di sektor transportasi dan akomoda-
si, pariwisata dapat membantu mengatasi salah satu tantangan paling men-
desak saat ini. SDG 14, Kehidupan di Bawah Air: wisata pesisir dan bahari,
segmen terbesar pariwisata, mengandalkan ekosistem laut yang sehat. Tar-
get 14.7 bertujuan untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari pemanfaatan
sumber daya laut secara berkelanjutan, termasuk melalui pengelolaan per-
ikanan, akuakultur, dan pariwisata yang berkelanjutan. SDG 15, Kehidupan
di Darat: pariwisata berkelanjutan dapat memainkan peran utama dalam
menghormati ekosistem darat, karena upayanya terhadap pengurangan lim-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 145
bah dan konsumsi, konservasi flora dan fauna asli, dan peningkatan kesa-
darannya. SDG 16, Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat: ka-
rena pariwisata melibatkan miliaran pertemuan antara orang-orang dari
berbagai latar belakang budaya, sektor ini dapat mendorong pemahaman
multikultural dan antaragama. SDG 17, Kemitraan untuk Tujuan: karena si-
fatnya yang lintas sektor, pariwisata memiliki kemampuan untuk memper-
kuat kemitraan swasta atau publik dan melibatkan banyak pemangku ke-
pentingan internasional, nasional, regional, dan lokal, untuk bekerja sama.
Paradigma implikasi kebijakan pariwisata berkelanjutan bertujuan un-
tuk mengutamakan decoupling asosiasi antara pembangunan pariwisata ha-
lal dan kerusakan lingkungan. Pariwisata berkontribusi pada sepersepuluh
dari output global, sekitar sepertiga dari ekspor jasa dunia, dan satu dari se-
tiap sepuluh pekerjaan di seluruh dunia (Bhuiyan & Darda, 2021). Terlepas
dari kenyataan bahwa ada kekhawatiran yang ada tentang ekspansi ekono-
mi yang dipicu oleh pariwisata dan hasil lingkungan yang merugikan, pari-
wisata tetap dielu-elukan sebagai sumber pendapatan global dan pengem-
bangan lapangan kerja. Selama dua dekade terakhir, istilah ‘pariwisata halal’
dan ‘pariwisata berkelanjutan’ telah menarik banyak perhatian dari para
peneliti dan pembuat kebijakan (Junaidi, 2019). Namun, tampaknya ada ke-
senjangan yang signifikan antara teori dan praktik dalam domain ini. Kon-
sekuensi dari pengumuman tahun 2017 sebagai Tahun Internasional untuk
Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan oleh PBB, sebagian besar ne-
gara di seluruh dunia mengeksplorasi kembali dampak pariwisata dan me-
rumuskan kebijakan untuk mempromosikan praktik pariwisata berkelan-
jutan yang dapat berkontribusi pada tujuan SDGs PBB. Selain itu, 17 target
SDGs yang berbeda telah membangkitkan kembali rasa urgensi dalam in-
dustri pariwisata untuk mengatasi masalah-masalah seperti pengentasan
kemiskinan (SDG 1), ketahanan pangan (SDG 2), dan memerangi degradasi
lingkungan (SDG 13). Keindahan gagasan pariwisata berkelanjutan terletak
pada kenyataan bahwa lima pilar pariwisata berkelanjutan (UNWTO, 2021)
selaras dengan 17 SDGs, artinya suatu negara jika target untuk mencapai
pertumbuhan pariwisata berkelanjutan secara otomatis juga akan maju di
semua 17 SDGs’s. Pemandangan alam dan warisan budaya Indonesia yang
kaya dikombinasikan dengan dorongan kebijakan melalui kampanye “Halal
Tourism Indonesia: The Halal Wonder” menjadikannya kandidat yang layak

146 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui praktik pariwisata halal
berkelanjutan. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti telah menganalisis
keadaan saat ini dan dampak pariwisata halal di Indonesia terhadap pem-
bangunan berkelanjutan.
Gambar 2. Jargon wisata halal Indonesia
Konsekuensi SDGs pariwisata halal di Indonesia ialah perencanaan ke-
bijakan untuk mengembangkan praktik pariwisata halal berkelanjutan di-
rancang tidak hanya untuk mengadvokasi kesejahteraan sosial, budaya,
dan ekonomi bangsa, tetapi juga untuk memenuhi komitmen ekologis me-
lalui pengejaran kesejahteraan lingkungan. Literatur yang ada tentang pe-
ngaruh pengembangan pariwisata halal terhadap kesejahteraan lingkung-
an memberikan hasil yang bervariasi. Misalnya, penyelidikan empiris oleh
Han (2019) mengonfirmasi hasil yang merugikan dari pengembangan pa-
riwisata halal terhadap lingkungan. Sebaliknya, penelitian lain menyimpul-
kan bahwa jalur ekspansi sektor pariwisata halal secara substansial dapat
berkontribusi pada kesejahteraan lingkungan (Perbawasari, 2019). Selain
itu, investasi modal di sektor pariwisata halal dapat dipandang sebagai sa-
lah satu pendorong penting untuk mengembangkan praktik pariwisata halal
berkelanjutan. Sementara berbagai penelitian dalam literatur menganggap
faktor ini sebagai komponen yang berdiri sendiri dalam penentuan kesejah-
teraan lingkungan (Rahman, 2020), ada juga beberapa hasil penelitian ter-
dahulu yang ditemukan untuk menguji efek komposit pembentukan modal
dalam pengembangan pariwisata halal.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 147
Terhadap kesenjangan literatur ini, temuan penelitian ini mengambil
pandangan unik untuk menganalisis peran pembangunan pariwisata halal
dalam keberlanjutannya di Indonesia. Dalam riset ini, data-data literer te-
lah digunakan. Studi ini dalam berbagai cara menambah tubuh pengetahuan
saat ini tentang SDGs dalam pariwisata halal di Indonesia. Untuk memulai
literatur SDGs dalam pariwisata halal di Indonesia, peneliti telah menggu-
nakan data SDGs dan praktik pariwisata halal. Seharusnya, ini adalah upa-
ya pertama dari banyak literatur yang meneliti efek gabungan dari SDGs dan
praktik pariwisata halal. Penelitian ini telah mengkaji peran pembangunan
pariwisata halal dalam membawa kelestarian lingkungan dalam kerangka
SDGs (Rej et al, 2022).
Gambar 3. SDGs dan 5 pilar pariwisata berkelanjutan. Sumber: Rej et al (2022).
Sementara SDGs secara luas dibingkai dengan 17 tujuan, gambar SDGs
dan 5 pilar pariwisata berkelanjutan di atas tujuan dan targetnya secara in-
heren terhubung satu sama lain membentuk sistem yang kompleks. Tindak-
an mendukung satu tujuan dapat memengaruhi kemajuan tujuan lain, baik
secara positif (sinergi) atau negatif (trade-offs). Pengelolaan sinergi dan
trade-off yang efektif merupakan prasyarat untuk memastikan koherensi
kebijakan dari Pemerintah Indonesia berkaitan dengan SDGs pariwisata ha-

148 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
lal di Indonesia.
Agenda 2030 memetakan serangkaian 17 tujuan pembangunan berke-
lanjutan (SDGs) yang secara eksplisit menggabungkan dimensi keberlan-
jutan ekonomi, lingkungan, dan sosial (Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015).
SDGs mencakup beragam isu seperti kemiskinan (SDG 1), pendidikan (SDG
4), ketimpangan (SDG 10), dan perubahan iklim (SDG 13), dalam tujuan ter-
pisah. Akan tetapi, tujuan-tujuan ini tidak ada secara terpisah satu sama
lain. Sebaliknya, SDGs dan target terkait semuanya berinteraksi pada tingkat
yang lebih dalam, melalui hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tindak-
an yang mendukung satu tujuan atau sasaran dapat memengaruhi kemaju-
an dalam tujuan atau sasaran lain, baik secara positif (sinergi) atau negatif
(trade-off). Peningkatan produktivitas pertanian (Target 2.3), misalnya, da-
pat membantu mengatasi kelaparan (Target 2.1) dan gizi (Target 2.2), te-
tapi dapat mengintensifkan penggunaan air, memengaruhi akses terhadap
air dan sanitasi (Target 6.1 dan 6.2). Karena itu, perumusan kebijakan per-
lu melepaskan diri dari pemikiran berbasis silo dan mempertimbangkan ke-
terkaitan SDGs.
Sementara itu, banyak sarjana, wadah pemikir, dan lembaga internasi-
onal, telah menyoroti adanya sinergi dan pertukaran di seluruh SDGs, de-
ngan beberapa di antaranya menyediakan konsep dan kerangka analisis
untuk lebih memahami dan menilai keterkaitan SDGs dari perspektif jaring-
an. Sementara Rej et al (2022) menawarkan kerangka tujuh skala untuk in-
teraksi di antara SDGs. Kerangka kerja tersebut untuk memberikan anali-
sis rinci tentang tujuan dan target yang dipilih. Rahmawati Sushanti et al
(2018) memetakan interaksi target air (Tujuan 6) dengan SDGs lainnya se-
cara komprehensif tetapi tidak mempertimbangkan aspek pengelolaan ter-
padu sumber daya air. Metodologi yang memberikan opsi untuk mengukur
keterkaitan SDGs termasuk karya Jiménez-Aceituno et al (2020).
Karena itu, pendekatan untuk mengatasi keterkaitan SDGs merupakan
gabungan dari metodologi berbasis data, konsultasi pemangku kepentingan,
dan pendapat ahli. Setiap pendekatan mungkin memiliki kelebihan dan ke-
kurangannya sendiri. Pendekatan berbasis konsultasi pemangku kepenting-
an dapat memberikan wawasan yang berguna tentang konteks keterkaitan
SDGs di wilayah geografis tertentu, tetapi dapat menjadi bias karena pemi-
lihan pemangku kepentingan. Pendekatan berbasis opini ahli dapat mem-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 149
berikan informasi yang sangat terperinci dan kaya akan informasi sektor
spesifik. Namun, karena SDGs mencakup berbagai isu yang sangat luas, pen-
dekatan berbasis pendapat ahli lebih cocok untuk diskusi tematik tertentu
daripada seluruh rangkaian SDGs. Pendekatan berbasis data dapat menang-
kap situasi nyata dari indikator SDGs, dan keterkaitan di antara SDGs, de-
ngan menggunakan data kehidupan nyata. Tetapi pendekatan statistik yang
semata-mata digerakkan oleh data dapat mengabaikan konteks dan landas-
an teoretis dari hubungan kausal di antara SDGs. Pendekatan berbasis data
juga dikompromikan oleh kualitas dan kuantitas data yang tersedia. Sing-
katnya, kombinasi pendekatan berbasis data berdasarkan tinjauan literatur
yang solid, pendapat ahli, dan konsultasi pemangku kepentingan, mungkin
lebih efektif dalam mengidentifikasi dan mengukur keterkaitan tersebut.
Terlepas dari studi tahap awal tentang interaksi SDGs ini, masih ada ke-
kurangan metodologi dan kerangka kerja untuk mengatasi banyak masalah
penting lainnya. Misalnya, selain kebijakan nasional, keterkaitan SDGs juga
penting dalam 13 kebijakan daerah. Bagaimana dua target SDGs berinter-
aksi satu sama lain dapat berbeda antarwilayah bahkan di dalam satu nega-
ra. Dimensi spasial seperti interaksi antarwilayah juga patut mendapat per-
hatian. Misalnya, di dalam pariwisata halal, praktik atraksi budaya religi di
daerah hulu mungkin sinergis dengan ekonomi lokal dan masyarakat tetapi
dapat menyebabkan fobia islamisasi. Beberapa inisiatif baru-baru ini seper-
ti upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pariwisata halal te-
lah mencatat pentingnya keterkaitan antara berbagai dimensi pembangun-
an dalam pembuatan kebijakan regional.
Peneliti telah melakukan analisis kutipan dan kejadian bersama, anta-
ra lain untuk menilai evolusi dan perkembangan pariwisata halal selama
periode ini dan menawarkan penelitian masa depan, menjadi salah satu-
nya, pemenuhan SDGs. Temuan penelitian ini menyarankan empat dimen-
si yang terkait dengan pariwisata halal di Indonesia: keberlanjutan ekologis
jangka panjang, mempromosikan kebutuhan dasar, kesetaraan intragenera-
si, dan kesetaraan antargenerasi. Temuan tersebut selaras dengan Andriani
& Sa’adah (2021) mempertimbangkan lima dimensi: sosial, ekonomi, eko-
logi, spasial, dan budaya. Putri (2017) juga mempertimbangkan lima kate-
gori: dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan pemerintahan, yang
menghubungkannya dengan SDGs.

