303
A R T I K E L
ABSTRAK
Artikel ini menganalisis skala ekonomi produksi tebu di Propinsi Lampung, dengan
fokus pada observasi mendalam tentang pola kemitraan petani tebu dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Bunga Mayang di
Kabupaten Lampung Utara dan dengan perusahaan swasta besar PT. Gunung Madu
Plantations (GMP) di Kabupaten Lampung Tengah. Studi ini menggunakan analisis
usahatani untuk melihat tingkat profitabilitas produksi tebu serta memanfaatkan sifat-
sifat khas fungsi produksi Constant Elasticitiy of Substitution (CES) untuk melihat tingkat
0.2639 0.0659 (substitusi dari faktor-faktor produksi yang berpengaruh di daerah studi. Hasil analisis)
menunjukkan bahwa usahatani tebu di Propinsi Lampung masih menguntungkan, walau
pun telah berada pada fase penerimaan hasil yang semakin berkurang. Kemitraan petani
dengan PTPN VII Bunga Mayang lebih padat tenaga kerja dibanding kemitraan dengan
PT GMP, walaupun dalam jangka panjang tidak berbeda secara signifikan. Kebijakan
yang mampu meningkatkan skala ekonomi produksi tebu akan meningkatkan pendapatan
petani dan berkontribusi pada pengembangan wilayah di Lampung.
kata kunci : pertanian tebu, fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES),
kemitraan petani – perusahaan, propinsi Lampung
ABSTRACT
The objective of this study is to analyze the economic scale of sugarcane production
in the Province of Lampung. Field surveys are conducted in August-September 2009,
covering the production centers in the districts of North Lampung and Central Lampung.
More in-depth observations are focused to examine the partnership program between
sugarcane farmers and the State-Owned Enterprise (SOE) of PTPN VII Bunga Mayang
in North Lampung and private estate of PT Gunung Madu Plantation (PT GMP) in Central
Lampung. Standard farm economic analysis is employed to examine the profitability of
sugarcane farming in the study sites. The constant elasticity of substitution (CES)
production function is adapted to analyze the economic scale of the sugarcane farming
in the province. The results show that the sugarcane farming in the study sites is
economically profitable, although in the stage of decreasing return to scale; and, although
in the long run the difference is not statistically significant, the farmers’ partnership with
PTPN VII is more labor intensive than that with private enterprise PT GMP. Any policies
to increase the economic scale of sugarcane production would contribute to the welfare
0 0 (of sugarcane farmers and regional development in the province.)
keywords: sugarcane farming, Constant Elasticity of Substitution (CES) production
function, farmers-enterprise partnership, Lampung Province
Naskah diterima : 2 Desember 2010
PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315
*[email protected]
Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu
di Propinsi Lampung
Fitriania*, Bustanul Arifinb, dan Hanung Ismonoc
Universitas Lampung (UNILA)a,b,c
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro no. 1 Bandarlampung, 35145 , Lampung
Revisi Terakhir : 19 Desember 2010Revisi Pertama : 10 Desember 2010

I.PENDAHULUAN
ebu merupakan komoditas perkebunan
0.0799 0.0199 (penting di Propinsi Lampung. Pada saat)
ini, luas areal tanaman tebu menempati urutan
kedua terbesar (25,71 persen) di Indonesia
setelah Jawa Timur (43,29 persen).
Perkebunan tebu berkaitan erat dengan industri
gula dan pengolahan hilir. Industri berbasis
perkebunan tebu mampu menyerap tenaga
kerja dengan pangsa penyerapan mencapai
7,04 persen yang berarti sangat efektif dalam
-0.0053 -0.0053 (mendorong pertumbuhan ekonomi, demikian)
1.3577 0.3393 (juga dengan industri hilir pengolahannya)
0 0 ((Susila dan Setiawan, 2007).)
Kinerja usahatani tebu berkontribusi
penting dalam mencapai tujuan swasembada
gula nasional. Hingga situasi tahun 2008,
upaya pencapaian swasembada gula masih
belum mampu terwujud, salah satu
penyebabnya adalah kompleksitas persoalan
yang dihadapi industri gula dari hulu dan hilir
0.0666 0.0166 (di Indonesia. Gambaran perkembangan luas)
areal tanam, produksi hablur dan produktivitas
gula di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Perkembangan luas areal tebu di
Indonesia pada sepuluh tahun terakhir secara
umum mengalami pertumbuhan, walaupun
0.7547 0.1886 (relatif kecil yaitu sebesar 0,71 persen per-)
tahun. Demikian halnya dengan produksi
dengan laju sebesar 3,54 persen per tahun.
Produktivitas rata-rata hablur baru mencapai
5,82 ton/ha, masih berada di bawah kondisi
produksi potensialnya yang dapat mencapai
8 ton/ha. Perkembangan usatani tebu rakyat
dan perkebunan besar di Propinsi Lampung
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
T
PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315304
Tabel 1. Perkembangan luas areal, produksi & rendemen gula Indonesia tahun 1998 - 2008
Sumber: BPS Indonesia, 2009
Data Rendemen berasal dari Dewan Gula Nasional

305Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Berdasarkan Tabel 2 perkebunan tebu
rakyat di Propinsi Lampung menunjukkan
0.3121 0.078 (performa di bawah perkebunan perusahaan)
0.9136 0.2283 (baik dari sisi luas areal, produksi maupun)
produktivitas. Pekembangan pertumbuhan
rata-rata per tahun luas areal, produksi dan
produktivitas perkebunan tebu rakyat juga lebih
kecil dibanding perkebunan besar yang terus
melakukan perluasan areal lahan dan
produksinya. Ekspansi perkebunan tebu
perusahaan di Lampung terlihat dari
perkembangan pangsa pengusahaan lahan
dan produksi mencapai 85,1.persen dan
89,75persen terhadap seluruh areal dan
produksi tebu di Propinsi Lampung (Tabel 3).
