Jurnal Tunas Agraria Vol. 1 No.1 September 2018 e-ISSN 2622-9714


KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA DI INDONESIA
(Kajian Komparatif Tiga Periode Pelaksanaan: Orde Lama, Orde Baru,
dan Orde Reformasi)

Rayyan Dimas Sutadi, Ahmad Nashih Luthfi, Dian Aries Mujiburahman
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jl. Tata Bumi No. 5 PO BOX 1216 Kode Pos 55293 Yogyakarta


Abstract: The implementation of agrarian reform that has produced various kinds of legal products
still raises figures of inequality in the rearrangement of ownership, control, utilization and the use
of land. Therefore the purpose of this study is to analyze agrarian reform policies in the three
implementation periods in terms of the regulations that have been issued by comparison of each era
of implementation of the four principles of land governence. The method in this research is use
normative law research method, this research were reviewed from various aspects such as aspects
of theory, philosophy, comparison, structure/composition, consistency, general explanation, and
explanation in each articles. This approach is undertaken in order to understand the changing and
evolving of philosophy underlying the rule of law relating to the topic that was researched. The
result of the research conduct that the legal product policy produced in three era of agrarian reform
period in Indonesia the implementation of the Old Order era can be carried out well, because of the
five main regulations and legislation produced can be used the four principles of land governence.
Keyword: Agrarian reform, law policy product, land governence.

Intisari: Pelaksanaan reforma agraria yang sudah menghasilkan berbagai macam produk hukum
kebijakan masih memunculkan angka ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa kebijakan
reforma agraria pada tiga periode pelaksanaan yang ditinjau dari peraturan-peraturan yang telah
dikeluarkan dengan perbandingan masing-masing era pelaksanaan terhadap empat prinsip
kebijakan pengelolaan pertanahan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian hukum normatif dalam penelitian ini dikaji dari berbagai aspek seperti aspek
teori, filosofi, perbandingan, struktrur/komposisi, konsistensi, penjelasan umum, dan penjelasan
pada tiap pasal. Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka perubahan dan perkembangan filosofi
yang melandasi aturan hukum tersebut yang berhubungan dengan topik yang diteliti. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan produk hukum yang dihasilkan dalam tiga era periode
reforma agraria di Indonesia periode pelaksanaan pada era orde lama reforma agraria dapat
dijalankan dengan baik, karena dari kelima pokok peraturan dan perundangan yang dihasilkan
memenuhi empat prinsip kebijakan pengelolaan pertanahan.
Kata Kunci: Reforma agraria, produk hukum kebijakan, tata kelola pertanahan.


A. Pendahuluan
Akibat ketimpangan dalam struktur agraria menunjukkan kenyataan mengenai
lapisan yang menguasai dan tidak menguasai atau sedikit menguasai kekayaan pada
sumber daya agraria memunculkan kem iskinan. Munculnya golongan kemiskinan
tersebut tidak hanya akibat dari ketimpangan strukur penguasaan agraria saja akan tetapi

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 193
disertai dengan relasi eksploitatif dan aliran profit yang dihisap secara monopoli kapital
pada era kolonial tersebut (Mahmud dan Aprianto 2017, 2).
Salah satu kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menangani
penataan ulang kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah yaitu
Reforma Agraria. Dalam sejarah Indonesia sampai saat ini penataan ulang agraria
berlangsung dalam tiga periode yaitu Landreform (1963-1965), Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN) (2007-2014), dan Reforma Agraria (2017-2019) (mahmud dan
Aprianto 2017). Pada periode pelaksanaan tahun (1945-1965) pada saat itu kebijakan
kolonial dan sisa-sisa feodalisme yang tertuang di dalam hukum barat dan hukum adat
menimbulkan dualisme hukum yang terjadi di Indonesia termasuk di dalamnya
pengaturan dan penggunaan serta pemilikan dan pemanfaatan tanah. Sehingga untuk
menghilangkan sisa-sisa feodal tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
peraturan yang secara keseluruhannya mengatur tentang pelaksanaan landreform di
Indonesia seperti Undang Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1958 Tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun
1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224 Tahun 1961
Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
Periode pelaksanaan (1965-1999) landreform tertuju kepada kebijakan tanah untuk
pembangunan, kebijakan agraria pada era Orde Baru ini ditandai dengan tiga kebijakan
yaitu pertama pelaksanaan agenda landreform hanya berhenti pada masalah teknis
administratif, kedua pengingkaran atas keberadaan kebijakan pokok yang mengatur
masalah agraria di Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), dan ketiga
menghapuskan legitimasi partisipasi dari organisasi massa rakyat tani dalam proses
pelaksanaan agenda landreform di Indonesia. Kebijakan tersebut tertuang di dalam
beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15
Tahun 1974 Tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengaturan Penguasaan Tanah
Obyek Landreform Secara Swadaya.
Periode pelaksanaan era demokrasi kebijakan reforma agraria berdasarkan Tap MPR
No. IX/MPR/2000. Dalam era reformasi inti reforma agraria adalah melakukan redistribusi
tanah kepada sejumlah rumah tangga yang dikategorikan sebagai petani miskin, melalui

194 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dianggap menjadi solusi Reforma
Agraria tersebut yaitu access reform dan asset reform. Perkembangan Reforma Agraria pada
era reformasi berikutnya (2014-2019) termuat di dalam Strategi Nasional Kantor Staf
Presiden (Stranas KSP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
(RPJMN). Dimana Kerangka programatik Reforma Agraria terdiri dari 6 (enam) Program
Prioritas, yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria; (2)
Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hu-
kum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masya-
rakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria;
(5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat; serta (6) Kelem-
bagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah. Berkembangnya pelaksanaan
reforma agraria pada era demokrasi dapat dilihat pada kebijakan yang dihasilkan oleh
Pemerintah pada saat itu seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber-
daya Alam, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Di
Bidang Pertanahan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,dan Peraturan Presiden Reublik
Indonesian Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam
Kawasan Hutan.
Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia yang telah dilalui selama tiga periode telah
banyak menghasilkan berbagai regulasi dan sistem namun masih terdapat ketimpangan
struktural kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan, karena pada dasar-
nya persoalan pengaturan sumber daya alam yang salah satunya adalah pertanahan
mencakup kepada dua isu penting yaitu (I) konsep yang berkaitan dengan sistem penge-
lolannya, dan (2) hak kepemilikan yang menyertainya. Penataan dan pengelolaan
pertanahan agar terkelola dengan baik haruslah bersifat competence and transparency yaitu
mampu membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, serta mampu
melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan displin dan model administratif serta
keterbukaan informasi. Dari latar belakang yang dijelaskan pada awal bab ini maka akan
menimbulkan pertanyaan yaitu “Apakah kebijakan produk hukum yang dihasilkan dalam
tiga era periode Reforma Agraria di Indonesia (era orde lama, orde baru, dan reformasi)
yang mencerminkan tata kelola pertanahan yang merujuk kepada prinsip keadilan sosial,
prinsip transparansi (keterbukaan), prinsip kepemilikan/hak atas rakyat, dan prinsip
perlindungan hukum?”
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Penelitian ini dikaji dari