150 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
UNWTO memperkirakan kedatangan wisatawan akan tumbuh dari 1 mi-
liar pada tahun 2012 menjadi lebih dari 1,8 miliar pada tahun 2030 (World
Tourism Organization, 2020). Aliran pariwisata dan energi seperti itu akan
membawa banyak prospek, termasuk budaya, sosial, penciptaan lapangan
kerja, dan pembangunan sosial ekonomi (Khan & Hou, 2021).
Pariwisata telah terbukti dapat memberikan kontribusi positif terha-
dap pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Peneliti menemukan bahwa spesialisasi pariwisata (menjadi pariwisata ha-
lal) memiliki dampak positif jangka pendek terhadap pertumbuhan ekono-
mi. Hal ini didukung oleh penelitian (Cahya et al, 2020; Saputro & Dawud,
2021). Pendapatan pariwisata halal mendorong ketimpangan pendapatan
yang signifikan di negara berkembang seperti Indonesia (Sholehuddin et al,
2021). Keberadaan pariwisata halal di Indonesia secara keseluruhan ber-
manfaat bagi pembangunan ekonomi sehingga membatalkan argumen ten-
tang dampak negatif terhadap lingkungan (Adinugraha et al, 2020).
Pariwisata halal di Indonesia sebenarnya sudah berkelanjutan dari sebe-
lumnya pada skala global. Pemanfaatan SDGs untuk menganalisis keterka-
itan antara pariwisata halal di Indonesia dan pembangunan berkelanjutan
dalam berbagai konteks dan skala yang lebih besar. Hasil penelitian pariwi-
sata halal ini memiliki fokus pada SDGs dan diskusi tentang fitur-fitur uta-
manya. Yang selanjutnya menyangkut para pelaku pariwisata halal dan SDGs
yang mencatat keterkaitan dan sinergi dalam konteks nilai-nilai syariah dan
relevansi SDGs dan perhatian dalam hal kebijakan publik yang berkaitan de-
ngan pembangunan inklusif. Beberapa penelitian terdahulu juga telah mem-
bahas tantangan dan peluang pekerjaan sosial dengan referensi khusus ke
Indonesia dan bagaimana para pelaku pariwisata halal dapat memanfaat-
kan dorongan SDGs untuk memperjuangkan keprihatinan pengguna layan-
an mereka melalui strategi pemberdayaan masyarakat dan advokasi kebi-
jakan di panggung nasional.
Ada seruan bagi industri pariwisata untuk mengurangi dampaknya ter-
hadap polusi plastik dengan beberapa inisiatif yang dilakukan oleh berba-
gai pelaku pariwisata yang termasuk penghapusan plastik (Pizam, 1978).
Pariwisata halal di Indonesia menunjukkan lambatnya ketersediaan alter-
natif plastik di pasar yang kadang-kadang menyulitkan untuk berkontribusi
karena mereka sangat ingin di bawah SDG 14—Kehidupan di Bawah Air—

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 151
dan menyerukan solusi yang lebih inovatif dalam hal ini. Mereka juga men-
catat bahwa transisi hijau sejalan dengan tuntutan dari SDG 7 dan 14 yang
terhambat oleh biaya panel surya dan kendaraan yang mahal. Subsidi un-
tuk transisi hijau dapat sangat membantu pariwisata halal untuk memenu-
hi target hijaunya.
Sehubungan dengan kegiatan pariwisata halal yang bertujuan untuk me-
ngurangi kemiskinan SDG 1 dan juga SDG 2 tentang kelaparan dan SDG5
tentang kesehatan yang baik, beberapa penelitian melaporkan bahwa ada
masalah sikap yang harus ditangani untuk memastikan keberhasilan pari-
wisata halal. Penelitian terdahulu mencatat bahwa ada budaya umum ku-
rangnya keinginan untuk mengambil bagian dalam usaha rumah tangga dan
kurangnya akses ke akar rumput untuk memungkinkan lulusan meningkat-
kan keterampilan setelah melatih orang dalam program pemberdayaan diri
dan produksi hasil bumi sebagai suplemen dari usaha pariwisata halal. Pe-
ngembangan pariwisata halal di Indonesia telah terbukti dapat memajukan
kualitas kehidupan penduduk dengan mengatasi masalah ekonomi, sosial,
budaya, dan rekreasi; dan memberikan manfaat tertentu lainnya.
Simpulan
Simpulan harus menjawab pertanyaan dan permasalahan penelitian.
Simpulan bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan,
melainkan penjelasan singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam ben-
tuk butir-butir kesimpulan secara berurutan. Segitiga konsistensi (masa-
lah-tujuan-kesimpulan) harus dicapai sebagai upaya check and recheck.
Industri pariwisata halal biasanya dipandang sebagai industri pendu-
kung suatu negara yang memainkan peran penting dalam memperkaya ma-
syarakat di berbagai tahap pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian ini
telah meninjau kembali peran pembangunan pariwisata halal dalam keber-
lanjutannya di Indonesia dengan referensi khusus pada prospek yang meng-
gembirakan dari praktik pariwisata halal berkelanjutan di Indonesia. Stu-
di ini mengungkap beberapa wawasan baru tentang strategi pertumbuhan
ekonomi jangka panjang Indonesia dengan fokus yang jelas pada praktik
pariwisata halal berkelanjutan. Temuan empiris sangat mendukung imple-
mentasi SDGs dan praktik pariwisata halal di Indonesia baik untuk jangka
panjang maupun jangka pendek. Baik dampak marginal jangka panjang dan

152 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
jangka pendek dari peningkatan pendapatan masyarakat dan jangka kuad-
ratnya terhadap dampaknya terhadap lingkungan ditemukan hampir se-
rupa. Temuan ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ekonomi di In-
donesia saat ini ramah lingkungan dan sejalan dengan strategi kebijakan
berkelanjutan jangka panjang pariwisata halal Indonesia. Selain itu, bukti
kausalitas searah dari peningkatan pendapatan ke SDGs menunjukkan ting-
kat saling ketergantungan yang tinggi antara kedua variabel kebijakan ini.
Selain itu, wawasan unik tentang hubungan negatif antara pertumbuhan pa-
riwisata halal dan SDGs semakin mendukung keselarasan kebijakan Indone-
sia saat ini dalam mempromosikan praktik pariwisata halal berkelanjutan.
Temuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk perluas-
an sektor pariwisata halal dengan preferensi kebijakan yang diselaraskan
dengan penerapan semua aspek dimensi keberlanjutan. Beberapa strate-
gi dapat dirumuskan yang bertujuan untuk melanjutkan kelancaran fungsi
model pariwisata berbasiskan nilai-nilai halal dan religi. Di satu sisi, Peme-
rintah Indonesia harus secara proaktif terlibat dalam meningkatkan kesa-
daran masyarakat dan menyebarkan dari mulut ke mulut tentang kegiat-
an pariwisata halal berkelanjutan. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia harus
dengan hati-hati merumuskan pedoman tentang penggunaan sumber daya
alam yang efisien di destinasi wisata halal dan rencana aksi alternatif untuk
menginvestasikan modal yang memadai untuk mengejar model pariwisata
halal berkelanjutan. Temuan ini menunjukkan bahwa pembentukan moral
dalam berwisata dapat membantu dalam pengembangan pariwisata halal
berkelanjutan. Karena itu, ada banyak atraksi wisata dalam pengembangan
pariwisata halal berkelanjutan yang diperlukan dalam jalur ekspansi untuk
mengubah pola pikir masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kelestari-
an lingkungan dan destinasi wisata melalui praktik pariwisata halal yang
maslahat. Selain itu, temuan empiris lebih lanjut memberikan bukti argu-
mentasi bahwa SDGs dalam pariwisata halal memiliki efek menguntungkan
jangka panjang pada kualitas lingkungan sebagai wisata yang diberkahi oleh
Allah. Pemerintah Indonesia seyogianya memberikan penekanan kebijakan
yang serius pada penyediaan modal yang diperlukan untuk pengembangan
infrastruktur dalam inisiatif pariwisata halal dan meningkatkan dana modal
melalui peluang kemitraan publik-swasta untuk mengembangkan seluruh
rantai inovasi jalur pertumbuhan pariwisata terbarukan melalui kegiatan

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 153
pariwisata halal. Namun demikian, studi ini memiliki keterbatasan karena
hanya berfokus pada satu negara yaitu Indonesia. Studi di masa depan da-
pat berfokus pada kumpulan beberapa negara lainnya yang telah melakukan
dukungan terhadap keberlanjutan pariwisata halal.
Daftar Pustaka
Adinugraha, H. H. (2020). PERBANKAN SYARIAH: Fenomena Terkini dan Praktiknya di
Indonesia. Penerbit NEM.
Adinugraha, H. H. (2021). Implementation of Islamic Humanism in the Community
Lifestyle of Religious Tourism Towards Halal Tourism: Study From Rogoselo Vil-
lage. Jurnal Darussalam, XIII(1), 1–30.
Adinugraha, H. H., Fahmi, I., Nasution, A., Faisal, F., & Daulay, M. (2021). Halal Tourism
in Indonesia : An Indonesian Council of Ulama National . 8(3), 665–673. https://
doi.org/10.13106/jafeb.2021.vol8.no3.0665.
Adinugraha, H. H., Novitasari, N., & Ulama’i, A. H. A. (2019). The Role of Celebrity En-
dorser on Purchasing Intention of Halal Cosmetic [Peran Celebrity Endorser Ter-
hadap Minat Beli Kosmetik Berlabel Halal]. Proceeding of Community Develop-
ment, 2. https://doi.org/10.30874/comdev.2018.88.
Adinugraha, H. H., Rofiq, A., Ulama’i, A. H. A., Mujaddid, A. Y., & Srtika, M. (2020). Com-
munity-Based Halal Tourism Village: Insight from Setanggor Village. Economica:
Jurnal Ekonomi Islam, 11(1), 129–154.
Adinugraha, H. H., & Sartika, M. (2022). Halal Tourism In Setanggor Village: An Anal-
ysis Of Global Muslim Travel Index Approach. The Seybold Report, 17(09), 582–
599. https://doi.org/10.5281/zenodo.7073520.
Ahmed, M. J., & AKBABA, A. (2018). The Potential of Halal Tourism in Ethiopia: Op-
portunities, Challenges and Prospects. International Journal of Contemporary To-
urism Research. https://doi.org/10.30625/ijctr.397499.
Ali, M., & Soedarto, T. (2022). Review: Pengembangan Agro – Ekowisata di Wila-
yah Pesisir Utara Jatim pasca Covid-19 (Perspektif Pengelolaan Sumberda-
ya Manusia). NEKTON: Jurnal Perikanan Dan Ilmu Kelautan, 2(1). https://doi.
org/10.47767/nekton.v2i1.303.
Andriani, A., & Sa’adah, T. (2021). Peran Strategi Diferensiasi dalam Meningkatkan
Jumlah Wisatawan (Studi Kasus Kampung Coklat Blitar). Al-Muraqabah: Journal
of Management and Sharia Business Peran, 1(1).
Aulia Ramadhani, S., Kurniawati, M., & Hadi Nata, J. (2020). Effect of Destination