Tabel 2. Perkembangan luas areal, produksi, dan produktivitas tebu rakyat dan perusahaan di Propinsi Lampung, 2002 - 2008.
Sumber: BPS Propinsi Lampung (2009) dan Disperindag Propinsi Lampung (2009)
Tabel 3. Pengusahaan perkebunan tebu perusahaan besar Propinsi Lampung, 2008
Sumber: Dinas Perindag Propinsi Lampung, 2009

PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315306
Perusahaan perkebunan besar tebu di
Lampung umumnya memiliki industri
pengolahan/pabrik gula (PG) dan melibatkan
petani sebagai pemasok bahan baku.
Kerjasama kemitraan yang terjalin antara petani
tebu dengan PG semestinya didasarkan pada
kesetaraan hubungan sehingga saling
menguntungkan bagi keduanya. Pada
praktiknya apakah kondisi tersebut wujud
dalam pelaksanaannya perlu dilakukan
pengkajian terhadap produksi dan pendapatan
petani tebu rakyat secara lebih dalam.
Keberhasilan usahatani tebu sangat
tergantung pada alokasi penggunaan input
0.4878 0.1219 (produksi secara efisien. Ketersediaan )input
produksi (modal, tenaga kerja, tanah, mesin,
dan sebagainya) yang terbatas menuntut petani
untuk dapat mengalokasikannya secara
optimal. Penambahan input produksi secara
0.4348 0.1086 (bersama-sama akan berpengaruh terhadap)
2.6369 0.6591 (kenaikan produksi. Besarnya proporsi)
-0.2058 -0.2057 (penambahan faktor produksi terhadap proporsi)
peningkatan produksi menghasilkan penilaian
skala produksi (returns to scale). Skala produksi
-0.2098 -0.2097 (sangat penting dalam menentukan usaha yang)
1.1624 0.2905 (efisien. Penentuan skala produksi secara)
empiris dapat dilakukan dengan menggunakan
fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi
0 0 (keuntungan.)
Makalah ini menganalisis skala ekonomi
produksi tebu di Propinsi Lampung, dengan
fokus pada observasi mendalam tentang pola
kemitraan petani tebu dengan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) PT. Perkebunan
Nusantara VII Bunga Mayang di Kabupaten
Lampung Utara dan dengan perusahaan
swasta besar PT. Gunung Madu Plantations
di Kabupaten Lampung Tengah. Studi ini
menggunakan analisis usahatani untuk melihat
tingkat profitabilitas produksi tebu serta
memanfaatkan sifat-sifat khas fungsi produksi
constant elasticitiy of substitution (CES) untuk
0.9199 0.2299 (melihat tingkat substitusi dari faktor-faktor)
0.2683 0.067 (produksi yang mempengaruhi produksi tebu)
0 0 (di daerah studi.)
II.LANDASAAN TEORI DAN TINJAUAN
PUSTAKA
Ada beberapa bentuk fungsi produksi
antara lain fungsi produksi Leontief, fungsi
produksi Cobb-Douglas, dan fungsi Produksi
1.2174 0.3043 (CES ()Constant Elasticity of Substitution).
Fungsi Produksi Leontief pada umumnya
digunakan untuk menganalisa input-output
1.9165 0.479 (sehingga sering disebut sebagai fungsi)
-0.1257 -0.1257 (produksi )input-output. Fungsi produksi leontief
dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:
dengan
q = input
Q = output
Hubungan antara input dengan output
dinyatakan dengan suatu konstanta yaitu aij.
Hubungan antara input dengan output
dinyatakan dengan konstanta sehingga dalam
fungsi Leontief nilai produktifitas fisik marjinal
(marginal product) tidak dapat ditentukan. Hal
ini juga berarti bahwa substitusi antar faktor
tidak ada, berarti hanya memiliki satu kombinasi
faktor. Konsekuensinya apabila input serentak
dinaikkan maka tingkat perkembangan output
bersifat konstan (sesuai dengan kenaikan
0 0 (input)nya).
Fungsi produksi Cobb-Douglas
merupakan persamaan yang melibatkan dua
atau lebih variabel yang terdiri dari satu variabel
dependent (Y) dan variabel independent (X).
Persamaan Cobb-Douglas dapat dituliskan
sebagai berikut:
Untuk memudahkan pendugaan terhadap
-0.2582 -0.2582 (persamaan 2 maka persamaan tersebut diubah)
0.2032 0.0508 (menjadi bentuk linier berganda dengan cara)
-0.1816 -0.1816 (melogaritmakan persamaan tersebut sehingga)
0 0 (menjadi:)

Fungsi produksi Constant Elasticity of
Substitution (CES) dikembangkan oleh
0.8011 0.2002 (Penerima Hadiah Nobel Ekonomi Kenneth)
-0.1977 -0.1977 (Arrow )dkk., (Lihat Debertin, 1986). Fungsi CES
4.0395 1.0097 (menjelaskan bagaimana )input-input
-0.1276 -0.1276 (dikombinasikan untuk menghasilkan produksi.)
Elastisitas substitusi adalah ukuran bagaimana
perusahaan dengan mudah mensubstitusikan
-0.1707 -0.1707 (satu )input dengan input lainnya untuk menjaga
produksi pada level yang sama, atau sepanjang
kurva isoquant. Pada fungsi produksi Cobb-
0.7037 0.1759 (Douglas diasumsikan bahwa )elastisitas of
input substitution sama dengan satu,
sedangkan pada fungsi produksi CES
mengizinkan elastisitas of input substitution
menjadi konstan tetapi tidak sama dengan
satu. Bentuk umum fungsi produksi CES
0 0 (adalah (Sitepu dan Sinaga, 2006):)
Persamaan di atas hampir sama dengan
fungsi produksi Cobb-Douglas, tergantung
pada nilai homogenitasnya atau reaksi
perubahan output sebagai akibat dari
0.0214 0.0053 (perubahan keseluruhan )input (K dan L) yang
dipergunakan. Apabila nilai v=1 dan • = 0 maka
fungsi produksi CES menjadi berbentuk fungsi
produksi Cobb-Douglas. Jika • = maka
CES akan menjadi bentuk fungsi produksi
Leontief (fixed proportion). Pada fungsi produksi
CES, nilai elastisitas substitusi tidak ditentukan
secara apriori, sehingga dimungkinkan
mendapatkan koefisien elastisitas substitusi
lebih besar atau sama dengan nol dan lebih
kecil atau sama dengan tidak terhingga.
