Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam
177

YUDISIA : JURNAL PEMIKIRAN HUKUM DAN HUKUM ISLAM
ISSN: 1907-7262 / e-ISSN: 2477-5339
Volume 14, Nomor 2, Desember 2023
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/index
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP
PENGATURAN SANKSI SOSIAL BAGI PELAKU KORUPSI
DI INDONESIA KONTEMPORER

Abd Hannan
1,
Zainuddin Syarif
2
Institut Agama Islam Negeri Madura
1,2
Email:[email protected]
1
,Email:[email protected]
2



Abstract
Corruption is one of the crucial problems in Indonesia which until now has not been able to be
addressed. Corruption occurs in almost all lines and structures of government, from the executive,
legislative to judiciary, from government at the central to regional levels. This research has a
specific aim to examine the regulation of social sanctions in eradicating corruption in Indonesia
from a sociological perspective. Methodologically, this research is library research conducted using
a qualitative approach. After analyzing field data using the perspective of the sociology of law and
the sociology of corruption, this research found that the idea of eradicating corruption through
establishing social sanctions in a sociological perspective means exile or castration. Social
sanctions in this context mean maximizing social structures and community institutions in an
effort to control, prevent and take action. Both prevention and action are direct, for example
making them street sweepers, or indirect, but provide a long-term deterrent effect, for example,
marking their identity card (KTP) with writing or a corruptor's stamp, revoking their political
rights so they can no longer hold public office.

Keywords: Corruption, social sanctions, Sociology of Law

Abstrak
Korupsi merupakan salah satu permasalahan krusial di Indonesia yang hingga saat ini
belum mampu ditangani. Korupsi terjadi hampir di semua lini dan struktur
pemerintahan, mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif, mulai dari pemerintahan
di tingkat pusat hingga daerah. Penelitian ini mempunyai tujuan khusus untuk mengkaji
pengaturan sanksi sosial dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dari sudut pandang
sosiologi. Secara metodologis, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Setelah menganalisis data
lapangan dengan menggunakan perspektif sosiologi hukum dan sosiologi korupsi,
penelitian ini menemukan bahwa gagasan pemberantasan korupsi melalui penetapan
sanksi sosial dalam perspektif sosiologi berarti pengasingan atau kebiri. Sanksi sosial
dalam konteks ini mengandung makna memaksimalkan struktur sosial dan pranata
masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian, pencegahan, dan penindakan. Baik
pencegahan dan penindakan tersebut bersifat langsung semisal menjadikannya petugas
sapu jalanan maupun bersifat tidak langsung namun memberi efek jera jangka panjang,
misal, menandai identitas Karta Tanda pengenal diri (KTP) dengan tulisan atau cap
koruptor, mencabut hak politiknya sehingga dirinya tidak lagi memiliki kesempatan dan
hak untuk mencalonkan dan mengisi jabatan publik tertentu.

Kata Kunci : Sosiologi Hukum, Penetapan Sanksi Sosial, Korupsi

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



178 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

PENDAHULUAN
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, isu korupsi menjadi
salah satu isu krusial yang bayak diperbincangkan banyak kalangan dari
waktu ke waktu. Isu korupsi di Indonesia tergolong tema klasik, dalam
artian sudah lama dibicarakan dan menjadi perhatian banyak pihak,
terutama ketika Indonesia mengalami transformasi sistem pemerintahan
pascabergulirnya reformasi 1998. Pada masa ini, lahirnya reformasi 1998
tidak lepas dari problem korupsi yang saat itu dilakukan oleh rezim
berkuasa orde baru (Kompas, 2023). Soeharto yang saat itu menduduki
jabatan sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun, diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi besar-besaran terhadap kekayaan di
Indonesia. Sebagai konsekuensinya, proses dan program pembangunan
sosial ekonomi di masanya tidak mengalami banyak perkembangan dan
kemajuan. Alih-alih maju, kenyataan yang muncul saat itu mengantarkan
di Indonesia ke jurang krisis sosial ekonomi besar-besaran, yang kala itu
dikenal dengan krisis moneter tahun 1997-1998 (Prasetyia, 2010; Putra &
Linda, 2022).
Bercermin pada dinamika sosial ekonomi dan pembangunan di
Indonesia saat ini, kajian seputar korupsi menjadi salah satu tema yang
tergolong penting dan menarik dikaji. Dikatakan penting karena
sebagaimana dimaklumi bersama, korupsi di Indonesia menjadi persoalan
klasik yang sulit diberantas, bahkan, lebih dari dua dekade
pascareformasi 1998, korupsi di Indonesia (seolah) semakin masif dan
sulit dikendalikan. Pada masa orde baru dulu, praktik korupsi lebih
terpusat di lingkaran keluarga beserta Soeharto dan para kroninya.
Sekarang, sejak diterapkannya sistem otonomi daerah dan diterapkannya
demokrasi totalitas multipartai, praktik dan perilaku korupsi kian
menyebar luas ke penjuru daerah, bahkan pada level tata kelola
pemerintahan di pedesaan sekalipun (Astungkoro, 2021: 121). Ini
menandakan betapa problem korupsi di Indonesia benar-benar tengah
berada di situasi yang akut dan kronis. Adapun terbilang menarik, karena
pada kenyataannya, korupsi di Indonesia memiliki persoalan cukup
kompleks. Mulai dari lemahnya sistem pencegahan dan penindakan di
level hukum hingga persoalan mentalitas yang bersentuhan dengan
sistem kebudayaan (Javier, 2021: 210). Sederhananya, masifnya problem
korupsi di Indonesia saat ini tidak melulu karena persoalan normatif,
namun juga erat hubungannya dengan kultur sosial dan struktur
kebudayaan masyarakat yang bias pada pembiasaan diri berlaku korup.
Karenanya dalam merespons dan memberantasnya, selain menggunakan
pendekatan hukum normatif, sistem mitigasi dan penanganan korupsi di
Indonesia harus mengelaborasi perspektif lain, salah satunya adalah
perspektif sosial (Mulyana, 2022: 76).

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 179

Sementara itu, di level akademik, kajian seputar dinamika korupsi
di Indonesia serta penanganan terhadapnya, itu sesungguhnya sudah
pernah dilakukan. Berdasarkan penelusuran studi terdahulu,
kecenderungan umum kajian yang ada selama ini dapat dikelompokkan
menjadi dua; pertama, korupsi dilihat sebagai tindakan penyimpangan
nilai dan norma sosial yang berlaku normatif di masyarakat (Arismaya &
Utami, 2019: 78). Oleh karenanya, upaya pencegahan dan penindakan
terhadapnya perlu dibangun melalui pendekatan struktural, dalam hal ini
adalah hukum positif dan sejenisnya (Putra & Linda, 2022: 91). Kedua,
proses atau pencegahan dan penindakan korupsi cenderung terpusat
pada aktor selaku subjek. Artinya, konstruksi hukum yang ada selama ini
lebih menekankan pada upaya melakukan kontrol terhadap sisi
pelakunya saja, dan pada saat bersamaan sedikit sekali memberi perhatian
terhadap unsur-unsur lain di luarnya seperti halnya sistem dan struktur
sosial (Hadi dkk., 2020: 88). Padahal sebagai bagian dari perilaku
menyimpang, korupsi tidak sekadar merupakan pertentangan atau
pelanggaran norma, namun juga identik dengan konstruksi individu
terhadap situasi sosial yang tengah ada dialaminya. Artinya, korupsi
menyimpan suatu yang kompleks, mulai dari penyimpangan, kesadaran,
pemahaman, mentalitas, kebudayaan, bahkan situasi sosial kehidupan
sehari-hari (Aerlang, 2016: 70).
Secara umum, kajian ini memiliki tujuan dan kepentingan khusus
menutupi sejumlah kekurangan dan kelemahan dari kajian -kajian
sebelumnya, tidak terkecuali sejumlah kajian permasalahan serupa
tentang korupsi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Penulis terkait
penguatan instrumental penindakan perilaku menyimpang korupsi
melalui sanksi sosial. Sejumlah kelemahan dan kekurangan yang
dimaksud adalah minimnya kajian terhadap dinamika korupsi di
Indonesia dari perspektif sosiologi. Padahal jika mengacu pada ragam
kasus dan persoalan korupsi di Indonesia yang terjadi dalam dua dekade
terakhir, penggunaan perspektif sosiologi terbilang krusial dan strategis.
Selain dapat menambah dan memperkaya khazanah keilmuan di bidang
pencegahan dan penanganan korupsi, penggunaan perspektif sosiologi
memiliki keunggulan dalam mengkaji dan menganalisa persoalan korupsi
di Indonesia secara lebih kritis dan mendalam. Dengannya, ada harapan
kompleksitas persoalan korupsi di Indonesia dapat dicerna dan
diidentifikasi, sehingga pada akhirnya dapat tertangani dan terselesaikan
secara maksimal dan menyeluruh.
Artikel ini didesain untuk menjawab dua pertanyaan penelitian
yakni; bagaimana dinamika perilaku korupsi di Indonesia dari tahun ke
tahun?; bagaimana penanganan dan penindakan korupsi Indonesia
melalui pengaturan sanksi sosial ditinjau dari perspektif sosiologi
hukum?. Dua pertanyaan penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



180 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

dan mengetahui berbagai dinamika perilaku korupsi di Indonesia, jumlah
kasus korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun, subjek pelaku atau aktor
dominan yang terlibat dalam kasus korupsi di Indonesia, dalam konteks
apa saja korupsi memiliki dampak negatif bagi keberlangsungan sistem
pemerintahan dan kondisi sosial masyarakat di Indonesia, dan bagaimana
sesungguhnya gagasan sanksi memiliki nilai strategis dan efisiensi dalam
menekan praktik korupsi di Indonesia. Melalui dua pertanyaan dan
tujuan tersebut, temuan dalam kajian ini diharapkan dapat menghasilkan
rekomendasi strategis kepada semua pihak guna memperkuat sistem
pencegahan dan penanganan praktik korupsi di Indonesia, baik korupsi
yang terjadi di lingkaran elit pusat maupun yang terjadi di jajaran
pemerintah daerah sampai pada level pemerintahan desa sekalipun.