154 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Image and Subjective Norm toward Intention to Visit the World Best Halal Tou-
rism Destination of Lombok Island in Indonesia. KnE Social Sciences. https://doi.
org/10.18502/kss.v4i9.7318.
Azam, S. E., Asri, M., Dzuljastri, A., & Razak, A. (2019). HALAL TOURISM: DEFINITI-
ON, JUSTIFICATION, AND SCOPES TOWARDS SUSTAINABLE DEVELOPMENT. In-
ternational Journal of Business, Economics and Law, 18(3).
Battour, M., & Ismail, M. N. (2016). Halal tourism: Concepts, practises, challenges
and future. Tourism Management Perspectives, 19, 150–154. https://doi.or-
g/10.1016/j.tmp.2015.12.008.
Bhuiyan, M. A. H. B., & Darda, M. A. (2021). Tourism for sustainable development go-
als (SDGs) achievement in Bangladesh. Bangladesh Journal of Public Administra-
tion, 29(2). https://doi.org/10.36609/bjpa.v29i2.224.
Blummer, B., & Kenton, J. M. (2014). Methodology: the data analysis. In Improving
Student Information Search. https://doi.org/10.1533/9781780634623.125.
Boğan, E., & Sarıışık, M. (2019). Halal tourism: conceptual and practical challenges.
In Journal of Islamic Marketing. https://doi.org/10.1108/JIMA-06-2017-0066.
Brundtland, G. H. (1985). World commission on environment and development. En-
vironmental Policy and Law, 14(1). https://doi.org/10.3233/EPL-1985-14107.
Budi Witarto, A., & Trishuta Pathiassana, M. (2020). Analisis Pengelolaan Pariwisata
Halal Di Desa Tete Batu Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Jurnal
TAMBORA, 4(2A), 10–19. https://doi.org/10.36761/jt.v4i2a.764.
Bustamam, N., & Suryani, S. (2021). Potensi Pengembangan Pariwisata Halal dan
dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Provinsi Riau. Jurnal Eko-
nomi KIAT, 32(2).
Cahya, B. T., Waluyo, W., Andriasari, W. S., & Rubiana, p (2020). Urgensi Halal Tour-
ism Makam Sunan Kudus Untuk Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat. Al-Masha-
rif: Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Keislaman, 8(1). https://doi.org/10.24952/masha-
rif.v8i1.2586.
Calicioglu, Ö� ., & Bogdanski, A. (2021). Linking the bioeconomy to the 2030 sustainab-
le development agenda: Can SDG indicators be used to monitor progress towar-
ds a sustainable bioeconomy? New Biotechnology, 61. https://doi.org/10.1016/j.
nbt.2020.10.010.
Carboni, M., Perelli, C., & Sistu, G. (2014). Is Islamic tourism a viable option for Tuni-
sian tourism? Insights from Djerba. Tourism Management Perspectives, 11, 1–9.
https://doi.org/10.1016/j.tmp.2014.02.002.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 155
Carneiro-Da-Cunha, J. A., Dos Santos, M. G., De Souza, L. J., Alssabak, N. A. M., & Ma-
cau, F. R. (2015). The history of an Islamic entrepreneurship: Achieving expor-
ting-network leadership through religious legitimacy. International Journal of
Business and Globalisation, 15(3). https://doi.org/10.1504/IJBG.2015.071921.
Cattani, J. A., Gibson, D. F., Michael, P. A., & Gregory, G. C. (1987). Hereditary Ovalocy-
tosis and Reduced Susceptibility to Malaria in Papua New Guinea. Transactions of
the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 81(5), 705–709. https://doi.
org/10.1016/0035-9203(87)90001-0.
De La Poza, E., Merello, P., Barberá, A., & Celani, A. (2021). Universities’ reporting
on SDGs: Using the impact rankings to model and measure their contribution
to sustainability. Sustainability (Switzerland), 13(4). https://doi.org/10.3390/
su13042038.
Diéguez-Castrillón, M. I., Gueimonde-Canto, A., & Rodrí�guez-López, N. (2022). Sustai -
nability indicators for tourism destinations: bibliometric analysis and proposed
research agenda. In Environment, Development and Sustainability (Vol. 24, Issue
10). https://doi.org/10.1007/s10668-021-01951-7.
Dube, K., & Nhamo, G. (2021). Sustainable Development Goals localisation in the to-
urism sector: lessons from Grootbos Private Nature Reserve, South Africa. GeoJo-
urnal, 86(5). https://doi.org/10.1007/s10708-020-10182-8.
Dutta, S. (2017). Rawls’ Theory Of Justice: An Analysis. IOSR Journal of Humanities
and Social Science, 22(4). https://doi.org/10.9790/0837-2204014043.
Eid, R., & El-Gohary, H. (2015). Muslim Tourist Perceived Value in the Hospitality
and Tourism Industry. Journal of Travel Research, 54(6), 774–787. https://doi.
org/10.1177/0047287514532367.
El-Gohary, H. (2020). Coronavirus and halal tourism and hospitality industry: Is it a
journey to the unknown? Sustainability (Switzerland), 12(21), 1–26. https://doi.
org/10.3390/su12219260.
Fadholi, M., Nurhayati, S., Hakim, A., Karimah, M. A., & Wirawan, A. (2020). Exploring
Factor’s Affecting Consumer’s Purchase Intention Of Halal Food Products For Indo-
nesian Millennials Consumers. 07(08), 4320–4338.
Fairuz, K., Anggraeni, F. D., & Maulana, I. (2019). Pemetaan Preferensi Konsumen
pada Masyarakat Gunung Kidul terhadap Pariwisata Halal. FoSSEI Journal.
Farber, W. O., Boyd, J. P., & Jefferson, T. (1950). The Papers of Thomas Jefferson. The
Western Political Quarterly, 3(4). https://doi.org/10.2307/442530.
Feizollah, A., Mostafa, M. M., Sulaiman, A., Zakaria, Z., & Firdaus, A. (2021). Explo-

156 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
ring halal tourism tweets on social media. Journal of Big Data, 8(1). https://doi.
org/10.1186/s40537-021-00463-5.
Ferdiansyah, H. (2020). Pengembangan Pariwisata Halal Di Indonesia Melalui Kon-
sep Smart Tourism. Tornare. https://doi.org/10.24198/tornare.v2i1.25831.
Ghosh, S. (2022). Modelling inbound international tourism demand in Australia: Les-
sons from the pandemics. International Journal of Tourism Research, 24(1). htt-
ps://doi.org/10.1002/jtr.2483.
González-Morcillo, S., Horrach-Rosselló, P., Valero-Sierra, O., & Mulet-Forteza, C.
(2022). Forgotten effects of active tourism activities in Spain on sustainable deve-
lopment dimensions. Environment, Development and Sustainability, 0123456789.
https://doi.org/10.1007/s10668-022-02503-3.
Gordon, W., Langmaid, R., & Mills, C. (2022). Qualitative and Quantitati-
ve Hybrid Methodologies. In Qualitative Market Research. https://doi.
org/10.4324/9781315245553-15.
Hafidz, A. M. (2021). Factors Affecting Health Worker Performance: A Management
Evidence from Midwife Sharia Hospital X in Central Java Indonesia. KJFHC, 7(3),
13–23.
Hamzah, F., Hermawan, H., & Wigati. (2018). Evaluasi Dampak Pariwisata Terhadap
Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal. Jurnal Pariwisata.
Han, H. (2019). Halal tourism: travel motivators and customer retention. Journal of
Travel and Tourism Marketing, 36(9), 1012–1024. https://doi.org/10.1080/105
48408.2019.1683483.
Heimann, T. (2019). Bioeconomy and SDGs: Does the Bioeconomy Support the Achieve-
ment of the SDGs? Earth’s Future, 7(1). https://doi.org/10.1029/2018EF001014.
Heliany, I. (2019). Wonderful Digital Tourism Indonesia Dan Peran Revolusi Indus-
tri Dalam Menghadapi Era Ekonomi Digital 5.0. Destinesia : Jurnal Hospitaliti Dan
Pariwisata, 1(1). https://doi.org/10.31334/jd.v1i1.551.
Ho, M. C. (2005). Rawls’ theory of justice: A naturalistic evaluation. In Journal of Medicine
and Philosophy (Vol. 30, Issue 5). https://doi.org/10.1080/03605310500253022.
Inna Aniyati. (2018). Meningkatkan Potensi Pariwisata Halal dengan Mengoptimal-
kan Industri Ekonomi Kreatif dengan Studi Kasus Kawasan Makam Bung Karno
Blitar. Skripsi (Tulungagung: IAIN Tulungagung.
Isa, S. M., Chin, P. N., & Mohammad, N. U. (2018). Muslim tourist perceived value: a
study on Malaysia Halal tourism. Journal of Islamic Marketing, 9(2). https://doi.
org/10.1108/JIMA-11-2016-0083.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 157
Ismanto, K., & Madusari, D. (2020). Pekalongan Sebagai Kota Wisata Halal  : Pandang-
an Para Akademisi. Indonesian Journal of Halal, 2(2), 34–39. https://ejournal2.
undip.ac.id/index.php/ijh/article/view/6679.
Jailani, N., & Adinugraha, H. H. (2022). The Effect of Halal Lifestyle on Economic
Growth in Indonesia. Journal of Economics Research and Social Sciences, 6(1). ht-
tps://doi.org/10.18196/jerss.v6i1.13617.
Janoušková, S., Hák, T., & Moldan, B. (2018). Global SDGs assessments: Helping or con-
fusing indicators? Sustainability (Switzerland), 10(5). https://doi.org/10.3390/
su10051540.
Jarvie, M. E. (2016). Brundtland Report | publication by World Commission on En-
vironment and Development | Britannica. In Encyclopaedia Britannica.
Jefferson, T. (2011). The Writings of Thomas Jefferson. In The Writings of Thomas Jef-
ferson. https://doi.org/10.1017/cbo9781139059411.
Jiménez-Aceituno, A., Peterson, G. D., Norström, A. V., Wong, G. Y., & Downing, A. S.
(2020). Local lens for SDG implementation: lessons from bottom-up approaches
in Africa. Sustainability Science, 15(3). https://doi.org/10.1007/s11625-019-
00746-0.
Jumail, M., & Mahsun, M. (2018). Dampak Sosial-Budaya Pengembangan Pariwisata
Halal Di Pulau Lombok. Media Bina Ilmiah, 13(1).
Junaidi, J. (2019). Halal-friendly tourism business process: Tourism operators in In-
donesia. In Geojournal of Tourism and Geosites (Vol. 27, Issue 4, pp 1148–1157).
https://doi.org/10.30892/gtg.27403-422.
Katunian, A. (2019). Sustainability as a new approach for the human resource deve-
lopment in tourism sector. Public Policy and Administration, 18(4). https://doi.
org/10.13165/VPA-19-18-4-03.
Khan, I., & Hou, F. (2021). The dynamic links among energy consumption, tourism
growth, and the ecological footprint: the role of environmental quality in 38
IEA countries. Environmental Science and Pollution Research, 28(5). https://doi.
org/10.1007/s11356-020-10861-6.
Kreinin, H., & Aigner, E. (2022). From “Decent work and economic growth” to “Sus-
tainable work and economic degrowth”: a new framework for SDG 8. Empirica,
49(2). https://doi.org/10.1007/s10663-021-09526-5.
Kusumaningtyas, M., & Lestari, S. (2020). Model Pengembangan Makanan Dan Pari-
wisata Halal Di Indonesia. Media Mahardhika, 19(1). https://doi.org/10.29062/
mahardika.v19i1.195.