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 195
berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktrur/komposisi, konsis-
tensi, penjelasan umum, dan penjelasan pada tiap pasal. Pendekatan ini dilakukan dalam
kerangka untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu yang berhu-
bungan dengan topik yang diteliti sehingga membantu peneliti dalam mengelompokkan
peraturan-peratuan tentang pelaksanaan reforma agraria sesuai dengan aspek dan unsur
yang terkandung dalam peraturan tersebut. Teknik analisis data pada penelitian ini
menggunakan cara deduktif dengan logis normatif yaitu berdasarkan logika dan
peraturan Undang-undang serta kajian pustakaan. Kegiatan analisis data ini dimulai
dengan melakukan telaah terhadap kepustakaan yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaan reforma agraria, kemudian menginventarisasi dan mengidentifikasi pera-
turan perundang-undangan terhadap pelaksanaan reforma agraria yang telah terlaksana
selama tiga periode pelaksanaan, selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap undang-
undang dan dihimpun kedalam beberapa prinsip yang sesuai denga tata kelola perta-
nahan yaitu prinsip keadilan sosial, prinsip transparansi (keterbukaan), prinsip kepemi-
likan/hak rakyat, dan prinsip perlindungan hukum.
Terdapat beberapa kajian terdahulu yang sejalan dengan penelitian ini diantaranya
adalah Amir Mahmud dan Tri Chandra Aprianto (2017)
1
. Secara singkat penelitian yang
dilakukan oleh Amir Mahmud dan Tri Chandra Aprianto tentang pelaksanaan
pembaharuan agraria melalui program Reforma Agraria di Indonesia adalah memban-
dingkan pelaksanaan Reforma Agraria yang sudah dilaksanakan oleh Indonesia hingga
saat ini. Mulai dari pelaksanaan Landreform (1963-1965), Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) (2007-2014), dan Reforma Agraria (2017-2019). Kajian selanjutnya meru-
pakan kajian Dianto Bachriadi
2
. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dianto Bachriadi
mencoba menyampaikan bahwa dalam era Pemerintahan Presiden SBY reforma agraria
merupakan pembaharuan agraria yang pada intinya adalah access reform dan asset reform
dengan melakukan redistribusi tanah kepada sejumlah rumah tangga yang dikategorikan
sebagai petani miskin melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Dari
kedua kajian inilah yang dikembangkan oleh peneliti dengan menambahkan dari sudut
pandang peraturan yang sudah dihasilkan dalam pelaksanaan program reforma agraria
pada tiga periode pelaksanaan melalui penelitian ini, dengan ditambahkannya sudut
pandang hukum melalui peraturan yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia

1
Sebuah paper yang disampaikan pada Seminar Menuju Konferensi Tenurial 2017. Tema acara “Reforma
Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan. Diadakan oleh Pusat Studi Agraria (PSA-IPB),
SAINS, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Samdhana Institute di IICC Bogor pada tanggal 23-24 Oktober
2017.
2
Tulisan untuk bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7
Juni 2007. Tulisan yang sama pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
(UniB), Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia.

196 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
dapat dilakukan analisis serta memberikan kesimpulan mengapa hingga saat ini reforma
agraria tidak dapat berjalan secara optimal.

B. Telaah Tiga Era Kebijakan Hukum Reforma Agraria dalam Perspektif Tata Kelola
Pertanahan
Dalam melakukan telaah kebijakan hukum yang dihasilkan pada program reforma
agraria dikaitkan dengan perspektif tata kelola pertanahan yang diturunkan kedalam
beberapa prinsip tata kelola pertanahan, dimana tata kelola pertanahan/land governence
menyangkut pengelolaan dan penyelenggaraan kebijakan pertanahan pemerintahan yang
baik dengan beberapa elemen penting yang terkait kepada land governence diantaranya
adalah (I) Fokus pada pengambilan keputusan, implementasi, dan resolusi konflik, (II)
Penekanan pada proses dan hasil, perlu memahami kedua institusi (aturan) dan organisasi
(entitas), (III) mengenali undang-undang serta lembaga/organisasi informal informal/
ekstra-hukum, dan (IV) analisis pemangku kepentingan, minat, serta kendala insentif.
Prinsip tersebut merupakan turunan dan cerminan bagaimana menciptakan kebijakan
pertanahan yang baik sesuai tujuan reforma agraria saat ini yaitu bagaimana pemberian
akses yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya terhadap rakyat Indonesia serta penguatan
dan perlindungan terhadap aset yang diterima ketika akses tersebut telah diberikan
pemerintah dengan didasarkan kepada tata kelola pertanahan yang baik berdasarkan
kepada definisi, elemen penting, dan prinsip dari land governence serta norma tertinggi
yaitu pancasila dan UUD 1945. Beberapa prinsip kebijakan pengelolaan pertanahan terse-
but diantaranya adalah (I) Prinsip Keadilan sosial (II) Prinsip Transparansi (keterbukaan),
(III) Prinsip Kepemilikan/Hak rakyat, dan (IV) Prinsip Perlindungan Hukum.

1. Kebijakan Produk Hukum Agraria Era Orde Lama
Reforma agraria era orde lama dimulai sejak Pemerintah Indonesia yang baru
merdeka dituntut untuk mempelajari dengan seksama peraturan perundang-undangan
agraria lama dan melakukan pembaharuan. Karena hukum agraria pada zaman kolonial
Hindia Belanda telah menunjukkan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat
eksploitatif, dualistik, dan feodalistik, dengan asas domein verkelaring yang jelas sangat
bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Mahfud
2012, 119). Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengakhiri produk
hukum agraria kolonial itu dapat dibedakan dalam dua jalur yaitu (I) pengundangan
berbagai peraturan agraria yang sifatnya parsial artinya menyangkut bagian-bagian
tertentu dari lingkup hukum agraria, dan (II) membentuk panitia-panitia perancang UU
agraria yang bulat dan bersifat nasional (Mahfud 2012, 120). Pada pemerintahan era orde

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 197
lama peraturan pokok yang telah dikeluarkan diantaranya adalah (1) UU No. 1/1958
tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, (2) UU No. 2 /1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil, (3) UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (4) UU No. 56
Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan (5) PP No. 224/1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pelaksanaan Ganti Kerugian.
Agar dapat menilai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai
instrumen pendukung program reforma agraria maka dapat kita nilai dengan tata kelola
pertanahan yang dicerminkan kepada 4 prinsip yaitu (I) Prinsip Keadilan sosial (II)
Prinsip Transparansi (keterbukaan), (III) Prinsip Kepemilikan/Hak rakyat, dan (IV) Prinsip
Perlindungan Hukum.
a. UU No. 1/1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir
Inti dari UU No.1/1958 adalah penghapusan tanah-tanah partikelir, penghapusan
tanah-tanah partikelir tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang ingin
mendistribusikan tanah kepada masyarakat khususnya yang bergolongan ekonomi lemah
melalui program landreform. Kebijakan Pemerintah tersebut ketika dikaitkan dengan
prinsip-prinsip tata kelola pertanahan dapat dilihat apakah kebijakan penerbitan UU
tersebut dapat dikatakan memang sebagai UU yang mendukung kebijakan distribusi
tanah melalui landreform seperti pada tabel berikut:

Tabel 1. Analisis UU No. 1/1958 terhadap Prinsip Kebijakan Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan/
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No.1/1958 Pasal 3, Pasal 8 Pasal 5 Pasal 2 Pasal 4, Pasal 6
ayat (2), Pasal 7
Sumber: Pengolahan data primer 2018

Berdasarkan tabel diatas pada prinsip keadilan sosial dapat dijelaskan bahwa
hapusnya status tanah partikelir membuktikan Pemerintah telah memberikan keadilan
kepada masyarakat terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana diatur
didalam UU ini. Hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah
partikelir hapus dan tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya menjadi
tanah negara yang kemudian oleh negara diberikan kepada masyarakat untuk
peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Pada prinsip tranparansi (keterbukaan)
dijelaskan bahwa Pemerintah telah melakukan proses keterbukaan perolehan akses dan
aset yang merupakan hak rakyat atas tanah di Indonesia. Melalui UU ini ditegaskan
Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuk memberikan bekas tanah partikelir