METODE PENELITIAN
Secara metodologi, metode penulisan artikel ini menggunakan
metode kepustakaan. Metode kepustakaan atau yang terkenal dengan
studi kepustakaan adalah sebuah pendekatan dalam penelitian yang tidak
meniscayakan adanya kegiatan penelitian di lapangan. Semua data
penelitian mutlak diperoleh atau didapat dari data-data kepustakaan yang
bersumber dari bahan bacaan dan informasi media, baik media cetak
maupun online (Handbook of qualitative research., 1994: 32). Istilah literatur
di sini merujuk pada setiap kajian keilmuan yang memiliki relevansi
dengan fokus masalah yang diangkat dalam penulisan ini. Namun,
meskipun penelitian ini memfokuskan datanya pada sumber
kepustakaan, namun berdasarkan jenis data yang digunakan tetap
mengacu pada dua jenis sekaligus, yakni data primer dan data sekunder.
Data primer terdiri dari informasi atau keterangan yang di dalamya
memuat berbagai landasan normatif atau hukum terkait tindak pidana
perilaku menyimpang korupsi di Indonesia, misal, Undang-Undang
Nomor 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Adapun data sekunder adalah berbagai data pendukung yang
disadur dari kajian-kajian terdahulu dan memiliki keterkaitan
pembahasan dengan fokus masalah kajian ini. Fokus masalah dimaksud
adalah isu-isu sosial terkait perilaku menyimpang korupsi di Indonesia,
baik korupsi di level eksekutif, yudikatif, legislatif, baik terjadi di
lingkaran lembaga negara maupun lembaga swasta.
Pada tataran operasionalnya, penelusuran data melalui studi
kepustakaan dalam penelitian ini, secara keseluruhan Peneliti
kelompokkan ke dalam tiga tema besar; konsep dan landasan normatif
tentang korupsi beserta instrumen penindakannya, definisi perilaku
menyimpang, dan konsep tentang sanksi sosial. Penelusuran dan
deskripsi penjelasan konseptual terhadap ketiga isu besar tersebut, semua
dikaji dan dibahas oleh Peneliti dari perspektif sosiologi hukum. Dalam

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 181

upaya memperoleh data yang objektif, maka studi kepustakaan dalam
kajian ini lebih mengedepankan pembacaan data-data baru, khususnya
yang bersumber dari hasil-hasil penelitian, baik itu dalam bentuk skripsi,
tesis, disertasi, dan jurnal penelitian, yang terbit dalam periode 2004-2023.
Pemilihan periode tersebut didasari oleh fakta bahwa sejak tahun 2004,
fenomena perilaku menyimpang korupsi di Indonesia mengalami
pergeseran seiring diterapkannya sistem pemilihan umum terbuka.
Korupsi yang dulunya beroperasi secara sentralistis kemudian menyebar
ke penjuru daerah, baik daerah di Tingkat kabupaten, provinsi, maupun
kota. Pada periode ini pula, seiring semakin masif dan meluasnya praktik
korupsi di Indonesia, gagasan penerapan sanksi sosial pun bermunculan,
baik di level akademik maupun kelembagaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai bentuk kejahatan besar, korupsi dijalankan dalam beragam
modus dan bentuk. Peluang terjadinya korupsi dalam sektor sistem sosial
tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan aktor-aktor intelektual,
memanfaatkan jabatan dan wewenang strategis yang didudukinya.
Wijayanto dan Ridwan Zachrie (2010) dalam sebuah buku berjudul
‘Korupsi Mengorupsi Indonesia; Sebab Akibat dan Prospek Pemberantasan’
secara menarik menggambarkan area dan kesempatan, di mana korupsi
sering beroperasi
.
(Wijayanto, 2009: 46). Sekurang-kurangnya terdapat tiga
area berlangsungnya praktik-praktik korupsi, yaitu: Pertama, keinginan
dan kesempatan. Salah satu faktor timbulnya perilaku korupsi ialah
adanya dorongan mentalitas individu yang bersumber dari keinginan dan
kesempatan. Perilaku korup yang di dorong oleh keinginan dan
kesempatan sering kali terjadi dalam waktu bersamaan. Bedanya, hasrat
untuk berperilaku korup bekerja dalam wilayah kejiwaan, umumnya
dipengaruhi oleh dorongan hal-hal internal yang sifatnya psikis. Tesis
psikoanalisis Sigmund Frued (1856-1939) bahwa manusia adalah individu
yang senantiasa digerakkan oleh keinginan (homo volens) dapat menjadi
pembenaran (Susan, 2010: 72).
Selain unsur keinginan, unsur peluang atau kesempatan
merupakan faktor kedua yang dapat menstimulasi tumbuhnya perilaku
korupsi. Unsur peluang berada pada kisaran faktor-faktor eksternal,
khususnya berkenaan dengan regulasi. Semakin lemah dan renggang
keberadaan regulasi, maka potensi munculnya perilaku korupsi akan
semakin besar. Dengan demikian, sistem sosial diciptakan sebagai upaya
mempersempit ruang gerak tindak pidana korupsi. Administrasi, nilai,
dan norma sosial masyarakat tak ubahnya sistem teknologi. Harus
berpola, terstruktur, sistemis dan tertata rapi, sehingga tidak sedikit pun
ada celah masuknya praktik jahat korupsi.

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



182 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

Kedua, monopoli, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), monopoli memiliki arti; berdagang sendiri, orang lain atau kongsi
lain tidak boleh ikut-ikutan; untuk seorang atau satu golongan saja. Orang
yang monopoli berarti melakukan penguasaan (ekonomis) secara
sendirian. Jika berdasarkan pengertian ini, istilah monopoli lebih
cenderung digunakan dalam aktivitas perekonomian. Dalam konteks
korupsi, praktik monopoli termasuk salah satu sumber terjadinya perilaku
korup. Ketika sumber-sumber komoditas ada di bawah kekuasaan satu
kelompok, peluang terjadinya praktik-praktik culas akan semakin tinggi.
Monopoli kekuasaan kerap kali diikuti dengan praktik penyelewengan
(korupsi). Apakah itu dalam bentuk pelayanan, mengurangi jumlah,
ataupun mengurangi kualitas.
Ketiga, nilai. Dalam konteks perilaku korupsi, nilai acapkali
direduksi pada tradisi hidup yang bias materialisme dan familisme.
Pandangan tentang keduanya memuat makna hedonis dan kekerabatan.
Dalam banyak relasi sosial, baik materialisme dan familisme dapat
menjadi celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi dapat
terjadi karena mentalitas diri yang hedonis. Pun juga korupsi dapat terjadi
di saat kebijakan ataupun regulasi menjadi tidak kaku karena bersentuhan
dengan unsur ikatan kekeluargaan atau kekerabatan. Sistem
pemerintahan yang dibangun berlandaskan konsep familisme adalah cikal
bakal lahirnya struktur pemerintahan berdinasti ataupun feodalisme.
Sistem kekerabatan dalam langgam birokrasi menjadi pintu gerbang
masuknya fenomena birokrasi kolusi, koruptif, dan nepotis. Sedangkan
materialisme berimplikasi kuat terhadap perwujudan mentalitas hedonis
dan pragmatis. Konsep materialis sebagaimana dikenalkan oleh Ludwig
Feurbach (1804-1872), dan kemudian dikembangkan oleh muridnya, Karl
Marx (1818-18883) mengisyaratkan pemujaan pada materi sebagai dasar
dari segala kehidupan (Marx, 1867: 110). Masyarakat yang berlebihan
mengagungkan materi, tapi tidak memberikan kesempatan yang sama
pada kelompok masyarakat lain untuk mengakses sumber -sumber
ekonomi di lingkungannya cenderung memiliki tingkat korupsi yang
tinggi (Lukács, 1971: 82).