158 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
López-Gálvez, F., Gómez, P. A., Artés, F., Artés-Hernández, F., & Aguayo, E. (2021). In-
teractions between microbial food safety and environmental sustainability in the
fresh produce supply chain. In Foods (Vol. 10, Issue 7). https://doi.org/10.3390/
foods10071655.
Maharani, S. (2021). Optimizing halal tourism in indonesia to accelerate economic
growth. In Contemporary Issues in Islamic Social Finance (pp. 293–311). https://
doi.org/10.4324/9781003050209-20.
Malagó, A., Comero, S., Bouraoui, F., Kazezyılmaz-Alhan, C. M., Gawlik, B. M., Easton, P.,
& Laspidou, C. (2021). An analytical framework to assess SDG targets within the
context of WEFE nexus in the Mediterranean region. Resources, Conservation and
Recycling, 164. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2020.105205.
Mohammed, S. A. S. A.-N. (2017). Financial crisis, legal origin, economic status and
multi-bank performance indicators Evidence from Islamic banks in developing
countries. Journal of Applied Accounting Research, 18(2), 208–222. https://doi.
org/10.1108/JAAR-07-2014-0065.
Muarifuddin, M. (2017). Implementasi pembangunan Desa Wisata Batik Desa Baba-
gan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Jurnal Pendidikan Dan Pemberdaya-
an Masyarakat. https://doi.org/10.21831/jppm.v4i1.12713.
Mufidah, A. N., Syafaq, H., & Yudha, A. T. R. C. (2021). Integrated Economic Empower-
ment: Evidence In The Religious Area Of Gusdur’s Tomb. Jurnal Ekonomi Syari-
ah Teori Dan Terapan, 8(6). https://doi.org/10.20473/vol8iss20216pp785-796.
Neumann, B., Ott, K., & Kenchington, R. (2017). Strong sustainability in coastal areas:
a conceptual interpretation of SDG 14. Sustainability Science, 12(6). https://doi.
org/10.1007/s11625-017-0472-y.
Nilashi, M., Rupani, P. F., Rupani, M. M., Kamyab, H., Shao, W., Ahmadi, H., Rashid, T.
A., & Aljojo, N. (2019). Measuring sustainability through ecological sustainability
and human sustainability: A machine learning approach. Journal of Cleaner Pro-
duction, 240. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.118162.
Novitasari, M. (2019). Optimalisasi Potensi Perbankan Syariah Di Indonesia Bagi
UMKM Halal Dalam Mendukung Sustainable Development Goals. Majalah Eko-
nomi, 24(1).
Nugroho, L. (2021). Konsep dan Teknik Pelayanan Wisata (Halal Tourism Concept).
In Pengantar Pariwisata (Vol. 1, Issue 1).
Nuzura, Alamsyah, & Yusya. (2016). Analisis Penilaian Wisatawan Bencana terhadap
Citra Pariwisata Aceh (Survey pada Wisatawan Museum Tsunami Tahun 2016).

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 159
Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA).
Oktaviani, N. T., Purnomo, E. P., Salsabila, L., & Fathani, A. T. (2021). Bibliometric anal-
ysis of sustainable agriculture on human rights governance approach: concept of
sustainability on human rights governance. E3S Web of Conferences, 306. https://
doi.org/10.1051/e3sconf/202130602008.
Orchard, S., Glover, D., Thapa Karki, S., Ayele, S., Sen, D., Rathod, R., & Rowhani, P.
(2020). Exploring synergies and trade-offs among the sustainable development
goals: collective action and adaptive capacity in marginal mountainous areas
of India. Sustainability Science, 15(6). https://doi.org/10.1007/s11625-019-
00768-8.
Othman, R. (2021). Assessment of Day Spa Premises Spatial Organisation, Compo-
nents, and Services Towards Muslim-friendly Elements. Asia-Pacific Journal of In-
novation in Hospitality and Tourism, 10(3), 137–161. https://www.scopus.com/
inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b%5C&scp=85125850654%5C&ori -
gin=inward.
Peng, K., Jiang, W., Ling, Z., Hou, P., & Deng, Y. (2021). Evaluating the potential impac-
ts of land use changes on ecosystem service value under multiple scenarios in
support of SDG reporting: A case study of the Wuhan urban agglomeration. Jour-
nal of Cleaner Production, 307. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.127321.
Perbawasari, S. (2019). Halal tourism communication formation model in west
Java, Indonesia. Geojournal of Tourism and Geosites, 25(2), 309–320. https://doi.
org/10.30892/gtg.25203-361.
Perdana, F., Adinugraha, H. H., Sartika, M., Kusuma, J., No, B., Baru, P., Utara, P., Peka-
longan, K., & Tengah, J. (nd). “ Masjid Kapal “ Tourism Destination as Estetic Exp-
ression Media of Semarang City Society.
Perez-Romero, M. E., Flores-Romero, M. B., & Alfaro-Garcia, V. G. (2021). Tourism
and destination competitiveness: An exploratory analysis applying the forgot-
ten effects theory. Journal of Intelligent and Fuzzy Systems, 40(2). https://doi.
org/10.3233/JIFS-189186.
Pizam, A. (1978). Tourism’s Impacts: The Social Costs to the Destination Commu-
nity as Perceived by Its Residents. Journal of Travel Research, 16(4). https://doi.
org/10.1177/004728757801600402.
Purwanto, H., Fauzi, M., Wijayanti, R., Al Awwaly, K. U., Jayanto, I., Mahyuddin, Pur-
wanto, A., Fahlevi, M., Adinugraha, H. H., Syamsudin, R. A., Pratama, A., Ariyanto,
N., Sunarsi, D., Hartuti, E. T. K., & Jasmani. (2020). Developing model of halal food

160 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
purchase intention among indonesian non-muslim consumers: An explanatory
sequential mixed methods research. Systematic Reviews in Pharmacy, 11(10),
396–407. https://doi.org/10.31838/srp.2020.10.63.
Putri, M. P. (2017). Pengaruh Kualitas Jasa Terhadap Kepuasan Pengunjung Obyek
Wisata Gua Pindul. JURNAL TATA KELOLA SENI, 1(2). https://doi.org/10.24821/
jtks.v1i2.1642.
QOMARO, G. W. (2019). Pesantren As Halal Tourism Co-Branding: Halal Industry For
Sustainable Development Goals. Maqdis : Jurnal Kajian Ekonomi Islam, 4(1). htt-
ps://doi.org/10.15548/maqdis.v4i1.206.
Rachmiatie, A., Fitria, R., Suryadi, K., & Ceha, R. (2020). Strategi Komunikasi Pariwi-
sata Halal Studi Kasus Implementasi Halal Hotel Di Indonesia Dan Thailand. Am-
waluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah. https://doi.org/10.29313/am-
waluna.v4i1.5256.
Rahman, M. (2020). The impact of tourists’ perceptions on halal tourism destina-
tion: a structural model analysis. Tourism Review, 75(3), 575–594. https://doi.
org/10.1108/TR-05-2019-0182.
Rahmanto, A. (2013). Pengembangan Pedagang Di Obyek Wisata Sondokoro Kabu-
paten Karanganyar. SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant, 3(1).
Rahmawati, R., & Parangu, K. A. (2021). Potensi Pemulihan Pariwisata Halal di Pono-
rogo (Analisa Strategi Pada Masa Pandemi Covid-19). Journal of Islamic Econo-
mics (JoIE), 1(1). https://doi.org/10.21154/joie.v1i1.2781.
Rahmawati Sushanti, I., H. Idris, M., Widayanti, B. H., Hirsan, F. P., Abdullah, L., & Fit-
ri, I. S. (2018). An Assessment of Local Economic Empowerment Using Halal To-
urism Approach: A Case from Sembalun District East Lombok, Indonesia. IJECA
(International Journal of Education and Curriculum Application), 112. https://doi.
org/10.31764/ijeca.v0i0.1997.
Rahmi, A. N. (2020). Perkembangan Pariwisata Halal Dan Pengaruhnya Terha-
dap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam,
11(1). https://doi.org/10.32678/ijei.v11i1.226.
Ramadhani, M. (2021). Dilema Regulasi Pariwisata Halal Di Indonesia. Journal of Is-
lamic Tourism, Halal Food, Islamic Traveling, and Creative Economy, 1(1). https://
doi.org/10.21274/ar-rehla.2021.1.1.89-105.
Rasoolimanesh, S. M., Ramakrishna, S., Hall, C. M., Esfandiar, K., & Seyfi, S. (2020). A
systematic scoping review of sustainable tourism indicators in relation to the
sustainable development goals. Journal of Sustainable Tourism. https://doi.org/1