198 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik. Hal
tersebut membuktikan bahwa Pemerintah berusaha mensejahterakan rakyat melalui
sumber daya agraria dengan mengutamakan rakyat miskin daripada kalangan tuan tanah.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat melalui UU ini ditegaskan kedudukan antara
pemilik dan penggarap sehingga masyarakat yang akan memanfaatkan sumber-sumber
daya agraria telah dijamin dengan ditegaskan hapusnya tanah partikelir yang merupakan
tanah yang dilekati hak eigendom. Pada prinsip yang terakhir yaitu prinsip perlindungan
hukum melalui UU ini Pemerintah melalui Menteri Agraria memberikan perlindungan
hukum terkait kepemilikan dan penggunaan tanah bagi masyarakat atas bekas tanah
Partikelir dengan melakukan penetapan penghapusan tanah partikelir milik orang asing
dan diberikan kepada seorang warga negara Indonesia atau kepada Negara dalam waktu
satu tahun terhitung mulai berlakunya UU ini.
b. UU No.2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
UU No. 2/1960 bertujuan mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil
yang adil antara pemilik dan penggarap dan menjamin kedudukan hukum yang layak
bagi penggarap dengan menegaskan hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun
pemilik. Penegasan hak dan kewajiban dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi
masyarakat golongan ekonomi lemah atau miskin. Tujuan Pemerintah menerbitkan UU
No. 2/1960 dapat dikatakan sejalan dengan inisiasi penataan ulang sumber agraria ketika
dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan. Yang hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel 2. Analisis UU No.2/1960 Terhadap Prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No.1/1958 Pasal 2 ayat (2),
Pasal 7, Pasal 8
ayat (1), Pasal
9, Pasal 14
Pasal 1, Pasal
12
Pasal 2 ayat (1
dan 3)
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 10, Pasal
11
Sumber: Pengolahan data primer
Dari tabel di atas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan sosial ditegaskan didalam
salah satu pasal bahwa petani yang yang telah mengadakan perjanjian bagi-hasil atas
tanah garapannya yang luasnya melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi
penggarap dengan mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk
hal tersebut menunjukkan ketegasan pemerintah dalam menciptakan keadilan bagi rakyat
miskin. Pada prinsip transparansi (keterbukaan) dijelaskan secara rinci tentang apa yang

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 199
dimaksud dengan perjanjian bagi hasil yang meliputi subyek dan obyek atas perjanjian
bagi hasil sehingga diperoleh keterbukaan aset dan akses tanah oleh masyarakat.
Prinsip kepemilikan/hak rakyat melalui Undang-undang ini ditegaskan kedudukan
antara pemilik dan penggarap sehingga masyarakat yang akan memanfaatkan sumber-
sumber daya agraria telah terjamin hak beserta kewajibannya. Pada prinsip perlindungan
hukum dijelaskan dalam mengusahakan sumber-sumber agraria bagi masyarakat yang
didasarkan atas sewa-menyewa diperlukan peraturan tentang perjanjian bagi hasil antara
pemilik dan penggarap yang didasari atas keadilan dan menjamin kedudukan hukum
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Sehingga dengan adanya peraturan
tersebut ketimpangan kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan dapat
dihilangkan.
c. UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
UU No. 5/1960 terbentuk dikarenakan bagi rakyat Indonesia hukum agraria
penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum, maka perlu adanya hukum agraria
nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Vitalnya peran UU No. 5/1960 terhadap pengaturan sumber daya agraria terutama
tanah merupakan refleksi Pemerintah terhadap amanah UUD 1945 yang tercantum pada
pasal 33 ayat (3), dimana Pemerintah berupaya menciptakan keadilan terhadap
penguasaan dan pemilikan atas sumber-sumber daya agraria yang lebih adil bagi seluruh
masyarakat yang selama ini dimonopoli baik oleh perusahaan maupun perorangan. Hal
tersebut dapat dilihat ketika Undang-undang ini dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata
kelola pertanahan. Yang hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3. Anallisis UU No. 5/1960 Terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No.1/1958 Pasal 2 ayat (2
dan 3), Pasal 4
ayat (1,2, dan 3)
Pasal 6, Pasal
17 ayat (1,3,
dan 4), Pasal 46
ayat (1)

Pasal 11,
Pasal 15,
Pasal 19 ayat
(3), asal 26
ayat (1)
Pasal 2 ayat
(4), Pasal 5,
Pasal 9 ayat
(2), Pasal 16

Pasal 17 ayat (2),
Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 20 ayat (2),
Pasal 22 ayat (1 dan
2), Pasal 23, Pasal 47,
Pasal 49 ayat (1,2,
dan 3), Pasal 56
Sumber: Pengolahan data primer 2018.

200 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
Dari tabel di atas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan sosial penguasaan dan
pemilikan atas sumber-sumber daya agraria oleh masyarakat dijamin oleh negara. Hal
tersebut terlihat dalam UU yang telah tercantum didalam pasal 2 ayat (2) didalam pasal
tersebut negara memiliki kewenangan atas sumber-sumber daya agraria yang berasal dari
hak menguasai negara, sehingga negara dapat mempergunakannya untuk kepentingan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada prinsip transparansi (keterbukaan) UU ini
memberikan dampak kepada masyarakat akan keterbukaan akses dan aset akan tanah.
Hal tersebut tercermin didalam UU dimana masyarakat yang termasuk kedalam golongan
ekonomi lemah oleh negara dijamin perlindungan hukumnya dan diperhatikan dalam
kewajibannya memelihara tanah dan menambah kesuburuan serta mencegah
kerusakannya agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah
Indonesia agar SDA yang ada di Indonesia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hal ini dapat dibuktikan didalam UU ini macam-macam hak atas
tanah dapat diberikan dan dimiliki secara perorangan maupun badan hukum, serta
negara juga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara baik laki-laki
maupun perempuan. Pada prinsip perlindungan hukum karena hukum yang mengatur
tentang sumber-sumber daya agraria yang berlaku sebelum diterbitkanya UU ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan jajahan, sehingga melalui UU
ini hak masyarakat Indonesia dalam mengusai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria
memiliki kepastian dengan memberikan perlindungan hukum kepada golongan
masyarakat ekonomi lemah dengan dilakukan Pendaftaran baik peralihan, penghapusan,
maupun pembebanannya.
d. UU No. 56 Prp /1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
UU No.56 PRP/1960 merupakan sebuah kebijakan pemerintah untuk
mengimplementasikan pasal 7 pada UU No. 5/1960 yang mengatur pemilikan dan
pengusahaan tanah yang melampaui batas. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan
maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat petani yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah (UUPA Pasal 17 ayat (3)) dengan demikian maka pemilikan tanah
pertanian selanjutnya akan lebih merata dan adil. Kebijakan Pemerintah tersebut ketika
dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka akan terlihat seperti pada
tabel dibawah ini:

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 201
Tabel 4. Analisis UU No.56 PRP/1960 Terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No. 56 PRP
/1960
Pasal 2 ayat (2),
Pasal 8.

Pasal 3, Pasal 6 Pasal 1 ayat (1),
Pasal 2 ayat (1),
Pasal 7 ayat (1
dan 2).
Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 9, Pasal
11 Pasal 12

Sumber: Pengolahan data primer 2018.