Fungsi produksi CES memiliki keuntungan
dibandingkan dengan produksi Cobb-Douglas
0.8473 0.2118 (dalam bentuk fungsi secara umum karena)
dapat mewakili berbagai kemungkinan
substitusi dan berkaitan dengan pola isoquant.
0.798 0.1994 (Namun, fungsi produksi CES memiliki dua)
kelemahan, yaitu hampir serupa dengan fungsi
Cobb Douglas yang memiliki serangkaian nilai
parameter, hanya satu tahap produksi yang
dapat diwakili, biasanya pada tahap kedua
untuk kedua input. Kedua, CES dapat diperluas
dengan menggunakan lebih dari dua input.
Namun hanya satu nilai elastisitas substitusi
yang diperoleh dari fungsi produksi, dan nilai
-0.2351 -0.2351 (yang sama akan digunakan untuk semua )input.
Arifin (1995) menyatakan bahwa pemecahan
fungsi produksi CES dengan input lebih dari
-0.0631 -0.0631 (dua variabel adalah sangat kompleks, karena)
nilai elastisitas substitusi hanya dapat
digunakan untuk dua input. Hal inilah yang
menjadi keterbatasan fungsi produksi CES
untuk aplikasi secara empiris.
Sato (1967) melalui fungsi produksi dua
tahap telah mencoba memecahkan persoalan
keterbatasan input untuk fungsi produksi CES.
Misra (2006) membuat catatan terhadap
publikasi Sato (1967) Sato’s two-level
production function. Fungsi produksi CES tiga
0.8327 0.2081 (variabel secara spesifik dituliskan sebagai)
0 0 (berikut:)
307Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Keterangan:
Yi= produksi perusahaan ke-i
Ki= Input modal (capital) perusahaan
ke-i
Li= Input tenaga kerja (labor)
perusahaan ke-i
e= logaritma natural (e=2,71818)
ui= random error perusahaan ke-i
•= parameter efisiensi
(indikator teknologi);
•= parameter distribusi share input
relative;
v= parameter return to scale;
•= parameter-parameter yang
berhubungan dengan elasticity
of substitution (•);
• =[1/(1- •)]

Pada spesifikasi model ini, 0< •<1 disebut
sebagai parameter distribusi, -1£• disebut
parameter substitusi dan -1£• disebut sebagai
parameter return to scale. Elastisitas substitusi
• = (1/1+•) adalah konstan tergantung pada
besarnya parameter substitusi •. Nilai elastisitas
subsititusi (•s) pada range 0<•s<1; •>0 berarti
-0.248 -0.248 (input) saling mensubstitusi, namun tidak dengan
0 0 (mudah (Debertin, 1986).)
III.METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode
survei. Pengambilan sampel acak kluster dua
tahap (two stage cluster random sampling)
-0.201 -0.201 (digunakan untuk menentukan lokasi penelitian.)
Pada tahap pertama, penentuan petani tebu
rakyat dilakukan berdasarkan lokasi
0.9674 0.2418 (pengembangan tebu di Propinsi Lampung)
yang meliputi Kabupaten Lampung Tengah,
Lampung Utara, Tulang Bawang dan Way
Kanan. Berdasarkan sampling fraction
-0.2317 -0.2317 (50 persen terhadap tipe pengelolaan kemitraan)
(mitra PG BUMN dan PG swasta) dipilih lokasi
Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung
Utara. Petani mitra PTPN VII unit usaha Bunga
Mayang (Lampung Utara) dan petani mitra
mandiri PT Gunung Madu Plantation (GMP)
(Lampung Tengah) dipilih sebagai responden.
Petani mitra PT GMP tersebar di 6
kampung di Kecamatan Terusan Nunyai,
Lampung Tengah dan melibatkan 796 petani.
Sementara itu, petani mitra PTPN VII unit
usaha Bunga Mayang meliputi 7.043 petani
yang terbagi dalam 18 koordinator dan 1
koperasi petani tebu rakyat dengan areal tanam
mencapai 7.875 ha. Anggota Koperasi Petani
Tebu Rakyat (KPTR) sejumlah 543 orang
tersebar di 15 desa dengan luas pengusahaan
lahan mencapai 875 ha dijadikan dasar
penentuan populasi petani tebu rakyat PTPN
VII.
Selanjutnya pada tahap kedua dilakukan
penentuan desa-desa dan rumahtangga petani
tebu sebagai responden penelitian. Penentuan
0.1857 0.0464 (jumlah sampel responden dilakukan dengan)
0.2261 0.0565 (menggunakan formula Sugiarto, dkk (2003):)
Keterangan:
n= Jumlah sampel
N= Jumlah populasi
Z= Tingkat kepercayaan (90 persen)
S2= Varian sampel (5 persen)
d= Derajat penyimpangan (5 persen)
Berdasarkan perhitungan di atas diketahui
jumlah sampel petani tebu sebanyak 76
responden, terdiri dari 38 petani tebu mitra
PT. GPM dan 38 petani tebu mitra PTPN VII
Unit Usaha Bunga Mayang.