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 161
0.1080/09669582.2020.1775621.
Rej, S., Bandyopadhyay, A., Murshed, M., Mahmood, H., & Razzaq, A. (2022). Path-
ways to decarbonization in India: the role of  environmentally friendly tourism
development. Environmental Science and Pollution Research, 29(33). https://doi.
org/10.1007/s11356-022-19239-2.
Saarinen, J. (2020). Tourism and sustainable development goals: research on sustai-
nable tourism geographies. In Tourism and sustainable development goals. htt-
ps://doi.org/10.1201/9780429324253-1.
Said, M. Y., & Nurhayati, Y. (2021). A Review On Rawls Theory Of Justice. Interna-
tional Journal of Law, Environment, and Natural Resources, 1(1). https://doi.
org/10.51749/injurlens.v1i1.7.
Saputro, W. A., & Dawud, M. Y. (2021). Strategi Pemulihan Dengan Kerja sama Dua
Sektor, Mungkinkan Sektor Pariwisata Dan Umkm Bangkit? Journal of Agribu-
siness Science and Rural Development, 1(1). https://doi.org/10.32639/jasrd.
v1i1.10.
Sartika, M., Adinugraha, H. H., & Kinasih, H. W. (2018). Kajian Praktik Budaya Reli-
gi di Desa Nyatnyono. International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din, 20(1), 109–128.
Sayekti, N. W. (2019). Strategi Pengembangan Pariwisata Halal di Indonesia. Kaji-
an, 24(3).
Scheyvens, R., Carr, A., Movono, A., Hughes, E., Higgins-Desbiolles, F., & Mika, J. P.
(2021). Indigenous tourism and the sustainable development goals. Annals of To-
urism Research, 90. https://doi.org/10.1016/j.annals.2021.103260.
Selamat, N. H., & Endut, N. (2020). “Bargaining with patriarchy” and entrepreneur-
ship: Narratives of Malay Muslim women entrepreneurs in Malaysia. Kajian Ma-
laysia, 38. https://doi.org/10.21315/KM2020.38.S1.2.
Sholehuddin, M. S., Munjin, M., & Adinugraha, H. H. (2021). Islamic Tradition and Re-
ligious Culture in Halal Tourism: Empirical Evidence from Indonesia. IBDA` : Jur-
nal Kajian Islam Dan Budaya, 19(1). https://doi.org/10.24090/ibda.v19i1.4470.
Shulla, K., Voigt, B.-F., Cibian, S., Scandone, G., Martinez, E., Nelkovski, F., & Salehi, P.
(2021). Effects of COVID-19 on the sustainable development goals (SDGs). Disco-
ver Sustainability, 2(1). https://doi.org/10.1007/s43621-021-00026-x.
Siregar, K. H., & Ritonga, N. (2021). Pariwisata Halal: Justifikasi Pengembangan Pem-
bangunan Pariwisata Berkelanjutan. JEpa, 6(1).
Siregar, M. A. (2019). Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan wisata alam
DIY. Berita Kedokteran Masyarakat, 35(4).

162 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Subarkah, A. R., Budi, R. J., & Akim. (2019). Wisata Halal Untuk tujuan pembangunan
berkelanjutan. Konferensi Nasional Ilmu Administrasi.
Subarkah, R., & Rachman, J. B. (2018). Wisata Halal Untuk tujuan pembangunan ber-
kelanjutan Halal Tourism for sustainable development goals. Konferensi Nasional
Ilmu ….
Suharto, S., & Fasa, M. I. (2017). The Challanges of Islamic Bank for Accelerating the
Growth of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) in Indonesia. Lifalah:
Jurnal Studi Ekonomi Dan Bisnis Islam, 2(2).
Trupp, A., & Dolezal, C. (2020). Tourism and the sustainable development goals in So-
utheast Asia. In Austrian Journal of South-East Asian Studies (Vol. 13, Issue 1). ht-
tps://doi.org/10.14764/10.ASEAS-0026.
Umara, G. (2020). Potential for developing halal tourism in Jakarta: A confirmatory
factor analysis. In Research on Firm Financial Performance and Consumer Beha-
vior (pp. 291–305). https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=H-
zOxMe3b&scp=85096246263&origin=inward.
UNDP. (2017). UNDP Strategic Plan, 2018-2021. Executive Board of the United Nati-
ons Development Programme, the United Nations Population Fund and the United
Nations Office for Project Services, 18438(October 2017).
United Nations. (2018). Sustainable Development: Report 2018 on Water and Sani-
tation. United Nations.
United Nations. (2019). Report of the Secretary-General on SDGs Progress 2019. In
Special Edition, United Nations Publications.
United Nations. (2020). Global SDGs Indicators Database. United Nations. Depart-
ment of Economic and Social Affairs. Statistics Division.
UNWTO. (2008). Understanding Tourism: Basic Glossary. Springer International Pub-
lishing, 2008.
UNWTO. (2021). About UNWTO. UNWTO.Org.
van Zanten, J. A., & van Tulder, R. (2021a). Analyzing companies’ interactions with
the sustainable development goals through network analysis: Four corporate sus-
tainability imperatives. Business Strategy and the Environment, 30(5). https://
doi.org/10.1002/bse.2753.
van Zanten, J. A., & van Tulder, R. (2021b). Towards nexus-based governance: defi-
ning interactions between economic activities and sustainable development go-
als (SDGs). International Journal of Sustainable Development and World Ecology,
28(3). https://doi.org/10.1080/13504509.2020.1768452.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 163
Vargas-Sanchez, A., Hariani, D., & Wijayanti, A. (2020). Perceptions of halal tourism in
Indonesia: Mental constructs and level of support. International Journal of Religi-
ous Tourism and Pilgrimage, 8(4). https://doi.org/10.21427/6vbn-ta37.
Wang, X., Song, C., Cheng, C., Ye, S., & Shen, S. (2021). Cross-national Perspectives on
Using sustainable development goals (SDGs) Indicators for Monitoring Sustainab-
le Development: A Database and Analysis. Chinese Geographical Science, 31(4).
https://doi.org/10.1007/s11769-021-1213-9.
Wijaya, L. H., & Sholeh, M. (2020). The Impact of Halal Tourism on Regional Economic
Growth in Lombok, West Nusa Tenggara, Indonesia. 12(2), 303–318.
World Commission on Environment and Development. (1987). Report of the
World Commission on Environment and Development: Our Common Futu-
re (The Brundtland Report). Medicine, Conflict and Survival, 4. https://doi.
org/10.1080/07488008808408783.
World Tourism Organization. (2020). International Tourist Numbers Could Fall 60-
80% in 2020, UNWTO Reports | UNWTO. 2020.
World Tourism Organization [UNWTO]. (2019). UNWTO Tourism definitions. In UN-
WTO Tourism Definitions.
Yagmur, Y. (2020). Evaluation of halal tourism in terms of bibliometric characteris-
tics. Journal of Islamic Marketing, 11(6), 1601–1617. https://doi.org/10.1108/
JIMA-05-2019-0101.
Yaqin, A. (2017). Pendidikan Humanis Religius dalam Kegiatan Maiyah Bangbang We-
tan di Surabaya. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Zawawi, M. (2017). Understanding the concept of halal for muslims and its impact on
the tourism industry. Malaysian Journal of Consumer and Family Economics, 20,
11–21. https://www.scopus.com/inward/record.uri?partnerID=HzOxMe3b&s-
cp=85043761202&origin=inward.
Zhou, X., Moinuddin, M., Renaud, F., Barrett, B., Xu, J., Liang, Q., Zhao, J., Xia, X., Bos-
her, L., Huang, S., & Hoey, T. (2022). Development of an SDGs interlinkages anal-
ysis model at the river basin scale: a case study in the Luanhe River Basin, Chi-
na. Sustainability Science, 17(4). https://doi.org/10.1007/s11625-021-01065-z.

164 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
The Effect of Social Media
Marketing and Electronic Word-
of Mouth on the Purchase
Decision of Halal Food
Nur Hendrasto
Abdullah Haidar
Evania Herindar
Introduction
In Indonesia, the food sector of the halal business is an actively develo-
ped industrial sector. This is motivated by the industry’s enormous promi-
se. The size of this possibility is supported by a number of facts, including
the fact that Indonesia’s food and beverage sector generated 34 quarters of
the nation’s GDP in just 2017 alone. Second, the target market in Indonesia
is particularly large due to the 7-8 percent annual expansion of the middle
class, which boosts their spending power. Lastly, the community’s growing
knowledge of halal in regards to halal items.
Certainly, these elements can create potential for the halal industry, par-
ticularly in the halal food sector. According to the most recent data from the
Worldwide Islamic Economic in 2018/2019, food and drinks represent the
highest proportion of the global halal market with a value of $1,303 trillion.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 165
By 2023, the halal food and beverage market is anticipated to reach $1,863
billion. According to M. Ali, food is an essential human necessity. Moreover,
with the passage of time and Islamic sharia teachings, Muslim consumers
have come to assume that the halal status of the products they consume is
assured.
The real sector and MSMEs are inseparable units. So far, MSMEs have
become a major contributor to gross domestic product (GDP). Launching
data from a survey conducted by Bank Indonesia (BI) in June 2020, 72.6%
of MSME players were affected by the Covid-19 pandemic. These effects inc-
lude the issue of reduced revenue, challenges locating inventory, and challe-
nges with money. These problems stem from the pandemic conditions that
require economic activities to run full of limitations. When many workers
have been laid off and forced to undergo work-from-home routines for the
past few months, MSMEs, as a business sector that tends to apply the con-
ventional system, inevitably have difficulty adjusting to the online phenome-
non that dominates most aspects of life in the pandemic era. At the moment,
All social-economic activities seem to be changing direction and forced to
conform to the online system, which is a limitation for certain parties.
According to we are social data in a digital report issued in July 2020,
the Covid-19 pandemic has increased the digital and online activities of the
world community. Most of the community considers the current digital role
to be very helpful for them, be it in children’s education (76%), work (67%),
or in helping them complete their daily needs such as the need for groceries
(44%) and personal health. (41%). The food sector is one of the MSME sec-
tors that have fallen during the current pandemic. Most of the MSMEs enga-
ged in the food sector experienced a decline in sales, and even many of them
went out of business due to the impact of the Covid-19 pandemic. MSME ac-
tors who are less proficient in utilizing technology and the digital era will
automatically be knocked out of the market.