Dari penjabaran tabel di atas dapat dijelaskan pada prinsip pada prinsip keadilan
sosial dalam salah satu pasalnya pemerintah mengadakan usaha agar setiap petani
memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Usaha mengadakan tanah pertanian dengan
luas minimum 2 hektar menandakan pemerintah berupaya memberikan rasa keadilan
terhadap masyarakat akan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pada prinsip transparansi
(keterbukaan) dapat dijelaskan bahwa masyarakat yang mempunyai tanah yang berlebih-
lebihan sedangkan masyarakat yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak
cukup tanahnya secara terang merupakan kelebihan maksimum diambil oleh Pemerintah
dengan diberi ganti-kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat dapat dijelaskan bahwasannya pemerintah
dalam salah satu pasalnya menegaskan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam
penghidupannya merupakan satu keluarga bersama hanya diperbolehkan menguasai
tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya
sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas
maksimum. Pada prinsip yang terakhir yaitu prinsip perlindungan hukum dapat
dijelaskan usaha pemerintah memberikan kepastian dan perlindungan hukum atas
penggunaan, pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan tanah kepada m asyarakat.
Dimana pada salah satu pasal pada UU tersebut menyebutkan penyelesaian mengenai
tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang penyelesaiannya dilaksanakan dengan memperhatikan keinginan pihak
yang bersangkutan.
e. PP No. 224/1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti
Kerugian
PP No. 224/1961 berisikan tentang teknis dalam pelaksanaan pembagian tanah dan
pembelian ganti kerugian, dimana teknis yang dijelaskan berupa jenis-jenis tanah yang
akan dibagikan, pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik, syarat-syarat pembagian
tanah, pemberian hak milik pasca pembagian tanah, penetapan harga tanah bagi pemilik

202 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
baru dan cara pembayarannya, serta ketentuan pidana bagi masyarakat yang menolak
dalam pelaksanaan PP ini. melalui PP ini pemerintah dengan tegas melarang masyarakat
mempunyai kepemilikan tanah secara berlebih yang diatur oleh UU No.56 PRP/1960 yang
kemudian ditindak lanjuti dengan PP ini yang mengatur pembagian tanah dan pemberian
ganti kerugian kepada pemilik tanah yang terkena kepemilikan batas maksimum tanah.
Kebijakan Pemerintah tersebut ketika dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola
pertanahan dapat dilihat bahwa apakah kebijakan penerbitan PP tersebut dapat dikatakan
memang sebagai PP yang mendukung kebijakan reforma agraria seperti pada tabel
dibawah ini:

Tabel 5. Analisis PP No. 224/1961 terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
PP No. 224 /
1961
Pasal 2 ayat (1
dan 2), Pasal 4
ayat (1).

Pasal 1, Pasal 3
ayat (3), Pasal 8
ayat (3,4,5, dan
6), Pasal 9,
Pasal 10
Pasal 2 ayat (1
dan 2), Pasal 8
ayat (1), Pasal
14 ayat (1, 2,
dan 3).

Pasal 3 ayat (4,
5, dan 6), Pasal
5, Pasal 6 ayat
(1 dan 3), Pasal
15 ayat (1,2,
dan 3), Pasal 19
ayat (1 dan 2).
Sumber: Pengolahan data primer 2018.

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan sosial bahwa agar
terciptanya keadilan kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam hal pemilikan,
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah didalam salah satu pasal dijelaskan
bahwa tanah swapraja dan bekas swapraja dengan ketentuan diktum IV huruf A UUPA
beralih kepada Negara, sehingga peruntukan sebagian untuk kepentingan Pemerintah
sebagian untuk masyarakat yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak swapraja
atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Pada
prinsip transparansi (keterbukaan) dapat dijelaskan bahwa agar pembagian tanah yang
akan diserahkan kepada masyarakat tepat sasaran maka pemerintah melalui PP ini
melakukan sebuah identifikasi jenis-jenis tanah yang akan dibagikan yang diantaranya
ialah (I) tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam
Undang-undang Nomor 56 Prp tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada Negara, (II)
tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar
daerah (III) tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 203
(IV) tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat dapat dijelaskan bahwa pemerintah melalui PP
ini ingin memberikan dan menegaskan perihal penguasaan dan pemilikan sumber-sumber
agraria terhadap masyarakat. Hal tersebut tercermin didalam PP ini yang menyatakan
bahwa pemilik tanah yang melebihi batas maksimum termaksud dalam Undang-undang
Nomor 56 Prp tahun 1960 diberi kesempatan untuk mengajukan usul kepada Menteri
Agraria, mengenai bagian atau bagian-bagian mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap
menjadi miliknya. Pada prinsip perlindungan hukum pemerintah melalui PP ini didalam
salah satu pasalnya telah mengatur ketentuan pembagian tanah tersebut agar tepat
sasaran, ketentuan yang tidak berlaku atau pengecualian tersebut berlaku bagi masyarakat
yang mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau dikecamatan yang dimaksud
didalam pasal 3 ayat (2), sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban
agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Dan bagi pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka
yang sedang menjalankan tugas negara. Pengecualian tersebut terbatas pada pemilikan
tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah
yang bersangkutan menurut UU No. 56 Prp/1960.

2. Kebijakan Produk Hukum Agraria Era Orde Baru
Kebijakan agraria pada era orde baru ini ditandai dengan tiga kebijakan yaitu
pertama pelaksanaan agenda landreform hanya berhenti pada masalah teknis
administratif, kedua pengingkaran atas keberadaan kebijakan pokok yang mengatur
masalah agraria di Indonesia yang termaktub dalam UUPA dan Undang -undang
Perjanjian Bagi Hasil (UUPHBH), dan ketiga menghapuskan legitimasi partisipasi dari
organisasi massa rakyat tani dalam proses pelaksanaan agenda landreform di Indonesia.
Kebijakan umum Orde Baru ditandai oleh sejumlah ciri, yaitu: (a) stabilitas merupakan
prioritas utama; (b) di bidang sosial ekonomi, pembangunan menggantungkan diri pada
hutang luar negeri, modal asing, dan betting on the strong; dan (c) di bidang agraria
mengambil kebijakan jalan pintas, yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria. Ciri
kebijakan reforma agraria pada era orde baru ini dapat terlahir dikarenakan pada era
orde baru ( sampai dengan tahun 1992) telah dilahirkan beberapa produk hukum dalam
bentuk UU pada bidang pemilu dan pemda, akan tetapi tidak dalam bidang agraria.
Dalam bidang keagrariaan nasional tidak dikeluarkan lagi UU tetapi ada peraturan
perundang-undangan parsial atau peraturan-peraturan perundang-undangan yang secara
hierarkis berada dibawah derajat UU (Mahfud 2012, 239).

204 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
Oleh karena itu dapat dikatakan inti program landreform pada era orde baru adalah
kebijakan tanah untuk pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang
digunakan sebagai acuan untuk melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian yang merupakan wujud kebijakan
pembangunan yang bertujuan untuk pemerataan penduduk agar program pembangunan
lainya dapat terlaksana serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974
Tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek
Landreform Secara Swadaya.
a. Permendagri No. 15/1974 Tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan
Landreform
Permendagri No 15/1974 bertujuan untuk mengadakan penertiban penguasaaan
tanah serta peningkatan taraf hidup para petani kecil dalam rangka pembentukan
masyarakat yang adil dan makmur yang didasari oleh pancasila. Penyempurnaan dan
penegasan yang dimaksud didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini adalah tentang
ketentuan pelaksanaan Landreform yang kembali didasarkan kepada (I) UU No 5/1960
tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, (II) Peraturan tentang pembatasan
penguasaan tanah pertanian, sebagai yang dimuat didalam UU No. 56 Prp/1960
(Lembaran Negara 1960 No. 174), (III) Peraturan tentang pembagian tanah kelebihan
maksimum dan guntai (absentee) serta pedoman pemberian ganti ruginya sebagai diatur
di dalam PP No. 224/1961 (Lembaran Negara 1961 No. 280), (IV) Peraturan tentang
larangan pemilikan tanah pertanian secara guntai (absentee), sebagai yang diatur dalam
pasal 3 PP No. 224/1961 (Lembaran Negara 1961 No. 280) jo. PP No. 41/1964 (Lembaran
Negara 1964 No. 112), (V) Peraturan tentang pengembalian tanah pertanian yang
digadaikan, sebagai yang diatur didalam pasal 7 UU No. 56 Prp/1960 (Lembaran Negara
1960 No. 174), (VI) Peraturan tentang larangan untuk mengadakan pemecahan lebih lanjut
pemilikan tanah pertanian yang luasnya 2 hektar ke bawah, sebagai yang diatur di dalam
pasal 9 UU No. 56 Prp/1960 (Lembaran Negara 1960 No. 174).
Oleh karena itu apabila kita kaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan
maka kita dapat menilai keunggulan dari penyempurnaan pelaksanaan Landreform yang
dituang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hasilnya dapat kita lihat pada tabel
dibawah ini:

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 205
Tabel 6. Analisis Permendagri No 15/1974 Terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola
Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
Permendagri
No 15/1974
-

Pasal 4 Pasal 2 ayat (3)

Pasal 2 ayat (2,
4, dan 5), Pasal
3.
Sumber: Pengolahan data primer 2018.