Pendekatan analisis produksi dilakukan
secara partial equilibrium menggunakan fungsi
produksi CES memakai software SAS versi
6.12. Formula fitting Sato’s two level production
function German sector Market (Mishra, 2006,
0.5444 0.136 (Sato, 1967) digunakan dalam iterasi model)
0 0 (ini:)
PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315308
Keterangan:
Q= produksi
X1= Input modal (capital)
X2= Input tenaga kerja (labor)
perusahaan ke-i
•1= Parameter substitusi X1 yang
berhubungan dengan elasticity of
substitution (•)X12
•2= Parameter substitusi X2 yang
berhubungan dengan elasticity
of substitution (•) X21
•1= parameter distribusi share input
relatif input X1 terhadap X2
•2= parameter distribusi share input
relatif input X2 terhadap X1
A= parameter efisiensi (teknologi);
•= parameter return to scale;
• =[1/(1- •)]

Penentuan skala produksi menggunakan
tiga kemungkinan, yaitu:
1.Skala usaha dengan kenaikan yang
menurun (decreasing return to scale)
0.5424 0.1356 (terjadi bila penambahan )input melebihi
0.6743 0.1685 (penambahan produksi yang dihasilkan)
0 0 ((• < 1).)
2.Skala usaha dengan kenaikan tetap
(constant return to scale), bila
1.1823 0.2955 (penambahan )input akan proporsional
1.998 0.4994 (dengan penambahan )output (•= 1).
3.Skala usaha dengan hasil menaik
(increasing return to scale), terjadi bila
0.5903 0.1475 (penambahan )input akan menghasilkan
tambahan produksi yang proporsionalnya
lebih besar (• > 1).
IV.DESKRIPSI KEMITRAAN PETANI DAN
PABRIK GULA
4.1.Petani mitra PTPN VII
Untuk mendukung swasembada gula
nasional, kapasitas giling PG PTPN VII unit
usaha Bunga Mayang dinaikkan. Tahap I telah
dinaikkan kapasitasnya dari 5.500 TCD menjadi
7.000 TCD (tahap penyesuaian). Sedangkan
untuk tahap II dinaikkan kembali menjadi
10.000 TCD (tahun 2010-2011). Kapasitas
giling tersebut masih belum mampu
1.1823 0.2955 (mengakomodasi seluruh hasil tebu. Hasil)
panen tebu dari kebun PG sendiri (seluas
6.000 ha) maupun petani rakyat (8.600 ha)
dan pihak swasta (5.000 ha). Tebu yang masuk
PG terus meningkat, bahkan cenderung tak
tertampung dengan kapasitas giling yang masih
terbatas tersebut. Upaya yang ditempuh untuk
mengatasi persoalan kapasitas giling yang
belum memadai adalah dengan
memperpanjang masa giling. Saat ini masa
giling diperpanjang dari normalnya 150 hari
hingga 160 hari menjadi 250 hari.
Revitalisasi PG Bunga Mayang secara on
farm akan dilaksanakan melalui penambahan
0.3343 0.0835 (areal tebu perusahaan seluas 3.000 ha dan)
0.2095 0.0523 (penambahan areal tebu rakyat seluas 3.000)
ha. Penanaman tebu varietas unggul dengan
hasil produksi 80-100 ton/ha dengan rendemen
-0.2585 -0.2584 (9-10 persen. Saat ini rendemen tebu PG Bunga)
Mayang baru mencapai 8,8 persen. Juga
dilakukan penambahan sarana irigasi melalui
-0.102 -0.102 (penambahan embung irigasi dari 359 menjadi)
393 hingga tahun 2014. Target produksi gula
PTPN VII mencapai 172.644 ton pada tahun
2010 atau lebih tinggi dibandingkan tahun
2009 sebesar 128.570 ton gula (PTPN VII,
0 0 (2010).)
Hubungan kemitraan antara petani dan
PG diawali dengan pengajuan permohonan
-0.2215 -0.2215 (bermitra dengan program kredit BRI. PG PTPN)
2.0055 0.5013 (VII akan melakukan verifikasi terhadap)
kesesuaian kondisi lahan. Kondisi lahan petani
mitra harus bebas sengketa dan merupakan
hak milik. Selain itu, kondisi lahan juga harus
dapat diakses oleh lalu lintas kendaraan angkut
(truk). Petani tebu mendapatkan kredit modal
kerja berupa pupuk dan tenaga kerja dari BRI
melalui PTPN VII (sebagai penjamin kredit)
dengan bunga kredit 17 persen per tahun pada
saat bagi hasil. Pembayaran kredit dilakukan
0 0 (melalui PTPN VII.)
Petani berhak mendapatkan paket kredit
BRI melalui PTPN VII sesuai luas garapan
yang telah disetujui. Bagi hasil yang akan
diperoleh petani sebesar 66 persen gula hasil
tebu yang diolah dan 2,5 persen tetes. Petani
juga akan memperoleh bimbingan dan
1.0231 0.2557 (pengarahan dari mandor PTPN VII dalam)
pengelolaan usahatani tebu. Selain itu,
informasi tentang jadwal penebangan, jumlah
tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu juga
dapat diketahui petani mitra. Petani mitra
berkewajiban mengelola usahatani tebu sesuai
bimbingan PTPN VII. Petani juga berkewajiban
menyerahkan semua hasil usahatani tebunya
kepada PTPN VII.
309Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Keterangan:
Yi= produksi (kg)
Ki= modal (Rp)
Li= tenaga kerja(HOK)
A= area
ui= random error
• (a)= indikator teknologi
•= share input distribution
•= parameter of constant return to scale
•= parameter terkait dengan elastisitas
substitusi antar input (•)
•= [1/(1- •)]

PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315310
4.2.Petani mitra mandiri PT Gunung Madu
Plantation (PT GMP)
PT GMP melakukan musim tebang dan
giling pertama pada tahun 1978 dengan
kapasitas giling terpasang mula-mula sebesar
4.000 TCD, kemudian diperbesar secara
bertahap hingga mencapai 12.000 TCD (sejak
tahun 1994). Tingkat produksi kini mencapai
rata-rata 2.0 juta ton tebu dan sekitar 180.000
ton gula per tahun.