Teori tentang Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan bunyi perundang -undangan, UU 30/2002
menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui berbagi upaya; koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-
penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan
peran serta masyarakat (Moqoddas, 2011: 318). Hal yang perlu dipertegas
di sini, selain penguatan pemberlakuan hukum positif yang berpusat pada
lembaga pengadilan, proses pemberantasan korupsi juga harus

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 183

mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Kehadiran masyarakat dapat
menjadi instrumen atau pendekatan untuk memberi efek jera sosial
terhadap pelaku.
Selama ini penanganan korupsi dilakukan dengan berbagai
pendekatan. Terdapat banyak teori dan pendekatan dalam agenda
pemberantasan korupsi. Setiap teori dan pendekatan memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing, demikian dikarenakan setiap negara
memiliki tipologi, kultur sosial, dan sistem pemerintahan berbeda,
sehingga perspektif dan pendekatan yang dijalankan tidak dapat
disamakan. Misal, model pemberantasan korupsi dalam hal penindakan
antara negara-negara timur tengah dengan negara-negara Asia lainnya,
Indonesia misalkan. Begitu pun juga seterusnya.
Menurut Wijayanto dan Ridwan Zechrie (2010), model pendekatan
korupsi dunia dapat digolongkan menjadi empat. Pertama, pendekatan
pengacara (Lawyer Approach), pendekatan ini menitikberatkan pada
tindakan penguatan penegakan hukum, seperti halnya membuat regulasi
dan sistem tata pemerintahan yang kaku dan ketat. Tidak menyisakan
celah ataupun ruang masuknya praktik-praktik koruptif, nepotis, dan
kolusif (Susi, 2009: 43–47). Di Indonesia, pendekatan ini sudah lama
diterapkan. Bahkan secara institusional, selain keberadaan lembaga KPK,
pendekatan lawyer approach telah semakin diperkuat dengan hadirnya Tim
penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim di
Lembaga Kepolisian Republik Indonesia.
Kedua, pendekatan pengusaha (businessman approach), instrumen ini
berlandaskan pada kenyataan bahwa manusia merupakan pribadi
rasional. Sisi rasionalitas manusia mendorong dirinya mengambil sikap
dan keputusan yang logic, mengedepankan pertimbangan-pertimbangan
personal yang berlandaskan pada tercapai atau tidaknya kepentingan dan
tujuan dirinya.(Wijayanto, 2009: 44) Dengan pandangan demikian,
stabilitas sistem dan struktur sosial dapat diwujudkan oleh ketersediaan
sarana dan motivasi, baik itu berbentuk materi, kenaikan pangkat, beserta
pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Selain dapat berfungsi sebagai
penguat sistem dan struktur birokrasi, pemberian insentif yang cukup
akan dengan mudah menstimulasi etos kerja yang tinggi, meningkatkan
produktivitas kerjanya dalam organisasi. Di Indonesia sendiri, beberapa
daerah telah menerapkan instrumen ini, seperti halnya pemerintah kota
Surabaya dan Jakarta. Dua daerah ini memberi gaji besar terhadap aparat
daerah mereka.
Ketiga, pendekatan pasar atau ekonomi (market or economics
approuch), pendekatan ini memiliki sisi perbedaan dengan dua pendekatan
sebelumnya. Jika pendekatan pengacara dan pendekatan pengusaha
diwujudkan melalui hubungan sosial antara agen dan klien, pemerintah
dan masyarakat, maka lain halnya dengan pendekatan pasar atau

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



184 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

ekonomi. Pendekatan pasar ekonomi menitikberatkan pada intensitas
interaksi sosial dari masing-masing keduanya. Interaksi antarsesama
agen, interaksi antarsesama klien, dan begitu pun juga seterusnya
(Wijayanto, 2009: 44).

Dengan menitikberatkan hubungan sosial dalam diri
masing-masing pihak akan memicu adanya kompetisi. Kompetisi akan
mendorong lahirnya kreativitas, karya, dan gagasan. Sederhananya,
pendekatan ini meyakini bahwa perilaku culas korupsi terbentuk karena
minimnya kreativitas individu untuk menjalin komunikasi dan kompetisi
dengan lingkungannya. Kelemahan-kelemahan ini kemudian mendorong
individu memilih jalan pintas, sehingga pada gilirannya memunculkan
perilaku culas yang bertentangan dengan perundangan, korupsi dan
sebagainya .
Keempat, Pendekatan budaya (cultural approach), Edward B. Taylor
(1832-1917) dalam Paolo Mauro (1995) mengartikan kebudayaan sebagai
keseluruhan yang kompleks, di dalamnya terdapat seperangkat
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat dan segala
kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai seorang
anggota masyarakat (Mauro, 1995: 97). Dalam konteks pemberantasan
korupsi, pendekatan kebudayaan meniscayakan pada upaya penanaman
nilai-nilai keluhuran dan kebajikan. Mengajarkan untuk senantiasa
bersikap jujur dalam setiap saat. Cara kerja pemberantasan korupsi
melalui sektor kebudayaan sangat berbeda dengan pendekatan lainnya.
Tidak memiliki metode yang baku, hanya butuh kreativitas diri
bagaimana menyampaikan pesan anti korupsi pada masyarakat dengan
cara yang efektif. Dalam perspektif yang lebih luas, pemberantasan dan
pencegahan korupsi melalui instrumen kebudayaan dapat menjadi pintu
gerbang di mana masyarakat bisa dilibatkan di dalamnya. Karena
perspektif kebudayaan di sini mensyaratkan pada kehadiran masyarakat
beserta berbagai perangkat nilai dan struktur yang ada di dalamnya,
seperti halnya tokoh adat, tokoh agama, tokoh kebudayaan, dan
masyarakat secara menyeluruh (Barr & Serra, 2010: 89).

Pemberantasan Korupsi melalui Sanksi Sosial; Sebuah Gagasan
Sosiologi Hukum
Sebelum lebih jauh membahas pemberantasan korupsi melalui
penerapan hukuman sosial atau sanksi sosial, penting terlebih dahulu
mengetahui bagaimana korupsi didudukkan dalam kaca mata Sosiologi
Hukum. Hal ini penting untuk menawarkan pemahaman komprehensif,
karena term sanksi sosial sendiri merupakan konsep turunan yang
diadopsi dari konstruksi keilmuan sosiologi, khususnya yang bersentuhan
dengan tema-tema perilaku masyarakat yang masuk dalam katagori
menyimpang . Dalam kaitan ini, sanksi sosial adalah referensi sosiologis
untuk menyelesaikan berbagai fenomena sosial di tengah masyarakat

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 185

diketahui mengidap sindrom sosial berupa perilaku menyimpang.
Dengan demikian, apa sebenarnya yang dimaksud perilaku menyimpang
di sini, kaitannya dengan pengentasan korupsi melalui sanksi sosial?
Dalam kajian ilmu sosiologi, perilaku menyimpang merupakan
salah satu tema sentral. dikatakan sentral karena keberadaannya dapat
mempengaruhi siklus keberlangsungan kehidupan masyarakat, baik di
sektor kelembagaan, ruang publik, dan sebagainya. Perilaku menyimpang
dapat menyebabkan terjadinya masalah-masalah sosial lain, seperti
kekacauan, gejolak, bahkan konflik di tengah masyarakat. Pada batasan-
batasan tertentu, perilaku menyimpang yang tak terkendali dapat memicu
munculnya disintegrasi, sehingga dapat berdampak buruk terhadap
keberlangsungan stabilitas sosial masyarakat. Merujuk pada penjelasan
Talcot Parson (2010), masyarakat adalah bangunan struktur utuh yang
terdiri dari banyak sub-sub struktur tertentu. Setiap sub struktur di
dalamnya memiliki peran dan fungsi masing-masing (Ritser, 2010: 256).
Karenanya, supaya masyarakat dapat berjalan stabil dan berimbang, maka
setiap bentuk penyimpangan harus ditekan sebisa mungkin. Dalam
konteks ini, perilaku korupsi adalah satu wujud penyimpangan,
keberadaannya menyimpan potensi kekacauan besar bukan saja terhadap
pemberangusan kekayaan negara, namun juga terhadap keberlangsungan
hajat hidup orang banyak (baca: rakyat) (Hannan & Busahwi, 2021: 52).
Dalam pengertian yang umum, perilaku menyimpang adalah
bentuk perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma
yang ada di dalam masyarakatnya. Emile Durkheim menyebut perilaku
menyimpang sebagai jenis kejahatan apabila tindakan yang melanggar
norma atau peraturan di dalam masyarakat (Lehmann, 1995: 52). Namun
dalam batasan-batasan tertentu, Emile Durkheim juga melihat perilaku
menyimpang sebagai bentuk perilaku sosial yang normal. Berkaitan ini
Durkheim menggarisbawahi bahwa perilaku menyimpang dikatakan
normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat. Jika mengacu pada dua definisi ini, kita tidak bisa menyebut
korupsi sebagai perilaku normal. Mutlak dapat dikatakan bahwa korupsi
perilaku menyimpang, karena secara nyata mengandung pertentangan
terhadap perundangan. Bukan itu saja, korupsi juga mengebirikan nilai
moral dan kemanusiaan, yang dapat mendatangkan persoalan krusial
bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak (Vy Truong, 2022: 26).
Secara sosiologis, jika mendasarkan pada sifatnya, perilaku
menyimpang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penyimpangan
bersifat positif dan penyimpangan bersifat negatif. Sebuah perilaku
menyimpang dapat dikategorikan positif manakala dapat menghadirkan
efek positif, baik bagi dirinya ataupun lingkungan. Selain itu, bentuk
perilaku menyimpang ini tidak mengandung unsur pertentangan dengan
sistem sosial. Ciri lain dari perilaku ini adalah adanya unsur-unsur