166 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
According to the graph, internet users in Indonesia also predominantly
utilize the internet to search for specific product brands. In addition, soci-
al media serves as a promotional tool for business advocates. The graph de-
monstrates that social media advertisements provide 34% of internet users
with product information, followed by word-of-mouth recommendations at
32%. In addition to being regarded as effective and efficient, using social
media and word-of-mouth strategies is relatively simpler for businesspeop-
le to implement and offers a broader selection of promotional opportunities.
This strategy can be utilized by MSME actors, particularly in the halal food
industry, to improve a sales system that is inefficient.
Based on this context, the title of this study is the effect of social media
marketing and electronic word-of-mouth on purchasing decisions for pro-
cessed halal food products belonging to MSMEs, and the author also presen-
ts a social media marketing communication model for MSMEs. As a result,
it is anticipated that this research will give MSME actors in the halal food
industry with answers to sales challenges during the Covid-19 Pandemic,
thereby contributing to the country’s economic development.
Social Media Marketing
Social media marketing is a type of marketing strategy that uses social
media to promote a product/brand or service to social media-using commu-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 167
nities (Lim et al, 2012; Minazzi, 2015; Todua, 2017). The interactive aspects
of social media supply businesses the chance to provide superior customer
service and meet their needs. These attributes include the ability to facilita-
te communication between individuals, businesses in the sales community,
and their clientele as well as promoting customer participation in content
and value creation. (Marchiori, Cantoni, & Fesenmaier, 2013).
The practice of using social media platforms to raise website traffic or
public exposure is known as social media marketing. Social media can also
encourage users to express their opinions about the goods or services rece-
ived and to post those opinions on online social networks, which can help
users gain more knowledge about the market or the products being offered
(Pieiro-Otero & Martnez-Rolán, 2016). Customers frequently use Facebook,
Twitter, Pinterest, Reddit, YouTube, Myspace, Digg, Google Plus, and Insta-
gram as social media advertising channels. Gunelius (2011) divides social
media marketing success variables into four elements:
1. Content creation is interesting content and becomes a strategy in
marketing on social media.
2. Content sharing is an activity of sharing content with social media
users so that it can help expand online audiences and business net-
works.
3. Using social media to connect allows one to meet individuals with
similar interests. A vast network can facilitate relationship building
and the expansion of business networks. Consideration must be giv-
en to building trustworthy and vigilant communication when utiliz-
ing social networks.
4. Community building, also known as the social web, is an extensive so-
cial network and a location where almost everyone on the planet who
uses technology interacts. With social networking, you can create an
online community of people who share your interests.
Electronic Word-of-Mouth (e-WOM)
Social networking sites are online public forums where individuals can
post, store, and publish information. In his theory of buyer behaviour, Jones
(2010) claims that social networking sites are important for gathering infor-
mation before a consumer makes a purchase. The way that consumers inter-

168 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
act and discuss the goods and services they buy has changed thanks to the
internet. (Goldsmith & Ronald, 2006). The term “Electronic Word-of-Mouth”
refers to this means of communication. (e-WOM).
Positive or unfavourable comments about a business or product are
made online by prospective customers, current customers, and former cus-
tomers, and is known as electronic word of mouth (e-WOM). (Hennig, Thor-
sten, Kevin, Walsh, & Dwayne, 2004). Three variables are used by Goyette,
Richard, Bergeron, and Marticotte (2012) to categorize e-WOM:
Consumers’ capacity to share information, engage in interactions with
one another, and express their views on social networking sites is known as
their intensity. The measures of intensity are as follows:
1. The regularity with which material is accessed from social network-
ing sites
2. How frequently members of networks of friends are interacted with
3. The number of user evaluations posted on social networking web-
sites
a. Valence of opinion is consumer interest in a product by buy-
ing products based on ideas and recommendations from other
consumers. The following are indicators of Valence of opinion:
i. Positive opinions from users of social networking sites
ii. Recommendations from users of social networking sites
b. Content is an information on quality, price, comfort, cleanli-
ness, and service. The following are indicators of Content:
i. Information on differences in food and drink
ii. Information on food and drink quality (race, texture,
temperature, and color).
iii. Price information on meals and drink
Purchase Decision
Customers who are confident in their decision to purchase a product
and feel it was the right choice make the buying decision. (Astuti & Cahyadi,
2007). Decisions to continue or stop buying a commodity are known as pur-
chases. (Kotler & Keller, 2012).
In addition, purchase decisions can be regarded as evaluating and selec-
ting the most profitable alternative among a variety of alternatives based

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 169
on personal interests (Priyanto, Rosa, & Syarif, 2014). The five phases of the
consumer buying process are as follows (Kotler & Keller, Manajemen Pema-
saran Jilid I. Edisi ke 13, 2009).
Graph 1. The five level proceses model of consumer purchases
The indicators of purchasing decisions are as follows:
1. Attention
2. Product interest
3. Wish
4. Action
5. Wants/needs
6. Benefits or disadvantages
MSMEs
MSMEs are defined as follows by Law No. 20 of 2008 concerning Micro,
Small, and Medium Enterprises:
1. Micro-enterprises are productive businesses owned by individuals
and legal entities that meet the criteria for Micro-enterprises as out-
lined in this law.
2. A small business is a productive economic enterprise that stands on
its own and is conducted by individuals or business entities that are
not subsidiaries or branches of companies that are owned, control-
led, or become a part either directly or indirectly of Medium Enterp-
rises or Large Enterprises that meet the criteria for Small Business as
outlined in this law.
3. Medium business is a productive economic business that stands alo-
ne, conducted by individuals or business entities that are not subsidi-
aries or branches of companies that are owned, controlled, or become
a part of Small Businesses or Large Businesses with total assets eit-
her directly or indirectly. Profit net or annual sales proceeds, as spe-
cified by this law.
4. The following are the criteria for MSMEs & Large Enterprises based
Pengenalan
masalah
Pencarian
informasi
Evaluasi
Alternatif
Keputusan
pembelian
Perliaku
pascaproduksi
→ →→ →

170 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
on assets and turnover:
Table 1 Criteria for MSMEs & Large Enterprises Based on Assets
Business size Asset Turnover
Micro businessMaximum IDR50 millioin Maximum IDR300 million
Small business> IDR50 million - IDR500 million> IDR300 million - IDR 2,5 billion
Medium
Enterprise
> IDR500 million - IDR50 billion> IDR 2,5 billion - IDR50 billion
Large business> IDR10 million >IDR50 million
Z Generation
A generation is a collection of people who were born in the same year,
age, place, and with similar historical experiences or events that had a ma-
jor impact on their formative years. (Putra, 2016). A generation is a group of
individuals who experience the same events at the same moment. The yo-
ung generation known as Generation Z has only lately started working. Pe-
ople who were born between 1995 and 2010 are referred to as Generation
Z. This group is frequently referred to as the “internet generation” or “Rege-
neration” because most of its social interactions take place online.
Previous Studies
Tito Siswanto (2013) investigated social media optimization as a mar-
keting channel for small and medium-sized businesses. The findings of this
study indicate that social media as a kind of Integrated Marketing Communi-
cation (IMC) can give MSMEs with a competitive edge. Moreover, social me-
dia can assist SMBs in establishing a brand image and fostering customer
pleasure, which will effect brand loyalty. Then, in order for SMEs to keep up
with the evolution of information, it is required to enhance the knowledge
and skills of human resources in the field of information technology. (Sis-
wanto, 2013).
Ivana, Vina, Sari, Adelia, Thio, and Sienny (2014) did a study on Elect-
ronic Word-of-Mouth (e-WOM) and Its Influence on Purchasing Decisions
in Surabaya Restaurants and Cafes. This research employed multiple linear
regression techniques. The characteristics of e-WOM (intensity, valence of
opinion, and content) positively and significantly influenced purchase deci-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 171
sions, according to the study’s findings. (Ivana, Vina, Sari, Adelia, Thio, & Si-
enny, 2014).
Then, Edy Herman and Handry Sudiartha Athar (2008) investigated the
evolution of social media marketing models and site-visiting choices. This
study intends to investigate further the effectiveness of social media use
from the perspective of the consumer or tourist community, and to cons-
truct an empirical model of social media marketing’s effect on visiting deci-
sions (Herman & Athar, 2018).
From an Islamic economic standpoint, Fasihatul Muslihah (2018) studi-
es the impact of Instagram marketing on purchasing decisions for fashion
products. Using simple linear regression, this study demonstrates that soci-
al media marketing influences the purchase decision variable. In Islam, it is
advised to make purchasing selections so that Muslim customers might take
the function of the usability of the things to be acquired, as opposed to only
following their whims and fancies (Muslihah F., 2018).
Research Framework
Two independent variables and one dependent variable make up the th-
ree variables in this research. Electronic word-of-mouth and social media
promotion are the study’s independent variables. (e-WOM). In contrast, the
MSMEs’ buying decisions regarding processed food products are the study’s
dependent variable. According to the supporting theory mentioned above,
the conceptual framework of this research can be summarized as follows:
Hypothesis:
• H1: Social media marketing influences purchasing choices favour-
ably.
• H2: Electronic word-of-mouth influences purchasing choices fa-
vourably.
• H3: Consumer choices are positively impacted by social media
marketing and electronic word-of-mouth recommendations.
This research employs an explanation-based quantitative methodology.
This study utilizes both primary and secondary data sources. This study’s
early data was collected directly by the research team through the comple-
tion of Google forms distributed over social media. The questionnaire data

172 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
are then processed and evaluated using multiple linear regression models.
The research team acquired secondary data from journals, books, theses,
and scholarly papers, among others, that were related to the topic of this
study.
Data collecting technique
For its sampling, this research employed a purposive sampling strategy.
Purposive sampling is a technique for choosing research samples that takes
into consideration particular factors to increase the representativeness of
the data generated. (Sugiyono, 2010). Members of “generation Z” between
the ages of 17 and 25 were chosen at random from a variety of Indonesian
cities to make up the study’s group. 154 individuals took part in this rese-
arch.
Measurement Scale
The authors of this research employed a 5-point Likert scale. The Likert
scale is used to gauge a person’s or a group’s attitudes, opinions, and percep-
tions toward societal phenomena. (Sugiyono, 2011). The quantitative rese-
arch analysts’ Likert scale result is as follows:

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 173
Table 3 Likert Scale
Answer Value Weight
Totally agree 5
Agree 4
Probably 3
Not agree 2
Totally not agree 1
Definition of Operational Variables
Table 4 Definitions of Operational Variables
Variable Definitions of Operational VariablesIndicators Source
Social
Media
Marketing
(X1)
One type of marketing strategy that
utilizes social media to market a
product/brand and service to social
media-using communities. (Lim et al.,
2012; Minazzi, 2015; Todua, 2017)
Content creation
Content sharing
Connecting
Community
building
(Gunelius,
2011)
Electronic
Word-of-
Mouth (X2)
Internet-based reviews from
potential, actual, and former
customers that are either positive
or negative (Hennig, Thorsten,
Kevin, Walsh, & Dwayne , 2004)
Intensity
Valence of Opinion
Content
(Goyette,
Richard,
Bergeron, &
Marticotte,
2012)
Purchase
Decision
(Y)
The purchasing decision is a decision to
continue purchasing or not to continue
buying a product (Kotler & Keller, 2012).
a. Attention
b. Product interest
c. Desire
d. Action
e. Want/need
f. Benefit or bad
(Kotler
& Philip,
2006)
Data Analysis Method
Data analysis activities in quantitative research are divided into two, na-
mely, describing and conducting statistical tests (inference). In this study,
the author uses the help of software reviews 10.
Classical Assumption Test
Any known regression estimation results must be free of symptoms such

174 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
as Multicollinearity, Heteroscedasticity, and Autocorrelation. To find out
these symptoms, a test called the classical assumption test is needed.
Multiple linear regression test
The regression estimation results will be formed into a regression model
between the variables. In this study, the regression models that can be for-
med are as follows:
Y = Bo + B1X1 + B2X2
Explanation:
Y = Purchase Decision
Bo = Constanta
B1X1 = Social Media Marketing
B2X2 = e-WOM
Hypothesis Test
The t-test (partial test), the F test (simultaneous test), and the coeffici-
ent of determination were used in this research to test hypotheses. To deter-
mine whether each independent variable had an impact on the dependent
variable, the t-test was used. (partially). The F test is used to simultaneous-
ly (simultaneously) determine all independent variables regarding their im-
pact on the dependent variable. In order to estimate how much impact each
independent variable in the study had, the coefficient of determination is
calculated using the adjusted R-Squared value from the regression estima-
tion results.
Result and Discussion
Characteristics of Respondents
This study uses a questionnaire to obtain data from respondents. The
respondents of this study were Generation Z with an age range (17-25 ye-
ars) comprising 154 people. The respondent data from this study obtained
through questionnaires are as follows:

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 175
Gender
According to respondent statistics, women filled out the questionna-
ire more frequently than men, with a presentation of 77.3% (women) and
22.7% (men).
Age
The characteristics of respondents based on age are presented in the fol-
lowing table:
Table 5. Age of Respondents
Age Frequency Percentage
17 - 19 years 85 55,2%
20 - 22 years 62 40,3%
23-25 years 7 4,5%
Total 154 100%
Number of Purchases in a Month
Regarding the number of purchases of processed food products through
social media, especially during the COVID-19 pandemic, they are as follows:
Table 6. Number of Purchases in a Month During the Covid-19 Period
Number of purchases Frequency Percentage
1 - 3 times a month 25 16,23%
1 - 5 times a month 8 5,19%
> 5 times a omnth 5 3,25%
Only at certain times 76 49,25%
Never 40 25,97%
Total 154 100%
The table shows that generation z tends to buy processed food produc-
ts online through social media only at certain times. Many have never made
purchases online using social media during this covid-19 pandemic.