PT GMP mengembangkan kemitraan
melalui dua sistem yang berbeda. Pertama;
3.0787 0.7696 (sistem Kerja Sama Operasional/KSO)
yang dikelola oleh PT GMP melalui Koperasi
Gunung Madu. Hak dan kewajiban kemitraan
mengikat kedua belah pihak. Syarat utama
peserta adalah petani dengan lahan
kepemilikan (sertifikat hak milik) dan jarak
areal yang diajukan dengan pabrik PT GMP
tidak lebih dari 50 km serta lahannya cocok
untuk ditanami tebu. Pada implementasi
pelaksanaan budidaya tebu dilakukan
sepenuhnya oleh pihak PT GMP. Petani akan
mendapatkan bagi hasil usaha pada saat
musim panen/giling tebu rata-rata sebesar
Rp 5.187.356,- per hektar berdasarkan
perhitungan pihak perusahaan dengan
0.2604 0.065 (mempertimbangkan kondisi jarak dari lokasi)
pabrik gula PT GMP (rata-rata berjarak 10,12
km). Fokus penelitian ini adalah petani mitra
mandiri PT GMP.
Kedua; sistem kemitraan mandiri
dikembangkan oleh PT GMP sebagai salah
satu upaya mengakomodasi animo masyarakat
yang sangat tertarik melakukan usahatani tebu.
Sistem kemitraan mandiri arealnya terpisah
dengan areal PT GMP. Sistem kemitraan
mandiri memberikan kesempatan kepada
petani untuk mengelola sendiri kebunnya.
Petani juga tidak harus menyerahkan sertifikat
kepemilikan lahan, petani dimungkinkan untuk
menyewa lahan sesuai kemampuannya. Petani
tebu anggota mengusahakan sendiri segala
keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk,
herbisida, dan tenaga kerja. Petani mandiri
tidak mendapatkan paket kredit dan juga
jaminan apapun dari PT GMP. Petani mitra
mandiri akan mengetahui jadwal penebangan,
jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen
tebu. Petani mitra mandiri memiliki kebebasan
dalam menjual hasil produksi tebunya. Petani
menanggung seluruh biaya tebang, muat dan
angkut produksi tebunya hingga ke PG. Kondisi
tersebut memberikan kesempatan seluasnya
kepada petani mitra mandiri untuk mengelola
usahatani tebunya secara efisien dan
menguntungkan.
V.MODEL FUNGSI PRODUKSI TEBU
Analisis fungsi produksi CES dilakukan
dengan menggunakan software SAS vers.
6.12. Iterasi dilakukan dengan beberapa
asumsi, antara lain range nilai konstanta (A
atau •) mulai dari 1 - 250, nilai •1 = bervariasi
mulai 0,3 - 0,8, nilai parameter •2 = -0,17, •1
0 0.3498 (= 0,6, •)2 =0,3, •=1 dan bebas. Penetapan
asumsi dilakukan untuk memastikan iterasi
yang dihasilkan mencapai kondisi titik global
minimum. Range nilai asumsi merupakan
kisaran teoritis dan sesuai hasil pendugaan
-0.0781 -0.0781 (empiris model sebelumnya. Metode algoritma)
yang digunakan untuk mendapatkan
penaksiran non-linear least squares menuju
0.6367 0.1591 (titik global minimum adalah Gauss-Newton)
Algorithm atau iteration. Namun metode ini
-0.0049 -0.0049 (mempunyai kelemahan yaitu perubahan nilai)
permulaan memungkinkan mengarahkan pada
titik minimum tetapi tidak dapat menjamin
keyakinan sebagai lokal atau global minimum.
Penggantian nilai-nilai permulaan dan
parameter dilakukan untuk menghasilkan
konvergensi pada titik yang sama pada setiap
waktu atau dengan kata lain merupakan
kesempatan untuk mengasumsikan bahwa
operasi iterasi mencapai global minimum. Pada
setiap langkah (step) dimana nilai-nilai awal
parameter diubah dan menyebabkan
penurunan pada the sum of squares errors;
-0.2339 -0.2339 (S(•) disebut sebagai iterasi. Dengan mengubah)
nilai awal parameter tetapi konvergensi terjadi
pada titik yang berbeda, maka kita harus
memilih nilai terendah dari sekian banyak the
0 0 (sum squares errors) yang diperoleh.
Berdasarkan hasil estimasi dari iterasi
yang dilakukan, selanjutnya dipilih model yang
0.3509 0.0877 (memberikan hasil pemecahan terbaik untuk)
0.6367 0.1591 (masing-masing model. Hasil estimasi yang)
tertera pada Tabel 4 menghasilkan model
fungsi produksi pada berbagai kombinasi input
[(K,L)A] yang merupakan estimasi paling baik
dan memenuhi batasan kriteria parameter
fungsi produksi CES, antara lain nilai • berada
pada range 0< •<1 dan nilai •s pada range
0<•s<1; serta nilai •>0.

311Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Tabel 4.The best fit model estimasi parameter fungsi produki CES
Keterangan:
M= model dengan asumsi • adalah bebas
N=model dengan asumsi • = 1
K=Capital
L=Labor
A=Area
tanda (-) pada nilai • menunjukkan tanda
elastisitas substitusi •
Selanjutnya model fungsi produksi tebu
pada • bebas dapat disusun sebagai berikut:
Secara umum Model M1 [(K,L)A] fungsi
produksi tebu petani mitra PTPN VII dan petani
mitra PT GM menghasilkan nilai • sebesar
0,56 dan 0,6 atau (•>0). Ilustrasi Henderson
dan Quandt dalam Debertin (1986)
menyebutkan bahwa pada • bernilai 0,5 dan
nilai elastisitas substitusi input berada pada
selang 0<•s<1 diagram fungsi produksi adalah
tidak berbeda dan menyerupai bentuk fungsi
Cobb-Douglas. Kondisi kurva kombinasi
-0.1528 -0.1527 (variabel )input K dan L (isoquant) menunjukkan
-0.1669 -0.1669 (kondisi menurun ()deminishing marginal return)
0 0 ((Gambar 1).)