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



186 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

inovatif dan kreatif yang dapat menambah dan memperkaya wawasan
masyarakat di lingkungannya. Adapun perilaku menyimpang negatif
merujuk pada keseluruhan perilaku yang secara umum bertentangan
dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat tertentu.
Perilaku ini memiliki kriteria khusus, yakni dapat memicu lahirnya hal-
hal buruk, baik bagi dirinya ataupun orang. Karena sifatnya yang buruk
ini, perilaku menyimpang negatif tergolong perilaku yang bertentangan
dengan nilai konsensus masyarakat, sehingga keberadaannya senantiasa
dihadapkan pada kecaman, cemoohan, bahkan pengasingan dari
kehidupan sosial (Bernburg & Thorlindsson, 2004: 214).
Selain berdasarkan sifat, fenomena perilaku menyimpang juga
dapat digolongkan berdasarkan jumlah atau kelompok masyarakat yang
terlibat di dalamnya. Berdasarkan ini, perilaku menyimpang terbagi
menjadi tiga; 1) Penyimpangan individu, yaitu penyimpangan yang
dilakukan sendiri tanpa ada campur tangan orang lain; 2) Penyimpangan
kelompok, jenis perilaku menyimpang yang dilakukan bersama-sama
dalam kelompok tertentu. Jika dikaitkan dengan dinamika korupsi di
Indonesia, korupsi ini populer dengan korupsi berjamaah, sebagaimana
marak terjadi belakangan ini. Dalam hal penanganan, penyimpangan
dalam bentuk kelompok memiliki tingkat penyelesaian lebih sulit
daripada individu. Demikian karena sifatnya yang beroperasi secara
kolektif dan melibatkan banyak aktor; 3) Penyimpangan yang dilakukan
oleh suatu golongan atau organisasi sosial. bentuk penyimpangan
memiliki karakteristik beda dengan kelompok sosial. Jika kelompok sosial
hanya didasarkan pada unsur keterlibatan, maka penyimpangan dalam
bentuk ini juga diikuti oleh adanya ikatan struktural. Konkretnya
penyimpangan (korupsi) di sektor ini terjadi lebih dikarenakan kepatuhan
atau ketundukan terhadap norma golongan tertentu, di mana norma
tersebut pada saat bersamaan mengabaikan ketentuan yang berlaku
formal di tengah masyarakat dan bersifat legitimate (Susanti, 2015: 2–4).
Dalam sosiologi, pembahasan perilaku menyimpang identik
dengan sanksi sosial. jika perilaku penyimpan mengisyaratkan terhadap
patologi atau sindrom atas keberadaan penyakit sosial, maka sanksi sosial
adalah cara, metode, atau instrumen pengendalian. Sanksi sosial adalah
pemberlakuan hukum sosial yang penerapannya melibatkan peran
langsung masyarakat. Dengan demikian efek jera yang ditimbulkan
bukan lagi berdasarkan pada efek tunggal rasa takut dan sakit, namun
juga rasa malu dan beban moral. Jika hukum positif lebih menitikberatkan
pada aspek fisik, maka sanksi sosial lebih pada tekanan psikologis dan
mentalitas. Dengan demikian, apa sebenarnya apa yang dimaksud dengan
sanksi sosial?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sanksi merujuk pada kata
benda, artinya; pengesahan, peneguhan, tanggungan (tindakan-tindakan

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 187

hukuman dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian
atau menaati ketentuan undang-undang anggaran dasar perkumpulan
dan sebagainya; tindakan-tindakan sebagai hukuman pada suatu negara;
imbalan negatif yang berupa pembebasan atau penderitaan yang
ditentukan melalui hukum. Jika ditinjau dari perundangan hukum
normatif, sanksi sosial umumnya disebut dengan pidana sosial yang
diterapkan dalam bentuk kerja sosial. Terdapat berbagai macam kerja
sosial dalam proses pelaksanaan pidana sosial. Misalnya seperti
membersihkan toilet umum, membersihkan parit atau selokan, menyapu
jalanan, bertugas di panti jompo, menyebarkan fotonya di tempat umum
hingga ruang publik, dan lain sebagainya.
Menurut sosiolog Peter L. Berger (1990), sanksi sosial dapat
diartikan sebagai seperangkat cara yang digunakan masyarakat untuk
menertibkan anggota-anggotanya yang membangkang (Peter & Luckman,
2013: 67). Sementara itu, Wignjosoebroto (2008) memandang sanksi sosial
sebagai suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan oleh
masyarakat (Wignjosoebroto, 2008: 67–69). Jika merujuk pada dua definisi
ini, terlepas dari redaksi bahasa yang berbeda antarkeduanya, namun
secara substansial ada titik persamaan. Titik persamaan tersebut ada pada
penekanan partisipasi masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi
aspek pembeda menyangkut cara kerja sanksi sosial dengan hukum
positif pada umumnya. Jika hukum positif lebih berorientasi pada
keberadaan aparatur dan kelembagaan resmi, maka sanksi sosial lebih
bersifat kompleks karena di dalamnya turut menyertakan peran serta
masyarakat.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, hukuman sosial atau sanksi sosial
pada dasarnya merupakan turunan konsep dari term kontrol sosial.
Namun perlu dicatat, meski terdengar berlainan, namun pada
substansinya memiliki makna sama, yakni sama-sama memuat visi
melakukan pencegahan dan penindakan terhadap segala bentuk
pelanggaran hukum. Baik itu hukum sosial ataupun hukum formal.
Roucek & Warren, kontrol sosial adalah proses terencana atau tidak
terencana untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan diri dengan
kebiasaan dan nilai-nilai kelompok tempat mereka tinggal (Roucek &
Warren, 1987: 23–27). Pada lain kesempatan, Soejono Soekanto dalam
Setiadi dkk (2011) mengartikan kontrol sosial sebagai suatu proses, baik
itu direncanakan ataupun tidak, yang bertujuan mengajak, membimbing
bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai -nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Jika dikaitkan dengan keseluruhan definisi sebelumnya, secara
tekstual dua definisi dari Roucek-Warren dan Soejono Soekanto terlihat
berbeda. Pada Roucek dan Warren, aktivitas kontrol sosial lebih
menekankan pada aspek pengajaran. Bahwa proses pengendalian sosial

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



188 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

terhadap perilaku korupsi harus dijalankan melalui kegiatan yang
sifatnya edukatif. Edukatif sendiri bukan semata terfokus pada peran dan
fungsi lembaga sekolah, melainkan harus melibatkan keseluruhan elemen
lembaga pendidik. Baik itu pendidikan di sektor formal seperti sekolah,
ataupun pendidikan in formal seperti keluarga, masyarakat, dan
sejenisnya. Adapun menurut Soejono Soekanto (2006), proses kontrol
sosial harus dilakukan dari segala arah. Mulai dari pendekatan persuasif,
bahkan cara-cara preventif sekalipun (Soekanto, 1985: 46–51).

Pengendalian terhadap pelaku (korupsi) menyimpang tidak dapat
dicukupkan pada kegiatan bimbingan, pengajaran, dan bentuk-bentuk
pendekatan halus lain seperti yang dijelaskan Roucek dan Warren, namun
pada batas-batas tertentu, pengendalian sosial harus dapat
dimaksimalkan dalam bentuk preventif. Cara ini didasarkan pada
kenyataan bahwa manusia memiliki naluri bebas (zoon politicon). Naluri
bebas manusia hanya akan dapat ditaklukkan oleh pemberlakuan aturan
yang sifatnya mengikat.
Perilaku individu merupakan satu objektivikasi diri yang
diperoleh melalui kegiatan internalisasi nilai di satu sisi, dan eksternalisasi
nilai di sisi lainnya. Internalisasi adalah proses di mana individu
menyerap dan meniru segala nilai, informasi, dan norma yang ada di
sekitarnya. pada tahap ini dapat dikatakan bahwa setiap apa yang muncul
dari dirinya adalah representasi dari lingkungan sekitarnya. Adapun
eksternalisasi adalah tahap di mana individu mengekspresikan
pandangan subjektif dirinya ke dalam kehidupan praksis, sehingga bisa
dikatakan bahwa apa yang muncul dari dirinya, baik dalam bentuk sikap,
perilaku, dan tindakan, kesemuanya adalah perwujudan dari
subjektivitas diri. Bukan sebagai representasi lingkungan sebagaimana
yang terjadi pada proses internalisasi. Dengan pembacaan demikian,
maka perilaku menyimpang korupsi sebagai wujud objektivitas perilaku
diri, pada saat tertentu dapat terjadi karena dorongan subjektif
(mentalitas), dan dapat juga terbentuk karen faktor lingkungan (sosial).
Dalam bahasa Peter L. Berger, objektivikasi perilaku (korupsi)
berdasarkan proses internalisasi dan eksternalisasi tersebut dikenal
sebagai trialektika konstruksi sosial (Samuel, 2012: 17).

Jika perilaku menyimpang korupsi diakibatkan oleh dorongan
ganda, antara hasil pemaknaan diri dan dorongan eksternal, maka yang
demikian dapat dimaknai bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan
perilaku menyimpang korupsi tidak dapat difokuskan pada satu pintu,
melainkan harus mencakup keduanya. Baik itu menyangkut persoalan di
tataran subjektif maupun keseluruhan sistem dan struktur sosial di luar
dirinya. Beberapa persoalan subjektif yang dimaksud di sini adalah
keseluruhan aspek psikologis yang berkenaan dengan mentalitas,
kesadaran diri, dan pola pikir. Penanganan di sektor ini dapat dijalankan

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 189

melalui kegiatan yang bersifat dedikasi. Misal, memberikan pendidikan
antikorupsi dan memperkenalkan bahaya laten korupsi sejak dini.
Adapun persoalan di lingkup sistem dan struktur ialah seperti lemahnya
supremasi hukum, penindakan yang lemah, dan lain sebagainya. Langkah
strategis memperbaiki persoalan di sektor ini adalah melalui optimalisasi
dan penguatan pilar penegakan hukum secara menyeluruh. Baik di
institusi kepolisian, pengadilan, dan di institusi yang berkenaan dengan
korupsi sendiri, dalam hal ini KPK.