176 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Classic assumption test
Multicollinearity
Variable
Coefficient
Vanance
Uncentred VIF Centred VIF
C Social media marketing1.330231 48.51083 NA
G Electronicwom
0.006067 90.35147 2.083006
0.003252 83.81465 2.083006
The VIF value from the test results above is 2.08, so it can be concluded
that there is no multicollinearity in the two independent variables.
Autocorrelation
Table 8 Autocorrelation Test
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.224665Prob F (2, 149) 0.7991
Obs*R-squuared 0.463012Prob Chi-Square (2) 0.7933
Prob value. The calculated F is 0.7991, which is greater than the 0.05 alp-
ha level, so it can be concluded that there is no autocorrelation.
Normality
The calculated JB (Jarque-Bera) probability value is greater than 0.05. It
can be concluded that the residuals are normally distributed.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 177
Linearity
Table 9 Linearity Test
Value df Probability
t-statistic 0.465873 150 0.6420
F-statistic 0.217037 (1.150) 0.6420
Likelihood ratio 0.222664 1 0.6370
From the test results, it is known that the value of Prob. F count is grea-
ter than 0.05 so it can be concluded that the regression model has met the
assumption of linearity.
Heteroscedasticity
Table 10. Heteroscedasticity Test
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 0.257161 Prob F (2, 149) 0.7736
Obs*R-squuared 0.522759 Prob Chi-Square (2)0.7700
Scaled exlpained SS0.517031 Prob Chi-Square (2)0.7722
From the test results above, it is known that the prom value. From the
calculated F of all tests greater than the alpha level of 0.05, it can be conclu-
ded that there is no heteroscedasticity.
Model Feasibility Test
The results and estimates of the regression model obtained from the test
results are as follows:
Table 11 Model Feasibility Test
Dependent Varlable: Keputusan Pembelian
Method: Least Squares
Date: 01/22/08
Time: 11:04
Sample: 1.154
Included observations: 154

178 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Variable CoefficientStd. Error t-StatisticProb.
C 4.1986391.153356 3.6403660.0004
Social media marketing0.371049-0.077890 4.7637630.0000
Electronicwom 0.4417670.057024 7.7470540.0000
R-squared 0.652191Mean dependent var 23.20779
Adjusted R-squared 0.647585S.D dependent var 3.461601
S.E. of regression 2.054966Akaike info criterion4.3297683
Sum squared resid 6376554 Schwarz critirion 4.356845
Log likelihood -3279216Hannan-Quinn criter.4.321715
F-statistic 141.5733Dubin-Watson stat 1.863091
Prob (F-statistic) 0.000000
Test the significance of the model for concurrent testing.
This test aims to see whether a regression model that is formed as a who-
le is a significant model.
Hypothesis:
H0 : ß1= ß2=0
H1 : There must be at least 1, ßj = j= 1,2
Test statistics:
F-statistics = 141.5733 and Prob (F-Statistic) = 0.000000
Rejection Area:
If Prob (F-Static) < 0.05 then reject H0. Because the value of Prob
(F-Statistic) = 0.000000 <0.05 then H0 is rejected. So it can be conclu-
ded that the regression model formed is significant.
Test the significance of the model for partial testing
Partial testing is carried out to see whether a variable from the regressi-
on model that has been formed has an individual influence.
Testing for X1
Hypothesis:
H0 = ß1 = 0
H1 = ß2 ≠ 0
Test statistics:
t-statistic shows the value of 4.763763 and Prob (F-statistic) = 0.0000

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 179
Rejection area:
If Prob (F-statistic) < 0.05 then reject H0
Conclusion:
Because the value of Prob (t-statistic) = 0.0000 <0.05 then H0 is re-
jected, so it can be concluded that the social media marketing variab-
le (X1) has a significant influence on the purchasing decision variab-
le (Y).
Testing for X2
Hypothesis:
H0 = ß1 = 0
H1 = ß2 ≠ 0
Test statistics:
t-statistic shows the value of 7.747054 and Prob (F-statistic) = 0.0000
Rejection area:
If Prob (F-statistic) < 0.05 then reject H0
Conclusion:
Because the value of Prob (t-statistic) = 0.0000 <0.05 then H0 is re-
jected, so it can be concluded that the electronic word-of-mouth va-
riable (X2) has a significant influence on the purchasing decision va-
riable (Y).
Coefficient of determination
Based on the regression parameter estimation findings, the R-square va-
lue is 0.652191, which indicates that the electronic word-of-mouth (X2) and
social media marketing (X1) variables have a 65.22% effect on the Y variab-
le. Other factors not covered in this research have an impact on the remain-
ing 34.78% of the sample.
Model interpretation
Based on the test results above, the regression model is obtained as fol-
lows:
Ŷ� = 4.198639 + 0.371049 X1 + 0.441767 X2
Ŷ: Y prediction from the model formed
X1: Social media marketing

180 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
X2: Electronic Word-of-Mouth (e-WOM)
Model interpretation:
• For every 1 unit increase from X1, it will increase Y by 0.371049,
assuming that other factors are constant. Therefore, the regres-
sion coefficient of social media marketing is positive, meaning
that when the utilization or use of social media marketing in mar-
keting processed halal food products belonging to MSMEs in-
creases, the consumer’s decision to make a purchase will also in-
crease versa.
• For every 1 unit increase from X2, it will increase Y by 0.441767,
assuming that other factors are constant. The regression coeffi-
cient for electronic word-of-mouth is positive, meaning that when
electronic word-of-mouth rises, especially in terms of providing
reviews or testimonials related to processed halal food products
marketed by MSMEs, the consumer’s decision to make a purchase
will also increase, and so will on the contrary.
Marketing Communication Model Through Social Media
Social media marketing is a viable alternative for marketing and promo-
ting MSME products, given that the implementation of social distancing in
the era of the covid-19 pandemic has undoubtedly disrupted the business
activities of MSMEs as a result of reduced “people-to-people” interactions.
In addition, the optimal utilization of social media marketing is viewed as a
means of reviving the economy of MSMEs in the wake of COVID-19.
A social media presence can also facilitate consumer socialization and
the formation of interactive communities. In the digital age, the term WOM
(Word-of-Mouth) has been renamed e-WOM (electronic Word-of-Mouth).
Word-of-mouth or communication in the marketing industry is surely not
strange (Electronic Word-of-Mouth). Communication may enlighten and
make potential consumers aware of the product’s existence on a fundamen-
tal level. Additionally, communication can convince consumers to start an
exchange relationship (Setiadi, 2003). In addition, the interactive nature of
social media, i.e., its ability to build communication between individuals,
companies in the sales community, and their customers, as well as involving

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 181
customer participation in filling content and creating value, affords compa-
nies the opportunity to provide superior customer service and meet their
needs (Marchiori, Cantoni, & Fesenmaier, 2013).
The variables of social media marketing and electronic word-of-mouth
have a positive and statistically significant impact on the purchasing decisi-
ons of SME consumers for processed halal food products, according to the
findings of this study. Therefore, the following is a communication model for
social media marketing that optimizes and maximizes the use of social me-
dia for advertising and promotion.
Figure 5. Marketing Communication Model Through Social Media
Explanation:
1. What must be done before marketing and promoting halal processed
food products belonging to MSMEs is as follows:
a. Content creation, MSMEs should create exciting and innovative
content about the products they want to market. This is done
as a strategy to get consumers’ attention.
b. Content sharing, after creating exciting and innovative content
related to the product you want to market, the next step is to
share the content with social media users to expand the online
audience and business network.

182 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
2. Social media makes it easier for sellers (MSMEs) to connect with
consumers who are their target market. From the posted content,
consumers can get information about the products sold by MSMEs
and trigger interactions.
3. A vast network can build business relationships and form online
communities with similar interests and interests. Within the commu-
nity, of course, they will interact and exchange information related to
products or product reviews they have purchased. Electronic Word-
of-mouth (E-WOM) significantly influences marketing and promoting
a product, leading to consumer purchasing decisions. What should be
noted are the following:
a. Content is the essential thing that will trigger interactions and,
of course, as a means of delivering information related to the
quality, price, and advantages of processed halal food products
sold by these MSMEs. Exciting and innovative content is need-
ed to attract consumers’ attention to discover the products be-
ing sold so that, in the end, it becomes a consideration for mak-
ing a purchase.
b. Intensity, consumers will provide information or opinions to
other fellow consumers from these posts. The benchmark is
the frequency with which these consumers access information
about processed halal food products sold by MSMEs via social
media, the frequency with which they interact with other so-
cial users, and the number of reviews written by consumers
about halal food products. That SMBs sell through social me-
dia.
c. Valence of opinion, the next stage is consumer interest in buy-
ing products based on the Intensity described in the points
above. Positive opinions and recommendations from other
consumers posted through social media will attract the atten-
tion of new consumers or the community to find out and buy
processed food products that MSMEs sell.