Dari tabel di atas dapat dielaskan pada prinsip transparansi (keterbukaan) didalam
salah satu pasal dalam Peraturan Menteri ini menjelaskan tentang pedoman mengenai
pelaksanaan bagi hasil, gadai, dan pemecahan pemilikan atas tanah pertanian yang
melibatkan Gubernur/ Bupati/ Walikota dalam pelaksanaan bagi hasil, gadai, dan
pemecahan pemilikan tanah atas tanah pertanian agar dilakukan dengan seadil-adilnya
sehingga keterbukaan perolehan akses dan aset terhadap masyarakat Indonesia
khususnya yang bergolongan ekonomi lemah dapat terjamin. Pada pr insip
kepemilikan/hak rakyat dapat dijelaskan dengan melihat isi dari pasal Permendagri yang
menegaskan kepada pemilik tanah yang menguasai tanah melebihi ketentuan maksimum
selalama 1 tahun sejak berlakunya Undang -undang tersebut diwajibkan untuk
memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut kepada pihak
yang memenuhi syarat. Pada prinsip yang terakhir yaitu prinsip perlindungan hukum
dapat dijelaskan bahwasannya didalam Permendagri No 15/1974 ini ditegaskan
didalamnya tentang pelaksanaan Landreform yang didasarkan atas Undang-undang
Pokok Agraria yang bertujuan menertibkan penguasaan tanah serta peningkatan taraf
hidup para petani terutama petani kecil, dalam rangka pembentukan masyarakat adil dan
makmur.
b. Perkaban No. 3/1991 Tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek
Landreform Secara Swadaya
Perkaban No 3/1991 ini mempunyi tujuan dalam pengaturan penguasaan tanah
obyek landreform secara swadaya dengan membuat beberapa sasaran yaitu (I) tertatanya
penggunaan tanah obyek landreform dalam bidang-bidang tanah yang teratur disertai
dengan tersedianya prasarana jalan, dan/atau saluran irigrasi serta kemungkinannya
penyediaan areal untuk kawasan lindung dan fasilitas umum. (II) terselenggaranya
pembagian tanah yang merata dengan tidak menimbulkan perbedaan pemilikan tanah
yang besar. (III) tersedianya tanah yang dapat dimanfaatkan dan menjadi modal
kehidupan petani yang dikelola secara koperatif. Dari penjabaran diatas Perkaban No

206 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
3/1991 apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka kita dapat
menilai keunggulan lain dari Peraturan Pemerintah tersebut dimana hasilnya dapat kita
lihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Analisis Perkaban No 3/1991 Terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan/
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
Perkaban No.3
/1991
Pasal 2, Pasal 3

- -

-

Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa Perkaban No 3/1991 yang dikaitkan
dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan mengandung prinsip Keadilan Sosial.
Maksud dari prinsip keadilan sosial ini adalah menjamin penguasaan dan pemilikan yang
lebih adil atas sumber-sumber daya agraria termasuk tanah, hal tersebut sejalan dengan
Perkaban No 3/1991 yang tujuannya adalah melakukan penataan kembali penguasaan dan
penggunaan tanah sesuai dengan fungsi sosialnya agar upaya untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat dapat terwujud.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 Tentang
Ketransmigrasian
UU No 15/1997 bertujuan karena persebaran penduduk yang belum serasi dan
belum seimbang tersebut menyebabkan pembangunan belum merata sehingga ada
kecenderungan daerah atau wilayah yang telah berkembang menjadi makin berkembang,
sebaliknya daerah atau wilayah yang kurang berkembang menjadi makin tertinggal.
Untuk itu penyebaran penduduk perlu diatur melalui penyelenggaraan transmigrasi.
Penyelenggaraan transmigrasi dilaksanakan sebagai upaya untuk lebih meningkatkan
kesejahteraan dan peran serta masyarakat, pemerataan pembangunan daerah, serta
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa melalui persebaran penduduk yang
seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta nilai budaya
dan adat istiadat masyarakat.
Dari penjabaran diatas UU No 15/1997 apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata
kelola pertanahan maka kita dapat menilai keunggulan lain dari Peraturan Pemerintah
tersebut, yang hasilnya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 207
Tabel 8. Analisis UU No 15/1997 Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No 15/1997 Pasal 1 ayat (2
dan 3), Pasal 5,
Pasal 23, Pasal
25.
Pasal 3, Pasal
28, Pasal 32.
Pasal 24 ayat
(3)
Pasal 24 ayat (1
dan 2), Pasal 34
ayat (2)

Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel di atas UU No.15/1997 dapat dijelaskan pada prinsip Keadilan
Sosial bahwa penyelenggaraan transmigrasi diarahkan pada penataan persebaran
penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung
lingkungan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan perwujudan integrasi
masyarakat. Hal tersebut mendeskripsikan bagaimana Pemerintah memberikan jaminan
kepada masyarakat terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah agar lebih merata dan
adil dengan melakukan penyebaran penduduk ke seluruh wilayah Indonesia. Pada
prinsip transparansi (keterbukaan) dapat dijelaskan bahwa melalui Undang-undang ini
terdapat skala prioritas dalam penentuan peserta program transmigrasi dengan diseleksi
berdasarkan prioritas penanganan masalah sosial ekonomi bagi penduduk yang
bersangkutan dan berdasarkan kesesuaian antara kesempatan kerja atau usaha yang
tersedia dan dipilih dengan kesiapan dan keahliannya, hal tersebut dilakukan untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat yang bergolongan ekonomi lemah.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat dapat dijelaskan bahwa Program Transmigrasi
merupakan salah satu program reforma agraria yang dicanangkan oleh Pemerintah
dengan tujuan meningatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.
Dari tujuan program tersebut Pemerintah berupaya agar masyarakat dapat memiliki dan
menguasai sebidang tanah demi peningkatan ekonomi dengan memberikan tanah kepada
masyarakat yang bergolongan ekonomi lemah. Selanjutnya pada prinsip perlindungan
hukum dapat dijelaskan negara dalam program transmigrasi didalam Undang-undang ini
Pemerintah memberikan sebidang tanah kepada masyarakat untuk dimanfaatkan dan
digunakan dan diberikan hak atas bidang tanah yang melekat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku agar memberikan jaminan kepastian dan
perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah.

3. Kebijakan Produk Hukum Reforma Agraria Era Reformasi
Produk hukum yang penting dalam konteks reforma agraria pada era demokrasi ini
yaitu dengan keluarnya Tap MPR No IX/MPR/2001 dan dilanjutkan dengan Keppres No.