Beberapa Instrumen Kontrol atau Sanksi Sosial dalam Sosiologi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, upaya menjalankan
kontrol atau sanksi sosial dibutuhkan dalam rangka menciptakan
stabilitas sosial di kalangan masyarakat. Salah satu bentuk stabilitas sosial
adalah sterilnya sistem dan struktur sosial masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan korupsi. Baik korupsi yang bersifat material ataupun non
material, korupsi yang dilakukan secara personal maupun korupsi secara
komunal. Untuk bisa sampai ke sana, proses kontrol atau sanksi sosial
tidak dapat dilakukan secara sepihak. Sekedar bergantung pada fungsi
dan peran lembaga formal, seperti halnya lembaga kepolisian, peradilan,
dan komisi antirasuah seperti KPK. Lebih dari itu, harus pula melibatkan
partisipasi masyarakat secara menyeluruh, beserta seluruh lembaga
kemasyarakatan yang berada di akar rumput. Tidak hanya masyarakat,
perlu adanya penguatan sistem nilai dan norma secara makro. Baik itu
dalam bentuk norma sosial, norma adat, norma kebudayaan, terlebih
norma agama (Mursyidi & Hannan, 2023). Berkenaan dengan ini,
sekurang-kurangnya terdapat beberapa aspek penting yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a) Keluarga
Horton dan Hunt (1996) menggolongkan keluarga sebagai
kelompok primer (primary group). Primer berarti bersifat asas, utama, dan
dasar. Karena sifatnya yang dasar inilah, keluarga sebagai struktur sosial
terkecil mutlak memiliki peran dan fungsi fundamental di tengah
kehidupan masyarakat. Lawan dari primer adalah sekunder. Jika primer
adalah asas, maka sekunder adalah elemen lain yang disandarkan pada
elemen primer (Soekanto, 1985: 63).
Persisnya, jika merujuk pada
penjelasan Horton dan Hunt di atas, keluarga adalah struktur fondasi, di
mana elemen-elemen lain di luarnya, seperti halnya agama, pendidikan,
dan hukum, sangat dipengaruhi oleh keberadaan keluarga. Dalam
kedudukan strategis ini, keluarga berfungsi sebagai wadah utama di
mana nilai-nilai keagamaan, hukum, pendidikan, dan kebudayaan
dibentuk, diproduksi, dan ditanamkan.
Dalam hal pengendalian sosial perilaku koruptif, keluarga
merupakan lembaga pertama yang mengemban banyak fungsi. Sekurang-

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



190 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

kurangnya, terdapat tiga (3) fungsi utama keluarga kaitannya dengan
pemberantasan korupsi, yaitu; fungsi pembentukan, pengembangan,
sekaligus pengontrol. Fungsi keluarga sebagai pembentuk (creator),
merujuk pada peran dirinya sebagai tahap awal dibangunnya karakter
dan kepribadian. Pada tahap ini, keluarga dapat diibaratkan layaknya
miniatur sekolah, di mana nilai-nilai kejujuran, nilai keluhuran, nilai
kebajikan ditanamkan sesering dan sekuat mungkin. Adapun fungsi
keluarga sebagai wadah pengembangan, mengandaikan pada fungsi lain
dirinya sebagai miniatur sekolah. Yakni, sensivitas dirinya dalam
membaca segala bentuk potensi yang dapat memperkuat jati diri dan
karakter, sehingga mampu meningkatkan nilai kualitas diri menjadi lebih
baik dan sempurna. Sedangkan fungsi keluarga sebagai pengontrol
mengandung arti, bahwa keluarga harus dapat menjalankan fungsi ganda,
fungsi pendisiplinan sekaligus fungsi pemberian hukuman. Fungsi
pendisiplinan memainkan peran strategis untuk membangun dan
membentuk pribadi yang taat aturan dan perundangan. Sedangkan
pemberian hukuman, selain sebagai instrumen memberi efek jera, juga
memberi pengajaran tentang arti penting tanggung jawab (Prasetyia, 2010:
23).
Jika melandaskan pada pembacaan di atas, peran dan fungsi
keluarga, dalam kedudukannya sebagai wadah pembentuk,
pengembangan, dan kontrol, kesemuanya memiliki keterkaitan cukup
kuat dengan keberadaan orang tua. Dalam kaitan ini, posisi orang tua
memiliki tanggung jawab layaknya pemimpin (leader). Kualitas
keterdidikan orang tua untuk menjalankan fungsi kepemimpinan
(leadership), menanamkan nilai-nilai kejujuran, menyampaikan pesan-
pesan kebajikan, mutlak memiliki nilai signifikan dalam pembentukan
karakter anak.
b) Adat
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, adat memiliki arti aturan
(perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala; cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan
menjadi suatu sistem (KBBI, 2001: 19). Persisnya, dalam pengertian lebih
sederhana, adat adalah seperangkat nilai, norma, aturan, pandangan
hidup yang bersifat lokal dan berlaku jauh sejak waktu sebelumnya. Jika
mengacu pada sifatnya ini, maka gagasan pemberlakuan sanksi sosial
melalui pendekatan adat, adalah makna lain dari optimalisasi
pemberantasan korupsi yang berbasis nilai kearifan lokal.
Secara teoritis, penguatan sanksi sosial melalui adat sejatinya
bukan barang baru dalam pembahasan hukum positif. Adat adalah bagian
integral produk hukum, karena dari situlah titik awal perangkat hukum-

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 191

hukum informal diproduksi dan diberlakukan. Menurut Friedman (1984),
pada prinsipnya budaya hukum memuat dua hal; 1) unsur adat istiadat
yang organis berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh, dan; 2)
unsur nilai dan sikap sosial yang berkenaan dengan pandangan abstrak
dan subjektif (Friedman, 1984: 324). Jika bercermin pada poin ini,
kedudukan adat sebagai unsur budaya hukum mengandung arti, bahwa
mempertimbangkan aspek lokalitas dalam penerapan hukum, termasuk
dalam hal pemberantasan korupsi, adalah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan. Selain itu, kenyataan bahwa pembentukan adat istiadat
yang diperoleh secara turun menurun dapat menjadi model kontrol sosial
efektif, terutama dalam hal mendisiplinkan masyarakat yang masih kental
dengan sistem nilai tradisional. Pada titik tertentu, hukum adat memiliki
kadar normatif lebih tinggi daripada hukum tertulis. Demikian
dikarenakan proses pembentukannya yang lebih didasarkan pada
konsensus, nilai luhur, norma agama dan moralitas. Hal ini sangat
berbeda dengan karakteristik hukum positif yang lebih mengedepankan
rasionalitas.
c) Penegak Hukum
Pilar penyangga hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan
kepolisian memiliki fungsi fundamen dalam proses kontrol sosial.
Kelebihan lembaga-lembaga tersebut ada pada kekuatan dan aspek
legalitas mereka dalam memperlakukan hukum secara tegas, independen,
dan menyeluruh. Memberlakukan satu pemidanaan atau penindakan
yang betul-betul memberi efek jera terhadap para pelaku korupsi,
sehingga dapat memberi rasa takut untuk mengulangi perbuatan yang
sama di kemudian hari. Selain memberi rasa taku pada pelaku, pun
berfungsi untuk memberi peringatan kepada yang lain, supaya tidak
mendekatkan dirinya pada tindak pidana korupsi.
Sayangnya, berkenaan dengan penindakan dan pemidanaan
korupsi, harus diakui sejauh ini masih terdapat beberapa persoalan yang
belum sepenuhnya teratasi dengan baik. Satu di antaranya adalah
menyangkut vonis hukum terhadap terpidana korupsi yang masih belum
sepenuhnya maksimal, sehingga efek jera yang ditimbulkan jauh
panggang dari api. Karenanya, dengan kenyataan penindakan dan
pemidanaan yang lemah ini, maka perlu langkah keberanian untuk
melakukan perbaikan dan penguatan aspek peradilan di segala sektor.
Baik menyangkut sistem maupun menyangkut aktor yang menjalankan
perangkat hukum itu sendiri. Dalam bahasa sederhana, perbaikan di
tataran penegakan hukum tidak cukup berlandaskan pada wilayah
sistemnya, namun juga sisi mentalitas para aparatur yang menjalankan
hukum tersebut.
d) Pendidikan