Gambar 1. Kurva Isoquant produksi tebu dengan inputcapital dan labor

PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315312
Pada Gambar 1, dengan tingkat K
tertentu, L lebih, maka produksi akan meningkat
tetapi dengan peningkatan yang rata-rata
menurun (decreasing rate). Nilai produk
marginal berada pada kondisi menurun, namun
belum bernilai negatif. Berdasarkan fungsi
produksi neoklasik berarti berada pada daerah
produksi II (rational stage). Kondisi ini tidak
dapat dilepaskan dari konsep produk marjinal
(marginal product/MP) yaitu tambahan satu-
satuan input X yang dapat menyebabkan
penambahan atau pengurangan satu-satuan
-0.0317 -0.0317 (output) Y, atau umumnya ditulis sebagai MP =
•Y/•X. Pada tahapan proses produksi tersebut
0.4916 0.1228 (setiap tipe reaksi produksi mempunyai nilai)
0.4968 0.1241 (produk marjinal yang berbeda. Nilai produk)
marjinal berpengaruh besar tehadap elastisitas
produksi (Ep) yang diartikan sebagai
prosentase perubahan dari output sebagai
akibat dari prosentase perubahan input.
Hubungan-hubungan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: (i) tahap I: nilai
Ep > 1, produk total, produk rata-rata menaik
dan produk marjinal juga nilainya menaik
kemudian menurun sampai nilainya sama
dengan produk rata-rata (Increasing rate); (ii)
tahap II (rational stage): nilai EP adalah 1<Ep
< 0, produk total menaik, tapi produk rata-rata
menurun dan produk marjinal juga nilainya
menurun sampai nol (decreasing rate; (iii)
tahap III: nilai Ep < 0, produk total dan produk
rata-rata menurun sedangkan produk marjinal
nilainya negatif (negative decreasing rate).
Menurut Doll dan Orazem (1984), pada
daerah II produk marginal mengalami
penurunan dan lebih kecil dari produk rata-
rata kedua input. Penggunaan dua input pada
daerah II memungkinkan mencapai kondisi
simetris namun saling berlawanan arah. Pada
kondisi ini teorema Euler dapat digunakan
untuk menentukan tahap produksi yang
simetris antar dua input, kapan input bersifat
tetap pada produksi jangka pendek (short run)
atau menjadi input variabel pada produksi
jangka panjang (long run). Teorema Euler
menyatakan bahwa: (a) suatu fungsi dikatakan
“homogen” pada tingkat • bila hasil
penggandaan setiap masukan produksi
sebesar k, akan menghasilkan atau
meningkatkan nilai produksi sebesar k•, dan
(b) akibat teori (a), maka penggandaan faktor
-0.1941 -0.1941 (produksi dengan produksi marginalnya, adalah)
0.3096 0.0773 (akan menghasilkan sejumlah produksi yang)
digandakan dengan besarnya homogenitas,
•. Bila • = 1, maka dapat dikatakan bahwa
fungsi produksi tersebut mempunyai
homogenitas sama dengan satu atau dalam
situasi constant return to scale atau pada saat
nilai • = 1 yaitu model N. Model N1 fungsi
produksi yang dihadapi petani mitra PTPN VII
dan mitra PT GMP disusun sebagai berikut:
Kedua fungsi produksi yang dihadapi dua
kelompok petani tebu di atas menggambarkan
semua nilai parameter yang sama. Hal ini
mengindikasikan bahwa fungsi produksi CES
Model N yang dihadapi petani tebu adalah
sama. Apabila dibandingkan dengan Model
M1, estimasi yang berbeda ditunjukkan oleh
nilai • sebagai parameter teknologi yang
semakin kecil. Nilai elastisitas substitusi antar
0.2046 0.0511 (input) dan nilai distribusi efisiensi relatif input
yang digunakan tidak terpaut jauh.
Nilai parameter • (intercept) sebagai
indikator efisiensi model M1 lebih tinggi
0.5631 0.1407 (dibandingkan model N1. Menurut Keat dan)
Young (2009) jika nilai pengamatan variabel
bebasnya tidak ada yang mendekati nol, maka
2.1794 0.5447 (besaran nilai )intercept-nya tidak dapat
diterjemahkan secara langsung. Nilai tersebut
0.6166 0.1541 (hanya mengindikasikan adanya perubahan)
teknologi atau perubahan di dalam output yang
-0.2597 -0.2597 (bukan disebabkan oleh perubahan )input modal,
tenaga kerja dan lahan. Plot antara indeks
perubahan teknologi sebagai penggeser
0.276 0.069 (kumulatif dengan rasio modal, tenaga kerja,)
-0.1475 -0.1475 (dan lahan bernilai positif. Hal ini menunjukkan)
bahwa kemajuan pada proses produksi sangat
dimungkinkan melalui pembentukan modal
dan penyerapan tenaga kerja secara intensif
yang dilakukan melalui pemanfaatan lahan
secara optimal. Selanjutnya, perhitungan nilai
elastisitas substitusi dilakukan terhadap model
M1 dan N1 Tabel 5.

313Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Tabel 5. Perhitungan nilai elastisitas substitusi fungsi produksi CES
Keterangan: tanda (-) menunjukan elastisitas substitusi
Nilai •s1 antara input modal dan tenaga
kerja fungsi produksi CES petani tebu Mitra
PTPN VII menunjukkan nilai yang sama besar
antara model M1 dan N1 yakni 0,63
menunjukkan bahwa input K dan L dapat saling
mensubstitusi. Nilai •s1 pada selang 0< •s <1,
berarti input saling mensubstitusi, walaupun
0.2732 0.0683 (tidak mudah dan memerlukan penyesuaian-)
penyesuaian yang tidak sederhana. Sementara
itu, nilai •s2 sebesar 0,99 juga berada pada
selang 0< •s <1, berarti kombinasi input modal
dan tenaga kerja terhadap lahan pada
usahatani tebu dapat saling mensubstitusi,
sebagaimana kondisi elastisitas input modal
0 0 (dan tenaga kerja.)