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 183
Marketing Model Using Instagram
Before marketing using social media, research should be carried out fir-
st related to the desired market share. The results of the questionnaire data
distributed through this google form show that Generation Z uses Instagram
more than the others.
Therefore, Instagram is an ideal platform for marketing and product pro-
motion, particularly for micro, small, and medium-sized enterprises (MS-
MEs) selling processed halal food to Generation Z consumers. Using the
research of Ena Buinac and Jonatan Lundberg (2016), the following is a mar-
keting model utilizing the Instagram social media platform:
Figure 7 Marketing Model Using IG

184 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
The chart above shows all the components in the marketing model using
Instagram. Here are the explanations:
1. Changes in consumer behaviour and priorities certainly result in
changing trends in marketing. Knowing the trends that are develop-
ing in the community will undoubtedly help MSMEs save time and
costs and ensure that the products marketed reach the target audi-
ence who will buy these products.
2. The “Instagram for Business” feature helps MSMEs to create a busi-
ness profile for free. A business profile can also be insight and the
ability to promote. Insights on Instagram help MSMEs to get impor-
tant information about followers and posts that have the most reach
with the highest customer engagement. Meanwhile, the promote fea-
ture is helpful for advertising posts on Instagram.
3. After knowing the trends in the community and having determined
the marketing target, the next step is to prepare posts following the
intended directions and targets. Content, photos, and videos to be
posted must attract attention. In addition, the posting must be done
consistently with the right timing.
4. Not only posting pictures and videos but captioning is also very use-
ful to clarify the description of the products sold so that they are easy
to understand and information will be conveyed quickly. In addition
to captions, hashtags and geotags on Instagram are also very impor-
tant. First, the use of hashtags serves to increase the number of fol-
lowers on Instagram because they are easy to find the Instagram
account. In addition, hashtags function for branding and product pro-
motion on Instagram. Next is the use of geotags, which can be a useful
alternative tool to increase engagement with the ability to grow fol-
lowers and increase the number of interactions.
5. These four activities are more effective and drive the most engage-
ment and interaction on Instagram.
a. Giveaways help MSMEs attract engagement on Instagram and
increase the growth potential of Instagram accounts.
b. Product placement or brand placement is an activity to place
brand names, products, packaging, symbols, or logos to re-
mind consumers of the product and stimulate the creation of

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 185
purchases.
c. To convert followers into customers, it is necessary to make
exclusive offers, for example, giving gifts.
d. Collaborate with influencers on Instagram relevant to the
product being sold. This method helps expose the products
sold by the MSMEs to the broader community.
Conclusion and Recommendation
Conclusion
1. The results of this study indicate that social media marketing and
electronic word-of-mouth partially and simultaneously have a pos-
itive and significant effect on purchasing decisions for MSME halal
processed food products. The results of the simultaneous test of vari-
ables X1 and X2 are 65.22% affecting the Y variable.
2. The marketing communication model through social media is to opti-
mize social media marketing and electronic word-of-mouth. Success
in social media marketing is to create interesting content and share
that content with social media users who are the target market share.
The posted content certainly has the possibility of triggering inter-
actions between social media users so that, in the end, a communi-
ty with the same interests is formed. It is from this community that
word-of-mouth electronics will emerge that will influence social me-
dia users with one to try and buy the MSME products that are traded.
3. Marketing model using Instagram social media, (1) Paying attention
to trends that are developing in the community, (2) Using Instagram
business features, (3) Preparing interesting posts and doing it con-
sistently following the right time, (4) Providing captions, hashtags
and geotags, (5) Instagram activities include giving giveaways, con-
ducting product placements, providing exclusive offers, and collabo-
rating with influencers.
Recommendation
1. The results of this study indicate that social media marketing and
electronic word-of-mouth partially and simultaneously have a pos-

186 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
itive and significant effect on purchasing decisions for MSME halal
processed food products. The results of the simultaneous test of vari-
ables X1 and X2 are 65.22% affecting the Y variable.
2. The marketing communication model through social media is to opti-
mize social media marketing and electronic word-of-mouth. Success
in social media marketing is to create exciting content and share that
content with social media users who are the target market share.
3. The posted content certainly has the possibility of triggering inter-
actions between social media users so that, in the end, a communi-
ty with the same interests is formed. It is from this community that
word-of-mouth electronics will emerge that will influence social me-
dia users with one to try and buy the MSME products that are traded.
4. Marketing model using Instagram social media, (1) Paying attention
to trends that are developing in the community, (2) Using Instagram
business features, (3) Preparing exciting posts and doing it consist-
ently following the right time, (4) Providing captions, hashtags and
geotags, (5) Instagram activities include giving giveaways, conduct-
ing product placements, providing exclusive offers, and collaborating
with influencers
References
Siswanto, T. (2013). Optimalisasi Sosial Media sebagai Media Pemasaran Usaha Kec-
il Menengah. Jurnal Riset Akuntansi dan Manajemen.
Adelia Sari, Vina Ivana, Shienny Thio. (2014). Electronic Word of Mouth dan Pen-
garuhnya Terhadap Keputusan Pembelian di Restoran dan Kafe di Surabaya.
Asanti, A. M. (2015). Pengaruh Electronic Word of Mouth dan Persepsi Nilai Terh-
adap Minat Beli Bowl-ling Fruit Bar di Yogyakarta.
Astuti, S., & Cahyadi, I. G. (2007). Pengaruh Elemen Ekuitas Merek Terhadap Rasa
Percaya Diri Pelanggan di Surabaya Atas Keputusan Pembelian Sepeda Motor
Honda. Majalah Ekonomi, TH XVII, No.2.
Buinac, E., & Lundberg, J. (2016). Instagram as a Marketing Tool (A Case Study about
How Companies Communicate their Brands on Social Media). Journal of Interac-
tive Marketing, 38-52.
Dewi Untari, Dewi Endah Fajariana. (2018). Strategi Pemasaran Melalui Media Sosial
Instagram (Studi Deskriptif Pada Akun@Subur_Batik). Widya Cipta Jurnal Sek-

Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer 187
retaris dan Manajemen.
Diana Fitri Kusuma, Mohamad Syahriar Sugandi. (2018). Strategi Pemanfaatan Ins-
tagram Sebagai Media Komunikasi Pemasaran Digital Yang Dilakukan Oleh Dino
Donuts. Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 3, No. 01.
Ena Buinac, Jonatan Lundberg. (2016). Instagram as a Marketing Tool. Business Ad-
ministration, bachelor level.
Goldsmith, & Ronald, E. (2006). Electronic Word-of-Mouth in Encyclopedia of E-Com-
merce, E-Government and Mobile Commerce, Mehdi Khosrow-Pour, Ed., Hershey.
PA: Idea Group Publishing, forthcoming.
Goyette, I., Richard, L., Bergeron, J., & Marticotte, F. (2012). e-WOM Scale Word-Of-
Mouth Measurement Scale. For E- Services Content. Canadian Journal of Admin-
istrative Scienes, 5-23.
Gunelius. (2011). 30-Minute Social Media Marketing. United States: McGrawHill
Companies.
Hennig, T., Thorsten, Kevin, P. G., Walsh, G., & Dwayne, D. G. (2004). Electronic Word-
of-Mouth via Consumer-Opinion Platforms: What Motivates Consumers to Artic-
ulate Themselves on the Internet?”. Journal of Interactive Marketing, 38-52.
Herman, L. E., & Athar, H. S. (2018). Pengembangan Model Social Media Marketing
Dan Keputusan Berkunjung: Sebuah Pendekatan Konseptual. Jurnal Ilmu Komu-
nikasi (J-IKA), Vol. V No. 2.
Ivana, Vina, Sari, Adelia, Thio, & Sienny. (2014). Electronic Word-Of-Mouth (E-WOM)
dan Pengaruhnya terhadap Keputusan Pembelian di Restoran dan Kafe Di Sura-
baya. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa.
Jones, B. (2010). Entrepreneurial marketing and the Wb 2.0 interface. Journal of Re-
search in Marketing and Entrepreneurship, 143-152.
Kotler, & Keller. (2009). Manajemen Pemasaran Jilid I. Edisi ke 13. Jakarta: Erlangga.
Kotler, & Philip. (2006). Manajemen Pemasaran, Jilid 1, Terjemahan Hendra Teguh
dkk. Jakarta: PT. Prenhalindo.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2012). Manajemen Pemasaran Jilid I Edisi ke-12. Jakarta: Er-
langga.
Lalu Edy Herman, Handry Sudiartha Arthar. (2018). Pengembangan Model Social
Media Marketing dan Keputusan Berkunjung: Sebuah Pendekatan Konseptual.
Jurnal llmu Komunikasi (J-IKA), Vol. V No.2.
Lim, Y., Chung, & Weaver, P. A. (2012). The impact of social media on destination
branding. Journal of Vacation Marketing 18, 197-206.

188 Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer
Lina Yan, Carol Musika. (2018). The Social Media and SMEs Business Growth. Lin-
naeus University.
Marchiori, E. L., Cantoni, L., & Fesenmaier, F. R. (2013). What did they say about us?
Message Cues and Destination Reputation in Social Media. Information and Com-
munication Technologies in Tourism, 170-182.
Marchiori, E., Cantoni, L., & Fesenmaier, D. R. (2013). What did they say about us?
Message Cues and Destination Reputation in Social Media. Information and Com-
munication Technologies in Tourism.
Minazzi, R. (2015). Social Media Marketing in Tourism and Hospitality. London:
Springer Cham Heidelberg New York Dordrecht London.
Muhammad Fitra Alfajri, Viranda Adhiazni, Qurrotul Aini. (2019). Pemanfaatan So-
sial Media Analiytics Pada Instagram Dalam Peningkatan Efektivitas Pemasaran.
Jurnal Ilmu Komunikasi.
Muslihah, F. (2018). Pengaruh Social Media Marketing Instagram Terhadap Keputu-
san Pembelian Produk Fashion Dalam Pandangan Islam. UIN Raden Intan Lam-
pung.
Muslihah, F. (2018). Pengaruh Sosial Media Marketing Instagram Terhadap Keputu-
san Pembelian Produk Fashion Dalam Pandangan Islam.
Piñeiro-Otero, T., & Martí �nez-Rolán, X. (2016). Understanding Digital Marketing—
Basics and Actions. Springer International Publishing Switzerland.
Priyanto, Rosa, & Syarif. (2014). Pengaruh Personal Selling dan Kualitas Produk Ter-
hadap Keputusan Pembelian. Jurnal Ilmiah Manajemen Kesatuan Vol. 2 No. 1.
Putra, Y. S. (2016). Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi. Jurnal Among
Makarti, 124-134.
Setiadi, N. J. (2003). Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi Untuk Strategi dan
Penelitian Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Siswanto, T. (2013). Oprimalisasi Sosial Media Sebagai Media Pemasaran Usaha Kec-
il Menengah. Jurnal Liquidity.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Afabeta.
Todua, N. (2017). Social Media Marketing for Promoting Tourism Industry in Geor-
gia. In The 22nd International Conference on Corporate and Marketing Commu-
nications.
We are Social Hootsuite. (2020). Digital 2020 Indonesia. We are Social Hootsuite.

U
ntuk memperluas makna dan dimensi moderasi beragama, buku
yang sedang dibaca oleh Pembaca Budiman ini berupaya mengha-
dirkan moderasi beragama dari berbagai perspektif, baik itu dari
berbagai sudut keilmuan, pengalaman organisasi keagamaan dalam ber-
bangsa dan bernegara, maupun dinamika dan isu kontemporer seperti in-
dustri halal yang menjadi perhatian dunia. Buku ini hadir untuk menero-
pong bagaimana moderasi beragama bersinggungan dengan berbagai isu
kontemporer, baik itu dalam politik, ekonomi, pendidikan dan kebudaya-
an. Sebagai contoh, tulisan pertama pada bagian satu menjelaskan bahwa
agama harus dapat memberikan color and spirit in culture, sedangkan bu-
daya dapat memberi kekayaan terhadap agama. Harmonisasi yang terjalin
antara agama dan budaya merupakan implementasi dari sila Persatuan In-
donesia. Budaya dapat menjadi sarana dalam menyebarkan ajaran agama.
Begitu juga kehadiran agama tidak bisa menghilangkan keberadaan bu-
daya yang telah ada di masyarakat. Maka moderasi beragama merupakan
konsep positif dalam membangun keadilan dalam masyarakat, kebera-
gaman dalam beragama harus menjadi potensi untuk saling mengenal dan
berkolaborasi dalam kebaikan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kementerian Agama RI
2023