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



192 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

Pendidikan yang berpangkal pada penguatan karakter memiliki
andil besar dalam proses pengendalian sosial, terutama terhadap
kelompok masyarakat yang berada pada golongan usia belia. Nasution
(2017) menyebutkan bahwa pengendalian sosial di lingkungan lembaga
pendidikan berpusat pada fungsi guru (Nasution, 2017: 75). Guru
mengemban peran sentral atas terbentuknya mentalitas diri anak. Menjadi
pribadi yang bijak, jujur, dan menjunjung tinggi nilai luhur dan kebajikan.
Dalam kedudukan inilah, lembaga pendidikan harus dapat berperan aktif
di lingkungan sekolah, memperkenalkan bahaya korupsi dan memberi
asupan pengetahuan kepada anak didik tentang pentingnya menjauhkan
diri dari segala praktik korupsi.
Hal yang perlu ditegaskan di sini adalah, penanaman nilai-nilai
antikorupsi melalui kegiatan pendidikan, tidak kemudian sekedar
dimaknai sebatas peran dan fungsi lembaga pendidikan formal semata,
seperti halnya lembaga sekolah. Pendidikan antikorupsi adalah aksi
serentak melibatkan semua elemen pendidik, dan masyarakat secara
keseluruhan. Dalam kaitan ini, semua lembaga kemasyarakatan, baik
yang formal maupun non formal, seperti halnya lembaga keluarga,
kumpulan adat, komunitas belajar, aktivis sosial, dan seluruh elemen
lainnya, dapat menjadi medium strategis, di mana nilai pendidikan
antikorupsi ditanamkan ke seluruh masyarakat, khususnya anak-anak
sebagai generasi bangsa berikutnya (Junaidi, 2023).
e) Agama
Agama memiliki kelebihan pada pusat ajaran mereka yang
menjunjung tinggi nilai moral, kebajikan, keluhuran, dan penghargaan
pada humanisme. Dalam keduduknya sebagai sumber moral, agama tegas
melarang pemeluknya melakukan segala bentuk keburukan, baik
keburukan yang berhubungan dengan tuhan maupun keburukan yang
berhubungan dengan sesama. Begitu pun menyangkut perilaku korupsi,
korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan terhadap wewenang, korupsi
sebagai aksi perampasan kekayaan negara, dan korupsi sebagai
pengebirian hak rakyat, kesemuanya merupakan perilaku bertentangan
dengan ajaran agama. Dalam kaitan ini, menjadikan agama sebagai
instrumen pemberantasan korupsi mengisyaratkan atas usaha nyata
menghadirkan nilai dan ajaran agama ke dalam kesadaran setiap
individu, sehingga agama dengan segala perangkat nilai moralnya dapat
berfungsi strategis mengontrol para pemeluknya untuk tidak berlaku
culas.
Hal lain yang dapat dilakukan berkenaan dengan pemanfaatan
fungsi agama sebagai instrumen pemberantasan korupsi, yaitu dengan
memaksimalkan institusi keagamaan serta para tokoh agama. Misal,
mendorong semua tokoh agama untuk aktif menyampaikan larangan
melakukan korupsi, atau dapat juga dengan cara mengoptimalkan peran

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 193

lembaga keagamaan tertentu untuk memberi penegasan larangan korupsi,
misal mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) supaya memberi fatwa
khusus terhadap perilaku koruptor. Secara sosiologis, upaya-upaya di atas
penting dilakukan, sebagai langkah bersama untuk memberantas korupsi
secara kolektif. Terlebih lagi sebagaimana dipahami bersama, meminjam
bahasa Michel Foucault, bahwa alat produksi kekuasaan yang dahsyat
adalah agama, dirinya tidak dapat dipisahkan dari mekanisme dan teknik
kekuasaan normatif dan disipliner, mampu menghasilkan identitas yang
dapat mempermudah mendapatkan kepatuhan dan ketaatan dari para
pemeluknya (Foucault, 1961: 34).
Dengan demikian, jika mengacu pada sekian penjelasan di atas,
dapat dikatakan bahwa penguatan pemberantasan korupsi melalui
penerapan sanksi atau kontrol sosial, pada dasarnya lebih pada
pemanfaatan keseluruhan struktur dan lembaga masyarakat secara
menyeluruh. Mulai dari struktur paling kecil seperti keluarga, hingga
pada struktur tertinggi seperti lembaga pemerintahan. Secara sosiologis,
keterikatan semua elemen dan struktur masyarakat untuk ikut
berpartisipasi melawan korupsi merupakan perwujudan atas konsensus
masing-masing, bahwa setiap perilaku korupsi adalah bentuk
penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma. Baik itu norma agama,
norma sosial, norma budaya, dan norma hukum positif. Karena sifatnya
yang konsensus inilah, maka pemberantasan korupsi tidak boleh berjalan
dalam satu pintu, namun harus bersinergi melalui pintu-pintu yang lain.
Berkenaan dengan studi ini, pemberlakuan sanksi atau hukum sosial
terhadap pelaku koruptor, dapat dimaknai sebagai strategi pencegahan
dan pemberantasan yang dijalankan melalui cara dan pendekatan kolektif.

Analisa Sosiologis terhadap Pengaturan Sanksi Sosial dalam Kasus
Korupsi di Indonesia Kontemporer
Ditinjau dari perspektif historisnya, praktik dan perilaku korupsi di
Indonesia memiliki rangkaian sosiologis cukup panjang. Korupsi sudah
mengakar sejak lama, jauh sebelum Indonesia menemukan statusnya
sebagai negara berdaulat (baca: merdeka). Pada periode kerajaan, praktik
korupsi dapat dilacak atas maraknya praktik venality of power. Pada
babakan sejarah selanjutnya, perilaku korupsi di Indonesia juga dapat
dilacak ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan negeri penjajah. Di
masa ini, korupsi terjadi akibat penggunaan kekuasaan yang sewenang-
wenang. Otoritas tunggal yang dimiliki pihak penjajah serta tiadanya
lembaga pengontrol yang mengawasi jalannya kekuasaan, pada
gilirannya membuat kekuasaan berjalan liar (Santoso dkk., 2014: 41).

Selanjutnya, di era orde lama, korupsi menjadi momok
menakutkan ketika Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup
melalui keputusan MPRS Nomor III/MPRS/1963. Keputusan ini

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



194 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

memunculkan kecurigaan dan kekhawatiran dari banyak kalangan,
karena hal tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan
kesewenang-wenangan (Hannan & Busahwi, 2021). Meminjam bahasa
Lord Acton (1834-1902), power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely, bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang
bersifat absolut mutlak berperilaku korup. Adapun pada masa orde baru,
korupsi seolah menemukan momentumnya seiring adanya pola
pemerintahan sentralistis yang diterapkan oleh rezim kepemimpinan
Soeharto. Selama periode 1967-1998 korupsi tumbuh subur, hingga
akhirnya mengantarkan negeri ini ke jurang krisis begitu mendalam
(King, 2000: 21).
Momentum reformasi tahun 1998, di bawah semangat menciptakan
pemerintahan demokratis seolah menawarkan arah baru pemberantasan
korupsi di Indonesia. Pada momen ini, cita-cita membangun sistem
kenegaraan yang benar-benar bersih dari praktik KKN terbuka lebar.
Namun sayangnya, hampir dua dekade reformasi berlangsung, harapan
tersebut tak kunjung menjadi nyata. Fakta menunjukkan, beberapa
lembaga menempatkan Indonesia sebagai negara yang dengan skor
korupsi tinggi. Terkait ini, laporan lembaga Transparency International (TI)
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi
(IPK) terbesar kelima di Asia Tenggara. Posisi Indonesia berada di bawah
Vietnam dengan IPK sebesar 39 (antaranews.com, 2023)
.
Bahkan,
berdasarkan temuan Lembaga swadaya masyarakat anti -korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW), Tren Penindakan Kasus Korupsi pada
Semester 1 2021, kasus korupsi di Indonesia mencapai 209 kasus. Jumlah
itu naik dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar, yakni
169 kasus (Javier, 2021: 72).
Masih tingginya indeks korupsi Indonesia mengisyaratkan bahwa
proses penanganan korupsi Indonesia masih menyisakan banyak problem
dan pekerjaan cukup berat. Padahal, sejak reformasi bergulir, agenda
pemberantasan korupsi telah mengalami penguatan, baik secara
kelembagaan ataupun hukum. Seperti berdirinya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), serta penerapan pasal tindak pidana korupsi dalam sistem
perundang-undangan. Idealnya, Pemberlakuan sanksi seharusnya
memberi efek jera, sehingga peluang terulangnya kejahatan serupa di
kemudian hari dapat ditekan. Diterapkannya ancaman pidana dalam UU
PTPK adalah untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan mencegah
potensi terjadinya korupsi yang saat ini telah berkembang secara elitis,
endemis, dan sistemis (Mietzner, 2015: 231).