208 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
34/2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan. Tujuan dikeluarkannya Tap
MPR No IX/MPR/2001 seperti yang termuat dalam pasal 2 adalah mendefinisikan kembali
pembaruan agraria sebagai suatu proses yang berkesinambungan dalam hal yang
berkaitan dengan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Pada masa pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono pelaksanaan landreform dititik beratkan pada mengagendakan redistribusi
tanah kembali. Tidak persis sama dengan periode pertama, pembaruan agraria pada
periode kedua menggunakan istilah asset reform dan access reform dalam Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta kebijakan penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar yang dituangkan didalam PP No. 11/2010 tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Periode ketiga penataan agraria berupa pelaksanaan reforma agraria yang dimuat
dalam Strategi Nasional Kantor Staf Presiden (Stranas KSP), dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019 (RPJMN). Kebijakan Reforma Agraria dapat dilihat
didalam 6 aspek terpenting yang dirumuskan oleh Kantor Staf Kepresidenan diantaranya
(I) Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria (II) Penataan
penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria, (III) Kepastian hukum dan
legalitas hak atas tanah obyek reforma agraria, (IV) Pemberdayaan masyrakat dalam
penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria, (V)
Pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola oleh masyarakat, (VI) Kelembagaan
pelaksana reform agraria pusat dan daerah. Oleh karena itu agar kita dapat menilai
apakah peraturan yang terdiri atas Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut
betul-betul sebagai instrumen pendukung program reforma agraria maka dapat kita nilai
dengan tata kelola pertanahan yang dicerminkan kepada 4 prinsip yaitu (I) Prinsip
Keadilan sosial (II) Prinsip Transparansi (keterbukaan), (III) Prinsip Kepemilikan/Hak
rakyat, dan (IV) Prinsip Perlindungan Hukum.
a. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Tujuan dikeluarkannya Tap MPR No IX/MPR/2001 seperti yang termuat dalam
pasal 2 adalah mendefinisikan kembali pembaruan agraria sebagai suatu proses yang
berkesinambungan dalam hal yang berkaitan dengan penataan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria agar dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Dalam Pasal 6
Tap MPR RI No. IX/MPR/2001, juga disebutkan beberapa hal yang menjadi agenda
pelaksanaan pembaruan agraria adalah (I) Melakukan pengkaijian ulang terhadap

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 209
berbagai peraturan perundang-undangan, (II) Melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) , (III)
Menyelenggarakan kembali pendataan pertanahan, (IV) Menyelesaikan konflik-konflik,
(V) Memperkuat kelembagaan, dan (VI) Mengupayakan pembiayaan. Dari penjabaran
tersebut apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka kita dapat
menilai keunggulan lain dari Peraturan Pemerintah tersebut, Yang hasilnya dapat kita
lihat seperti dibawah ini:

Tabel 9. Analisis Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Kelola
Pertanahan
Undang-undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
Tap MPR RI
No.IX/MPR/2001
Pasal 4 Pasal 3 -


Pasal 1 Pasal 2,
Pasal 6, Pasal 7.


Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan sosial Pemerintah
mencoba kembali melakukan restrukturisasi kembali pengelolaan sumber daya alam agar
dapat dilakukan secara optimal, adil, serta berkelanjutan. Kata optimal, adil, dan
berkelanjutan dapat dimaknai sebagai usaha Pemerintah dalam menjamin penguasaan
dan pemilikan yang lebih adil atas sumber-sumber agraria bagi masyarakat Indonesia
akibat pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam pada masa Pemerintahan
sebelumnya yang mengalami penurunan kualitas hingga mengakibatkan ketimpangan
struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan hingga memunculkan
konflik-konflik agraria serta ketimpangan sosial. Pada prinsip transparansi (keterbukaan)
didalam salah satu pasal Pemerintah melindungi masyarakat yang bergolongan ekonomi
lemah dengan memberikan masyarakat akses akan keterbukaan perolehan akses dan aset,
hal tersebut dilakukan Pemerintah dengan berperan sebagai pengatur pengelolaan sumber
daya agraria dan sumber daya alam dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pada prinsip perlindungan hukum dapat dijelaskan bahwa Pemerintah mencoba
melakukan penataan peraturan agar dapat memberikan arah dan dasar bagi pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang optimal, adil, dan berkelanjutan. Dimana
hal tersebut diakibatkan dari pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam
yang tidak dilakukan secara optimal, adil, dan berkelanjutan hingga memunculkan

210 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber
daya agraria saling tumpang tindih dan bertentangan.
b. Keppres No. 34/2003 Tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan
Keppres No. 34/2003 bertujuan untuk mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem
pertanahan nasional yang utuh dan terpadu maka Pemerintah memerintahkan kepada
Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan berbagai langkah-langkah percepatan yaitu
(I) penyusunan rancangan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok agraria dan rancangan Undang-undangtentang hak atas tanah serta
peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan, (II) pembangunan sistem
informasi dan manajemen pertanahan, (III) pemetaan kadastral dalam rangka
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan menggunaka teknoloi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang
kebijakan pelaksanaan Landreform dan pemberian hak atas tanah, dan (IV) pembangunan
dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan peman faatan tanah melalui sistem
informasi geografi dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam rangka
memelihara ketahanan pangan nasional. Selain memerintahkan kepada Badan Pertanahan
Nasional untuk melakukan berbagai langkah-langkah percepatan didalam Keputusan
Presiden ini Pemerintah juga memberikan sebagian kewenganan Pemerintah di bidang
pertanahan yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemberian
sebagian kewenangan ini bersamaan dengan terjadi juga perubahan penataan struktur
administrasi birokrasi, yaitu berlakunya otonomi daerah. Dari penjabaran tersebut apabila
dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka kita dapat menilai
keunggulan lain dari Peraturan Pemerintah tersebut Yang hasilnya dapat kita lihat seperti
dibawah ini:

Tabel 10. Analisis Keppres No. 34/2003 Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
Keppres No.
34/2003
- - -


Pasal 1, Pasal 2.


Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Bedasarkan tabel diatas bahwa Keppres No. 34/2003 mengandung prinsip kepastian
dan perlindungan hukum. Pada Keppres tersebut Pemerintah berupaya menciptakan satu
kebijakan nasional pada bidang pertanahan agar dapat memberikan kepastian dan

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 211
perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah. Kebijakan tersebut diantaranya
memerintahkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan berbagai langkah-
langkah percepatan yang rinciannya dijelaskan di pasal 1, selain itu Pemerintah juga
memberikan sebagian kewenganan Pemerintah di bidang pertanahan yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang rinciannya dijelaskan dalam pasal 2.
c. PP No.11/2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Penelantaran tanah makin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan
kembali penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Mengacu kepada Pasal 27, Pasal
34, dan Pasal 40 UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas
tanah hapus antara lain karena diterlantarkan hal tersebutlah yang menjadi tujuan dan
latar belakang diterbitkannya PP No.11/2010. PP ini juga menjelaskan mekanisme
penetapan tanah terlantar yang dimulai dengan kegiatan identifikasi dan penelitian,
kemudian peringatan yang ditujukan kepada subyek pemegang hak atas tanah, dan
penetapan tanah terlantar hingga kegiatan terakhir yaitu pendayagunaan tanah terlantar.
Sehingga dengan jelasnya obyek penertiban tanah terlantar, mekanisme penetapan tanah
terlantar hingga pendayagunaan tanah terlantar semakin jelas. Dari penjabaran tersebut
apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka kita dapat menilai
keunggulan lain dari Peraturan Pemerintah tersebut, yang hasilnya dapat kita lihat seperti
dibawah ini:

Tabel 11. Analisis PP No.11/2010 Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan
Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip Perlindungan
Hukum
PP No.11/2010 Pasal 15 ayat
(1)

Pasal 16

Pasal 10 ayat
(2), Pasal 1
ayat (1)

Pasal 2, Pasal 3, Pasal
8, Pasal 9 ayat (2 dan
3), Pasal 10 ayat (1
dan 3), Pasal 12 ayat
(2).
Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan didalam pasal PP
tersebut menjelaskan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah bekas tanah terlantar dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan
negara dengan melalui program reforma agraria dan program strategis negara agar
menciptakan penguasaan dan pemilikan yang lebih adil atas tanah. Pada prinsip
transparansi (keterbukaan) dapat dijelaskan dalam salah satu Pasal didalam PP ini