Nilai •s1 antara input modal dan tenaga
kerja fungsi produksi CES petani tebu Mitra
PT GM menunjukkan nilai yang sedikit lebih
tinggi antara model M1 dan N1, sebesar 0,74
dan 0,63. Nilai elastisitas substitusi sedikit
lebih besar dihasilkan oleh model yang tidak
0.7464 0.1865 (direstriksi. Nilai •s)1 pada selang 0< •s <1,
berarti input saling mensubstitusi. Sementara
itu, nilai •s2 sebesar 0,99 sama dengan nilai
0.21 0.0525 (•s)2 pada petani mitra PTPN VII juga berada
pada selang yang sama, berarti kombinasi
-0.0045 -0.0045 (input) modal dan tenaga kerja terhadap lahan
pada usahatani tebu dapat saling
mensubstitusi. Menurut Pindyck dan Rubinfield
(1998) dua produk atau input dapat
mensubstitusi atau komplemen satu sama lain
secara kuat bila nilai elastisitasnya adalah
lebih besar dari 0,5.
Implementasi di lapang dapat
digambarkan bila terjadi peningkatan
penggunaan tenaga kerja sebesar satu satuan,
maka pembentukan modal pada produksi tebu
yang diperlukan sebesar 0,6 satuan. Kondisi
ini juga menggambarkan bahwa produksi tebu
bersifat padat tenaga kerja. Demikian pula
halnya bila input lahan ditingkatkan sebesar
-0.1073 -0.1073 (satu satuan, maka kombinasi )input modal dan
0.4382 0.1095 (tenaga kerja secara bersamaan mengalami)
peningkatan sebesar nilai parameter
elastisitasnya. Gambaran kondisi fungsi
produksi tebu petani mitra PTPN VII lebih
bersifat padat tenaga kerja bila dibandingkan
dengan fungsi produksi yang dihadapi petani
mitra mandiri (0,6<0,7). Hal ini dapat dimengerti
mengingat petani mitra PTPN VII terlibat secara
lebih intensif dalam kegiatan produksi tebu.
Pada model fungsi produksi berlangsung
dalam asumsi nilai •=1 atau restrict pada
kondisi constant return, parameter yang
dihasilkan oleh masing-masing fungsi produksi
2.7916 0.6978 (memiliki besaran yang sama. Hal itu)
-0.0659 -0.0659 (mengindikasikan bahwa fungsi produksi yang)
dihadapi petani tebu dalam pengembangan
jangka panjang relatif tidak berbeda. Skala
usaha dengan kenaikan hasil tetap (constant
return) berarti respon dari output terhadap
0.334 0.0834 (perubahan proporsional dari )input besarnya
tetap dengan kata lain luas rata-rata unit
perusahaan yang ada tidak perlu dirubah.
0.2076 0.0518 (Kondisi skala usaha sangat penting sebagai)
0.7129 0.1782 (salah satu pertimbangan pemilihan ukuran)
0.573 0.1432 (perusahaan. Informasi ini selanjutnya akan)
2.0581 0.5144 (berguna dalam perencanaan perluasan)
usahatani tebu dalam jangka panjang, tidak
terbatas hanya untuk pengembangan basis
industri gula nasional, juga untuk
pengembangan agroindustri bioetanol di
Indonesia.
Pengembangan perkebunan tebu sebagai
sektor hulu industri gula memerlukan
pendekatan-pendekatan khusus dan strategi

PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 303-315314
yang tepat. Kemajuan produksi tebu sangat
0.7093 0.1773 (dimungkinkan melalui pembentukan modal)
dan penyerapan tenaga kerja secara intensif
yang dilakukan melalui pemanfaatan lahan
secara optimal. Fasilitasi infrastruktur, teknologi
budidaya, permodalan, dan manajemen
produksi dan usahatani tebu yang intensif
padat tenaga kerja akan menjadi hal penting
dalam mewujudnya perbaikan kondisi
kesejahteraan petani dan masyarakat
perdesaan. Pencapaian kondisi skala ekonomi
produksi tebu menjadi prasyarat tercapainya
tingkat pendapatan yang menguntungkan bagi
petani, dan lebih lanjut dapat meningkatkan
taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat.
Pada pihak lain, PG akan mendapatkan
jaminan pasokan bahan baku tebu, tidak
semata mengandalkan produksi kebun sendiri.
Perbaikan teknologi dan kapasitas produksi
PG secara berkelanjutan menjadi penting untuk
mencapai efisiensi. Penguasaan teknologi
budidaya maupun teknologi produksi gula perlu
1.766 0.4414 (terus dilakukan. Dengan terintegrasinya)
prasyarat di atas bukan tidak mungkin akan
mampu menciptakan lahan non-produktif yang
masih terbuka luas dapat ditransformasi
menjadi suatu hamparan luas tanaman tebu
yang produktif, terintegrasi dengan pabrik gula
yang efisien, sehingga upaya mencapai target
swasembada gula nasional dapat diwujudkan.
VI.PENUTUP
Secara umum kondisi skala produksi tebu
di Propinsi Lampung berada pada kondisi skala
kenaikan hasil yang menurun dan masih
5.6044 1.4009 (menguntungkan secara ekonomi.)
Pembentukan modal dan penyerapan tenaga
kerja secara intensif melalui pemanfaatan
lahan secara optimal menjadi kunci
1.4316 0.3578 (pengembangan perkebunan tebu. Dalam)
jangka panjang, fungsi produksi yang dihadapi
petani tebu tidak berbeda antara mitra PG
BUMN maupun PG perusahaan swasta,
dengan elastisitas substitusi input lebih intensif
padat tenaga kerja.