Sayangnya, pemberian efek
jera dalam konteks penindakan hukum korupsi masih sebatas pada
hukuman penjara, denda, dan pidana tambahan sebagaimana diatur
dalam UU No 31/1999 juga UU No 20/2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya, penindakan melalui

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 195

instrumen tersebut belum terbukti menularkan efek jera, sehingga
keberadaannya pun jauh panggang dari api (Syihab & Hatta, 2022: 53).
Terkait penanganan dan penindakan korupsi di Indonesia, Asnawi
(2013) menjelaskan bahwa penerapan hukum positif legalistik di
Indonesia—termasuk dalam konteks penindakan korupsi —masih
meninggalkan ruang kosong yang berefek pada kemandulan hukum
(Asnawi, 2013: 35–38). Kemandulan tersebut muncul sebagai akibat dari
bangunan paradigma hukum positivisme yang tidak berpijak pada sudut
pandang yang (harusnya) komprehensif. Parahnya, kondisi tersebut
diperparah oleh banyaknya kasus putusan hakim yang relatif ringan .
Problem-problem inilah yang kemudian menuntut perlunya terobosan
baru untuk merumuskan formulasi penindakan lain yang lebih efektif.
Bukan saja berorientasi pada pengurungan penjara, namun turut juga
menumbuhkan dorongan mental agar tidak muncul pelanggaran hukum
(sama) di waktu-waktu berikutnya. Salah satu dorongan mental yang
dimaksud adalah melalui pemberlakuan sanksi sosial (De Vries & Solaz,
2017: 71).
Berkenaan dengan ini, dapat dikatakan bahwa gagasan sanksi
sosial merupakan tema fundamental yang perlu diangkat dan
diperkenalkan ke wilayah publik secara formal dan sungguh-sungguh.
Sanksi sosial selain dapat berfungsi sebagai tambahan hukum, dapat pula
dijadikan indikator atas kuatnya pemahaman dan dukungan masyarakat.
Meningkatkan partisipasi publik sebagai mitra kerja pemerintah dalam
agenda pencegahan dan penindakan korupsi. Untuk itu, sebagai langkah
mengoptimalkan pemberantasan korupsi, akan sangat strategis apabila
gagasan hukuman sosial dimasukkan ke dalam instrumen pemidanaan,
melengkapi instrumen sebelumnya. Penindakan terpidana koruptor
melalui hukuman penjara dan sanksi sosial akan menjadi perpaduan
hukuman yang saling mengisi. Di satu sisi, hukuman penjara berfungsi
sebagai penindakan fisik, dan di sisi lain sanksi sosial berfungsi
mendatangkan efek psikis, yakni dorongan mentalitas melalui rasa malu
di lingkungan masyarakat.
Pertanyaan besarnya sekarang, apa dan bagaimana wujud konkret
sanksi sosial yang bisa diterapkan dalam usaha memperkuat dan
memaksimalkan pemberantasan sanksi sosial di Indonesia? Barangkali ini
adalah pertanyaan kunci memperjelas dari sisi mana dan seperti apa
sebenarnya penerapan sanksi sosial di Indonesia dapat
diimplementasikan. Di Indonesia sendiri, jika kita merujuk pada
perundangan, tepatnya Undang-Undang Nomor 31/1999 jo. UU No
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, instrumen sanksi
yang selama ini diberikan undang-undang terhadap pelaku korupsi di
Indonesia sejauh ini sebatas pada enam hukuman, yakni penjara, denda,
dan pidana tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



196 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

Pemberantasan Korupsi tentang empat bentuk pidana tambahan, terdiri
dari perampasan barang bergerak, pembayaran uang pengganti,
penutupan perusahaan, dan pencabutan hak atau keuntungan tertentu.
Jika mengacu atau bercermin dari banyak negara-negara lainnya,
berdasarkan penelusuran data lapangan, memang sejauh ini belum ada
satu pun negara yang menerapkan sanksi sosial terhadap tindak pidana
kejahatan korupsi. Bahkan, seringnya, sejauh penerapan sanksi sosial di
sejumlah negara lebih banyak diterapkan oleh mereka untuk kasus
kejahatan atau pelanggaran hukum tertentu yang tergolong ringan, itu
pun dengan masa hukuman yang relatif sebentar. Ambil contoh d
Denmark, negara ini memberlakukan sanksi sosial untuk kejahatan ringan
dengan syarat pidana sanksi sosial selama 6-8 bulan, Norwegia (9-12
bulan), Luksemburg (9-12 bulan), Belanda (4 bulan), dan Portugal (4
bulan). Tak Artinya, berdasarkan data yang ada, belum ada satu pun
negara yang memberikan hukuman sanksi sosial melebihi masa satu
tahun atau dua belas bulan (Alim, 2016).
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,
memang sejauh in belum ada peraturan khusus yang secara eksplisit
mengatur pemberian sanksi sosial terhadap palaku korupsi. Hanya meski
demikian, kondisi ini bukan berarti mustahil memunculkan gagasan
tersebut dan menerapkan secara bersamaan dengan instrumen hukum
pidana yang sudah ada dan diterapkan sebelumnya. Terlebih sejauh ini,
ada kesan keberadaan atau penerapan pidana korupsi yang ada sekarang
tidak berjalan maksimal dan kurang efek jera bagi koruptor. Faktanya,
angka dan praktik korupsi di Indonesia seolah berjalan stagnan, kasus dan
praktik korupsi masih menjadi momok menakutkan seiringnya masih
banyaknya pejabat dan aktor politik yang terjerembap ke dalam praktik
busuk di dalamnya. Pada situasi inilah sebenarnya, gagasan dan usaha
merealisasikan sanksi sosial sebagai instrumen sanksi bagi pelaku
koruptor menjadi satu keniscayaan. Hanya saja, permasalahan
terbesarnya adalah bagaimana mengabstraksikan gagasan ini menjadi
relevan dan betul-betul kontekstual secara praktis, mengingat saat ini
tidak banyak negara menerapkan dan memberlakukannya.
Secara konseptual, sanksi sosial merupakan bentuk hukuman yang
bertujuan memberikan rasa malu sebagai bagian dari efek jera bagi para
pelaku koruptor. Untuk mewujudkannya, ada banyak cara atau instrumen
merealisasikan ini, beberapa gagasan yang pernah dimunculkan adalah
dengan menjadikannya terpidana koruptor menjadi tukang sapu jalanan
dengan memakai rompi khusus bertuliskan koruptor, membersihkan
fasilitas-fasilitas umum publik seperti toilet umum, perkantoran dan
sejenisnya, menandai identitas Karta Tanda pengenal diri (KTP) dengan
tulisan atau cap koruptor. Gagasan ini dinilai efektif dalam usaha
mendatangkan efek jera dan memaksimalkan hukuman pidana yang telah

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 197

diberlakukan sebelumnya. Usur atau bentuk sanksi sosial lain yang
tergolong menarik dan penting dimunculkan adalah penegakan moral
berupa pelarangan diri untuk berpartisipasi sebagai pemilih di sektor
jabatan publik (ICW Indonesia, 2016). Bahwa setiap terpidana kasus
korupsi yang melakukan penyelewengan kekuasaan, baik langsung
maupun tidak langsung, mereka tidak diperbolehkan secara hukum
untuk mencalonkan dan mengisi jabatan politik tertentu, baik di level
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pada level tertentu, gagasan ini dinilai sangat efektif dan menarik
dimunculkan. Terlebih seringnya, aktor atau pelaku korupsi selama ini
melibatkan pejabat politik tertentu. Adanya kepastian hukum yang
melarang mantan koruptor melibatkan diri di jabatan politik tertentu
berpotensi besar dapat menimbulkan efek jera tersendiri, karena di
dalamnya memuat konsekuensi hukum bersifat jangka panjang. Dalam
rangka mempertegas dan memperjelas gagasan ini, maka dipandang
perlu melakukan reformasi hukum terhadap pasal-pasal Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU), dalam hal ini adalah Pasal 10 soal pencabutan
beberapa hak tertentu. Menambah perbendaharaan hukuman koruptor
yang telah ada sebelumnya dengan instrumen penindakan sanksi sosial
seperti penghapusan hak politik, upaya pemiskinan, menjadikan
terpidana koruptor sebagai tukang sapu jalanan, wajibkan dirinya
membersihkan fasilitas-fasilitas umum publik seperti toilet umum,
perkantoran dan sejenisnya, menandai identitas Karta Tanda Pengenal
diri (KTP) dirinya dengan penanda atau cap koruptor. Kombinasi
penerapan hukum positif pidana dan sanksi sosial terhadap koruptor
diharapkan dapat memberi efek jera lebih maksimal, tekanan sosial dan
efek sanksi yang mereka peroleh tidak saja datang dari kebijakan bersifat
kelembagaan di level pemerintah semisal pidana kurungan dan
perampasan aset, namun juga datang dari masyarakat umum dalam
bentuk tekanan moral, integritas, dan nilai diri (ICW Indonesia, 2004).

Simpulan
Isu dan problem korupsi di Indonesia menjadi salah satu persoalan
krusial yang terus menghantui dan mengancam Indonesia dari waktu ke
waktu. Ada banyak faktor mengapa korpusi di Indonesia sejauh ini sulit
dikendalikan dan diberantas, mulai dari mekanisme pencegahan dan
penindakan yang belum sepenuhnya maksimal, lemahnya sistem atau
perundangan sehingga memberi kesempatan munculnya perilaku korup,
buruknya mentalitas para birokrat dan di level struktural yang sering kali
memperlihatkan sikap serakah dan hedonis, kultur diri yang pragmatis,
lemahnya moral dan integritas diri, dan lain sebagainya. Secara garis
besar, ragam faktor menguatnya kasus penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan dalam bentuk tindakan pidana korupsi di Indonesia, itu