212 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
pemerintah melarang untuk diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk apapun
terhadap tanah yang sudah dikateogrikan masuk kedalam tanah terlantar. Dengan adanya
penegasan maka obyek tanah yang sudah dikategorikan sebagai tanah terlantar dapat
dimanfaatkan dan didayagunakan oleh masyarakat. Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat
dapat dijelaskan bahwa Pemerintah menegaskan masih menjamin status hak atas tanah
seseorang atas tanahnya sebatas yang sudah diusahakan sedangkan bagi tanah yang tidak
diusahakan maka Pemerintah memutuskan hubungan hukumnya dan penguasaannya
diambil alih oleh negara. Selanjutnya pada prinsip perlindungan hukum Pemerintah
menegaskan kepada masyarakat yang memiliki tanah dan tidak memanfaatkannya sesuai
dengan fungsinya maka dapat diambil alih oleh negara dan dicabut hak atas tanahnya
yang sebelumnya dilakukan identifikasi dan penelitian terlebih dahulu oleh panitia yang
dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.
d. Perpres No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan
Hutan
Perpres No. 88/2017 merupakan komponen kebijakan yang mendukung salah satu
komponen program strategi nasional pelaksanaan Reforma Agraria yaitu Penguatan
Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang ditujukan untuk menyediakan
basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda Reforma Agraria, dan
menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang
berada dalam konflik-konflik agrarian dengan mengatur pola penyelesaian penguasaan
tanah dalam kawasan hutan. Beberapa pola penyelesaian yang tercantum didalam
Peraturan Presiden diantaranya adalah penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai
dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, dan
penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah
tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi. Dari penjabaran
tersebut apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pertanahan maka kita dapat
menilai keunggulan lain dari Peraturan Presiden tersebut, yang hasilnya dapat kita lihat
seperti dibawah ini:

Tabel 12. Analisis Perpres No. 88/2017 Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-
undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan
Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
Perpres No.88
/2017
Pasal 2

Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 30
Pasal 4, Pasal 5

Pasal 20, Pasal
25, Pasal 28,
Pasal 29.
Sumber: Pengolahan Data Primer 2018.

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 213

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan pada prinsip keadilan sosial didalam Pasal
2 dinyatakan Pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan
hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh Pihak. Bunyi dari pasal tersebut dapat kita
maknai bahwa Pemerintah mengambil langkah turut serta dalam melakukan penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh
masyarakat, turut serta Pemerintah merupakan sebuah langkah wajib yang dilakukan
karena Pemerintah mempunyai hak istimewa yaitu hak menguasai yang merupakan
landasan konstitusional bagi pelaksanaan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah, hutan dan kekayaan alam. Pada prinsip transparansi
(keterbukaan) dapat dijelaskan bahwasannya pada PP No.88/2017 didalamnya disebutkan
beberapa pola penyelesaian yang dicanangkan oleh Pemerintah, dimana pola
penyelesaian yang direncanakan oleh Pemerintah mencakup kawasan hutan yang
dikategorikan kepada hutan lindung maupun hutan produksi dengan penjabaran jika
bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada didalam
kawasan hutan lindung dan hutan produksi dengan luasan lebih kurang ataupun sama
dengan 30% dari luas kawasan maka pola penyelesainnya dapat dilakukan dengan
mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan maupun diberikan akses pengelolaan
hutan kepada masyarakat. Dari pola penyelesaian yang diprogramkan oleh Pemerintah
dapat dimaknai salah satu tujuannya adalah melindungi masyara kat khususnya
masyarakat yang bergolongan ekonomi lemah dengan memberikan keterbukaan akses
dan aset atas tanah.
Pada prinsip kepemilikan/hak rakyat dapat dijelaskan bahwa upaya penegasan
penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat yang berada dalam kawasan hutan. Dimana
didalam pasal-pasal dalam Peraturan Presiden tersebut menyebutkan masyarakat dapat
menegaskan penguasaan dan pemilikan atas tanah dalam kawasan hutan dengan
memenuhi beberapa kriteria seperti telah dikuasai secara fisik dengan itikad baik, tidak
diganggu gugat, diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala
desa/kelurahan dengan dierkuat oleh saksi yang dapat dipercaya. Pada prinsip
perlindungan hukum Pemerintah melalui Peraturan Presiden ini mengeluarkan kebijakan
dengan beberapa pola penyelesaian yang dilakukan dengan cara (I) mengeluarkan bidang
tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan, (II) tukar menukar
kawasan hutan, (III) memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan
sosial, dan (IV) melakukan resettlement. Setelah itu Pemerintah akan melakukan inventaris
penguasaan yang kemudian dapat ditindaklanjuti dengan pengajuan sertipikasi bidang
tanah agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

214 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dari telaah kebijakan hukum reforma agraria pada tiap periode pelaksanaan yaitu
era orde baru, era orde lama, hingga era reformasi secara ringkas dapat dilihat seperti
pada tabel di bawah ini:

Tabel 13. Hasil Penelitian Kebijakan Produk Hukum Reforma Agraria Terhadap Prinsip-
prinsip Tata Kelola Pertanahan
Undang-undang
Prinsip Kebijakan
Prinsip
Keadilan
Sosial
Prinsip
Transparansi
(Keterbukaan)
Prinsip
Kepemilikan /
Hak Rakyat
Prinsip
Perlindungan
Hukum
UU No. 1/1958 √ √ √ √
UU No. 2/1960 √ √ √ √
UU No. 5/1960 √ √ √ √
UU No.56 PRP /1960 √ √ √ √
PP No. 224 /1961 √ √ √ √
Permendagri No.
15/1974
- √ √ √
Perkaban No.
3/1991.
√ - - -
UU No 15/1997 √ √ √ √
TAP MPR No.
IX/MPR/2001
√ √ - √
Keppres No. 34/2003 - - - √
PP No. 11/2010 √ √ √ √
Perpres No. 88/2017 √ √ √ √
Sumber: Klasifikasi Peneliti 2018.

Dari tabel di atas dapat kita lihat produk hukum yang dihasilkan dalam tiga era
periode Reforma Agraria di Indonesia tidak semua produk hukum mencerminkan tata
kelola pertanahan yang merujuk kepada prinsip keadilan, p rinsip transparansi
(keterbukaan), prinsip kepemilikan/hak rakyat, dan prinsip perlindungan hukum. Akan
tetapi peraturan perundang-undangan tersebut masih berkorelasi satu sama lain yang
artinya masih memiliki hubungan antara Undang -undang tersebut dan saling
menyempurnakan antara Undang-undang tersebut.
Pada tiap-tiap produk hukum yang dihasilkan dalam tiga era periode reforma
agraria di Indonesia yaitu era orde lama, orde baru, dan orde reformasi dapat dikatakan
pada tiap-tiap era pelaksanaan mengalami perbedaan tingkat konsistensi produk hukum
yang dihasilkan dalam mensuport pelaksanaan reforma agraria pada masing-masing era.
Hal tersebut dapat dilihat pada persentasi yang dihasilkan pada tiap-tiap produk hukum,