Untuk itu disarankan beberapa hal
strategis berikut: (i) Perumusan kebijakan
peningkatan skala ekonomi produksi tebu
menjadi kajian penting untuk meningkatkan
pendapatan petani dan berkontribusi pada
pengembangan wilayah di Lampung; (ii)
Sinergi kemitraan petani dengan PG meliputi
berbagai aspek seperti: infrastruktur, teknologi
budidaya, permodalan, dan manajemen
produksi dan usahatani menjadi hal penting
dalam mewujudnya perbaikan kondisi
kesejahteraan petani dan masyarakat
perdesaan. Pengembangan perkebunan tebu
melalui pola kemitraan perlu tetap
mengedepankan penyerapan tenaga kerja
perdesaan, sehingga dapat menciptakan
alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat
perdesaan; (iii) Perbaikan teknologi dan
kapasitas produksi PG secara berkelanjutan
menjadi penting untuk mencapai efisiensi
sehingga memungkinkan PG memberikan
bagian harga yang adil bagi petani tebu.
Insentif harga yang menguntungkan menjadi
salah satu indikator bahwa investasi
perkebunan tebu tetap menarik untuk dipilih
dan dilakukan oleh petani ataupun stakeholders
0 0 (lainnya.)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 1995. Ekonomi Produksi Pertanian.
Bandar Lampung: Unila
Barber, Andrew, Glenys Pellow, and Mariana de
Aragao Pereira. 2008. The Sustainability of
Brazilian Sugarcane Bioethanol: a Literature
Review. Energy Efficiency and Conservation
Authority (EECA). Lincoln University, AERU,
NZ and Embrapa, Brazil.
Debertin, David. 1986. Agricultural Production
Economics. New York: Macmillan.
Doll, John P and Orazem, Frank. 1984. Production
Economics. Theory with Aplications. New
York: John Willey & Sons
FAO. 2008a. Biofuels: Prospect, Risk, and
Opportunities. Part I. .
FAO. 2008b. Food and Agriculture Review.
Part II. .
Hendersson, Jack., M. and Quant, Richard., E.
1980. Microeconomic Theory. McGraw-Hill
0 0 (Book co. Singapore.)
Huang, Jikun, Jun Yang, dan Huanguang Qiu.
2010. Method for Assesing the Effects of
Biofuel Development in Global and Regional

BIODATA PENULIS
Fitriani adalah Dosen pada Program Studi
2.7144 0.6785 (Agribisnis Politeknik Negeri Lampung,)
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Lampung
tahun 1996, dan Magister Ekonomi Pertanian
pada Progrm Pascasarjana Ekonomi
Pertanian/Agribisnis di Universitas Lampung
tahun 2010. Fitriani banyak melakukan penelitian
di bidang ekonomi pertanian, sistem agribisnis,
pembangunan pertanian dan pengembangan
wilayah, dan aktif mengikuti pertemuan ilmiah
0.5859 0.1464 (di tingkat nasional dan tingkat internasional.)
email : [email protected]
Bustanul Arifin adalah Guru Besar Ilmu
Ekonomi Pertanian di Universitas Lampung
(UNILA), meraih gelar Sarjana Agribisnis dari
Institut Pertanian Bogor (1985) dan Doctor of
Philosophy (Ph.D.) bidang Resource Economics
0.5549 0.1387 ((1995) dari University of Wisconsin-Madison)
(AS). Pada tahun 2005 Arifin diangkat sebagai
dan sejak 1997 menjadi dosen pascasarjana
Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian
Bogor (IPB). Sejak 1996, Bustanul Arifin tercatat
sebagai ekonom senior di INDEF (Institute for
-0.01 -0.01 (Development of Economics and Finance), dan)
pernah menjadi Guru Besar Tamu di University
of Wisconsin-Madison (2002-2003), di University
of Sydney, Australia (2007-2008).
email : [email protected]
Hanung Ismono adalah Lektor Kepala di
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas
Lampung (UNILA), meraih Sarjana Agribisnis
dari Institut Pertanian Bogor (1985) dan Doktor
Ekonomi Pertanian dari Universtas Padjadjaran
(2003). Ismono banyak melakukan penelitian
tentang ekonomi pembangunan pertanian,
pengentasan kemiskinan, kredit mikro dan lain-
lain, menjadi Asisten Koordinator Program
PARUL, United Nations Development
Programme (UNDP). Ismono aktif mengikuti
-0.2216 -0.2216 (pertemuan ilmiah tingkat nasional dan konferensi)
-0.1668 -0.1668 (internasional di Subic-Filipina (2003), di Sydney-)
Australia (2008), di Lexington dan Las Vegas,
USA (2009).
email : [email protected]
315Analisis Skala Ekonomi Produksi Tebu di Propinsi Lampung (Fitriani, Bustanul Arifin, dan Hanung Ismono)
Level. Scoot Rozelle, Standford University. Paper presented in Second meeting of IFAD Projects, Aug 9-10, Indonesia.
Mishra, S.K. 2006. A Brief History of Production
Functions. Working paper series Social Science Research Networ (SSRN). -1.319 1.319 (http://ssrn.com/abstract=1020577.)
________________. 2006. A Note on Numerical
Estimation of Sato’s Two-Level CES Production Function. Working paper series Social Science Research Networ (SSRN). http://ssrn.com.
Nebraska Energy Office. 2010. Nebraska Ethanol
Board. Lincoln, N.E. http://www.neo.ne.gov
Pindyck, Roberts S dan Rubinfield, Daniel L.
Econometric models and economics forecast. Irwin McGraw-Hill. Boston. Hal 11.
Sato, Kazuo. 1967. A Two-Level Constant Elasticity
of Substitution Production Function. Reviw of Economic Studies, 43, pp. 201-218, 1967.
Sitepu, Rasidin Karo-karo & Sinaga. Bonar, M.
2006. Aplikasi Model Ekonometrika. IPB. Bogor.
Susila, Wayan R & Darma Setiawan. 2007. Peran
Industri Berbasis Perkebunan Dalam Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 25 No. 2, Okt. 2007:125-147.
Sugiarto, Dergibson Siagian, Lasmono Tri
Sunaryanto, Deny S. Oetomo. 2003. Tehnik Sampling. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).
2010. Etanol dari Tebu. http:// sugarresearch.org/wp-content/uploads/ 2008/12/bietanol-agroobs.pdf.