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



198 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

sesungguhnya dapat disederhanakan menjadi dua kelompok besar, yakni
problem di level struktural dan problem di level kultural. Pada dimensi
struktural, korupsi lebih dominasi oleh belum maksimalnya peran dan
fungsi lembaga tertentu dalam hal pencegahan dan penindakan korupsi.
Misal, seperti halnya penerapan hukum bagi para pelaku koruptor yang
belum berorientasi pada pemberian efek jera. Dalam kaitan ini,
pemberlakuan hukum tunggal yang berorientasi pada hukum positif
perlu dikuatkan melalui instrumen lain yang sekiranya dapat menguatkan
peraturan hukum atau penindakan yang sudah ada sebelumnya.
Sedangkan pada dimensi kultural korupsi terjadi karena faktor mentalitas
diri yang berkenaan dengan kesadaran, kejujuran, keadilan, di mana
kesemuanya berakar dari aspek pendidikan dan keterdidikan. Dalam
rangka menyikapi atau merespons kedua problem di atas, perlu ada
pendekatan khusus agar proses pencegahan dan penindakan korupsi
berjalan lebih maksimal. Instrumen yang dimaksud di sini adalah gagasan
tentang penerapan sanksi sosial. Sanksi sosial mengandaikan pada
penerapan hukum partisipasi dan terbuka yang menitikberatkan pada
kehadiran masyarakat secara menyeluruh. Pemberlakuan sanksi sosial
memiliki sisi kelebihan dalam hal mendatangkan efek jera yang bersifat
sosial, seperti halnya rasa malu, cemoohan masyarakat, dan keterasingan
dari pergaulan lingkungan. Dalam hal pencegahan dan penindakan
korupsi, sanksi sosial memiliki nilai efektivitas karena cara kerjanya tidak
sekadar mengandalkan pengendalian melalui hukum positif, namun lebih
dari itu juga meniscayakan pada adanya pengendalian melalui kehadiran
atau kontrol langsung masyarakat. Kontrol dan pengendalian sosial di sini
bisa dilakukan secara kelembagaan seperti lembaga pendidikan, lembaga
keluarga, lembaga adat, lembaga keagamaan, dan tidak kalah pentingnya
adalah lembaga hukum itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1994). Handbook of qualitative research. (hlm.
xii, 643). Sage Publications, Inc.
Foucault, M. (1961). Madness and Civilization. Librairie Plon.
https://doi.org/10.4324/9780203164693
Friedman, L. M. (1984). American Law: An Introduction. W.W. Norton & Co.
Lukács, G., 1885-1971. (1971). History and class consciousness; studies in
Marxist dialectics. Cambridge, Mass. : MIT Press, [1971].
https://search.library.wisc.edu/catalog/999467346302121
Marx, K. (1867). Das Kapital (1 ed.). Penguin Classics; Reprint edition.
Moqoddas, B. (2011). Strategi Pemberantasan Korupsi KPK. Penerbit Buku
Kompas.

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 199

Peter, B. L., & Luckman, T. (2013). Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah
Tentang Sosiologi Pengetahuan. PT Pustaka LP3S.
Ritser, G. (2010). Teori Sosiologi Dari Klasik Sampai Postmodern (IV). Kreasi
wacana.
Roucek, S. J., & Warren, L. R. (1987). Pengantar Sosiologi. Bina Aksara.
Samuel, H. (2012). Peter Berger; Sebuah Pengantar Ringkas. Kepik.
Soekanto, S. (1985). Sosiologi Suatu Pengantar. CV Rajawali.
Susan, N. (2010). Sosiologi konflik dan Isu-isu konflik kontemporer. Kencana.
Wignjosoebroto, S. (2008). Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan
Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum. Penerbit Bayu
Publishing.
Wijayanto. (2009). Korupsi Mengorupsi Indonesia. PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Jurnal
Aerlang, M. (2016). Membangun Sanksi Psikososial Bagi Terpidana Kasus
Korupsi. Jurnal Integritas, 2(1).
Arismaya, A., & Utami, I. (2019). Facts, causes and corruption prevention:
Evidence in Indonesian ministries. Journal of Contemporary
Accounting, 1(2), 95–106. https://doi.org/10.20885/jca.vol1.iss2.art3
Asnawi, H. S. (2013). Membongkar Paradigma Positivisme Hukum dalam
Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Pemenuhan Hak Asasi
Manusia dalam Negara Hukum. Jurnal Supremasi Hukum, 2(2).
Astungkoro, R. (2021, Mei 26). Mahfud: Korupsi Era Reformasi Lebih Meluas
Dibanding Orba . Republika Online.
https://republika.co.id/share/qtpaso354
Barr, A., & Serra, D. (2010). Corruption and culture: An experimental
analysis. Journal of Public Economics, 94(11), 862–869.
https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2010.07.006
Bernburg, J., & Thorlindsson, T. (2004). Durkheim’s Theory of Social Order
and Deviance: A Multi-level Test. European Sociological Review, 20,
271–285.
De Vries, C. E., & Solaz, H. (2017). The Electoral Consequences of
Corruption. Annual Review of Political Science, 20(1), 391–408.
https://doi.org/10.1146/annurev-polisci-052715-111917
Hadi, S., Nurmandi, A., Rahardjo, T., & Pribadi, U. (2020). Corruption of
the Local Leaders in Indonesia: An Expository Study. Jurnal Media
Hukum, 27(2).
https://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/9161
Hannan, A., & Busahwi, B. (2021). Problem Politik Kabinet Koalisi; Konflik
Kepentingan Hingga Konflik Internal Partai Politik. KABILAH :
Journal of Social Community , 6(2), 49–69.
http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/kabilah/artic
le/view/5392

Abd Hannan
, Zainuddin Syarif



200 Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam

Junaidi, S. (2023). Paradigma Pedagogik Humanistik Perspektif Imam Az-
Zarnuji dalam Kitab Taʻlīm Al-Mutaʻallim dan Relevansinya
dengan Merdeka Belajar. NAHNU: Journal of Nahdlatul Ulama and
Contemporary Islamic Studies, 1(1).
King, D. Y. (2000). Corruption in Indonesia: A Curable Cancer? Journal of
International Affairs, 53(2), 603 –624. JSTOR.
http://www.jstor.org/stable/24357767
Lehmann, J. M. (1995). Durkheim’s Theories of Deviance and Suicide: A
Feminist Reconsideration. American Journal of Sociology, 100(4), 904–
930. JSTOR. http://www.jstor.org/stable/2782155
Mauro, P. (1995). Corruption and Growth. The Quarterly Journal of
Economics, 110(3), 681 –712. JSTOR.
https://doi.org/10.2307/2946696
Mietzner, M. (2015). Dysfunction by design: Political finance and
corruption in Indonesia. Jurnal Critical Asian Studies, 47(4).
Mietzner, M. (2020). Populist Anti-Scientism, Religious Polarisation, and
Institutionalised Corruption: How Indonesia’s Democratic Decline
Shaped Its COVID-19 Response. Journal of Current Southeast Asian
Affairs, 39(2), 227–249. https://doi.org/10.1177/1868103420935561
Mursyidi, A. F., & Hannan, A. (2023). Nahdlatul Ulama, Pesantren, and
Their Contribution to Strengthening National and State Buildings
in Indonesia. NAHNU: Contemporary Islamic Studies, 1(1).
Nasution, K. (2017). Peraturan dan Program Membangun Ketahanan
Keluarga: Kajian Sejarah Hukum. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum, 51(1), 23.
Prasetyia, F. (2010). Corruption And Decentralisation: Some Evidence In
Indonesia. Journal of Indonesian Applied Economics, 4(1).
Putra, N. R., & Linda, R. (2022). Corruption in Indonesia: A Challenge for
Social Changes. Integritas : Jurnal Antikorupsi, 8(1), 13–24.
https://doi.org/10.32697/integritas.v8i1.898
Santoso, L., Meyriswati, D., & Nur Alfian, I. (2014). Korupsi dan
Mentalitas: Kendala Kultural dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 27(4).
Susanti, I. (2015). Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja Pada
Masyarakat Karangmojo Plandaan Jomban. Jurnal Paradigma, 3(2).
Syihab, M. A., & Hatta, M. (2022). Punishment Weighting for Criminal
Acts of Corruption in Indonesia. Jurnal Sasi, 28(2).
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/955
Vy Truong. (2022). The social deviance – the nature and the function
(Finding out Emile Durkheim’s point of view to the social
deviance). VNUHCM Journal of Social Sciences and Humanities, 6(2).
https://doi.org/10.32508/stdjssh.v6i2.730

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Sosial…

Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 201



Internet
Alim, H. (2016, September 30). Sanksi Sosial untuk Koruptor.
https://mediaindonesia.com/.
https://mediaindonesia.com/opini/69503/sanksi-sosial-untuk-
koruptor
antaranews.com, antaranews. com. (2023, Februari 5). Meningkatkan Indeks
Persepsi Korupsi 2023 . Antara News.
https://www.antaranews.com/infografik/3380637/meningkatkan
-indeks-persepsi-korupsi-2023
ICW Indonesia. (2004, Juni 11). Sanksi Sosial dan Hukum Korupsi
[Https://antikorupsi.org/].
https://antikorupsi.org/id/article/sanksi-sosial-dan-hukum-
korupsi
ICW Indonesia. (2016, Oktober 10). In Depth Analysis: Sanksi Sosial dan Efek
Jera Bagi Koruptor . https://antikorupsi.org/.
https://antikorupsi.org/id/article/depth-analysis-sanksi-sosial-
dan-efek-jera-bagi-koruptor
Javier, F. (2021, September 14). ICW: Angka Penindakan Kasus Korupsi
Semester 1 2021 Naik Jika Dibandingkan Tahun Sebelumnya. Tempo.
//data.tempo.co/data/1208/icw-angka-penindakan-kasus-
korupsi-semester-1-2021-naik-jika-dibandingkan-tahun-
sebelumnya
Kompas, K. (2023, Mei 30). Menteri Korupsi di Era Reformasi. kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/kompas_multimedia/menteri-
korupsi-di-era-reformasi
Mulyana, C. (2022, Februari 28). Sanksi Sosial Dapat Jerakan Koruptor.
https://mediaindonesia.com/.
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/474717/sanksi-
sosial-dapat-jerakan-koruptor