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 215
seperti pada era orde lama yang menghasilkan 5 pokok produk hukum yaitu UU No.
1/1958, UU No. 2/1960, UU No. 5/1960, UU No. 56 Prp/1960, dan PP No. 224/1961 yang
masing-masing memenuhi semua prinsip kebijakan tata kelola pertanahan. Maka dari
hasil tersebut dapat dikatakan pemerintahan pada era orde lama konsisten dalam
menjalankan reforma agraria dan melakukan restrukturisasi pemilikan, penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan yang mengalami ketimpangan.
Sedangkan pada era orde baru kebijakan pokok produk yang dihasilkan oleh
pemerintah pada saat itu berjumlah tiga pokok produk hukum, yang diantaranya adalah
Permendagri No 15/1974, Perkaban No 3/1999, dan UU No 15/1997 yang seperti dilihat
pada tabel 13 tidak semua memenuhi prinsip kebijakan tata kelola pertanahan. Maka dari
hasil tersebut dapat dikatakan pemerintahan pada era orde baru telah terjadi tidak
konsisten dalam menjalankan reforma agraria. Hal tersebut dikarenakan pada era orde
lama Presiden Soeharto lebih menitikberatkan kebijakan pembangunan infrastruktur dan
perbaikan ekonomi di Indonesia.
Sedangkan pada era reformasi kebijakan pokok produk yang dihasilkan oleh
pemerintah pada saat ini berjumlah empat pokok produk hukum, yang diantaranya TAP
MPR Nomor IX/MPR/2001, Keppres No. 34/2003, PP No.11/2010 dan Perpres No. 88/2017
yang seperti dilihat pada tabel 13 tidak semua memenuhi prinsip kebijakan tata kelola
pertanahan. Akan tetapi dapat dikatakan pemerintah pada saat ini konsisten dalam
menjalankan reforma agraria dikarenakan produk hukum yang dikeluarkan didasarkan
atas semangat pembaharuan agraria yang ditandai dengan kembalinya peran UUPA
dalam pelaksanaan restrukturisasi kembali penataan ulang kepemilikan, penguasaan,
pemanfaatan, dan penggunaan tanah yang diamanahkan kepada Pemerintah melalui
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
Oleh karena itu jika dicermati seluruh peraturan perundang-undangan tersebut
pelaksanaan reforma agraria pada era orde lama dapat dikatakan berjalan dengan baik
dibandingkan dengan pelaksanaan pada era orde baru dan era orde reformasi. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan produk kebijakan reforma agraria yang dikeluarkan
telah memenuhi tata kelola pertanahan yang baik yang dinilai dengan empat prinsip tata
kelola pertanahan yang baik yaitu prinsip keadilan sosial, prinsip transparansi
(keterbukaan), prinsip kepemilikan/hak rakyat, dan prinsi perlindungan hukum. Sehingga
dengan terpenuhinya empat prinsip tersebut pemerintah telah dapat menciptakan sebuah
regulasi maupun kebijakan pertanahan yang baik seusai dengan tujuan reforma agraria
yaitu bagaimana pemberian akses yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya terhadap rakyat
Indonesia serta penguatan dan perlindungn nterhadap aset yang diterima ketika akses
tersebut telah diberikan oleh pemerintah dengan didasarkan juga kepada tata kelola

216 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
pertanahan yang baik berdasarkan kepada definisi, elemen penting, dan prinsip dari land
governence serta norma tertinggi yaitu pancasila dan UUD 1945. Dengan fakta tersebut
pemerintah dapat merangkum keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut agar
menjadi poin yang mendukung salah satu program prioritas reforma agraria yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah melalui Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian
Konflik Agraria.
2. Saran
Demi berjalannya reforma agraria dengan baik sesuai dengan amanah UUD 1945
dan pancasila Kementerian ATR/BPN selaku instansi terkait dapat merumuskan kembali
pelaksanaan reforma agraria di Indonesia dengan memperkuat regulasi yang mengatur
pelaksanaan reforma agraria dengan mengacu kepada tata kelola pertanahan yang dalam
penelitian ini dituangkan kedalam beberapa prinsip yaitu prinsip keadilan sosial, prinsip
transparansi (keterbukaan), prinsip kepemilikan/hak rakyat, dan prinsip perlindungan
hukum, serta melibatkan peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan
sebelumnya sebagai dasar masukan dalam perancangan Undang-undang Pertanahan
yang salah satu pokoknya membahas tentang Reforma Agraria.


DAFTAR PUSTAKA

Aprianto, TC 2006,Tafsir(an) landreform dalam alur sejarah indonesia tinjauan kritis atas
tafsir(an) yang ada, Karsa, Yogyakarta.
Ardiwisastra, YB 2012, Penafsiran dan konstruksi hukum, PT.Alumni, Bandung.
Bachriadi, D 2007, ‘Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintah SBY’, Jurnal Ilmiah Reforma Agraria
Untuk Indonesia.
Mahfud 2012, Politik hukum di Indonesia cetakan ke-5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Marzuki, PM 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Marquardt, M 2012, Land policy anda land administration, best practice for land tenure and
natural resources governance in Africa, dapat dilihat pada https://www.land-
links.org/wp.../09/Module-5-Land-Administration-Marquardt.
Rachman, NF 2017, Landreform dan gerakan agrarian indonesia, INSIST Press, Yogyakarta:
_____, 2012, Landreform dari masa ke masa perjalanan kebijakan pertanahan 1945-2009. Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Ravnborg, HM, Rachel Spichiger, Rikke Brandt Broegaard, and Ramus Hundsbaek
Pedersen 2016. Land governance, gender equality and development: past achievements and
remaining challenges , d apat dilihat di

Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia 217
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jid.3215, diakses pada tanggal 25
Juni 2018, Pukul 03:00 WIB.
Sanjaya, A 2015, Pengertian tata kelola pemerintahan definisi menurut para ahli serta konsep
karakteristik, dapat dilihat di http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-tata-
kelola pemerintahan.html, diakses pada tanggal 30 April 2018, Pukul 01:00 WIB.
Shohibuddin, M 2018, Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian, STPN Press,
Yogyakarta.
Sumardjono, MSW 2011, Ismai, N, Rustiadi, E & Abdullah, AD 2011, Pengaturan sumber
daya alam di indonesia antara yang tersurat dan tersirat kajian kritis undang-undang terkait
penataan ruang dan sumber daya alam, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Utami, PAR 2013. Kajian Hukum Pelaksanaan Program pembaharuan Agraria Nasional di
Kabupaten serdang Bedagai . Dapat dilihat di
https://www.scribd.com/document/248627943/Kajian-Hukum-Pelaksanaan-
Program-Pembaharuan-Agraria-Nasional-di-Kabupaten-Serdang-Bedagai. Diakses
pada tanggal 28 Mei 2018, Pukul 00:04 WIB.
Widodo, B 2015. Politik Hukum Menuju Sistem Pembangunan Nasional. Daat dilihat di
https://www.scribd.com/document/260107850/Politik-Hukum-Mahfud-Md. Diakses
pada tanggal 17 Mei 2018, Pukul 10:00 WIB.
_____, 2018. Kumpulan-kumpulan Peraturan Reforma Agraria di Indonesia, dapat dilihat di
http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/node/863/page/1. Diakses pada
tanggal 20 April 2018, Pukul 19:30 WIB.
_____, 2017. Redistribusi Tanah. Dapat dilihat di https://litigasi.co.id/posts/redistribusi-
tanah. Diakses pada tanggal 20 April 2018, Pukul 22:00 WIB.
Fricska, S, David, P & Babette Wehrman 2009, Towards improve land governence. Land
Tenure Working Paper Vol.11.
Mahmud, A & Tri Chandra Aprianto 2017, Pembaruan agraria: sebuah ijtihad mengoreksi
kemiskinan dan ketimpangan. Makalah yang disampaikan pada Seminar Menuju
Konferensi Tenurial 2017 yang diadakan oleh Pusat Studi Agraria (PSA-IPB), SAINS,
Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Samdhana Institute di IICC Bogor pada
tanggal 23-24 Oktober 2017.

Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

218 Rayyan Dimas Sutadi, AN Luthfi, Dian Aries M.
Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Presiden Republik Indonesian Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut
Pelaksanaan Landreform.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan
Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya.